Anda di halaman 1dari 21

TAFSIR AYAT TENTANG RIBA

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah


“Tafsir Ekonomi”
Dosen Pengampu: Hj. Nur Afiyah, M.Ag.

Disusun Oleh:
1. SiskaWulandari (931418618)
2. Aldi Ariful Hakim (931419718)
3. Ahmad Husein (931421818)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2019

i
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Riba yang dikenal sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya
pertukaran kompensasi1 dilarang oleh al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri telah
menjelaskan secara rinci tahapan pelarangan riba tersebut. Tahap pertama
sekedar menggambarkan adanya unsur negatif dalam riba (QS. al-Rum
[30]:39). Kemudian disusul dengan isyarat keharaman riba dengan
disampaikannya kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang melakukan
praktik riba (QS. al-Nisa‟ [4]:161). Berikutnya, secara eksplisit al-Qur‟an
mengharamkan riba dengan batasan adh’āfan mudh’afan (QS. Ali Imran [3]:
130) yang diikuti dengan pengharaman riba secara total dalam berbagai
bentuknya (QS. al-Baqarah [2]:275-281).
Di sisi lain, bunga bank yang diketahui sebagai imbal jasa pinjaman uang
pada sektor lembaga keuangan dan perbankan diidentifikasi sebagai riba.
Bunga ini dalam suatu periode tertentu disebut suku bunga. Suku bunga
merupakan tolok ukur dari kegiatan perekonomian dari suatu negara yang
akan berimbas pada kegiatan perputaran arus keuangan perbankan, inflasi,
investasi dan pergerakan currency. Dan biasanya negara-negara besar
merupakan negara yang memiliki currency terbesar dalam transaksi di bursa.
Aktivitas ekonomi yang terjadi di negara-negara tersebut memiliki pengaruh
yang kuat terhadap fundamental perekonomian dunia.2
Akan tetapi ketika terjadi krisis moneter di berbagai belahan dunia,
sejumlah pendapat bermunculan mengenai sebab utama yang
melatarbelakangi krisis ini. Stiglitz, menyebutkan bahwa krisis keuangan
terjadi sebagai akibat kesalahan di hampir semua putusan ekonomi. Barry
Eichengreen, melihat akar krisis selain berasal dari keserakahan pelaku pasar

1
Ibn al-„Arabî, Ahkām al-Qurān, juz 1, Mesir: Isa al-Halaby, 1957, hlm. 321
2
http://www.seputarforex.com/artikel/forex/lihat.php?id=124892 diunduh 19 Juni 2016.

1
2

(greed and corruption on wall street) juga menunjukkan beberapa kebijakan


ekonomi dalam beberapa dasawarsa terakhir sebagai sebab utama terjadinya
krisis. Fahim Khan melihat krisis berasal dari kesalahan mendasar praktik
ekonomi yang melindungi institusi keuangan dan perbankan untuk bermain
dan berspekulasi (gambling and speculation) di pasar keuangan.3 Sementara
Luthfi Hamidi menyebutkan bahwa krisis moneter yang sering terjadi di
berbagai belahan dunia tersebut tidak terlepas dari faktor suku bunga, di
samping hutang yang tidak terkendali dan faktor derivatif.4
Tulisan ini mencoba untuk mengurai benang merah antara keharaman riba
yang terdapat dalam al-Qur‟an dengan eksistensi bunga bank yang di satu sisi
menjadi kebutuhan dalam lembaga keuangan. Namun di sisi lain kerap disebut
sebagai penyebab krisis ekonomi tersebut. Apakah ada korelasi antara
pelarangan riba dalam al-Qur‟an dengan kondisi riil ekonomi yang berbasis
pada bunga bank saat ini.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi prioritas dalam pembahasan ini.
Pertama, mencoba melihat bagaimana historisitas pelarangan riba itu terjadi
dengan menggunakan analisis sosio-kultural. Hal ini penulis anggap penting,
sebab al-Qur‟an, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak lepas dari wilayah
budaya dan sejarah. Sebab, bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari
budaya manusia. Dalam melakukan analisis terhadap ayat-ayat riba, penulis
berusaha menjelaskan pengertian dan makna ayat-ayat riba tersebut dengan
langkah epistimologis yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan konteks-
konteksnya. Sebab teks al-Qur‟an, dalam konteks bahasa, merupakan bentuk
representasi dan keterwakilan budaya masyarakat di mana teks diproduksi.5

3
Edi Suandi Hamid, “Akar Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap Indonesia” dalam
La_Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. III, No. 1, Juli 2009, hlm. 2
4
M. Luthfi Hamidi, The Crisis: Krisis Manalagi Yang Engkau Dustakan, Jakarta: Republika, 2012
5
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Penerbit
Teraju, 2002, hlm. 202
3

Kedua, untuk mengurai makna riba dari dengan analisis semantik. Teks al-
Qur‟an, dalam hal ini ayat-ayat riba, dalam konteks linguistik merupakan
sistem tanda yang merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur
kalimat yang ada di dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks
hubungan sintagmatik dan assosiatif.6
Ketiga, mencoba menangkap pandangan dunia al-Qur‟an melalui analisis
semantik. Dalam pengertian etimologisnya, semantik merupakan ilmu yang
berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari
kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang dianggap memiliki makna
merupakan objek semantik. Menurut Toshihiko Izutsu, kajian semantik
merupakan kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan
suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual
weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa
itu.7

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dinamakan riba
2. Apasaja macam-macam riba
3. Bagaimana pendapat para mufassir mengenai riba

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dinamakan riba
2. Untuk mengetahui macam-macamnya riba
3. Untuk mengetahui penafsiran riba dalam perspektif Al-Qur’an

6
Hubungan associative biasa dikenal dengan istilah paradigmatic. Hubungan syntagmatic sebuah kata
adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di
belakangnya dalam sebuah kalimat.
7
Toshihiki Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of the Koranic Weltanschauung, Tokyo: The
Keio Institut of Cultural and Linguistic Studies, 1964, hlm. 12
PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba
Riba bukanlah hal baru bagi masyarakat Arab, karena orang-orang
sebelum mereka sudah mempraktekkannnya. Orang-orang Arab sebenarnya
menyadari bahwa perbuatan riba merupakan tindakan yang tercela.Akan
tetapi, praktik riba dalam kenyataan masyarakat Arab ternyata sangat massif,
dan dilakukan oleh banyak kalangan bangsawan dan orang-orang kaya.Praktik
riba bermula dari transaksi pinjam-meminjam, kemudian peminjam bersedia
untuk mengembalikan pinjaman tersebut sesuai waktu yang telah disepakati,
berikut tambahannya.8
Jika peminjam tidak dapat mengembalikanpinjamannya, maka pihak
yang meminjamkan (kreditur) akan memberi waktu tambahan namun dengan
syarat, peminjam (debitur) bersedia membayar sejumlah tambahan atas
pinjaman pokok tadi. Objek riba ini ternyata tidak hanya berbentuk uang,
tetapi juga bisa berbentuk hewan peliharaan dan hewan ternak lainnya. Riba
inilah yang mengakibatkan kaum lemah semakin tertindas akibat
ketidakberdayaannya dalam mengembalikan sejumlah pinjaman karena telah
jatuh tempo. Belum lagi dengan sejumlah tambahan yang telah disepakati
sebelumnya.
Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang
maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan
(zalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara
batil akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan

8
Ahmad Muzhaffar, dkk.,Riba Dalam Al-Quran: Sebuah Kajian Antropologis, (Volume 3, Nomer 1,
Juni 2015), diakses pada tanggal 16 September 2019, pukul 20.15 WIB di http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1384/1205 ., hal 110.

5
6

demikian esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan


penegakan keadilan dalam perekonomian.9

B. Macam-macam Riba menurut Para Ulama


1. Menurut Jumhur Ulama10

Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
a. Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta
pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis.

Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung


unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah
satu benda tersebut.

Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antarbarang


yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari
unsur riba.
b. Riba Nasi’ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak,
dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram
gandum dengan satu tengah kilogram gandum, yang dibayarkan
setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak ditimbang, seperti
membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan
dibayar setelah sebulan.

Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-
9
Umi Kalsum, Riba dan Bunga Bank dalam Islam, (Jurnal Al-`Adl), (Vol. 7 No. 2, Juli 2014), diakses
pada hari senin tanggal 16 September 2019, pukul 18.18 WIB di http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-
adl/article/view/220/210., hal 69.
10
Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2001) h.262-263
7

lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah.

2. Menurut Ulama Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas jenis :

a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah
satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain,
tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada
barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan
satu setengah kilogram kentang.

b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni
bercerai-cerai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima,
seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum dengan sya’ir
tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.

Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni


menambah yang tampak dari utang.

c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan,
tetapi ditambahkan harganya.

Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama- sama
terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba
yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah
mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis
riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi,
8

Zarkasyi menempatkannya pada riba fadhl.11

3. Qs Al-Baqarah ayat 278


ِِ ِّ ‫ين َآمنُوا َّات ُقوا اللَّهَ َوذَ ُروا َما بَِق َي ِم َن‬
َ ‫الربَا إِ ْن ُكْنتُ ْم ُم ْؤمن‬
‫ني‬ ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. (QS. 2:278)
a. Mufradat

Wahai orang-orang yang berima‫آ َمن ُ ْوا‬ ‫يَا اَيُّهَا الَّ ِذي َْن‬
Bertaqwalah kepada allahَ‫هللا‬ ‫اتَّقُوا‬
ْ ‫َو َذر‬
Dan tinggalkan‫ُوا‬

Sisa riba (yang belum dipungut)‫الرِّ بَا‬ ‫َما بَقِ َي ِم َن‬


Jika kamu‫ك ْنت ُ ْم‬
ُ ‫اِ ْن‬
َ ‫ُم ْؤ ِمنِي‬
Orang-orang yang beriman‫ْن‬

b. Asbabun Nuzul Surah Al-Baqarah (2) : 278


Bani Amr dari Tsaqif menghutangi (dengan riba) kepada Bani
Mughirah. Ketika telah jatuh tempo, mereka ingin memperoleh riba
(kelebihan harta) darinya, lalu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…” lalu Bani Amir berkata:

Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung:
11

CV Pustaka Setia, 2001) h.264


9

tidak ada kekuatan bagi kami untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Bertaubatlah dan ambillah uang pokoknya saja.12
Pada QS. al-Baqarah ayat 278: Ibnu Katsir menafsirkan bahwa
Allah SWT. berfirman seraya memerintahkan hamba-Nya yang beriman
untuk bertakwa kepada-Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan
hal-hal yang dapat mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan
menjauhkan dari keridhaan-Nya, di mana Dia berfirman, (‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
َ ‫“) اتَّقُوا هَّللا‬Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.“
Maksudnya, takutlah kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia
senantiasa mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.13
c. Tafsir Surah Al-Baqarah (2) : 278
a. Tafsir menurut jalalayn
Orang-orang yang memakan riba, artinya mengambilnya. Riba
itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan
makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya,
(tidaklah bangkit) dari kubur-kubur mereka (seperti bangkitnya
orang yang kemasukan setan disebabkan penyakit gila) yang
menyerang mereka; minal massi berkaitan dengan yaquumuuna.
(Demikian itu), maksudnya yang menimpa mereka itu (adalah
karena), maksudnya disebabkan mereka (mengatakan bahwa jual-
beli itu seperti riba) dalam soal diperbolehkannya.14 Berikut ini
kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu secara bertolak
belakang, maka firman Allah menolaknya, (padahal Allah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa
yang datang kepadanya), maksudnya sampai kepadanya (pelajaran)

12
Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni, Shafwatut Tafasir, terj. KH. Yasin, Pustak Al-Kautsar, Jakarta
Timur, 2001, hlm. 368.
13
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 406.
14
M,zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an (jakarta:Rajawali Press,1966).hlm 82.
10

atau nasihat (dari Tuhannya, lalu ia menghentikannya), artinya tidak


memakan riba lagi (maka baginya apa yang telah berlalu), artinya
sebelum datangnya larangan dan doa tidak diminta untuk
mengembalikannya (dan urusannya) dalam memaafkannya terserah
(kepada Allah. Dan orang-orang yang mengulangi) memakannya
dan tetap menyamakannya dengan jual beli tentang halalnya, (maka
mereka adalah penghuni neraka, kekal mereka di dalamnya).
b. Tafsir quraish Shihab
Riba, usaha, tindakan dan seluruh keadaan mereka akan
mengalami kegoncangan, jiwanya tidak tenteram. Perumpamaannya
seperti orang yang dirusak akalnya oleh setan sehingga terganggu
akibat gila yang dideritanya. Mereka melakukan itu, sebab mereka
mengira jual beli sama dengan riba: sama-sama mengandung unsur
pertukaran dan usaha. Kedua-duanya halal. Allah membantah
dugaan mereka itu dengan menjelaskan bahwa masalah halal dan
haram bukan urusan mereka. Dan persamaan yang mereka kira
tidaklah benar15. Allah menghalalkan praktek jual beli dan
mengharamkan praktek riba. Barangsiapa telah sampai kepadanya
larangan praktek riba lalu meninggalkannya, maka baginya riba
yang diambilnya sebelum turun larangan, dengan tidak
mengembalikannya. Dan urusannya terserah kepada ampunan
Allah. Dan orang yang mengulangi melakukan riba setelah
diharamkan, mereka itu adalah penghuni neraka dan akan kekal di
dalamnya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba jahiliah.
Prakteknya berupa pungutan tambahan dari utang yang diberikan
sebagai imbalan menunda pelunasan. Sedikit atau banyak
hukumnya tetap haram. Imam Ahmad mengatakan, "Tidak seorang
Muslim pun berhak mengingkarinya." Kebalikannya adalah riba
15
M.Quroish Shihab,Study Kritis Tafsir al Mannar, (Bandung:Pustaka Hidayah,1994),hlm 61.
11

dalam jual beli Para ahli fikih sepakat bahwa hukum penambahan
dalam tukar-menukar barang yang sejenis adalah haram. Mereka
membolehkan penambahan kalau jenisnya berbeda, tetapi haram
menunda pembayarannya. Mereka berselisih dalam masalah
barang-barang yang disebut di atas.
Pendapat yang paling bisa diterima, semua itu dikiaskan
dengan bahan makanan yang dapat disimpan. Dalam hal riba ala
jahiliah, ahli fikih menyepakati keharamannya. Yang mengingkari,
berarti telah kafir. Riba tersebut membuat pihak yang terlibat
mengalami depresi atau gangguan jiwa sebagai akibat terlalu
terfokus pada uang yang dipinjamkan atau diambil. Pihak yang
mengutangi gelisah karena jiwanya terbebas dari kerja. Sementara
yang berutang dihantui perasaan was-was dan khawatir tak bisa
melunasinya. Para pakar kedokteran menyimpulkan banyaknya
terjadi tekanan darah tinggi dan serangan jantung adalah akibat
banyaknya praktek riba yang dilakukan. Pengharaman riba dalam
al-Qur'ân dan agama-agama samawi lainnya adalah sebuah aturan
dalam perilaku ekonomi. Ini sesuai dengan pendapat para filosof
yang mengatakan bahwa uang tidak bisa menghasilkan uang. Para
ahli ekonomi menetapkan beberapa cara menghasilkan uang. Di
antara cara yang produktif adalah dengan bekerja di beberapa
bidang usaha seperti industri, pertanian dan perdagangan. Dan yang
tidak produktif adalah bunga atau praktek riba, karena tidak
berisiko. Pinjaman berbunga selamanya tidak akan merugi, bahkan
selalu menghasilkan16. Bunga adalah hasil nilai pinjaman. Kalau
sebab penghasilannya pinjaman, maka berarti usahanya melalui
perantaraan orang lain yang tentunya tidak akan rugi. Banyaknya
praktek riba juga menyebabkan dominasi modal di suatu bidang
16
Ibid.,hlm 82
12

usaha. Dengan begitu, akan mudah terjadi kekosongan dan


pengangguran yang menyebabkan kehancuran dan kemalasan.
c. Tafsir ibnu katsir
Ibnu Katsir berkata, “Allah Swt menyebutkan perihal orang-
orang yang memakan riba dan memakan harta orang lain dengan
cara yang batil serta melakukan usaha syubhat. Melalui ayat ini
Allah Swt memberitakan keadaan mereka kelak saat mereka
dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat
dihimpunnya semua makhluk. Untuk itu Allah Swt berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila”.Dengan kata lain, tidak sekali-kali
mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti melainkan
seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan
penyakit dan setan merasukinya17. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi mereka sangat buruk.
4. Surat Ali ‘Imran Ayat 130

‫اع َفةً ۖ َو َّات ُقوا اللَّهَ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬


َ‫ض‬ َ ‫َض َعافًا ُم‬ ِّ ‫ين َآمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا‬
ْ ‫الربَا أ‬ ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.

a. Mufradat

Nur Faizin Maswan,Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir:Membedah Khazanah Klasik,


17

(Yogyakarta:Menara Kudus,2002).cet, ke1,hlm 40.


13

‫يَا اَيُّهَا الَّ ِذي َْن‬


Wahai orang-orang yang beriman ‫آ َمن ُ ْوا‬

Janganlah kamu memakan ‫كل ُ ْوا‬ ُ ْ‫الَ تَأ‬


Riba ‫ربَا‬
ِّ ‫ال‬
Dengan berlipat gandaً‫عفَة‬
َ ‫ضا‬
َ ‫ُم‬ ƒ‫اَضْ َعافًا‬
Dan bertakwalah kepada allahَ‫هللا‬ ‫َواتَّقُ ْوا‬
ُ َّ‫لَ َعل‬
Agar kamu ‫ك ْم‬

َ ‫تُ ْفلِح ُْو‬


Beruntung ‫ن‬

b. Asbabun Nuzul Surat Ali ‘Imran Ayat 130


Berkata Ibnu Jarir: "Yang dimaksud Allah dalam ayat ini ialah :
Hai, orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya;
janganlah kamu memakan riba berlipat ganda, sebagaimana kamu
lakukan di masa jahiliah sesudah kamu masuk Islam, padahal kamu
telah diberi petunjuk oleh-Nya."
Di masa itu bila seseorang meminjam uang sebagaimana di-
sepakati waktu meminjam. maka orang yang punya uang menuntut
supaya utang itu dilunasi menurut waktu yang dijanjikan. Orang yang
berutang (karena belum ada uang untuk membayar) meminta tangguh
dan menjanjikan akan membayar nanti dengan tambahan yang
ditentukan. Setiap kali pembayaran tertunda ditambah lagi bunganya.
Inilah yang dinamakan riba berlipat ganda, dan Allah melarang kaum
muslimin melakukan hal yang seperti itu".
Sebagian ulama’ berijtihad memeras keringat untuk menemukan
hubungan ayat ini karena sebelumnya telah diuraikan panjang lebar
mengenai sejarah perang uhud, namun ada sebagian mereka tidak puas
14

dengan pandangan ulama lain berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat


ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah pendapat
al-Qaffal bahwa ,karena kaum musyrikin membiayai peperangan-
peperangan mereka, antara lain pada perang uhud, dengan harta yang
mereka hasilkan dari riba,boleh jadi terlintas dalam benak kaum
muslimin untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba.
Ayat ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah ke sana.
Al-biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka yang
terjadi dalam perang uhud adalah karena para pemanah meninggalkan
posisi mereka dari atas bukit untuk mengambil harta rampasan perang,
padahal nabi telah melarangnya. Harta yang mereka ambil itu serupa
dengan harta riba , dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang
merupakan bagian yang lebih dari hiasan dunia. Kesamaannya dalam
hal sesuatu yang terlarang, atau sesuatu yang lebih dari wajar, itulah
yang mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar tidak
memakan riba sebagaimana yang sering terjadi dalam masyarakat
jahiliyyah pada waktu itu, yakni yang berlipat ganda.18

c. Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 130


1) Ibnu Jarir at-Thobari
Al-Thabariy mengemukakan beberapa riwayat yang dapat
menghantarkan kepada pengertian adh’afan mudha’afah atau riba yang
berlaku pada masa turunya al-Qur’an, antara lain: Pertama, dari Zaid
bahwa ayahnya mengutarakan bahwa riba pada masa jahiliyyah adalah
dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berhutang,
bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh Kreditur (yang
menghutangi) dan berkata kepada debitur (yang berhutang); “bayarlah
18
M.Quraish Shihab,tafsir al-misbah (Jakarta:Lentera hati,2002).
15

atau kamu tambah untukku“. Maka apabila yang berhutang


mempunyai sesuatu (untuk membayarnya), ia melunasi hutangnya, dan
bila tidak, ia menjadikan hutangnya (bila seekor hewan) seekor hewan
yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjaminya). Apabila yang
dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua, maka
yang dijadikan pembayarannya seekor hewan yang berumur dua tahun
dan telah memasuki tahun ketiga, begitu juga seterusnya. Sedangkan
jika yang dipinjamnya materi (uang), kreditur mendatanginya untuk
menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya
sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum
lagi terbayar dijadikannya 400 dan seterusnya sampai ia mampu
membayar.
Kedua, Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh
Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyyah, yaitu
bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian
peminjam berkata kepadanya “untukmu (tambahan) sekian sebagai
imbalan penundaan pembayaran “, maka ditundalah pembayaran
tersebut untuknya.19
Ketiga, Qatadah menyatakan menyatakan bahwa riba pada masa
jahiliyyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan
pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut,
sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk
membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa
pembayarannya
2) Ahmad Mustafa al-Maraghi
Riba pada masa jahiliyyah adalah riba yang dinamai pada masa
sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan),
19
Harun, Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab, (Vol. 27 Mei 2019), diakses pada hari Rabu 19
September 2019, pukul 21.17 WIB di http://journals.ums.ac.id/index.php/suhuf/article/view/668., hal
50.
16

yakni keuntungan yang berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-


lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari
penambahan (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi
pertama seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan)
110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka
merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit
penambahan pada transaksi pertama). Apabila telah tiba masa
pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu
telah berada dalam genggaman mereka (yang memberi pinjaman),
maka mereka memaksa untuk mengadakanpelipatgandaan sebagai
imbalan penundaan. Inilah yang dinamai riba al-nasi’ah (riba akibat
penundaan). Ibnu Abbas berpendapat bahwa nash al_Qur’an menunjuk
kepada riba al-nasi’ah yang dikenal (ketika) itu.20
3) M. Quraish Shihab
Pelipatgandaan yang disebutkan dalam riwayat pertama adalah
perkalian dua kali, sedang pada riwayat kedua dan ketiga
pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekedar penambahan
dari jumlah kredit. Hal ini mengandung makna satu dari dua
kemungkinan ; memahami masing-masing riwayat secara berdiri
sendiri artinya riba yang dilarang adalah setiap tambahan dari jumlah
hutang dalam kondisi tertentu, baik penambahan itu berlipat ganda
ataupun tidak berlipat ganda atau memadukan riwayatriwayat tersebut,
sehingga dapat dipahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh
riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah
penambahan yang berlipat ganda. Makna yang kedua ini secara lahir di
dukung oleh redaksi dan dipandang sah.21
5. Surat An-Nisa’ Ayat 161

20
Ibid., 51.
21
Ibid., 52
17

ِ ِ ِ ِ ِ ‫الربا وقَ ْد نُهوا عْنه وأَ ْكلِ ِهم أَمو َال الن‬ ِ ِ ‫وأ‬
َ ‫َّاس بالْبَاط ِل َوأ َْعتَ ْدنَا ل ْل َكاف ِر‬
‫ين‬ َ ْ ْ َ ُ َ ُ َ َ ِّ ‫َخذه ُم‬ ْ َ
‫يما‬ِ ِ
ً ‫مْن ُه ْم َع َذابًا أَل‬
Artinya: Dan disebabkan mereka menjalankan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Dan kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih.
a. Mufradat

ِ ‫َوأَ ْخ ِذ‬
Dan karena mereka menjalankan riba ‫ه ُم‬

َّ ‫ال‬
Riba‫ربَا‬

(padahal) sungguh, mereka telah dilarang‫نُه ُْوا‬ ‫َوقَ ْد‬


Darinyaُ ‫ع ْنه‬
َ
ِ ِ‫َوأَ ْكل‬
Dan karena mereka memakan ‫ه ْم‬

Harta orang ‫اس‬ َ ‫أَ ْم َو‬


ِ َّ‫الن‬
‫ال‬
Dengan cara tidak sah (batil) ‫ل‬ ِ َ‫بَ ْالب‬
ِ ‫اط‬
ْ َ‫َوأ‬
Dan kami sediakan ‫عتَ ْدنَا‬

َ ‫لِ ْل َكافِ ِري‬


Untuk orang-orang kafir ‫ْن‬

Diantara mereka ‫ِم ْنه ُ ْم‬

Azab ‫ع َذابًا‬
َ
Yang pedih ‫أَلِ ْي ًما‬
18

b. Asbabun Nuzul Surat An-Nisa’ Ayat 161


Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi
biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi
aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang
telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang
diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang
diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah
riba.Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah
secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam,
Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid saja yang
tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT
menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan
sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk
mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi
Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b.
Uyainah dari Amr b. Ash).
Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk.
Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang yahudi dilarang
melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga
mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu
yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat
pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah
(Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum
muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum
muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk
sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.22
c. Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 161

22
Dwi Swiknyo,Kompilasi tafsir”ayat-ayat Ekonomi Islam”(Yogjakarta:Pustaka pelajar,2010)
19

Dalam tafsir Al-Misbah : Karena mereka memberlakukan riba


padahal Allah telah mengharamkan dan karena memakan harta orang
secara tidak benar, agama memberikan hukuman berupa
pengharaman makanan yang baik-baik kepada mereka.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang kafir siksa yang
menyakitkan.23

23
Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, (Bandung: PT Almaarif, 2007)., 47
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang
maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan
(zalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil
akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian
esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan
keadilan dalam perekonomian.

Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
1. Riba Fadhl
2. Riba Nasi’ah
Semua mufassir mengemukakan bahwa riba adalah haram.

B. Saran
Adapun saran yang saya sampaikan dalam makalah ini ialah, agar kita
dapat memahami apa yang dimaksud dengan riba’ dan dengan harapan agar
teman-teman dapat menghindari perbuatan riba’.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ibn al-‘Arabî, Ahkām al-Qurān, juz 1, Mesir: Isa al-Halaby, 1957.


http://www.seputarforex.com/artikel/forex/lihat.php?id=124892 diunduh 19 Juni
2016.
Edi Suandi Hamid, “Akar Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap
Indonesia” dalam La_Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. III, No. 1, Juli
2009.
M. Luthfi Hamidi, The Crisis: Krisis Manalagi Yang Engkau Dustakan, Jakarta:
Republika, 2012
Harun, Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab, (Vol. 27 Mei 2019), diakses
pada hari Rabu 19 September 2019, pukul 21.17 WIB di
http://journals.ums.ac.id/index.php/suhuf/article/view/668
Kalsum, Umi.,Riba dan Bunga Bank dalam Islam, (Jurnal Al-`Adl), (Vol. 7 No. 2,
Juli 2014), diakses pada hari senin tanggal 16 September 2019, pukul 18.18
WIB di http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-adl/article/view/220/210
Katsir, Ibnu.,Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923)
Maswan, Nur FaizinKajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir:Membedah Khazanah
Klasik,(Yogyakarta:Menara Kudus,2002)
Muzhaffar, Ahmad dkk.,Riba Dalam Al-Quran: Sebuah Kajian Antropologis,
(Volume 3, Nomer 1, Juni 2015), diakses pada tanggal 16 September 2019,
pukul 20.15 WIB di http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1384/1205
Shiddieqy, Hasbi ash Tafsir al-Bayan, (Bandung: PT Almaarif, 2007)
Shihab, M.Quroish.,Study Kritis Tafsir al Mannar, (Bandung:Pustaka Hidayah,1994)
Zuhri, M.,Riba Dalam Al-Qur’an (jakarta:Rajawali Press,1966)

21

Anda mungkin juga menyukai