DALAM BISNIS II
Kelompok 7
2
Istilah qimah al-‘adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkodifikasikan
hukum islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan,
membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya. Meskipun istilah-istilah diatas telah
digunakan sejak masa Rasulullah dan al-Khulafa’ al-Rasyidin, tetapi sarjana muslim pertama yang
memberikan perhatian secara khusus adalah ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakan
dua terminologi dalam pembahasaan harga ini, yaitu: ‘iwad al mits (equivalen compensation/
kompensasi yang setara). Dalam alhisbahnya ia mengatakan: “ Kompensasi yang setara akan
diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setara dan dan itulah esensi keadilan (nafs al- ‘adl)”.
Dimanapun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta
harga yang adil dan disukai, dan mempertimbangkan harga yang setara itu sebagian harga yang
adil.
Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang
islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah
cerminan dari komitmen syari’ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga
yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulakan eksploitasi atau penindasan sehingga
merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan
manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang
normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkan.
Konsep harga yang adil yang didasarkan atas konsep equivalen price jelas lebih menunjukan
pandangan yang maju dalam teori harga dengan konsep just price. Konsep just price hanya melihat
harga dari sisi produsen sebab mendasari pada biaya produksi saja. Konsep ini jelas memberikan
rasa keadilan dalam perspektif yang lebih luas, sebab konsumen juga memiliki penilaian tersendiri
atas dasar harga suatu barang. Itulah sebab nya syariah islam sangat menghargai harga yang
terbentuk atas dasar kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.
Penentuan harga haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam semua
transaksi yang islami. Bahkan, keadilan sering kali dipandang sebagai inti sari dari ajaran islam
dan dinilai Allah sebagai perbuatan yang lebih dekat dengan ketakwaan. Islam menghargai hak
penjual dan opembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Islam
membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan intervensi harga, bila kenaikan harga
disebabkan oleh distorsi terhadap permintaan dan penawaran. Kebolehan intervensi harga antara
lain:
1. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal
tambahan keuntungan (profit margin) sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing
power.
2. Bila tidak dilakukan intervensi harga maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara
ikhtikar. Dalam hal ini penjual menzalimi pembeli.
3
3. Pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili
kelompok masyarakat yang lebih kecil, sehingga intervensi harga berarti pula melindungi
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Keadilan merupakan nilai paling asasi dalam ekonomi islam. Menegakkan keadilan dan
membrantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para Rasul-Nya. Keadilan sering kali
diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan. Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah
islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashidsyariah. Sayyid Qutb
menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok komprehensif dan terpenting dalam aspek seluruh
kehidupannya.
Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar.
Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by step).
Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba
dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan
kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada
akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan:
1. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah
dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan
barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan
larangan dan belum mengharamkannya.
2. Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu
pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi
kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi
tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan
larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan
untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah
pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat
berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
5
3. Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi
melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang
melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa
melakukan riba siap menerimanya.
4. Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas,
jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak
dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam
ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah
SWT dan Rasuln- Nya.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-ayat yang
menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan masa dan periode
turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas tentang riba. Kegiatan
transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan transaksi yang secara tegas diharamkan
bahkan pengharamannya telah menjadi larangan dalam ajaran Islam. Riba merupakan transaksi
yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitor) bahkan merusak akhlak dan
moralitas manusia. Pengharaman ini tidak hanya berlaku pada agama Islam saja, akan tetapi dalam
agama-agama samawi juga melarangnya bahkan mengutuk pelaku riba.
Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan, hal ini dikerenakan bahwa
riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya riba adalah yang berlipat ganda (ad'afan mudha'afah).
Landasan dari riba dalam al-Qur'an surat al-Imran ayat 130:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan".
Pelarangan riba dalam al-Qur'an datang secara bertahap seperti larangan minum khamar.
Dalam surat al-baqarah merupakan ayat riba yang terakhir dan para ahli hukum Islam dan ahli
tafsir tidak ada yang membantahnya. Berbagai riwayat yang dikutip oleh mufassir ketika mereka
menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan
ketegasan atas praktek riba yang ditampilkan antara penduduk Makkah.
9
2. Diperangi Allah SWT
Doa harta riba telah diperingatkan dalam al-qur'an. Dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279
disebutkan bahwa dosa riba sangat berat. Allah SWT berfirman:
َٰٓ
َى ِمنَ ٱ ِلربَ َٰٓوا إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِم ِنين َ يَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا ٱتَّقُوا ٱ َّّللَ َوذَ ُروا َما بَ ِق
ْ ُ َظ ِل ُمونَ َو َل ت
َظلَ ُمون ْ وس أَ ْم َو ِل ُك ْم َل تُ سو ِل ِۦه ۖ َو ِإن ت ُ ْبت ُ ْم َف َل ُك ْم ُر ُء ِ َّ فَإِن لَّ ْم تَ ْف َعلُوا فَأْذَنُوا ِب َح ْرب ِمنَ ٱ
ُ ّلل َو َر
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya." (Qs. Al-Baqarah: 278-279).
3.Mendapat Laknat dari Rasulullah SAW
Allah SWT telah memberikan perumpamaan kepada orang-orang semacam ini dengan
perumpamaan yang mengerikan. Siapa saja yang memakan riba seperti orang yang kerasukan setan
yang terkena penyakit gila. Allah SWT berfirman,
َ س ِن ِإ َّل ٱ ِۡلح
س ُن َ هَل َجزَ آَٰ ُء ٱ ِۡلح
“Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintah umatnya agar membalas kebaikan orang
lain, sebagaimana sabdanya,
َ ْعلَ ْي ِه فَقَد
ُشك ََرهُ َوإِ ْن َكت َ َمهُ فَقَدْ َكف ََره َ فَإِ ْن لَ ْم يَ ِجدْ َما يَ ْج ِز ْي ِه فَ ْليُثْ ِن،ِصنِ َع إِلَ ْي ِه َم ْع ُر ْوف فَ ْليَ ْج ِزه
َ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى،ِعلَ ْيه ُ َم ْن
“Barang siapa diperlakukan dengan baik (oleh seseorang), hendaklah ia membalasnya. Apabila dia
tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memujinya. Jika ia memujinya, ia
telah berterima kasih kepadanya. Namun, jika ia menyembunyikannya (tidak berterima kasih
ataupun memujinya), berarti ia telah mengingkari (kebaikan)nya.” (HR. al-Bukhari dalam al-
Adabul Mufrad. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, no. 157)
Pada umumnya, seseorang akan merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan
yang semisalnya jika ia tidak mendapatkan imbalan. Oleh karena itu, barang siapa rela
mencurahkan semua itu dengan hati yang tulus, ia berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri
pemberiannya.
Apabila kita saja diperintahkan untuk berbuat baik dan memaafkan orang yang telah berbuat jahat
kepada kita, tentu balasan bagi orang yang telah berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan. Perlu
diketahui juga, dalam Islam, kedudukan orang yang memberi itu lebih baik daripada orang yang
menerima. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ُّ ْاليَدُ ْالعُ ْليَا َخيْر مِ نَ ْاليَ ِد ال
س ْفلَى
“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, hendaklah kita menjadi umat yang lebih suka memberi daripada banyak
menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah. Sebab, itulah yang dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah radhiallahu anha berkata, “Dahulu, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam biasa menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan
membalasnya.” (Shahih al-Bukhari, no. 2585)
11
Berbalas budi—di samping merupakan perangai yang dicintai oleh Islam dan terpuji di tengah
masyarakat—adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan untuk mengungkit
pemberian, yang justru bisa membatalkan amalan pemberiannya.
Bentuk Balas Budi
Wujud membalas kebaikan orang sangatlah beragam. Tentu saja, setiap orang akan membalas
sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau
lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak, ia bisa memuji si pemberi di hadapan orang lain atau
mendoakan kebaikan dan memintakan ampunan baginya. Semua ini merupakan wujud membalas
kebaikan orang lain.
Dahulu, orang-orang Muhajirin mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam sembari berkata,
“Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah
melihat suatu kaum yang paling banyak pemberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat
kekurangan, selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan
mereka?”
Para Muhajirin menjawab, “Ya.”
Nabi bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai. Lihat Shahih at-Targhib,
no. 963)
Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka,
para Muhajirin sudah dianggap telah membalas kebaikan mereka.
Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan,
َجزاكَ للاُ َخي ًْرا
“Barang siapa diperlakukan dengan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya, ‘Semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan’, dia benar-benar telah menyanjungnya.” (Shahih Sunan at-
Tirmidzi, no. 2035; cet. al-Ma’arif)
12