Anda di halaman 1dari 16

KEUANGAN SYARIAH

“Identifiksi Transaksi Yang Dilarang Dalam Islam”


Dosen Pembimbing : Afvan Aquino, SE,MM

Disusun Oleh :
Kelompok 2

Susilawati Sitohang 1761201117


Idryan Nopriady Ridwansyah 1761201075
Dea Nanda br.Tumeang 1761201106
Rina wati Simarmata 1761201047
Budiman Sitorus 1761201251

Fakultas Ekonomi Program Studi Manajemen


Universitas Lancang Kuning
Tahun Ajaran 2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Managemen keuangan.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang bentuk transaksi yang
dilarang dalam keuangan syariah, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas tentang managemen
keuangan. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Untukitu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pe
mbuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca.

Pekanbaru, 01 April 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................ i


Daftar Isi ...................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
1.3. Tujuan..................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Identifikasi Transaksi Yang Dilarang Dalam Keuangan Syariah .................... 3
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan........................................................................................................... 14
3.2. Saran ..................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada zaman yang modern ini, tidak jarang kita melakukan transaksi setiap harinya. Karena
kita makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka sering kali kita melakukan
transaksi. Contohnya ketika kita berangkat kuliah, kita naik kendaraan umum lalu membayarnya.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh transaksi. Atau kita naik kendaraan pribadi lalu mengisi
bahan bakar, kemudian kita membayar dengan uang dan mendapatkan bahan bakar. Hal tersebut
juga merupakan transaksi.
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang
ada ketentuan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah,
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.
Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam
hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari
dalil Quran dan Hadis yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implicit. Dengan
demikian, dalam bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada
ketentuannya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan dalam urusan mu‘amalah,
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi
baru munncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dapat
diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang melarangnya. Dengan
demikian, dalam bidang mu‘amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Transaksi yang dilarang dalam Islam ada beberapa macam, dilarangnya transaksi itu
sesuai dengan faktor penyebabnya. Adapun faktor penyebab dilarangnya transaksi tersebut, dan
macam-macam transaksi yang dilarang adalah:

Faktor-faktor penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah sbb;


1. Haram zatnya (haram li dzatihi)
2. Haram selain zatnya (haram li ghairihi)
3. Tidak sah (lengkap) akadnya

1.2 Rumusan masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa penyebab terlarangnya sebuah transaksi?
2. Apa saja transaksi yang termasuk melanggar Prinsip ”An Taradin Minkum dan la
tazhlim tuzhlamun”?
3. Apa saja transaksi yang dilarang karena tidak sah akadnya?
4. Apa ayat al quran beserta tafsirnya dan hadist mengenai transaksi yang diharamkan
dalam Islam?
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui penyebab terlarangnya sebuah transaksi.
2. Mengetahui apa saja transaksi yang termasuk melanggar prinsip ”an taradin minkum
dan la tazhlim tuzhlamun”.
4. Mengetahui apa saja transaksi yang dilarang karena tidak sah akadnya.
5. Mengetahui ayat al quran beserta tafsirnya dan hadist mengenai transaksi yang
diharamkan dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Transaksi Yang Dilarang Dalam Keuangan Syariah

a. Haram zatnya (haram li-zatihi)


Transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga
dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi
jual beli minuman keras atau barang yang diharamkan dalam Islam adalah haram,
walaupun akad jual belinya sah. Sebagaimana fiman Allah SWT dalam An-Nahl ayat
115. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah,
daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
b. Haram selain zatnya (haram li gairihi)
1) Melanggar prinsif ‘an taradin minkum yaitu Penipuan (Tadlis)
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah
pihak (sama-sama rida). Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga tidak
ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada sesuatu yang di mana salah satu
pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut tadlis, dan tadlis
dapat terjadi dalam 4 (empat)hal yaitu :
a. Kuantitas, tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi
takaran (timbangan) barang yang dijualnya.
b. Kualitas, tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan
cacat barang yang ditawarkannya. Dalam tadlis kualitas terdapat dua bentuk yaitu
yang pertama dengan cara menyembunyikan cacat yang ada pada barang yang
bersangkutan, dan yang kedua dengan menghiasi atau memperindah barang yang ia
jual sehingga harganya bisa naik dari biasanya Misalkan seorang tukang becak yang
menawarkan jasanya kepada turis asing dengan menaikkan tarif becaknya 10 kali
lipat dari tarif normalnya. Hal ini dilarang karena turis asing tersebut tidak
mengetahui harga pasar yang berlaku.
c. Harga, tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli
akan harga pasar dengan menaikan harga produk di atas harga pasar.
d. Waktu penyerahan, tadlis dalam waktu penyerahan contohnya adalah petani buah
yang menjual buah diluar musimnya padahal petani mengetahui bahwa dia tidak
dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya. Demikian pula
dengan konsultan yang berjanji untuk menyelesaikan proyek dalam waktu 2 bulan
untuk memenangkan tender, padahal konsultan tersebut tahu bahwa proyek itu tidak
dapat diselesaikan dalam batas waktu tersebut.
Dalam keempat bentuk tadlis di atas, semuanya melanggar prinsip rela-sama-rela.
Keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara, yakni sementara pihak
yang ditipu tidak mengetahui bahwa dirinya ditipu. Di kemudian hari, yaitu ketika
pihak yang ditipu tahu bahwa dirinya ditipu, maka ia tidak merasa rela.
Adapun dasar hukum tentang larangan penipuan (tadlis) terhadap bertransaksi adalah
sebagai berikut:
a) Al-Baqarah ayat 42
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah
kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”

b) Al-A’raf ayat 85
Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yang saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
c) An-Nahl ayat 105
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.”
d) Hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a
Diriwayatkan Abu Huraira r.a: Rasulullah saw. pernah lewat dihadapan orang yang
menjual setumpuk makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan
makanan itu, ternyata tangan beliau mengenai makanan basah di dalamnya. Kemudian
beliau bertanya kepada orang itu, “mengapa ini basah wahai penjual makanan?” Orang
itu menjawab, “Makanan yang di dalam itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda, “Mengapa tidak kamu letakkan di atasnya supaya diketahui oleh orang yang
akan membelinya? Barang siapa menipu, dia bukan dari golonganku.”

2) Melanggar prinsip la tazlimuna wa la tuzlamun


a) Garar
Garar artinya keraguan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu
akad mengandung unsur Garar, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak
ada objek akad, besar kecilnya jumlah maupun menyerahkan akad tersebut.
Garar disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena
adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis yang
terjadi adalah pihak yang satu tidak mengetahui apa yang diketahui pihak yang lain.
Sedang dalam gharar atau tagrir, baik pihak yang satu dengan yang lainnya sama-sama
tidak mengetahui sesuatu yang ditransaksikan.
Larangan jual beli Garar dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah saw. melarang jual beli dengan cara
melempar krikil kepada barang yang dibelinya dan melarang menjual barang yang tidak
jelas rupa dan sifatnya (bai’ al-gharar).

Gharar atau disebut juga taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information
karena adanya uncertainty to both parties (ketidak pastian dari kedua belah pihak yang
bertransaksi). Dalam tadlis, yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui apa yang
diketahui pihak B (unknown to one party). Sedangkan dalam taghrir, baik pihak A
maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang
ditransaksikan (uncertain to both parties). Gharar ini terjadi bila kita merubah sesuatu
yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain). Contoh: Sebagai
karyawan, kita menandatangani kontrak kerja di suatu perusahaan dengan gaji Rp.
1.100.000,-/bulan. Kontrak ini bersifat pasti dan mengikat kedua belah pihak, sehingga
tidak boleh ada pihak yang merubah kesepakatan yang sudah pasti itu menjadi tidak pasti.
Misalnya merubah sistem gaji Rp. 1,1 juta/bulan tersebut menjadi sistem bagi hasil dari
keuntungan perusahaan. Hal yang sama juga berlaku bagi kontrak jual-beli dan sewa-
menyewa.
Sebagaimana dalam tadlis, maka gharar dapat juga terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni:
i Kuantitas;
ii Kualitas;
iii Harga; dan
iv Waktu Penyerahan
Bila salah satu (atau lebih) dari faktor-faktor di atas dirubah dari certain menjadi
uncertain, maka terjadilah gharar.
Gharar dalam kuantitas terjadi dalam kasus ijon, di mana penjual menyatakan akan
membeli buah yang belum nampak di pohon seharga Rp X. Dalam hal ini terjadi
ketidakpastian mengenai berapa kuantitas buah yang dijual, karena memang tidak
disepakati sejak awal. Bila panennya 100 kg, harganya Rp X. Bila panennya 50 kg,
harganya Rp X pula. Bila tidak panen, maka harganya Rp X juga.
Contoh gharar dalam kualitas adalah seorang peternak yang menjual anak sapi yang
masih dalam kandungan induknya. Dalam kasus ini terjadi ketidakpastian dalam hal
kualitas objek transaksi, karena tidak ada jaminan bahwa anak sapi tersebut akan lahir
dengan sehat tanpa cacat, dan dengan spesifikasi kualitas tertentu. Bagaimanapun
kondisi anak sapi yang nanti akan keluar dari induk sapi itu (walaupun terlahir dalam
keadaan mati misalnya) harus diterima oleh si pembeli dengan harga yang sudah
disepakati.
Gharar dalam harga terjadi bila misalkan bank syariah menyatakan akan memberi
pembiayaan murabahah rumah 1 tahun dengan margin 20% atau 2 tahun dengan margin
40%, kemudian disepakati oleh nasabah. Ketidakpastian terjadi karena harga yang
disepakati tidak jelas, apakah 20% atau 40%. Kecuali bila nasabah menyatakan “setuju
melakukan transaksi murabahah rumah dengan margin 20% dibayar 1 tahun”, maka
barulah tidak terjadi gharar.
Contoh gharar dalam waktu penyerahan terjadi bila seseorang menjual barang yang
hilang misalnya, seharga Rp X dan disetujui oleh si pembeli. Dalam kasus ini terjadi
ketidakpastian mengenai waktu penyerahan, karena si penjual dan pembeli sama-sama
tidak tahu kapankah barang yang hilang itu dapat ditemukan kembali.
Dalam keempat bentuk gharar di atas, keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat
sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak. Di
kemudian hari yaitu ketika keadaannya telah jelas, salah satu pihak (penjual atau
pembeli) akan merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.
b) Ihtikar (Penimbunan barang)
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian
menyimpannya, sehingga barang tersebut berkurang dipasaran dan mengakibatkan
peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain
dengan kelangkaannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain
penimbunan mendapatkan keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang
lain. Larangan menimbun harta juga terdapat dalam Hadis
Diriwayatkan dari Ma’mar bin ‘Abdillah r.a., dari Rasulullah saw.: beliau bersabda,
“Barang siapa menimbun (barang pokok), dia bersalah (berdosa)”.
c) Rekayasa permintaan (Bai‘an Najsy)

Rekayasa permintaan yaitu produsen atau pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-
olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk tersebut
akan naik. Dasar hukum terhadap larangan bai’an najsy terdapat dalam Hadis Nabi:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a.: Rasulullah saw melarang najsy (penipuan yaitu
menawar tinggi dengan maksu membeli, tetapi untuk menaikkan penawaran orang lain).
d) Riba
Riba adalah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang tidak dapat
terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syara’ pada waktu akad-akad, atau disertai
mengakhirkan dalam tukar menukar atau hanya salah satunya.
Dasar hukum tentang larangan riba sangatlah banyak baik dalam al-Qur’an maupun
Hadis Nabi, diantaranya adalah sebagai berikut:
Surat Al-Baqarah ayat 275
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
Hadis dari Jabir Diriwayatkan dari Jabir r.a.: Rasulullah saw. Mengutuk pemakan riba,
orang yang memberi makan (keluarganya) dengan harta riba, panulis riba, dan kedua
saksi riba. Beliau bersabda, “Semua itu (hukumnya) sama”
Riba dibagi menjadi 3 bagian pokok yaitu:

 Riba Fadhl
Riba yang berlaku dalam jual beli yang di dasarkan pada kelebihan pada salah
satu harta sejenis yang diperjual belikan dengan ukuran syara’yang dimaksud
dengan ukuran syara’ adalah timbangan atau takaran tertentu.
Riba Fadl disebut juga riba buyu’ yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang
sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama
kuantitasnya (sawa-an bi sawain) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi
yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi
kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak,
kedua pihak, dan pihak-pihak lain.

 Riba Nasi’ah
Riba nasiah merupakan jenis transaksi riba yang paling ekstrim akan
keharamannya dan kezhalimannya yaitu jual beli yang meliputi pertukaran
takaran makanan tertentu dengan takaran tertentu sampai waktu tertentu, ataupun
tidak secara langsung sedangkan menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam buku ”
Garis-garis Besar Fiqih ” mendefinisikan bahwa riba nasiah adalah tambahan
yang harus diberikan oleh orang yang berhutang sebagai imbalan dari
perpanjangan waktu pembayaran utangnya.
Riba Nasi’ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang-
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu
bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman).
Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban,
hanya karena berjalannya waktu.

Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi


yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang
diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghunmu
(untung) muncul tanpa adanya al ghurmi (resiko), hasil usaha (al kharaj) muncul
tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan
berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan
rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk
kezaliman1. Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi’ah, yakni terjadi
perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat uncertain (tidak pasti) menjadi certain
(pasti). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini,
dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan
pihak-pihak lain. Pendapat Imam Sarakhzi akan memperjelas hal ini.

“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut” (Imam
Sarakhsi dalam al-Mabsut, juz. XII., hal.109).

Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran


bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dll. Bank sebagai
kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang
besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and
predetermined rate). Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak
mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis
selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung, yang besarnya tidak dapat
ditentukan dari awal. Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman
merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu
diharamkan.

 Riba Qardh
Merupakan salah satu jenis riba di mana seseorang meminjamkan
beberapa dirham kepada yang lain, dan mensyaratkan kepada pihak
yang dipinjami untuk mengembalikan lebih besar dari pada yang
telah dipinjaminya, atau mengembalikan dengan sesuatu yang lebih
baik dan lebih sempurna atau juga pihak yang meminjamkan uang
untuk menuntut kepada pihak yang dipinjami untuk memanfaatkan
rumahnya, ataupun yang lain.

Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena
si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah
ditetapkan2. Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaedah “Kullu
Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat
adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan
meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, transaksi yang dari
semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh dirubah menjadi
transaksi yang bermotif bisnis.

Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi’ah;
dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir
Qurtuby menjelaskan:

“Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan
berkata kepada para debitur : “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda
pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur harus menambah
jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu
pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru.” (Tafsir Qurtubi, 2/
1157). Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam
pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh
tagihannya.

Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat
diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl
dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara
tunai. Riba nasi’ah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan
pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Riba jahiliyah dapat ditemui dalam
transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
e) Perjudian (Maysir)
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, di mana
mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan
tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, tebak sekor bola, atau media lainnya. Pihak
yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para
pesertannya. Sebaliknya, bila dalam permainan itu kalah, maka uangnya pun harus
direlakan untuk diambil oleh pemenang.
Allah telah melarang judi (maysir) sebagaimana firma-Nya dalam surat Al-Ma’idah ayat
90 Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
f) Suap-menyuap (Risywah)
Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain
untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suap dilarang karena suap dapat
merusak sistem yang ada di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan
sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan
dibandingkan yang tidak membayar.
Allah telah melarang pebuatan risywah atau suap-menyuap sebagaimana dalam al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

c. Tidak sahnya (lengkap) akadnya


Rukun dan Syarat
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition),
misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual-beli
tidak akan ada.
Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi)
ada 3 (tiga), yaitu:
a. Pelaku
b. Objek
c. Ijab-Kabul

Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jualbeli), penyewa-pemberi sewa (dalam
akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upah mengupah),
Dalam kaitannya dengan kesepakatan ini, maka akad dapat menjadi batal bila terdapat:
a. Kesalahan/kekeliruan obyek;
b. Paksaan (ikrah)
c. Penipuan (tadlis)

Bila ketiga rukun di atas terpenuhi, maka transaksi yang dilakukan sah. Namun bila
rukun di atas tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih), maka transaksi menjadi batal.
Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah/lengkap adalah syarat.
Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition).
Selain rukun yang umum yang tiga di atas, ada lagi rukun khusus untuk akad-akad
tertentu. Misalnya dalam akad syirkah, tiga rukun umum di atas ditambah lagi dengan
satu rukun khusus, yaitu nisbah. Begitu pula dengan akad lainnya, ada juga tambahan
rukun khususnya. Contohnya adalah bahwa pelaku transaksi haruslah orang yang cakap
hukum (mukallaf). Bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi, maka rukun
menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak). Demikian
menurut Mazhab Hanafi.
Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Di lain pihak, keberadaan
syarat tidak boleh:
a. Menghalalkan yang haram;
b. Mengharamkan yang halal;
c. Menggugurkan rukun;
d. Bertentangan dengan rukun;atau
e. Mencegah berlakunya rukun.

Suatu transaksi tidak masuk kategori haram li gairihi maupun la tazlimuna wa la


tuzlamun, belum tentu halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram
bila akad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak
sah dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu atau lebih faktor-faktor
berikut:
1) Terjadi ta‘alluq (jual beli bersyarat)
Ta‘alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana berlakunya akad
pertama tergatung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak
terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada pada akad) yaitu abjek akad.
Adapun dasar hukum larangan jual beli bersyarat, sebagaimana dalam Hadis yang
diriwayatkan Al-Thabarani
Rasulullah saw. melarang jual beli dengan syarat.
Terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling mengkaitkan
maka berlakunya akad satu tergantung pada akad yang kedua.

Contoh A menjual mobil seharga 120 juta secara cicilan kepada B


dengan syarat bahwa B harus kembali menjual mobilnya tersebut kepada
A secara tunai seharga 100 juta. Transaksi seperti ini haram, karena ada
persyaratan bahwa A harus bersedia merjual mobil kepada B asalkan B
kembali menjual mobil tersebut kepada A. Dalam kasus ini disyaratkan
bahwa akad satu berlaku efektif bila akad dua dilakukan ,penerapan syarat
ini mencegah terpenuhinya rukun,dalm fiqh kasus ini disebut bay’
al–’inah.

2) Two in in one (safqatain fi al-safqah)


Two in one adalah kondisi di mana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus,
sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus
digunakan/berlaku. Dalam terminologi fikih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi
al-shafqah.
Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor di bawah ini terpenuhi:
a. Objek sama
b. Pelaku sama
c. Jangka waktu sama
Bila satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan
demikian akad menjadi sah.
Contoh dari two in one adalah transaksi lease and purchase (sewa-beli). Dalam transaksi
ini, terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku: akad
beli atau akad sewa. Karena itulah maka transaksi sewa-beli ini diharamkan.

BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan
Uraian mengenai identifikasi transaksi yang terlarang dalam Islam ini memberikan gambaran
kepada kita bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk
memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah. Upaya untuk ‘mensyariahkan’
praktek perbankan konvensional ini memerlukan suatu perangkat ilmu fikih tertentu. Dua bab
berikut akan memberikan ringkasan ilmu fikih tersebut. Dalam bab 4, kita akan membahas dua
kerangka teori besar dalam menganalisis persoalan fikih muamalah, yakni teori pertukaran dan
teori percampuran. Dalam bab selanjutnya (bab 5) kita akan mempelajari akad-akad (kontrak)
yang dikenal dalam fikih Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Saefuddin, AM. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam. Media Dakwah: Jakarta 1984

Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga.

Muhammad, 2014, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Anda mungkin juga menyukai