Anda di halaman 1dari 29

KEL 6 PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH

Biografi Ibnu Taimiyah


Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al Salam bin Abd Allah bin al-Khidr bin Muhammad bin
al-Khidir bin Ali bin Abd Allah bin Taimiyah al-Harani al-Damayqi atau Ibnu Taimiyah. Ibnu
Taimiyah lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M, dan dibesarkan dalam lingkungan
keluarga ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan
kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadist, fiqih, matematika dan
filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan
sekaligus pemimpin perang yang handal.
Pada musa mudanya ia mengungsi karena penyerbuan suku Mongol, dan tiba di Damaskus
bersama orang tuanya pada 1268 M pada waktu itu ia hampir berusia enam tahun. Pada tahun 1282
M ketika ayahnya meninggal Ibnu Taimiyah menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Guru
Besar Hukum Hambali dan memangku jabatan ini selama 17 tahun. Pemikiran ekonomi beliau
banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti majmu‟ Fatawa Syaikh Al-Islam, AsSiyasah
Asy-Syar‟iyyah fi Ishlah Ar-Ra‟I wa ArRa‟iyah, serta Al-Hisbah fi Al-Islam.
Selain karya tersebut Ibnu Taimiyah mengarang buku mencapai tiga ratus jilid, antara lain
Iqtifa Al-Sirat Al-Mustaqim wa Mukhalaf asHab Al-jalum, Fatwa Ibnu Taimiyah, AlSarim Al-
Maslul Al-Syatim Al-Rasul, AlSarim Al-Maslul fi Bayan Wajibat AlUmmah Nahwa Al-Rasul, al-
Jawab Al-Sahih li Man Baddala Din Al-Masih dan sejumlah buku lain di bidang fiqih. Ibnu
Taimiyah meninggal dunia di Damaskus tahun 728 H dan dikebumikan di pemakaman kaum sufi.
Ibn Taimiyah adalah seorang fuqaha yang mempunyai karya pemikiran dalam berbagai
bidang ilmu yang luas, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam bukunya al-Hisbah Fi’l Islam dan
al-Siyasah al-Shar’iyah fi islah al Ra’i wa’l Ra’iyah (legal policies to reform the rulers and the
ruled) ia banyak membahas problema ekonomi yang dihadapi saat itu, baik dalam tinjuan sosial
maupun hukum (fiqh) Islam. Meskipun demikian, karyanya banyak mengandung ide yang
berpandangan ke depan, sebagaimana kemudian banyak dikaji oleh ekonom Barat. Karyanya juga
mencakup aspek makro maupun mikro ekonomi. Ibnu Taimiyah telah membahas pentingnya suatu
persaingan dalam pasar yang bebas (free market), peranan “market supervisor” dan lingkup dari
peranan negara. Negara harus mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen,
pedagang, dan para agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara
juga harus menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari praktik-praktik pemaksaan,
manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan kelemahan pasar sehingga persaingan dapat berjalan
dengan sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar (basic need)
dari rakyatnya. Dalam hal kepemilikan (ownership) atas sumber daya ekonomi, Ibn Taimiyah
tampaknya berada pada pandangan pertengahan jika dilihat dari pemikiran ekstrem kapitalisme dan
sosialisme saat ini. Meskipun ia sangat menekankan pentingnya pasar bebas, tetapi negara harus
membatasi dan menghambat kepemilikan individual yang berlebihan. Kepentingan bersama harus
menjadi tujuan utama dari pembangunan ekonomi.
Banyak aspek mikro ekonomi yang dikaji oleh Ibnu Taimiyah, misalnya tentang beban
pajak tidak langsung (incidence of indirect taxes) yang dapat digeserkan oleh penjual (yang
seharusnya membayar pajak ini) kepada pembeli dalam bentuk harga beli yang lebih tinggi. Dalam
hal uang, ia telah mengingatkan risiko yang dimungkinkan timbul jika menggunakan standar logam
ganda (sebagaimana kemudian dikenal sebagai Gresham’s Law di Barat). Hal lain yang dibahas
adalah peranan demand and supply terhadap penentuan harga serta konsep harga ekuivalen yang
menjadi dasar penentuan keuntungan yang wajar (reasonable profit). Ibnu Taimiyah telah
menekankan pentingnya harga ekuivalen ini dalam pasar monopoli, akan mengganggu terciptanya
harga ini. Konsep harga ini juga dapat berlaku dalam penentuan tingkat upah tenaga kerja.
1
Pemikiran Ekonomi ibnu taimiyah
1. Kompensasi dan harga
Konsep Ibnu Taimiyah tentang kom-pensasi yang adil (‘iwad al-mitsl) dan harga
yang adil (tsaman al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi yang adil adalah penggantian
sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan.
Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara tanpa ada tambahan
dan pengurangan. Penggunaan kata kompensasi yang adil setara untuk membongkar
masalah moral atau kewajiban hukum berkaitan dengan barang-barang, dan bukan
merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai kompensasi atau pelaksanaan sebuah kewajiban.
Sedangkan harga yang adil adalah nilai harga di mana orang-orang menjual barangnya dapat
diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun
barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu. Keadilan yang dikehendaki oleh
Ibnu Taimi-yah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan merugikan
orang lain sehingga dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya tindak kezaliman.
Harga yang setara menurut Ibnu Taimiyah adalah harga baku (si’r), di mana
penduduk menjual barang-barang mereka dan secara umum diterima sebagai sesuatu yang
setara dengan itu dan untuk barang yang sama pada waktu dan tempat yang khusus. Atau
harga yang setara itu sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga yang ditetapkan
oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas antara penawaran dan permintaan
2. Keuntungan
Yang setara dan (adil) Ibnu Taimiyah menganjurkan penjual berhak memperoleh
keuntungan yang diterima secara umum (al-ribh al-ma’ruf) tanpa merusak kepentingannya
dan kepentingan pelanggannya. Keuntungan yang adil adalah keuntungan normal yang
secara umum diperoleh dari berbagai macam model perdagangan, tanpa saling merugikan.
Ia tidak menyetujui tingkat dasar keuntungan yang tidaak biasa, bersifat eksploitatif atau
situasi di mana masyarakat tak mengambil peduli pada kondisi pasar yang ada Ia juga
berpendapat bahwa seseorang yang mem-peroleh barang untuk menghasilkan penda-patan
dan memperdagangkannya, diboleh-kan melakukan itu tetapi dia tidak boleh menarik
ongkos dari orang yang membutuhkan untuk meraih keuntungan yang lebih tinggi
ketimbang kebiasaannya (al-ribh al-mu’tad) dan sebaiknya tidak meningkatkan harganya
bagi orang yang sangat membutuhkan.
3. Mekanisme pasar
Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang jernih bagaimana dalam sebuah pasar bebas, harga
dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia berkata: “Naik dan turunnya harga
tidak selalu berkait dengan kezaliman (zulm) yang di-lakukan seseorang. Sesekali,
alasannya ada-lah adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-
barang yang diminta. Jadi, jika membutuhkan peningkatan jumlah barang, sementara
kemam-puannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Di sisi lain, jika kemampuan
penyediaan barang meningkat dan permintaannya menurun, harga akan turun. Kelang-kaan
dan kelimpahan tidak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja ber-kaitan
dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau, sesekali, bisa juga di-sebabkan
ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia
4. Regulasi harga
Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga yaitu:
a. Tidak adil dan tidak sah adalah memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan
tanpa dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan
ketidakadilan itu dilarang;
b. Adil dan sah: saat pemerintah memaksa seseorang menjual barangbarangnya pada harga
yang jujur, jika pen-duduk sangat membutuhkannya

2
Dalam menetapkan harga, tingkat tertinggi dan terendah bisa ditetapkan, sehingga kepen-
tingan dua pihak, penjual dan pembeli ter-lindungi. Ibnu Taimiyah tidak menyukai
kebijakan penetapan harga oleh pemerintah, jika kekuatan pasar yang kompetitif bekerja
dengan baik dan bebas. Ia merekomendasi-kan kebijakan penetapan harga, dalam kasus
terjadi monopoli dan ketidaksempurnaan mekanisme pasar.
5. Uang dan Kebijakan moneter
Fungsi uang menurut Ibnu Taimiyah sebagai alat tukar dan alat ukur dari nilai suatu benda,
melalui uang itu dari sejumlah benda diketahui nilainya. Mengenai kebijakan moneter, Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa pemerintah harus mencetak mata uang yang sesuai dengan
nilai transaksi yang adil dari penduduk, tanpa keterlibatan kezaliman didalamnya. Dan juga
para penguasa jangan memplopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga kemudian
mencetaknya menjadi mata uang koin, bahkan pemerintah harus mencetak mata uang
dengan harga yang sebenarnya tanpa bertujuan mencari keuntungan apapun dari
pencetakannya agar kesejahteraan publik terjamin.
6. Kerjasama
Ibnu taimiyah membagi seluruh tran-saksi dan kegiatan ekonomi menjadi dua kategori:
a. transaksi yang berpijak pada asas keadilan dan,
b. yang berpijak asas kedermawanan dan manfaat. Transaksi yang berpijak pada asas
keadilan, ada dua kategori:
1) transaksi melalui pertukaran, dan
2) transaksi melalui kerjasama.
Transaksi kerjasama ada dua kategori:
1) kerjasama dalam kepemilikan, dan
2) kerjasama dalam kontrak yang terdiri dari:
a) syirkah al-‘inan,
b) syirkah al-abdan,
c) syirkah al-wujuh,
d) syirkah al-mufawadhoh,
e) syirkah al-mudharabah.
7. Kebijakan ekonomi
Menurut Ibnu Taimiyah negara ber-hak melakukan intervensi terhadap hak indi-vidual
untuk kepentingan manfaat yang lebih besar, seperti:
a. menghapuskan kemiskinan,
b. pengawasan mekanisme pasar,
c. mengontrol ekspansi mata uang dan mengawasi penurunan nilai mata uang, dan
d. perencanaan ekonomi.
8. Institusi Hisbah
Tujuan dari institusi Hisbah menurut Ibnu Taimiyah adalah untuk memerintahkan apa yang
sering disebut sebagai kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah apa yang secara umum diketahui
sebagai keburukan (al-munkar) di dalam wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah
untuk mengaturnya, mengadili dalam wilayah urusan umum khusus lainnya, yang tak bisa
dijangkau oleh intitusi biasa
9. Keuangan Publik
Pembahasan Ibnu Taimiyah tentang anggaran belanja lebih lengkap ketimbang tentang
penerimaan. Pembagiannya atas penerimaan publik menjadi tiga kategori, yaitu: ghonimah,
sadaqah dan fa’i; yang berkaitan pula dengan pembagian kategori serupa dalam
pengeluaran publik. Ia mela-rang pengelakan pajak dan menasehati para pedagang untuk
bersikap adil dalam pengenaan dan pengumpulan pajak meskipun itu atas pajak ilegal. Ia
mengingatkan konse-kuensi dari pengenaan pajak yang diskriminatif dan tak adil.
3
Sumber pendapatan yang paling pen-ting adalah zakat. Tetapi jumlah pokok kepentingan
yang bisa dibiayai dari dana zakat itu sangat terbatas. Penerimaan dari ghanimah adalah tak
menentu, hanya bisa diharapkan jika terjadi perang melawan orang-orang kafir. Sumber
ketiga peneri-maan, yaitu fa’I termasuk di dalamnya jizyah, pajak atas tanah dan berbagai
jenis pajak lainnya, tidak bisa digunakan untuk mencukupi seluruh kebutuhan pembiayaan
untuk pertahanan keamanan dan pengembangan sepanjang waktu.
Konsep Harga Menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibn Taimiyyah bahwa sesungguhnya sesuatu yang meningkat permintaannya,
harganya pun akan meningkat begitupun sebaliknya jika sedikit permintaannya dan hal ini berkaitan
dengan sedikit dan banyaknya kebutuhan atau kuat dan lemahnya kebutuhan. Maka ketika semakin
banyak dan kuatnya kebutuhan akan sesuatu maka akan meningkatkan harga dibandingkan ketika
sedikit dan lemahnya kebutuhan yang tidak meningkatkan harga. Selanjutnya menurutnya keinginan
manusia mempunyai banyak perbedaan dan keragaman, yaitu:
1. Dengan banyak dan sedikitnya barang yang diminta; manusia menginginkan barang ketika
kuantitasnya sedikit dibandingkan kuantitasnya yang banyak;
2. Dengan banyak dan sedikitnya permintaan: ketika banyak permintaannya maka harganya
akan naik berbanding ter balik ketika sedikit permintaannya;
Berdasarkan sedikit dan banyaknya kebutuhan, dan kuat dan lemahnya kebutuhan; maka ketika
banyaknya kebutuhan dan kuatnya kebutuhan, harga akan naik berbanding terbalik dengan sedikit
dan lemahnya kebutuhan yang tidak meningkatkan harga.

4
KEL 7 PEMIKIRAN EKONOMI IBNU KHALDUN
A. Konsep Uang Pada Masa Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa emas dan perak selain berfungsi sebagai uang
digunakan sebagai medium pertukaran dan alat pengukur nilai sesuatu. Sejalan dengan pendapat
al-Ghazali mengenai uang, Ibnu Khaldun menjelaskan: “Uang tidak perlu mengandung emas dan
perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang tidak mengandung emas dan
perak merupakan jaminan pemerintah menetapkan nilainya. Karena itu, pemerintah tidak boleh
mengubahnya sehingga pemerintah wajib menjaga nilai uang yang di cetak karena masyarakat
menerimanya tidak lagi berdasarkan beberapa kandungan emas perak di dalamnya”.
Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun diatas, sebenarnya standar mata uang yang
disarankan merupakan standar emas atau the gold bullion standard yaitu ketika logam emas
bukan merupakan alat tukar, namun otoritas moneter menjadikan logam tersebut sebagai
parameter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar. Dalam sistem ini, diperlukan suatu
kesetaraan antara uang kertas yang beredar dengan sejumlah emas yang disimpan sebagai back-
up. Mengenai nilai tukar mata uang, Ibnu Khaldun menyatakan : “Kekayaan suatu Negara tidak
ditentukan oleh banyaknya uang di suatu negara,tetapi ditentukan oleh tingkat poduksi negara
tersebut dan neraca pembayaran yang positif”
B. Mekanisme Pasar Pada Masa Ibnu Khaldun
Dalam penentuan harga di pasar atas sebuah produksi, faktor yang sangat berpengaruh
adalah permintaan dan penawaran. Ibnu Khaldun menekankan bahwa kenaikan penawaran atau
penurunan permintaan menyebabkan kenaikan harga, demikian pula sebaliknya penurunan
penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan penurunan harga.
Membahas masalah profit (ribh), menurut Ibnu Khaldun keuntungan yang wajar akan
mendorong tumbuhnya perdagangan. Keuntungan yang rendah akan membuat lesu perdagangan
karena para pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, jika pedagang mengambil keuntungan
yang sangat tinggi, juga akan menimbulkan kelesuan perdagangan karena permintaan konsumen
melemah.
Hal yang patut juga dicatat dari pemikiran Ibnu Khaldun ialah penjelasannya yang detail
dan eksplisit tentang elemen-elemen persaingan. Selanjutnya Ibnu Khaldun mengamati fenomena
tinggi rendahnya harga diberbagai negara, tanpa mengajukan konsep apapun tentang kebijakan
kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu Khaldun dengan Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun lebih fokus
pada penjelasan fenomena aktual yang terjadi, sedangkan Ibnu Taymiyah lebih fokus pada solusi
kebijakan untuk menyikapi fenomena yang terjadi.
Dalam mengkaji masalah demand, Ibnu Khaldun membahas faktor-faktor penentu yang
menaikkan dan menurunkan permintaan. Menurutnya, setidaknya ada lima faktor:
1. Harga,
2. Pendapatan
3. Jumlah penduduk
4. Kebiasaan masyarakat dan
5. Pembangunan kesejahteraan umum.
Faktor-faktor yang menetapkan penawaran menurut Ibnu Khaldun adalah permintaan,
tingkat keuntungan relatif, tingkat usaha manusia, besarnya tenaga buruh termasuk ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, ketenangan dan keamanan, dan kemampuan teknik
serta perkembangan masyarakat secara keseluruhan.

5
C. Kebijakan Division of Labour dan Labor Theory of Value, Economics of Labor, Labor as the
Source of Growth and Capital Accumulation Pada Masa Ibnu Khaldun
Seorang individu tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang diri,
melainkan harus ada kerjasama dengan pembagian kerja dan spesialisasi. Dalam teori modern,
teori ini mirip dengan teori comparative advantage.
Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun, berimplikasi pada peningkatan hasil produksi.
Sebagaimana teori division of labour Adam Smith (1792- 1790), pembagian kerja akan
mendorong spesialisasi dimana orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan
bakat dan kemampuannya masing-masing. Hal ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja
yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil produksi secara total.
Menjadi jelas dan pasti bahwasanya seorang individu tidak dapat memenuhi seluruh
kebutuhan ekonomi dengan sendirinya. Seseorang harus bekerja sama untuk mencapai tujuan
tersebut dan tentunya apa yang dapat dipenuhi melalui kerjasama saling menguntungkan jauh
lebih besar dengan apa yang dapat dicapai oleh individu itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, tenaga kerja menjadi sumber yang sangat berharga. Tenaga kerja
penting bagi semua akumulasi modal dan pendapatan. Ia membagi pendapatan ke dalam dua
kategori, yakni ribh (gross earning) dan kasb (earning living).
Ribh diperoleh apabila seseorang bekerja untuk dirinya sendiri dan menjual objek-
objeknya terhadap orang lain dan nilainya harus berupa ongkos bahan baku dan sumber alam.
Dalam hal ini, Ribh merupakan pendapatan kotor sebab biaya bahan baku dan sumber alam
adalah tercakup dalam harga dari objek-objek tersebut. Sedangkan, Kasb diperoleh apabila
seseorang bekerja untuk dirinya sendiri.
Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisis bagaimana pendapatan di suatu tempat
berbeda dari yang lain, bahkan untuk profesi yang sama pun demikian. Pendapatan Hakim,
pengrajin, dan pengemis secara langsung dihubungkan dengan masing-masing derajat tingkat
standar hidup dan kemakmuran kota. Ia memperkenalkan kontribusi tenaga kerja sebagai alat
membangun kekayaan suatu bangsa, menyatakan usaha tenaga kerja, peningkatan dalam
produktivitas dan pertukaran produk dalam pasar besar menjadi pertimbangan utama di balik
suatu kemakmuran dan kekayaan negeri. Sebaliknya, kemunduran dalam produktivitas bisa
mendorong ke arah pembagian dari suatu ekonomi dan pendapatan masyarakatnya.
Untuk memaksimalkan pendapatan dan tingkat kepuasan, manusia harus bebas untuk
melaksanakan apapun juga dengan bakat dan keterampilan yang di berikan. Dengan bakat dan
keterampilan, manusia bebas menghasilkan objek (barang) bermutu tinggi.
D. Makro dan Ekonomi Pajak Pada Masa Ibnu Khaldun
Dalam makro ekonomi, Ibnu Khaldun meletakkan dasar dari apa yang disebut Keynes
dengan aggregate effective demand, multiplier effect dan equality of income and expenditure.
Ketika banyaknya permintaan karena adanya peningkatan populasi, maka akan lebih banyak
produksi, laba dan pajak. Menurut Ibnu Khaldun, hasil pajak meningkat karena kemakmuran
bisnis dengan pajak yang tidak berlebihan.
Negara merupakan faktor penting dalam proses produksi, melalui pembelanjaannya yang
akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Faktor terpenting untuk prospek usaha yakni meringkankan beban pajak bagi pengusaha untuk
menarik kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar setelah pajak. Pajak dan
bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha
sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang
lebih besar bagi rakyat dan berdampak pada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari
keseluruhan penghitungan pajak.
Kemudian dengan berlalunya waktu, kebutuhan negara akan meningkat dan nilai pajak
naik untuk meningkatkan hasil. Apabila kenaikan ini berlangsung perlahan rakyat akan terbiasa,
6
namun pada akhirnya ada akibat kurang baik terhadap intensif sehingga aktivitas usaha
mengalami kelemahan dan penurunan, demikian pula dengan hasil perpajakannya.
E. Sumber Kebangunan Eropa pada masa Ibnu Khaldun
Uraian yang sangat luas dari Ibnu Khaldun terhadap soal-soal pertanian (pasal 8 dari
karyanya, Muqaddimah) dan soal perdagangan (pasal 9-15), kemudian dihubungkan dengan
zaman renaissance di Eropa, maka tidaklah mengherankan bahwa dalam abad ke 16, 17, dan 18
soal ekonomi di Eropa berpusat pada dua hal tersebut. Ia ingin menegaskan sampai seberapa jauh
pengaruh dasar-dasar ekonomi yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun terhadap pendirian dan paham-
paham ekonomi internasional. Karya ekonomi dari Ibnu Khaldun itu menjadi lampu di tengah-
tengah kegelapan atau ibarat bintang di alam cakrawala yang telah memberi pedoman bagi teori-
teori ekonomi Eropa khususnya dan teori-teori internasional pada umumnya.
Melalui pengamatan dan analisis Ibnu Khaldun, kepuasan masyarakat dan laba pedagang
serta kekayaan negara semuanya meningkat. Pertimbangan untuk mengadakan foreign trade
adalah:
1. Lebih murah dibanding memproduksi secara internal
2. Mutu yang lebih baik
3. A totally new product
Kontribusi Ibnu Khaldun dalam pengembangan ilmu pengetahuan cukup signifikan. Segi
dalam pemikiran ekonominya diantara lain pembagian kerja, uang dan harga, produksi
penyaluran barang, merek dagang yang mendunia, pembentukan modal dan pertumbuhan, trade
cyclys, property and prosperity (kemakmuran), kependudukan, pertanian, industri dan trade
macro economic of toxation (pajak) dan public expenditure.

7
KEL 8 PEMIKIRAN EKONOMI IMAM ASY-SYATIBI
A. Biografi Imam Asy-Syatibi
Sebagai salah seorang ulama Andalusia yang terkenal dalam sejarah Islam. Beliau
memiliki nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi
al-Syathibi atau lebih populer dengan sebutan Asy-Syatibi hidup pada abad ke-8 H/ ke-14 M.
Tentang tahun kelahirannya, para ahli sejarah memiliki pandangan yang berbeda. Diperkirakan
ia lahir antara tahun 720H-730H dan wafat pada hari selasa tanggal 8 Sya'ban tahun
790H/1388M, setelah berjuang selama tujuh puluh tahun dalam menyebarkan ilmu dan
menegakkan kebenaran di bumi Granada. Ia berasal dari Banu Lakhmi yang merupakan
keturunan bangsa Arab-Yaman yang berasal dari Betlehem, al-Syam. Penyebutan nama Asy-
Syatibi dinisbahkan kepada tempat 402 kelahiran ayahnya di Xativa atau Jativa (Syatibi),
sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Andalusia dan Cordova.493 Keluarga al-Syâtibi
berhijrah ke Granada pada tahun 1247 M setelah Xativa jatuh ke tangan Raja Spanyol Uraqun
setelah mereka berperang selama sembilan tahun sejak tahun 1239 M.
Beliau dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikan pada periode terakhir dari pada
Daulah Umayyah berkuasa di Andalusia, tepatnya pada abad kedelapan hijrah. Di mana
peradaban Islam pada masa itu berpusat hanya di kota kecil Granada, ibu kota Daulah Ahmar
(Daulah Nasr). Granada merupakan sebuah kota yang terletak di kaki gunung Syulair yang
sangat terkenal dengan saljunya. Pada saat itu, kota ini di bawah pemerintahan Daulah Ahmar.
Penyebutan Daulah Ahmar dinisbahkan kepada keturunan dan keluarga Sa'ad bin Ubadah,
salah seorang sahabat dari golongan Ansar. Disebutkan nama Ahmar karena salah seorang
rajanya yang bernama Abu Sa'id bin Ubadah Muhammad al-Sadis (761-763H) memiliki warna
kulit kemerah-merahan.
Asy-Syatibi sendiri hidup bertepatan dengan masa pemerintahan Abu al-Walid Ismail bin
Faraj bin Ismail (722-725H), Muhammad bin Ismail bin Faraj bin Ismail (725-733H), Yusuf
bin Ismail bin Faraj bin Ismail (734-755H) dan Muhammad bin Yusuf bin Ismail bin Faraj bin
Ismail (755-793H). Asy-Syatibi banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dan ilmu agama dari
kota Granada. Apalagi pada masa pemerintahan Abu al-Hajjaj Yusuf bin Ismail atau yang
dikenal dengan Abu al-Walid Ismail bin al-Sulthan, Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah,
yang ditandai dengan berdirinya Universitas Granada.
Meskipun situasi dan kondisi sosial politik yang tidak stabil, tidak berdampak buruk pada
perkembangan intelektual Asy-Syatibi. Hal ini ditandai dengan kegiatan ilmiahnya dengan
menekuni berbagai ilmu, baik yang berbentuk 'ulum al-wasâil (metode) maupun 'ulum al-
maqashid (esensi dan hakikat). Kegiatan ilmiahnya diawali dengan mempelajari bahasa Arab
dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakham al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-
Syatibi dan Abu Ja'far Ahmad al-Syaqwari. Kemudian ia mendalami ilmu hadits, ilmu kalam
dan falsafah, ilmu ushul fiqh, ilmu sastra, dan ilmu korespondensi pada para ulama yang ahli di
bidangnya ketika itu. Namun, dari sejumlah ilmu yang ia dalami, Asy-Syatibi lebih berminat
untuk mempelajari bahasa Arab dan lebih khusus lagi ilmu ushul fiqh. Kecenderungan Asy-
Syatibi pada ushul fiqh dikarenakan metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor
penentu kekuatan dan kelemahan fikih dalam menghadapi perubahan sosial dan dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang baru.
Ketika Daulah Ahmar memegang kuasa pemerintahan, kehidupan masyarakat sangat jauh
dari nilai-nilai Islam bahkan diwarnai dengan berbagai penyimpangan, seperti khurafat dan
bid'ah. Apalagi ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memerintah.
Berbagai peristiwa yang memilukan sering terjadi, seperti pertumpahan darah, pemberontakan,
perampokan dan pendiskreditan para ulama yang menyerukan kepada praktik agama yang
benar, bahkan mereka mendapat hukuman yang sangat berat. Hampir semua ulama yang

8
diangkat oleh para penguasa Daulah Ahmar tidak memiliki kompetensi yang mumpuni dalam
bidang agama, maka sangat wajar, fatwa-fatwa yang lahir sangat jauh dari kebenaran.
Imam Asy-Syatibi termasuk ulama yang memiliki kemampuan meneliti sesuatu guna
menemukan kesalahan, kemudian memberi solusi. Beliau sanggup menyimpulkan masalah
dengan tepat dan jeli, serta memiliki ketelitian dalam menelaah, yang memiliki kekuatan untuk
dijadikan dasar. Kesimpulan yang dipetik oleh beliau sangat berguna, semua yang dibahas oleh
beliau adalah suatu yang mulia, dan segala sesuatu yang dijadikan dasar oleh beliau terbebas
dari noda (karena telah diteliti). Beliau memiliki karya-karya yang agung, yang didalamnya
terdapat pembahasan-pembahasan yang sangat bernilai, kritikan- kritikan, penelitian, dan
koreksian yang selalu dibutuhkan karena urgensitasnya. Al-Imam Al Hafizh Bin Marzuq
berkata tentangnya, beliau adalah seorang Syekh, Profesor, ahli ilmu fikih, seorang imam,
muhaqqiq dan ulama besar yang shalih. Karena kesungguhan yang beliau lakoni, maka tidak
ada kata mustahil untuk mendapati kepandaian, hingga ia sanggup melampaui orang-orang
yang telah menjadi besar sebelumnya, sehingga ia bisa masuk dalam jajaran para iman pada
berbagai dimensi keilmuan dan pengetahuan.
Salah satu contoh yang dialami oleh Imam Asy-Syatibi ketika mencoba meluruskan dan
mengembalikan bid'ah ke Sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada
kebenaran. Beliau dilecehkan dan dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama yang
sebenarnya. Selain itu, Imam Asy-Syatibi juga menyoroti tentang praktik tasawuf para ulama
saat itu yang telah menyimpang dan sikap fanatik pada mazhab Maliki. Mereka menyatakan
bahwa setiap yang bukan mazhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bahwa mazhab
Maliki menjadi mazhab resmi negara sejak khalifah mereka Hisyam al-Awwal bin
Abdurrahman al-Dakhil memerintah (173-180H). Terkait dengan fenomena ini, Muhammad
Fadhil Ibn 'Asyûr melukiskan mereka "Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur'an dan al-
Muwatha Imam Malik". Ketika itu, siksaan dan hujatan kepada ulama yang bukan bermazhab
Maliki sering terjadi. Salah satunya yang dialami oleh ulama besar yang bermazhab Hanafi,
Syekh Baqa bin Mukhlid. Beliau meninggal karena mendapat siksaan dari amir saat itu.
Kondisi sosial ekonomi pada masa Imam Asy-Syatibi sedang mengalami perubahan cepat
berupa merkantalisme. Hal ini menjadi petunjuk bahwa hilangnya lembaga-lembaga yang
didasarkan pada ekonomi pertanian dan lahirnya lembaga-lembaga baru seperti al-Fakkak
(sebuah lembaga rentenir). Di sisi lain, tumbuhnya perdagangan di Laut Tengah, diperkenalkan
dinar dari lembaga yang melakukan penurunan dan perubahan pertanian biasa menjadi
pertanian berbasis komersial. Para wanita berlomba untuk memamerkan perhiasan dan gaya
hidup glamor. Sebagian mereka sengaja memalsukan mata uang, dengan mencampur emas
dengan tembaga. Bahkan mereka meminta fatwa kepada Imam Asy-Syatibi terhadap kebolehan
menjual senjata kepada musuh Islam (orang Kristen Spanyol) hanya untuk sekadar memenuhi
kebutuhan pokok.
Situasi dan kondisi tersebut, mendorong Imam Asy-Syatibi untuk menjembatani dan
mempertemukan perseteruan pandangan antara mazhab Maliki dan Hanafi yang tidak sehat ini
dengan menulis sebuah karya yang sangat terkenal sampai sekarang yaitu al-Muwafaqat yang
awalnya diberi judul al-Ta'rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik
hukum taklif. Namun, nama tersebut merasa kurang cocok menurut Asy-Syatibi sampai suatu
hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syatibi bertemu dengan salah seorang gurunya,
keduanya berjalan dan bercerita dengan saksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam
Syatibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri.
Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya
adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu
mencoba menyelaraskan dua mazhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Asy-
Syatibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat." Kitâb ini berisi tentang seruan Imam Asy-

9
Syatibi agar masyarakat muslim di Andalusia untuk tidak mempersoalkan yang sifatnya
furu'iyah dan menegaskan agar lebih fokus kepada permasalahan yang pokok dan mendasar.
Selain itu, lahir karyanya al-'Itishâm dilatarbelakangi oleh praktik yang menyimpang dari
ajaran yang benar.
B. Karya-Karya Imam Asy-Syatibi
Imam Asy-Syatibi sebagai ilmuan dapat dilihat dari kegiatan ngajar-mengajar yang
diemban dan keterlibatannya dalam memberi respon terhadap permasalahan-permasalahan
keagamaan yang muncul sesuai dengan disiplin keilmuan yang didalaminya, juga terlihat dari
warisan ilmiah berupa karya-karya ilmiyah yang ditinggalkannya.
Karya-karya ilmiyah Al-Syatibi dapat dikelompokkan kepada dua. Pertama, karya-karya
yang tidak diterbitkan dan dipublikasikan. Kedua, karya-karya yang diterbitkan dan di
publikasikan. Adapun karya-karya milikImam Asyatibi yang termasuk kelompok pertama
adalah Kitab Al-Majalis, Syarah Al-Khulashah, Unwan Al-Ittifaq Fi’ilm Al-Isytiqaq, Ashul An-
Nahw, Fatawa Al-Syathibi. Sedangkan yang termasuk kelompok kedua adalah Al-Muwafaqat
Fi Usul Al – Syariah, Al-I’tisham, Al-Ifadat Wa Al-Irsyadat
Dari beberapa karya Asy-Syatibi ada dua karyanya yang paling terkenal saat ini yaitu Al-
muwafaqat dan Al-I’tishamdan karya-karyanya yang lain hanya diketahui dengan catatan
sejarah. Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariah merupakan karya besar Asy-Syatibi dalam ushul
fiqh. Al-Muwafaqat merupakan karya monumental Asy-Syatibi yang didalamnya tertuang
konsep teologi dan ushul fiqhnya tentang Mashlahah. Kitab ini telah di pergunakan sedemikian
luas oleh sarjana-sarjana modern sehingga seseorang bisa menemukan makna penting dari
kontribusi positifnya terhadap pembuatan konsepsi hukum islam ala kaum modernis khususnya
konsep Maslahah.unsur esensial bagi konsep hukum ala kaum modernis sering kali diambil dari
Asy-Syatibi.
Kitab ini pertama kalinya diterbitkan di Tunisia pada tahun 1302 H/ 1884M penerbitan
pertama kali diedit oleh Shalih Al-Qaij, Ali Al-Syanufi, dan Ahmad Al- Wartani. Kemudian
dicetak untuk kedua kalinya oleh Musa Jarullah pada tahun 1327H/1909M. Cetakan ketiga
yang dipublis secara luas pada tahun 1341 H/1923M oleh penerbit Salafiah di Kairo dengan
editor Khird Husein dan Muhammad AlHasan Al-Adawi. Cetakan keempat diterbitkan Mathba
Musthafa Muhammad diedit dan di syarh oleh Al-Syakh Abdullah Daraz. Kemudian cetakan
kelima diterbitkan oleh Mathba Muhammad Ali di Kairo pada tahun 1969 dan diedit oleh
Muhammad Muhyi Al-Din Abdul Hamid. Kitab Al-Muwafaqat yang dipublikasikan secara luas
sampai ke-Indonesia adalah naskah yang diedit oleh Muhammad Khird Husein dan naskah
yang diedit oleh Abdullah Daraz.
Karya ushul fiqh Asy-Syatibi selain Al-Muwafaqat adalah Al-I’tisham yang mengandung
pembahasan tentang arti bid’ah dan bagian-bagiannya, baik secara hakiki maupun Idhafi. Di
dalamnya juga disampaikan perbedaan antara bid’ah, Maslahah, Mursalah, dan Istihsan
dengan berbagai kaitannya. Untuk pertama kalinya kitab ini diterbitkan oleh Mathba Mustafa
Muhammad di Mesir dalam tahun 1915 M, dan diedit oleh Rasyid Ridha pemimpin majalah
Almanar. Adapun Al-Ifadat Wa Al-Irsyadat suatu buku yang berisi dua kandungan. Al Ifadat
berisi tentang catatan Asy-Syatibi dalam berbagai masalah termasuk yang dihimpun dari guru-
guru dan teman-teman dari kalangan ulama Spanyol dan Al-Irsyadat merupakan kumpulan
syair-syair dengan berbagai kandungan. Al-Ifadat wal Irsyadat pada tahun 1983 telah diedit
oleh Muhammad Abu Al-Ajfan seorang Dosen Fakultas Syariah dan Usuluddin Universita
Tunisia.
C. Pemikiran Ekonomi Imam Asy-Syatibi
Berikut merupakan penjelasan mengenai pemikiran ekonomi Imam Asy-Syatibi:
1. Maqashid al-Syari’ah

10
Maqashid al-Syari’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata “maqasid dan al-
syari’ah”. Kata maqashid secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata maqshad yang
diartikan dengan beragam, seperti menuju suatu arah, tujuan, adil dan tidak melampaui
batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan. Secara istilah
kata maqashid diartikan dengan tujuan yang diinginkan untuk mendapatkan keadilan.
Sementara kata syari’ah, secara bahasa berasal dari kata syara’a yang memiliki arti jalan
dan metode, jalan menuju mata air, maksud jalan menuju mata air ini sebagai jalan ke arah
sumber pokok kehidupan. Secara istilah kata syari'ah diartikan dengan teks-teks suci dari
Al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir yang masih murni. Kandungan Syari’at dalam arti
ini meliputi akidah amaliah, dan akhlak. Menurut Imam Asy-Syatibi maqashid al-syari’ah
sebagaimana dalam karyanya al-Muwafaqat adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
disyariatkan Allah Swt untuk kemashlahatan manusia. Dari definisi ini, Imam Asy-Syatibi
ingin menegaskan bahwa semua hukum yang Allah SWT tetapkan tidak terlepas dari
hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia. Bahkan kata Imam Asy-Syatibi, sebuah
hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak
mampu dilaksanakan. Kemashlahatan yang dimaksud di sini adalah semua yang terkait
dengan rezeki manusia, pemenuhan kebutuhan manusia baik yang bersifat fisik maupun
jiwa. Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa kemashlahatan manusia dapat terwujud,
apabila lima unsur dasar dalam kehidupan mampu dipelihara dan direalisasikan, yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemudian kerangka dasar maqashid ini, beliau
membagi menjadi tiga tingkatan yaitu dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan
tahsiniyat (tersier).
2. Kepemilikan Objek
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk memiliki harta
atau barang. Artinya ia menyetujui akan hak milik pribadi. Setiap individu memiliki hak
untuk menikmati hak miliknya, menggunakan secara produktif, memindahkannya dan
melindunginya dari pemubaziran. Namun, ia menolak penguasaan sumber daya yang
dibutuhkan publik secara individu atau kelompok tertentu. Sebab benda tersebut adalah
anugerah Allah SWT terhadap orang banyak dan dimiliki bersama. Sebagai contoh, air
tidak dapat dikuasai oleh pribadi atau kelompok tertentu, sebab ia menjadi milik bersama
dan digunakan untuk kepentingan bersama. Terkait dengan air ini, Imam Asy-Syatibi
membedakan air menjadi dua macam, yaitu air yang digunakan secara bersama dan tidak
dapat dikuasai seseorang atau kelompok tertentu, seperti sungai, laut dan oase; dan air
yang dapat dimiliki oleh individu atau kelompok, seperti air yang dibeli atau air yang
berada dalam sebidang tanah yang dimiliki seseorang.
3. Pajak
Pajak merupakan sejumlah harta yang ditentukan oleh negara terhadap masyarakat
untuk ditunaikan demi terwujudnya kemashlahatan bersama. Berbeda dengan pemikiran
pajak sebelumnya sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Yusuf dalam karyanya terkait
dengan kewajiban pajak atas tanah atau yang dikenal dengan istilah Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Imam Asy-Syatibi di dalam karyanya al-Muwafaqat mengakui tentang
kewajiban pajak penghasilan bagi masyarakat muslim. la menyebutkan pajak dengan
sebutan dharibah atau harta yang difardukan. Dharibah menurut Asy-Syatibi adalah harta
yang telah diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk pemenuhan kebutuhan
mereka sendiri. Allah SWT telah menjadikan pemerintah atau imam sebagai pemimpin
bagi mereka, yang punya kuasa untuk mengutip harta dan menyalurkannya sesuai dengan
objek-objek tertentu dengan mengikuti kebijakannya.

11
4. Kebutuhan Produksi, Konsumsi, dan Distribusi
Menurut Asy-Syatibi pemenuhan kebutuhan menjadi kewajiban dan tanggung jawab
individu dari tuntunan agama untuk mewujudkannya, baik yang bersifat primer, sekunder,
dan tersier. Hal ini bertujuan untuk terpeliharanya salah satu unsur pokok yang lima, yaitu
jiwa,dari ancaman penyakit kematian. Dengan demikian, konsep sukut al-syar’i fi al-
Ibadah wa al-Muamalah menjadi landasan pokok pemikirannya bahwa seluruh kegiatan
ekonomi menjadi ibadah, muamalat, dan kemashlahatan atau kesejahteraan bagi manusia.
Dalam wawasan ekonomi modern, Maslow mengungkapkan tentang skala prioritas
dalam pemenuhan kebutuhan hidup dengan konsep hierarchy of needs; seperti kebutuhan
fisiologi, kebutuhan keamanan, ebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan
kebutuhan aktualisasi diri. Hanya saja, konsep ini bila dipelajari secara komprehensif telah
disebutkan oleh Imam Syatibi dalam konsep maqashid al-Syari’ah. Bahkan konsep
maqashid al-Syari’ah lebih unggul bila dibandingkan dengan konsep yang diungkapkan
oleh Maslow. Sebab, Imam Asy-Syatibi menempatkan agama sebagai faktor utama dalam
unsur kebutuhan dasar manusia. Sementara Maslow tidak menyebutkan agama sebagai
kebutuhan dasar manusia

12
KEL 9 PEMIKIRAN EKONOMI IMAM AL-MAQRIZI
A. Biografi Al-Maqrizi
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ammad bin Ali bin
Abdul Qadir Al-Husaini. Ia lahir di desa Barjuwam, Kairo, pada tahun 766 H (1364-
1365M). Keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak.
Oleh karena itu, ia cenderung dikenal Al-Maqrizi.
Kondisi ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa kecil dan
remaja Al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu, Hanafi Ibn Sa’igh,
seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan
madzhab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun 786 H (1384 M), Al-Maqrizi
beralih ke mazhab Syafi’i. Bahkan dalam pemikirannya, ia cenderung menganut mazhab
Zahiri
Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia gemar
melakukan rihlah ilmiah. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti fiqih, hadist dan
sejarah, dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di antara tokoh terkenal yang
sangat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun, seorang ulama besar dan
penggagas ilmu-ilmu sosial termasuk ilmu ekonomi. Interaksinya dengan Ibnu Khaldun
dimulai ketika Abu Al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung
(Qadi Al-Qudah) Mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Burquq. Ketika berusia 22
tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan Dinasti Mamluk. Pada
tahun 788 H (1386 M), Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya,
semacam sekretariat negara. Kemudian, ia diangkat menjadi wakil Qadi pada kantor hakim
agum mazhab syafi’i, khatib di masjid Jami, Amr dan Madarasah Al-Sultan Hasan, Imam
masjid jami Al-Hakim , dan guru hadis di Madarasah Al-Muayyadah.
Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib
di kairo. Jabatan itu diembannya selama dua tahun. Pada masa ini, Al-Maqrizi mulai banyak
bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan, dan mudharabah, sehingga
perhatiaannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, dan kaidah-kaidah
timbangan.
Pada tahun 811 H (1408 M), Al-Maqrizi sebagai pelaku administrasi wakaf di
Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus. Pada tahun yang sama, ia
menjadi guru hadis di Madarasah Asyrafiyyah dan Madarasah Iqbaliyyah. Kemudian,
Sultan Al-Malik Al-Nashir Fajr bin Barquq (1399-1412) menawarinya jabatan wakil
pemerintahan Dinasti Mamluk di Damaskus.
Namun, tawaran ini ditolak Al-Maqrizi. Setelah sekitar 10 tahun menetap di
Damaskus, Al-Maqrizi kembali ke Kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai
pemerintah dan menghabiskan waktunya dengan ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia
bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekkah selama beberapa
waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadis dan menulis sejarah.
Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya, Barjuwan,
Kairo. Di sini, ia juga aktif mengajar dan menulis, terutama sejarah Islam, hingga terkenal
sebagai seorang sejarahwan besar pada abad ke-9 Hijiriyah. Al-Maqrizi meninggal dunia di
Kairo pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M.
13
B. Karya-Karya Al-Maqrizi
Semasa hidupnya, Al-Maqrizi sangat produktif menulis berbagai bidang ilmu,
terutama sejarah Islam, baik berbentuk buku kecil maupun besar. Buku- buku kecilnya
memiliki urgensi yang khas serta menguraikan berbagai macam ilmu yang tidak terbatas
pada tulisan sejarah. Al-Syayyal mengelompokkan buku-buku kecil tersebut menjadi empat
kategori.
Pertama, buku yang membahas beberapa peristiwa sejarah Islam umum, seperti kitab
Al-Niza’wa Al-Takhashum fi ma baina Bani Umayyah wa Bani Hasyim. Kedua, buku yang
berisi ringkasan sejarah beberapa penjuru Dunia Islam yang belum terbahas oleh sejarawan
lainnya, seperti kitab Al-Ilman bi Akhbar Man bi Ardh Al-Habasyah min Muluk Al-Islam.
Ketiga, buku yang menguraikan biografi singkat para raja, seperti kitab Tarajim Muluk Al-
Gharb dan kitab Al- Dhahab Al-Masbuk di Dzikr Man Hajja min Al-Khulafa wa Al-Muluk.
Keempat, buku yang mempelajari beberapa aspek ilmu murni atau sejarah beberapa aspek
sosial dan ekonomi di Dunia Islam pada umumnya, dan di Mesir pada khususnya seperti
kitab Syudzur Al-‘Uqud fi Dzikr Al-Nuqud, kitab Al-Akyaln wa Al-Auzan Al-Syar‟iyyah,
kitab Risalah fi Al-Nuqud Islamiyyah dan kitab Ighatsah Al- Ummah bi Kasyf Al-
Ghummah.
Sedangkan terhadap karya-karya Al-Maqrizi yang berbentuk buku besar, Al-Syayyal
membagi menjadi tiga kategori. Pertama, buku yang membahas tentang sejarah dunia,
seperti kitab Al-Khabar’an Al-Basyr. Kedua, buku yang menjelaskan sejarah Islam umum,
seperti kitab Al-Durar Al-Mudhi’ah fi Tarikh Al-Daulah Al-Islamiyyah. Ketiga, buku yang
menguraikan sejarah Mesir pada masa Islam, seperti kitab Al-Mawa’izh wa Al-I’tibar bi
Dzikr Al-Khitath wa Al-Atsar, kitab Itti’azh Al-Hunafa bi Dzikr Al-Aimmah Al-
Fathimiyyin Al-Khulafaurrasyidin, dan kitab Al-Suluk li Ma‟rifah Duwal Al-Muluk.
C. Pemikiran Al-Maqrizi
Pada masa hidupnya, Al-Maqrizi dikenal sebagai seorang mengkritik keras kebijakan-
kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintahan Bani Mamluk Burji yang dianggap
sebagai salah satu sumber malapetaka yang menghancurkan perekonomian negara dan
masyarakat Mesir. Perilaku para penguasa Mamluk Burji yang menyimpang dari ajaran-
ajaran agama dan moral telah mengakibatkan krisis ekonomi yang sangat parah yang
didominasi oleh kecenderungan inflansioner yang semakin diperburuk dengan merebaknya
wabah penyakit menular yang melanda Mesir selama beberapa kurun waktu. Situasi tersebut
menginspirasi Al-Maqrizi untuk mempresentasikan berbagai pandangannya terhadap sebab-
sebab krisis dalam sebuah karyaya, Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah. Dengan
Berbekal Pengalaman yang dapat memadai sebagai muhtasib (pengawas pasar) Al-Marqizi
untuk membahas permasalahan inflasi dan peranan uang di dalamnya, sebuah pembahasan
yang sangat jarang dilakukan oleh pemikir muslim.
Sebagai seorang muhtasib (pengawas pasar) dan dengan berbekal pengalaman yang
mencukupi, Al Maqrizi membahas permasalahan inflasi dan peranan uang di dalam
bukunya tersebut. Di masa tu, fokus perhatiannya pada dua hal ni menjadi pembahasan yang
sangat menakjubkan, karena mengkorelasikan dua hal yang sangat jarang diperhatikan oleh
pemikir Muslim maupun Barat. Dalam karyanya tersebut, Al Maqrizi bermaksud untuk
membuktikan bahwa inflasi yang terjadi pada periode 806-808 H adanya perbedaan dengan
inflasi yang terjadi pada periode-periode sebelumnya sepanjang sejarah Mesir. Secara
kronologis, dapat disimpulkan bahwa Al Maqrizi adalah cendekiawan Muslim abad
pertengahan yang terakhir yang memfokuskan perhatiannya terhadap permasalahan uang

14
dan mengkorelasikannya dengan peristiwa inflasi yang menimpa suatu negeri. (Abdullah,
2010)
Menurut Al Maqrizi, inflasi Itu terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami
kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Al Maqrizi telah mengidentifikasi faktor yang
menyebabkan terjadinya inflasi dan membagi faktor tersebut ke dalam dua hal, yaitu faktor
alamiah, terjadinya berbagai faktor alamiah atau faktor alam yang tidak bisa dihindari oleh
umat manusia. Seperti terjadinya bencana alam yang menyebabkan hasil bumi lainnya
mengalami gagal panen sehingga terjadi penurunan persediaan barang-barang dan
kelangkaan.
Selanjutnya faktor kedua yang menyebabkan terjadinya inflasi yaitu disebabkan oleh
kesalahan manusia. Faktor yang disebabkan oleh kesalahan manusia menjadi tiga bagian,
yaitu korupsi dan administrasi yang buruk yang dilakukan oleh para penguasa di
pemerintahan, akibat dari aktivitas korupsi yang dilakukan oleh para penguasa
menyebabkan terjadinya pajak berlebihan yang memberatkan rakyat, dan terjadinya
peningkatan mata uang fulus, sehingga Al Maqrizi memfokuskan perhatiannya khusus pada
peredaran mata uang uang berlebihan. Dalam pengamatannya, menyatakan bahwa kenaikan
harga-harga atau terjadinya inflasi disebabkan terlalu banyaknya jumlah mata uang.
Dari perspektif objek pembahasan, apabila kita telusuri kembali berbagai literatur
Islam klasik, pemikiran terhadap uang merupakan fenomena yang jarang diamati para
cendikiawan Muslim, baik pada periode klasik maupun pertengahan. Menurut survei Islahi,
selain Al-Maqrizi, diantara sedikit pemikir Muslim yang memiliki perhatian terhadap uang
pada masa ini adalah Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim dan Ibnu Khaldun.
Dengan demikian secara kronologis dapat dikatakan bahwa Al-Maqrizi merupakan
cendikiawan Muslim abad pertengahan yang terakhir mengamati permasalahan tersebut,
sekaligus mengkorelasikannya dengan peristiwa inflasi yang melanda suatu negeri.

15
KEL 10 PEMIKIRAN EKONOMI ABU A’LA AL-MAUDUDI
A. Biografi Abu A’la Al-Maududi
Abul A’la Al-Maududi atau disebut Al-Maududi dilahirkan pada 3 Rajab 1321 H atau 25
September 1903 di Aurangbad, sebuah kota yang terkenal di Hyberad (Deccan), Delhi, India.
Beliau dilahirkan dalam keluarga yang religius. Ayahnya bernama Abu Hasan, seseorang
pengacara yang terkenal sebagai orang yang alim dan rajin beribadah. Mereka adalah keturunan
dari sufi besar tarekat Christiyah yang banyak berperan dalam menyebarkan Islam India.
Pendidikannya diawali di Madrasah Furqoniyah, sebuah sekolah menengah yang mencoba
menerapkan sistem pendidikan nalar modern dan islam tradisional. Kemudian, orang tua Al-
Maududi lebih memilih mendidiknya di rumah dengan menggunakan bahasa Arab Persia, Urdu
dan Inggris, sebab mereka tidak ingin Al-Maududi pergi ke sekolah inggris. Dalam konteks
inilah, dapat dipahami kenapa Al Maududi menjadi seorang tradisionalis fundamentalis (dengan
latar belakang pendidikan yang anti barat).
Karya-karya Al-Maududi mencakup banyak bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan
agama. Salah satunya, ia menulis buku yang membandingkan Islam, sosialisme dan kapitalisme,
dalam bahasa Urdu. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad 'Ashim Al
Haddad dengan judul "Dasar-Dasar Ekonomi Islam dan Sistem Ekonomi Modern". Selain itu,
secara khusus ia menulis buku tentang Riba dari perspektif Islam dengan pendekatan ekonomi
teoritis yang kuat. Pada tanggal 22 September 1979, ia meninggal di Buffalo New York dan
dimakamkan di rumahnya di Lehrah, Lahore.
B. Pemikiran Abu A’la Al-Maududi
1. Tauhid
Tauhid adalah fundasi yang menjadi titik tolak berfikir setiap Muslim. Bagi Al-
Maududi, ideology kehidupan sejati adalah tauhid. Ajaran inilah yang dibawa oleh seluruh
para Nabi dan rasul. Tauhid merupakan pokok utama dalam kehidupan manusia beragama.
Bertauhid bermakna menempatkan Tuhan di atas segala-galanya. Tidak ada yang lebih
dicintai kecuali hanyalah Allah. Inilah yang digambarkan oleh Nabi Ibrahim as. atas
peristiwa penyembelihan anaknya Ismail. Jika tauhid sudah tertanam, maka kekayaan,
jabatan, harga diri, anak dan seluruh kesenangan dunia bukanlah menjadi tujuan utama.
Tidak ada yang lebih dicintai kecuali hanyalah Allah. Inilah makna Laa ilaha illallah bagi
al-Maududi. Keseluruhan diri hanya diserahkan untuk beramal dan berbakti kepada-Nya.
Konsekuensi dari adanya tauhid ini, maka seluruh cosmos, baik yang mikro maupun
yang makro menauhidkan untuk tunduk kepada Tuhan, maka alam pun demikian, ia tunduk
atas perintah Tuhan. Matahari tunduk beredar pada pororsnya, bumi tunduk beredar
mengelilingi matahari, bulan tunduk berputar mengelilingi bumi, dan seerusnya sebagai
wujud dari kepasrahan (Islam) Bagi al-Maududi, sejumlah fenomena alam tersebut harus
dikaji dan dipahami sebagai sebuah system yang sangat rapi dan teratur. Karena keteraturan
dan kerapian itulah, maka system itu berjalan dengan mekanisme yang baik dan bertahan
lama. Menurutnya, fenomena alam sama halnya dengan system kehidupan manusia, baik
16
ekonomi, sosial maupun politik. Al-Maududi menginterprestasikan kembali ayat-ayat
alQur’an dan Hadits untuk menjawab tantangan zaman. Ia berusaha menemukan
konsepkonsep kehidupan sosial-politik Islam dari kedua sumber ajaran di atas.
Dari kedua sumber utama tersebut, ia menganalisis hubungan Islam dan
nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern, pendidikan, hukum,
49 kaum perempuan, pekerjaan, zionisme, dan hubungan internasional. Apakah Islam
memiliki hubungan yang korelasional atau paling tidak bersentuhan dengan tema-tema
kehidupan modern seperti tersebut diatas? Untuk itulah, ia mengagas sejumlah pemikiran
melalui perjuangan dan tulisannya yang tersebar di berbagai buku, jurnal, tabloid dan
famplet.
2. Dakwah
Al-Maududi menekankan pentingnya memahami tiga pengertian dakwah, yaitu
pengertian tentang dakwah itu sendiri, mad’u ‘alaih (masyarakat yang dihadapi), da’I (juru
dakwah sebagai insan). Ia menekankan bahwa dakwah adalah “panggilan” atau “seruan”
yang bukan sembarang “panggilan” atau “seruan”. Dakwah adalah panggilan Illahi dan
Rasul, yang mengajak manusia memiliki nilai-nilai yang suci dan agung.
“Jawablah panggilan bila Allah dan Rasul memanggilmu kepada apa yang
menghidupkanmu.” (QS. al-Anfal: 24)
Menurut al-Maududi, yang disampaikan dakwah adalah panggilan kepada apa-apa
yang menghidupkan manusia secara menyeluruh, menghidupkan panca indera dan daya
observasinya, menghidupkan daya rasa dan daya ciptanya, dan yang yang menghidupkan
dhamir, hati nurani, dan bashirah ‘mata hati.
Yang didakwahkan adalah panggilan Allah dan Rasul-Nya untuk menghidupkan
manusia yang berkeseimbangan dalam ilmu dan amalnya, dalam amal dan ibadahnya, dan
dalam ikhtiar dan doanya. Dalam pada itu, al-Maududi dalam bukunya Takzirat Du’at al-
Islam, menjelaskan bagaimana metode dakwah yang harus dipergunakan dalam gerakan
dakwah Islam, terutama sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para Da’i dalam kehidupannya.
Kegiatan dakwah al-Maududi diarahkan kepada cita-cita kebangkitan Islam dalam abad
modern.
Sistem dakwah yang harus dilakukan idealnya menurut al-Maududi sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah dan al-Khulafa ar-Rasyidin. Kebangkitan Islam kembali
diharapkan dapat mengembalikan suasana pada masa ideal tersebut. Dimana ajaran Islam
berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah diterapkan secara utuh. 50 Dia berkesimpulan,
selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya
kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya.
C. Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Abi A’la Al-Maududi
Di dalam Islam, sistem ekonomi tertentu telah ditetapkan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa Islam telah membentuk sistem baru, lengkap juga permanen bersama berbagai sejumlah
detail. Jika tidak dilihatkan atas Islam sama halnya menentukan beberapa rancangan tidak
ditunjukkan oleh Islam dasar atau peraturan dasar yang disitu akan membentuk kita untuk
melakukan penyusunan suatu rancangan yang lebih sinkron dan akurat di setiap masanya. Jadi,
sesuai dengan yang disebutkan di atas, maksud Global dari yang dijelaskan tadi bisa terlihat
maksud juga tujuan atas Al-Qur’an dan bisa di maksud juga tujuan atas Al-Hadits yang
melakukan pengaturan berbagai aspek dalam hidup sebagaimana seharusnya.
1. Tujuan Berekonomi di dalam Islam
a. Kebebasan Pribadi
Tujuan utama serta yang paling primer dalam Islam ialah memelihara kebebasan
pribadi, sebab tanggung jawab terhadap Allah merupakan kewajiban Individu setiap
orang.
17
b. Harmonisasi Perkembangan Moral dan Material
Sangat penting secara fundamental bagi Islam salah satunya adalah dengan
mengikutsertakan pengembangan moral setiap manusia. Oleh karena itu, dengan
sengaja mengamalkan kebaikan adalah perihal besar untuk tiap personal pada
masyarakat. Misalnya khususnya sikap toleransi kedermawanan dan kebaikan selain
harus menjadi makhluk hidup di masyarakat. Islam tidak sepenuhnya bersandar pada
hukum untuk memelihara keadilan sosial tetapi juga pada pelimpahan wewenang utama
sebagai bentuk upaya membangun moralitas manusia seperti keimanan ketakwaan
pendidikan agama dan lain-lain.
c. Kerjasama, Kerukunan, dan Keadilan
Selain menjaga persatuan juga persaudaraan insan, Muslim juga melakukan
penentangan konflik juga perselisihan. Maka, Islam tak melakukan pembagian umatnya
pada golongangolongan sosial. Dilihat dari analisa peradaban insan, golongan sosial
dibagi atas dua, pertama yaitu yang dirancang juga diciptakan dengan cara tak
berkeadilan atas sistem sosial politik juga ekonomi asosiasi yang tidak bermoral
selayaknya Feodalisme, Kapitalisme, Brahmana. Padahal Islam tak membangun
golongan sedemikian juga apalagi menghancurkannya. Golongan selanjutnya yaitu
golongan yang diciptakan dengan cara 43 alami dikarenakan saling memberikan rasa
hormat juga bedanya kompetensi maupun keadaan orang.
2. Prinsip-Prinsip Dasar
a. Hak Milik Pribadi dan Batasannya
Pada perihal kepemilikan, Islam tak melakukan pembagian hartanya terhadap yang
dipunyai pada produksi serta pelanggan serta konsumsi maupun membentuk ataupun tak
memberikan penghasilan. Namun Islam membedakannya menurut kriteria diperolehnya
yaitu dengan cara haram maupun halalnya, serta dilakukan pengeluaran pada jalan
kehalalan serta keharaman.
b. Distribusi Yang Adil
Aturan terpenting pada perekonomian Islam telah menciptakan sistem
pendistribusian secara berkeadilan dibandingkan pendistribusian kekayaan yang merata.
Faktanya tak terdapat dua hal di dunia dengan begitu merata dalam perekonomian
melainkan yang mengontrol distribusi dan menetapkan aturan yang jelas untuk
menegakkan keadilan.
Peraturan pertama menyangkut pendapatan legal atau ilegal. Dalam Islam sendiri
setiap individu benar-benar memiliki kebebasan untuk memutuskan kegiatan ekonomi
apa yang akan dilakukan untuk menciptakan kekayaannya. Seumur hidup gunakan
segala cara asalkan cara yang digunakan sesuai dengan hukum. Tak terdapat tuntutan
tentang nilai harta juga setiap personal juga memiliki semua hak nya dari kekayaan
yang didapatkan dengan cara sah. Jika seseorang secara tidak sah merampas harta benda
maka orang itu akan dipaksa secara tidak sah dan orang itu tidak memiliki hak daripada
kekayaan yang didapatkannya dengan cara tidak sah. Yang mana dia juga bisa
mendapat sanksi daripada tindakannya. Kemudian untuk konteks Islam memilih kondisi
yang secara moral tidak merugikan individu atau merugikan masyarakat. Islam juga
tidak setuju jika seseorang menyimpan kekayaannya keluar dari lingkaran. Islam juga
melarang pemberian kesempatan ekonomi kepada individu keluarga atau golongan
tertentu dengan melarang orang lain memanfaatkan kesempatan tersebut.

c. Hak Sosial
Hak-hak sosial dan kekayaan pribadi dihubungkan oleh Islam dalam banyak hal
salah satunya adalah bahwa siapapun yang memiliki lebih banyak kekayaan wajib
18
menyumbang kepada orang yang dicintainya sendiri yang tak mampu melakukan 44
pemenuhan yang dibutuhkan kehidupan. Hal tersebut dimaksudkan guna membentuk
sikap moral yaitu dermawannya dan keikhlasan serta untuk mencegah dan menghindari
sifat mementingkan diri sendiri dan keserakahan yang dapat merugikan pembinaan
akhlak. Oleh karena itu masalah ini harus diidentifikasi dalam rangka membangun etika
sosial dari lingkungan masyarakat, pelatihan, juga pendidikan.
d. Zakat
Zakat merupakan sesuatu yang dilakukan penarikan dari kekayaan tiap individu
yang dihitung atas ternak, produksi, pertanian, sejumlah bisnis, maupun perdagangan.
Zakat bertujuan guna melakukan pemenuhan sejumlah hak insan yang sudah diatur atas
Allah, yaitu mustahiq.
e. Hukum Waris
Pada intinya hukum waris yaitu pembagian harta aset yang dipunyai atas seseorang
yang sudah meninggal dunia. Hukum waris diberi maksud guna kekayaan yang
dipunyai atas orang yang sudah meninggal tak terjadi pemusata n hanya terhadap suatu
insan maupun pada suatu turunannya, namun bisa didistribusikan terhadap sejumlah
kelompok dengan hak untuk mendapatkannya.
f. Peran Tenaga Kerja Modal dan Pengelolaan
Hak pemilik tanah dan pemodal telah dikenali oleh islam, seperti itu juga pada yang
bekerja juga pebisnis yang menyampaikan dengan cara yang jelas bahwasanya Islam
merasa dua hal tersebut menjadi faktor perekonomian. Berdasarkan sejumlah penyebab
itu kita seyogyanya berkeadilan ketika membagi benefit. Pada hakikatnya Islam telah
meninggalkan kebiasaannya dalam melakukan pendistribusian. Jika ada ketidakadilan
dalam sejumlah penyebab ini hukum memiliki kekuatan tidak hanya untuk campur
tangan tetapi juga untuk mengarahkan pengaturan yang adil dari distribusi keuntungan
antara pengelolaan, tenaga kerja, juga modal.
g. Zakat dan Perlindungan Sosial
Kesejahteraan sosial memang didapat dari pendapatan zakat dan shadaqah. Tujuan
zakat itu sendiri sebenarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti
pangan, sandang, papan, bantuan pengobatan dan pendidikan bagi golongan yang tidak
mampu sehari-hari seperti anak yatim dan fakir miskin. Maka didirikanlah zakat untuk
membantu jenis-jenis tersebut di atas.
h. Ekonomi Bebas Riba
Sistem perekonomian tersebut sesungguhnya diciptakan di zaman lampau di saat
riba awal kalinya dilakukan pelarangan di kawasan Arab juga kemudian sektor Muslim
berkuasa. Al-Maududi juga memberikan penjelasan bahwasanya tak terdapat hal sulit
secara serius dalam menuju perihal tersebut. Intinya nyata juga jelas, pemodal tak
berhak membebankan bunga tetap, bahkan jika yang meminjam menang maupun kalah.
Kreditur tak mempunyai usaha yang berhubungan dengan rugi maupun untung, ia selalu
melakukan penentuan tingkat bunga tetap juga dilakukan pengambilan setiap bulannya
maupun setiap tahunnya. Maka tak ada yang punya alibi bagus untuk perihal tersebut.
Juga tak terdapat pendapat yang mampu melakukan pembuktian kebenarannya.
i. Hubungan Antara Ekonomi, Politik, dan Aturan Sosial
Perihal serupa berlaku untuk daun, cabang, batang, juga akar. Ini adalah sistem
yang berakar pada keyakinan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Sistem akidah dan
kekuatan sosial, sosial juga ekonomi didasarkan pada sebuah sistem, yang tidak bisa
dilakukan pemisahan juga melakukan pembentukan sebuah persatuan yang utuh. Pada
Islam, masyarakat, ekonomi, juga politik tak dilakukan pemisahan dengan cara terbuka,
karena menjadi sebuah persatuan. Seseorang yang melakukan pembelajaran Islam juga
19
berkeyakinan dengan sangat tinggi pada doktrin-doktrinnya bahkan tak dapat
melakukan perkiraan bahwasannya dalam hidup perekonomian maupun lainnya dapat
dipisahkan atas norma-norma agama, maka dengan sendirinya ia tidak dapat dianggap
sebagai seorang Muslim. Dalam Islam, ekonomi diintegrasikan ke dalam dasar sosial
dan moral agama. Artinya, ekonomi Islam tidak positif atau normatif. Secara umum
ilmu ekonomi aktif adalah ilmu yang melakukan pembelajaran sejumlah permasalahan
perekonomian sepertimana yang ada. Sedangkan perekonomian normatif sendiri
melakukan pemerhatian bagaimana seyogyanya. Perekonomian Islam mensyaratkan
bahwa sarana juga tujuan menjadi sarana Islam yang sah.

KEL 11 PEMIKIRAN EKONOMI M. BAQIR ASH-SADR


A. Biografi M. Baqir Ash-Sadr
Muhammad Baqir Al Sadr Ash-Shahid dilahirkan di Kadhimiyeh pada 25 Dzulgaidah 1353
H/ 1 Maret 1935 M. Datang dari suatu keluarga yang terkenal dari sarjana-sariana Shi'ite dan
para intelektual Islam, Sadr mengikuti jejak mereka secara alami. Beliau memilih untuk belajar
studi-studi Islam tradisional di hauzas (sekolah-sekolah tradisional di Iraq), di mana Beliau
belajar fiqh, ushul dan teologi.
Karena kepintarannya yang mengagumkan maka di usia 20 tahun Sadr telah menjadi
Mujtahid Mutlaq dan kemudian berkembang menduduki jabatan di otoritas yang tertinggi dari
"marja" (dewan hukum/otoritas). Otoritas/ wewenang rohani dan intelektual ini di dalam
tradisi/budaya Islam juga menjelma di dalam tulisan Sadr dan di dalam bukunya "Iqtisaduna"
(ekonomi kita), Beliau menunjukkan metodologi kebebasan yang didukung dengan pernyataan
intelektual yang berkualitas.
Meskipun Sadr berlatar belakang tradisional, Sadr tidak pernah dipisahkan dari isu-isu
penting dunia modern. Perhatian intelektualnya yang sangat tajam menginspirasinya untuk
mendalami filsafat kontemporer, ekonomi, sosiologi, sejarah dan hukum. Sama seperti
Taleghani, seorang ulama yang aktif. Sadr terus menerus menyuarakan pandangan-pandangan
tentang kondisi umat Muslim dan menyuarakan tentang perlunya untuk bebas, tidak hanya dari
kolonialisme ekonomi dan politis, tetapi juga dari pikiran dan memikirkan kekuasaan.
Di bukunya Falsafatuna (filsafat kita) dan Iqtisaduna, Sadr menawarkan suatu kritik
komparatif terhadap kapitalisme dan sosialisme dan menawarkan suatu solusi pemikiran yang
Islami dan kerangka-kerangka dari suatu sistem ekonomi islam. Ditulis pada tahun 1960an,
Iqtisadunadi pandang sebagai suatu analisa yang menyeluruh dan suatu perbandingan yang
pertama dari sistem ekonomi dilihat dari perspektif Islam, salah satu referensi yang masih
digunakan sarjana-sarjana ekonomi di tahun sembilan puluhan.
Pada tahun 1982, selama setahun, pemerintah Iran menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa
Inggris. Sayangnya, banyak yang tidak sesuai dengan buku aslinya. Meskipun demikian hal itu
dapat membuka peluang pemikiran-pemikiran Sadr dapat dibaca secara lebih luas. Pendekatan
'Juristis-Economic' Sadr telah menaruh Beliau sebagai seorang pemikir Muslim yang
terkemuka dan pemikirannya patut kita analisa/ambil. Dekade yang terakhir hidupnya pada
masa penganiayaan yang terus menerus oleh rezim Ba'ath di Iraq. Karena ketakutan pemerintah
terhadap pengaruh Sadr terhadap rakyat banyak. Sadr pun mengalami hukuman penjara dan
siksaan. Akhirnya rezim Ba'ath menghukum mati Beliau pada tanggal 8 April 1980
B. Karya-karya M. Baqir Ash-Sadr
Muhammad Baqir Ash-Sadr juga telah banyak menghasilkan beberapa karya-karya
diberbagai bidang; fikih, ushul, logika, filsafat, ekonomi, teologi, tafsir, sejarah dan politik.
Berikut ini diantara karya-karyanya
1. Fadak fi al-Tarikh (Fadak Dalam Sejarah).
2. Ghayatul Fikr fi Ilm al-Ushul (Puncak Pemikiran Dalam Ilmu usul).
20
3. Falsafatuna (Filsafat Kita).
4. Iqtishaduna (Ekonomi Kita).
5. Al-Usus al-Mantiqiyah li al-Istiqra (Dasar-dasar Logika Untuk Induksi).
6. Al-Ma'alimul Jadidah li al-Ushul (Petunjuk- petunjuk Baru Usul).
7. Buhutsun fi Syarh al-Urwah (Keterangan Kitab al-Urwah al-Wutsqa).
8. Buhutsun fi Ilm al-Ushul, (transkrip pelajaran kharijnya).
9. Durusun fi Ilmi al-Ushul, dikenal dengan Halaqāt (Pelajaran ilmu ushul).
10. Al-Fatawa al-Wadhihah (Fatwa-fatwa Gamblang).
11. Al-Bank Allaribawi fi al-Islam (Bank Tanpa Riba Dalam Islam).
12. Bahtsun Haula al-Mahdi (Kajian Tentang Imam Mahdi afs).
13. Bahtsun Haula al-Wilayah (Kajian Tentang wilayah).
14. Al-Islam Yaqudu al-Hayah (Islam Pemandu Kehidupan).
15. Al-Madrasah al-Quraniyah, pelajaran tafsir tematik Al-Qur'an.
16. Daurul Aimmah fi al-Hayah al-Islamiyah (Peran Imam-imam Dalam Kehidupan Islam).
17. Nizhamul Ibadat fi al-Islam (Cata cara Ibads Dalam Islam).
18. Hasyiyah bar Risaleh Ilmiah Syaikh Murtadha Al Yasin (Keterangan Risalah Ilmiah Syaikh
Murtadha Al Yasin)
19. Hasyiyah Bar Minhaj al - shalihin Ayatullah Hakim (keterangan buku minhaj al-shalihin)
20. Hasyiyah Bar Manasiki Haj Ayatullah Khui (Keterangan Buku Manasik Haji Ayatullah
Khui).
21. Hasyiyah bar Bakhsye Namaze Jum'ah az kitab Syarayi' Al-Islam (keterangan Salat Jum'at
Dalam Kitab Syarayi' Al-Islam).
Dalam semua tulisannya dia bercita-cita untuk kebangkitan Tradisi Islam bagi umat Islam
modern, khususnya kaum muda. Dia secara ekstensif mengutip informasi dari Al-Qur'an,
Hadits dan para Imam Syiah, semuanya mencerminkan hukum adat. Namun Demikian juga, ia
sering mengutip interpretasi atau membuat interpretasi sendiri tentang masalah dan situasi saat
ini. Berusaha dikatakan dalam Iqtisduna, kurang lebih filsafat Ekonomi untuk kumpulan
hukum, dan itu mencerminkan kemampuannya untuk menghembuskan kehidupan ke dalam
hukum yang terlihat berlebihan.
Iqtisduna ditulis pada 1960-an dan harus dianggap sebagai analisis komprehensif dan
perbandingan sistem ekonomi perspektif Islam, dan masih digunakan sebagai referensi bagi
para ahli tahun sembilan puluhan. 1982, setelah bertahun-tahun beraktivitas, pemerintah Iran
menerjemahkan karyanya ke dalam bahasa Inggris. Sayangnya, terjemahannya memperlakukan
karya asli S}adr dengan adil tidak adil. Tetap saja, Sadr melakukannya. Pikiran membaca jauh.
Pendekatan 'ekonomi hukum'-nya memiliki menempatkannya sebagai pemikir Islam
terkemuka.
Baqir al-Sadr sering menyerang dialektika dalam karyanya materialistis dan malah
mendukung konsep Islam tentang pembedaan antara benar dan salah. Dia menulis tentang itu
secara ekstensif Ekonomi Islam, sering dikonsultasikan oleh berbagai organisasi Islam, seperti
Bank Pembangunan Islam.
Dia menganjurkan gerakan Islam yang terorganisir, pihak terpusat yang dapat berkolaborasi
dengan entitas yang berbeda dalam bangsa Islam untuk membawa perubahan sosial yang
diinginkan. Dia adalah bapak Hizbut Tahrir Al Islamiyyah (Partai Dakwah Islam). Dia
mengajarkan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Dia telah menelepon kepada umat Islam
untuk mengakui kekayaan Islam yang kaya dan kaya untuk melepaskan diri dari pengaruh
eksternal, khususnya dari pengaruh Kapitalisme dan Marxisme. Dia mendesak umat Islam
untuk bangun dari tidur dan menyadari ini dengan mencoba menyebarkan ideologi orang-orang
di dunia Muslim yang mencoba membunuh kaum imperialis ideologi Islam. Muslim harus
bersatu melawan intervensi jadi dalam sistem sosial, ekonomi dan politik mereka.

21
C. Pemikiran Ekonomi Islam Menurut M. Baqir Ash-Sadr
Dalam pemikiran ekonomi Islam Baqir Sadr, terdapat beberapa fokus pembahasan
meliputi, Definisi ekonomi Islam (usaha penemuan doktrin ekonomi Islam), Karakteristik
ekonomi Islam, Teori produksi, Teori distribusi dan, Tanggung jawab pemerintah dalam bidang
ekonomi.
1. Definisi Ekonomi Islam (usaha penemuan doktrin ekonomi Islam).
Ekonomi Islam adalah suatu doktrin karena itu berhubungan dengan setiap ketentuan dasar
dari tujuan ekonomi yang berhubungan dengan ideologi keadilan sosial. referensi integritas
atau ukuran suatu teori ekonomi yaitu (aktivitas dan hasil-hasilnya yang dapat dievaluasi).
Begitupun juga dengan sistem ekonomi Islam, juga digolongkan sebagai suatu doktrin
karena menurut Baqr Ash-Sadr mempunyai kaitan dengan apa-apa yang didasarkan pada
kepercayaan-kepercayaan Islam, hukum-hukum, pendapat-pendapat, konsep - konsep dan
definisi - definisi yang diperoleh dari sumber hukum Islam.
Menurut Baqr As Sadr, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang di pilih oleh umat Islam
untuk dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan
masalah ekonomi praktik sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Islam tidak mengurusi
hukum permintaan dan penawaran, tidak pula hubungan antar laba dan bunga, fenomena
diminishing return (penyusutan hasil produksi) yang tercakup dalam ilmu ekonomi “The
Science of Economic”.
2. karakteristik ekonomi Islam
Dengan difinisi ekonomi Islam di atas, dalam beberapa pembahasan Sadr juga merumuskan
karakteristik ekonomi Islam yang terdiri atas konsep Kepemilikan Multi Jenis (Multitype
Ownership). Dalam pandangan Baqr Ash-Sadr, ekonomi Islam memiliki konsep
kepemilikan yang dikatakan sebagai kepemilikan multi jenis. Bentuk kepemilikan tersebut
dirumuskan dalam 2 kelompok yakni bentuk kepemilikan swasta (private) dan kepemilikan
bersama yang terbagi menjadi dua bentuk kepemilikan yakni kepemilikan publikdan
kepemilikan Negara. Kepemilikan swasta (private) dalam pandangan Baqr Ash-Sadr hanya
terbatas pada hak memakai dan adanya prioritas untuk menggunakan serta hak untuk
melarang orang lain untuk menggunakan sesuatu yang telah menjadi miliknya.
Dalam hal ini, Baqr Ash-Sadr dan seluruh pemikir ekonomi baik klasik maupun
kontemporer sepakat bahwa yang dimiliki oleh manusia hanyalah sebatas kepemilikan
sementara, sedangkan kepemilikan yang mutlak hanya terdapat pada Allah SWT. Bentuk
kepemilikan kedua adalah kepemilikan bersama. Dalam hal ini seperti diatas telah
disinggung bahwa bentuk kepemilikan bersama ini terbagi menjadi dua jenis yakni,
kepemilikan publik dan kepemilikan Negara.
Perbedaan kepemilikan publik dengan kepemilikan Negara adalah terletak pada tata cara
pengelolaannya.Bagi As-Sadr, kepemilikan publik harus digunakan untuk kepentingan
seluruh anggota masyarakat. Beberapa sektor kepemilikan publik semisal (keberadaan
rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur jalan). Sedangkan kepemilikan Negara dapat
digunakan tidak hanya bagi kebaikan semua orang, melainkan juga dapat digunakan untuk
suatu bagian tertentu dari masyarakat, jika memang negara menghendaki demikian.
3. Teori Produksi
Muhammad Baqir Ash-Shadr mengklasifikasi dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas
produksi. Pertama adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi
teknis dan ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang
diolah dan kerja yang dilakukan dalam aktivitas produksi. Aspek ini berusaha untuk
menjawab pertanyaan dasar mengenai what, how, dan whom (The three fundamental
economic problem).

22
Yang kedua yaitu aspek subyektif. Terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai
lewat aktifitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut konsepsi keadilan yang
dianut. Selain itu menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam ekonomi-politik sumber-
sumber asli produksi terdiri dari tiga kelompok yakni, alam, modal (barang-barang modal),
dan kerja (termasuk organisai yang dengannya sebuah proyek perencanaan disusun dan
dijalankan).
Adapun dalam ekonomi Islam sumber-sumber produksi dibagi menjadi beberapa kategori:
1. Tanah, adalah kekayaan alam yang paling penting, tanpa tanah mustahil manusia bisa
menjalankan proses produksiapapun.
2. Substansi primer, kekayaan yang terkandung dalam perut bumi seperti: batu bara,
belerang, minyak, emas, besi dan lain-lain.
3. Air unsur tepenting dalam kehidupan material manusia, yang berperan besar dalam
produksi dan perhubungan.
4. Berbagai kekayaan alam lainnya. Terdiri atas kandungan laut, mutiara dan hewan
laut, kekayaan yang ada di permukaan bumi seperti berbagai jenis hewan dan
tumbuhan, kekayaan dari udara seperti oksigen dan lain-lain.
4. Teori Distribusi Pendapatan
Dalam islam distribusi pendapatan adalah suatu proses pembagian (sebagian hasil penjualan
produk total) kepada faktor-faktor yang ikut menentukan pendapatan. Faktor-faktor tersebut
diantaranya faktor tenaga kerja, tanah, modal, dan managemen. Besaran distribusi
pendapatan ditentukan oleh tingkat peranan masing-masing faktor produksi. Distribusi
menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro dalam Islam karena pembahasan distribusi
berkaitan bukan saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek
politik.
Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi dimana ukuran berdasarkan atas jumlah
kepemilikan, tetapi bagaimana bisa terdistribusi penggunaan potensi kemanusiaannya, yang
berupa penghargaan hak hidup dalam kehidupan. Distribusi harta tidak akan mempunyai
dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan kesamaan
hak hidup. Islam mengatur distribusi harta kekayaan termasuk pendapatan kepada semua
masyarakat dan tidak menjadi komoditas diantara golongan orang yang kaya saja. Sehingga
mencapai pemerataan pendapatan kepada masyarakat secara obyektif.
Mazhab Baqir Ash-Shadr berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya
distribusi kekayaan yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang
membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Oleh karena itu
masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, teatapi karena
kesarakahan manusia yang tidak terbatas.
5. Tanggung jawab pemerintah dalam bidang ekonomi
Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi Menurut Baqir As-Sadr, fungsi
pemerintah dalam bidang ekonomi terdapat beberapa tanggung jawab. Tanggung jawab atau
fungsi pemerintah dalam bidang ekonomi tersebut antara lain berkenaan dengan: 1.
penyediaan akan terlaksananya Jaminan Sosial dalam masyarakat, 2. Berkenaan dengan
tercapainya keseimbaangan sosial dan 3. Terkait adannya intervensi pemerintah dalam
bidang ekonomi.
a. Jaminan Sosial Di Tengah-Tengah Kehidupan Masyarakat.
Islam telah menugaskan Negara untuk menyediakan jaminan sosial guna
memelihara standart hidup seluruh individu dalam masyarakat. Dalam hal ini, menurut
Sadr jaminan sosial tersebut terkait dengan dua hal, yakni pertama Negara harus

23
memberikan setiap individu kesempatan yang luas untuk melakukan kerja produktif
sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari kerja dan usahanya sendiri.
Bentuk jaminan sosial yang kedua adalah di dasari atas kenyataan bahwa setiap
individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, jika individu dalam
kondisi yang tidak mampu melakukan aktifitas kerja produktif sebagaimana yang
dimaksud dalam bentuk jamianan sosial yang pertama, maka Negara wajib
mengaplikasikan jaminan sosial bagi kelompok yang demikian dalam bentuk
pemberian uang secara tunai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan untuk
memperbaiki standart kehidupanya.
Prinsip jamianan sosial dalam Islam didasarkan pada dua basis doctrinal.Pertama
keharusan adanya kewajiban timbal balik dalam masyarakat. Kedua hak masyarakat
atas sumber daya ( kekayaan ) publik yang dikuasai Negara. Kedua basis tersebut
memiliki batas dan urgensi tersendiri yang berkenaan dengan penentuan jenis
kebutuhan apa yang pemenuhannya harus dijamin, juga berkenaan dengan penetapan
standart hidup minimal yang harus dijamin oleh prinsip jaminan sosial bagi setiap
individu.
b. Mewujudkan Keseimbangan Sosial Konsep kesembangan sosial
Menurut Baqir As Sadr konsep keseimbangan yang didasarkan pada dua asumsi
dasar. Pertama fakta kosmik dan fakta doctrinal.Fakta kosmik merupakan suatu
perbedaan yang eksis ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Menurut Sadr, adalah
suatu fakta yang tidak bisa diingkari oleh siapapun bahwa setiap individu secara
alamiah memiliki bakat dan potensi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dalam satu
titik pada akhirnya akan melahirkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Dalam
hal ini, perbedaan tersebut dikenal dengan strata sosial.
Dari hal ini, menurut Baqir As Sadr adalah tidak dapat dibenarkan bahwa perbedaan
yang bersifat bawaan atau kosmik di atas merupakan hasil dari proses sejarah yang
bersifat eksidental, sebagaiamana Marx dan para pengikutnya memaknai proses
tranformasi system kehidupan masyarakat dari tingkatan komunal menuju system
puncak yakni komunisme adalah berakar dari proses dialektis dalam relasi produksi
(interaksi ekonomi).
Berdasarkan pemikiran Baqir Ash-Shadr mengenai sistem ekonomi Islam tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Baqir As-Shadr membahas mengenai sistem ekonomi Islam
dengan cara membebaskan setiap individu atau pelaku ekonomi dari ajaran ekonomi
materialistik kemudian diarahkan ke ajaran ekonomi yang didasari pada prinsip
keadilan dan menggantungkan kegiatan ekonomi tersebut pada nilai agama. Sehingga,
yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya ialah dari
segi moralitas dan spritualitas dari kegiatan ekonomi

24
KEL 12 PEMIKIRAN EKONOMI UMER CHAPRA\
A. Biografi Umer Chapra
M. Umer Chapra adalah seorang ekonom kelahiran Pakistan, Pada 1 Februari 1933, M.
Umer chapra Berkebangsaan Pakistan Kemudian menetap di Arab Saudi. Ia bekerja sebagai
penasihat Ekonomi senior pada Monetary Agency, Kerajaan Arab saudi sejak tahun 1995. Ia
juga memiliki pengalaman mengajar dan meneliti di bidang ekonomi.
M. Umer Chapra adalah salah satu ekonom kontemporer muslim yang paling terkenal pada
zaman modern ini di Timur dan Barat. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Chapra
dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang
mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkecukupan sehingga
memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik. Masa kecilnya ia habiskan di tanah
kelahirannya hingga berumur 15 tahun. Dalam umurnya yang ke 29 ia mengakhiri masa
lajangnya dengan menikahi Khairunnisa Jamal Mundia tahun 1962, dan mempunyai empat
anak, Maryam, Anas, Sumayyah dan Ayman.
M. Umer Chapra meneruskan pendidikan S1 dan magisternya di Karachi Pakistan. Kemudia
beliau meraih gelar Ph.D di bidang ekonomi pada tahun 1961 dengan predikat cum laude di
Universitas Minnesota, Minneapolis Amerika Serikat. Kemudia beliau kembali ke negara
asalnya dan bergabung dengan Central Institute of Islamic Research di tahun yang sama.
Beliau selama dua tahun di dalam lembaga tersebut aktif melakukan penelitian kajian yang
sistematis tentang gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip Islam guna mewujudkan sistem
ekonomi yang sehat. Hasil dari kajian tersebut, beliau tuliskan dan dibukukan dengan judul
The Economic System of Islam: A Discussion of Its Goals and Nature, (London, 1970). Tidak
hanya itu, beliau juga menjabat sebagai ekonom senior di Associate Editor pada Pakistan
Development Review di Pakistan Institute of Economic Development.
Tahun 1964, M. Umer Chapra kembali ke Amerika Serikat Untuk mengajar di beberapa
sekolah tinggi ternama. Diantaranya ialah Harvard Law School, Universities of Wiscousin,
United States, Universitas Autonoma, Madrid, Universitas Loughborough, U.K, Oxford Center
for Islamic Studies, London School of Economic, Universitas Malaga, Spanyol, dan beberapa
Universitas di berbagai Negara lainnya. Kemudian beliau bergabung dengan Saudi Arabian
Monetary Agency (SAMA), Riyadh, dan kemudian menjabat sebagai penasihat ekonomi hingga
beliau pension di tahun 1999. Beliau juga menjabat sebagai penasihat riset di Islamic Research
and Training Institute (IRTI) di Islamic Development Bank (IDB), Jeddah.
Tidak sampai situ, Beliau juga menjabat sebagai komisi teknis dalam Islamic Financial
Services Board (IFSB) dan menentukan rancangan standar industri keuangan Islam (2002 -
2005). Atas kiprah dan jasanya dalam ekonomi Islam, beliau mempu mempublikasikan
25
sejumlah buku, monograf, dan artikel-artikel professional tentang ekonomi Islam dan perannya
yang begitu besar dalam mengembangkan subyek ini, beliau memperoleh penghargaan
(mendali) pada tahun 1990 dari IDB (the Islamic Development Bank, Bank Pembangunan
Islam) untuk bidang ekonomi Islam, dan mendapatkan penghargaan dari King Faisal
International Prize untuk bidang studi Islam. Selain itu Beliau juga mendapatkan penghargaan
langsung oleh Presiden Pakistan, berupa mendali emas dari IOP (Islamic Overseas of
Pakistanis) untuk jasanya terhadap Islam dan Ekonomi Islam, pada konferensi pertama IOP.
Beliau terkenal dengan kontribusinnya mengenai perkembangan ekonomi Islam selama 3
dekade. Beliau sangat dihormati atas pandangan dan pendekatan ilmiahnya. Beliau mempunyai
karangan 10 buku dan monograf 68 dokumen dan 9 tinjauan buku. Sebagian dari bukunya telah
diterjemahkan ke sejumlah bahasa, termasuk Arab, Urdu, Turky, Melayu, Indonesia, Bangla,
Prancis, Jerman, Jepang, dan Spanyol. Kontribusi yang paling terkemuka yaitu dalam 3
bukunya: Ke arah Sistem Moneter yang Adil (1985), Islam dan Tantangan Ekonomi (1992),
dan Masa Depan Ekonomi: Suatu Perspektif Islam (2000). Semua buku tersebar secara luas. M
Umer Chapra telah membaca secara luas tentang kapitalis dan sosialisme beliau telah
memberikan kuliah secara luas pada sejumlah uiversitas dan institud professional di negara-
negara yang berbeda. Ia ikut ambil bagian sejumlah pertemuan IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC,
GCC. Ia merupakan editorial dewan sejumlah jurnal profesional.
B. Pemikiran Ekonomi Umer Chapra
M. Umer Chapramempunyai kiprah yang tidak sedikit dalam dunia ekonomi Islam.
Menurutnya tujuan dari berekonomi adalah membantu manusia untuk merealisasikan tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi. Tidak sulit menemukan buku yang merupakan buah dari
pemikirannya. Beberapa pemikirannya yang terkenal adalah mengenai konsep hayyatan
thayyibatan, konsep kebijakan moneter dalam Islam, dan konsep perbankan Syariah.
1. Konsep Fallah dan Hayatan Tayyibatan
Dalam bukunya Islam and The Islamic Challenge yang kemudian diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Tantangan Ekonomi. M. Umer Chapra
menjelaskan bahwa setiap individu pelaku ekonomi sudah pasti didominasi dengan
worldview (pandangan)maupun asumsinya mengenai alam, dan hakikat kehidupan manusia
di dunia. Chapra mengibaratkan pandangan dunia sebagai fondasi bagi sebuah bangunan
yang memainkan peranan yang sangat penting dan sangat menentukan. Sehingga strategi
dari suatu sistem yang merupakan hasil logis dari pandangan hidup, selayaknya selaras
dengan sasaran yang dipilih agar tujuan dapat dicapai dengan efektif.
Chapra juga menjelaskan dalam Buku ini mengenai aktualisasi konsep falah Dan
hayatan thoyyibatan. Falah secara bahasa berarti beruntung, dan dalam konsep ini, falah
merupakan kebahagiaan.Dunia-akhirat yang menjadi dambaan setiap manusia. Sedang
hayyah thayyibah secara bahasa bermakna Kehidupan yang baik, yaitu keadaan yang
harmonis dari tatanan kehidupan yang baik, seimbang Antara jasmani dan rohani sehingga
tercapai falah. Kedua konsep ini berasal dari Islam, diajarkan Islam dan hendaknya pula
diterapkan dalam kehidupan Muslim untuk mewujudkan kebahagiaan Dunia-akhirat. Hal
ini menuntut peningkatan moral, persaudaraan dan keadilan Sosio-ekonomi, dengan
pemanfaatan sumbersumber daya yang langka untuk mengentaskan kemiskinan, memenuhi
kebutuhan dan meminimalkan kesenjangan Pendapatan dan kekayaan.
Kemudian Chapra menawarkan tiga Strategi solusi bagi permasalahan-permasalahan
ekonomi yang dialami negaranegara muslim. Antara lain:
a) Mekanisme.Filter terhadap kepentingan penggunaan.Sumber daya langka, sehingga
tercipta Efisiensi.
b) Sistem motivasi penggunaan Agar sesuai dengan mekanisme filter.

26
c) Rekonstruksi sosioekonomi yang akan menegakkan kedua elemen sebelumnya dan
Mengaktualisasikan hayatan thayyibatan.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam Mengendalikan keadaan ekonomi makro
agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui Pengaturan jumlah uang yang
beredar dalam perekonomian. Kebijakan Moneter sudah ditetapkan sejak zaman Rasulullah
saw. Bangsa Arab sebagai jalur perdagangan antara.Romawi-India-Persia, serta Sam dan
Yaman, telah menjadikan Dinar dan Dirham.Sebagai alat tukar resmi. Maka pertukaran
Valuta asing, penggunaan cek dan promissory notes, kegiatan impor-ekspor serta Factoring
atau anjak piutang, sudah dikenal Dan banyak digunakan dalam perdagangan. Kebijakan
moneter yang diterapkan Oleh Rasulullah saw antara lain adalah Pelarangan riba dan tidak
digunakannya Sistem bunga. Sehingga stabilitas ekonomi Terjaga dan pertumbuhan
ekonomi terdorong maju dengan lebih cepat dengan Pembangunan infrastruktur sektor riil.
Rasulullah saw juga melarang transaksi Tidak tunai sehingga menutup kemungkinan untuk
melakukan riba dan ihtikar atau Penimbunan.
Umer Chapra mengajukan mekanisme kebijakan moneter yang terdiri dari enam
elemen.
a) Target pertumbuhan dalam M dan Mo
M yang dimaksudkan di sini adalah peredaran uang yang diinginkan. Sedangkan
Mo adalah uang berdaya tinggi, atau mata uang dalam sirkulasi.plus deposito pada
bank sentral, sehingga pertumbuhan M dan Mo haruslah diatur dan disesuaikan dengan
sasaran ekonomi nasional, yang harus berorientasi kepada kesejahteraan sosial.
b) Saham publik terhadap deposito unjuk (uang giral)
Sebagian dari uang giral pada bank komersial, guna melakukan pembiayaan
terhadap proyek-proyek yang bermanfaat secara sosial dan tidak menggunakan prinsip
bagi hasil. Tujuannya untuk memobilisasikan sumber daya masyarakat yang
menganggur untuk kemaslahatan sosial.
c) Cadangan wajib resmi
Bank-bank komersial diwajibkan.untuk menahan suatu proporsi tertentu dari
deposito unjuk mereka dan disimpan di bank sentral sebagai cadangan wajib.
d) Pembatas kredit
Pembatasan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa penciptaan kredit total adalah
konsisten dengan.target-target moneter. Sebab kucuran dana kepada perbankan tidak
mungkin menemui angka yang akurat terutama di pasar uang yang masih kurang
berkembang.
e) Alokasi kredit yang berorientasi kepada Nilai
Alokasi ini harus ditujukan untuk realisasi maslahat sosial secara umum. Yaitu
harus merealisasikan sasaransasaran masyarakat Islam dan memaksimalkan
keuntungan privat. Maka haruslah dijamin bahwa alokasi tersebut akan menimbulkan
produksi dan distribusi yang optimal bagi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Serta manfaatnya dapat dirasakan oleh sejumlah besar kalangan bisnis
dalam masyarakat.
f) Teknik yang lain
Chapra sekali lagi menekankan pentingnya moral sebagai kunci dari semua teknik
yang telah diajukan sebelumnya. Hubungan yang baik antara bank sentral dan bank-
bank komersial akan mempermudah proses pencapaian tujuan yang diinginkan.
3. Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah
Chapra menyatakan bahwa dalam Suatu sistem keuangan Islam, adanya bank Syariah
sebagai instrumen pendukung adalah suatu keniscayaan. Bank syariah dengan sistem,

27
Corporate Governance dan manajemen yang baik, akan memperkuat Pergerakan keuangan
Islam, meminimalisir Kegagalan dan diharapkan mampu mewujudkan keadilan sosio-
ekonomi dengan Pelarangan bunga. Sedangkan untuk Melakukan standardisasi produk dan
jasa, Bank syariah hendaknya mengadakan forum diskusi antara ulama fikih, sebagaimana
yang dilaksanakan oleh IDB dengan Membuat lembaga diskusi yang disebut Council of
Islamic Bank.
Peran Coorporate Governance yang Efektif akan mampu menunjang posisi perbankan
syariah untuk menjadi lebih kuat, Perluasan dan menunjukkan kinerja yang Lebih efektif.
Sebab lembaga keuangan Islam Haruslah dapat memenuhi kepentingan
stakeholder(pemegang saham) dengan penerapan kinerja yang eefektif Sedangkan
Stakeholder dalam lembaga keuangan Islam Adalah Islam itu sendiri sehingga apabila
Bank tidak mampu menunjukkan kinerja Yang baik maka sistem Islam-lah yang akan
Disalahkan dan dianggap buruk. Di lain Pihak, ketika deposan yang menggunakan Sistem
Islam sebagai Profit-Loss Sharing, Maka kepentingan para pemegang saham Tetap harus
dilindungi dan dijaga. Maka Diungkapkanlah beberapa cara untuk melindungi kepentingan
stakeholder, diantaranya adalah disiplin pasar, nilai-nilai sosial Dan masyarakat, peraturan
dan pengawasan yang efektif integritas sistem peradilan, Struktur kepemilikan yang baik,
dan I’tikad Secara politik.
Di samping itu, perlu digunakan beberapa unsur untuk mendukung perkembangan
perbankan syariah. Diantaranya Adalah pembangunan lingkungan dengan Memperkuat
disiplin pasar dalam sektor keuangan, integritas moral bagi para pelaku Perekonomian serta
dukungan lingkungan Sosio-politik melalui pengawasan hukum. Dalam tahap ini, Chapra
menekankan peran moral para pelaku pasar. Sebab tanpa Adanya komitemn moral, segala
cara akan Dapat dilegalkan untuk melanggar hukum Tanpa terdeteksi maupun
mendapatkan Tuntutan. Adanya institusi pendukung berupa Lembaga rating kredit yang
menyediakan Informasi mengenai rating kredit nasabah, Akan memungkinkan bank syariah
untuk Menuju model pembiayaan yang lebih beresiko, yaitu mudharabah dan musyarakah .
Lembaga ini pun akan membantu meningkatkan penegakan disiplin pasar. Selain itu, Bank
syariah harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memiliki tugas untuk
memastikan kesesuain transaksi yang Dilakukan bank dengan prinsip syariah. Untuk
menjawab permasalahan bankbank kecil tentang biaya pembentukan DPS Yang relatif
mahal, Chapra mengusulkan Dewan pengawas syariah di bank sentral Yang mengawasi
segala operasional bank Sehingga bank-bank lain dapat menikmati Fasilitas ini.
4. Konsep Negara Sejahtera Menurut Islam
Konsep negara kesejahteraan adalah konsep yang ditawarkan sebagai solusi dari
kegagalan sistem kapitalisme dan sosialisme, dimana konsep ini berusaha menyampurkan
kedua sistem dan menemukan titik temu yang melengkapi kelemahan keduanya. Negara
kesejahteraan mengadopsi pendapat Keynes tentang peran seimbang pemerintah dalam
perekonomian, yang dalam sistem kapitalisme, peran ini ditiadakan sebab keseimbangan
perekonomian di pasar diatur oleh invisible hand dalam pasar itu sendiri. Peran
kesejahteraan dengan ‘regulasi yang tepat’ dan pengeluaran untuk tujuan-tujuan
kesejahteraan juga dimasukkan ke dalam konsep ini. Namun, yang terjadi justru
pengeluaran untuk tujuan kesejahteraan yang terlalu besar tanpa dibarengi dengan
pengurangan pengeluaran sektor swasta dan pemerintah pada bidang-bidang lainnya, dan
menimbulkan klaim berlebihan pada sumber-sumber daya dan menjadi bumerang bagi
konsep ini. Menilik dari kegagalan sistem Kapitalis sekuler dan Sosialis, Chapra
menegaskan, kewajiban negara Islam dalam mewujudkan negara sejahtera adalah
menciptakan standar hidup yang layak bagi rakyatnya dan membantu mereka yang tidak
mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun, konsepsi Islam dalam pemeratan

28
pendapatan dan distribusi kekayaan tidak menyamaratakan kepemilikan bagi semua orang,
tetapi mengakui perbedaan yang dibatasi oleh hak-hak kaum miskin dengan zakat untuk
mewujudkan keadilan. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, maka negara memerlukan
adanya sumber-sumber penghasilan. Sumber-sumber tersebut antara lain: zakat,
penghasilan dari sumber alam, pemungutan pajak dan pinjaman. Makna dari sejahtera
haruslah diperjelas. Menurut Chapra, ‘sejahtera’ bukan berarti ‘yang kaya’ namun ‘yang
ideal’ yaitu keadaan dimana terjadi keseimbangan antara keadaan material dan spiritual
yang diperoleh dari sumber-sumber daya yang ada. Oleh karena itu, negara Islam dapat
dikatakan menjadi negara yang sejahtera atau ideal bilamana martabat batin dan moral
masyarakat meningkat, kewajibankewajiban masyarakat sebagai khalifah di bumi terhadap
sumber daya alam telah ditunaikan, dan tegaknya keadilan serta lenyapnya penindasan.
Negara Sejahtera menurut Islam, bukanlah negara kapitalis ataupun sosialis, akan tetapi
negara dengan konsep Islam dan kehidupan Islami.

29

Anda mungkin juga menyukai