Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PRAKTIK DAN KIAT MENGAJAR

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadits Tarbawi

Dosen Pengampu: Dr. Yusuf Tajri, M.Pd.

Di Susun Oleh:
Nidaul
Rizqi Khoerun Nasir (18.3.018)
Syaliza

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEMESTER 3 A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM GARUT
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kemudahan
kepada penulis dalam pembuatan makalah ini, yang hingga akhirnya terselesaikan dengan
tepat waktu, serta diberi kesehatan dalam mengerjakannya, tanpa pertolongan-Nya tentu kami
tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga
tercurah limpahakan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW kepada
keluarganya yang hingga sampai kepada kita selaku umatnya untuk mendapat syafaat-Nya di
yaumul akhir nanti.

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Hadits Tarbawi. Selain itu karya tulis ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang praktik dan kiat-kiat mengajar, khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pembaca.

Kami sadar bahwa karya tulis ini belum dekat dari kata sempurna melainkan masih
jauh dari kata sempurna. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan dan yang lainnya,
oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan sarannya demi perbaikan
makalah ini dimasa yang akan datang.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan
umumnya bagi para pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Hadits Pertama..............................................................................................2
B. Hadits Kedua ................................................................................................3
C. Hadits Ketiga ................................................................................................5

BAB III PENUTUP


Simpulan....................................................................................................... 7
Daftar Pustaka............................................................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai calon pendidik sudah menjadi keharusan untuk mempersiapkan diri.
Membekali diri dengan ilmu pengetahuan tentang dunia Pendidikan. Saah satunya
adalah mengetahui kiat-kiat yang harus dilakukan sebelum memulai proses
pembelajaran.
Menjadi guru yang baik bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh sebab itu, ada
beberapa hal yang idealnya dilakukan dengan matang oleh guru ataupun calon guru.
Dalam makalah ini kami memberikan sedikit kiat bagaimana menjadi guru yang baik,
berkiblat pada kemuliaan sikap Rasulullah saw.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana memahami hadits-hadits tentang praktik dan kiat mengajar?

C. Tujuan Penulisan

1. Memahami hadits-hadits tentang praktik dan kiat mengajar


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Pertama

ُ‫ا ْب َن ِباَل لٍ َع ْن حَي ْ ىَي َوه َُو ا ْب ُن َس ِعي ٍد قَا َل اَك َن َس ِعيد‬ ‫َحدَّ ثَنَا َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن َم ْسلَ َم َة ْب ِن قَ ْعنَ ٍب َحدَّ ثَنَا ُسلَ ْي َم ُان يَعْيِن‬
‫اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َم ْن ْاحتَ َك َر فَه َُو خَا ِطٌئ فَ ِقي َل ِل َس ِعي ٍد‬ ‫ول اهَّلل ِ َصىَّل‬ ُ ‫ْب ُن الْ ُم َسي َّ ِب حُي َ ِّد ُث َأ َّن َم ْع َم ًرا قَا َل قَا َل َر ُس‬
َ ‫فَ ن ََّك حَت ْ َت ِك ُر قَا َل َس ِعي ٌد َّن َم ْع َم ًرا اذَّل ِ ي اَك َن حُي َ ِّد ُث ه ََذا الْ َح ِد‬
‫يث اَك َن حَي ْ َت ِك ُر‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman -yaitu Ibnu Bilal- dari Yahya -yaitu Ibnu Sa'id- dia berkata, "Sa'id bin
Musayyab menceritakan bahwa Ma'mar berkata, "Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Barang siapa
menimbun barang, maka dia berdosa."

Penjelasan Hadits

Hadist tersebut mengisyaratkan bahwa perbuatan yang salah (berdosa) yaitu


menyimpang dari peraturan jual beli atau pandangan dalam sistem ekonomi islam yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam hadist ini di terangkan bahwa dilarangnya
dalam menimbun barang akan tetapi dalam hadist ini tidak di tentukan jenis barang yang
ditimbun. Ada pula hadist lain yang segaris menyatakan bahwa barang yang di larang di
timbun adalah makanan. Muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama’, tentang jenis
barang yang di larang di timbun.

Menurut Al-Syafiiyah dan Hanafiyah barang yang dilarang di timbun adalah


kebutuhan primer. Abu Yusuf berpendapat bahwa barang yang dilarang ditimbun adalah
semua barang yang dapat menyebabkan kemudhorotan orang lain termasuk emas dan perak.

Para ulama’ berpendapat bahwa penimbunan di haramkan apabila:

1. Barang yang di timbun melebihi kebutuhan


2. Barang yang di timbun dalam usaha menunggu saat naiknya harga, misalnya emas
dan perak
3. Penimbunan di lakukan di saat masyarakat membutuhkan, misalnya bahan bakar
minyak dll
Adapun mengenai waktu penimbunan tidak terbatas. Dalam waktu pendek maupun
panjang. Jika dapat menimbulkan dampak atau tiga syarat tersebut maka hukumnya haram.

Pengertian ihtakaro  ‫احْ تَ َك َر‬  tindakan menyimpan harta manfaat atau jasa, dan enggan
menjual atau memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga
pasaran secara drastis. Di sebabkan persedian terbatas atau stok barang hilang sama sekali
dari pasar. Sementara masyarakat Negara, maupun hewan amat membutuhkan produk.
Manfaat mempunyai jasa tersebut.

Ulama’ juga berbeda berpendapat mengenai jenis barang yang di timbun. Ulama’
Malikiyyah, sebagian ulama’ hanabilah Abu Yusuf dan Ibnu Abidin (pakar fiqih hanafi)
menyatakan bahwa larangan ikhtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan. Tetapi
ini meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka yang menjadi illat
(motifasi hukum) dalam larangan melakukan ikhtikar itu adalah “ kemudhorotan yang
menimpa orang banyak”, oleh sebab itu kemudhorotan yang menimpa orang tidak terbatas
pada makanan, pakaian dan hewan. Tetapi mencakup seluruh produk yang di perlukan orang
banyak.

Imam As-Syaukani tidak merinci produk apa saja yang di simpan sehingga seseorang
dapat di katakan sebagai mukhtahir jika barang itu untuk di jual ketika harga melonjak.
Bahkan mam As- Syaukani tidak membedakan apakah penimbangan itu terjadi ketika pasar
berada dalam keadaan normal (pasar stabil) atau dalam keadaan pasar tidak stabil

B. Hadits Kedua

‫حدثنا عبدة بن عبد هللا حدثنا عبد الصمد قال حدثنا عبد هللا بن املثىن ق ال ح دثنا مثام ة بن عب د هللا عن‬
‫ مث أن ه اكن إذا تلكم بلكم ة أعاده ا ثالاث ح ىت تفهم عن ه وإ ذا أىت عىل‬ ‫ صىل هللا عليه وسمل‬ ‫أنس عن النيب‬
)‫رواه البخارى‬ ( ‫علهيم سمل علهيم ثالاث‬

Artinya: “Dari Anas radhiallahu’anhu dari Nabi Shallahu’alaihiwasallam “ Sesungguhnya


Nabi, apabila beliau mengucapkan satu patah kata, di ulangnya sampai tiga kali, sehingga
orang mengerti maksudnya. Apabila Nabi datang  kepada satu kaum, beliau member salam
kepada mereka sampai tiga kali.”
Penjelasan Hadits:

Adalah Rasullullah mengulanginya sampai tiga kali. Maksudnya, Anas menceritakan


kebiasaan Rasulullah SAW yang diketahui, lalu dia member saksi akan hal itu, bukan Nabi
yang memberitahunya. Pendapat ini diperkuat dengan riwayat yang dikeluarkan oleh
mushanif pada pembahasan izin, dari hadits ishak dari Abd Shamad dengan sanad yang
serupa dari anas.

Al Karmani mengatakan bahwa susunan kalimat seperti ini menurut ulama ushul fiqh
(ushuluyyin), mengisyaratkan bahwa Nabi ketika berbicara selalu mengulang sebanyak tiga
kali.

Tujuan nabi mengulangi perkataannya sampai tiga kali adalah supaya agar dipahami,
begitu juga Tirmidzi dan Hakim mengatakan dalam kitab Al Mustadrak.

Ibnu Munir mengatakan bahwa Imam Bukhari dalam bab ini bertujuan untuk member
peringatan terhadap orang yang enggan mengulangi pembicaraan , dan beliau mengingkari
bahwa orang yang meminta pengulangan termasuk orang yang bodoh. Kemudian dia
mengatakan, bahwa yang benar adalah hal ini tergantungperbedaan masing-masing tabi’at
manusia, makanya tidak tercela bagi seseorang pendengar yang belum bisa mengingat pada
kali pertama untuk meminta pengulangan. Begitu pulasi pembicara, tidak mengapa tidak
mengulangnya kembali, namun jika dia mengulangnya berarti sebagai penekanan terhadap
apa yang di katakana pada kali pertama.

Al Ismail  mengatakan , bahwa hal ini berkenaan dengan salam  untuk meminta izin 
(salmul isti’dzan) sebagaimana yang diriwayatkan abu musa dan lainnya. Hal ini tidak
termasuk salam yang disampaikan oleh orang yang sedang berjalan, karena yang berlaku
pada umumnya hanya satu kali, tidak diulang.

Saya berpendapat bahwa mushannif telah memahami lafazh ini seperti itu juga, maka
beliau mengeluarkan hadits ini dengan hadits Abu Musa mengenai kisah nabi bersama umar,
seperti yang akan dijelaskan pada bab isti’dzan. Namun ada kemungkinan ketika akan
meninggalkan mereka , Nabi mengulamng salamnya sampai tiga kali beliau takut mereka
tidak mendengar salam sebelumnya. Adapun Al Karmani mengatakan, bahwa kalimat
tersebut menunjukkan istimrar.

Ada sebuah hadits yang artinya:


Dari Abdullah bin Amru, berkata, bahwa Nabi terlambat dalam suatu perjalanan
bersama kami. Ketika eliau dapat menyusul kami, waktu shalat telah tiba, yaitu shalat ashar
dan kami sedang berwudhu. Agaknya beliau memperhatikan kami, lalu beliau berteriak
sekeras-kerasnya. “ Celaka tumit-tumit yang terbakar api neraka. “ ucapan itu diteriakkan dua
atau tiga kali berulang-ulang.

Dalam hadits di atas perawi hadits ragu-ragu, apakah Nabi Sallallahu’alihi wasallam
mengucapkan dua kali atau tiga kali. Hal ini menunjukkan bahwa pengulangan yang
dilakukan oleh Nabi sebanyak tiga kali itu bukan merupakan suatu keharusan, namun yang
terpenting adalah perkataan atau perintah tersebut dapat dipahami. Apabila tanpa
pengulangan sudah dapat dipahami, maka hal itu tidak perlu dilakukan.

C. Hadits Ketiga

‫ْب ُن ُسلَ ْي َم َان قَا َل َح دَّ ثَيِن ا ْب ُن َوه ٍْب َأ ْخرَب َ اَن مَع ْ ٌرو َأ َّن َأاَب النَّرْض ِ َحدَّ ثَ ُه َع ْن ُس لَ ْي َم َان ْب ِن ي ََس ٍار َع ْن‬ ‫َحدَّ ثَنَا حَي ْ ىَي‬
‫َ اهَّلل ُ َعهْن َ ا قَ الَ ْت َم ا َرَأيْ ُت النَّيِب َّ َص ىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ ُم ْس َت ْج ِم ًعا قَ طُّ َض ا ِحاًك َحىَّت َأ َرى ِمنْ ُه‬ ‫عَاِئشَ َة َريِض‬
‫لَه ََوا ِت ِه ن َّ َما اَك َن ي َ َتبَ َّس ُم‬
‫ِإ‬
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman dia berkata; telah menceritakan
kepadaku Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami 'Amru bahwa Abu Nadlr telah
menceritakan kepadanya, dari Sulaiman bin Yasar dari Aisyah radliallahu 'anha dia berkata;
"Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa terbahak-bahak
hingga terlihat langit-langit dalam mulutnya, beliau hanya biasa tersenyum."

Penjelasan Hadits

Hadits ini menjelaskan keteladanan Rasulullah saw. Beliau senantiasa menjaga sikap,
menjaga kemuliaannya sebagai suri tauladan. Rasulullah SAW semasa hidupnya senang
guyonan dengan para sahabatnya. Namun, ia tidak pernah tertawa hingga terbahak-bahak
seperti manusia pada umumnya.

Kebiasaan manusia bila melihat atau mendengar kejadian yang lucu, mereka tidak
jarang akan tertawa terbahak-bahak, bahkan hingga tersengal. Namun, hal tersebut tidak
dibenarkan dalam perilaku keseharian Rasulullah.
Bila terdapat kejadian yang sangat lucu, Rasulullah SAW hanya tersenyum dengan
gigi yang terlihat.

Menurut kesaksian para sahabat, Rasulullah SAW pun tetap tersenyum saat hari
peperangan tiba. Senyum dia selalu ditunjukkan kepada para sahabatnya yang ikut dalam
peperangan. 

Melalui kebiasaan Rasulullah ini, kita dapat mengambil hikmah baiknya, yaitu
meskipun dalam keadaan sulit dan menegangkan, tersenyum dapat memberikan semangat
untuk diri sendiri dan orang-orang yang ada di sekitar kita.

Muhammad saw. telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu
“menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau
mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau saw. mensunnahkan
dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau
menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan.

Sebagian manusia ketika berbicara tentang senyuman, mengaitkan dengan pengaruh


psikologis terhadap orang yang tersenyum. Mengkaitkannya boleh-boleh saja, yang oleh
kebanyakan orang boleh jadi sepakat akan hal itu. Namun, seorang muslim memandang hal
ini dengan kaca mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari
mencontoh Nabi saw. yang disunnahkan dan bernilai ibadah.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam praktik mengajar, beberapa hal perlu dilakukan. Seperti mengulangi pelajaran
ketika dibutuhkan. Nabi pun mencontohkon, mekipun pengulangan yang dilakukan oleh Nabi
sebanyak tiga kali itu bukan merupakan suatu keharusan, namun yang terpenting adalah
perkataan atau perintah tersebut dapat dipahami. Apabila tanpa pengulangan sudah dapat
dipahami, maka hal itu tidak perlu dilakukan.

Kemudian sebagai pendidik harus senantiasa memberi perangai yang baik dan indah
dilihat. Dengan selalu tersenyum mislanya. Seorang muslim memandang hal ini dengan kaca
mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari mencontoh Nabi saw.
yang disunnahkan dan bernilai ibadah.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Hajar Al-Atsqolani. Fathul Bari. Pustaka Azzam: Jakarta. 2004

Ensiklopedi Hadits

Anda mungkin juga menyukai