Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Gadai syariah dalam berbagai aspek 2


Di Susun Untuk Memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah
Dosen Pengampu: Drs. Suherman, M.Ag

Disusun Oleh :

1. Andri Bayu Aji Pamungkas


2. Warton
3. Kiki Rosyani (612060006)

PROGRAM STUDY EKONOMI SYARI’AH DAN PERBANKAN


SYARI’AH SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
GLOBAL MULIA CIKARANG – BEKASI 2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirohim
assalamu allaikum wrwb
Segala puji bagi Allah SWT, pengatur dan pemelihara seluruh alam. Shalawat
dan salam kepada Nabi dan Rasulnya Muhammad SAW , juga keluarganya,
sahabatnya serta seluruh umatnya yang mengikuti sunnahnya.
Makalah ini berisi tentang “aspek hukum gadai syariah ” yang terkait dengan
Fiqih gadai syariah . Tujuan membuat makalah ini agar seluruh mahasiswa dan
mahasiswi dapat meninjau dan mengetahui tentang produksi dalam mikro
ekonomi dengan melalui beberapa cara seperti, berdiskusi dan sebagainya.
Karena itu sangat diharapkan bagi Mahsiswa(i) jurusan Ekonomi syariah &
perbankan syariah untuk memahami semua yang berkaitan dengan Fiqih gadai
syariah . Terima kasih tak lupa dihaturkan untuk kerja sama dan kekompakan
teman kelompok sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Dan tak lupa pula kami haturkan terima kasih atas bantuan selama makalah ini
dikerjakan.
Kami meyakini bahwa makalah ini , tidak terlepas dari kekurangan yang
tentunya masih dinanti kritik dan saran dari berbagai pihak untuk
penyempurnaannya.
Waalaikum salam wrwb
DAFTAR ISI

Kata
Pengantar..............................................................................................................................I
Daftar Tabel..........................................................................................................................II
Daftar isi ...............................................................................................................................III
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
.................................................................................................................................... ............IV
BAB II
Pembahasan............................................................................................................................1
A. Pengertian Gadai Syariah (ar-Rahn)...........................................................................2
B. Landasan Hukum Gadai Syariah (Ar-Rahn)...............................................................3
C. RUKUN GADAI SYARIAH
1. Ar – Rahin ( yang menggadaikan )
2. Al – Murtahin ( yang menerima gadai )
3. Al – Marhun / barang
4. Al – Marhun bih
5. Sighat, Ijab dan Qabul.......................................................................................................4
D. SYARAT GADAI SYARIAH
a. Shighat
b. Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
c. Utang (marhun bih)Utang (marhum bih)
d.Marhun................................................................................................................................5
E. BARANG JAMINAN.......................................................................................................6
F. KETENTUAN GADAI BARANG...................................................................................7
G. AKAD PERJANJIAN GADAI
1. Akad al – Qardul Hasan
2. Akad al – Mudharabah
3. Akad Ijarah......................................................................................................................8
H . Pemanfaatan Barang Gadai......................................................................................9
F. Analisis dan Aplikasi Gadai Syariah (ar-Rahn) dalam Perbankan
a. Gadai dipakai sebagai produk pelengkap
b. Merupakan produk.....................................................................................................10
J. ASPEK PENDIRIAN PEGADAIAN SYARIAH
1. Aspek legalitas
2. Aspek permodalan
3. Aspek sumber daya manusia
4. Aspek kelembagaan
5. Aspek sistem dan prosedur
6. Aspek
pengawasan.........................................................................................................................11
BAB III
PENUTUP............................................................................................................................V
Daftar Pustaka.....................................................................................................................VI
BAB I
Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem bunga. Hampir
semua perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara
yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas
kemiskinan negara lain sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan.
Pengalaman di bawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama
ratusan tahun membuktikan ketidakmampuannya untuk menjembatani
kesenjangan ini. Di dunia, diantara negara maju dan negara berkembang
kesenjangan itu semakin lebar dan di dalam negara berkembang kesenjangan
itupun semakin dalam.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi
tidak melihat system bunga sebagai sebuah permasalahan. Karena luput
dari pengamatan, pemerintah di negara manapun dibikin repot dengan ulah
sistem bunga yang build – in concept – nya memang bersifat kapitalistik dan
diskriminalistik. Karena ketidaksadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga,
pemerintah di negara – negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai
kebijaksanaan dan peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di
untungkan sistem bunga agar menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang
dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para pelaku ekonomi yang diuntungkan
sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu kebanyakan lebih
merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban, sebaliknya para
penyandang gelar ekonomi lemah korban sistem bunga lebih merasakannya
sebagai belas kasihan dari pada hak.Namun di Indonesia, kita patut bersyukur
bahwa sejak diundangkannya Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan
semua ketentuan
pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri
Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, pemerintah telah memberi peluang
berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil.
C. TUJUAN
Sebagian umat islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu
mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung
berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk
menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang
polis, menjadi investor, dan sebagainya.Dari pengalaman
mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana syariah,
diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan
demikian untuk berdirinya pegadaian
syariahpun diperlukan pengkajian terhadap berbagai aspeknya secara luas dan
mendalam.Salah satu prinsip dan tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan dan
untuk mewujudkan kemaslahatan itu dengan adanya perintah saling
membantu (ta'awun)antara sesama manusia. Saling membantu dapat
diaplikasikan berupa pemberian tanpa ada pengembalian, seperti zakat, infak
dan shadaqah dan dapat berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada
pemberi pinjaman.lembaga pemerintah.

BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Gadai Syariah (ar-Rahn)


Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-
Rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan
rungguhan. Dalam Islam ar-Rahn merupakan sarana saling tolong menolong
(ta’awun) bagi umat Islam dengan tanpa adanya imbalan jasa. Sedangkan secara
terminologi, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengandemikian, pihak yang menahan memperolah jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.Jadi, ar-
Rahnadalah semacam jaminan utang atau lebih dikenal dengan istilah
gadai.Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan
atas utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya
dan semua barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan
jaminan. Barang jaminan itu baruboleh dijual/dihargai apabila dalam waktu
yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat dilunasi oleh pihak yang
berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang
jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya. Maka
orang yang pegang gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Perusahaan
umum penggadaian adalah satu – satunya badan usaha di Indonesia yang secara
resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa
pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum
gadai. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada msyarakat atas
dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga
keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak
dari masyarakat.
Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah
suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang
bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang
oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Seseorang yang berpiutang tersebut memberikan kekuasaan
yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berpiutang tidak
dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Arti harfiah gadai adalah
tetap, kekal, dan jaminan. Gadai dalam istilah hukum positif Indonesia adalah
apa yang disebut dengan barang jaminan, agunan, dan tanggungan.
Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang
dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’artinya
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi
dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Jadi rahn adalah menjamin utang dengan barang, di mana utang dimungkinkan
bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya. Rahn juga dapat diartikan
menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Pegadaian syariah sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarkat guna
menetapkan pilihan dalam pembiayaan. Biasanya masyarakat yang
berhubungan dengan pegadaian adalah masyarakat menengah ke bawah yang
membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Oleh
karena itu, barang jaminan pegadaian dari masyarakat ini memiliki karakteristik
barang sehari – hari yang mempunyai nilai.
B. LANDASAN HUKUM RAHN
Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep
pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al
Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :
QS. Al – Baqarah : 282 - 283
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. “ (282)
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebgaian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu ( para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahiu apa yang kamu kerjakan.”(283)
Hadist Rasul
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan
Nabi Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
harga yang diutang dengan jaminan berupa baju besinya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata :
“ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
meggadaikan
kepadanya baju besi beliau “.
Ijtihad ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu dalam
pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad,
dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama
tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian juga dengan landasan
hukumnya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih
mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.[4]
Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-
Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26
Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan
sebagai berikut :
Ketentuan Umum :
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan
tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti
biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya
Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya
Hukum Gadai
Gadai secara hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur
ribawi. Bahkan beberapa kali tercatat Rasulullah SAW mengadaikan harta
bendanya.
Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang menggadaikan kambingnya,
bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya
pemeliharaan. Artinya, Rasullullah mengizinkan kita mengambil keuntungan
dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Biaya
pemeliharaan itulah yang kemudian dijadikan dasar ijtihad para pakar keuangan
syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang
cukup menjanjikan. Namun pegadaian yang sering kita saksikan di negeri kita
ini banyak yang melanggar aturan syariah. Sehingga hukumnya haram. Sebab
prakteknya justru sekedar pembungaan uang atau hutang yang nyata-nyata
diharamkan di dalam semua agama samawi.
Misalnya seseorang menggadaikan mobilnya dan mendapatkan uang pinjaman
sebesar 50 juta. Uang pinjaman ini adalah hutang yang harus dibayarkan pokok
dan bunganya. Dan selama pokok pinjaman itu belum dikembalikan, bunganya
tetap terus berkembang. Boleh jadi ke depannya jumlah hutangnya sudah
membengkak menjadi 100 juta. Beda gadai ini dengan pinjaman uang biasa
adalah pada masalah jaminan, di mana dengan digadaikannya mobil itu, pihak
yang memberi pinjaman akan lebih mudah mengeluarkan uang pinjaman. Sebab
harga mobil itu sudah pasti lebih mahal dari jumlah pinjaman yang diberikan.
Dalam gadai secara syariah, tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan
biaya penitipan barang. Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia
berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu
wajar terjadi. Bukankah ketika kita memarkir mobil di sebuah mal, kita
diwajibkan untuk membayar ongkos parkir untuk tiap jamnya? Maka ketika
seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada hakikatnya harus membayar biaya
penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah yang jadi keuntungan bagi pihak
yang memberi pinjaman hutang.
C. RUKUN GADAI SYARIAH
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai
syariah. Rukun gadai tersebut adalah :[5]
1. Ar – Rahin ( yang menggadaikan )
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang
akan digadaikan.
2. Al – Murtahin ( yang menerima gadai )
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan
modal dengan jaminan barang ( gadai ).
3. Al – Marhun / barang
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan
utang.
4. Al – Marhun bih
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya
tafsiranmarhun.
5. Sighat, Ijab dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
D. SYARAT GADAI SYARIAH
a. Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan
datang. Seperti orang yang menggadaikan barangnya mempersyaratkan
tenggang waktu hutang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak
penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya.
b. Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa
pihak rahin dan marhum cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai
dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad.
c. Utang (marhun bih)Utang (marhum bih) mempunyai pengertian bahwa :
utang adalah kewajiban bagi pihak yang berutang untuk membayar kepada
pihak yang memberi piutang.
merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka
tidak sah.
barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
d.Marhun
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau
wakilnya, sebagai jaminan utang.
Status dan Jenis Barang Gadai
Status barang gadai
Ulama fikih menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang
yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima gadai
(murtahin/kreditor), dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pembeli
gadai (rahin/debitur). Kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabdh
al-marhum barang jaminan dikuasai secara hukum, apabila angunan itu telah
diakui oleh kreditor maka akad rahn itu mengikat keduabelah pihak. Karena itu,
status hukum barang gadai terbentuk pada saat terjadinya akad atau kontrak
utang piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan.
Jenis barang gadai
Jenis barang gadai (marhum) adalah barang yang dijadikan angunan oleh rahin
sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin sebagai jaminan hutang.
Menurut ulama Hanafi, barang-barang yang dapat digadaikan adalah barang-
barang yang memenuhi kategori:
Barang-barang yang dapat dijual
Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara’, tidak sah
menggadaikan sesuatu yang gukan harta , seperti bangkai, hasil tangkapan di
tanah haram, arak, anjing serta babi.
Barang gadai tersebut harus diketahui, tidak boleh menggadaikan sesuatu
yang majhul (tidak dapat dipastikan ada atau tidaknya)
Barang tersebut merupakan milik si rahin
E. BARANG JAMINAN
Barang nasabah yang ingin memperoleh fasilitas pinjaman dari penggadaiaan
syariah, maka hal yang paling penting diketahui adalah masalah barang yang
dapat dijadikan jaminan di penggadaiaan syariah.
Adapun jenis-jenis barang berharga yang dapat diterima dan dijadikan jaminan
penggadaian syariah adalah sebagai berikut:
Barang-barang atau benda perhiasaan, antara lain: emas, perak, intan,
berlian, mutiara, platina dan jam.
Barang-barang berupa kendaraan seperti mobil ( termasuk bajaj dan bemo ),
sepeda motor dan sepeda biasa ( termasuk becak ).
Barang-barang elektronik, antara lain: televisi, radio, radio tape, vidio,
komputer, kulkas, tustel, dan mesin tik.
Mesin-mesin seperti mesin jahit dan mesin kapal motor.
Barang-barang keperluan rumah tangga seperti:
1. Barang tekstil, berupa pakaian, permadani atau kain batik.
2. Barang pecah belah dengan catatan bahwa semua barang yang dijaminkan
harus dalam kondisi baik dalam arti masih dapat digunakan dan bernilai.
Keberadaan barang gadai selain karena alasan syariah, juga dikarenakan
alasan keterbatasan tempat penyimpanan barang jaminan, kesulitan dalam
menaksirkan barang jaminan, jenis barang jaminan mudah rusak dan jenis
barang jaminan berbahaya. Barang-barang jaminan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
Barang-barang yang berukuran besar, seperti pesawat terbang, kereta
api, satelit, tank dan sebagainya.
Barang-barang yang berbahaya, seperti bahan peledak ( bom atau granat ),
senjata api, dan sebagainya.
Barang-barang yang sulit dalam penyimpanannya dan pemeliharaannya,
seperti tanaman, hewan, dan sebagainya.
F. KETENTUAN GADAI BARANG
Dalam menggadaikan barang di pegadaian syariah harus memenuhi ketentuan –
ketentuan sebagai berikut : [7]
 Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan. Artinya barang
yang digadaikan diakui oleh asyarakat memiliki nilai yang bisa dijadikan
jaminan.
 Tidak sah menggadaikan barang rampasan atau barang yang pinjam dan
semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.
 gadai itu tidak sah apabila utangnya belum pasti.
 Disyaratkan pula agar utang piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua
belah pihak.
 Menerima barang gadai oleh pegadaian adalah salah satu
rukun akad gadai atas tetapnya gadaian. Karena itu, gadai belum
ditetapkan selama barang yang digadaikan itu belum diterima oleh
pegadaian.
 Seandainya ada orang menggadaikan barang namun barang tersebut
belum diterima oleh pegadaian, maka orang tersebut boleh
membatalkannya.
 Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka gadai
tersebut telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
 Penarikan kembali atau pembatalan akad gadai itu biasanya dilakukan
dengan ucapan dan tindakan. Jika pegadaian menggunakan barang
gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status
kepemilikan, maka batallah akad gadai itu.
 Jika akhir masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya
tidak termasuk pembatalan.
 Jika masa membayar utang pada gadai lebih awal dari pada masa sewa (
masa sewanya lebih lama dari pada masa gadai ) , maka tidaklah
termasuk pembatalan gadai dan memperbolehkan penjualan barang yang
digadaikan.
 Barang gadaian adalah amanat di tangan penerima gadai, karena ia telah
menerima barang itu dengan ijin nasabah. Maka status amanat barang
gadai, seperti amanat berupa barang yang disewakan. Jadi, pegadaian
tidak wajib menanggung kerusakan barang gadai, kecuali jika disengaja
atau lengah.
 Jika barang gadaian tersebut musnah tanpa ada kesengajaan dari pihak
pegadaian, pegadaian tidak wajib menanggung barang tersebut dan
jumlah ppinjaman yang telah diterima oleh pegadai tidak boleh dipotong
atau dibebaskan. Sebab, barang tersebut adalah amanat dari nasabah
untuk mendapatkan pinjaman, maka pinjaman itu tidak boleh
dibebasakan akibat musnahnya barang gadaian itu.
 Seandainya pegadaian mengaku bahwa barang gadai terssebut musnah,
maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dengan disertai sumpah,
sebab pegadaian tidak menjelaskan sebab – sebab musnahnya barang
tersebut, atau ia menyebutnya tetapi tidak jelas.
 Seandainya pegadaian mengaku telah mengembalikan barang gadaian,
pengakuan tidak dapat diterima kecuali disertai dengan bukti ( kesaksian )
sebab bukti bagi pegadaian itu tidak sulit, dan lagi barang yang di tangan
pegadain itu untuk piutangnya sendiri, maka pengakuannya tidak dapat
diterima kecuali disertai dengan bukti sama halnya dengan pengakuan
peminjam.
 Jika pegadaian itu lengah atau merusak barang gadaian karena sengaja
memanfaatkan barang yang dilarang untuk dipergunakan, maka
pegadaian harus menggantinya.
G. AKAD PERJANJIAN GADAI
Sesuai dengan landasan tersebut, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan
dengan melalui akad – akad. Adapun akad – akad dalam pegadaian syariah
adalah :
1. Akad al – Qardul Hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk
keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah ( rahin ) akan memberikan
biaya upah atau fee kepada pegadaian ( murtahin ) yang telah menjaga atau
merawat barang gadaian ( marhun ).
Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentukqardhul
hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba
membukausaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam
bentuk qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan
lagi.
Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah
perjanjian yang terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus
memperlakukan satu sama lain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo
semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak
mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa
harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedan
pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau
pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata–
nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai,
dan biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai
mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save
deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya
dilarang dikenakan.[8]
Ketentuan umum biaya administrasi pada pinjaman adalah dengan cara :
Harus dinyatakan dalam nominal, bukan prosentase
Sifatnya harus jelas
Mekanisme pelaksanaan Akad al – Qardul Hasan, yaitu :
Barang gadai ( marhun ) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan,
kecuali dengan menjualnya dan berupa bergerak saja, seperti : barang
elektronik, mobil, dll.
Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akadnya bersifat sosial.
2. Akad al – Mudharabah
Akad dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannnya untuk
menambah modal usaha ( pembiayaan investasi dan modal kerja ). Dengan
demikian,rahin akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan
kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam
terlunasi.
Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang
nyata – nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea
materai, dan biaya akte notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu
untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan
dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat
lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga dilarang dikenakan.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh
yang dapat dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman
dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
Ketentuan akad mudharabah yaitu :
Jenis barang dapat dimanfaatkan, baik barang bergerak maupun tidak.
Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik barang gadai adalah
keuntungan setelah dikurangi biaya pengelolaan.
3. Akad Ijarah
Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk
menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah
melakukan akad.[9]
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
Orang yang berakad yaitu yang berhutang (rahin) dan yang
berpiutang(murtahin).
Sighat ( ijab qabul)
Harta yang dirahnkan (marhun)
Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional pegadaian syariah
dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan
barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di
tempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul dari proses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar
ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai
jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi:
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepadamurtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang
dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang
dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin,
tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi, biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. Untuk
dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian.
Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai
taksiran barang.
H . Pemanfaatan Barang Gadai
Terdapat pertentangan yang hebat di kalangan ulama fiqh siapakah yang benar-
benar dapat memanfaatkan barang gadaian atau jaminan itu. Adapun hukum
mengambil manfaat barang jaminan oleh si pemegang gadai, lebih dahulu patut
diketahui bahwa gadai itu bukan akad penyerahan milik sesuatu benda dan juga
manfaatnya menurut sebagian ulama. Hanya yang timbul dengan sebab akad itu
adalah hak menahannya.16 Apabila pemberi utang memanfaatkan barang
jaminan itu, maka hasil yang ia makan/manfaat dari barang jaminan itu
termasuk dalam kategori riba yang diharamkan. Hal ini sejalan dengan sebuah
hadits Rasulullah SAW. yang menyatakan:
‫عن‬َ ‫ع ِلي َو‬
َ ‫ي‬ ِ ‫عنهه للاه َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫ قَا َل‬: ‫سو هل قَا َل‬ َ ‫علَي ِه للاه‬
‫صلى للاِ َر ه‬ َ ‫ َو‬: ‫هكل‬
َ ‫سل َم‬
‫)اسامة ابي بن الحارث رواه( ِربَا فَ هه َو َمنفَعَة ر َج قَرض‬.
14 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1984),hlm. 202
15 Al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, hlm. 142; Ibnu Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid..., hlm.271
16 Mahmud Muhammad Syaltut dan M. Ali As-Sayis, Muqaranah al-Madzahib
fi al-Fiqh,
(al-Azhar: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, 1953 M./1373 H.), hlm. 147
Fadllan
al-IhkâmSetiap utang yang dibarengi dengan pemanfaatan (untuk pemberi
utang), adalah riba. (HR. al-Harits bin Abi Usamah).17 Jumhur fuqaha’ – selain
ulama Hanabilah – berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh
memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara
penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai
jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu
melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk
melunasi piutangnya.18 Alasan jumhur ulama adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, yang berbunyi:

َ ‫ع ِن هه َري َرة َ أَبِي‬


‫عن‬ َ ِ ‫صلى النبِي‬ َ ‫علَي ِه للاه‬ َ ‫ قَا َل َو‬: ‫صا ِح ِب ِه ِمن الره هن ي هغَ َل هق ََال‬
َ ‫سلم‬ َ
‫غن همهه لَهه َر َهنَهه الذِي‬
‫علَي ِه ه‬ ‫و‬ ‫ه‬
َ َ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ر‬‫غ‬‫ه‬ (‫رواه‬ ‫الحاكم‬ ‫والبيهقى‬ ‫وابن‬ ‫ان‬ ‫حب‬ )

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:


“Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemiliknya, karena hasil
(dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi
tanggung jawabnya. (HR. al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban). Berdasarkan
hadits tersebut, jumhur menetapkan baik hasil maupun rugi adalah untuk yang
menggadaikan, maka yang pegang jaminan tidak memiliki apa-apa kecuali
dengan izin yang menggadaikan. Apabila tidak dizinkan oleh yang
menggadaikan, meskipun barang gadaian itu adalah barang yang dapat
dikendarai, maka jumhur ulama berpendapat bahwa itu sama sekali tidak dapat
diambil manfaat oleh si pemegang jaminan. Akan tetapi Imam Ahmad, Ishaq,
Al-Laits, al-Hasan dan satu jama’ah berpendapat boleh mengambil manfaat
barang itu
untuk dikendarai dan diperah sekedar belanja yang dikeluarkan.19 Menurut
mazhab Syafi’i adalah halal bagi penggadai untuk mengambil manfaat dari
barang gadaian tersebut tanpa izin pemegang gadai. Karena barang itu adalah
miliknya dan seorang pemilik tidak dapat dihalang-halangi untuk memanfaatkan
hak miliknya. Namun demikian, pemanfaatan itu tidak boleh merusak, baik
kualitas maupun kuantitas barang itu. Oleh sebab itu, jika terjadi kerusakan
pada barang tersebut, maka pemilik bertanggung jawab atas hal itu.20
Sedangkan ulama Hanafiyah21 dan Hanabilah,22 menyatakan pemilik barang
boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, apabila
diizinkan oleh pemegang jaminan. Hal ini sejalan dengan hadits di atas. Oleh
sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah
mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak,
maka orang yang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar ganti
ruginya. Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah
berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan barang jaminan,
baik diizinkan oleh al-murtahin maupun tidak, karena barang itu berstatus
sebagai jaminan utang, tidak lagi hak milik secara penuh. Persoalan lain adalah
apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak.
Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pemegang gadai boleh memanfaatkan
hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.23 Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah menetapkan bahwa apabila hewan itu
dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka pemegang jaminan boleh
memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena membiarkan
harta itu sia-sia termasuk pemubadziran yang dilarang oleh Rasulullah saw.24
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan
barang jaminan adalah hewan, maka pemegang jaminan berhak untuk
mengambil susunya dan mempergunakannya sesuai dengan jumlah biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan tersebut. Hal ini
sejalan dengan hadits Nabi yang mengatakan:

‫عن‬َ ‫ي َرة َ هه َري أَبِي‬ َ ‫ض‬ِ ‫عنهه للاه َر‬َ ‫ قَا َل‬: ‫سو هل قَا َل‬
‫صلى للاِ َر ه‬ َ ‫علَي ِه للا‬ َ ‫سل َم‬
َ ‫الظه هر َو‬
‫ب الد ِر َولَ َب هن َمر ههونا َكانَ ِإذَا بِنَفَقَتِ ِه ه‬
‫يرَ َك ه‬
‫ب‬ ‫علَى َمر ههونا َكانَ ِإذَا ِبنَفَقَتِ ِه يهش َر ه‬ َ ‫َو‬
‫ب الذي‬‫يرَ َك ه‬ َ ‫ب‬ ‫)داود وأبو والترمذى البخارى رواه( النفقَةه َو َيش َر ه‬

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:


“Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya
yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan
diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang
dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya.” (HR. al-
Bukhari,al-Tirmidzi dan Abu Daud).25 Hadits ini menetapkan manfaat barang
gadaian berdasarkan nafakahnya dan itulah tempatnya perselisihan. Maka tidak
dikatakan yang dimaksud di situ bahwa orang yang menggadaikan
menafakahkan dan mengambil manfaat, karena ia mengambil manfaat
berdasarkan hak milik bukan dengan jalan imbangan antara nafakah dan
manfaat sebagai yang tersebut dalam diktum hadits. Dinyatakan lagi dalam
sebuah riwayat, apabila binatang itu digadaikan, maka wajib atas yang pegang
gadai memberi umpannya dan susunya diminumnya serta wajib atas orang yang
meminum susunya memberi nafakah.26
I. Analisis dan Aplikasi Gadai Syariah (ar-Rahn) dalam Perbankan
Kontroversi di atas adalah merupakan kehati-hatian para ulama fiqh dalam
menetapkan hukum pemanfaatan barang jaminan, baik oleh ar-Rahin maupun
oleh al-Murtahin bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai
pemakan riba. Karena, hakikat ar-rahn dalam Islam adalah akad yang
dilaksanakan memiliki tujuan tolong menolong antar sesama manusia. Di
samping itu, gadai (ar-rahn) yang dikemukakan ulama fiqh klasik bersifat
pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang
memerlukan dengan seseorang yang memiliki kelebihan harta. Di zaman
sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar-rahn tidak
hanya berlaku antar pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembaga-
lembaga keuangan, seperti bank. Untuk mendapat kredit dari lembaga
keuangan, pihak bank juga menuntut barang jaminan yang boleh dipegang bank
sebagai jaminan atas kredit itu. Bagaimanakah bank Islam melaksanakan
fungsinya dalam memberikan pinjaman dengan menghasilkan keuntungan ?
Dengan analogi atau perumpamaan dari hadits yang dipaparkan oleh Abu
Hurairah di atas, bahwa gadai (binatang) boleh ditunggangi dan memanfaatkan
susunya sebagai ganti untuk membiayai pemeliharaan binatang tersebut, maka
jelaslah bahwa pemegang gadai berhak memanfaatkan barang jaminan dan dia
bertanggung jawab untuk menjaganya. Bank Islam sebagai pemegang gadai
harus mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut sebagai imbalan atas
pemeliharaan barang tersebut. Sebagai contoh, sebuah rumah memerlukan
penjagaan dan bank dapat memanfaatkan rumah tersebut atas dasar hukum di
atas dan mengenakan biaya terhadap penggadai atas pemeliharaan rumah
tersebut dan pihak bank juga dapat menggadaikan rumah tersebut – dengan
tidak melebihi waktu yang ditentukan dan mengurangi nilai asetnya – untuk
mendapatkan biaya pemeliharaan.27 Aplikasi gadai dalam perbankan digunakan
dalam dua hal:
a. Gadai dipakai sebagai produk pelengkap, yaitu sebagai akad tambahan
(jaminan) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah.
Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut, guna
menghindari adanya kelalaian nasabah atau bermain-main dengan fasililtas
pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank.
b. Merupakan produk tersendiri, sebagaimana diterapkan di Malaysia, akad rahn
dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Perbedaan mendasar
pegadaian syariah, nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah
adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan dan penaksiran. Perbedaan
utama antara biaya rahn dengan bunga pegadaian adalah terletak pada sifat
bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda. Sedangkan biaya rahn hanya
terjadi sekali dan ditetapkan di awal.28 Dengan demikian, pihak bank akan
mendapatkan manfaat langsung dari biaya-biaya konkrit yang harus dibayar
oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan
aset berdasarkan fiduasi (penahanan barang bergerak sebagai jaminan
pembayaran), maka nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang
besarnya disesuaikan dengan yang berlaku secara umum.
J. ASPEK PENDIRIAN PEGADAIAN SYARIAH
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa aspek
pendirian. Adapun aspek – aspek pendirian pegadaian syariah adalah : [10]
1. Aspek legalitas
Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
pemerintah. Aspek ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990
tentang berdirinya lembaga gadai yang berubah dari bentuk Perusahaan Jawatan
Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian.
2. Aspek permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk
perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek
penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk
menjalankan perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk
dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat
penyimpanan barang gadaian. Permodalan gadai syariah bias diperoleh dengan
system bagi hasil, seperti mengumpulkan dana dari bebrapa orang ( musyarakah
), atau dengan mencari sumber dana ( shahibul mal ), seperti bank atau
perorangan untuk mengelola perusahaan gadai syariah ( mudharabah ).
3. Aspek sumber daya manusia
Keberlangsungan pegadaian syariah sangat ditentukan oleh kemampuan sumber
daya manusia ( SDM ) nya. SDM pegadaian syariah harus memahami filosofis
gadai dan system operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu menangani
masalah taksiran barang gadai, penentuan instrument pembagian rugi laba atau
jual beli, menangani masalah – masalah yang dihadapi nasabah yang
berhubungan penggunaan uang gadai, juga berperan aktif dalam syiar islam di
mana pegadaian itu berada.
4. Aspek kelembagaan
Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan ssebuah perusahaan gadai dapat
bertahan. Sebagai lembaga yang relative belum banyak dikenal masyarakat,
pegadaian syariah perlu mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang
berbeda dengan gadai konvensional. Hal ini guna memperteguh keberadaannya
sebagai lembaga yang berdiri untuk memberikan ke maslahatan bagi
masyarakat.
5. Aspek sistem dan prosedur
System dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip – prinsip syariah
yang keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena
itu gadai syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat di mana gadai
itu berada, maka system dan prosedural gadai syariah berlaku fleksibel dan
sesuai dengan prinsip gadai syariah.
6. Aspek pengawasan
Untuk menjaga jangan sampai gadai syariah menyalahi prinsip syariah maka
gadai syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas
Syariah bertugas mengawasi operasional gadai syariah supaya sesuai dengan
prinsip – prinsip syariah
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas, penulis dapat membuat suatu kesimpulan, yaitu :


Gadai (rahn) adalah salah satu bentuk muamalah sebagai realisasi saling
membantu (taawun) agar tercipta kemaslahatan umat yang merupakan salah
satu prinsip dari hukum Islam.
Gadai (rahn) adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan/
jaminan dari suatu hutang untuk dipenuhi harganya, rahn sebagai jaminan
bukan produk dan untuk kepentingan sosial maka tidak boleh dijadikan modal
investasi karena pada dasarnya gadai ini bukan untuk kepentingan bisnis, jual
beli atau bermitra.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan
(bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional.
Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan
pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito,
atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga
gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya
manusia aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
Pegadaian syariah bertugas menyalurkan pembiayaan dalam bentuk
pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan
hukum gadai syariah yang setiap akadnya berusaha memenuhi syarat sah dan
rukun yang telah ditetapkan oleh para fuqaha.
Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai
(rahn), dapat dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial.
Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau
menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra
usaha dalam perjanjian mudharabah.
Daftar Pustaka

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga


Keuangan,Jakarta: Rajawali Pers, 1989
Hermawan Kertajaya dan Muhammad Syakir
Sula, Syariah Marketing, Bandung : Mizan Media Utama, 2006
Ahmad Rodoni dan Abdul hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Zikrul
Hakim, 2008
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : Ekonisia,
2003
Rachmadi Usman, Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di
Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001, cet. ke-1
al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid. III, tt: Syarikah Nur Asia, 1981
Haroen, Nasrun, H., Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000,
cet. ke-1
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatuhu al-Muqtashid, Jilid II,
Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Jilid IV, Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-
Haditsah, t.t.
al-Khatib, Asy-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr,
1978
al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, Jilid VI, Mesir: al-Muniriyah, t.t.
Mahmud Muhammad Syaltut dan M. Ali As-Sayis, Muqaranah al-
Madzahib fi al-Fiqh, al-Azhar: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih,
1953 M./1373 H.
Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, terj. Aswin
Simamora, Jakarta: PT Renika Cipta, 1990, cet ke-1
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Sa’id, Abdullah as-Sattar Fathullah, al-Mu’amalat fi al-Isalam, Mekah:
Rabithah al-Alam al-Islami : Idarah al-Kitab al-Islami, 1402 H.
Gadai Syariah
al-Ihkâm

Anda mungkin juga menyukai