Disusun oleh:
Kelompok 5
Riba dikenal sebagai istilah yang erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi. Larangan riba
merupakan salah satu pilar utama ekonomi Islam, disamping pelaksanaan zakat dan larangan
maisir, gharar dan hal-hal bathil lainnya. Secara ekonomi, larangan riba akan menjamin arus
investasi yang optimal, pelaksanaan zakat akan meningkatkan permintaan agregat dan mendorong
properti mengalir menjadi investasi, sedangkan larangan maysir, gharar dan hal-hal lain yang
bersifat bathil akan menjamin aliran investasi ke sektor riil. tujuan produktif, yang pada gilirannya
akan meningkatkan pasokan agregat (Ascarya, 2007: 8). Larangan riba pada hakikatnya adalah
penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam perekonomian. Penghapusan riba
dalam ilmu ekonomi Islam dapat diartikan sebagai penghapusan riba yang terjadi dalam jual beli
dan hutang. Dalam konteks ini, berbagai transaksi spekulatif yang mengandung unsur gharar harus
dilarang.
Mencermati persoalan riba ini sebenarnya sangat terkait erat dengan masalah keuangan dan
perbankan. Belum lama hilang dari ingatan kita, tragedi krisis moneter 1997 dimana ekonomi
Indonesia terpuruk, bahkan telah menjadi krisis multidimensi. Perekonomian Indonesia yang ikut
terseret dalam kisaran krisis yang berkepanjangan ini ditengarai akibat pengelolaan kebijakan
moneter yang tidak efektif (Nasution, dkk, 2006: 261).
Untuk itu, dalam penulisan makalah ini kelompok kami berupaya untuk mengkaji persoalan
riba dalam persepektif keuangan Islam. Pembahasannya akan dimulai dari menguak latar belakang
historis munculnya riba, konsep riba dan bunga dalam ekonomi Islam, kritik terhadap teori-teori
bunga dan kontroversi seputar riba dan bunga bank, mengupas persoalan riba dan masalah
keuangan, yang meliputi konsep uang dalam Islam, uang dalam sistem ekonomi Islam, pelarangan
riba dalam sistem keuangan Islam, cara mengembangkan uang yang tidak mengandung riba, dan
akhir pembahasan tulisan ini menawarkan profit-loss sharing sebagai solusi alternatif pengganti
sistem bunga.
PEMBAHASAN
Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan pokok
tersebut berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti di muka dan
pada umumnya berdasarkan persentase (Antonio, 2011: 90)
Riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual
beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam (Ali, 2008)
Dari pengertian diatas perbedaan riba dengan bunga bank yaitu riba sistemnya
menggandakan uang tetapi cenderung untuk keperluan pribadi dan tidak sah menurut
hukum, seperti rintenir (memperkaya diri sendiri). Sedangkan bunga bank
sistemnya untuk membantu masyarakat (tolong-menolong) kemudian kuntungan
tersebut dibagi hasil (bagi hasil kerjasama/musyarakah) oleh anggotanya
(nasabah) dan sah menurut hukum (legal), seperti bunga BNI, BRI, BCA dsb.
Pertukaran atau jual beli barang ribawi dengan kuantitas, kualitas, atau kadar takaran yang
berbeda. Barang ribawi itu sendiri disebutkan dalam hadits sebagai emas, perak, gandum, gandum
merah, garam, dan kurma. Dalam hadits lain disebutkan sebagai emas, perak, dan bahan makanan.
Sehingga dalam Islam, untuk barang barang tersebut pertukaran yang dilakukan haruslah
memenuhi jumlah dan kualitas yang sama.
➢ Contoh praktik riba fadhl misalnya seseorang menukar 10 gram emas (20 karat) dengan 11
gram emas (19 karat). Contoh lainnya 2 kilo gandum berkualitas baik ditukar dengan 3 kilo
gandum berkualitas buruk.
2) Riba Qardh
Adanya persyaratan kelebihan pengembalian pinjaman yang dilakukan di awal akad perjanjian
hutang-piutang oleh pemberi pinjaman terhadap yang berhutang tanpa tahu untuk apa kelebihan
tersebut digunakan.
➢ Contohnya seperti rentenir yang meminjamkan uang 10 juta kepada peminjam, kemudian
peminjam harus mengembalikan 11 juta tanpa dijelaskan kelebihan dana tersebut untuk apa.
Tambahan 1 juta pada kasus inilah yang disebut sebagai riba qardh dan hanya akan merugikan
peminjam plus menguntungkan si rentenir.
3) Riba Jahiliyah
Adanya tambahan nilai hutang karena adanya tambahan tempo pembayaran hutang disebabkan
peminjam tidak mampu membayar hutang pada waktunya. Praktik riba seperti ini banyak
diterapkan pada masa jahiliyah.
➢ Contohnya pemberi hutang berkata kepada pihak penerima hutang saat jatuh tempo, “kamu
lunasi hutang sekarang sesuai jumlah kamu berhutang atau membayar dikemudian hari dengan
syarat adanya tambahan jumlah hutang”.
➢ Contoh lainnya adalah penggunaan kartu kredit. Saat pengguna kartu kredit membeli barang
senilai 1 juta dan tidak mampu membayar penuh saat jatuh tempo, maka penguna diharuskan
membayar bunga atas tunggakan kartu kreditnya tersebut.
4) Riba Yad
Transaksi yang tidak menegaskan berapa nominal harga pembayaran atau ketika seseorang
berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli.
➢ Contoh misalnya seorang penjual menawarkan mobil dengan harga 90 juta jika membayar
tunai dan 95 juta jika membayar dengan cicilan. Kemudian ada seseorang yang ingin membeli,
tetapi sampai akhir transaksi tidak ada kesepakatan antara keduanya berapakah harga yang
harus dibayarkan.
5) Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba ini mirip dengan riba fadhl hanya saja ada perbedaan pada serah terima barang jual
beli.
➢ Contohnya dua orang saling bertukar emas. Satu orang memiliki emas 24 karat ingin ditukar
dengan emas 24 karat dengan timbangan yang sama. Akan tetapi emas 24 karat yang satunya
baru diserahkan satu bulan setelah perjanjian transaksi disetujui masing-masing pihak padahal
harga emas bisa saja berubah sewaktu-waktu.
2.4 Dalil dari Al-Qur’an beserta tafsirnya dan hadist yang berkaitan dengan riba.
2.4.1 Al-Quran dan Tafsirnya
• Tertera pada QS. Ar-Rum 30 : 39
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kau berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Penjelasan: Harta yang kita berikan kepada orang-orang pemakan riba dengan tujuan untuk
menambah harta mereka, tidaklah suci di sisi Allah dan tidak akan diberkahi. Sedangkan,
zakat yang kita berikan kepada orang lain dengan ikhlas dan bertujuan untuk
mengharapkan rida Allah, tanpa riya serta mengharapkan upah, maka Allah akan
melipatgandakan pahala dari segala amal baiknya.
Tafsir Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi:
(Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya sesuatu yang diberikan
atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang
lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan
tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah (agar dia menambah pada harta
manusia) yakni orang-orang yang memberi itu, lafal yarbuu artinya bertambah banyak
(maka riba itu tidak menambah) tidak menambah banyak (di sisi Allah) yakni tidak ada
pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. (Dan apa yang kalian berikan berupa
zakat) yakni sedekah (untuk mencapai) melalui sedekah itu (keridaan Allah, maka itulah
orang-orang yang melipatgandakan) pahalanya sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.
Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara
atau mukhathabin.
Tafsir Ibnu Katsur:
Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi,
Sesungguhnya pahala di sisi Allah itu hanyalah pahala zakat. Karena itu, disebutkan
dalam firman selanjutnya:
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya). (QS. Ar-Rum [30]: 39)
Merekalah orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, sebagaimana
yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui sabda Nabi ﷺ:
Tidaklah seseorang menyedekahkan sesuatu yang semisal dengan sebiji kurma dari hasil
yang halal, melainkan Tuhan Yang Maha Pemurah menerimanya dengan tangan kanan-
Nya, lalu mengembangkannya buat pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kalian
memelihara anak kudanya atau anak untanya, hingga sebiji kurma itu menjadi lebih besar
daripada Bukit Uhud.
• Tertera pada QS. An-Nisa 4 : 160-161
Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka
itu siksa yang pedih”.
Penjelasan: Ayat ini mendeskripsikan bahwa kebiasaan orang-orang Yahudi itu senang
memakan riba dan kebiasaan memakan harta dengan cara yang batil. Padahal Allah telah
melarang dan mengharamkan yang demikian itu bagi mereka.
Tafsir Ibnu Katsur:
- Ayat 160; Allah SWT memberitahukan bahwa disebabkan perbuatan aniaya orang-
orang Yahudi karena mereka telah melakukan berbagai macam dosa besar, maka Allah
mengharamkan kepada mereka makanan yang dihalalkan bagi mereka sebelumnya.
- Ayat 161; Allah SWT telah melarang mereka melakukan riba, tetapi mereka
menjalankannya dan menjadikannya sebagai pekerjaan mereka, lalu mereka
melakukan berbagai macam kilah dan pengelabuan untuk me-nutupinya, dan mereka
memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
• Tertera pada QS. Al-Baqarah 2 : 276
Artinya: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Penjelasan: Allah akan melenyapkan seluruh riba dan mengharamkan pelakunya dari
mendapat keberkahan hartanya maka dia tida dapat menfaat darinya, dan menumbuhkan
sedekah serta memperbanyaknya melipat gandakan pahala bagi orang-orang yang
bersedekah dan memberkahi mereka dalam harta kekayaan mereka. Dan Allah tidak
menyukai orang yang tetap bersikeras di atas kekafirannya, menghalalkan makanan hasil
riba, lagi tak henti-hentinya dalam perbuatan dosa dan perkara haram serta maksiat-maksiat
kepada Allah.
2.4.2 Hadist
• Dari Abdullah r.a., Rasulullah saw bersabda:
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang makan riba, orang yang memberi
makan riba, saksinya dan penulisnya. (HR. Abu Dawud)
Rasullulah saw. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan dan
dua orang yang menyaksikan”. ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.”
• Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah
itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan
menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina”. (Bukhari, Bab Ramyul Muhsanat, No.
6351).
Pelarangan riba, menurut Qardhawi memiliki hikmah yang tersembunyi di balik pelarangannya
yaitu perwujudan persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta
pemikulan resiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Prinsip keadilan
dalam Islam ini tidak memihak kepada salah satu pihak, melainkan keduanya berada pada posisi
yang seimbang. Konsep pelarangan riba dalam Islam dapat dijelaskan dengan keunggulannya
secara ekonomis dibandingkan dengan konsep ekonomi konvensional.
Riba merupakan suatu bentuk transaksi ekonomi yang keharamannya bukan disebabkan karena
dzatnya, namun disebabkan oleh transaksi yang dilakukan (haram lighairihi). Ajaran Islam
melarang praktik riba (membungakan uang) dan mendorong umatnya untuk melakukan investasi
karena terdapat perbedaan mendasar antara antara investasi dan membungakan uang.
Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena perolehan
return-nya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap. Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis
ekonomi Islam adalah musyarakah atau mudharabah. Melalui transaksi musyarakah dan
mudharabah ini, kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan bunga, tetapi
mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari kerjasama ekonomi yang disepakati
bersama. Profit-loss sharing ini dapat dianggap sebagai sistem kerjasama yang lebih
mengedepankan keadilan dalam bisnis Islam, sehingga dapat dijadikan sebagai solusi alternatif
pengganti sistem bunga.
Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan
sistem bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik modal (surplus spending unit) bekerja
sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila kegiatan
usaha menghasilkan, keuntungan dibagi bersama dan apabila kegiatan usaha menderita kerugian,
kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi hasil ini dapat berbentuk mudharabah atau
musyarakah dengan berbagai variasinya. Dalam mudharabah terdapat kerja sama usaha antara dua
pihak dimana pihak (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai
mudharib (pengelola).
Alternatif pengganti bunga yang lain adalah partisipasi modal (equity participation) melalui
ekspektasi rate of return yang disebut sebagai musyarakah. Sektor riil merupakan sektor yang
paling penting disorot dalam ekonomi Islam karena berkaitan langsung dengan peningkatan output
dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Segala komponen dalam perekonomian diarahkan untuk
mendorong sektor riil ini, baik dalam memotivasi pelaku bisnis maupun dalam hal pembiayaannya
Ekspektasi return, berbeda dengan suku bunga yang selalu dijustifikasi pleh time value of
money, namun justru dikaitkan dengan economic value of money. Dengan demikian, faktor yang
menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif
dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Dengan pemanfaatan waktu sebaik-baiknya
untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan pendapatan yang dapat dinilai dengan uang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Riba dalam pandangan Islam berada dalam kelebihan baik dalam bentuk uang ataupun barang.
Riba berarti kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontak penukaran satu barang yang
sama, hingga itu disebut dengan riba. perbedaan riba dengan bunga bank yaitu riba
sistemnya menggandakan uang tetapi cenderung untuk keperluan pribadi dan tidak
sah menurut hukum, seperti rintenir (memperkaya diri sendiri). Sedangkan bunga
bank sistemnya untuk membantu masyarakat (tolong-menolong).
3.2 Saran
Dalam islam banyak alternatif pengganti bunga, seperti bagi hasil (profit and loss sharing)
sistem bagi hasil ini dapat berbentuk mudharabah atau musyarakah dengan berbagai variasinya.
Dan yang kedua ada partisipasi modal (equity participation) melalui ekspektasi rate of return yang
disebut sebagai musyarakah.
DAFTAR PUSTAKA
Setyawati, Ria Rohma dan Renny Oktafia. Tanpa Tahun. Riba dalam Pandangan Islam. Sidoarjo:
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Diakses tanggal 24 Mei 2021
http://eprints.umsida.ac.id/3733/1/Ria%20Rohma%20Setyawati.pdf
Rohayana, Ade Dedi. 2015. Riba dalam Tinjauan Al-Quran. Religia 18 (1). Pekalongan: STAIN
Pekalongan. Diakses tanggal 24 Mei 2021 http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/view/622/915
Apriathama, Reyhan. 2020. “Apa itu Riba? Ini Penjelasan Lengkapnya Menurut Para Ahli”.
Rumah123.com. Diakses tanggal 24 Mei 2021https://artikel.rumah123.com/apa-itu-riba-
ini-penjelasan-lengkapnya-menurut-para-ahli-
60439#:~:text=Ia%20menyebutkan%20definisi%20riba%20adalah,atau%20bertentangan
%20dengan%20ajaran%20islam.
Nurhadi. 2017. “Bunga Bank antara Halal dan Haram”. Nur El-Islam. Hlm 64.
https://media.neliti.com/media/publications/226418-bunga-bank-antara-
halal-dan-haram-dd98af56.pdf
Rahim, Abdul. 2015. “Konsep Bunga dan Prinsip Ekonomi Islam dalam Perbankan
Syariah”. Human Falah. Hlm 5-6.
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/humanfalah/article/view/184/131
Qazwa. 2019. “Macam Macam Riba & Contohnya dalam Kehidupan Sehari-hari” [Online].
Diakses tanggal 28 Mei 2021. https://qazwa.id/blog/macam-macam-riba/2/
Lufaefi. 2020. “7 Hadis Nabi tentang Larangan dan Bahaya Riba” [Online]. Diakses tanggal 28
Mei 2021. https://akurat.co/7-hadis-nabi-tentang-larangan-dan-bahaya-riba
Badruzman, Dudi. 2019. “Riba Dalam Presfekif Keuangan Islam”. Jurnal Al Amwal, 1 (2).
http://ojs.staibhaktipersada-bandung.ac.id/index.php/Alamwal/article/view/17/14
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation, Leiden: E.J. Brill, 1996
Afzalur Rahman, Economics Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Jakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 2002.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006.