Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................

A. Latar Belakang ..................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................

A. Praktik bisnis yang dilarang ............................................

B. Macam – macam jual beli yang

dilarang dalam islam .........................................................

1. Haram zatnya ............................................................

2. Haram selain zatnya .................................................

3. Tidak sah atau lengkap akadnya ............................

BAB III PENUTUP ........................................................................

A. Kesimpulan ........................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita telah mengetahui dua kaidah hukum asal dalam syari’ah. Dalam
ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali
yang ada ketentuannya berdasarkan al-qur’an dan al-hadis. Sedangkan dalam
urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Ini
berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam
hukum islam, maka transaksi tersebut di anggap dapat diterima, kecuali terdapat
implikasi dari dalil Al-quran dan hadis yang melarangnya, baik secara eksplisit
maupun implisit.

Dengan demikian, dalam bidang mu’amalah, semua transaksi dibolehkan


kecuali yang diharamkan. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini
menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik
untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia
pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan
pada aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman,
terutama dalam dunia bisnis. Padahal secara tegas Rasulullah pernah bersabda
bahwa perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan
keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya
merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami,
bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut
ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam
memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang
dilarang (haram).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Praktik Bisnis yang Dilarang

Dalam Syariah, Nabi telah melarang kita dari beberapa jenis usaha tertentu
karena di dalamnya mengandung dosa dan apa yang di dalamnya terdapat bahaya
bagi manusia dan mengambil harta secara tidak adil. Beberapa jenis transaksi
yang dilarang adalah:

1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam.

2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal.

3. Persaingan yang tidak fair

4. Pemalsuan dan penipuan

B. Macam-Macam Jual Beli Yang Di Larang

Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor


sebagai berikut;

1. Haram zatnya (haram li-dzatihi)

2. Haram selain zatnya (haram li-ghairihi)

3. Tidak sah (lengkap) akadnya


1. Haram Zatnya

Transaksi di larang karena objek (barang atau jasa) yang di transaksikan


juga dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya.
Jadi, transaksi jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya
sah. Contohnya, bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian
minuman keras kepada bank dengan menggunakan akad murabahah, maka
walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini haram karena objek transaksinya haram.

2. Haram Selain Zatnya

a. Melanggar Prinsip “An Taradin Minkum” Tadlis (penipuan)

Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara
kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang
sama sehingga tidak ada pihak yang merasa di curigai (ditipu) karena terdapat
kondisi di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
lain. Tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: 1) Kuantitas 2)
Kualitas 3) Harga dan 4) Waktu penyerahan.

b. Melanggar prinsip ‘la tazhlimuna wa la tuzhlamun’

Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar adalah prinsip la tazhlimuna wa la


tuzlamun, yakni jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-praktik yang
melanggar prinsip ini di antaranya:

a) Taghrir (gharar)

Gharar atau disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi ketidakpastian
dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis, yang terjadi adalah pihak
A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik
pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu
yang ditransaksikan. Gharar ini terjadi bila kita memperlakukan sesuatu yang
seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti.
b) Rekayasa pasar dalam supply (ikhtikar)

Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen / penjual


mengambil keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk
yang di jualnya naik. Hal ini adalah istilah fiqih disebut ikhtikar.

Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen / penjual lain


masuk pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itu,
biasanya orang menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan, padahal
tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar.

BULOG juga melakukan penimbunan, tetapi justru untuk menjaga


kestabilan harga dan pasokan. Demikian pula dengan Negara apabila memonopoli
sektor industri yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, bukan
dikategorikan sebagai ikhtikar. Agama melarang kita menimbun barang saat orang
membutuhkan. Namun praktek bisnis ini justru sering terjadi di negeri kita
sendiri. Di saat orang kesulitan bahan bakar gas misalnya, ternyata di pihak lain
ada yang menimbun. Tujuannya hanya untuk mendapatkan harga jual yang lebih
tinggi ketika produk sudah langka di pasaran. Padalah rasul telah bersabda, ”Tidak
ada yang menimbun barang ketika dibutuhkan kecuali orang yang berdosa” (HR
Muslim).

Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi;

1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun


stock atau mengenakan entri-barriers

2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum


munculnya kelangkaan.

3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan


sebelum komponen 1 & 2 dilakukan.
c) Rekayasa pasar dalam demand (bai’ najasy)

Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen (pembeli)


menciptakan permintaan palsu, seolah olah ada banyak permintaan terhadap suatu
produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi misalnya, dalam
bursa saham, bursa valas, dan lain-lain. Cara yang di tempuh bias bermacam-
macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-
benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentiment pasar untuk ramai-
ramai membeli saham (mata uang) tertentu. Bila harga sudah naik sampai level
yang di inginkan maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung
dengan melepas kembali saham (mata uang) yang sudah dibeli, sehingga ia akan
mendapatkan untung besar. Rekayasa demand ini dalam istilah fiqihnya disebut
dengan bai’ najasy.

d) Riba

Riba berarti menukarkan suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian.
Allah sendiri telah menjelaskan dalam al Quran Surat Al Baqarah ayat 275 :

‫بيع‬E‫ا ال‬E‫الوا إنم‬E‫الذين يأكلون الربا ال يقومون إال كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم ق‬
‫اد‬EE‫ره إلى هللا ومن ع‬EE‫مثل الربا وأحل هللا البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأم‬
‫فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون‬

Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya..” (QS Al- Baqarah : 275)
Wahai Saudaraku! Tidak ada keraguan bahwa perdagangan dan jual beli
adalah dua hal yang dibutuhkan dan diperlukan. Hal ini karena Allah telah
memerintahkan kita untuk mencari rezeki dan untuk makan dan minum bagi diri
kita menurut cara yang secara umum dibenarkan. Dalam ilmu fiqih, dikenal 3
jenis riba, yaitu:

• Riba fadl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang yang sejenis,
tapi tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya, dan sama
waktu penyerahan barangnya. Pertukaran seperti itu mengandung unsur
ketidakjelasan nilai barang pada masing-masing pihak. Akibatnya, bisa
mendorong orang berbuat zalim.

• Riba nasi’ah atau riba yang muncul akibat utang piutang yang tidak
memenuhi kriteria. Keuntungan muncul tanpa adanya risiko dan hasil usaha
muncul tanpa adanya biaya. Padahal, dalam dunia bisnis kemungkinan untung dan
rugi selalu ada. Memastikan sesuatu di luar wewenang sifatnya zalim.

• Riba jahiliyah atau utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman, karena
peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai waktu yang ditentukan.

 e) Maysir (penjudian)

Secara sederhana, yang dimaksud dengan maysir atau penjudian adalah


suatu pemainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban
pihak yang lain akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau pertandingan,
baik yang berbentuk game of chance, game of skill ataupun natural events, harus
menghindari terjadinya zero sum game, yakni kondisi yang menempatkan salah
satu atau beberapa pemain harus menanggung beban pemain.

Allah swt. telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan


aktivitas ekonomi yang mengandung unsur maysir (penjudian). Allah swt
berfirman:
‫اجتنبوه لعلكم‬EE‫يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر واألنصاب واألزالم رجس من عمل الشيطان ف‬
‫تفلحون‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)


khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al-Maidah: 90).

f) Risywah (suap menyuap)

Yang di maksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada


pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suatu perbuatan baru
dapat dikatakan sebagai tindakan risywah (suap-menyuap) jika dilakukan kedua
belah pihak sukarela. Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak
lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya,
peristiwa tersebut bukan termasuk kategori risywah, melainkan tindakan
pemerasan.

Allah swt telah menyinggung praktik suap-menyuap pada sejumlah ayat al-
quran. Diantara firman allah swt:

‫اإلثم وأنتم‬EE‫اس ب‬EE‫وال الن‬E‫ا من أم‬E‫أكلوا فريق‬E‫ام لت‬E‫ا إلى الحك‬E‫وال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا به‬
‫تعلمون‬

Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang


lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui. (QS Al-Baqarah: 188).
3. Tidak sah (lengkap) akadnya

Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haramli dzatihi maupun
haram li ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan
transaksi tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak
lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan atau tidak lengkap
akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini:

1. Rukun dan syarat tidak dipenuhi

Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary
condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli,
maka jual-beli tidak aka ada. Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah
(muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3 yaitu: Pelaku, Objek, Ijab-kabul.

Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual-beli), penyewa-


pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah
(dalam akad upah-mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku maka tidak ada
transaksi. Objek transaksi dari semua akad diatas dapat berupa barang atau jasa.
Contohnya dalam akad jualbeli mobil, maka objek transaksinya adalah mobil.
Dalam akad menyewa rumah, maka objek transaksianya adalah rumah, demikian
seterusnya. Tanpa objek transaksi, mustahil transaksi akan tercipta.

Selanjutnya, faktor lainnya yang mutlak harus ada supaya transaksi dapat
tercipta adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
Dalam terminologi fiqih, kesepakatan bersama ini disebut ijab-kabul. Tanpa ijab-
kabul, mustahil pula transaksi akan terjadi. Dalam kaitannya dengan kesepakatan
ini, maka akad dapat menjadi batal bila terdapat :

1. Kesalahan/kekeliruan ojek

2. Paksaan (ikrah)

3. Penipuan (tadlis)
Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah (lengkap)
adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun.
Syarat bukan rukun, jadi tidak boleh dicampur adukkan. Di lain pihak, keberadaan
syarat tidak boleh:

1. Menghalalkan yang haram

2. Mengharamkan yang halal

3. Menggugurkan rukun

4. Bertentangan dengan rukun atau

5. Mencegah berlakunya rukun.

2. Ta’alluq

Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan,
maka berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2.

3. Two in one

Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad
sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang
harus digunakan (berlaku). Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan
shafqatin fi al-shafqah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam bidang mu’amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang


diharamkan. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan
kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik untuk
dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada
umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada
aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama
dalam dunia bisnis. Padahal secara tegas Rasulullah pernah bersabda bahwa
perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan
keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya
merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami,
bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut
ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam
memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang
dilarang (haram).

Jual beli itu sendiri adalah terpuji dan penting, sepanjang tidak melalaikan
ibadah seseorang atau menyebabkan dia menunda pelaksanaan shalat berjama’ah
di masjid. Maka, bersikap jujur dalam dan dalam berdagang adalah cara yang
terbaik untuk memperoleh rezeki. Sebaliknya melakukan bisnis dengan
kebohongan, kecurangan dan tipu muslihat, maka ini merupakan cara memperoleh
rezeki yang paling buruk.
DAFTAR PUSTAKA

http://miftakhulistiqomah.blogspot.co.id/2014/04/makalah-etika-bisnis.html

Anda mungkin juga menyukai