Disusun Oleh:
1. SiskaWulandari (931418618)
2. Aldi Ariful Hakim (931419718)
3. Ahmad Husein (931421818)
i
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Riba yang dikenal sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya
pertukaran kompensasi1 dilarang oleh al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri telah
menjelaskan secara rinci tahapan pelarangan riba tersebut. Tahap pertama
sekedar menggambarkan adanya unsur negatif dalam riba (QS. al-Rum
[30]:39). Kemudian disusul dengan isyarat keharaman riba dengan
disampaikannya kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang melakukan
praktik riba (QS. al-Nisa‟ [4]:161). Berikutnya, secara eksplisit al-Qur‟an
mengharamkan riba dengan batasan adh’āfan mudh’afan (QS. Ali Imran [3]:
130) yang diikuti dengan pengharaman riba secara total dalam berbagai
bentuknya (QS. al-Baqarah [2]:275-281).
Di sisi lain, bunga bank yang diketahui sebagai imbal jasa pinjaman uang
pada sektor lembaga keuangan dan perbankan diidentifikasi sebagai riba.
Bunga ini dalam suatu periode tertentu disebut suku bunga. Suku bunga
merupakan tolok ukur dari kegiatan perekonomian dari suatu negara yang
akan berimbas pada kegiatan perputaran arus keuangan perbankan, inflasi,
investasi dan pergerakan currency. Dan biasanya negara-negara besar
merupakan negara yang memiliki currency terbesar dalam transaksi di bursa.
Aktivitas ekonomi yang terjadi di negara-negara tersebut memiliki pengaruh
yang kuat terhadap fundamental perekonomian dunia.2
Akan tetapi ketika terjadi krisis moneter di berbagai belahan dunia,
sejumlah pendapat bermunculan mengenai sebab utama yang
melatarbelakangi krisis ini. Stiglitz, menyebutkan bahwa krisis keuangan
terjadi sebagai akibat kesalahan di hampir semua putusan ekonomi. Barry
Eichengreen, melihat akar krisis selain berasal dari keserakahan pelaku pasar
1
Ibn al-„Arabî, Ahkām al-Qurān, juz 1, Mesir: Isa al-Halaby, 1957, hlm. 321
2
http://www.seputarforex.com/artikel/forex/lihat.php?id=124892 diunduh 19 Juni 2016.
1
2
3
Edi Suandi Hamid, “Akar Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap Indonesia” dalam
La_Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. III, No. 1, Juli 2009, hlm. 2
4
M. Luthfi Hamidi, The Crisis: Krisis Manalagi Yang Engkau Dustakan, Jakarta: Republika, 2012
5
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Penerbit
Teraju, 2002, hlm. 202
3
Kedua, untuk mengurai makna riba dari dengan analisis semantik. Teks al-
Qur‟an, dalam hal ini ayat-ayat riba, dalam konteks linguistik merupakan
sistem tanda yang merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur
kalimat yang ada di dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks
hubungan sintagmatik dan assosiatif.6
Ketiga, mencoba menangkap pandangan dunia al-Qur‟an melalui analisis
semantik. Dalam pengertian etimologisnya, semantik merupakan ilmu yang
berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari
kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang dianggap memiliki makna
merupakan objek semantik. Menurut Toshihiko Izutsu, kajian semantik
merupakan kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan
suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual
weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa
itu.7
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dinamakan riba
2. Apasaja macam-macam riba
3. Bagaimana pendapat para mufassir mengenai riba
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dinamakan riba
2. Untuk mengetahui macam-macamnya riba
3. Untuk mengetahui penafsiran riba dalam perspektif Al-Qur’an
6
Hubungan associative biasa dikenal dengan istilah paradigmatic. Hubungan syntagmatic sebuah kata
adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di
belakangnya dalam sebuah kalimat.
7
Toshihiki Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of the Koranic Weltanschauung, Tokyo: The
Keio Institut of Cultural and Linguistic Studies, 1964, hlm. 12
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Riba bukanlah hal baru bagi masyarakat Arab, karena orang-orang
sebelum mereka sudah mempraktekkannnya. Orang-orang Arab sebenarnya
menyadari bahwa perbuatan riba merupakan tindakan yang tercela.Akan
tetapi, praktik riba dalam kenyataan masyarakat Arab ternyata sangat massif,
dan dilakukan oleh banyak kalangan bangsawan dan orang-orang kaya.Praktik
riba bermula dari transaksi pinjam-meminjam, kemudian peminjam bersedia
untuk mengembalikan pinjaman tersebut sesuai waktu yang telah disepakati,
berikut tambahannya.8
Jika peminjam tidak dapat mengembalikanpinjamannya, maka pihak
yang meminjamkan (kreditur) akan memberi waktu tambahan namun dengan
syarat, peminjam (debitur) bersedia membayar sejumlah tambahan atas
pinjaman pokok tadi. Objek riba ini ternyata tidak hanya berbentuk uang,
tetapi juga bisa berbentuk hewan peliharaan dan hewan ternak lainnya. Riba
inilah yang mengakibatkan kaum lemah semakin tertindas akibat
ketidakberdayaannya dalam mengembalikan sejumlah pinjaman karena telah
jatuh tempo. Belum lagi dengan sejumlah tambahan yang telah disepakati
sebelumnya.
Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang
maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan
(zalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara
batil akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan
8
Ahmad Muzhaffar, dkk.,Riba Dalam Al-Quran: Sebuah Kajian Antropologis, (Volume 3, Nomer 1,
Juni 2015), diakses pada tanggal 16 September 2019, pukul 20.15 WIB di http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1384/1205 ., hal 110.
5
6
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
a. Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta
pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis.
Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-
9
Umi Kalsum, Riba dan Bunga Bank dalam Islam, (Jurnal Al-`Adl), (Vol. 7 No. 2, Juli 2014), diakses
pada hari senin tanggal 16 September 2019, pukul 18.18 WIB di http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-
adl/article/view/220/210., hal 69.
10
Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2001) h.262-263
7
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah
satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain,
tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada
barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan
satu setengah kilogram kentang.
b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni
bercerai-cerai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima,
seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum dengan sya’ir
tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.
c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan,
tetapi ditambahkan harganya.
Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama- sama
terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba
yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah
mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis
riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi,
8
Wahai orang-orang yang berimaآ َمن ُ ْوا يَا اَيُّهَا الَّ ِذي َْن
Bertaqwalah kepada allahَهللا اتَّقُوا
ْ َو َذر
Dan tinggalkanُوا
Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung:
11
tidak ada kekuatan bagi kami untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Bertaubatlah dan ambillah uang pokoknya saja.12
Pada QS. al-Baqarah ayat 278: Ibnu Katsir menafsirkan bahwa
Allah SWT. berfirman seraya memerintahkan hamba-Nya yang beriman
untuk bertakwa kepada-Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan
hal-hal yang dapat mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan
menjauhkan dari keridhaan-Nya, di mana Dia berfirman, (يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا
َ “) اتَّقُوا هَّللاHai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.“
Maksudnya, takutlah kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia
senantiasa mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.13
c. Tafsir Surah Al-Baqarah (2) : 278
a. Tafsir menurut jalalayn
Orang-orang yang memakan riba, artinya mengambilnya. Riba
itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan
makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya,
(tidaklah bangkit) dari kubur-kubur mereka (seperti bangkitnya
orang yang kemasukan setan disebabkan penyakit gila) yang
menyerang mereka; minal massi berkaitan dengan yaquumuuna.
(Demikian itu), maksudnya yang menimpa mereka itu (adalah
karena), maksudnya disebabkan mereka (mengatakan bahwa jual-
beli itu seperti riba) dalam soal diperbolehkannya.14 Berikut ini
kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu secara bertolak
belakang, maka firman Allah menolaknya, (padahal Allah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa
yang datang kepadanya), maksudnya sampai kepadanya (pelajaran)
12
Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni, Shafwatut Tafasir, terj. KH. Yasin, Pustak Al-Kautsar, Jakarta
Timur, 2001, hlm. 368.
13
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 406.
14
M,zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an (jakarta:Rajawali Press,1966).hlm 82.
10
dalam jual beli Para ahli fikih sepakat bahwa hukum penambahan
dalam tukar-menukar barang yang sejenis adalah haram. Mereka
membolehkan penambahan kalau jenisnya berbeda, tetapi haram
menunda pembayarannya. Mereka berselisih dalam masalah
barang-barang yang disebut di atas.
Pendapat yang paling bisa diterima, semua itu dikiaskan
dengan bahan makanan yang dapat disimpan. Dalam hal riba ala
jahiliah, ahli fikih menyepakati keharamannya. Yang mengingkari,
berarti telah kafir. Riba tersebut membuat pihak yang terlibat
mengalami depresi atau gangguan jiwa sebagai akibat terlalu
terfokus pada uang yang dipinjamkan atau diambil. Pihak yang
mengutangi gelisah karena jiwanya terbebas dari kerja. Sementara
yang berutang dihantui perasaan was-was dan khawatir tak bisa
melunasinya. Para pakar kedokteran menyimpulkan banyaknya
terjadi tekanan darah tinggi dan serangan jantung adalah akibat
banyaknya praktek riba yang dilakukan. Pengharaman riba dalam
al-Qur'ân dan agama-agama samawi lainnya adalah sebuah aturan
dalam perilaku ekonomi. Ini sesuai dengan pendapat para filosof
yang mengatakan bahwa uang tidak bisa menghasilkan uang. Para
ahli ekonomi menetapkan beberapa cara menghasilkan uang. Di
antara cara yang produktif adalah dengan bekerja di beberapa
bidang usaha seperti industri, pertanian dan perdagangan. Dan yang
tidak produktif adalah bunga atau praktek riba, karena tidak
berisiko. Pinjaman berbunga selamanya tidak akan merugi, bahkan
selalu menghasilkan16. Bunga adalah hasil nilai pinjaman. Kalau
sebab penghasilannya pinjaman, maka berarti usahanya melalui
perantaraan orang lain yang tentunya tidak akan rugi. Banyaknya
praktek riba juga menyebabkan dominasi modal di suatu bidang
16
Ibid.,hlm 82
12
a. Mufradat
20
Ibid., 51.
21
Ibid., 52
17
ِ ِ ِ ِ ِ الربا وقَ ْد نُهوا عْنه وأَ ْكلِ ِهم أَمو َال الن ِ ِ وأ
َ َّاس بالْبَاط ِل َوأ َْعتَ ْدنَا ل ْل َكاف ِر
ين َ ْ ْ َ ُ َ ُ َ َ ِّ َخذه ُم ْ َ
يماِ ِ
ً مْن ُه ْم َع َذابًا أَل
Artinya: Dan disebabkan mereka menjalankan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Dan kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih.
a. Mufradat
ِ َوأَ ْخ ِذ
Dan karena mereka menjalankan riba ه ُم
َّ ال
Ribaربَا
Azab ع َذابًا
َ
Yang pedih أَلِ ْي ًما
18
22
Dwi Swiknyo,Kompilasi tafsir”ayat-ayat Ekonomi Islam”(Yogjakarta:Pustaka pelajar,2010)
19
23
Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, (Bandung: PT Almaarif, 2007)., 47
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang
maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan
(zalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil
akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian
esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan
keadilan dalam perekonomian.
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
1. Riba Fadhl
2. Riba Nasi’ah
Semua mufassir mengemukakan bahwa riba adalah haram.
B. Saran
Adapun saran yang saya sampaikan dalam makalah ini ialah, agar kita
dapat memahami apa yang dimaksud dengan riba’ dan dengan harapan agar
teman-teman dapat menghindari perbuatan riba’.
20
DAFTAR PUSTAKA
21