Dengan mengucap alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah Swt.
Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang tiada hentinya memberikan rahmat dan
hidayah-Nya serta kesehatan dan kekuatan khususnya kepada penulis, sehingga dapat
terselesaikannya Makalah Ekonomi Islam ini yang berjudul “Riba dan Bunga”. Shalawat serta
salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw. Kepada keluarga,
para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga kita mendapatkan syafaatnya
nanti di akhirat kelak.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa dalam penyususnan Makalah ini tidak sedikit
rintangan atau tantangan serta kesulitan yang dihadapi. Akan tetapi dengan bantuan serta
bimbingan, yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah ini. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dan
tak lupa dosen pengampu Ekonomi Islam yaitu Bapak Mohamad Toha, ME.
Penulis berharap semoga Makalah ini, sapat memberikan manfaat yang sebesar besarnya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Tentu penulis sangat mengharapkan masukan berupa
saran dan kritik yang krontruktif dari pembaca demi penyempurnaan Makalah ini.
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
Latar Belakang......................................................................................................................................4
Rumusan Masalah.................................................................................................................................4
Tujuan Pembelajaran...............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
1. Definisi Riba....................................................................................................................................6
2. Jenis-Jenis Riba............................................................................................................................7
3. Jenis Barang Ribawi........................................................................................................................8
4. Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim...................................................................................10
5. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah................................................................................11
6. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba.........................................................................................15
BAB III.....................................................................................................................................................21
KESIMPULAN........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Riba adalah pertambahan atau kelebihan yang diberikan oleh pihak yang
meminjamkan uang kepada pihak yang meminjam, atas dasar kesepakatan untuk
mendapatkan tambahan tersebut. Riba ini dilarang dalam agama Islam karena
dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap orang yang membutuhkan dana, dan
juga dapat menciptakan ketidakadilan di masyarakat.
Sedangkan bunga adalah imbalan atau kompensasi yang diberikan oleh pihak
yang memberikan pinjaman kepada pihak yang meminjamkan uang, atas dasar
kesepakatan yang dibuat. Bunga ini dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar dalam
sistem keuangan konvensional, namun juga menjadi masalah dalam pandangan
agama Islam karena dapat dianggap sebagai bentuk riba.
Konsep riba dan bunga telah ada sejak zaman dahulu kala dan menjadi perdebatan
di antara para ahli ekonomi dan teolog agama. Dalam pandangan agama Islam, riba
dianggap sebagai salah satu dosa besar yang dapat membahayakan kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, riba dilarang dalam Islam.
Sementara itu, dalam sistem keuangan konvensional, bunga dianggap sebagai
imbalan yang adil dan wajar bagi pemberi pinjaman. Namun, di sisi lain, bunga juga
dapat menciptakan ketidakadilan di masyarakat, terutama bagi orang-orang yang
tidak mampu membayar bunga yang tinggi.
Dalam konteks global, isu riba dan bunga juga sering menjadi perdebatan di
antara negara-negara berkembang dan negara maju, terutama dalam hal utang dan
bunga yang diberikan oleh negara maju sangat berat dan memberatkan bagi keuangan
mereka.
Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep riba dan bunga secara lebih
mendalam, baik dari perspektif agama maupun dari perspektif ekonomi, sehingga kita
dapat membuat keputusan yang bijak dalam memilih opsi keuangan yang tepat.
Rumusan Masalah
1. Definisi Riba
Menurut al-Razi, riba yaitu tambahan. Hal ini dilatar belakangi dengan
sebuah ungkapan rabā al-syay‟ yarbū; arbā al-rajul idzā „amala fī al-ribā. Di
samping itu juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]:5, yang mana dalam ayat ini arti
kata riba adalah bertambahnya kesuburan atas tanah. 1 Dapat dilihat juga dalam
QS. al-Nahl [16]:92 yang artinya (…disebabkan adanya satu golongan yang lebih
banyak jumlahnya (arba) dari golongan yang lain…). Sama halnya dengan al-
Razi, al-Shabuni juga berpendapat bahwa riba adalah tambahan secara mutlak. 2
Demikian juga dengan al-Jurjani dalam kitab alTa„rīfāt-nya menjelaskan bahwa
riba secara bahasa bermakna ziyādah (tambahan).3
Menurut Quraish Shihab sendiri, kata riba dari segi bahasa memiliki arti
“kelebihan”. Para penentang riba pada masa nabi memiliki logika dapat
dibenarkan jika kita hanya fokus kepada arti kebahasaan riba ini. Pada waktu itu
mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama saja
dengan riba” (QS. al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan tegas
bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. logika ini
dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, tetapi dapat dipastikan
bahwa tentu memiliki alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli
dihalalkan.4
Riba terbagi menjadi 4 macam, yaitu Riba Nasi,ah, Riba Yadh, Riba Qardhi,
dan Riba Fadhal.
a. Riba Fadhal, yaitu riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang
sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda. Atau dapat diartikan
tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kwalitas berbeda yang
disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
contoh : tukar menukar emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan
beras dan sebagainya.
5
al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān...
6
al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt.
7
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh „alā Madzāhib al-Arba„ah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 193- 198
8
al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 403-404
9
Lihat Badruddin Al-Ayni, „Umdah al-Qārī, Konstantinopel: Mathba„ah al-Amira, vol V, 1310, hlm. 436
10
Lihat al-Mabsuth, vol. XII, hlm. 109
11
al-Qurthubi, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz IV, Kairo: Dār al-Katib al-„Arabi, 1387/1967, hlm. 202; al-Thabari,
Jāmi„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz VII, Mesir: Musthafā al-Bābi al-Halabi, 1388/1968, hlm. 204.
12
Lihat Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, I„lām al-Muwaqi„īn, jilid 2, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t, hlm. 132.
b. Riba Yad, yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang
yang dibelinya dari sipenjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapapun,
sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang
pertama Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang
atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Atau
dapat diartikan pula sebagai orang yang membeli suatu barang, kemudian
sebelum ia menerima barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada
orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih dalam ikatan
dengan pihak pertama.
c. Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang
disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh : Aminah
meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya
tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apa bila terlambat 1 tahun,
maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan
melambatkan pembayaran satu tahun.
d. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau
tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi
mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada
Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
Ketiga jenis barang ribawi adalah riba yang berasal dari jenis “jual beli”
barang ribawi. Diambil dari kitab Manhaju al-Thulab, sebagai berikut: إنما يحرم في
نقد وماقصد لطعم تقوتا أوتفكها أوت]]داوياArtinya: “Sesungguhnya riba diharamkan dalam
emas, perak (nuqud), dan bahan pangan yang berfaedah sebagai sumber kekuatan,
lauk pauk dan obat-obatan.”13
13
Syekh Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawy, Manhaju al-Thulâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum,
tt.: 1/161
sama merupakan barang ribawi. Oleh karena itu berlaku akad ribawi bila
bertransaksi dengannya.
Sifat ribawi mata uang logam (fulûs) ini ditentukan oleh sifat fisiknya
sebagai barang berharga (jauhariyatu al-atsmân). Untuk mengetahui sifat fisik
mata uang ini, kita bisa membuat sebuah perumpamaan bahwa jika suatu ketika
kita melebur kembali uang tersebut sehingga kembali ke bentuk dasarnya berupa
lantakan emas atau perak yang menghilangkan sifat alat tukarnya sebagai mata
uang. Hasilnya, meskipun uang tersebut telah kehilangan nilai tukar, namun ia
tetap berharga disebabkan ia merupakan barang berharga (atsman). Hal tersebut
merupakan alasan mengapa kemudian fulus tetap dimasukkan sebagai barang
ribawi.
Selain emas dan perak, barang ribawi berikutnya adalah bahan pangan.
Maksud dari bahan pangan ini adalah:
Dalam teks hadits disebutkan bahwa pada dasarnya bahan pangan yang
masuk kelompok ribawi ada tiga, yaitu:
1. Gandum: baik gandum merah (burr) maupun gandum putih (sya’îr), Bur
dan sya’îr, keduanya dianggap mewakili fungsi sebagai sumber kekuatan
pokok (taqawwut). Dari keduanya kemudian muncul penyamaan hukum
terhadap beberapa jenis bahan makanan lain, seperti beras dan jagung dan
kacang-kacangan (al-fûl).
3. Garam (al-milhu). Fungsi dari garam ini pada dasarnya untuk membaguskan
(li al-ishlaahi). Dari peran membaguskan ini, maka ditarik persamaan hukum
untuk bahan-bahan yang berperan sebagai obat-obatan (tadâwa), seperti
za’farân dan jahe-jahean.
14
Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum,
tt., Juz 1 Hal. 161
4. Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim
15
Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:Gema Insani
5. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Dalam Alquran, riba disebut delapan kali dalam empat surah yang
berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39 surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah
al-Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah li ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-
Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278
surah al- Baqarah. Keempat surah tersebut secara kronologis
menggambarkan empat tahapan pengharaman riba dalam Alquran.
Kronologi analsisnya adalah sebagai berikut :
1. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 yang berbunyi :
َو َم ٓا َء اَتْيُتم ِّم ن ِّرًبا ِّلَيْر ُبَو ۟ا ِفٓى َأْم َٰو ِل ٱلَّناِس َفاَل َيْر ُبو۟ا ِع نَد ٱِهَّللۖ َو َم ٓا َء اَتْيُتم ِّم ن َزَكٰو ٍة ُتِر يُد وَن َو ْج َه
َٰٓل
ٱِهَّلل َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلُم ْض ِع ُفوَن16
١٦٠ َۙفِبُظۡل ٍم ِّم َن اَّلِذ ۡي َن َهاُدۡو ا َح َّرۡم َنا َع َلۡي ِهۡم َطِّيٰب ٍت ُاِح َّلۡت َلُهۡم َو ِبَص ِّد ِهۡم َع ۡن َس ِبۡي ِل ِهّٰللا َك ِثۡي ًرا
١٦١ َّو َاۡخ ِذِهُم الِّر ٰب وا َو َقۡد ُنُهۡو ا َع ۡن ُه َو َاۡك ِلـِهۡم َاۡم َو اَل الَّناِس ِباۡل َباِط ِل ؕ َو َاۡع َتۡد َنـا ِلۡل ـٰك ِفِرۡي َن ِم ۡن ُهۡم َع َذ اًبا َا ِلۡي ًم ا
16
surat-ar-rum-ayat-39
17
Mujar Ibnu Syarif, Konsep Riba dalam Alqur’an
dan Literatur Fiqih, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 2, Juli
2011, h. 295
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.” (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 160-161).
Ayat tersebut menjelaskan tentang adanya semacam
hukuman Tuhan terhadap kaum Yahudi, sehingga mereka tidak
diperbolehkan lagi mengonsumsi beberapa jenis makanan
tertentu yang semula dihalalkan bagi mereka. Menurut Ibn Katsîr,
pengharaman yang dimaksud pada ayat tersebut terjadi dalam dua
kategori. Pertama, pengharaman secara qadariyya-n, yakni
pengharaman yang berdasar dari ulah mereka sendiri yang melakukan
pengubahan terhadap
makanan-makanan halal tertentu yang semula dihalalkan Allah menjadi
haram menurut versi mereka sendiri, seperti daging dan susu onta.
dalam kategori kedua, yakni pengharaman secara syar‘iyya-n, yaitu
pengharaman beberapa jenis makanan tertentu yang semula dihalalkan bagi
mereka yang sengaja ditetapkan-Nya dalam kitab Taurat.
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلوا الِّر ٰب ٓو ا َاْض َع اًفا ُّم ٰض َع َفًةۖ َّو اَّتُقوا َهّٰللا َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َۚن
18
‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd, Fiqh al-Ribâ Dirâsah Muqâranah wa Syâmilah li Tathbîqât al-
Mu‘ashirah, Footnote No. 2, h. 78.
19
Sayyid Quthhb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (t.tp: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid IV, h. 74.
Quthb ini diterima, maka riba tetap haram hukumnya, baik dalam kadar yang
sedikit maupun dalam kadar yang berlipat ganda.
4. Dalam surat al-Baqarah ayat 278-280 yang berbunyi :
َي ا َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو َذ ُروا َم ا َبِقَي ِمَن الِّر َب اِإن ُك نُتم ُّمْؤ ِمِنيَنَفِإن َّلْم َت ْف َع ُلوا َف ْأَذ ُنوا ِبَح ْر ٍب ِّم َن ِهَّللا
َۚو َر ُسوِلِهۖ َو ِإن ُتْب ُتْم َف َلُك ْم ُرُءوُس َأْم َو اِلُك ْم اَل َت ْظ ِلُموَن َو اَل ُتْظ َلُم وَن َو ِإن َك اَن ُذ و ُعْس َر ٍة َفَن ِظ َر ٌة ِإَلٰى َم ْي َس َر ٍة
َو َأن َت َص َّد ُقوا َخ ْيٌر َّلُك ْم ۖ ِإن ُك نُتْم َت ْع َلُموَن
20
Q.s. al-Baqarah [2]: 275-280
sementara riba haram dilakukan. Ketiga, pada hari Kiamat nanti pemakan
riba akan mendapat siksa yang kekal abadi dalam neraka.
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Quran melainkan
juga al-Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits berfungsi untuk menjelaskan
lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Quran, pelarangan riba dalam
hadits lebih terinci. Banyak hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya
adalah:
َأْخ َبَرِني َعْو ُن ْبُن َأِبي ُج َح ْيَفَة َقاَل َر َأْيُت َأِبي اْش َتَر ى َح َّجاًم ا َفَأَم َر ِبَم َح اِج ِمِه َفُك ِسَر ْت َفَس َأْلُتُه َع ْن َذ ِلَك َقاَل ِإَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا
َع َلْيِه َو َس َّلَم َنَهى َع ْن َثَمِن الَّد ِم َو َثَمِن اْلَك ْلِب َو َكْس ِب اَألَم ِة َو َلَع َن اْلَو اِش َم َة َو اْلُم ْسَتْو ِش َم َة َو آِكَل الِّر َبا َوُم وِكَلُه َو َلَع َن اْلُمَصِّو َر
َح َّد َثَنا َع ْبُدالَّرْح َمِن ْبُن َأِبي َبْك َر َة َع ْن َأِبيِه َرِض ي هَّللا َع ْنهم َقاَل َنَهى الَّنِبُّي َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ِن اْلِفَّض ِة ِباْلِفَّض ِة َو الَّذ َهِب ِبالَّذ َهِب
ِإال َس َو اًء ِبَس َو اٍء َو َأَم َر َنا َأْن َنْبَتاَع الَّذ َهَب ِباْلِفَّض ِة َكْيَف ِش ْئَنا َو اْلِفَّض َة ِبالَّذ َهِب َكْيَف ِش ْئَنا
َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخْد ِر ِّي َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم الَّذ َهُب ِبالَّذ َهِب َو اْلِفَّض ُة ِباْلِفَّض ِة َو اْلُبُّر ِباْلُبِّر َو الَّشِع يُر ِبالَّشِع يِر
َو الَّتْم ُر ِبالَّتْم ِر َو اْلِم ْلُح ِباْلِم ْلِح ِم ْثال ِبِم ْثٍل َيًدا ِبَيٍد َفَم ْن َز اَد َأِو اْسَتَز اَد َفَقْد َأْر َبى اآلِخ ُذ َو اْلُم ْع ِط ي ِفيِه َس َو اٌء
َع ْن َج اِبٍر َقاَل َلَع َن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم آِكَل الِّر َبا َوُم ْؤ ِك َلُه َو َك اِتَبُه َو َش اِهَد ْيِه َو َقاَل ُهْم َس َو اٌء
21
Shahih al-Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu’
22
Shahih al-Bukhari no. 2034, kitab Al-Buyu’
23
Shahih Muslim no. 2971, dalam kitab Al-Masaqqah
Jabir berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk
orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu
semuanya sama."24
الِّربَا َثَالَثٌة َو َس ْبُعْو َن َبابًا َأْيَس ُرَها ِم ْثُل َأْن َيْنِكَح الَّرُجُل ُأَّم ُه: َر َو ى اْلَح اِكُم َع ِن اْبْن َم ْس ُعْو د َأَّن الَّنِبَّي َقاَل
Dalam hal ini terdapat beberapa alasan yang dapat diterima dalam
pengambilan riba, diantaranya adalah :25
a.Darurat
Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah, “Darurat itu
harus dibatasi sesuai kadarnya.” Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta
ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau
24
Shahih Muslim no. 2995, kitab Al-Masaqqah
25
arp-rabban.alasan-pembenaran-pengambilan-riba
ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga
seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh
melampaui batas hinga tujuh suap atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang
dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
b.Berlipat ganda
Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat
ganda dan membertkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.
Surat Ali Imran:130 memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan
tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya
dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap
fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan didapat kesimpulan bahwa riba
dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan. Kriteria berlipat ganda
dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali
bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba,
jika kecil maka tidak riba.
· Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqh
Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia
menjelaskan secara linguistik() arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali
lebih besar dari semula, sedangkan() adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi.
Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian () berarti 3x2=6 kali. Adapun () dalam
ayat adalah ta’kid () untuk penguatan.
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan
disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada
hanyalah individu-individu. Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik
dari sisi historis maupun teknis.
a. Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan
hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan
lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata
lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut
sebagai juridical personality atau syahsyiyah hukmiyah. Juridical personality ini
secara hukum adalah sah mewakili individu-individu secara keseluruhan.26
26
arp-rabban.alasan-pembenaran-pengambilan-riba
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan
mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar
narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi,
mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga
mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan
bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif
karena bukan insan mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga
dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga
rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir
dalam skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente m,eliputi
provinsi, negara bahkan global.
7. Dampak Negatif Riba
Pemborosan
Islam mengajarkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan hendaknya
secara adil, artinya tidak kurang dan tidak berlebihan dari yang
semestinya. Jangan kikir dan jangan pula boros, pemborosan adalah
perbuatan tercela, dan oleh Allah dikategorikan sebagai saudara setan.
Membelanjakan harta untuk kebutuhan pribadi dan keluarga yang menjadi
tanggungan, dianjurkan dengan ukuran kewajaran.31
Hambatan Investasi
Menurut Keynes, suku bunga dapat menghalangi tingkat investasi
dan menghambat laju perkembangan industrialisasi yang dapat
meningkatkan kekayaan nasional suatu negara. Setiap rintangan yang
menghancurkan semangat investasi adalah
suatu kejahatan sosial dan harus dihilangkan. Besarnya suku bunga jika
tidak diawasi akan akhirnya akan menurunkan semangat untuk menanam
investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.35
Turunnya suku bunga hingga mencapai angka yang wajar akan
mampu menciptakan kesempatan investasi yang tak terbatas di berbagai
lapangan industri dan perdagangan di seluruh penjuru dunia.
Seseorang akan melakukan investasi apabila keuntungan riil yang
akan diperoleh lebih besar daripada tingkat bunga pinjaman yang berlaku.
Seandainya keuntungan riil yang akan diperoleh lebuh kecil dari pada
tingkat bunga pinjaman yang berlaku maka tidak akan ada yang mau
menginvestasikan modalnya. Jika hal itu terjadi di seluruh sektor dalam
perekonomian suatu negara memiliki pengembalian investasi (turn over)
lebih kecil dari tingkat bunga yang berlaku di suatu negara, maka dapat
dipastikan tidak akan ada investor yang akan menginvestasikan modalnya,
dengan tidak adanya investor maka roda perekonomian juga tidak bergerak
berakibat pada banyaknya pengangguran.36
34
Huzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 96
35
Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (pengantar Ekonomi Syariah)..., hal. 85
36
uzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 101
BAB III
KESIMPULAN
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam tetapi juga dalam
kalangan nonmuslim seperti yahudi, yunani dan juga romawi. Dalam Alquran, riba
disebut delapan kali dalam empat surah yang berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39
surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah al-Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah
li ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah
al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278 surah al-Baqarah. Keempat surah tersebut
secara kronologis menggambarkan empat tahapan pengharaman riba dalam Alquran.
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Quran melainkan juga al-
Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut
aturan yang telah digariskan melalui al-Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih
terinci. Banyak hadits yang menguraikan masalah riba.
Terdapa 3 alasan yang dapat diterima dalam pengambilan riba, 3 alasan tersebut
adalah ketika darurat, riba yang berlipat ganda, riba badan hukum dan taklif. Riba
juga memiliki Dampak negatif bagi masyarakat dan kegiatan ekonomi. Diantaranya
dampak negatif tersebut adalah Kehancuran Ekonomi dalam Al-Qur’an, Eksplotasi
dalam Transaksi Bisnis, Kerugian dan Kebangkrutan Ekonomi, dan Sistem Batil dan
Hambatan Investasi Sektor riil.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur, T. S. (2016). Efek Negatif Ribâ terhadap Ekonomi dalam Al-Qur’an (Doctoral dissertation,
Institut PTIQ Jakarta).
Lubis, Zulkarnain. "RIBA IN UMMAH ECONOMIC'S LIFE." El-Arbah: Jurnal Ekonomi, Bisnis Dan
Perbankan Syariah 5.1 (2021): 11-18.
Syarif, Mujar Ibnu. "Konsep Riba dalam Alquran dan Literatur Fikih." Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi
Syariah 3.2 (2011): 293-312.
Setyawati, Fitri. "Riba Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan Hadis." Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syariah 3.2 (2017): 257-271.
Ghofur, A. (2016). Konsep Riba dalam Al-qur’an. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 7(1), 1-26.
Budiantoro, Risanda Alirastra, Riesanda Najmi Sasmita, and Tika Widiastuti. "Sistem Ekonomi (Islam)
dan Pelarangan Riba dalam Perspektif Historis." Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 4.01 (2018): 1-13.
Iman Fahruddin al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātīh al-Ghaib, jilid 7-8, Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 75.
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid 1, Beirut: Dār
al-Fikr, t.tt., hlm. 383.
Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 109.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung:
Penerbit Mizan, 1998, hlm. 413
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh „alā Madzāhib al-Arba„ah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 193- 198
al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 403-404
Lihat Badruddin Al-Ayni, „Umdah al-Qārī, Konstantinopel: Mathba„ah al-Amira, vol V, 1310, hlm. 436
al-Qurthubi, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz IV, Kairo: Dār al-Katib al-„Arabi, 1387/1967, hlm. 202;
al-Thabari, Jāmi„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz VII, Mesir: Musthafā al-Bābi al-Halabi,
1388/1968, hlm. 204.
Lihat Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, I„lām al-Muwaqi„īn, jilid 2, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t, hlm.
132.
Syekh Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawy, Manhaju al-Thulâb, Kediri: Pesantren Fathul
Ulum, tt.: 1/161
Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:Gema Insani
Mujar Ibnu Syarif, Konsep Riba dalam Alqur’an dan Literatur Fiqih, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 2, Juli
2011, h. 295
Sayyid Quthhb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (t.tp: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid IV, h. 74.
Shahih al-Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu’ Shahih al-Bukhari no. 2034, kitab Al-Buyu’ Shahih Muslim
no. 2971, dalam kitab Al-Masaqqah
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, cet. II, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, hal.
Adiwarman Anwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004, hal. 234
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam..., hal. 321
Ahmad Azhar Basyir,Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi,
Bandung: Mizan, 1993, hal. 182
M. Umer Chapra, Sistem Moniter Islam, diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri dari judul, Towards A
Just Monetary System, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 20
Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (Pengantar Ekonomi Syariah), cet. I,
Jakarta: PT. Bustari Buana Murni, 2010, hal. 95
Huzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 96
Muhammad Hidayat, An Introduction To The Sharia Economic (pengantar Ekonomi Syariah)..., hal. 85
uzaifah Inkandar Putong, Riba menurut Al-Qur’an, Taurat dan Injil…, hal. 101
‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd, Fiqh al-Ribâ Dirâsah Muqâranah wa Syâmilah li Tathbîqât al-
Mu‘ashirah, Footnote No. 2, h. 78.