Anda di halaman 1dari 13

NILAI – NILAI SYARIAH

DALAM BISNIS II
Kelompok 7

Shaffa Arya Pradana


2102010047
Alif Aljabar
2102010057
Rara Aryati Dinisha
2102010073
A. Harga Merupakan Ujian
Harga merupakan salah satu variabel dari pemasaran atau penjualan. Islam memberikan
kebebasan dalam harga yang artinya segala bentuk konsep harga yang terjadi dalam transaksi jual
beli diperbolehkan dalam ajaran islam selama tidak ada dalil yang melarangnya, dan selama harga
tersebut terjadi atas dasar keadilan dan suka sama suka antara penjual dan pembeli. Harga menjadi
sesuatu yang sangat penting, artinya bila harga suatu barang terlalu mahal dapat mengakibatkan
barang menjadi kurang laku, dan sebaliknya bila menjual terlalu murah, keuntungan yang didapat
menjadi berkurang. Penetapan harga yang dilakukan penjual atau pedagang akan mempengaruhi
pendpatan atau penjualan yang akan diperoleh atau bahkan kerugian yang akan diperoleh jika
keputusan dalam menetapkan harga jual tidak dipertimbangkan dengan tepat sasaran. Dalam
menetapkan harga jual dapat dilakukan dengan :
1. Penetapan harga jual oleh pasar yang artinya penjual tidak dapat mengontrol harga yang
dilempar dipasaran. Harga ditentukan oleh mekanisme penawaran dan permintaan dalam
keadaan seperti ini penjual tidak dapat menetapkan harga jual yang diinginkan.
2. Penetapan harga jual yang dilakukan oleh pemerintah, artinya pemerintah berwenang
menetapkan harga barang dan jasa terutama menyangkut masyarakat umum. Perusahaan
tidak dapat menetapkan harga jual barang sesuai kehendaknya.
3. Penetapan harga jual yang dicontoh oleh penjual oleh perusahaan, maksudnya harga
ditetapkan sendiri oleh perusahaan. Penjual menetapkan harga dan pembeli boleh memilih,
membeli atau tidak. Harga ditetapkan oleh keputusan atau kebijaksanaan dalam
perusahaan.
Menurut jumhur ulama telah sepakat bahwa islam menjunjung tinggi mekanisme pasar bebas,
maka hanya dalam kondisi tertentu saja pemerintah dapat melakukan kebijakan penetapan harga.
Prinsip dari kebijakan ini adalah mengupayakan harga yang adil, harga yang normal, atau sesuai
harga pasar. Dalam penjualan islami, baik yang bersifat barang maupun jasa, terdapat norma, etika
agama, dan perikemanusiaan yang menjadi landasan pokok bagi pasar islam yang bersih, yaitu:
1. Larangan menjual atau memperdagangkan barang-barang yang diharamkan
2. Bersikap benar, amanah dan jujur
3. Menegakkan keadilan dan mengharamkan riba
4. Menerapkan kasih sayang
5. Menegakkan toleransi dan keadilan
Ajaran islam memberikan perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar.
Mekanisme pasar yang sempurna merupakan resultan dari kekuatan yang bersifat massal, yaitu
merupakan fenomenal alamiyah. Pasar yang bersaing sempurna menghasilkan harga yang adil bagi
penjual maupun pembeli. Oleh karena itu, islam sangat memperhatikan konsep harga yang adil
dan mekanisme pasar yang sempurna.
1
Menurut Ibnu Taimiyah naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak
adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang
menurun akibat inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau
juga tekanan pasar. Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan penawaran
menurun, harga barang tersebut akan naik. Begitu pula sebaliknya. Kelangkaan dan melimpahnya
barang mungkin disebakan oleh tindakan yang adil atau mungkin juga tindakan yang tidak adil.
Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak
Allah. Hal tersebut yang impersonal. Ibnu Taimiyah juga membedakan dua faktor penyebab
pergeseran kurva permintaan dan penawara yaitu tekanan pasar yang otomatis dan Islam mengatur
agar persaingan dipasar dilakukan dengan adil. Setiap bentuk yang dapat menimbulkan
ketidakadilan dilarang, yaitu sebagai berikut:
1. Talaqqi rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong dipinggir kota mendapat
keuntungan dari ketidaktahuan penjual dikampung akan harga yang berlaku dikota.
Mencegah masuknya pedagang desa kekota ini (entry barrier) akan menimbulkan pasar
yang tidak kompetitif.
2. Mengurangi timbangan dilarang karena barang dijual dengan harga yang sama dengan
jumlah yang sedikit.
3. Menyembunyikan barang cacat dilarang karena penjual mendapatkan harga yang baik
untuk kualitas yang buruk.
4. Menukar kurma kering dengan basah dilarang karena takaran kurma basah ketika kering
bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar.
5. Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua tukar kurma kualitas sedang dilarang
karena setiap kualitas kurnma mempunyai harga pasarnya. Rasulullah menyuruh menjual
kurma yang satu, kemudian membeli kurma yang lain dengan uang.
6. Transaksi najasy dilarang karena si penjual menuruh orang lain memuji barangnya atau
menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
7. Ikhtikar dilarang yaitu mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan
menjuallebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
8. Ghaban faa-hisy (besar) dilarang yaitu menjual diatas harga pasar.
Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al-‘adl/justice), termasuk juga dalam penetuan harga.
Terdapat beberapa terminologi dalam bahasa arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil
ini. Antara lain: si’r al- mitsl, tsaman al mitsl dan qimah al-‘adl. Istilah qimah al’adl (harga yang
adil) pernah digunakan dalam Rasulullah SAW, dalam mengomentari kompensasi bagian bagi
pembebasan budak, dimana budak ini akan menjadi manusia merdeka dan majikannya tetap
memperoleh kompensasi dengan harga yang adil (shahih muslim). Penggunaan istilah ini juga
ditemukan dalam laporan tentang Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Umar bin
Khattab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyat (denda),
setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.

2
Istilah qimah al-‘adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengkodifikasikan
hukum islam tentang transaksi bisnis dalam obyek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan,
membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya. Meskipun istilah-istilah diatas telah
digunakan sejak masa Rasulullah dan al-Khulafa’ al-Rasyidin, tetapi sarjana muslim pertama yang
memberikan perhatian secara khusus adalah ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakan
dua terminologi dalam pembahasaan harga ini, yaitu: ‘iwad al mits (equivalen compensation/
kompensasi yang setara). Dalam alhisbahnya ia mengatakan: “ Kompensasi yang setara akan
diukur dan ditaksirkan oleh hal-hal yang setara dan dan itulah esensi keadilan (nafs al- ‘adl)”.
Dimanapun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta
harga yang adil dan disukai, dan mempertimbangkan harga yang setara itu sebagian harga yang
adil.
Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang
islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah
cerminan dari komitmen syari’ah islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga
yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulakan eksploitasi atau penindasan sehingga
merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan
manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang
normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkan.
Konsep harga yang adil yang didasarkan atas konsep equivalen price jelas lebih menunjukan
pandangan yang maju dalam teori harga dengan konsep just price. Konsep just price hanya melihat
harga dari sisi produsen sebab mendasari pada biaya produksi saja. Konsep ini jelas memberikan
rasa keadilan dalam perspektif yang lebih luas, sebab konsumen juga memiliki penilaian tersendiri
atas dasar harga suatu barang. Itulah sebab nya syariah islam sangat menghargai harga yang
terbentuk atas dasar kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.
Penentuan harga haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam semua
transaksi yang islami. Bahkan, keadilan sering kali dipandang sebagai inti sari dari ajaran islam
dan dinilai Allah sebagai perbuatan yang lebih dekat dengan ketakwaan. Islam menghargai hak
penjual dan opembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Islam
membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan intervensi harga, bila kenaikan harga
disebabkan oleh distorsi terhadap permintaan dan penawaran. Kebolehan intervensi harga antara
lain:
1. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal
tambahan keuntungan (profit margin) sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing
power.
2. Bila tidak dilakukan intervensi harga maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara
ikhtikar. Dalam hal ini penjual menzalimi pembeli.

3
3. Pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili
kelompok masyarakat yang lebih kecil, sehingga intervensi harga berarti pula melindungi
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Keadilan merupakan nilai paling asasi dalam ekonomi islam. Menegakkan keadilan dan
membrantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para Rasul-Nya. Keadilan sering kali
diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan. Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah
islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashidsyariah. Sayyid Qutb
menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok komprehensif dan terpenting dalam aspek seluruh
kehidupannya.

B. Pandangan Tentang Riba


Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),2
berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)3 dan meningkat (al-irtifa'). Menurut terminologi
ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa
adanya imbalan tertentu. Dikalangan masyarakat sering kita dengar dengan istilah rente, rente juga
disamakan dengan “bunga” uang. Karena rente dan bunga sama-sama mempunyai pengertian dan
sama-sama haram hukumnya di agama Islam.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang
telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan
uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh
semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor
(nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Abu Zahrah dalam
kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan
sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik
pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk
mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan
dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas sejumlah
pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh imbalan) adalaha
riba5. Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang
tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba
fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi
tersebut. Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam
perbankan konvensional banyak kita temui transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan
perbankan yang berbasis syariah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah) yang belakangan
ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7
tahun 19926. Prinsip Mudharabah adalah penyerahan modal uang pada orang yang berbisnis
sehingga ia mendapatkan prosentasi keuntungan.
4
Riba juga telah dilarang sebelum Islam berkembang. Istilah riba telah dikenal dan digunakan
dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan
tetapi pada zaman itu riba yang berlaku adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat
penundaan pelunasan hutang. Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain
(non-Islam) riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan
riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.

Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar.
Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by step).
Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba
dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan
kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada
akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan:
1. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah
dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan
barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan
larangan dan belum mengharamkannya.
2. Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu
pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi
kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi
tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan
larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan
untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah
pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat
berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
5
3. Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi
melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang
melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa
melakukan riba siap menerimanya.
4. Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas,
jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak
dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam
ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah
SWT dan Rasuln- Nya.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-ayat yang
menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan masa dan periode
turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas tentang riba. Kegiatan
transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan transaksi yang secara tegas diharamkan
bahkan pengharamannya telah menjadi larangan dalam ajaran Islam. Riba merupakan transaksi
yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitor) bahkan merusak akhlak dan
moralitas manusia. Pengharaman ini tidak hanya berlaku pada agama Islam saja, akan tetapi dalam
agama-agama samawi juga melarangnya bahkan mengutuk pelaku riba.
Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan, hal ini dikerenakan bahwa
riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya riba adalah yang berlipat ganda (ad'afan mudha'afah).
Landasan dari riba dalam al-Qur'an surat al-Imran ayat 130:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan".
Pelarangan riba dalam al-Qur'an datang secara bertahap seperti larangan minum khamar.
Dalam surat al-baqarah merupakan ayat riba yang terakhir dan para ahli hukum Islam dan ahli
tafsir tidak ada yang membantahnya. Berbagai riwayat yang dikutip oleh mufassir ketika mereka
menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan
ketegasan atas praktek riba yang ditampilkan antara penduduk Makkah.

C. Pandangan Tentang Bunga


Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan
persentase dari uang yang dipinjamkan. Kemudian apakah bunga termasuk riba, ada dua pendapat;
pertama, menurut ijma ulama di kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala
bentuknya termasuk kategori riba.6 pendapat yang menyatakan bahwa bunga tidak termasuk
kategori riba. Ada beberapa hal yang menjadi masalah kontroversial seputar bunga yang terjadi di
kalangan para tokoh Islam antara argumen terhadap pembenaran konsep bunga dikemas dalam
bentuk bersifat ilmiah dan argumen sebagai bantahan dan kritikan terhadap teori-teori yang
dikemukan kalangan yang membenarkan adanya bunga.
6
Pertama, pada persoalan tingkat bunga, pada tingkat yang wajar maka bunga dibolehkan.
Namun tingkat bunga wajar sangat subjektif tergantung pada waktu, tempat, jangka waktu, jenis
usaha dan skala usaha. Aspek ini juga terdapat pada ayat pelarangan riba tahap ketiga yang terdapat
pada Q.S. Ali Imran [3]: 130 merupakan ayat pertama yang menyatakan secara tegas terhadap
pengharaman riba bagi orang Islam. Larangan ini merujuk kepada apa yang dipraktekkan oleh
orang-orang Arab pada masa itu, dengan cara menambah bayaran jika hutang tidak bisa dibayar
ketika jatuh tempo. Perkataan berlipat ganda dalam ayat ini merupakan ciri hutang zaman jahiliah
yang senantiasa bertambah sehingga menjadi berlipat ganda.7 Bukan berarti bunga yang
dikenakan yang tidak berlipat ganda menjadi halal.8 Quraish Shihab juga menafsirkan bahwa
ad}’a>fan mud}a>’afatan pada ayat ini bukan merupakan syarat.9 Jadi walaupun tidak berlipat
ganda berarti bunga tetap tidak halal. Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang
selanjutnya Q.S. al-Baqarah [2]: 275-276 dan 278-279 (ayat terakhir turun tentang proses
pengharaman riba), telah secara tegas menyatakan setiap tambahan melebihi pokok pinjaman
termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap bunga baik bersuku rendah, berlipat ganda, tetap maupun
berubah-ubah bahkan sisa-sisa riba sekalipun dilarang.10 Ayat ini secara total mengharamkan riba
dalam bentuk apapun.
Beberapa tokoh berbeda pendapat tentang riba yang diharamkan adalah riba yang bersifat
ad}’a>fan mud}a>’afatan atau berlipat ganda. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali
dan Muhammad Asad, yang menafsirkan riba sebagai usury yang berarti suku bunga yang lebih
dari biasanya atau suku bunga yang tinggi dan bukan interest (bunga yang rendah). Adanya
perbedaan penafsiran terhadap interest dan usury ini membawa konsekwensi problem konseptual
yang serius sehingga timbul perbedaan pendapat terhadap kategori riba yang diharamkan. Jika
merujuk kepada pendapat tafsiran Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad maka bunga bank
tidak termasuk riba yang diharamkan.11
Senada dengan pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida,
Abd al-Wahab Khallaf, Mahmud Shaltut.12 Mereka berpendapat bahwa riba yang diharamkan
adalah riba yang berlipat ganda dan tidak termasuk riba yang kadarnya rendah. Mereka memahami
sesuai dengan konteks ayat riba yang mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sanhuri juga
menganggap sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Saeed, bahwa bunga yang rendah atas
modal adalah halal atas dasar kebutuhan. Ia menambahkan bahwa hukum harus menentukan batas-
batas suku bunga, metode pembayaran dan total bunga yang harus dibayar. Namun pendapat
terakhir ini mempunyai beberapa kelemahan, karena sepanjang sejarah tingkat (kadar) suku bunga
berbeda-beda (fluktuatif) mengikuti keadaan, baik dari segi waktu dan tempat. Oleh karena itu
sukar untuk menentukan tingkat suku bunga yang tinggi atau yang rendah berdasarkan waktu dan
tempat.
Kedua, adanya pembenaran unsur bunga dengan cara apa pun sebagai kompensasi atas
terjadinya inflasi dan ini merupakan pendapat umum yang diadopsi dari teori agio. Namun
argumen ini lemah ketika adanya suku bunga yang lebih tinggi dari inflasi yang diperkirakan atau
tingkat inflasi dapat mencapai nol atau negatif (deflasi).13 Justru keberadaan bunga memicu
7
terjadinya inflasi. Jika alasan untuk menjaga nilai uang yang terkikis oleh inflasi maka
kompensasinya tidak mesti dengan bunga tetapi dengan instrumen lain.
Ketiga, konsep marginal utility,14 yaitu konsumsi menurun menurut waktu. Artinya unit
konsumsi di masa yang akan datang memiliki nilai guna yang lebih kecil dibanding dengan nilai
guna saat ini. Konsep ini muncul sebagai akibat dari proses perbandingan antara nilai guna pada
masa sekarang dengan masa yang akan datang. Konsep ini dikritisi dengan argumen bahwa
pendapatan di masa akan datang tidak selalu meningkat. Untuk itu marginal utility di masa yang
akan datang tidak pasti selalu lebih rendah. Jika kondisi seperti ini maka mencari nilai diskonto
dari nilai kegunaan di masa yang akan menjadi tidak relevan. Di samping itu, pendekatan marginal
utility yang mengandalkan pada identifikasi yang tepat mengenai pendapatan mana yang akan
dianalisis ketika menghitung pertumbuhan pendapatan, apakah pendapatan orang miskin, orang
kaya, atau rata-rata pendapatan secara nasional.
Keempat, konsep yang memandang bunga sebagai sewa15 dari uang. Pendapat ini ditentang
kebanyakan pakar ekonom muslim. Sebab menurut mereka istilah sewa untuk uang tidak relevan
sebab sewa digunakan hanya untuk benda yang diambil manfaatnya tanpa kehilangan hak
kepemilikannya. Sedangkan pada kasus meminjamkan uang manfaat diperoleh tetapi kepemilikan
terhadap uang hilang.
Kelima, pembenaran bunga atas dasar darurah (dire necessity) dan h}a>jah (need). Salah satu
unsur penting dalam perekonomian adalah bank, yang di dalamnya terkandung sistem bunga.
Bunga bank (interest) yang dianggap sama dengan riba akan sulit untuk dihentikan, karena jika
bank dilarang akan menimbulkan kemacetan ekonomi. Oleh karena itu, dapat dikatakan kondisi
semacam ini adalah darurat, yaitu membolehkan yang dilarang atas dasar darurat sehingga tercipta
suatu sistem yang tidak menimbulkan kemacetan ekonomi.17 Namun konsep ini harus melihat
kondisi riilnya apakah termasuk kategori d}aru>rah (dire necessity) dan h}a>jah (need).
Contohnya kondisi d}aru>rah tidak terpenuhi karena menyimpan uang tidak mesti di bank atau
pada saat ini, lembaga keuangan syariah telah tersebar di tanah air.
Argumen lainnya yang menyatakan bahwa karena bunga yang diberikan oleh institusi
keuangan saat ini tidak sama dengan riba yang dipraktekkan pada zaman jahiliah. Tetapi argumen
ini, tidak mampu menggoyangkan pendapat para fuqaha dan mayoritas ekonom muslim modern
yang menjunjung konsensus historis tentang riba, yang banyak mendapat dukungan.18 Pendapat
mereka, istilah riba mengandung arti bunga dalam segala manifestasinya tanpa membedakan
antara pinjaman untuk konsumtif maupun produktif, antara pinjaman bersifat personal maupun
komersial, atau apakah peminjam itu pemerintah, individu swasta atau perusahaan dan tidak
membedakan antara suku bunga rendah maupun tinggi. Hal ini jelas terangkum pada Q.S. al-
Baqarah [2]: 275-279. Argumen bagi kalangan yang mencari celah untuk membolehkan bunga,
bahwa bunga dilarang karena pada zaman Rasulullah Saw hanya ada pinjaman konsumtif dan
bunga yang disertakan dalam pinjaman tersebut termasuk pemerasan. Tetapi pendapat ini tidak
tepat dan bertentangan dengan fakta. Sebab secara historis, pada periode Nabi Saw masyarakat
muslim telah terbiasa dengan cara hidup yang sederhana dan tidak melakukan praktek konsumsi
8
mencolok, oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meminjam uang untuk tujuan pamer diri dan
untuk keperluan konsumsi yang tidak penting. Kalaupun diasumsikan ada, praktek pinjaman ini
pasti sangat terbatas pada kalangan tertentu dan jumlahnya pun sedikit sehingga dapat dipenuhi
lewat qard} al-h{asan.

D. Islam Mengharamkan Riba


Macam-macam riba secara umum ada tiga jenis yaitu :
1. Riba fadhl
Riba fadhl adalah tambahan yang ada pada pertukaran barang riba dengan barang riba
sejenisnya. Misalnya: Menjual satu kuintal gandum dengan satu seperempat kuintal gandum.
2. Riba nasi'ah
Riba nasi'ah merupakan penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang riba yang
dipertukarkan dengan jenis barang riba lainnya.
3. Riba al-yadh
Riba al-yadh ialah riba yang terjadi akibat jual beli barang riba yang disertai dengan penundaan
serah terima kedua barang yang ditukar atau ditunda terhadap penerima riba. Di dalam al-qur'an,
riba hukumnya haram. Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam buku 'Kiat-kiat Syar'i Hindari Riba'
menuliskan pelaku riba akan diperangi Allah SWT di dalam al-qur'an. Bahkan menjadi satu-
satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di dalam al-qur'an adalah mereka yang
menjalankan riba.

Alasan mengapa riba diharamkan dalam Islam:


1. Termasuk tujuh dosa besar
Riba disebut menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam sebuah hadits:
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah dari kalian tujuh hal
yang mencelakakan". Para sahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulullah?". "Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak
yatin, lari dari peperangan dan menuduh zina." (HR. Muttafaq alaihi).

9
2. Diperangi Allah SWT
Doa harta riba telah diperingatkan dalam al-qur'an. Dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279
disebutkan bahwa dosa riba sangat berat. Allah SWT berfirman:
َٰٓ
َ‫ى ِمنَ ٱ ِلربَ َٰٓوا إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِم ِنين‬ َ ‫يَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا ٱتَّقُوا ٱ َّّللَ َوذَ ُروا َما بَ ِق‬
ْ ُ ‫َظ ِل ُمونَ َو َل ت‬
َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ‫وس أَ ْم َو ِل ُك ْم َل ت‬ُ ‫سو ِل ِۦه ۖ َو ِإن ت ُ ْبت ُ ْم َف َل ُك ْم ُر ُء‬ ِ َّ ‫فَإِن لَّ ْم تَ ْف َعلُوا فَأْذَنُوا ِب َح ْرب ِمنَ ٱ‬
ُ ‫ّلل َو َر‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya." (Qs. Al-Baqarah: 278-279).
3.Mendapat Laknat dari Rasulullah SAW
Allah SWT telah memberikan perumpamaan kepada orang-orang semacam ini dengan
perumpamaan yang mengerikan. Siapa saja yang memakan riba seperti orang yang kerasukan setan
yang terkena penyakit gila. Allah SWT berfirman,

‫طنُ ِمنَ ٱ ْل َم ِس ۚ َذلِكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُ َٰٓوا ِإنَّ َما‬َ ‫ش ْي‬


َّ ‫طهُ ٱل‬ ُ َّ‫ٱلَّذِينَ يَأ ْ ُكلُونَ ٱ ِلربَوا َل يَقُو ُمونَ ِإ َّل َك َما يَقُو ُم ٱلَّذِى يَتَ َخب‬
ُ‫ف َوأَ ْم ُر َٰٓهۥ‬ َ َ‫سل‬ َ ‫ظة ِمن َّر ِب ِۦه فَٱنتَ َهى فَلَهۥُ َما‬ َ ‫ٱ ْل َب ْي ُع ِمثْ ُل ٱ ِلر َبوا ۗ َوأَ َح َّل ٱ َّّللُ ٱ ْل َب ْي َع َو َح َّر َم ٱ ِلر َبوا ۚ فَ َمن َجا َٰٓ َءهۥُ َم ْو ِع‬
َٰٓ
َ‫ار ۖ ُه ْم فِي َها َخ ِلدُون‬ ِ َّ‫ب ٱلن‬ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫عادَ فَأُولَئِكَ أ‬ َ ‫ّلل ۖ َو َم ْن‬ِ َّ ‫إِلَى ٱ‬
Artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) , maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.". (QS. Al-Baqarah [2]: 275).

A. Contoh Balas Jasa Rasulullah SAW


Sifat Terpuji Nabi Muhammad SAW merupakan yang nomor satu di antara manusia manapun.
Salah satu akhlak mulia yang dicontohkan beliau adalah ketika membalas kebaikan pamannya,
Abu Thalib, bahkan sebelum perintah dari Allah turun. Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah
As-Samman dijelaskan, Nabi Muhammad SAW membalas kebaikan Abu Thalib yang dahulu
pernah mengasuh beliau ketika kecil. Balas budi Nabi dilakukan dengan mengasuh keponakannya
yakni Ali bin Abi Thalib ketika beranjak dewasa. Ketika Nabi dan Al Abbas membantu
perekonomian Abu Thalib, maka hal ini merupakan bukti bahwa perekonomian Nabi dan
10
Al-Abbas sudah cukup mapan. Ketika itulah Nabi mulai membantu Abu Thalib dari aspek
ekonomi keluarga. Tatkala manusia mengencangkan ikat pinggang karena kekurangan makanan,
maka Nabi Muhammad justru mendatangi pamannya dan memberikan pertolongan. Nabi telah
menanggung kebutuhan Ali bin Abi Thalib sebelum risalah dari langit turun kepada beliau. Hal
ini membuktikan bahwa kehidupan Nabi kala itu sudah cukup lapang.
Berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji yang hendaklah menghiasi diri
setiap muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ‫س ِن ِإ َّل ٱ ِۡلح‬
‫س ُن‬ َ ‫هَل َجزَ آَٰ ُء ٱ ِۡلح‬

“Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintah umatnya agar membalas kebaikan orang
lain, sebagaimana sabdanya,
َ ْ‫علَ ْي ِه فَقَد‬
ُ‫شك ََرهُ َوإِ ْن َكت َ َمهُ فَقَدْ َكف ََره‬ َ ‫ فَإِ ْن لَ ْم يَ ِجدْ َما يَ ْج ِز ْي ِه فَ ْليُثْ ِن‬،ِ‫صنِ َع إِلَ ْي ِه َم ْع ُر ْوف فَ ْليَ ْج ِزه‬
َ ‫ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى‬،ِ‫علَ ْيه‬ ُ ‫َم ْن‬

“Barang siapa diperlakukan dengan baik (oleh seseorang), hendaklah ia membalasnya. Apabila dia
tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memujinya. Jika ia memujinya, ia
telah berterima kasih kepadanya. Namun, jika ia menyembunyikannya (tidak berterima kasih
ataupun memujinya), berarti ia telah mengingkari (kebaikan)nya.” (HR. al-Bukhari dalam al-
Adabul Mufrad. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, no. 157)
Pada umumnya, seseorang akan merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan
yang semisalnya jika ia tidak mendapatkan imbalan. Oleh karena itu, barang siapa rela
mencurahkan semua itu dengan hati yang tulus, ia berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri
pemberiannya.
Apabila kita saja diperintahkan untuk berbuat baik dan memaafkan orang yang telah berbuat jahat
kepada kita, tentu balasan bagi orang yang telah berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan. Perlu
diketahui juga, dalam Islam, kedudukan orang yang memberi itu lebih baik daripada orang yang
menerima. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ُّ ‫ْاليَدُ ْالعُ ْليَا َخيْر مِ نَ ْاليَ ِد ال‬
‫س ْفلَى‬

“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, hendaklah kita menjadi umat yang lebih suka memberi daripada banyak
menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah. Sebab, itulah yang dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah radhiallahu anha berkata, “Dahulu, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam biasa menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan
membalasnya.” (Shahih al-Bukhari, no. 2585)

11
Berbalas budi—di samping merupakan perangai yang dicintai oleh Islam dan terpuji di tengah
masyarakat—adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan untuk mengungkit
pemberian, yang justru bisa membatalkan amalan pemberiannya.
Bentuk Balas Budi
Wujud membalas kebaikan orang sangatlah beragam. Tentu saja, setiap orang akan membalas
sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau
lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak, ia bisa memuji si pemberi di hadapan orang lain atau
mendoakan kebaikan dan memintakan ampunan baginya. Semua ini merupakan wujud membalas
kebaikan orang lain.
Dahulu, orang-orang Muhajirin mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam sembari berkata,
“Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah
melihat suatu kaum yang paling banyak pemberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat
kekurangan, selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan
mereka?”
Para Muhajirin menjawab, “Ya.”
Nabi bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai. Lihat Shahih at-Targhib,
no. 963)
Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka,
para Muhajirin sudah dianggap telah membalas kebaikan mereka.
Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan,
‫َجزاكَ للاُ َخي ًْرا‬

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


ِ‫ َجزَ اكَ للاُ َخي ًْرا؛ فَقَدْ أ َ ْبلَ َغ فِى الثَّنَاء‬: ‫صنِ َع ِإلَ ْي ِه َم ْع ُر ْوف فَقَا َل ِلفَا ِع ِل ِه‬
ُ ‫َم ْن‬

“Barang siapa diperlakukan dengan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya, ‘Semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan’, dia benar-benar telah menyanjungnya.” (Shahih Sunan at-
Tirmidzi, no. 2035; cet. al-Ma’arif)

12

Anda mungkin juga menyukai