Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENGANTAR EKONOMI ISLAM

RIBA DAN BUNGA

Dosen Pengampu : Mohamad Toha, ME

Disusun Oleh : Kelompok 11


Dwi Novitasari 20221700229009
Yevi Dwi Lestari 20221700229031
Muhammad Alfarizi W.K 20221700229017
Muhammad Zainul Arifin 20221700229020

Prodi Ekonomi Syariah


Fakultas Syariah
Institut Pesantren KH. Abdul chalim
Tahun Ajaran 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah Swt.
Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang tiada hentinya memberikan rahmat dan
hidayah-Nya serta kesehatan dan kekuatan khususnya kepada penulis, sehingga dapat
terselesaikannya Makalah Ekonomi Islam ini yang berjudul “Riba dan Bunga”. Shalawat serta
salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw. Kepada keluarga,
para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga kita mendapatkan syafaatnya
nanti di akhirat kelak.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa dalam penyususnan Makalah ini tidak sedikit
rintangan atau tantangan serta kesulitan yang dihadapi. Akan tetapi dengan bantuan serta
bimbingan, yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah ini. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dan
tak lupa dosen pengampu Ekonomi Islam yaitu Bapak Mohamad Toha, ME.
Penulis berharap semoga Makalah ini, sapat memberikan manfaat yang sebesar besarnya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Tentu penulis sangat mengharapkan masukan berupa
saran dan kritik yang krontruktif dari pembaca demi penyempurnaan Makalah ini.
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
Latar Belakang......................................................................................................................................4
Rumusan Masalah.................................................................................................................................4
Tujuan Pembelajaran...............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
1. Definisi Riba....................................................................................................................................6
2. Jenis-Jenis Riba............................................................................................................................7
3. Jenis Barang Ribawi........................................................................................................................8
4. Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim...................................................................................10
5. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah................................................................................11
6. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba.........................................................................................15
BAB III.....................................................................................................................................................21
KESIMPULAN........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Riba adalah pertambahan atau kelebihan yang diberikan oleh pihak yang
meminjamkan uang kepada pihak yang meminjam, atas dasar kesepakatan untuk
mendapatkan tambahan tersebut. Riba ini dilarang dalam agama Islam karena
dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap orang yang membutuhkan dana, dan
juga dapat menciptakan ketidakadilan di masyarakat.
Sedangkan bunga adalah imbalan atau kompensasi yang diberikan oleh pihak
yang memberikan pinjaman kepada pihak yang meminjamkan uang, atas dasar
kesepakatan yang dibuat. Bunga ini dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar dalam
sistem keuangan konvensional, namun juga menjadi masalah dalam pandangan
agama Islam karena dapat dianggap sebagai bentuk riba.
Konsep riba dan bunga telah ada sejak zaman dahulu kala dan menjadi perdebatan
di antara para ahli ekonomi dan teolog agama. Dalam pandangan agama Islam, riba
dianggap sebagai salah satu dosa besar yang dapat membahayakan kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, riba dilarang dalam Islam.
Sementara itu, dalam sistem keuangan konvensional, bunga dianggap sebagai
imbalan yang adil dan wajar bagi pemberi pinjaman. Namun, di sisi lain, bunga juga
dapat menciptakan ketidakadilan di masyarakat, terutama bagi orang-orang yang
tidak mampu membayar bunga yang tinggi.
Dalam konteks global, isu riba dan bunga juga sering menjadi perdebatan di
antara negara-negara berkembang dan negara maju, terutama dalam hal utang dan
bunga yang diberikan oleh negara maju sangat berat dan memberatkan bagi keuangan
mereka.
Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep riba dan bunga secara lebih
mendalam, baik dari perspektif agama maupun dari perspektif ekonomi, sehingga kita
dapat membuat keputusan yang bijak dalam memilih opsi keuangan yang tepat.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan riba dan bunga?


2. Apa saja yang dimaksud dengan jenis-jenis riba?
3. Apa sajakah yang termasuk dalam katagori barang ribawi?
4. Bagaimana konsep riba dalam perspektif agama nonmuslim?
5. Bagaimana tahapan larangan riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah?
6. Apa sajakah alasan yang dapat membenarkan pengambilan riba?
7. Bagaimana dampak negatif riba bagi ekonomi?
Tujuan Pembelajaran

Tujuan dibuatnya makalah riba dan bunga adalah sebagai berikut :


- Memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep riba dan bunga
dalam pandangan agama Islam dan sistem keuangan konvensional.
- Menjelaskan implikasi dan dampak dari penggunaan riba dan bunga dalam
kehidupan sehari-hari, baik dari sisi individu maupun masyarakat secara
keseluruhan.
- Memberikan informasi tentang alternatif sistem keuangan yang bebas riba dan
bunga, seperti sistem keuangan syariah, dan bagaimana sistem ini dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghindari riba dan
bunga dalam kehidupan finansial mereka.
- Memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai isu global terkait riba dan
bunga dalam hubungan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang, dan
bagaimana peran sistem keuangan dapat membantu mengatasi masalah ini.
- Dengan demikian, tujuan makalah ini adalah untuk memberikan informasi yang
bermanfaat dan dapat membantu pembaca untuk memahami konsep riba dan
bunga secara lebih mendalam, serta memberikan pandangan alternatif mengenai
sistem keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Riba

Riba menurut bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang


(annumuw), meningkat (al-irtifa ) dan membesar (al-uluw). Dengan kata lain, riba
adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman
pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena
menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu
tertentu.

Menurut al-Razi, riba yaitu tambahan. Hal ini dilatar belakangi dengan
sebuah ungkapan rabā al-syay‟ yarbū; arbā al-rajul idzā „amala fī al-ribā. Di
samping itu juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]:5, yang mana dalam ayat ini arti
kata riba adalah bertambahnya kesuburan atas tanah. 1 Dapat dilihat juga dalam
QS. al-Nahl [16]:92 yang artinya (…disebabkan adanya satu golongan yang lebih
banyak jumlahnya (arba) dari golongan yang lain…). Sama halnya dengan al-
Razi, al-Shabuni juga berpendapat bahwa riba adalah tambahan secara mutlak. 2
Demikian juga dengan al-Jurjani dalam kitab alTa„rīfāt-nya menjelaskan bahwa
riba secara bahasa bermakna ziyādah (tambahan).3

Menurut Quraish Shihab sendiri, kata riba dari segi bahasa memiliki arti
“kelebihan”. Para penentang riba pada masa nabi memiliki logika dapat
dibenarkan jika kita hanya fokus kepada arti kebahasaan riba ini. Pada waktu itu
mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama saja
dengan riba” (QS. al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan tegas
bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. logika ini
dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, tetapi dapat dipastikan
bahwa tentu memiliki alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli
dihalalkan.4

Secara terminologis, menurut al-Shabuni, riba adalah tambahan yang


diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perumbangan dari masa
1
Iman Fahruddin al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātīh al-Ghaib, jilid 7-8, Beirut: Dār al-Kutub al- „Ilmiyyah, t.tt.,
hlm. 75.
2
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, t.tt.,
hlm. 383.
3
Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 109.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit
Mizan, 1998, hlm. 413
(meminjam).5 Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau kelebihan
yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang berakad. 6 Sementara
Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-Arba„ah menjelaskan
bahwa riba menurut istilah fukaha adalah tambahan pada salah satu dua barang
yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan terhadap tambahan tersebut. 7
Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu
yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan
terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan
atau salah satunya.8

Sementara itu terdapat pula pengertian serupa yang disampaikan oleh


beberapa ulama antara lain, Badruddin al-Ayni yang berpendapat bahwa prinsip
utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari‟ah, riba berarti penambahan
atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis asli.9 Sementara Imam Sarakhsi
dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa riba adalah tambahan yang disyaratkan
dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut.10 Menurut Zaid bin Aslam, yang dimaksud riba
Jahiliyyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu merupakan
seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata,
“bayar sekarang atau tambah”.11 Dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu
melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas
penambahan waktu yang diberikan”.12
2. Jenis-Jenis Riba

Riba terbagi menjadi 4 macam, yaitu Riba Nasi,ah, Riba Yadh, Riba Qardhi,
dan Riba Fadhal.

a. Riba Fadhal, yaitu riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang
sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda. Atau dapat diartikan
tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kwalitas berbeda yang
disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
contoh : tukar menukar emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan
beras dan sebagainya.
5
al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān...
6
al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt.
7
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh „alā Madzāhib al-Arba„ah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 193- 198
8
al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 403-404
9
Lihat Badruddin Al-Ayni, „Umdah al-Qārī, Konstantinopel: Mathba„ah al-Amira, vol V, 1310, hlm. 436
10
Lihat al-Mabsuth, vol. XII, hlm. 109
11
al-Qurthubi, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz IV, Kairo: Dār al-Katib al-„Arabi, 1387/1967, hlm. 202; al-Thabari,
Jāmi„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz VII, Mesir: Musthafā al-Bābi al-Halabi, 1388/1968, hlm. 204.
12
Lihat Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, I„lām al-Muwaqi„īn, jilid 2, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t, hlm. 132.
b. Riba Yad, yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang
yang dibelinya dari sipenjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapapun,
sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang
pertama Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang
atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Atau
dapat diartikan pula sebagai orang yang membeli suatu barang, kemudian
sebelum ia menerima barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada
orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih dalam ikatan
dengan pihak pertama.

c. Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang
disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh : Aminah
meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya
tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apa bila terlambat 1 tahun,
maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan
melambatkan pembayaran satu tahun.

d. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau
tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi
mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada
Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.

3. Jenis Barang Ribawi

Ketiga jenis barang ribawi adalah riba yang berasal dari jenis “jual beli”
barang ribawi. Diambil dari kitab Manhaju al-Thulab, sebagai berikut: ‫إنما يحرم في‬
‫ نقد وماقصد لطعم تقوتا أوتفكها أوت]]داويا‬Artinya: “Sesungguhnya riba diharamkan dalam
emas, perak (nuqud), dan bahan pangan yang berfaedah sebagai sumber kekuatan,
lauk pauk dan obat-obatan.”13

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa riba dilarang dalam jual beli


barang yang terdiri atas emas, perak, dan bahan makanan. Oleh karena itu, emas
dan perak (nuqud) serta bahan makanan dikenal dengan istilah barang ribawi,
yaitu barang yang dapat mengakibatkan terjadinya akad riba bila terjadi kelebihan
dalam salah satu pertukarannya (jual belinya). Nuqud adalah barang yang terdiri
atas emas (dzahab) dan perak (fidlah). Kadang ia dicetak dalam bentuk mata uang
logam (fulûs), dan kadang pula dicetak dalam rupa perhiasan (huliyyun) atau
emas batangan (tibrun). Masing-masing rupa emas dan perak ini, adalah sama-

13
Syekh Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawy, Manhaju al-Thulâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum,
tt.: 1/161
sama merupakan barang ribawi. Oleh karena itu berlaku akad ribawi bila
bertransaksi dengannya.

Sifat ribawi mata uang logam (fulûs) ini ditentukan oleh sifat fisiknya
sebagai barang berharga (jauhariyatu al-atsmân). Untuk mengetahui sifat fisik
mata uang ini, kita bisa membuat sebuah perumpamaan bahwa jika suatu ketika
kita melebur kembali uang tersebut sehingga kembali ke bentuk dasarnya berupa
lantakan emas atau perak yang menghilangkan sifat alat tukarnya sebagai mata
uang. Hasilnya, meskipun uang tersebut telah kehilangan nilai tukar, namun ia
tetap berharga disebabkan ia merupakan barang berharga (atsman). Hal tersebut
merupakan alasan mengapa kemudian fulus tetap dimasukkan sebagai barang
ribawi.

Selain emas dan perak, barang ribawi berikutnya adalah bahan pangan.
Maksud dari bahan pangan ini adalah:

‫بأن يكون أظهر مقاصده الطعم وإن لم يؤكل نادرا كالبلوط‬

Artinya: “Bahan yang sebagian besar dimaksudkan untuk tujuan pangan,


meskipun jarang dikonsumsi, contoh: buah-buahan.”14

Dalam teks hadits disebutkan bahwa pada dasarnya bahan pangan yang
masuk kelompok ribawi ada tiga, yaitu:

1. Gandum: baik gandum merah (burr) maupun gandum putih (sya’îr), Bur
dan sya’îr, keduanya dianggap mewakili fungsi sebagai sumber kekuatan
pokok (taqawwut). Dari keduanya kemudian muncul penyamaan hukum
terhadap beberapa jenis bahan makanan lain, seperti beras dan jagung dan
kacang-kacangan (al-fûl).

2. Kurma (al-tamr). Kurma ini mewakili kelompok lauk-pauk (taaddum),


camilan (tafakkuh), dan manisan (tahalla) karena ia bukan termasuk makanan
pokok. Ia hanya berperan sebagai sumber makanan sekunder. Dari kurma ini
selanjutnya muncul penyamaan hukum terhadap anggur (zabib) dan buah tiin
dan tebu.

3. Garam (al-milhu). Fungsi dari garam ini pada dasarnya untuk membaguskan
(li al-ishlaahi). Dari peran membaguskan ini, maka ditarik persamaan hukum
untuk bahan-bahan yang berperan sebagai obat-obatan (tadâwa), seperti
za’farân dan jahe-jahean.

14
Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum,
tt., Juz 1 Hal. 161
4. Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim

Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai


kalangan di luar Islam pun memandang serius per-soalan ini. Masalah riba telah
menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri
mengenai riba.

1. Konsep riba dalam prespektif agama samawi


Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai
kalangan di luar agama Islam yaitu agama Samawi (Kristen & Yahudi),
memandang serius persoalan ini, karenanya kajian terhadap riba telah menjadi
bahan bahasan kalangan agama Samawi. Sistem bunga dalam suatu transaksi
sudah menjadi polemik di kalangan Filosofi Yunani dan Romawi. Menurut
Plato (427-347 SM), bunga merupakan alat eksploitasi kaum kaya terhadap
kaum miskin. Bahkan sistem bunga menjadi penyebab perpecahan dalam
masyarakat. Bagi Aristoteles (384-322 SM), fungsi uang adalah sebagai alat
tukar - menukar dan bukan alat menghasilkan tambahan melalui bunga.

2. Konsep riba dalam prespektif agama yahudi


Agama Yahudi melarang implementasi sistem bunga. Bahkan mengecam
keras sistem tersebut dalam transaksi apa pun, seperti yang termuat dalam
kitab-kitab Yahudi sebagai berikut
- Kitab Eksodus (Keluaran) pasal22 ayat 25
- Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19
- Kitab Levicitus (Imamat) pasal35 ayat 7

3. Konsep riba di dalam kalangan agama Nasrani


Kitab perjanjian barn tidak menyebutkan pennasalahan itu secara jelas
akan tetapi sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang
terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik
pengambilan bunga, dimana ayat tersebut berbunyi: "Dan jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima
sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun ;
meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sarna
banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan , balasan, maka upahmu akan besar
dan kamu akan menjadi anakanak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia
baikterhadap orangorang tidak tabu berterima kasih dan terhadap orang-orang
jahat."15

15
Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:Gema Insani
5. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Dalam Alquran, riba disebut delapan kali dalam empat surah yang
berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39 surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah
al-Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah li ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-
Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278
surah al- Baqarah. Keempat surah tersebut secara kronologis
menggambarkan empat tahapan pengharaman riba dalam Alquran.
Kronologi analsisnya adalah sebagai berikut :
1. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 yang berbunyi :

‫َو َم ٓا َء اَتْيُتم ِّم ن ِّرًبا ِّلَيْر ُبَو ۟ا ِفٓى َأْم َٰو ِل ٱلَّناِس َفاَل َيْر ُبو۟ا ِع نَد ٱِهَّللۖ َو َم ٓا َء اَتْيُتم ِّم ن َزَكٰو ٍة ُتِر يُد وَن َو ْج َه‬
‫َٰٓل‬
‫ٱِهَّلل َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلُم ْض ِع ُفوَن‬16

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia


bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)."
(Q.s. al-Rûm [30]: 39).
Pembahasan mengenai riba dalam ayat 39 surah al-Rûm yang
termasuk kategori ayat-ayat Makiyyah itu menyimpan sebuah
indikasi mengenai betapa urgennya masalah riba ini. Secara
eksplisit ayat tersebut menyatakan bahwa riba tidak berimplikasi pada
perolehan pahala. Berbeda dengan zakat yang bila ditunaikan semata-mata
untuk menggapai ridha Allah, pasti pelakunya akan mendapatkan
pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt.17
2. Dalam surat An-Nisa' ayat 160-161 yang berbunyi :

١٦٠ ۙ‫َفِبُظۡل ٍم ِّم َن اَّلِذ ۡي َن َهاُدۡو ا َح َّرۡم َنا َع َلۡي ِهۡم َطِّيٰب ٍت ُاِح َّلۡت َلُهۡم َو ِبَص ِّد ِهۡم َع ۡن َس ِبۡي ِل ِهّٰللا َك ِثۡي ًرا‬
١٦١ ‫َّو َاۡخ ِذِهُم الِّر ٰب وا َو َقۡد ُنُهۡو ا َع ۡن ُه َو َاۡك ِلـِهۡم َاۡم َو اَل الَّناِس ِباۡل َباِط ِل ؕ َو َاۡع َتۡد َنـا ِلۡل ـٰك ِفِرۡي َن ِم ۡن ُهۡم َع َذ اًبا َا ِلۡي ًم ا‬

“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan


atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan

16
surat-ar-rum-ayat-39
17
Mujar Ibnu Syarif, Konsep Riba dalam Alqur’an
dan Literatur Fiqih, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 2, Juli
2011, h. 295
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.” (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 160-161).
Ayat tersebut menjelaskan tentang adanya semacam
hukuman Tuhan terhadap kaum Yahudi, sehingga mereka tidak
diperbolehkan lagi mengonsumsi beberapa jenis makanan
tertentu yang semula dihalalkan bagi mereka. Menurut Ibn Katsîr,
pengharaman yang dimaksud pada ayat tersebut terjadi dalam dua
kategori. Pertama, pengharaman secara qadariyya-n, yakni
pengharaman yang berdasar dari ulah mereka sendiri yang melakukan
pengubahan terhadap
makanan-makanan halal tertentu yang semula dihalalkan Allah menjadi
haram menurut versi mereka sendiri, seperti daging dan susu onta.
dalam kategori kedua, yakni pengharaman secara syar‘iyya-n, yaitu
pengharaman beberapa jenis makanan tertentu yang semula dihalalkan bagi
mereka yang sengaja ditetapkan-Nya dalam kitab Taurat.

3. Dalam surat Al-‘Imran ayat 130 yang berbunyi :

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلوا الِّر ٰب ٓو ا َاْض َع اًفا ُّم ٰض َع َفًةۖ َّو اَّتُقوا َهّٰللا َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َۚن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 130).
Dalam menafsirkan penggalan ayat 130 surah Âli ‘Imrân yang
berbunyi: ً ‫ َااَفْض عًَأاَع َفُةضم‬di kalangan para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Satu pendapat menyatakan, riba yang hanya
dalam kadar yang sedikit saja atau yang tidak tergolong ً‫ َااَفْض عًَأاَع َفُةضم‬,
hukumnya halal. Di kalangan mufassirîn, pendapat senada ini antara lain
dianut oleh Muhammad ‘‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ.(fn7)
Pendapat
semacam ini, menurut ‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd merupakan
pendapat yang keliru (hâdzâ al-qawl al-bâthil ).18
Menurut Sayyid Quthb, penggalan ayat 130 surah Âli ‘Imrân yang
berbunyi: ً‫ َااَفْض عًَأاَع َفُةضم‬merupakan sebuah sifat yang lazim melekat
pada riba. Karena itu, meskipun ditetapkan dalam kadar yang sedikit saja,
secara natural seiring bertambahnya waktu, riba yang sedikit itu lama-kelamaan,
pasti akan berubah menjadi berlipat ganda juga. 19 Bila pendapat

18
‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd, Fiqh al-Ribâ Dirâsah Muqâranah wa Syâmilah li Tathbîqât al-
Mu‘ashirah, Footnote No. 2, h. 78.
19
Sayyid Quthhb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (t.tp: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid IV, h. 74.
Quthb ini diterima, maka riba tetap haram hukumnya, baik dalam kadar yang
sedikit maupun dalam kadar yang berlipat ganda.
4. Dalam surat al-Baqarah ayat 278-280 yang berbunyi :

‫َي ا َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو َذ ُروا َم ا َبِقَي ِمَن الِّر َب اِإن ُك نُتم ُّمْؤ ِمِنيَنَفِإن َّلْم َت ْف َع ُلوا َف ْأَذ ُنوا ِبَح ْر ٍب ِّم َن ِهَّللا‬
ۚ‫َو َر ُسوِلِهۖ َو ِإن ُتْب ُتْم َف َلُك ْم ُرُءوُس َأْم َو اِلُك ْم اَل َت ْظ ِلُموَن َو اَل ُتْظ َلُم وَن َو ِإن َك اَن ُذ و ُعْس َر ٍة َفَن ِظ َر ٌة ِإَلٰى َم ْي َس َر ٍة‬
‫َو َأن َت َص َّد ُقوا َخ ْيٌر َّلُك ْم ۖ ِإن ُك نُتْم َت ْع َلُموَن‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 275-280).20
Ayat tersebut merupakan ayat terakhir tentang riba yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Ayat tersebut paling sedikit berisi
penjelasan tentang tiga dampak negatif dari riba. Pertama, riba menjadikan
pelakunya laksana orang yang kerasukan setan, sehingga tidak dapat lagi
membedakan antara yang hak dengan yang bâthil, seperti tidak dapat
membedakan jual-beli yang jelas-jelas halal dengan riba yang nyata-nyata
haram. Kedua, dalam riba terdapat unsure zhulm (penindasan terhadap
orang lain) yang tidak ada pada jual-beli. Karena itu, jual-beli halal,

20
Q.s. al-Baqarah [2]: 275-280
sementara riba haram dilakukan. Ketiga, pada hari Kiamat nanti pemakan
riba akan mendapat siksa yang kekal abadi dalam neraka.

Larangan riba dalam al-sunnah

Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Quran melainkan
juga al-Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits berfungsi untuk menjelaskan
lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Quran, pelarangan riba dalam
hadits lebih terinci. Banyak hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya
adalah:

‫َأْخ َبَرِني َعْو ُن ْبُن َأِبي ُج َح ْيَفَة َقاَل َر َأْيُت َأِبي اْش َتَر ى َح َّجاًم ا َفَأَم َر ِبَم َح اِج ِمِه َفُك ِسَر ْت َفَس َأْلُتُه َع ْن َذ ِلَك َقاَل ِإَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم َنَهى َع ْن َثَمِن الَّد ِم َو َثَمِن اْلَك ْلِب َو َكْس ِب اَألَم ِة َو َلَع َن اْلَو اِش َم َة َو اْلُم ْسَتْو ِش َم َة َو آِكَل الِّر َبا َوُم وِكَلُه َو َلَع َن اْلُمَصِّو َر‬

Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang


budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari tubuh),
ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya
kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menerima uang dari transaksi darah,
anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pembuat tato
dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para
pembuat gambar.”21

‫َح َّد َثَنا َع ْبُدالَّرْح َمِن ْبُن َأِبي َبْك َر َة َع ْن َأِبيِه َرِض ي هَّللا َع ْنهم َقاَل َنَهى الَّنِبُّي َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ِن اْلِفَّض ِة ِباْلِفَّض ِة َو الَّذ َهِب ِبالَّذ َهِب‬
‫ِإال َس َو اًء ِبَس َو اٍء َو َأَم َر َنا َأْن َنْبَتاَع الَّذ َهَب ِباْلِفَّض ِة َكْيَف ِش ْئَنا َو اْلِفَّض َة ِبالَّذ َهِب َكْيَف ِش ْئَنا‬

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata,


“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang penjualan emas dengan emas
dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual
emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita."22

‫َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخْد ِر ِّي َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم الَّذ َهُب ِبالَّذ َهِب َو اْلِفَّض ُة ِباْلِفَّض ِة َو اْلُبُّر ِباْلُبِّر َو الَّشِع يُر ِبالَّشِع يِر‬
‫َو الَّتْم ُر ِبالَّتْم ِر َو اْلِم ْلُح ِباْلِم ْلِح ِم ْثال ِبِم ْثٍل َيًدا ِبَيٍد َفَم ْن َز اَد َأِو اْسَتَز اَد َفَقْد َأْر َبى اآلِخ ُذ َو اْلُم ْع ِط ي ِفيِه َس َو اٌء‬

Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu


'alaihi wa sallam bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa
memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan
denga riba. Penerima dan pemberi statusnya sama (berdosa)."23

‫َع ْن َج اِبٍر َقاَل َلَع َن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم آِكَل الِّر َبا َوُم ْؤ ِك َلُه َو َك اِتَبُه َو َش اِهَد ْيِه َو َقاَل ُهْم َس َو اٌء‬

21
Shahih al-Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu’
22
Shahih al-Bukhari no. 2034, kitab Al-Buyu’
23
Shahih Muslim no. 2971, dalam kitab Al-Masaqqah
Jabir berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk
orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu
semuanya sama."24

‫ الِّربَا َثَالَثٌة َو َس ْبُعْو َن َبابًا َأْيَس ُرَها ِم ْثُل َأْن َيْنِكَح الَّرُجُل ُأَّم ُه‬: ‫َر َو ى اْلَح اِكُم َع ِن اْبْن َم ْس ُعْو د َأَّن الَّنِبَّي َقاَل‬

Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi Shallallahu


'alaihi wa sallam bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang
paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan
ibunya!”

Rasulullah mengutuk dan menganggap sebagai orang tidak waras kepada


orang- orang yang terlibat dalam riba, baik melalui utang piutang, jual beli yang
bermaksud agar hartanya bisa bertambah, orang yang mewakili dalam transaksi
riba, menulis atau menjadi saksinya. Riba dimasukkan sebagai salah satu dari
tujuh dosa besar yang harus dijauhi. Riba disepadankan dengan syirik, sihir,
membunuh, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh wanita
baik-baik melakukan zina. Baik Al-Quran maupun Hadis nabi mengharamkan
riba, bahkan dalam hadis dijelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam riba
dilaknat oleh Rasulullah.

6. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba

Dalam hal ini terdapat beberapa alasan yang dapat diterima dalam
pengambilan riba, diantaranya adalah :25
a.Darurat

“ ...Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang dia(1)


tidak menginginkan dan (2) tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-
Baqarah: 173)

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus


sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fqhiyah
seputar kadar darurat.

Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah, “Darurat itu
harus dibatasi sesuai kadarnya.” Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta
ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau
24
Shahih Muslim no. 2995, kitab Al-Masaqqah
25
arp-rabban.alasan-pembenaran-pengambilan-riba
ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga
seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh
melampaui batas hinga tujuh suap atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang
dan dibagi-bagikan kepada tetangga.

b.Berlipat ganda

Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat
ganda dan membertkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.
Surat Ali Imran:130 memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan
tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya
dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap
fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan didapat kesimpulan bahwa riba
dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan. Kriteria berlipat ganda
dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali
bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba,
jika kecil maka tidak riba.
· Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqh
Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia
menjelaskan secara linguistik() arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali
lebih besar dari semula, sedangkan() adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi.
Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian () berarti 3x2=6 kali. Adapun () dalam
ayat adalah ta’kid () untuk penguatan.

Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat


maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%.
Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses
perbankan maupun simpan pinjam.
c.Badan hukum dan hukum taklif

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan
disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada
hanyalah individu-individu. Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik
dari sisi historis maupun teknis.
a. Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan
hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan
lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata
lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut
sebagai juridical personality atau syahsyiyah hukmiyah. Juridical personality ini
secara hukum adalah sah mewakili individu-individu secara keseluruhan.26

26
arp-rabban.alasan-pembenaran-pengambilan-riba
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan
mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar
narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi,
mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga
mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan
bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif
karena bukan insan mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga
dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga
rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir
dalam skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente m,eliputi
provinsi, negara bahkan global.
7. Dampak Negatif Riba

a. Kehancuran Ekonomi dalam Al-Qur’an


Muhammad Baqir As-Sadr berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul
karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi
yang memperbolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah,
yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya, sedangkan yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga yang lemah menjadi sangat
miskin, karena itu masalah ekonomi muncul ditambah dengan keserakahan
manusia yang sangat serakah.27 Al-Qur’an menjelaskan
efek-efek negatif tersebut dalam ayat-ayat yang termaktub didalamnya.
.
 Tidak Produktif (Malas Bekerja)
Seorang Muslim hendaklah produktif tidak bermalas malasan
dalam pekerjaannya Al-Syai bani mendefinisikan Al-Kasb sebagai mencari
perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. 28 Dalam pandangan Islam
aktifitas produktif merupakan bagian dari
kewajiban ‘imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran sementara
untuk semua makhluk, berkenaan dengan hal tersebut Al-Syaibanȋ
menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi,
mempunyai kedudukan yang sangat penting dakam kehidupan, karena
menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah, dan karenanya hukum
bekerja adalah wajib.

 Penimbunan, Monopoli Memicu Kenaikan Harga


Pengeluaran yang berlebihan dilarang, penimbunan simpanan
dikecam secara tegas dala Al-Qur’an dan As-Sunnah, sumberdaya yang
sudah disediakan Allah harus dipergunakan dalam batasan batasan yang
ditetapkan Allah yang bisa bermamfaat untuk pribadi dan orang lain.
27
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, cet. II, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, hal.
28
Adiwarman Anwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal.
234
Islam mengharamkan penimbunan maka islam mengharamkan
monopoli yang merupakan salah satu dari dua unsur dari penopang
kapitalisme yang satunya lagi adalah ribâ. Yang dimaksud dengan monopoli
adalah menahan barang untuk
tidak beredar di pasar supaya naik harganya, jika praktek ponopoli tersebut
dijalankan secara kolektif maka akibat dan dosanya akan lebih besar yaitu
para pedangan jenis barang tertentu bersekongkol untuk memonopolinya.29

 Tadlis (Unknow To One Party) dan Ketidak Stabilan Harga


tadlis terjadi karena adanya pedagang yang
mengurangi takaran/timbangan atas barang yang dijualnya, secara kualitas,
tadlis terjadi disebabkan oleh adanya ketidakjujuran yang
menyembunyikan cacat barang yang ditawarkan, demikian pula dengan
tadlis yang dapat terjadi dalam kategori harga, di mana adanya penaikan
harga barang yang tidak diketahui oleh pembeli yang melebihi harga pasar
atau disebut dengan gaban, dan dilihat dari waktu penyerahan tadlis terjadi
berkenaan dengan perjanjian atas sesuatu yang pada saat kontraknya
memang dimilikinya, tetapi pihak tersebut mengetahui bahwa ia tidak
sanggup untuk melaksanakan perbuatan tersebut sesuai dengan kontraknya
pada saat kontrak tersebut berakhir.30

 Bakhil dan Dampak Negatifnya Terhadap Peningkatan


Ekonomi
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang melarang perbuatan
bakhil, bahwa Allah telah melebihkan seorang hamba denagan
hambalainnya dalam rezki dan kepemilikan harta, Allah memberitau
hambanya bahwa didalam harta yang Allah berikan ada hak orang lain.

 Pemborosan
Islam mengajarkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan hendaknya
secara adil, artinya tidak kurang dan tidak berlebihan dari yang
semestinya. Jangan kikir dan jangan pula boros, pemborosan adalah
perbuatan tercela, dan oleh Allah dikategorikan sebagai saudara setan.
Membelanjakan harta untuk kebutuhan pribadi dan keluarga yang menjadi
tanggungan, dianjurkan dengan ukuran kewajaran.31

b. Eksplotasi dalam Transaksi Bisnis


Salah satu ajaran Islam yang penting untuk menegakkan keadilan dan
menghapus eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah dengan melarang semua
29
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam..., hal. 321
30
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam..., hal. 35
31
Ahmad Azhar Basyir,Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung:
Mizan, 1993, hal. 182
bentuk peningkatan kekayaan secara tidak adil yang mengandung eksploitasi
dalam transaksi bisnis.32

 Penomena Eksploitasi Sistem Ribâ


Alasan mendasar mengapa Al-Qur’an menetapkan ancaman yang
begitu keras terhadap bunga adalah bahwa Islam hendak menegakkan
suatu sistem ekonomi di mana semua bentuk eksploitasi dihapuskan,
terutama ketidakadilan dalam bentuk bahwa penyedia dana dijamin dengan
suatu keuntunga positif tampa bekerja apa pun atau menangung resiko,
sedang pelaku bisnis walaupun sudah mengelola dan bekerja keras, tidak
dijamin dengan keuntungan positif demikian. Islam hendak menegakkan
keadilan antara penyedia dana dan pelaku bisnis.

c.Kerugian dan Kebangkrutan Ekonomi


 Penomena Kehancuran dan Kerugian Ekonomi
Bunga akan menghancurkan kekayaan dan menciptakan krisis
ekonomi. Ini terjadi karena keadaan di mana barang-barang terakumulasi
karena kurangnya daya beli dan rendahnya kecendrungan untuk
mengkonsumsi. Bunga memainkan peran utama dalam menciptakan krisis
ekonomi semacam ini. Sementara “boom” terus berlangsung, sejumlah
uang yang dipinjamkan berdasarkan bunga diinvestasikan pada
perusahaan-perusahaan yang produktif, dan banyak diantaranya yang
memperlihatkan hasil-hasil yang memuaskan.
Optimisme yang berlebihan
akan meningkatkan permintaan dana yang dapat dipinjamkan dan
karenanya juga akan meningkatkan suku bunga. Optimisme akan
menimbulkan berbagai spekulasi, semua ini akan meningkatkan suku
bunga; keuntungan kecil, akan tetapi pada produsen pada keyakinan yang
berlebihan terus-menerus melakukan proses produksi. Lambat laun mulai
timbul menyangkut hasil-hasil yang diramalkan, karena persediaan barang-
barang yang lama dan yang baru diproduksi terus meningkat. Begitu
keraguan itu timbul, ia akan menyebar dengan cepat.33

d. Sistem Batil dan Hambatan Investasi Sektor riil


 Sistem Batil
Sistem bunga adalah sistem yang sangat tidak adil apa bila
dibandingkan dengan jual beli. Dalam jual beli, seorang pengusaha
mempuyai prospek mendapatkan keuntungan, namun ia juga menghadapi
resiko kerugian, sangat berbeda dengan bunga ditentukan didepan secara
32
M. Umer Chapra, Sistem Moniter Islam, diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri dari judul, Towards A Just
Monetary System, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 20
33
Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (Pengantar Ekonomi Syariah), cet. I, Jakarta: PT.
Bustari Buana Murni, 2010, hal. 95
positif dengan mengabaikan hasil akhir usaha bisnis mendapat keuntungan
atau kerugian.
Bunga sangat berbeda dengan keuntunga (profit), perbedaan
tersebut dapat ditinjau dari definisi keduanya menurut ekonomi modern
maupun dari pungsi keduanya menurut matematika ekonomi. Keuntungan
adalah selisih positif antara harga jual (revenue/Pendapatan) dan harga beli
(biaya/cost) sehingga secara matematis didefinisikan sebagai p=TR-TC,
sedangkan bunga merupakan besaran angka yang ditetapkan diawal
perjanjian dalam pinjam meminjam tampa dasar yang jelas sehingga
secara matematis sulit untuk dirumuskan pungsinya atau tidak memiliki
pungsi yang jelas.34

 Hambatan Investasi
Menurut Keynes, suku bunga dapat menghalangi tingkat investasi
dan menghambat laju perkembangan industrialisasi yang dapat
meningkatkan kekayaan nasional suatu negara. Setiap rintangan yang
menghancurkan semangat investasi adalah
suatu kejahatan sosial dan harus dihilangkan. Besarnya suku bunga jika
tidak diawasi akan akhirnya akan menurunkan semangat untuk menanam
investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.35
Turunnya suku bunga hingga mencapai angka yang wajar akan
mampu menciptakan kesempatan investasi yang tak terbatas di berbagai
lapangan industri dan perdagangan di seluruh penjuru dunia.
Seseorang akan melakukan investasi apabila keuntungan riil yang
akan diperoleh lebih besar daripada tingkat bunga pinjaman yang berlaku.
Seandainya keuntungan riil yang akan diperoleh lebuh kecil dari pada
tingkat bunga pinjaman yang berlaku maka tidak akan ada yang mau
menginvestasikan modalnya. Jika hal itu terjadi di seluruh sektor dalam
perekonomian suatu negara memiliki pengembalian investasi (turn over)
lebih kecil dari tingkat bunga yang berlaku di suatu negara, maka dapat
dipastikan tidak akan ada investor yang akan menginvestasikan modalnya,
dengan tidak adanya investor maka roda perekonomian juga tidak bergerak
berakibat pada banyaknya pengangguran.36

34
Huzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 96
35
Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (pengantar Ekonomi Syariah)..., hal. 85
36
uzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 101
BAB III
KESIMPULAN

Riba menurut bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (annumuw),


meningkat (al-irtifa ) dan membesar (al-uluw). Dengan kata lain, riba adalah
penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok
yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena
menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.
Secara terminologis riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari
penghutang sebagai perumbangan dari masa (meminjam). Jenis-jenis riba terbagi
menjadi 4 macam, yaitu Riba Nasi,ah, Riba Yadh, Riba Qardhi, dan Riba Fadhal. riba
dilarang dalam jual beli barang yang terdiri atas emas, perak, dan bahan makanan.
Selain emas dan perak, barang ribawi berikutnya adalah bahan pangan diantaranya
adalah gandum, kurma dan garam.

Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam tetapi juga dalam
kalangan nonmuslim seperti yahudi, yunani dan juga romawi. Dalam Alquran, riba
disebut delapan kali dalam empat surah yang berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39
surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah al-Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah
li ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah
al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278 surah al-Baqarah. Keempat surah tersebut
secara kronologis menggambarkan empat tahapan pengharaman riba dalam Alquran.
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Quran melainkan juga al-
Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut
aturan yang telah digariskan melalui al-Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih
terinci. Banyak hadits yang menguraikan masalah riba.

Terdapa 3 alasan yang dapat diterima dalam pengambilan riba, 3 alasan tersebut
adalah ketika darurat, riba yang berlipat ganda, riba badan hukum dan taklif. Riba
juga memiliki Dampak negatif bagi masyarakat dan kegiatan ekonomi. Diantaranya
dampak negatif tersebut adalah Kehancuran Ekonomi dalam Al-Qur’an, Eksplotasi
dalam Transaksi Bisnis, Kerugian dan Kebangkrutan Ekonomi, dan Sistem Batil dan
Hambatan Investasi Sektor riil.
DAFTAR PUSTAKA

Mansur, T. S. (2016). Efek Negatif Ribâ terhadap Ekonomi dalam Al-Qur’an (Doctoral dissertation,
Institut PTIQ Jakarta).
Lubis, Zulkarnain. "RIBA IN UMMAH ECONOMIC'S LIFE." El-Arbah: Jurnal Ekonomi, Bisnis Dan
Perbankan Syariah 5.1 (2021): 11-18.
Syarif, Mujar Ibnu. "Konsep Riba dalam Alquran dan Literatur Fikih." Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi
Syariah 3.2 (2011): 293-312.
Setyawati, Fitri. "Riba Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan Hadis." Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syariah 3.2 (2017): 257-271.
Ghofur, A. (2016). Konsep Riba dalam Al-qur’an. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 7(1), 1-26.
Budiantoro, Risanda Alirastra, Riesanda Najmi Sasmita, and Tika Widiastuti. "Sistem Ekonomi (Islam)
dan Pelarangan Riba dalam Perspektif Historis." Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 4.01 (2018): 1-13.
Iman Fahruddin al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātīh al-Ghaib, jilid 7-8, Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 75.
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid 1, Beirut: Dār
al-Fikr, t.tt., hlm. 383.
Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 109.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung:
Penerbit Mizan, 1998, hlm. 413
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh „alā Madzāhib al-Arba„ah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 193- 198

al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 403-404

Lihat Badruddin Al-Ayni, „Umdah al-Qārī, Konstantinopel: Mathba„ah al-Amira, vol V, 1310, hlm. 436

Lihat al-Mabsuth, vol. XII, hlm. 109

al-Qurthubi, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz IV, Kairo: Dār al-Katib al-„Arabi, 1387/1967, hlm. 202;
al-Thabari, Jāmi„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz VII, Mesir: Musthafā al-Bābi al-Halabi,
1388/1968, hlm. 204.

Lihat Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, I„lām al-Muwaqi„īn, jilid 2, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t, hlm.
132.

Syekh Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawy, Manhaju al-Thulâb, Kediri: Pesantren Fathul
Ulum, tt.: 1/161

Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:Gema Insani
Mujar Ibnu Syarif, Konsep Riba dalam Alqur’an dan Literatur Fiqih, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 2, Juli
2011, h. 295
Sayyid Quthhb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (t.tp: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid IV, h. 74.

Shahih al-Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu’ Shahih al-Bukhari no. 2034, kitab Al-Buyu’ Shahih Muslim
no. 2971, dalam kitab Al-Masaqqah

Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, cet. II, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, hal.

Adiwarman Anwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004, hal. 234

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam..., hal. 321

Ahmad Azhar Basyir,Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi,
Bandung: Mizan, 1993, hal. 182

M. Umer Chapra, Sistem Moniter Islam, diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri dari judul, Towards A
Just Monetary System, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 20

Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (Pengantar Ekonomi Syariah), cet. I,
Jakarta: PT. Bustari Buana Murni, 2010, hal. 95

Huzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 96

Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (pengantar Ekonomi Syariah)..., hal. 85

uzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 101

‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd, Fiqh al-Ribâ Dirâsah Muqâranah wa Syâmilah li Tathbîqât al-
Mu‘ashirah, Footnote No. 2, h. 78.

Anda mungkin juga menyukai