Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadits Tarbawi
Di Susun Oleh:
Nidaul
Rizqi Khoerun Nasir (18.3.018)
Syaliza
SEMESTER 3 A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM GARUT
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kemudahan
kepada penulis dalam pembuatan makalah ini, yang hingga akhirnya terselesaikan dengan
tepat waktu, serta diberi kesehatan dalam mengerjakannya, tanpa pertolongan-Nya tentu kami
tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga
tercurah limpahakan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW kepada
keluarganya yang hingga sampai kepada kita selaku umatnya untuk mendapat syafaat-Nya di
yaumul akhir nanti.
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Hadits Tarbawi. Selain itu karya tulis ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang praktik dan kiat-kiat mengajar, khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pembaca.
Kami sadar bahwa karya tulis ini belum dekat dari kata sempurna melainkan masih
jauh dari kata sempurna. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan dan yang lainnya,
oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan sarannya demi perbaikan
makalah ini dimasa yang akan datang.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan
umumnya bagi para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadits Pertama..............................................................................................2
B. Hadits Kedua ................................................................................................3
C. Hadits Ketiga ................................................................................................5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana memahami hadits-hadits tentang praktik dan kiat mengajar?
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
A. Hadits Pertama
ُا ْب َن ِباَل لٍ َع ْن حَي ْ ىَي َوه َُو ا ْب ُن َس ِعي ٍد قَا َل اَك َن َس ِعيد َحدَّ ثَنَا َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن َم ْسلَ َم َة ْب ِن قَ ْعنَ ٍب َحدَّ ثَنَا ُسلَ ْي َم ُان يَعْيِن
اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َم ْن ْاحتَ َك َر فَه َُو خَا ِطٌئ فَ ِقي َل ِل َس ِعي ٍد ول اهَّلل ِ َصىَّل ُ ْب ُن الْ ُم َسي َّ ِب حُي َ ِّد ُث َأ َّن َم ْع َم ًرا قَا َل قَا َل َر ُس
َ فَ ن ََّك حَت ْ َت ِك ُر قَا َل َس ِعي ٌد َّن َم ْع َم ًرا اذَّل ِ ي اَك َن حُي َ ِّد ُث ه ََذا الْ َح ِد
يث اَك َن حَي ْ َت ِك ُر
ِإ ِإ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman -yaitu Ibnu Bilal- dari Yahya -yaitu Ibnu Sa'id- dia berkata, "Sa'id bin
Musayyab menceritakan bahwa Ma'mar berkata, "Rasulullah ﷺbersabda, "Barang siapa
menimbun barang, maka dia berdosa."
Penjelasan Hadits
Pengertian ihtakaro احْ تَ َك َر tindakan menyimpan harta manfaat atau jasa, dan enggan
menjual atau memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga
pasaran secara drastis. Di sebabkan persedian terbatas atau stok barang hilang sama sekali
dari pasar. Sementara masyarakat Negara, maupun hewan amat membutuhkan produk.
Manfaat mempunyai jasa tersebut.
Ulama’ juga berbeda berpendapat mengenai jenis barang yang di timbun. Ulama’
Malikiyyah, sebagian ulama’ hanabilah Abu Yusuf dan Ibnu Abidin (pakar fiqih hanafi)
menyatakan bahwa larangan ikhtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan. Tetapi
ini meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka yang menjadi illat
(motifasi hukum) dalam larangan melakukan ikhtikar itu adalah “ kemudhorotan yang
menimpa orang banyak”, oleh sebab itu kemudhorotan yang menimpa orang tidak terbatas
pada makanan, pakaian dan hewan. Tetapi mencakup seluruh produk yang di perlukan orang
banyak.
Imam As-Syaukani tidak merinci produk apa saja yang di simpan sehingga seseorang
dapat di katakan sebagai mukhtahir jika barang itu untuk di jual ketika harga melonjak.
Bahkan mam As- Syaukani tidak membedakan apakah penimbangan itu terjadi ketika pasar
berada dalam keadaan normal (pasar stabil) atau dalam keadaan pasar tidak stabil
B. Hadits Kedua
حدثنا عبدة بن عبد هللا حدثنا عبد الصمد قال حدثنا عبد هللا بن املثىن ق ال ح دثنا مثام ة بن عب د هللا عن
مث أن ه اكن إذا تلكم بلكم ة أعاده ا ثالاث ح ىت تفهم عن ه وإ ذا أىت عىل صىل هللا عليه وسمل أنس عن النيب
)رواه البخارى ( علهيم سمل علهيم ثالاث
Al Karmani mengatakan bahwa susunan kalimat seperti ini menurut ulama ushul fiqh
(ushuluyyin), mengisyaratkan bahwa Nabi ketika berbicara selalu mengulang sebanyak tiga
kali.
Tujuan nabi mengulangi perkataannya sampai tiga kali adalah supaya agar dipahami,
begitu juga Tirmidzi dan Hakim mengatakan dalam kitab Al Mustadrak.
Ibnu Munir mengatakan bahwa Imam Bukhari dalam bab ini bertujuan untuk member
peringatan terhadap orang yang enggan mengulangi pembicaraan , dan beliau mengingkari
bahwa orang yang meminta pengulangan termasuk orang yang bodoh. Kemudian dia
mengatakan, bahwa yang benar adalah hal ini tergantungperbedaan masing-masing tabi’at
manusia, makanya tidak tercela bagi seseorang pendengar yang belum bisa mengingat pada
kali pertama untuk meminta pengulangan. Begitu pulasi pembicara, tidak mengapa tidak
mengulangnya kembali, namun jika dia mengulangnya berarti sebagai penekanan terhadap
apa yang di katakana pada kali pertama.
Al Ismail mengatakan , bahwa hal ini berkenaan dengan salam untuk meminta izin
(salmul isti’dzan) sebagaimana yang diriwayatkan abu musa dan lainnya. Hal ini tidak
termasuk salam yang disampaikan oleh orang yang sedang berjalan, karena yang berlaku
pada umumnya hanya satu kali, tidak diulang.
Saya berpendapat bahwa mushannif telah memahami lafazh ini seperti itu juga, maka
beliau mengeluarkan hadits ini dengan hadits Abu Musa mengenai kisah nabi bersama umar,
seperti yang akan dijelaskan pada bab isti’dzan. Namun ada kemungkinan ketika akan
meninggalkan mereka , Nabi mengulamng salamnya sampai tiga kali beliau takut mereka
tidak mendengar salam sebelumnya. Adapun Al Karmani mengatakan, bahwa kalimat
tersebut menunjukkan istimrar.
Dalam hadits di atas perawi hadits ragu-ragu, apakah Nabi Sallallahu’alihi wasallam
mengucapkan dua kali atau tiga kali. Hal ini menunjukkan bahwa pengulangan yang
dilakukan oleh Nabi sebanyak tiga kali itu bukan merupakan suatu keharusan, namun yang
terpenting adalah perkataan atau perintah tersebut dapat dipahami. Apabila tanpa
pengulangan sudah dapat dipahami, maka hal itu tidak perlu dilakukan.
C. Hadits Ketiga
ْب ُن ُسلَ ْي َم َان قَا َل َح دَّ ثَيِن ا ْب ُن َوه ٍْب َأ ْخرَب َ اَن مَع ْ ٌرو َأ َّن َأاَب النَّرْض ِ َحدَّ ثَ ُه َع ْن ُس لَ ْي َم َان ْب ِن ي ََس ٍار َع ْن َحدَّ ثَنَا حَي ْ ىَي
َ اهَّلل ُ َعهْن َ ا قَ الَ ْت َم ا َرَأيْ ُت النَّيِب َّ َص ىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ ُم ْس َت ْج ِم ًعا قَ طُّ َض ا ِحاًك َحىَّت َأ َرى ِمنْ ُه عَاِئشَ َة َريِض
لَه ََوا ِت ِه ن َّ َما اَك َن ي َ َتبَ َّس ُم
ِإ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman dia berkata; telah menceritakan
kepadaku Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami 'Amru bahwa Abu Nadlr telah
menceritakan kepadanya, dari Sulaiman bin Yasar dari Aisyah radliallahu 'anha dia berkata;
"Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa terbahak-bahak
hingga terlihat langit-langit dalam mulutnya, beliau hanya biasa tersenyum."
Penjelasan Hadits
Hadits ini menjelaskan keteladanan Rasulullah saw. Beliau senantiasa menjaga sikap,
menjaga kemuliaannya sebagai suri tauladan. Rasulullah SAW semasa hidupnya senang
guyonan dengan para sahabatnya. Namun, ia tidak pernah tertawa hingga terbahak-bahak
seperti manusia pada umumnya.
Kebiasaan manusia bila melihat atau mendengar kejadian yang lucu, mereka tidak
jarang akan tertawa terbahak-bahak, bahkan hingga tersengal. Namun, hal tersebut tidak
dibenarkan dalam perilaku keseharian Rasulullah.
Bila terdapat kejadian yang sangat lucu, Rasulullah SAW hanya tersenyum dengan
gigi yang terlihat.
Menurut kesaksian para sahabat, Rasulullah SAW pun tetap tersenyum saat hari
peperangan tiba. Senyum dia selalu ditunjukkan kepada para sahabatnya yang ikut dalam
peperangan.
Melalui kebiasaan Rasulullah ini, kita dapat mengambil hikmah baiknya, yaitu
meskipun dalam keadaan sulit dan menegangkan, tersenyum dapat memberikan semangat
untuk diri sendiri dan orang-orang yang ada di sekitar kita.
Muhammad saw. telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu
“menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau
mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau saw. mensunnahkan
dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau
menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam praktik mengajar, beberapa hal perlu dilakukan. Seperti mengulangi pelajaran
ketika dibutuhkan. Nabi pun mencontohkon, mekipun pengulangan yang dilakukan oleh Nabi
sebanyak tiga kali itu bukan merupakan suatu keharusan, namun yang terpenting adalah
perkataan atau perintah tersebut dapat dipahami. Apabila tanpa pengulangan sudah dapat
dipahami, maka hal itu tidak perlu dilakukan.
Kemudian sebagai pendidik harus senantiasa memberi perangai yang baik dan indah
dilihat. Dengan selalu tersenyum mislanya. Seorang muslim memandang hal ini dengan kaca
mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari mencontoh Nabi saw.
yang disunnahkan dan bernilai ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Hadits