Anda di halaman 1dari 6

Chapter 12

Etika Penetapan dan Kenaikan Harga

Penetapan Harga (Ta’sir)

Ta’sir adalah penentapan harga oleh pemerintah. Pemerintah menitervensi harga di pasar

sehingga tidak mengikuti harga pasar. Dalam ekonomi, seharusnya harga pasar mengikuti

interaksi supply dan demand. Jika supply dan demand bertemu maka terciptalah harga

equilibrium. Itulah yang disebut dengan harga pasarm yaitu harga yang mengikuti interaksi

supply dan demand. Murah atau mahalnya harga tergantung interaksi antara supply dan demand.

Namun dalam konteks pembahasan ini, harga di pasar tidak mengikuti nteraksi supply dan

demand, melainkan harga telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan kata lain, ta’sir terjadi

ketika pemerintah atau perwakilan pemerintah memerintah pernjual untuk menjual produknya

dengan harga tertentu, dan dilarang untuk menaikkan dan menurunkannya. Pada bab ini kita

akan membahas apakah hal ini dibolehkan?

Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua pendapat yang berbeda dari para ulama yang berdalil

dengan satu dalil yang sama, yaitu QS. An Nisa: 29

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan

jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di

antara kamu.”

Para ulama yang berpendapat tidak boleh melakukan ta’sir berasalan bahwa dengan adanya

ta’sir maka akan membuat seseorang memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Contohnya adalah harga bawang saat ini Rp 5.000, kemudian hari esoknya terjadi kelangkaan

supply yang mengakibatkan demand naik dan harga juga naik. Kemudian pemerintah

menetapkan harga tertentu untuk bawang agar tidak dijual kurang atau lebih dari harga tersebut.

Menurut ulama yang tidak membolehkan praktik ta’sir, perbuatan ini dianggap dzalim. Karena

pemerintah telah mengambil harta penjual dengan cara yang batil. Sebab seharusnya jika tidak

ada praktik ta’sir, penjual memiliki hak untuk menaikkan harga. Begitupula sebaliknya ketika

harga sedang murah, dan pemerintah menetapka harga tertentu. Maka dalam hal ini pemerintah

mendzolimi pembeli karena pembeli bisa saja membeli dengan harga yang lebih murah dari

yang sudah ditetapkan oleh


55

pemerintah. Para ulama yang mengharamkan ta’sir juga berargumen dengan dalil hadist berikut

yang maknanya digeneralisasikan dalam semua aspek atau berlaku umum

“Wahai Rasulullah tentukanlah harga untuk kami!” Beliau menjawab, “Allah ta’ala itu

sesunguhnya adalah penentu harga, penahan, serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat

menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzoliman

dalam hal darah dan harta”. Diriwayatkan oleh enam imam hadits yang utama kecuali An-

Nasa’i. (Hadits Hasan Shahih)

Para ulama yang membolehkan, beralasan bahwa dalam konteks muamalah, hukum akan

menjadi lebih fleksibel dari pada konteks ibadah. Agama Islam adalah agama yang

mempermudah. Dalam kaidah juga disebutkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal atau

dibolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Membuat kebijakan seperti ta’sir termasuk

dalam praktik muamalah karena hablumminannas (interaksi antar manusia). Disamping itu, jika

praktik ta’sir dilarang, bisa jadi nanti ada oknum oportunis yang menimbun barang kemudian

melakukan monopoli pasar. Jika pemerintah tidak melakukan ta’sir maka ini akan

menguntungkan para penimbun. Sehingga dibolehkannya ta’sir yaitu untuk mewujudkan salah

satu maqashid syariah yakni melindungi harta. Para ulama berpendapat bahwa ta’sir tidak

melanggar satupun syariat Islam dan bahkan pada masa yang semakin kompleks seperti

sekarang, campu tangan pemerintah dirasa sangat penting. Karena bisa jadi ada oknum-oknum

yang memonopoli pasar tadi seperti harga Gojek yang pada awal-awal dulu terlampau murah,

dan Shopee yang didominasi pedagang China. Para ulama yang membolehkan mengatakan

bahwa ta’sir bisa menjadi haram kalau memang kebijakan pemerintah tersebut bisa mendzolimi

rakyat. Namun jika tujuannya untuk melakukan fungsi controlling, maka tidak mengapa. Para

ulama dengan pendapat membolehkan ta’sir memberikan syarat kapan ta’sir diperbolehkan,

yakni ketika dalam keadaan sebagai berikut

1) Ketika rakyat butuh barang. Yaitu saat barang tersebut berupa barang kebutuhan dan para

penjual mencari celah untuk mendapat keuntungan yang berlebih (penjual nakal). 2) Ketika

adanya ihtikar atau penimbunan. Jika terjadi seperti ini maka pemerintah harus melakukan

ta’sir yang merugikan si penimbun. Sedangkan hadist tentang Rasulullah shallallahu’alaihi

wasallam yang menolak melakukan ta’sir di atas terjadi ketika harga naik saat barang
memang sedang langka, bukan karena adanya penimbunanan. Dan bisa

56

jadi berbeda jika barang saat itu mahal karena ditimbun, bukan karena memang sedang

langka.

3) Ketika adanya monopoli

4) Ketika adanya oligopoli, atau kartel, yaitu kongkalikong antara penjual untuk menaikkan

harga.

Kenaikan Harga

Apakah boleh penjual menaikkan harga atau menjual barang di atas harga pasar? Untuk

menjawab pertanyaan ini, kita perlu kembali pada kaidah asal muamalah yaitu semua

dibolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Maka jawabannya adalah boleh pada umumnya,

kecuali ada kondisi tertentu yang mengakibatkan hal itu menjadi haram, antara lain:

1) Ketika adanya riba (sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya)

2) Ketika adanya ghoror (sudah dijelaskan pada pembahasan

sebelumnya) 3) Ba’i Najasy

Secara bahasa, ba’i adalah jual beli, dan najasy adalah upaya pemburu merayu hewan

agar hewan tersebut keluar dari persembunyiannya lalu ditembak. Secara istilah yaitu

praktik jual beli dengan pura-pura (tidak berniat membeli) menawarkan harga yang

mahal supaya orang lain terpengaruh untuk menaikkan penawarannya juga. Biasanya

orang yang pura

pura tersebut adalah teman dari penjual. Begitupula dalam hal online seperti endorsement

yang berpura-pura atau tidak mereview secara jujur. Sebagaimana hadist berikut “ .. dan

janganlah kalian melakukan jual beli najasy … “ (HR. Bukhari dan Muslim) “Nabi

shallAllah ta’alau ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy.” (HR. Bukhari dan

Muslim). Terdapat 4 jenis ba’i najasy

- Berpura-pura menawar dengan harga tinggi seperti dijelaskan sebelumnya. Praktik ini

banyak terjadi pada lelang. Dimana penawar pertama biasanya adalah orang yang

berpura pura menawar dengan harga tinggi (namun tidak berniat membeli) agar diikuti

oleh penawar selanjutnya.

- Berpura-pura memuji barang yang dijual dengan kualitas yang tidak seperti kenyatannya
sehingga pembeli tertarik untuk menaikkan penawaran.

57

- Berpura-pura barang tersebut dicari atau digemari banyak orang padahal sebenarnya tidak,

seperti kasus penjualan apartemen di televise yang mengatakan “beli sekarang, tinggal 1

unit lagi!”, padahal masih tersisa banyak unit.

- Ketika menampilkan iklan visual yang tidak sesuai faktanya.

4) Ba’i Talaqqi Rukban

Yakni memborong barang dagangan orang-orang desa sebelum mereka sampai ke kota.

Kemudian di jual di kota dengan harga yang mahal. Ini dapat merugikan penjual desa

karena harga barang mereka jadi murah tanpa mengetahui harga sebenarnya di pasar. Ini

pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, sebagaimana hadist

berikut.

“Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu

membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu

dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk

membatalkan jual beli)” (HR. Muslim no. 1519)

5) Hadir li baad (Jual Beli Calo)

Mirip dengan ba’i talaqqi rukban. Bedanya, pada ba’i talaqqi rukban para penjual desa

belum sampai kota. Sedangkan hadir li baad, para penjualnya sudah sampai kota.

Kemudian didatangi para calo dimana kehadiran para calo ini tidak dinginkan oleh

pedagang aslinya. Dan terkadang keuntungan calo ini jauh lebih besar dari penjual

aslinya. Berbeda hal ketika kehadiran calo atau perantara ini dinginkan oleh penjual

aslinya atau resmi dari perusahaan maka ini dibolehkan. Dalam hadist disebutkan bahwa

“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula

menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada

Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?”Ia berkata,

“Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”. HR. Bukhari

6) Ghabn

Yaitu menipu, memperdaya, atau mengurangi dari sisi kualitas. Dalam istilah fiqih

disebutkan makna ghabn adalah menjual atau membeli sesuatu dengan harga lebih atau
kurang dari yang sebanding. Seperti contohnya Oreo Supreme yang dijual hinggal 1 juta.

Ini namanya pembodohan karena tidak ada proses atau bahan yang membedakan kualitas

oreo 1 juta dengan oreo 3 ribuan pada umumnya, hanya berbeda kemasan. Berbeda

halnya

58

ketika menjual barang mahal namun kualitasnya memang bagus atau proses produksinya

yang mahal dan memakan biaya. Maka hal ini tidak mengapa. Terdapat dua jenis Ghabn,

yakni:

∙ Ghabn yasir atau ringan yang berari naik turunnya harga dalam rentang yang wajar,

dan ini dibolehkan. Para ulama mengatakan bahwa batasan rentang yang wajar

adalah 1/3.

“Apabila barang dijual 1/3 lebih mahal dari harga normal (harga pasar), atau

1/3 lebih murah maka terjadi ghabn.” Asy-Syaikh bin Baaz rahimahullah

mengatakan batasan Ghabn dikembalikan kepada ‘urf, yakni kearifan lokal

(norma setempat).

∙ Kedua adalah ghabn fahisy atau berat yakni naik turunnya harga diluar rentang

yang wajar, seperti Oreo Supreme tadi.

Paksaan (Coercieon)

Pemaksaan dalam hal ini berarti setiap usaha untuk memaksa calon konsumen untuk membeli

produk, baik secara fisik maupun psikis, sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan

sebelumnya yang berkaitan dengan asuransi. Terdapat 3 dosa dalam asuransi

1) Dosa riba fadl, yaitu menukarkan rupiah dengan rupiah namun dengan nilai yang

berbeda, karena kita mendapat klaim lebih besar dari premi yang kita bayarkan.

2) Ghoror Fahisy (berat), yaitu asuransi tidak dapat diukur. Bayar premi 100.000 untuk

membeli apa?

3) Paksaan, yaitu menakut-nakuti dengan masa depan, seakan-akan kita akan mati dalam

kecelakaan atau sakit parah. Ini menunjukkan lemahnya hati kita. Sebagai seorang

mukmin harusnya kita bertawakal kepada Allah ta’ala tentang masa depan.
Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al An’am: 116-117

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan

menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka,

dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih

mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang

orang yang mendapat petunjuk.”

Anda mungkin juga menyukai