Anda di halaman 1dari 7

RIBA MENURUT PANDANGAN M.

QURAISH SHIHAB
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Ekonomi dan Bisnis Islam
Dosen pengampu: Fathan Budiman, S.H.I., M.E.I.

Disusun Oleh:
Asfina Safa Maulida 63040200108

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
ABSTRAK
Kajian mengenai riba senantiasa menjadi diskursus hangat dalam ekonomi Islam. Praktek
riba yang sudah ada sejak zaman jahiliyah hingga sekarang, masih selalu menjadi
perbincangan yang sering dibahas. Berdasarkan perspektif diatas, tujuan penelitian ini untuk
mengetahui latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turunya ayat riba, dan apa yang
menjadi illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an menurut pemikiran Muhammad Quraish
Shihab. Artikel ini menggunakan pendekatan tinjauan pustaka yang berfokus pada
menjelaskan bagaimana konsep riba dalam pandangan M. Quraish Shihab.

INTRODUCTION
The study of usury has always been a hot discourse in Islamic economics. The practice of
usury, which has existed since the days of ignorance until now, is still a topic of discussion.
Based on the above perspective, the purpose of this study is to find out the sociological
background that caused the revelation of the verse of usury, and what is the legal illat for the
prohibition of usury in the Qur'an according to the thoughts of Muhammad Quraish Shihab.
This article uses a literature review approach that focuses on explaining the concept of usury
in the view of M. Quraish Shihab.

PENDAHULUAN
Praktek riba sudah ada sebelum Islam datang. Ketika Islam datang, praktek riba ini
dilarang dalam aktifitas ekonomi masyarakat. Riba merupakan salah satu jenis transaksi
ekonomi yang secara riil telah dijalankan dan berkermbang sebelum datangnya agama Islam.
Hal ini merupakan fenomena yang mewarnai aktifitas ekonomi dalam masyarakat. Al-Quran
dan al-Hadits secara tegas menyatakan bahwa praktek riba hukumnya haram, tetapi karena
tidak dibatasi secara jelas sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda dalam
menginterpretasi terhadap riba. Perdebatan hukum mengenai riba tidak mengalami polemik
yang serius, namun persoalan yang mencuat ketika pembahasan riba dikaitkan dengan bunga,
artinya dipersepsikan bahwa bunga bank sama dengan riba.
Dalam penelitian ini akan membahas masalah riba menurut pemikiran M. Quraish Shihab
dengan melihat dari sudut pandang studi al-Qur’an (Tafsir) dengan menela’ah latar belakang
sosiologis yang menjadi sebab ayat riba itu turun, dan apa yang menjadi illat hukum serta
maqashid larangan riba dalam al-Qur’an .
LITERATUR REVIEW
Karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran hukum Islam, khususnya
tentang riba. Karya Muhammad Quraish Shihab (2002) yang berjudul Tafsir al-Misbah.
Melihat analisis seorang pakar ilmu tafsir dalam merumuskan hakekat riba atau apa yang
dimaksud dalam al-Qur’an dengan riba yang diharamkan. Paradigma yang digunakan M.
Quraish Shihab dalam merumuskan riba melalui pendekatan studi al-Qur’an tafsir dengan
melihat latar belakang sosiologis yang menjadi sebab ayat riba turun dan apa yang menjadi
maslahat dari hukum larangan riba dalam al-Qur’an.

METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam riba menurut pandangan M. Quraish Shihab melalui textual
exegesis (analisis teks). Mengumpulkan data-data dengan melaksanakan studi kepustakaan
dari beberapa literatur tertulis dalam cakupan masalah yang ada, mengutip serta
mensinkronasikan tulisan serta memperhatikan konteks dan menarik kesimpulan. Sumber
data primer yang digunakan penulis antara lain yaitu karya M. Quraish Shihab antara lain
Tafsir al-Misbah, Membumikan al-Qur’an, dan Wawasan al-Qur’an. Sebagai sumber data
sekunder adalah sumber kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan riba seperti buku-
buku fiqh muamalah atau ekonomi Islam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa berarti ziyadah (tambahan), dalam pengertian lain riba juga
berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah riba yaitu pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam, (Antonio 2001).
Ibnu al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an menjelaskan pengertian riba
secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat qur’ani yaitu
setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah. Secara umum yang dinamakan riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
tanpa diimbangi oleh suatu transaksi yang dibenarkan oleh syari’ah.
2. Hukum Riba dan Macam-macamnya
Para ulama fiqh telah sepakat bahwa muamalah yang mengandung riba haram
hukumnya. Dasar hukum keharaman riba dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an
(QS. An-Nisa: 161, Ali-Imran: 130, al-Baqarah: 275, 276, 278) dan hadits-hadits
Rasulullah. Ulama fiqh membagi riba menjadi dua macam yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah. Riba fadhl merupakan pertukaran antara barang sejenis atau bareter dengan
kadar atau dosis berbeda, sementara barang yang dipertukarkan tersebut termasuk
dalam jenis barang atau komoditi ribawi, (Hasan 2018). Komoditi ribawi terdiri atas
enam macam, yakni emas, perak, gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma dan
garam.
Riba nasi’ah merupakan penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul
disebabkan adanya perbedaan. Evolusi atau tambahan antara yang diberikan saat ini
dan yang diberikan kemudian.
3. Illat dan Maqashid Hukum Larangan Riba
Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum keharaman riba al-nasi’ah adalah kelebihan
pembayaran dari pokok hutang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu.
Ulama Malikiyyah,Syafi’iyyah dan Hanabilah memandang illat hukum larangan riba
an-nasi’ah, karena ada kelebihan (tambahanbunga) yang dikaitkan dengan pembayaran
tunda (tenggang waktu), baik kelebihan itu dari pokok hutang atau pada barang sejenis
maupun tidak sejenis.
Berdasarkan pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami
bahwa illat hukum larangan riba adalah adanya tambahan (bunga) dari pokok harta
yang tidak dimbangi oleh transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara’. Adapun
maqashid yang ingin dicapai dalam larangan praktek riba adalah mengajak manusia
untuk memiliki empati dan kepedulian sosial (Muwasat), kepedulian atas sesama, dan
menjauhkan diri dari praktek ribawi yang mengambil hak milik orang lain secara tidak
halal (haram).
Karena jika terdapat seseorang yang meminjam kepada kita menandakan bahwa ia
sedang dalam keadaan sulit, dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sesama sudah
seharusnya saling membantu dan tidak memberatkannya dengan memberikan bunga
yang berlipat ganda. Selain itu maqashid pelarangan praktek riba juga untuk
menghindarkan umat manusia pada praktek riba yang memiliki dampak buruk pada
diri manusia.
4. Riba Menurut Pandangan M. Quraish Shihab
a. Biografi M. Quraish Shihab
Quraish Shihab yang bernama lengkap Muhammad Quraish Shihab. Beliau
lahir pada 6 Februari 1944 d Rapang, Sulawesi Selatan. Beliau berasal dari
keluarga keturunan arab. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau
melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang dan masuk pondok pesantren
darul hadis al-faqihiyyah. Pada tahun 195 beliau berangkat ke Kairo, Mesir dan
diterma di kelas II Thanawiyah al-Azhar. Kemudan beliau melanjutkan studinya
di Universtas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, jurusan tafsir hadis. Qurasih
Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir
tersebut diabadikan dalam bidang pendidikan dan dituangkan dalam karyanya
yaitu tafsir al-Misbah.
b. Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat Larangan Riba
Sejarah menjelaskan bahwa Thaif, tempat pemukiman suku Tsaqif yang
terletak sekitar 75 sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan
menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku Quraisy yang bermukim di
Makkah. Di Thaif bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-
praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuh suburkan praktek
tersebut, (Shihab 1992).
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan,
bahkan al-Qur’an mengabarkan tentang hal tersebut dalam Surat al-Quraisy.
Disana pun mereka telah mengenal praktek-praktek riba. Terbukti pula dengan
keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap
sama dengan jual beli (QS.2: 275). Dalam arti mereka beranggapan. Bahwa
kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama
dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Jika hanya berhenti pada makna
“kelebihan” tersebut, maka cukup beralasan anggapan kaum musyrik di atas,
meskipun ayat al-Qur’an hanya menyatakan “Tuhan menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (QS.2; 275). Hukum halal dan haram dalam ayat tersebut,
tidak akan ditentukan tanpa adanya “sesuatu” yang membedakannya, dan
“sesuatu” itulah yang menjadi penyebab keharaman riba.
Pembahasan riba yang diharamkan dalam al-Qur’an dapat dikaji dengan
menganalisis khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci dari ayat-ayat
tersebut, yaitu adh’afan mudha’afah (QS. Ali Imron; 130), mabaqiya mi al-riba
(QS. Al-Baqarah: 278), falakum ru’usu amwalikum (QS.Al-Baqarah: 279) dan la
tazhlimuna wa la tuzhlamun (QS. Al-Baqarah: 279). Adh’afan mudha’afah
adalah pelipat gandaan yang berkali-kali. Dalam hal ini banyak mufasir yang
menafsirkan dengan tafsir yang berbeda-beda, menurut M.Quraish Shihab untuk
menyelesaikan masalah ini, perlu mencermati ayat terakhir yang turun
menyangkut riba, khususnya kata kunci yang terdapat didalamnya. Sekalipun
teks adh’afan mudha’afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang
menentukan esensi riba adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga (QS. Ali Imron:
130).
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara
tentang riba, demikian pula hadits Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah
bahwa riba yang dipraktekkan pada masamasa turunnya al-Qur’an adalah
kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung
penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar sekedar kelebihan atau
penambahan dari jumlah hutang.
c. Illat Hukum Larangan Riba Dalam Al-Qur’an
Illat hukum adalah sesuatu sifat yang menjadi motivasi atau yang
melatarbelakangi terbentuknya suatu hukum. Berdasarkan penjelasan dari
berbagai kalangan ahli tafsir mengenai latar belakang sebab turunnya ayat riba,
maka ada kemungkinan dua illat larangan riba yaitu antara semata-semata
kelebihan dari pokok hutang atau tidak sekedar kelebihan atau penambahan
jumlah hutang. M. Qurash Shhab mengemukakan bahwa ada kata kunc dalam
surah al-Baqarah: 279 yatu fa lakum ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal
kamu). Kata ini menunjukkan bahwa yang berhak mereka peroleh kembali
hanyalah modal-modal mereka.
Jika demikian, berarti setiap kelebihan atau penambahan dari modal yang
dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya
ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dengan demikian, kata kunci dalam
al-Baqarah: 279 ini menjadi dalil untuk menetapkan bahwa segala bentuk
penambahan atau kelebihan baik berlipatganda atau tidak, telah diharamkan al-
Qur’an dengan turunnya ayat tersebut. Ini berarti kata adh’afan mudha’afah
bukan sebagi syarat tetapi sekedar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah
mereka praktekkan.
KESIMPULAN
Latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turunnya ayat larangan riba dalam al-
Qur’an adalah kebiasaan orang-orang jahiliyah yang melipatgandakan pengembalian
dari pokok hutang yang dpnjamkan kepada debitor yang membutuhkan. Illat hukum
larangan riba dalam al-Qur’an bukan hanya sekedar kelebihan atau penambahan
jumlah hutang tetapi kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang
mengandung unsur zhulm (penganiayaan dan penindasan). Maqashid pelarangan riba
bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang
haram dan mengakibatkan keburukan. Pendekatan M. Quraish Shihab dalam
merumuskan illat hukum larangan riba menekankan pada pemahaman makna substansi
kontekstual dari ayat maupun hadits, sehingga setiap kelebihan dari jumlah hutang
dinamakan riba, tetapi kelebihan yang di dalamnya terdapat unsur zhulm.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah : dari Teori ke Praktik. I. Jakarta: Gema
Insani Press.
Hasan, Akhmad Farroh. 2018. Fiqh Muamalah dari Klasik Hingga Kontemporer : Teori dan
Praktek. I. Malang: UIN Maliki Press.
Shihab, Muhammad Quraish. 1992. Membumikan Alqur’an. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai