Anda di halaman 1dari 17

KONSEP DAN TATA CARA JUAL BELI

Disusun Oleh:

Kelompok 9

Deri Juliansyah ( 1910202020 )


Nadya Ayu Saputri ( 1930202144 )
Herlica Agustina ( 1930202321 )

Dosen Pengampu:

Fitri Safta Dewi, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG

2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya yang telah
memberikan kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP DAN
TATA CARA JUAL BELI”.
Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca untuk ke depannya agar dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Palembang, 6 Maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KONSEP DAN TATA CARA JUAL BELI.......................................................................1


KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang..........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Pengertian Jual Beli...................................................................................................6
B. Rukun dan Syarat Jual Beli........................................................................................8
C. Macam-macam Jual Beli.........................................................................................11
D. Ketentuan Jual Beli dalam Islam.............................................................................13
PENUTUPAN..................................................................................................................14
A. Kesimpulan.............................................................................................................15
B. Saran........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................17

3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam islam mengatur sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur
perilaku kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Aspek tersebut
menyangkut dua hal, yaitu ibadah dan muamalah. Muamalah dapat
diaplikasikan dengan sesama manusia. Begitu juga halnya dengan kehidupan
masyarakat di suatu desa yang Salah satu bentuk mu`amalah yang
dipraktekkannya adalah jual-beli. Terdapat banyak pengertian yang
mengartikan jual beli. Dalam istilah Fiqh Islam disebut dengan Al- Ba’i yang
berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Menurut terminology, jual beli adalah penukaran benda dengan benda lain
dengan jalan saling merelakan atau memindakan hak milik dengan ada
penggantiannya dengan cara yang dibolehkan.1
Menurut Hanafiah jual beli secara defenitif yaitu tukar menukar harta
benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan dengan
melalui cara tertentu yang bermanfaat. Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah
berpendapat bahwa jual beli yaitu tukar menukar harta dengan harta pula
dalam bentuk pemin- dahan milik dan kepemilikan.2
Jual beli itu juga merupakan bagian dari ta’awun (saling menolong). Bagi
pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang (keuntungan),
sedangkan bagi penjual juga berarti menolong pembeli yang sedang
membutuhkan barang, Karenanya, jual beli merupakan perbuatan yang mulia
dan pelakuan mendapat keridaan Allah swt. Salah satu aspek yang terjadi
dalam kehidupan manusia adalah jual beli, dalam terminology Islam jual beli
adalah tukar menukar suatu harta dengan yang lainnya, atau kegiatan yang
mengatur hal-hal yang berhubungan tata cara hidup sesama manusia untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.3

1
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 68.
2
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 101
3
A. Zainudin, Muhamad Jamhari, Al-Islam,2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet
ke-1, h.11.

4
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan jual beli?
2. Sebutkan dan jelaskan rukun dan syarat jual beli?
3. Sebutkan dan jelaskan macam-macam jual beli?
4. Bagaimana ketentuan jual beli dalam Islam?

5
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam bahasa
Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira’
(beli). Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti
beli.4
Jual beli merupakan suatu kegiatan tukar-menukar barang dengan barang
atau uang dengan barang, tanpa bertujuan mencari keuntungan. Hal ini,
karena alasan orang menjual atau membeli barang adalah untuk suatu
keperluan, tanpa menghiraukan untung ruginya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa setiap perdagangan dapat dikatakan jual beli, tetapi tidak
setiap jual beli dapat dikatakan perdagangan.5
Menurut pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah
pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti
yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah). Dapat disimpulkan
bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara:
a. Pertukaran harta antara pihak atas dasar saling rela, dan
b. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa
alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan. Setelah
mengkaji secara luas beberapa masalah tentang jual beli, maka terlebih
dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian jual beli.
a. Jual beli menurut etimologi berarti Al-Ba’i, Al-Tijarah, dan Al-
Mubadalah. Jual beli juga berarti saling menukar (pertukaran).6
b. Menurut Abi Yahya Zakaria Al-Ansyori, jual beli menurut bahasa
adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak

4
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Prenada Media,
2005), hlm. 101.
5
Ibnu Mas’ud, et al., Fiqih Madzahb Syafi’i Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat,
Jinayat , (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 22.
6
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki, Terjemah Fikih
Sunnah, Jilid XII, (Al-Ma‟arif, Bandung 1987), hlm. 44

6
milik dengan mendapatkan benda yang lain sebagai gantinya dengan
jalan yang dibolehkan oleh syara‟.
c. Al-ba’i (jual beli) adalah pertukaran antara harta dan harta, bisa sah
(mun’aqid) dan tidak terikat (ghair mun’aqid).7
d. Perdagangan juga berarti jual beli dengan tujuan untuk mencari
keuntungan (laba). Jual beli barang merupakan transaksi paling kuat
dalam dunia perniagaan (bisnis) bahkan secara umum adalah bagian
yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah
disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang
diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya.
e. Jual beli menurut ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang
bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.
1) Jual belidalam arti umum ialah suatuperikatan tukar menukar sesuatu
yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad
yang mengikat dua belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu
pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan
oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda
yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek
penjualan, jadi bukan manfaat atau bukan hasilnya.
2) Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya
tarik, penukarannya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya
dapat direalisasi dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak
merupakan utang baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun
tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah
diketahui terlebih dahulu.8
Dari berbagai macam pengertian jual beli di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengertian jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau
7
A. Djazuli, Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah, alih bahasa Tajul Arifin, Achmad
Suhirman, Djuhudijat Ahmad S., Deding Ishak Ibnu Suja, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Islam, (Kiblat Umat Press,Bandung, 2002), hlm. 19
8
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm.
151

7
memindahkan hak milik dengan mendapatkan benda lainnya sebagai gantinya
dengan tujuan untuk mencari keuntungan (laba) dengan jalan yang
dibolehkan oleh syara‟.
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Mazhab Hanafi menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu, yakni ijab.
Menurut mereka, yang paling prinsip dalam jual beli adalah saling rida
dengan kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka, jika telah terjadi
ijab, di situ jual beli telah dianggap berlangsung. Tentunya dengan adanya
ijab, pasti ditemukan hal-hal yang terkait dengannya, orang yang berakad,
obyek jual beli dan nilai tukarnya.9
Menurut jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat,
yaitu:
a. Ada orang yang melakukan akad atau al-muta’aqidain (penjual dan
pembeli),
b. Ada sighat (lafal ijab dan qabul).
c. Ada barang yang dibeli.
d. Ada nilai tukar pengganti barang.10
Menurut Imam Taqiyudin Abi Bakar Muh. Al-Husaini menyatakan rukun
jual beli yaitu sebagai berikut:
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang yang dijual
d. Harga
e. Ucapan ijab dan qabul. 11
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri bahwa rukun jual beli yaitu:
a. Sighat (ijab dan qabul)
b. ‘Aqid (orang yang mengadakan perjanjian, terdiri dari penjual dan
pembeli)
9
3 M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 57.
10
Al-Bahuti, Kasysaf al-Qina, Jilid II, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hlm. 125
11
Taqiyudin Abi Bakar Muh. Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz IV, Al-Ma‟arif, Bandung,
tt, hlm. 89

8
c. Ma’qud alaih (barang obyek akad) terdiri dari barang dan harga.12
Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas, maka secara ringkas rukun
jual beli yang ideal yaitu adanya kedua belah pihak yang melakukan transaksi
jual beli, adanya barang yang menjadi transaksi jual beli dan lafadz dalam
transaksi jual beli tersebut.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli agar terhindar
dari hal-hal dilarang yang dikemukakan di atas adalah sebagai berikut:
a) Syarat orang yang berakad Ulama fiqh memberikan persyaratan atau
kriteria yang harus dipenuhi oleh ‘akid yaitu: Ahliyah. Keduanya
memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi.
Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau
mumayyiz dan berakal.
b) Wilayah. Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan
seseorang yang mendapatkan legalitas syar’i untuk melakukan
transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang
merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi,
sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya.13
1. Syarat yang terkait dengan ijab qabul
Ijab qabul merupakan ungkapan menunjukkan kerelaan atau
kesepakatan dua pihak yang melakukan akad.Dalam ijab qabul terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai
berikut:
a) Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak. Dalam arti, ijab
qabul yang dilakukan harus bisa mengekspresikan tujuan dan
maksud keduanya dalam bertransaksi.
b) Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Terdapat kesesuaian
antara ijab dan qabul dalam hal objek transaksi ataupun harga.
c) Adanya pertemuan antara ijab dan qabul (berurutan dan
menyambung). ijab qabul dilakukan dalam satu majelis.
12
Abd. Rahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Madzahi bil Arba’ah, Az-Zariyah, Kairo
Mesir, Cet. VI, Juz II, tt, hlm. 141.
13
Salih al- Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 366.

9
d) Adanya satu majelis akad bisa diartikan sebagai suatu kondisi yang
memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan atau
pertemuan pembicaraan dalam satu objek transaksi.
2. Syarat barang yang diperjualbelikan
a. Barang yang diperjualbelikan mestilah bersih materinya.
b. Barang yang diperjualbelikan adalah sesuatu yang bermanfaat.
Alasannya adalah bahwa yang hendak diperoleh dari transaksi ini
adalah manfaat itu sendiri.
c. Barang yang dijadikan objek transaksi itu betul-betul telah menjadi
milik orang yang melakukan transaksi.
d. Barang yang telah menjadi miliknya itu haruslah telah berada
ditangannya atau dalam kekuasaannya dan dapat diserahkan
sewaktu terjadi transaksi dan tidak mesti berada dalam majelis
akad, umpamanya tersimpan di gudang penyimpanan yang
berjauhan letaknya.
e. Barang yang dijadikan objek transaksi itu mestilah sesuatu yang
diketahui secara transparan, baik kuantitas maupun jumlahnya, bila
dalam bentuksesuatu yang ditimbang jelas timbangannya dan bila
sesuatu yang ditakar jelas takarannya.14
3. Syarat nilai tukar (harga barang)
Termasuk nilai penting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang
yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Terkait dengan masalah
nilai tukar ini, para ulama fiqh membedakan as|-s|aman dengan as-si’r.
Syarat-syarat di atas merupakan syarat yang harus disempurnakan
dalam setiap transaksi jual beli agar jual beli tersebut menjadi sah dalam
pandangan syara’. Dalam arti jual beli tersebut terbebas dari cacat (aib)
yang meliputi jahalah (ketidaktahuan), ikrah (paksaan), tauqit (timely),
garar (uncertainty), d}arar (bahaya) dan syaratsyarat yang merusak.15

14
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2010), 196- 198
15
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, 79.

10
C. Macam-macam Jual Beli
Terdapat banyak model transaksi jual beli, yang dipengaruhi oleh sistem
trasnaksi, mekanisme serah-terima, dan lain-lain diantaranya sebagai berikut :
a. Bai’ Musyahadah
Bai’ Musyahadah adalah jual beli komoditi yang disaksikan atau
dilihat secara langsung oleh pelaku transaksi. Menyaksikan
sebagian komoditi dianggap sudah cukup jika telah
mempresentasikan keseluruham kondisi komoditi. Demikian juga
cukup menyaksikan komoditi secara hukman. Yakni menyaksikan
bagian luar komoditi yang umum ikut dikonsumsi atau bagian
komoditi yang berfungsi sebagai pelindung . seperti menyaksikan
kulit mangga, kulit semangka atau cangkang telur.
b. Bai’ Maushuf fi Dzimmah
Bai’ Maushuf fi Dzimmah adalah transaksi jual beli dengan sistem
tanggungan (dzimmah) dan metode ma’lumnya melalui spesifikasi
kriteria dan ukuran.
c. Bai’ Ghaib
Bai’ Ghaib adalah jual beli barang yang tidak terlihat atau tidak
disaksikan oleh kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli.
d. Bai’ Mu’athah
Bai’ Mu’athah adalah praktek transaksi jual beli tanpa ada ijab dan
qobul.
e. Bai’ Murabahah
Bai’ Murabahah adalh transaksi jual beli dengan prosedur penjual
menyatakan modal pembelian barang, kemudian menentukan
margin profit yang disepakati dari modal.
f. Bai’ Taqsith
Ba’i Taqsith adalah transaksi jual beli dengan sistem bayar cicilan
dalam batas waktu tertentu dengan harga yang relatif tinggi
dibanding dengan sistem bayar cash.
g. Bai’ Urbun

11
Bai’ Urbun adalah transaksi jual beli dengan prosedur pihak
pembeli menyerahkan uang muka terlebih dahulu dengan
kesepakatan , jika transaksi berhasil, uang muka menjadi bagiandari
total harga, dan jika transaksi gagal, uang muka menjadi hibbah dari
pihak pembeli kepada penjual.
h. Bai’ Jizaaf
Bai’ Jizaaf adalah transaksi jual beli dengan sistem prediksi atau
perkiraan. Artinya, jual beli jenis komoditi yang cara atau metode
mengetahui kadarnya pada dasarnya dengan menggunakan
ukuran,timbangan, atau takaran, namun dicukupkan dengan
mengandalkan metode prediksi setelah menyaksikan.
i. Bai’ Muzayadah
Bai’ Muzayadah adalah transaksi jual beli dengan sistem lelang.
Yakni penawaran komoditi kepada publik, dan transaksi baru
diadakan kepada penawar dengan harga tertinggi.
j. Bai’ Istijrar
Bai’ istijrar adalah transaksi jual beli dengan sistem, pembeli
mengambil komoditi dari pihak penjual secara bertahap sesuai
keperluan dalam jangka waktu tertentu, selanjutnya ditotal dan baru
melakukan transaksi.
k. Bai’ Istishna’
Bai’ istishna’ adalah transaksi jual beli dengan pembelian objek
oleh pembeli yang akan digarap oleh kontraktor dengan spesifikasi
tertentu.
l. Bai’ Araya
Bai’ Araya adalah jual beli kurma basah yang masih dipohon
dengan sistem prediksi, dibeli dengan kurma kering yang telah
dipanen dengan sistem takar.
m. Bai’ Sharfi
Bai’ sharfi adalah transaksi jual beli komoditi berupa mata uang,
baik sejenis maupun berbeda, seperti dinar dengan dinar, dirham

12
dengan dirham.
n. Bai’ Huquq
Bai’ huquq adalah transaksi jual beli dengan komoditi berupa hak
yang bersifat permanen atau selamanya, seperti pembelian manfaat
berupa hak melintas, hak membangun, dan hak mengalirkan air.16
Jadi, dari beberapa penjelasan di atas ada terdapat empat belas macam
jual beli yang terdiri dari Bai’ Musyahadah, Bai’ Maushuf fi Dzimmah, Bai’
Ghaib , Bai’ Mu’athah, Bai’ Murabahah, Bai’ Taqsith, Bai’ Urbun, Bai’
Jizaaf, Bai’ Muzayadah, Bai’ Istijrar, Bai’ Istishna’, Bai’ Araya, Bai’ Sharfi,
Ba’ Huquq.
D. Ketentuan Jual Beli dalam Islam
Jual beli adalah akad yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Selama
seseorang masih berinteraksi dengan sesama, dia dapat dipastikan pernah
melakukan transaksi atau akad jual beli ini, baik sebagai penjual atau pembeli.
Di dalam karya para ulama Fikih terdahulu, pembahasan jual beli umumnya
selalu berada di bagian awal Fikih Muamalah sementara Fikih Ibadah lebih
dahulu dijelaskan di bagian sebelumnya. Hal itu dikarenakan bab jual beli
merupakan pembahasan yang mendasar, luas, dan memiliki banyak macam
atau ragamnya. Berdasarkan hal itu, sejumlah ahli Fikih membuat judul untuk
pembajasan jual beli ini dengan menggunakan kata bentuk plural.
Adapun dalil dibolehkannya akad jual beli dalam Fikih didasarkan kepada
beberapa sumber, baik Al-Qur’an maupun hadits, antara lain Firman Allah
Swt:
ۗ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الر ِّٰب‬
‫وا‬
Yang artinya :
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-
Baqarah: 275)

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َرا‬
‫ض ِّم ْن ُك ْم‬
ٍ
16
Tim Laskar Pelangi, Metodologi.,12-25.

13
Yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Di dalam kedua ayat Al-Qur’an ini, Allah Swt dengan tegas dan jelas sekali
memperbolehkan dan menghalalkan jual beli. Di dalam ayat tersebut dijelaskan
bahwa jual beli yang merupakan akad paling mendasar dalam perniagaan
adalah cara yang benar ketika seseorang menginginkan atau menggunakan
harta orang lain.17
Adapun di dalam haditsnya, Rasulullah Saw juga banyak menjelaskan
tentang syariat akad jual beli ini. Suatu hari Rasulullah Saw pernah ditanya:
“pekerjaan apakah yang paling halal?” beliau menjawab:”pekerjaan seseorang
dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang dibaikkan”. (HR. Imam Al-
Bazzar). Jual beli yang dibaikkan maksudnya adalah jual beli yang tidak ada
tipu menipu, tidak ada gharar dan sesuai aturan hukum fikih.
Jadi, berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw tersebut,
dapat kita pahami bahwa hukum daripada jual beli itu sendiri ialah boleh atau
halal. Dan juga para Ulama telah ber-ijmak tentang hukuk bolehnya jual beli.
Dari segi sosial kemasyarakatan, setiap manusia pasti memerlukan jual beli ini.
Dengan jual beli yang benar dan sesuai aturan syariat, kehidupan manusia
dapat berjalan dengan dinamis dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan
mudah.

17
Pudjihardjo, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, (Malang: UB Press, 2019) hlm. 25-26

14
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan
hak milik dengan mendapatkan benda lainnya sebagai gantinya dengan tujuan
untuk mencari keuntungan (laba) dengan jalan yang dibolehkan oleh syara‟.
Mazhab Hanafi menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu, yakni ijab.
Menurut mereka, yang paling prinsip dalam jual beli adalah saling rida dengan
kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka, jika telah terjadi ijab, di situ
jual beli telah dianggap berlangsung. Tentunya dengan adanya ijab, pasti
ditemukan hal-hal yang terkait dengannya, orang yang berakad, obyek jual beli
dan nilai tukarnya
Secara ringkas rukun jual beli yang ideal yaitu adanya kedua belah pihak
yang melakukan transaksi jual beli, adanya barang yang menjadi transaksi
jual beli dan lafadz dalam transaksi jual beli tersebut. Adapun syarat jual beli
ialah:
a. Ada orang yang melakukan akad atau al-muta’aqidain (penjual dan
pembeli),
b. Ada sighat (lafal ijab dan qabul).
c. Ada barang yang dibeli.
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
Kemudian terdapat empat belas macam jual beli yang terdiri dari Bai’
Musyahadah, Bai’ Maushuf fi Dzimmah, Bai’ Ghaib , Bai’ Mu’athah, Bai’
Murabahah, Bai’ Taqsith, Bai’ Urbun, Bai’ Jizaaf, Bai’ Muzayadah, Bai’
Istijrar, Bai’ Istishna’, Bai’ Araya, Bai’ Sharfi, Ba’ Huquq.
Terakhir hukum daripada jual beli itu sendiri ialah boleh atau halal. Dan
juga para Ulama telah ber-ijmak tentang hukuk bolehnya jual beli. Dari segi
sosial kemasyarakatan, setiap manusia pasti memerlukan jual beli ini. Dengan
jual beli yang benar dan sesuai aturan syariat, kehidupan manusia dapat
berjalan dengan dinamis dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan mudah.

15
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang

pembahasan makalah diatas.

16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahuti. Kasysaf al-Qina, Jilid II, Dar al-Fikr, Beirut.
Al- Fauzan, Salih. 2006. Fiqh Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani.
Dewi, Gemala. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media
Djuwaini, Dimyauddin Pengantar Fiqih Muamalah, 79.
Djazuli, A Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah, 2002. alih bahasa Tajul Arifin,
Achmad Suhirman, Djuhudijat Ahmad S., Deding Ishak Ibnu Suja, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Islam, Kiblat Umat Press,Bandung
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hasbi. 2009. Hukum-Hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan
Bintang
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Mas’ud, Ibnu. 1999. Fiqih Madzahb Syafi’i Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat,
Jinayat. Bandung: CV. Pustaka Setia
Sabiq, Sayid. 1987. Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki,
Terjemah Fikih Sunnah, Jilid XII. Al-Ma‟arif, Bandung
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Pranada
Media Group
Pudjihardjo. 2019. Fikih Muamalah Ekonomi Syariah. Malang: UB Press
Yazid, M Afandi. 2009. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga
Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka
Zainudin, Muhamad Jamhari. 1999. Al-Islam 2. Bandung: CV. Pustaka Setia,

17

Anda mungkin juga menyukai