Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH AGAMA ISLAM

“JUAL BELI”

Pembimbing : Bapak Abdul Malik

Oleh :
1. Adinda Ike R. (01)
2. Djuliana Setiyasari (12)
3. Hafiidz Rizky P. (13)
4. Hanifah Azkiyatunnisa (14)
5. Miftahul Rohman (19)
6. Valdi Oktavia R. (32)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena atas limpahan rahmat-Nya

kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan dan sesuai dengan

harapan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Abdul Malik sebagai guru

sementara bidang studi Pendidikan Agama Islam yang telah membantu memberikan arahan

dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan

karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran

untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat dan

membantu siapa pun yang membutuhkannya.


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. JUAL BELI

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

2. Rukun dan Syarat Jual Beli

3. Macam-macam Jual Beli

4. Bentuk Jual Beli yang Dilarang

5. Unsur-unsur Gharar dalam Jual Beli

B. KHIYAR

1. Pengertian dan Jenis Khiyar

2. Hukum Khiyar

3. Rukun Khiyar

4. Hikmah Aturan Khiyar

5. Faktor Yang Menghalangi Pembatalan Khiyar dan Pengembalian Barang

C. RIBA

1. Pengertian Riba

2. Hukum Riba
3. Jenis-Jenis Riba

4. Cara Menghindari dan Hikmah Dilarangnya Riba

BAB III : PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Allah SWT. menjadikan kita sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial adalah

makhluk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa

bantuan orang lain. Ini artinya kita harus melakukan interaksi atau hubungan dengan

seksama. Kita perlu hidup tolong menolong dalam segala urusan hidup. Dengan cara

demikian, kehidupan masyarakat menjadi teratur, hubungan yang satu dengan yang

lainnya menjadi lebih baik.

Namun demikian, sifat buruk seringkali menghinggapi diri kita. Contohnya

adalah sifat tamak. Sifat tamak mendorong kita selalu mementingkan diri sendiri dan

lupa terhadap kepentingan orang lain, bahkan masyarakat pada umumnya. Sifat inilah

yang dapat membuat hidup kita menjadi gelisah, tidak nyaman, dan tidak tentram.

Tamak bisa mendorong kita untuk mengambil alih hak orang lain. Oleh karena itu

agama memberi peraturan yang sebaik baiknya tentang bagaimana kita melakukan

interaksi dengan manusia yang lainnya. Hukum ysng mengstur hubungan antar

sesama manusia ini di sebut mu amalah. Tujuan di adakannya aturan ini adalah agar

tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik dan saling menguntungkan.

B. TUJUAN

Mu’amalah dalam kamus bahasa Indonesia artinya hal hal yamg termasuk

urusan kemasyarakatan [pergaulan, perdatan dan sebagainya]. Sementara dalam fiqh

islam berarti tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan

carayang di tempunya, seperti jual beli, sewa menyewa, upah mengupah,pinjam


meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.Jadi, kami membuat

makalah ini untuk keperluan muamalah sesama manusia sehingga dapat menjadi

panduan bagi pembacannya.


BAB II

PEMBAHASAN

A. JUAL BELI

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

Dalam bahasa Arab, jual beli disebut dengan al-bai, dari segi bahasa berarti

memindahkn hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti (Abdul Aziz

Muhammad Azzam, 2010), atau menukar suatu barang dengan barang yang lain

(barter). Sedangkan menurut istilah, al-bai’ memiliki banyak pengertian sebagaimana

dikemukakan oleh para ulama: Pertama: Imam hanafi (Mashab Hanafi); jual beli

adalah suatu harta dengan harta yang lain, yang kedanya boleh di-tasharruf-kan

(dikendalikan), dengan ijab dan qobul menurut cara yang diizinkan oleh syariat.

Ketiga: Abu Bakr bin Muhammad al-husaini; jual beli adalah; kontrak pertukaran

harta benda yang memberikan seseorang hak memiliki sessuatu benda atau manfaat

untuk selama-lamanya. Keempat: Al-Qlayubi; akad saling mengganti dengan harta

yang berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tmpo

waktu dan selamannya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah (bukan Hibah,

Sadaqah, Hadiah, Wakaf).

Jual beli merupakan sala satu aktifitas yang banyak dilakukan oleh ummat

manusia, bahkan hampir tidak ada seorangpun di dunia ini yang terbebas dari aktifitas

jual-beli, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Dasar hukum

disyari’atkannya jual-beli dapat dijumpai dalam beberapa ayat al-Qur’an, salah

satunya yaitu;
Artinya : “Sesungguhnya, pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaiton

dan syaiton itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

2. Rukun dan Syarat Jual Beli

Dalam agama islam, rukun akad jual beli adalah suatu hal wajib terpenuhi

sebelum anda melakukanproses interaksi untuk menentukan tingkat

keabsahannya. Berikut adalah beberapa contoh dari rukun dalam kegiatan jual beli

a. Penjual dan Pembeli

Dalam akad, harus ada penjual dan pembeli agar aktivitas perdagangan bisa

dilakukan secara sah. Selain itu, akan lebih baikjika akad dilakukan tetap

muka secara langsung untuk mencegah rasa ketidakpuasan atau salah paham

yang bisa muncul.

b. Objek

Objek akad dapat berbentuk barang ataupun jasa yang bisa diterima nilainya

dan terjamin halal. Misalnya akad jual beli rumah, baju dan makanan.

c. Pengucapan Akad

Pengucapan akad berisikan tentang penyataan bahwa penjual menyetujui

kesepakatan dari pembeli bahwa bersedia untuk memberikan barang yang

dijual untuk ditukar dengan alat transaksi seperti uang atau harta lain.

Selain rukun, setidaknya ada 3 syarat utama yang harus dipenuhi akad jual beli

dalam Isla. Ketiga syarat tersebut antara lain :

a. Keikhlasan penjual dan pembeli

Keikhlasan dalam akad, semua pihak yang terlibat baik penjual maupun

pembeli harus ikhlas dalam melakukan transaksi. Wajib hukumnya untuk


menegaskan bahwa tidak ada pihak yang terpaksa dalam aktifitas tersebut.

Kalau ada salah satu pihak yang merasa tidak ikhlas, maka kegiatan jual

beli dapat dianggap tidak sah.

b. Penjual dan pembeli memenuhi syarat

Kegiatan jual beli wajib dilakukan oleh :

 Orang yang memiliki akal.

 Orang yang telah terbebani syariat atau mukallaf.

 Bukan merupakan hamba sahaya para saudagar dan telah merdeka atas

keinginannya sendiri

 Sudah cukup umur dan mengerti perihal harta

c. Halal

Dalam contoh akad jual beli, objek yang diperjualbelikan harus bersifat

halal dan tidak dilarang oleh agama Islam.

3. Macam-Macam Jual Beli

Secara gratis Islam, dikenal beberapa bentuk dan jenis jual beli, adapun secara

gelobalnya jual beli itu dibagi kedalam dua begian besr yaitu:

a. Jual beli shahih

Jual beli sahih yaitu apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi

rukun dan syarat yang telah ditentukn, bukan milik orang lain, dan

tidak tergantung pada hak khiyar lagi. jual beli yang telah memenuhi

rukun dan syarat adalah boleh atau sah dalam Agama Islam, selagi

tidak terdapat padanya unsur-unsur yang dapat membatalkan

kebolehan kesahannya. Adapun hal-hal yang menggururkan kebolehan

atau kesalahan jual beli pada umumnya adalah sebagai berikut.

1. Meyakiti si penjual
2. Menyempitkan gerakan pasar

3. Merusak ketentuan umum

b. Jual beli yang batal atau fasid

Batal adalah tidak terwujudnya pengarauh amal pada perbuatan di

dunia karena melakukan perintah syara’ dengan meningglkan syarat dan

rukun yang mewujudkannya, jual beli yang batal adalah apabila salah satu

rukunnya dan syaratnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan

sifatnya tidak disyaratkan, seperti jualbeli yang dilakukan anak kecil,

orang yang gila atau barang yang diperjual belikan adalah barang-barang

yang diharamkan syara’ seperti bangkai, darah, babi dan khamr. Jual beli

yang batal ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya adalah :

1. Jual beli buah yang belum muncul di pohonnya

Memperjual belikan yang putiknya belum muncul di

pohonnya, atau anak sapi yang belum ada, sekalipun di perut

indukya telah tiada.

Maksudnya adalah melarang memperjual belikan yang

putiknya belum muncul di pohonnya, atau anak sapi yang belum

ada, sekalipun diperut induknya telah ada karena jual beli yang

demikian adalah jual beli yang tidak ada, atau belum pasti jumlah

maupun ukurannya.

2. Menjual barang yang tidak bisa diserahkan pada pembeli

Seperti menjual barang yang hilang atau burung peliharaan yang

lepas dan terbang di udara atau juga seperti mnjual ikan yang

masih ada di dalam air yang kuantitasnya tidak diketahui.


3. Jual beli yang mengandung unsur penipuan

Jual beli yang mengandung unsur penipuan yang pada lahirnya

baik, tapi di balik itu terdapat unsur penipuan, sebagaimana sabda

Rasulullah SAW. Contohnya yang lain juga dikategorikan jual beli

yang mengandung unsur penipuan adalah jual beli Al-Mazhabanah

(Barter yang diduga keras tidak sebanding), contohnya menukar

buah yang basah dengan buah yang kering, karena yang

dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli tidak seimbang.

4. Jual beli takaran dalam Islam

Hendaklah apabila seseorang jika melakukan jual beli dengan cara

menggunakan takaran atau timbangan harus sesuai dengan apa

yang telah diakadkan kepada pihak pembeli atau menggunakan

takaran yang sah, jual beli ini dapat dilihat dalam firman Allah Q.S

Al-Muthafiffin ayat 1-3 sebagai berikut :

Maksud ayat di atas adalah Allah melarang keras kepada orang-

orang yang melakukan transaksi jual beli menggunakan takaran

dan timbangan yang tidak sesuai dengan apa yang diakadkan atau
tidak sesuai dengan kenyataannya, maksudnya orang yang curang

di sini Ialah orang yang curang dalam menakar dan menimbang.

4. Macam-Macam Jual Beli yang Dilarang

Jual beli yang batil adalah jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya

tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan,

adapun jual beli yang dilarang antara lain :

a. Bai’ al-Talji’ah (‫)بيع التلجئة‬

Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang

penjual yang dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya

diambil oleh orang lain. Atau harta yang masih dalam status sengketa sehingga

agar tidak mengalami keruguan, harta tersebut dijual kepada pihak lain.

Pilihan untuk menjual barang dilatarbelakangi oleh tujuan untuk

menyelamatkan hartanya atau mendapatkan keuntungan lebih sebelum harta

dibagi dengan pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini termasuk jenis jual

beli yang dilarang dalam Islam, karena dapat menimbulkan ketidakpastian,

sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan kerugian pada salah satu

pihak, terutama pihak pembeli. Bahkan dalam fikih Islam dikenal istilah “al-

Hajru” yaitu; pencegahan atau menahan seseorang untuk melakukan transaksi

atau membelanjakan hartanya (termasuk menjual) karena dianggap belum

cakap demi menjaga keselamatan harta benda tersebut. Pada dasarnya “al-

Hajru” ini sering dikaitkan dengan persoalan ketidakcakapan seseorang dalam

melakukan transaksi jual-beli jika pelakunya masih terlalu kecil, gila atau

dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transaksi

secara sadar dan bertanggung jawab serta dapat mengakibattkan keruguan bagi
yang bersangkutann maupun pihak lain. Namun “al-hajru” juga dapat

diterapkan dalam kasus yang berbeda untuk menghindari kerugian bagi pihak

lain maupun yang bersangkutan.

Diantara hikmah disyari’atkannya hal ini adalah; untuk menjaga hak orang

lain, misalnya; orang yang sakit parah dilarang menjual hartanya melebih 1/3

hartanya, guna menjaga hak ahli warisnya. Atau salah seorang ahli waris

dilarang menjual harta warisan sebelum harta warisan tersebut dibagikan

kepada ahli waris lain yang masih memiliki hak kewarisan, dan lainnya.

Hikmah yang lain adalah untuk menjaga haknya sendiri, misalnya; anak yang

masih kecil atau orang gila, mereka harus dicegah untuk melakukan transaksi

jual beli untuk menjaga hartanya dari kepunahan.

b. Jual Beli dengan Sistem Uang Hangus (‫)بيع العربون‬

Jual-beli ‘Urbun (bai’ al-‘Urbun) adalah suatu sistem atau bentuk jual beli

dimana pembeli membayar sejumlah uang (uang muka) untuk menunjukkan

keseriusan dalam melakukan transaksi jual beli. Jika jual beli tersebut

dilanjutkan, maka uang muka tersebut akan menjadi bagian dari harga barang

yang diperjual belikan, sehingga pembeli hanya menggenapkan atau

melengkapi kekurangan dari harga barang. Namun jika transaksi jual beli

dibatalkan, maka keseluruhan uang muka menjadi milik calon penjual dan

sedikitpun tidak dikembalikan kepada calon pembeli. Dalam istilah yang lebih

populer jenis jual beli seperti ini sering disebut dengan “jual beli dengan

sistem uang hangus”. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah

saw melarang jenis jual beli ini, sebagaimana dijelaskan oleh para sahabat;

“Naha Rasulullah saw ‘an bai’ al-‘Urbun” (Rasulullah saw telah melarang jual

beli ‘Urbun). Jenis jual beli ini termasuk yang diharamkan karena penuh
dengan kezaliman, rekayasa serta mengambil hak orang lain secara bathil dan

dapat merugikan pihak lain. Sebab pada prinsifnya uang muka merupakan hak

milik pembeli, sehingga jika terjadi pembatalan transaksi karena faktor-faktor

tertentu, maka uang muka harus dikembalikan kepada calon pembeli, karena

pembeli tidak mengambil sedikitpun dari barang yang sedang ditransaksikan.

Namun jika pembatalan itu dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang

dibenarkan dan dapat merugikan pihak calon penjual, maka calon penjual

dapat meminta kompensasi yang wajar menurut kesepakatan dan keridhaan

kedua belah pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan

dikhianati. Hal ini juga berlaku pada bisnis transportasi yang banyak

ditemukan dewasa ini, seperti; seseorang memesan travel beberapa hari

sebelumnya untuk tujuan tertentu, namun sehari atau pada saat jadwal

pemberangkatan tiba si calon penumpang membatalkan secara sepihak dengan

alasan tertentu. Maka pihak pemilik jasa travel merasa dirugikan oleh calon

penumpangnya karena bangku yang sudah dipesan tidak dapat diberikan

(dijual) kepada pemesan lainnya karena sudah terlanjur dipesan oleh calon

penumpang pertama. Konsekwensinya adalah terjadi kekosongan yang

mengakibatkan kerugian bagi pemilik jasa travel tersebut. Terhadap kasus

seperti ini, pemilik travel dapat mengambil sebagian dari uang muka (seperti;

25% atau 50%) sebagai kompensasi terhadap kerugian yang dideritanya. Atau

pihak pemilik jasa travel dapat membuat regulasi (peraturan) yang

ditempelkan atau dipublikasikan sehingga diketahui oleh para calon

penumpang, bahwa jika terjadi pembatalan pada hari pemberangkatan maka

akan dipotong sebesar 25% atau lebih dari uang muka atau dari tarif yang

telah ditentukan.
c. Bai’ Ihtikar (‫)بيع اإلحتكار‬

Jual beli Ihtikar adalah salah satu jenis jual beli yang dilarang dalam Islam,

yaitu suatu jenis jual beli dengan sistem penimbunan. Dimana seorang penjual

(pedagang) sengaja memborong barang yang dibutuhkan oleh masyarakat

dalam jumlah yang sangat banyak lalu menimbunnya, sehingga menyebabkan

kelangkaan barang di pasaran, yang pada akhirnya mengakibatkan harga

barang melambung tinggi sehingga mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat

dan lemahnya daya beli mereka. Motif utama dari pelaku jual beli ini adalah

untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, karena biasanya mereka

akan menjual barang timbunannya setelah harga melonjak naik di pasaran.

Oleh sebab itu Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini dan dikategorikan

sebagai bentuk kesalahan dan kezhaliman kepada orang lain. Rasulullah saw

bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Ma’mar;

‫ َقاَل َرُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َمِن‬: ‫ َك اَن َسِع ْيُد اْبُن اْلُمَس َّيِب ُيَح ِّد ُث َأَّن َم ْع َم ًرا َقاَل‬: ‫َع ْن َيْح َي َو ُهَو اْبُن َسِع ْيٍد َقاَل‬

‫ – رواه مسلم و أحمد و أبو داود‬.…‫اْح َتَك َر َفُهَو َخ اِط ٌئ‬

“Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab

memberitakan bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang

siapa yang menimbun barang, maka ia telah melakukan kesalahan (berdosa)

…”(HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawu).

Dalam prakteknya, jenis jual beli ini sering kali terjadi di tengah masyarakat

baik yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat (sembako) maupun

kebutuuhan-kebutuhan lainnya, terutama dalam momen-momen tertentu

seperti lebaran atau pergantian tahun, atau bahkan ketika berhembusnya

wacana kenaikan harga barang oleh pemerintah. Sehingga tidak jarang karena
kezhaliman ini, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng,

bumbu-bumbu dapur, bensin, solar, hingga air mineral.

Praktek seperti ini, disamping merupakan bentuk egoisme dan kezhaliman

terhadap masyarakat luas, namun juga salah satu bentuk kebiadaban

(kezhaliman) dan dosa kemanusiaan yang sangat besar.

5. Unsur-Unsur Gharar dalam Jual Beli

a. Pengertian Gharar

Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan

pihak lain. Para ulama fiqih mengemukakan beberapa definisi gharar, yaitu :

 Imam Al-Qarafi mengemukakan gharar merupakan suatu akad yang

tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak,

seperti melakukan jual beli ikan di dalam air.

 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa gharar adalah objek akad

yang tidak mampu diserahkan, naik objek itu ada atau tidak, seperti

menjual sapi yang sedang lepas.

b. Bentuk-bentuk Jual Beli Gharar

Menurut ulama fiqih jual beli gharar yang dilarang adalah :

 Tidak ada kemampuan menjual untuk menyerahkan objek akad pada

waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada.

 Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual.

Apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan

kepada pembeli, maka pembeli belum boleh menjual barang itu kepada

pembeli lain.
 Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang

dijual.

 Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual.

 Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar.

 Tidak ada ketegasan bentuk transaksi, yaitu dua macam atau lebih

yang berbeda dalam satu objek akad tanpa menegaskan bentuk

transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad.

 Tidak ada kepastian objek akad, karena ada dua objek akad yang

berbeda dalam satu transaksi.

 Kondisi objek akad tidak dapat dijamin kesesuainnya dengan yang

ditentukan dalam transaksi.

B. KHIYAR

1. Pengertian dan Jenis Khiyar

Secara bahasa, khyiar berarti memilih menyisihkan atau menyaring. Secara

kebahasaan, ini berasal dari kata khair yang berarti baik. Dalam pengertian

bahasa, khiyar dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik dari

dua hal (atau lebih) untuk dijadikan pilihan. Sedangkan menurut istilah, khiyar

adalah hak yang dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian jual beli untuk

menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian atau membatalkannya.

Jenis-jenis khiyar antara lain adalah :

a. Khiyar Majlis

Khiyar ini mengatur proses transaksi di lokasi akad jual beli. Kedua pihak

memiliki hak untuk memilih. Selain itu juga dapat meneruskan jual beli

yang telah disepakati atau di akadkan dalam majelis tersebut. Rasulullah


SAW bersabda: “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli,

maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama

mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak

memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun, jika salah satu

pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka

jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli

itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual

belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR Bukhari dan Muslim).

b. Khiyar Syarat

Ini merupakan hak memilih berdasarkan persyaratan. Saat akad jual beli,

kedua pihak dapat memilih untuk meneruskan atau membatalkan proses

transaksi jual beli denan batasan waktu. Setelah waktu yang ditentukan

tiba, maka proses transaksi jual beli itu wajib dipastikan apakah dilanjut

atau tidak. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu menjual maka

katakanlah dengan jujur dan jangan menipu. Jika kamu membeli sesuatu

maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela maka

ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR

Ibnu Majah).

c. Khiyar Aib

Ini dilakukan jika ada cacat pada barang. Pembeli bisa membatalkan atau

menerusan akad jual beli jika ada kecacatan (aib) pada barang yang

diperjualbelikan. Ini terjadi jika pembeli tidak mengetahui adanya

kecacatan pada saat akad. Jika pembeli mengetahui cacat barang saat telah

berpisah, dia memiliki hak untuk mengembalikannya pada penjual dan

meminta ganti barang yang lebih baik atau meminta kembalikan uang
sesuai dengan perbandingan kerusakannya. Jika terjadi perselisihan,

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila penjual dan pembeli berselisih maka

perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli

memiliki hak pilih.” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad).

d. Khiyar Ru’yah

Khiyar ru'yah adalah hak pembeli dalam membatalkan atau meneruskan

transaksi jual beli yang disebabkan objek transaksi belum tampak saat

akad dilakukan. Pada khiyar ini, pembeli belum dapat meneliti barang

yang dibelinya. Nabi Muhammad bersabda: ”Siapa saja yang membeli

sesuatu yang belum dilihatnya, maka ia berhak khiyar bila telah

melihatnya.” (H.R. At-Tirmizi).

2. Dasar Hukum Khiyar

Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan

pembeli

boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang

mengataka kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau

terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).

Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya

dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang

bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syari’at Islam

bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam

transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu

transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar menurut ulama fiqih

adalah disyari‟atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang

melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.


3. Rukun Khiyar

Rukun dan syarat Khiyar antara lain adalah :

 Adanya penjual dan pembeli (Pelaku Khiyar)

 Adanya barang yang dikhiyarkan

 Adanya akad dalam pembayaran

 Shigat (Lafadz akad yang jelas)

4. Hikmah Aturan Khiyar

Ada beberapa hikmah yang bisa diperoleh saat menerapkan aturan khiyar dalam

perdagangan, seperti:

 Dapat mempertegas pentingnya akad dalam jual beli

 Membuat kenyamanan dan kepuasan dari masing-masing pihak

 Penipuan dalam transaksi akan dapat terhindarkan, karena adanya

kejelasan dan hak yang jelas

 Penjual dan pembeli dapat jujur dan transparant melakukan proses

transaksi

 Menghindarkan perselisihan dalam proses jual beli

 Adanya khiyar sangat menjaga proses transaksi jual beli itu terlaksana

dengan baik

 Mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam

transaksi jual beli

 Menjamin kesempurnaan dalam proses transaksi

 Khiyar ini juga mengajarkan bahwa dalam sektor apapun harus

dilaksanakan sesuai dengan aturan yang sesuai dengan aturan Allah SWT.

5. Faktor Yang Menghalangi Pembatalan Khiyar dan Pengembalian Barang

a. Keridhoan Pembeli
Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik

dengan mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk lainnya.

Misalnya; memutuskan untuk membeli buah yang sudah diberitahukan

kecacatannya pihak penjual. Misalnya sudah layu atau ada yang rusak

sebagain, lalu pembeli rela membelinya setelah terjadi penyesuaian harga,

maka pembatalan dan pengembalian barang tidak dapat dilakukan karena tidak

ada hak khiyar ‘aib.

b. Menggugurkan Khiyar

Ini bisa dilakukan baik secara langsung atau jika ada petunjuk lainnya.

Seperti jika ada ucapan seorang pembeli yang mengatakan, ‘Aku telah

menggugurkan khiyar (hak pilih) ku’, maka orang tersebut tidak bisa

membatalkan akad atau mengembalikan barang. Atau jika setelah mengetahui

adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan barang dalam

jangka waktu yang lama atau bahkan barang yang dibelinya sudah berubah

wujud atau habis karena telah dikonsumsi.

c. Barang Rusak atau Berubah Bentuk karena Perbuatan Pembeli

Misalnya membeli gelas kemudian pecah atau retak karena terjatuh

oleh pihak pembeli, atau sebagian barang ada yang tidak utuh atau hilang

akibat kelalaian pembeli. Biasanya ini akan menyebabkan perselisihan antara

penjual dan pembeli. Jika pembeli dan penjual berselisih tentang hal ini,

sementara transaksi sudah selesai dilakukan serta tidak ada bukti yang

menguatkan salah satunya, maka menurut para ulama’ pernyataan penjualah

yang dimenangkan atau yang diterima setelah disumpah terlebih dahulu.

Hal ini didasarkan pada sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud ra saat berkata

bawha Rasulullah SAW bersabda: “Apabila penjual dan pembeli berselisih,


maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli

memiliki hak pilih.“ (HR At-Tirmidzi dan Ahmad). Dalam hadis lain dari

Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya mengatakan bahwasanya

Rasulullah SAW bersabda dalam khutbahnya: “Mendatangkan bukti (al-

Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus bersumpah bagi yang tertuduh.”

(HR at-Tirmidzi).

C. RIBA

1. Pengertian Riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan

(azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-

irtifa'). Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang

dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Dikalangan

masyarakat sering kita dengar dengan istilah rente, rente juga disamakan dengan

“bunga” uang. Karena rente dan bunga sama-sama mempunyai pengertian dan

sama-sama haram hukumnya di agama Islam.

Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank

atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk

usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju

dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad

kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama

sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Abu Zahrah dalam kitab

Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap

tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi

atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna

keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan


mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan

mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.

2. Hukum Riba

Dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 tersebut dijelaskan bahwa Allah

SWT memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Periba itu hanya mencari

keuntungan dengan jalan riba dan pembangkang sedekah mencari keuntungan

dengan jalan tidak mau membayar sedekah. Oleh karena itu, hukum riba ini haram

dan ditegaskan juga dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi :

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba

dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

3. Jenis-Jenis Riba

a. Riba Fadhl

Riba Fadhl adalah salah satu macam-macam riba dalam Islam yang dilakukan

dengan pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar atau takaran

yang berbeda. Begitu pun barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis
“barang ribawi.” Contoh dari riba Fadhl adalah 3 kg gandum dengan kualitas

baik ditukar dengan 4 kg gandum berkualitas buruk atau yang sudah berkutu.

b. Riba Nasi’ah

Riba Nasi'ah adalah salah satu macam-macam riba dalam Islam dengan

penangguhan, penyerahan, atau penerimaan barang ribawi dengan jenis barang

ribawi lainnya. Contoh Nasi’ah ini adalah Siti meminjam dana kepada Tina

sebesar Rp 300.000 dengan jangka waktu atau tenor selama 1 bulan, apabila

pengembalian dilakukan lebih dari satu bulan, maka cicilan pembayaran

ditambah sebesar Rp 3.000.

c. Riba Al-Yad

Riba Al Yad adalah salah satu dari macam-macam riba dalam Islam dengan

jual beli atau yang terjadi dalam penukaran. Penukaran tersebut terjadi tanpa

adanya kelebihan, salah satu pihak yang terlibat meninggalkan akad, sebelum

terjadi penyerahan barang atau harga.

Dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda: "Jangan kamu bertransaksi satu dinar

dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha

karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya: wahai

Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor

kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW “Tidak

mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung)." (HR Ahmad

dan Thabrani)

d. Riba Qard

Riba Qard adalah salah satu dari macam-macam riba dalam Islam dengan

suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang

berhutang. Contoh riba Qard adalah Hamzah memberikan pinjaman dana tunai

pada Rio sebasar Rp 1.000.000 dan wajib mengembalikan pokok pinjaman


dengan bunga sebesar Rp 1.500.000 pada saat jatuh tempo dan kelebihan dana

pengembalian ini tidak dijelaskan tujuannya untuk apa.

e. Riba Jahilliyah

Riba Jahiliyah adalah salah satu dari macam-macam riba dalam Islam dengan

hutang yang dibayar lebih dari pokoknya. Kondisi ini terjadi karena si

peminjam tidak mampu bayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Contoh

riba jahiliyah dalam Islam ini adalah Fulan meminjam Rp 700.000 pada

Fulana dengan tempo dua bulan. Pada waktu yang ditentukan, Fulan belum

bisa membayar dan meminta keringanan. Fulana menyetujuinya, tapi dengan

syarat Fulan harus membayar Rp 770.000.

4. Cara menghindari dan Hikmah Dilarangnya Riba

Cara-cara menghindari riba dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut:

a. Mengerti dan Memahami Bahaya dari Perbuatan Riba

Cara menghindari riba yang pertama ialah dengan cara memahami dan

mengerti bahaya riba dalam Islam, seperti yang sudah dijanjikan oleh Allah

SWT. didalam Al-Qur'an pada surat An-Nisa ayat 161 yang artinya "Dan

disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah

dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan

jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir

diantara mereka itu siksa yang pedih."

b. Mengalihkan atau Memindahkan Tabungan dan Kredit ke Bank Syariah

Pindahkanlah tabungan dan kredit ke bank syariah yang sudah mendapat fatwa

DSN (Dewan Syariah Nasional).

c. Milikilah sifat bersyukur


Dengan sifat bersyukur dapat menghindari rasa ingin hidup dalam kemewahan

yang akan membuat kita dengan mudah membeli sesuatu dengan cara

berhutang atau riba.

Diantara hikmah diharamkannya riba selain hikmah-hikmah umum di seluruh

perintah-perintah syariat yang berupa ujian keimanan seorang hamba dengan taat

mengerjakan perintah atau meninggalkannya adalah sebagai berikut :

a. Menjauhi dari sikap serakah atau tamak terhadap harta yang bukan miliknya

b. Menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis semangat kerja sama

atau saling tolong menolong

c. Dijauhkan dari mental pemboros, tidak mau bekerja keras, dan menimbun

harta di tangan satu pihak

d. Menghindari dari perbuatan aniaya dengan memeras kaum yang lemah

e. Mengarahkan kaum muslimin mengembangkan hartanya dalam mata

pencarian yang bebas dari unsur penipuan

f. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya.


BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN

Dalam pembahasan makalah ini dapat menyimpulkan bahwa muamalah ialah

tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang

ditentukan. Hal yang termasuk muamalah yaitu :

1. Jual beli, yaitu penukaran harta atas dasar saling rela. Hukum jual beli adalah

mubah, artinya hal tersebut diperbolehkan sepanjang sama-sama rela.

2. Menghindari riba, dalam pelaksanaan jual beli juga ada rukun jual beli yaitu

penjual dan pembeli, uang dan benda yang dibeli, lafadz ijab dan qabul.

B. SARAN

Kita sebagai umat muslim hendaknya memperhatikan hukum muamalah dan

tata cara jual beli yang sah menurut agama Islam. Dan kita juga harus memperhatikan

riba yang terkandung di dalam hal jual beli tersebut, karena terhadap hadist dan surat-

surat Al-Qur’an yang mengharapkan riba dalam Islam.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/09/20/akad-jual-beli

https://prospeku.com/artikel/jual-beli-dalam-islam---2812

https://akurat.co/wajib-dipenuhi-ini-3-syarat-sah-jual-beli-dalam-pandangan-islam

https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-dalam-islam/

https://www.99.co/id/panduan/syarat-jual-beli#:~:text=Jual%20beli%20dalam%20Islam

%20adalah,melalui%20suatu%20kompensasi%20atau%20iwad.&text=Hal%20ini%20dapat

%20dilihat%20dari,syarat%20jual%20beli%20dalam%20Islam

https://news.detik.com/berita/d-5614666/dasar-hukum-jual-beli-dalam-islam-bagaimana-

aturannya

https://www.orami.co.id/magazine/khiyar/

https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-dilarang/

https://tirto.id/apa-itu-khiyar-dalam-islam-pengertian-hukum-macam-hikmahnya-gh7m

https://hot.liputan6.com/read/4549795/5-macam-macam-riba-dalam-islam-lengkap-

penjelasan-hukum-dan-contohnya

https://www.kompasiana.com/hani63043/60c054c58ede48241d19f362/cara-menghindari-

riba-dalam-kehidupan

https://m.tribunnews.com/pendidikan/2021/09/30/apa-itu-riba-berikut-pengertian-dasar-

hukum-jenis-cara-hindari-hingga-hikmah-dilarangnya-riba?page=all
https://www.tokopedia.com/s/quran/ali-imran/ayat-130#:~:text=130.&text=Wahai%20orang

%2Dorang%20yang%20beriman,kepada%20Allah%20agar%20kamu

%20beruntung.&text=Kaum%20kafir%20membiayai%20perang%2C%20termasuk,mereka

%20peroleh%20dengan%20cara%20riba.

Anda mungkin juga menyukai