Anda di halaman 1dari 3

Moch Anshori/19800011

Bolehkah keuntungan melebihi 100%?

Boleh, asal hal tersebut wajar. Jika berbicara keuntungan maka kita kaitkan dengan usaha /
berdagang. Tujuan seseorang berdagang ialah mencari keuntungan atau laba itu sendiri, lantas
bagaimana kita mengambil keuntungan menurut islam. Maka dari itu ada beberapa aspek yang
perlu diperhatikan dalam penentuan keuntungan tersebut, hal ini sesuai dengan perkataan sahabat
nabi yaitu Ali bin Abi Thalib yaitu “Wahai para saudagar! Ambillah (laba) yang pantas maka
kamu akan selamat (berhasil) dan jangan kamu menolak laba yang kecil karena itu akan
menghalangi kamu dari mendapatkan (laba) yang banyak”. Dari pernyataan beliau dapat diambil
hikmah, yaitu islam mengajarkan seseorang untuk mencari keuntunga yang banyak.1

Lebih lanjut, dalam hadist menyebutkan bahwa mendapatkan keuntungan lebih 100% diperboleh
sebagai berikut :

Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor
kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun
kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing
tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah
dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia
ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: “Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.”2

Namun, terdapat ulama yang tidak membolehkan adanya keuntungan 100% atau lebih, seperti
yang disampaikan Lajnah Daimah dalam salah satu fatwanya sebagai berikut :

“Keuntungan perdagangan tidak memiliki batasan tertentu. Namun mengikuti kondisi persediaan
– permintaan barang, dan ketersediaan barang. Hanya saja dianjurkan bagi para pegadang untuk
memberi kemudahan bagi konsumen dalam bertransaksi. Jangan sampai memanfaatkan
kesempatan kelalaian pembeli, kemudian melakukan ghabn (pembodohan) dalam melakukan
transaksi jual beli. Sehingga dia harus memperhatikan hak ukhuwah islamiyah.”

Dari pernyataan tersebut, menurut penulis dapat disimpulkan boleh mengambil keuntungan lebih
dari 100%, asal ada batasan dalam hal etika pasar, dimana dalam pengambilan keuntungan tidak
boleh mempengaruhi harga pasar, dan lebih lanjut dalam pengambilan keuntungan tidak boleh
ada unsur kedzaliman.

1
Dr. Husein Syahatah, Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001),hlm.159
2
Adanan Murroh Nasution, BATASAN MENGAMBIL KEUNTUNGAN MENURUT HUKUM ISLAM : El-
Qanuny. Vol 4 no 1. Hal 88-100
2. Intervensi pemerintah dalam penentuan harga?

Boleh, asal tidak secara langsung. Maksudnya yaitu penetapan harga atau intervensi dalam
penentuan harga dilakukan untuk meringankan masyarakat dalam jual beli, hal ini berlandaskan
pada masa khulafaur rasidin yaitu sayyidina Umar ibn Khattab beliau berpendapat bahwa dalam
melindungi hak pembeli dan penjual, Islam mewajibkan pemerintah untuk melakukan intervensi
harga, bila kenaikan harga disebabkan oleh distorsi penawaran dan permintaan. Bahkan Umar
Ibn al- Khattab pernah menegur seorang pedagang bernama Habib ibn Abi Balta’ah karena
menjual anggur kering di bawah harga pasar seraya berkata:3

‫إ ّما أن تزید فى السعر و إما أن ترفع من سوقنا‬. :

Artinya: Naikkan hagra (daganganmu) atau engkau tinggalkan pasar kami.

Yang kedua yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik ibn Anas memahami hadis berikut:

‫ّـر‬
ْ ‫سع‬َ َ‫ غال السعر ف‬:‫ فقال الناس‬، ‫ غال السعر فى المدینة على عھد رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم‬:‫عن أنس رضى هللا عنھ قال‬
ٌ ‫نى ألرجو أن ألقى هللا و لیس أحد‬ّ ‫ وإ‬، ‫سعّ ُر القابض الباسط الرازق‬ ّ : ‫ فقال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم‬، ‫لنا‬
َ ‫إن هللا ھو ال ُم‬
(‫دم وال ما ٍل (رواه أبو داود‬
ٍ ‫منكم یطالبنى بمظلم ٍة فى‬

Artinya : Artinya: Dari Anas ibn Malik ra. Berkata: Harga komoditas perdagangan beranjak naik
pada zaman Rasulullah SAW, lalu para sahabat mengadu kepada Beliau seraya berkata: Ya
Rasulullah, harga barang-barang menjadi mahal, maka tetapkanlah patokan harga buat kami.
Lalu Rasulullah SAW menjawab: Sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga (Zat) Yang
Menahan dan Yang Membagikan rizki, dan sesungguhnya saya berharap agar dapat berjumpa
dengan Allah SWT dalam kondisi tidak seorangpun di antara kalian yang menuntut saya karena
kedzaliman yang menimbulkan pertumpahan darah dan harta.4

Dari hadist di atas beliau berpendapat bahwa dengan membolehkan standarisasi harga
komoditas tertentu dengan syarat utama bahwa standarisasi atau penetapan harga tersebut
bertujuan untuk melindungi kepentingan hajat hidup mayoritas masyarakat.5

Sedangkan pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal dalam hadist diatas berpendapat
bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk menetapkan harga dengan alasan: Pertama,
Rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkannya. Bila hal itu
boleh dilakukan (menetapkan harga), pasti Rasulullah melakukannya. Kedua, Penetapan harga
adalah ketidakadilan (dzulm) yang dilarang, kerena persoalan ini melibatkan hak milik
seseorang, sedangkan setiap orang berhak menjual komoditas perdagangannya dengan harga
berapapun berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli.6

Dari perbedaan pendapat di atas maka menurut penulis boleh asal dalam intervensi harga sesuai
dengan nilai-nilai islam, hal ini dikuatkan oleh pendapat Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, terjadinya penimbunan suatu barang pokok. Kedua, adanya monopoli komoditas

3
Abdullah Alwi Hasan, Sales and Contracks in Early Islamic Comercial Law, London: Edinburg Press, 1986, h. 50.
4
Imam Abi Dawud, Shahih Sunan Abi Dawud, Jilid II, Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1998, h. 362
5
Ibn Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Sya’b, 1976, h. 47
6
Ibid hal. 37
tertentu. Ketiga, Terjadinya hasratau pemberontakansehingga distribusi barang hanya
terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga di sini untuk menghindari
penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh phka
penjual tersebut. Keempat, Terjadi kolusi di internal pedagang dengan cara melakukan transaksi
atas komoditas tertentu dengan harga di bawah harga normal di pasar tersebut. Hal ini
berdampak pada terjadinya fluktuasi harga yang ekstrim dan dramtis bagi konsumen.7

Daftar pustaka

Ibn Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Sya’b, 1976

Hasan. A. A. (1986) Sales and Contracks in Early Islamic Comercial Law, London: Edinburg
Press

Dawud. I. A. (1998) Shahih Sunan Abi Dawud, Jilid II, Riyad: Maktabah al- Ma’arif,

Syahatah. H. (2001) Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana)

Nasution. A. M. (2018) Batasan Mengambil Keuntungan Menurut Hukum Islam. Jurnal el-
Qanuny, 4(1), 88-100

7
Ibn Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Sya’b, 1976, h. 53

Anda mungkin juga menyukai