Dosen Pengampu :
Yona Fitri, M.E
Disusun Oleh :
Naufal Ramadhan
21.03.4111
HUBBULWATHAN DURI
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama allah swt yang maha pengasih lagi maha panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tentang “ RIBA DAN BUNGA
BANK “
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada dosen pengampu Ibu Yona Fitri, M.E. Terlepas
dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir
kata saya berharap semoga makalah tentang “ RIBA DAN BUNGA BANK ” ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Abdul Hadi, Abu Sura’i. Bunga Bank dalam Islam. Terj. M.Thalib (Surabaya: Al-Ikhlas, 2013).hlm.14.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan Bunga dapat diartikan sebagai; “interest is charge for financial loan,
usualy a percentage of the amount loaned”, yang bermakna bunga merupakan sejumlah uang
yang dibayar atau untuk penggunaan modal, dimana jumlah tersebut dinyatakan
dalam persentase modal yang memiliki keterkaitan dan inilah yang dinamakan suku bunga
modal. Atau bermakna seperti tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan
dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan bunga (interest),
yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jika melihat dari
dua pengertian ini, riba dan bunga nampaknya berbeda. Sesuatu dikatakan riba jika sesuatu itu
mengandung unsur keuntungan yang berlipat ganda. Sementara sesuatu dikatakan bunga jika
keuntungan dari sesuatu itu tidak berlipat ganda.
2
Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer. (Yogyakarta: UII Press, 2015). hlm. 21.
3
Drs. Harun M.H, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017). hlm. 154-155.
2
b. Riba Fadhl (penambahan)
Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang
sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kwantitasnya
(sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahanya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini
mengandung ghoror yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak,
kedua pihak dan pihak-pihak yang lain. Bentuk riba fadhl adalah seseorang menjual sesuatu
dengan sesuatu yang sejenis dengan suatu tambahan, seperti menjual emas dengan emas,
dirham dengan dirham, gandum dengan gandum, dan sya’ir, selai, padi-padian dengan sya’ir.
c. Riba Jahiliyah
Yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang di tetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena kaedah “kullu qardin
jarra manfa ab fabuwa” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi
penundaan waktu penyerahanya, riba jahiliyah tergolong riba nasi’ah, dari segi kesamaan
objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl.
d. Riba Qard
Yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang di isyaratkan terhadap yang
berutang (muqtarid). Riba qard atau riba dalam utang piutang sebenarnya dapat digolongkan
dalam riba nasi’ah. Riba semacam ini dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang Rp
100.000,- lalu disyaratkan untuk memberikan keuntungan ketika pengembalian. Dalam kitab
al-Mughni, Ibnu Qudamah mengatakan, “para ulama sepakat bahwa jika orang yang
memberikan utang mensyaratkan kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan atau
hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengembalian tambahan tersebut adalah
riba”.
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2016), hlm.176.
3
keuntungannya. Kemudian Islam datang dan Rosulullah sangat gigih untuk menghilangkan
praktek riba, Beliau melakukan dakwah-dakwah dimana saja, dan salah satunya ketika haji
wada’ Beliau menghapus dan melarang adanya praktek riba.
Ibnu Abi Zayd (136 H 754 M) mengatakan bahwa praktek riba juga terjadi pada
bangsa arab pra-Islam, dimana riba dilakukan dengan berlipat ganda baik yang berupa uang
maupun berbagai jenis komoditi, serta perbedaan umur juga berlaku pada binatang ternak.
Apabila sudah terjadi jatuh tempo, pihak yang memberi hutang akan menanyakan kepada pihak
yang berhutang, apakah akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah hutang
yang dipinjam. Jika pihak yang berhutang memiliki sesuatu maka ia akan membayarkannya,
akan tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak maka umurnya dapat meningkat (pada waktu
pembayarannya). Apabila hutangnya tersebut berupa uang atau jenis komoditi lain, maka ia
dapat meningkatkan dengan berlipat ganda pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap
tahun. Jika pihak yang berhutang tidak dapat membayarnya maka hutang tesebut akan berlipat
ganda lagi.5
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap. Empat tahap tersebut adalah:6
Tahap pertama: Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan taqarrub kepada Allah,
sebagaimana tersebut dalam surat ar-Ruum ayat 39 yang artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).” Sebagian orang beranggapan bahwa dengan meminjamkan sejumlah
uang kepada sesama adalah suatu bentuk ibadah atau interaksi terhadap sesama manusia
sebagaiman yang telah diperintahkan Allah. Akan tetapi, dalam kesempatan ibadah tersebut
muncul praktik riba yang diniatkan untuk menambahkan nilai kekayaan yang dimiliki.
Kekayaan yang dimiliki oleh pemberi pinjaman memang akan bertambah, namun, tidak ada
keberkahan dalam kekayaannya tersebut.
Tahap Kedua: Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberi
balasan yang kepada orang Yahudi yang memakan riba. Hal ini tercantum dalam surat an-
Nisaa’ ayat 160-161 yang artinya: “Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-
orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” Dapat dipahami dari ayat tersebut
bahwa seseorang yang mengetahui jika praktik yang mengandung riba adalah hal yang tidak
5
Dawan Raharjo, Persepektif Deklarasi Makkah, (Jakarta: Bulan Bintang, 2013). hlm. 134.
6
Wasilul Choir, Riba Dalam Perspektif Islam dan Sejarah. (Jakarta: Iqtishadia, 2017), 105-107
4
disukai atau dilarang oleh Allah akan tetapi justru melakukan kesalahan tersebut maka Allah
akan memberikan siksaan yang amat pedih.
Tahap Ketiga: Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Pengembalian bunga dengan tingkat tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktikkan pada masa tersebut. Hal ini dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 130 yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Praktik riba
dipahami sebagai praktik menggandakan nilai dari nilai pokok di saat transaksi. Allah
menjanjikan sebuah keberuntungan kepada umatNya yang benar-benar bertakwa, menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Tahapan terakhir: Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan
periode larangan, sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode penetapan
hukum riba. Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 278 yang artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman.” Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada
al-Qur’an, melainkan juga pada hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi
untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Qur’an, pelarangan riba
dalam hadist lebih terinci.
Dari temuan yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa riba tidak hanya dilarang
atau diharamkan dalam Islam melainkan juga dalam agama lain bahkan agama atau
kepercayaan terdahulu. Adanya praktik utang piutang yang dibarengi dengan riba sebetulnya
tidak diterima oleh agama yang dianut oleh para pelakunya.
7
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Yogyakarta: Ekonisia, 2013) hlm. 12-13.
5
menjadi anak-anak tuhan yang maha tinggi sebab ia berbuat baik terhadap orang-orang yang
tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang yang jahat (Lukas pasal 6 ayat 34-35).
Kasihanilah musuh musuhmu, dan berbuatlah baik, dan pinjamlah, dengan tidak
mengharapkan apapun lagi; dan pahalamu akan besar, dan engkau akan menjadi anak-anak dari
yang maha tinggi (Lukman pasal 6 ayat 35). Kepada orang yang tidak di kenal engkau boleh
meminjamkan dengan riba; tapi kepada saudaramu engkau tidak boleh meminjamkan dengan
riba (ulangan pasal 23 ayat 19-25).
a. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja
sama/ saling menolong dengan sesama manusia. Dengan mengenakan tamabahan kepada
peminjam tidak tahu kesulitan dan tidakmautahu kesulitan orang lain.
c. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan
menunutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati
bersama. Menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan
yang tidak baik untuk menuntutkesepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur
telah memperhitumgkan keuntungan yang diperoleh dari kelebihan bunga yang akan
diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.
d. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin bagi orang yang mempunyai
pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatanya
dengan membungkan pinjaman pada orang lain, sedangkan bagi yang mempinyai
pendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi harus
memikirkan bunga yang akan dibayarkan.
e. Riba dalam kenyataanya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak
mempunyai fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang
dan barang sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak bernilai lagi, bahkan
nilainya tidak lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijadikan komoditas.
6
mengurangi produksinya. Bila hal ini terjadi maka akan mengurangi kesempatan kerja dan
pendapatan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
a. Golongan Hanafi
Definisi riba adalah setiap kelebihan tanpa adanya imbalan pada takaran dan
timbangan yang dilakukan antara pembeli dan penjual di dalam tukar menukar.
b. Golongan Syafi’i
Riba adalah transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan
takarannya maupun ukurannya waktu dilakukan transaksi atau dengan penundaan
waktu penyerahan kedua barang yang dipertukarkan salah satunya.
c. Golongan Maliki
Golongan ini mendefinisikan riba hampir sama dengan definisi golongan Syafi’i,
hanya berbeda pada illat-nya. Menurut mereka illat nya ialah pada transaksi tidak
kontan pada bahan makanan yang tahan lama.
d. Golongan Hambali
Riba menurut syara’ adalah tambahan yang diberikan pada barang tertentu. Barang
tertentu tersebut adalah yang dapat ditukar atau ditimbang dengan jumlah yang
berbeda. Tindakan semacam inilah yang dinamakan riba selama dilakukan dengan
tidak kontan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini, setidaknya
ada beberapa hal yang dapat disimpulkan; Pertama, riba merupakan sesuatu yang dilarang
dalam Islam, baik riba berupa tambahan yang bersifat besar maupun yang bersifat kecil. Kedua,
perihal bunga bank keberadaannya masih menjadi polemik dikalangan para ulama Islam. Ada
yang mengatakan bunga bank sebagai riba ada pula yang mengatakan bukan termasuk riba.
Ketiga, bunga bank yang dipraktikkan dengan tidak mengambil keuntungan yang berlipat
ganda, maka hal itu dibolehkan oleh sebagaian ulama dan tidak termasuk dalam kategori riba.
Sedangkan bunga bank yang dipraktikkan untuk mengambil keuntungan yang berlipat ganda,
maka hal itu tidak diperbolehkan karena hal itu sama seperti riba.
3.2. Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan dari penelitian ini adalah bahwa kajian tentang
riba dan bunga bank dalam perspektif Islam merupakan kajian yang masih menarik untuk
dilakukan. Karena hal-hal yang berkaitan dengan keduanya masih ada dan dipraktikkan dalam
kehidupan masyarakat Islam, bahkan dapat dikatakan menjadi sesuatu yang niscaya. Maka
7
diperlukan penelitian yang bersifat lanjutan. Dengan adanya penelitian lanjutan yang berkaitan
dengan hal ini, pasti akan memberikan kekayaan khazanah bagi umat Islam, sehingga dapat
mempraktikkan aspek mu’amalah yang jauh dari sistem ekonomi bersifat ribawi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi, Abu Sura’I, (2013). Bunga Bank dalam Islam. Terj. M. Thalib. Surabaya: Al-
Ikhlas.
Dawan Raharjo, (2013). Persepektif Deklarasi Makkah, Jakarta: Bulan Bintang.
Drs. Harun M.H, (2017). Fiqh Muamalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Heri Sudarsono, (2013). Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia.
Muhammad, (2015). Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta: UII
Press.
Sayyid Sabiq, (2016). Fiqih Sunnah, Terj. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: PT Al-Ma’arif.
Wasilul Choir, (2017). Riba Dalam Perspektif Islam dan Sejarah. Jakarta: Iqtishadia.