DI INDONESIA
DISUSUN OLEH :
PAI VI-1
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-nya
pnulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Analisis Sistem
Pendidikan Islam di Indonesia” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Sistem
Dalam Pembelajaran PAI. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
tentang sistm pembelajaran PAI di Indonesia.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hj.Nur Hidayati, MPd,I
selaku dosen mata kuliah pendekatan sistem dalam pembelajaran PAI. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................i
Daftar Isi.........................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II Pembahasan........................................................................................3
2.1 Pengertian Sistem Pendidikan Islam.......................................................3
2.2 Konsep Pendidikan Islam di Indonesia....................................................4
2.3 Tujuan Pendidikan Islam.........................................................................5
2.4 Orientasi Pendidikan Islam di Indonesia.................................................7
2.5 Pendidikan Islam Dalam Dinamika Perubahan.....................................11
2.6 Pengembangan Institusi Pendidikan Islam............................................12
BAB III Penutup...........................................................................................14
3.1 Kesimpulan............................................................................................14
3.2 Saran......................................................................................................14
Daftar Pustaka...............................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
untuk diselesaikan para pemikir dan praktisi pendidikan Islam terkait dengan
madrasah, yakni menyangkut “identitas atau distingsi” Islam pada era
globalisasi. Karena madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam,
belum secara nyata memiliki kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai Islam
dalam proses pembelajaran dan desain kurikulumnya. Paradigma
pengembangan kurikulum yang dikembangkan madrasah harus jelas,
pengembangan nilai-nilai pesantren sebagai induk semang madrasah yang
relevan tetap dikembangkan di madrasah. Karena madrasah lahir sebagai
lembaga konservasi nilai-nilai keislaman dan kepesantrenan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Mahasiswa Program Doctor Manajemen Penndidikan Islam Pascasarjana
UniversitasMuhammadiyah Jakarta angkatan 2016
3
Selanjutnya Azyumardi Azra (2012: 6) menjelaskan tentang pengertian-
pengertian pendidikan Islam penekanannya pada “bimbingan”, bukan
“pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana
pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk
mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya dan guru hanya sebagai
fasilitator.
2
Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak bangsa: Visi, Misi, dan Aksi,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h.12-14
3
Madrasah di Indonesia dei kenal dengan sebutan RA, MI, MTs, dan MA yang setingkat
dengan TK, SD, SMP, SMA, SMK. Sedangkan di Timur Tengah Madrasah di kenal
sebagai tempat belajar tingkat tinggi, setingkat dengan perguruan tinggi, sehingga
lulusannya menghasilkan ilmuan- ilmuan ternama,. Lihat George Makdisi, Religion, Law
and Learning in Classical Islam, (Britain, Variorum, 1991), h. 23
4
pendidikan Belanda.4
Saat ini koordinasi pembinaan pendidikan Islam sepenuhnya berada di
bawah koordinasi kementerian Agama melalui Dirjen Pendidikan Islam.
Direktur Jenderal Pendidkan Islam RI membawahi beberapa direktorat antara
lain. Direktorat madarasah, Direktorat Diktis, Direktorat PAIS dan Direktorat
Pondok Pesantren. Masing –masing Direktorat bertanggungjawab untuk
melakukan pembinaan lembaga-lembaga yang berada di bawahnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
4
Mastuhu membagi satuan pendidikan Islam kedalam beberapa kategori: Non
Pesantren (madrasah), pesantren, Diniyah murni, dan perguruan tinggi agama Islam.
Lihat: Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidkan Isla, (Jakarta: Logos, 1999), h.80-81
5
Kejelasan (tabayyun), terhadap aspek kejiwaan manusia (qalb, akal dan
hawa nafsu) dan hukum setiap masalah; Kesesuain atau tidak
bertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaannya; Realisme
dan dapat dilaksanakan, tidak berlebih-lebihan, praktis, realistik, sesuai
dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik dan sosiokultural
yang ada; Sesuai dengan perubahan yang diinginkan, baik pada aspek
rohaniah dan nafsaniyah, serta perubahan kondisi psikologi, sosiologi,
pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nilai-nilai, sikap peserta didik
untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan; Menjaga
perbedaan individu, serta prinsip dinamis dalam menerima
perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pelaku pendidikan serta
lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.
b. Mengandung keinginan untuk mewujudkan manusia yang sempurna
(insan kamil) yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu
menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi
(Abuddin Nata, 2012: 63).
Dengan dasar ini maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan
Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. Athiyah lebih lanjut
menghimbau agar semua mata pelajaran harus mengandung nilai-nilai
akhlak, dan setiap guru harus memperhatikan akhlak, setiap juru didik
haruslah memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena
akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedang akhlak mulia adalah
tiang daripendidikan Islam.
6
kepada tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional sebagai berikut (Sukarno,
2003. 5).
“Membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi,
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rsa seni, serata
bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara”.
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, maupun secara eksplisit
tidak menyebutkan kata-kata Islam, namun substansinya memuat ajaran
Islam. Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung
nilai-nilai ajaran yang telah terobjektivasi, yakni ajaran Islam yang telah
mentransformasi kedalam nila-nilai yang telah disepakati dalam kehidupan
nasional. Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut memperlihatkan
tentang kuatnya pengaruh ajaran Islam ke dalam pola pikir (mindset) bangsa
Indonesia.
7
memasuki wilayah ekonomi produktif merupakan hal semu, karena proses
pembelajaran di sekolah tidak mendorong terbentuknya semangat dan kesadaran
peserta didik tentang arti penting kemandirian dan keterampilan dalam
menghadapi kehidupan nyata.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education yang di kutip
oleh Miftahul6 menjelaskan bahwa tidak pada tempatnya mengaitkan tatanan
prilaku kelembagaan pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, mengingat
pendidikan bertujuan meneruskan cita-cita demokrasi. Menurut John Dewey,
agenda utama pendidikan secara fungsional adalah membentuk komunitas-
komunitas sosial ideal sebagai bagian dari proses tranformasi pendewasaan
peserta didik, apapun bentuk dan ragam pendidikan itu dikemas.
Sejalan dengan gagasan John Dewey, Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
6
Moh. Miftachul Choiri, Aries Fitriani, Problematika Pendidikan Islam Sebagai Sub
Sistem Pendidikan Nasional Di Era Global, (Surabaya: Jurnal Al Tahrir, Vol .11, No 2,
2011), h. 308
8
Oleh karena itu, kehadiran pendidikan agama dalam sistem pendidikan
nasional menjadi penting untuk mendorong terwujudnya manusia Indonesia
yang mempunyai kekuatan spiritual, kepribadian dan memiliki ketrampilan
yang dibutuhkan masyarakat. Lickona 7menjelaskan bahwa untuk mewujudkan
pendidikan agama yang efektif bagi peserta didik diperlukan tiga hal: pertama,
moral knowing, meliputi: moral awareness, knowing moral values, perspective-
taking, moral reasoning, desicion making dan self- knowledge; kedua, meliputi:
conscience, self-esteem, empathy, loving the good, self control, dan humanity;
dan ketiga, Moral action, meliputi: competence, will dan habit. Disamping tiga
hal tersebut, Muhaimin8 menambahkan pentingnya suasana religius dan kontrol
sosial yang kuat di madrasah untuk mewujudkan pembelajaran agama yang
efektif.
Praksis pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam
termasuk di dalamnya pembelajaran PAI di madrasah saat ini dalam soroton,
bahkan tidak sedikit para pakar pendidikan yang menyebut praksis pendidikan
agama Islam telah gagal menjalankan perannya dalam mewujudkan masyarakat
9
yang memiliki kepribadian Islami. Menurut Suyata, salah satu penyebab
gagalnya pendidikan agama dalam menjalankan misi utamanya adalah karena
pembelajaran agama terpisah dari konteksnya.
10
Lebih dari itu, Mochtar Buchori menambahkan kegagalan
pembelajaran agama disebabkan praktik pendidikan hanya memperhatikan
aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama dan
mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan
tekat untuk mengamalkan nilainilai ajaran agama. Sebagai akibatnya nampak
kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Fakta ini diamini oleh
Menteri Agama RI, Muhammad Maftuh Basuni21bahwa pendidikan agama yang
berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognitif
7
Sebagaimana dikutip dalam Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), VII.
8
Ibid, h. VIII
9
Sebagaimana di kutip dalam Moh. Miftachul Choiri, Aries Fitriani, Problematika
PendidikanIslam Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional Di Era Global, (Surabaya: Jurnal Al
Tahrir, Vol .11, No 2,2011), h. 309
10
Mochtar Buchori, “Posisi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum
Perguruan Tinggi Umum,” Makalah, pada Seminar Nasional di IKIP Malang, 24 Februari,
1992
9
(pemikiran) daripada afektif (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku).
Dari berbagai sorotan yang dikemukakan para pakar pendidikan
tersebut, nampak bahwa problem pembelajaran agama terletak pada persoalan
bagaimana membelajarkan agama tidak sebatas pada aspek pengetahuan tetapi
juga penjiwaan dan pengamalan. Dalam konteks bagaimana membelajarkan
agama Islam yang utuh, Abdurrahman Mas’ud 11menjelaskan bahwa pendidikan
Islam pada masa lalu telah memperlihatkan berbagai ragam transformasi budaya
Islam–Jawa melalui modelling yang didemontrasikan oleh para Walisongo.
Melalui cerita pewayangan Walisongo mempersonifikasikan para awliya
(kekasih Allah) dan para kyai yang sarat dengan pesan-pesan moral dan
kesalehan yang relevan dengan budaya lokal. Kesederhanaan, tidak tamak,
mengedepankan kepentingan masyarakat dan orang banyak merupakan warisan
nilai-nilai luhur yang ditransformasikan oleh Walisongo dan para santrinya.
Dalam sebuah rumusan naskah Islam Jawa Klasik misalnya, terdapat ungkapan
“arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken (carilah ilmu yang bisa
engkau praktekkan, terapkan).12
11
Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren” dalam Dinamika Pesantren dan
Madrasah, (ed.) Ismail SM, et. al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 29.
12
G.W.J. Drewes, An Early Javanese Code of Muslim Ethics (The Hague: KITL V
NijhoffBibliotheca Indonesia, 1978), 19.
10
2.5 Pendidikan Islam Dalam Dinamika Perubahan
13
Azyumardi Azra, “ Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurcholish Madjid,
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), xvi.
14
Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam (Ciputat: Kalimah, 2001), h. 77-82.
11
pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, pesantren dan lembaga pendidikan
Islam pada umumnya perlu melakukan telaah secara kritis agar hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk
kemaslahatan yang lebih besar bagi kehidupan manusia. Bukan sebaliknya,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa malapetaka bagi
eksistensi kehidupan manusia, karena dihegemoni oleh cara berfikir kapitalis dan
liberalis yang bebas nilai.
15
Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif Beberapa
Pendidikan (Bogor: Ghalia Indonesia. 1996), 50
16
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional pasal 1 ayat (2)
17
Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi, h. 96.
12
potensi peserta didik secara utuh: kemampuan intelektual, personal dan sosial.
Institusi pendidikan merupakan gabungan berbagai interaksi baik akademik
maupun non- akademik semua warga sekolah. Semua anggota sekolah menjadi
pembelajar, guru belajar bagaimana melayani murid dengan baik, pimpinan
belajar bagaimana mengelola keutuhan antar guru, belajar mensinergikan segala
potensi yang dimiliki lembaga. Institusi pendidikan ditempatkan sebagai
jaringan sosial bukan individual, sehingga dapat melahirkan energi dan
kekuatan yang berpengaruh pada mutu pendidikan.
Meminjam istilah yang digunakan oleh sistem penjaminan mutu
pendidikan sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas Nomor 63 Tahun
2009, madrasah perlu melakukan evaluasi diri secara jujur dan
bertanggungjawab mengenai kondisi riil yang sedang terjadi saat sekarang. Hal
ini diperlukan sebagai strategi untuk mengumpulkan, menganalisis, melaporkan
kinerja dan memetakan mutu tenaga kependidikan, program kegiatan dan mutu
madrasah secara holistik,18dengan menggunakan instrumen indikator standar
pelayanan minimal (SPM)19 yang berjumlah 13 indikator dan standar nasional
pendidikan (SNP) yang terdiri dari delapan standar.20
18
Kementrian Pendidikan Nasional& Kementerian Agama RI, Peningkatan Manajemen
Melalui Penguatan Tata Kelola dan Akuntabilitas di Sekolah/ Madrasah (Jakarta: Dikdasmen&
Direktorat Pendis, 2009), 21.
19
Standar pelayanan minimal pada konteks ini berfungsi untuk mengatur apa yang
harus tersedia di madrasah dan apa yang harus terjadi di madrasah. Oleh karena itu
SPM difokuskan untuk memastikan bahwa setiap madrasah dapat menyelenggarakan
proses pembelajaran dengan baik.
20
Stándar Nasional Pendidikan, meliputi: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar
pembiayaan, standar pengelolaan dan standar penilaian.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Saleh. 2006. Madrasah dan Pendidikan Anak bangsa: Visi, Misi,
dan Aksi. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Abdurrahman Mas’ud. 2002. “Sejarah dan Budaya Pesantren” dalam Dinamika
Pesantren danMadrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Affandi Mochtar. 2001. Membedah Diskursus Pendidikan Islam. Ciputat:
Kalimah. Azyumardi Azra. 1997. “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam
Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Imam Barnadib. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif
Beberapa Pendidikan. Bogor: Ghalia Indonesia.
Kementrian Pendidikan Nasional & Kementerian Agama RI. 2009. Peningkatan
Manajemen Melalui Penguatan Tata Kelola dan Akuntabilitas di
Sekolah/Madrasah. Jakarta: Dikdasmen & Direktorat Pendis.
Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidkan Islam. Jakarta: Logos.
Moh. Miftachul Choiri, Aries Fitriani. 2011. Problematika Pendidikan Islam
Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional Di Era Global. Surabaya: Jurnal
Al Tahrir, Vol. 11 No. 2 h. 308.
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudarwan Danim. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional pasal 1
ayat (2)
15