Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FILSAFAT EKONOMI

“YANG BURUK/YANG DILARANG DALAM EKONOMI”

DI SUSUN OLEH :

NASYWA AMALIA PUTRI

FEBY NURAINI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PRODI PERBANNKAN SYARIAH


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT,yang atas rahmatnya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tept pdada waktunya .adapun tema dari makalah ini
“Yang Buruk/yang dilarang dalam ekonomi”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
dosen mata kuliah filsafat ekonomi yang telah memberikan tugas terhadap kami .kami juga
ingin mengucapkan terimak kasih kepada pihak pihak yang turut membantu dalam pembuatan
makalah ini .

Kami jauh dari sempurna .dan ini merupakan langkah yang baik dari study yang
sesungguhnya .oleh karena itu,keterbatasan waktu dan kemampuan kami ,maka kritik dan saran
yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berbunga bagi saya
pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya

Kendari, 19 september 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................3

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................3

B. Rumusan masalah.........................................................................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................................................5

A. Riba...............................................................................................................................5

B. Gharar...........................................................................................................................6

C. Maysir...........................................................................................................................7

D. Dzalim..........................................................................................................................8

E. Tadlis..........................................................................................................................12

F. Subhat.........................................................................................................................17

G. Khianat........................................................................................................................19

H. Haram.........................................................................................................................21

BAB 3 PENUTUP........................................................................................................................23

A. Kesimpulan.................................................................................................................23

B. Saran...........................................................................................................................23

BAB 1

iii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam menganjurkan agar manusia berusaha untuk menghasilkan dan mendapatkan


kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu Islam sering menganggap bahwa usaha yang produktif
merupakan suatu tanggung jawab. Pada umumnya usaha dan keuntungan ekonomi yang
dilaksanakan dan diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, dianggap sebagai suatu
keharusan oleh hukum Islam (Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1991 : 11). Salah satu ajaran Islam
yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi.

Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak dan ini menunjukan bahwa perhatian Islam
dalam masalah ekonomi sangat besar. Bahkan ayat terpanjang dalam Al-Quran justru berisi
tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah atau aqidah. Nabi Muhammad SAW
menyebutkan ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Beliau menyebutkan bahwa para
pedagang atau pebisnis sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk
menguasai perdagangan. Islam adalah agama yang mudah dan syamil (menyeluruh) meliputi
segenap aspek kehidupan termasuk masalah jual beli.

Dalam mengatur kehidupan Islam selalu memperhatikan berbagai bentuk maslahat yaitu
segala sesuatu yang Allah SWT syariatkan dalam jual beli dengan berbagai aturan yang
melindungi hak hak pelaku bisnis dan memberikan berbagai kemudahan-kemudahan dalam 2
berbagai pelaksanaanya dan menghilangkan bentuk madharat yaitu segala sesuatu yang
mendatangkan bahaya dan keburukan di dalamnya (Syekh Abdurrahman AS-Sa’di, 2008 : 259).
Jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang mempunyai nilai secara
suka rela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda dan pihak yang lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan syara’ yang disepakati
(Hendi Suhendi, 1997 : 68) Jual beli merupakan suatu kegiatan yang bermasyarakat dikalangan
umat manusia, dan Islam datang memberikan peraturan dan prinsip dasar yang jelas dan tegas.
Dalam jual beli faktor kejujuran sangatlah penting, sebagai sifat yang akan menolong manusia
dari jurang kerusakan. Hal ini cukup beralasan karena pada umumnya manusia akan berusaha
mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Kegiatan tersebut wajar dan logis, akan tetapi kalau menempuh jalan yang
tidak semestinya tentu akan menjerumuskan dirinya kepada garis kebijaksanaan yang dilarang

iv
Allah. Jual beli yang dilarang hukum Islam diantaranya adalah jual beli yang mendatangkan
kemadharatan, seperti tipu muslihat (gharar) dengan cara mengurangi timbangan atau takaran
dan mencampuri barang yang berkualitas tinggi dengan barang yang rendah. Maksudnya jual
beli adalah semua jenis jual beli yang mengandung unsur kebodohohan atau penipuan. Padahal
sudah jelas Allah SWT telah melarang bagi seseorang untuk memakan harta dengan cara bathil.
3 Dewasa ini banyak beredar restoran dengan konsep makan sepuasnya alias All You Can Eat
Restaurant atau dalam bahasa beradabnya disebut Buffet. Di Restoran All You Can Eat
pelanggan dapat memilih makanan sendiri sepuas hati.

B. Rumusan masalah

1. Apa yang buruk/dilarang dalam ekonomi

2. Bagaimana yang buruk/dilarang dalam ekonomi

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Riba

Secara bahasa (etimologi), riba dalam bahasa Arab bermakna kelebihan atau tambahan (az-
ziyadah). Kelebihan atau tambahan ini konteksnya umum, yaitu semua tambahan terhadap pokok
utang dan harta. Untuk membedakan riba dengan tambahan keuntungan dari jual beli, pokok
utang dan harta (ra’sul mal) ini sendiri lantas dibagi menjadi dua yaitu: ribhun (laba) dan riba.
Ribhun (laba) didapatkan dari muamalah jual beli yang hukumnya halal.

Sedangkan riba adalah hasil dari adanya syarat tambahan pada kegiatan utang piutang
barang (kredit) yang waktu akhir pelunasannya tidak tentu. Secara makna istilah (terminologi)

v
riba adalah kelebihan/tambahan dalam pembayaran utang piutang/jual beli yang disyaratkan
sebelumnya oleh salah satu pihak. Hukum riba Pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2):275, Allah
subhanahu wata’ala berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 275). Riba dalam Islam hukumnya haram. Ada banyak efek negatif dari
riba yang dipraktikkan selama ini dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, agama samawi
semuanya melarang praktik riba.

Mendapatkan keuntungan dari riba dapat menghilangkan sikap tolong menolong, memicu
permusuhan, dan sangat menyusahkan apabila pemberi riba menentukan bunga yang sangat
tinggi. Dalam salah satu hadis Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dari Jabir Ra. ia
berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam telah melaknat orang-orang yang memakan riba,
orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan,
orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja.”
(HR. Muttafaq Alaih). Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram, serta Islam tidak
memperkenankan hal itu dipraktikkan dalam muamalah. Riba adalah usaha mencari rezeki yang
tidak dibenarkan serta dibenci Allah Subhanahu wata’ala. Jenis riba Fikih muamalah membagi
riba menjadi empat jenis, seperti ditulis dalam buku Fikh Madrasah Tsanawiyah kelas IX yakni:
1.Riba fadli 2.Riba qardi 3.Riba yad 4.Riba nasi’ah Riba fadli Adalah tukar menukar dua buah
barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang
menukarnya.

Hal yang dilarang disini adalah kelebihan (perbedaan) dalam ukuran/takaran. Riba qardi
Adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang
dihutangi. Sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam: “Semua piutang yang menarik
keuntungan termasuk riba”. (HR. Al- Baihaqi). Riba yad Adalah jual beli atau pertukaran yang
disertai penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan atau penundaan terhadap
penerimaan salah satu barang. Misalnya jual beli emas, perak dan bahan pangan yang
penyerahan barangnya ditunda sampai harga emas naik atau turun. Riba Nasi’ah Adalah tukar
menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya
disyaratkan lebih oleh penjual dengan dilambatkan. Misalnya membeli hewan, namun
pembayarannya diberi jarak waktu yang tidak menentu. Padahal hewan itu harus diberi makan
oleh si penjual setiap hari. Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dari Samurah bin
Jundub Ra. sesungguhnya Nabi telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya
diakhirkan” (HR. Lima Ahli Hadis). Baca juga: Apa itu Khiyar dalam Islam: Pengertian, Hukum,
Macam, & Hikmahnya Tahun Baru Islam 2021: Amalan Sunnah Bulan Muharram &
Keutamaannya.

B. Gharar

Gharar dapat diartikan khayalan, penipuan atau risiko. Pada hakekatnya gharar dapat
merugikan pihak pembeli maupun penjual, dan sesuatu yang merugikan itu awalnya

vi
tersembunyi. Islam melarang gharar bukan semata-mata untuk menjauhi risiko, karena risiko
yang bersifat komersil diperbolehkan dan didukung dalam Islam.

Konsep gharar dapat dibagi menjadi dua kelompok (Nur, 2015). Pertama, keraguan,
peluang dan ketidakpastian yang terkandung dalam risiko. Kedua, penipuan dari satu pihak
terhadap yang lain yang berkaitan dengan sesuatu yang meragukan.

Sebagai pedoman pelaksanaan ekonomi syariah, Al-Qur'an dengan tegas melarang segala
transaksi ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur kecurangan terhadap pihak lain. Seperti
dalam Q.S. al-An'am ayat 152, yang artinya "Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai ia mencapai (usia) dewasa.

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani
seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, berbicaralah
sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu ingat."

Islam sangat melarang tindakan gharar, sehingga dalam bertransaki atau memberi syarat
dalam akad yang mengandung unsur gharar hukumnya tidak boleh. Sebagaimana dalam hadis
berikut, yang artinya "Rasulullah Saw. melarang jual beli yang mengandung gharar." (HR.
Bukhari Muslim)

Bisnis yang bersifat gharar merupakan jual beli yang tidak terpenuhinya perjanjian dan
tidak dapat dipercaya, dalam keadaan bahaya, tidak diketahui harganya, barangnya, kondisi
barangnya dan waktu perolehannya (Nur, 2015). Sehingga antara pihak-pihak yang bertransaksi
tidak mengetahui batasan-batasan hak yang diperoleh.

Singkatnya, gharar terjadi pada situasi uncomplete information karena ketidakpastian


antara kedua pihak yang melakukan transaksi. Gharar dapat terjadi saat salah satu pihak
mengubah sesuatu yang sifatnya pasti menjadi tidak pasti. Menurut Imam as-Sa'adi, gharar
termasuk dalam ketegori perjudian yang sudah jelas keharamannya dalam nash Al-
Qur'an (Hosen, 2009).

C. Maysir

Secara bahasa, maysir bermakna spekulasi. Secara teknis, maysir maksudnya adalah setiap
transaksi yang di dalamnya disyaratkan sesuatu berupa materi yang diambil dari pihak yang
kalah untuk pihak yang menang. Istilah lainnya: judi atau taruhan. Heard of it?

Jadi spekulasi yang dilarang itu kurang lebih seperti ini:

 Taruhan harta/materi berasal dari pengumpulan semua pihak yang ikut serta.
 Ada pihak yang menang dan ada yang kalah

vii
 Pihak yang menang akan mengambil harta sebagian atau seluruhnya yang menjadi
taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya.

Bagaimana Dalil Pelarangan Maysir?

Mengacu ke Surah Al-Maidah (5) ayat 90 berikut:

“Wahai orang-orang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk


berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu mendapat
keberuntungan,”

Allah telah secara eksplisit meminta kita untuk menjauhi perbuatan tersebut.

Berdasarkan ayat ini dan keterangan Sunnah Rasulullah SAW sebagai berikut:

“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, “Mari, aku bertaruh denganmu”,


maka hendaklah ia bersedekah” – HR Bukhari dan Muslim.

Ulama kemudian mengambil ijma’ atau kesepakatan bahwa berjudi dan transaksi
spekulasi lainnya dengan kriteria spesifik seperti diatas, dilarang dalam Islam. Di dalam hadits,
perkataan Rasulullah bahwa ‘hendaklah ia bersedekah’ menyiratkan bahwa perbuatan tersebut
merupakan perbuatan terlarang yang memerlukan “kafarat”, dengan sedekah.

Secara bahasa, kafarat dalam bahasa Arab berasal dari kata kafran yang artinya
“menutupi.” Secara teknis, kafarat dimaksudkan sebagai denda yang harus ditunaikan karena
perbuatan dosa kita, yang bertujuan menutupi dosa tersebut sehingga tidak ada lagi
pengaruh/efek negatif dari dosa tersebut yang akan kita rasakan di dunia dan di akhirat.

Definisi transaksi maysir disebutkan sebagai sebuah transaksi yang dilakukan oleh dua
pihak untuk kepemilikan suatu benda/jasa yang menguntungkan suatu pihak dan merugikan
pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian
tertentu (yang tidak jelas kesudahannya).

Sesuai definisi tersebut, berarti maysir adalah sebuah transaksi yang hanya
menguntungkan satu pihak saja. Tentu, hal ini dianggap menyalahi prinsip keadilan yang ingin
ditegakkan ekonomi Islam. Sebagai way of life yang sangat mengedepankan maslahat untuk
semua pihak, tentu saja transaksi seperti ini tidak bisa dibenarkan di dalam Islam.

viii
Setiap transaksi dalam ekonomi syariah diharapkan dilakukan dengan penuh keikhlasan
dari kedua belah pihak, dan juga bisa memberikan kebaikan untuk semua pihak yang terlibat.
Ekonomi syariah adalah tentang win–win solution, sementara kalau maysir, secara skema sudah
berbentuk win–or–lose.

Selain itu, ekonomi syariah juga sangat mengedepankan kemakmuran atau kemajuan
ekonomi masyarakat dengan cara kemahiran bekerja atau hasil kerja yang sebenarnya, bukan
melalui jalan keberuntungan. Jalan keberuntungan yang spekulatif hanya berujung kepada dua
jalan yang sangat bertentangan dan ekstrim: beruntung sekali, atau merugi sekali. Karena Islam
adalah agama pertengahan, moderasi adalah jalan yang selalu dicari, bukan ekstremitas.

Sebagian ulama juga mengungkapkan alasan bahwa diharamkannya maysir bukan hanya
karena spekulasinya, tetapi karena segala bentuk permainan yang melalaikan dari shalat dan
dzikrullah adalah termasuk bentuk maysir. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim dan mereka menukilnya dari mayoritas para ulama. Maysir bukan hanya mengandung
unsur spekulasi, tetapi juga karena melalaikan seseorang dari shalat, zikrullah, dan menimbulkan
kebencian dan permusuhan.

D. Zhalim

Islam dan semua syariat Allah mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam
segala sesuatu dan kepada segala sesuatu. Allah mengutus para rasul-Nya dengan membawa
kitab-kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan pada hak-hak Allah dan
makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫َلَقْد َأْر َس ْلَنا ُرُس َلَنا ِباْلَبِّيَناِت َو َأنَز ْلَنا َم َعُهُم اْلِكَتاَب َو اْلِم يَز اَن ِلَيُقوَم الَّناُس ِباْلِقْسِط‬
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-butki
yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah, pertama adalah
Allah mengharamkan atas diri-Nya, kemudian Allah menjadikannya terlarang di antara makhluk-
Nya, sebagaimana tertuang dalam hadis qudsi yang berbunyi:
“Sungguh Allah Tabraka wa Ta’ala telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh Aku telah
mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menajdikannya terlarang di antara kalian, maka
janganlah saling menzalimi!’” (HR. Muslim),

ix
Hal ini karena kezaliman adalah sumber kerusakan, sedang keadilan adalah sumber
kesuksesan yang menjadi tonggak kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu,
manusia sangat membutuhkan keadilan dalam segala kondisi. Ketika perniagaan dan muamalah
adalah pintu yang besar bagi kezaliman manusia dan pintu untuk memakan harta orang lain
dengan batil, maka larangan zalim dan pengharamannya termasuk maqashid syar’iyyah
terpenting dalam muamalah. Kewajiban berbuat adil dan larangan berbuat zalim menjadi kaidah
terpenting dalam muamalah.
Banyak nash (dalil) Alquran dan sunah yang memerintahkan berbuat adil dan melarang
berbuat zalim, di antaranya adalah:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) untuk menetapkan dengan adil apabila menetapkan hukum
di antara manusia.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat di atas berisi perintah merealisasikan dan menegakkan keadilan di antara manusia,
karena seluruh larnagan Allah kembali kepada kezaliman.
Adapun hadis-hadis larangan dan pengharaman kezaliman dan muamalah sangat banyak, di
antaranya:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kaian diharamkan di antara kalian seperti
keharaman hari kalian ini, bulan kalian, di negeri kaian ini.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Atas setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamkan darah, harta, dan kehormatannya.”
(HR. Muslim)
Di antara dalil kewajiban berbuat adil dan larangan zalim adalah ijma (kesepakatan)
ulama tentang pengharaman mengambil harta orang lain dengan zalim dan permusuhan.
Melalui hal ini, telah jelaslah bahwa keadilan dan larangan zalim adalah pokok wajib dalam
muamalah, karena hanya dengannya muamalah manusia akan baik dan langgeng.
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Wajib mengadili manusia dalam permasalah harta dengan adil
sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti pembagian warisan kepada ahli waris
sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah. Demikian juga dalam muamalah, berupa jual beli,
sewa-menyewa, wakalah, syarikat, pemebrian, dan sejenisnya dari muamalah yang berhubungan

x
dengan akad transaksi dan serah terima, maka bersikap adil dalam masalah tersebut adalah
tonggak alam semesta yang mejadi dasar baiknya dunia dan akhirat.” Di antara bentuk sikap adil
dalam muamalah ada yang sudah jelas, semua orang mengetahuinya dengan akal mereka, seperti
kewajiban membayar bagi pembeli, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli,
pengharaman mengurangi timbangan dan takaran, kewajiban jujur dan menjeaskan keadaan
barangnya, pengharaman dusta, khianat, dan bohong, balasan utang adalah penunaiannya (pada
temponya), serta pujian.
Ada juga yang tidak jelas dan dijelaskan syariat kita karena seluruh muamalah yang
dilarang oleh Alquran dan sunah kembali kepada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim.”

Penerapan kaidah
1. Larangan Riba
Syariat melarang riba karena berisi kezaliman dan ketidakadilan, sebagaimana firman
Allah
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah:
2750)
2. Larangan Perjudian
Allah melarang perjudian karena termasuk memakan harta orang lian dengan batil. Allah
berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan.
Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:
90)
Bahkan, seluruh muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
karena di dalamnya terdapat kezaliman dan untuk meralisasikan keadilan.
3. Disyariatkannya “Khiyar Majlis”
Syariat Islam juga memperhatikan kemaslahatan kedua pihak transaktor dengan
mensyariatkan beberapa aturan, seperti khiyar majlis (hak pilih di majelis), ini disyariatkan untuk
mewujudkan keadilan dan memperhatikan kemaslahatan dua pihak pelaku transaki. Dasar aturan
ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

xi
“Apabila dua orang berjual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih selama belum
berpisah dan keduanya bersepakat, atau (bila) salah satunya memberikan pilihan kepada yang
lainnya lalu terjadi jual beli atas hal itu, maka wajib terjadi jual beli. (Dan) bila telah berpisah
setelah akad jual beli dan tidak ada yang menggagalkannya, maka wajib jual belinya.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Ibnul Qayyim meyatakan, “Syariat menetapkan khiyar majelis dalam jual beli untuk
hikmah dan maslahat kedua pelaku transaksi, serta untuk mendapatkan kesempurnaan ridha yang
Allah syariatkan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
“Kecuali perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka.”
Akad transaksi terkadang ada dengan mendadak tanpa diteliti secara seksama dalam nilainya.
Oleh karena itu, keindahan syariat Islam yang sempurna menjadikan akad berjangka waktu untuk
kedua pelaku transaksi mencermati dan meneliti sehingga setiap orang mengetahui keadaan
secara utuh.
4. An-Najasy
An-Najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang dagangan dari orang
yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak padanya. Seseorang yang tidak ingin
membeli barang, datang dan meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu
menyangka bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas, sehingga
ia terperdaya dengannya. Jual beli ini diharamkan karena berisi kezaliman. Dalilnya adalah hadis
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
5. Tas’ir
Yaitu intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga. Hal ini dengan
memaksa transaksi jual beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.
Pada asalnya, muamalah ini dilarang dengan kesepakatan ahli fiqih yang berdasarkan pada dalil-
dalil di bawah ini:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)

xii
Tas’ir ini tidak dapat mewujudkan taradi (saling ridha).
Dari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadis dari Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:
“Harga-harga barang mahal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka
berkata, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami!’ Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya
Allah- lah pematok harga yang menyepitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi rezeki, dan
sungguh aku berharap menjumpai Rabbku, dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang
menuntut dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta’.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadis ini Nabi tidak melakukan tas’ir karena berisi kezaliman.
Demikianlah, hukum asal tas’ir adalah haram, namun para ulama mengecualikannya
dengan beberapa keadaan di antaranya:
– Kebutuhan manusia terhadap barang tersebut.
– Adanya ihtikar (penimbunan) oleh produsen atau pedagng.
– Penjualan terbagi milik sekelompok orang saja.
E. Tadlis
Islam menuntut umatnya untuk menjadi orang yang jujur dan amanah. Orang yang
melakukan penipuan dan kelicikan tidak dianggap sebagai umat Islam yang sesungguhnya,
meskipun dari lisannya keluar pernyataan bahwasanya dirinya adalah seorang muslim.
Sebagaimana sabda Rasulullah : “Barangsiapa yang melakukan penipuan maka dia bukan dari
golongan kami.” (H.R. Ibnu Hibban dan Abu Nu’aim) Jual beli merupakan sebuah transaksi
yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yakni penjual dan pembeli dalam hal pemindahan hak
pemilikan suatu benda yang didahului dengan akad dan penyerahan Jurnal Imiah BONGAYA
(Manajemen & Akuntansi) April 2016, No.XIX ISSN : 1907 – 5480 219 sejumlah uang yang
telah ditentukan dan atas kerelaan kedua pihak. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat an-
Nisa’ ayat : 29 yang berbunyi : Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling
makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan jual beli suka sama suka
diantara kamu…” (QS. An-Nisa’ :29)
Berdasarkan ayat di atas agama Islam melarang memakan harta yang diperoleh dengan
jalan bathil, serta menyuruh mencari harta dengan cara yang halal, antara lain cara jual beli.
Karena, jual beli merupakan perwujudan dari hubungan antara sesama manusia sehari-hari,
sebagaimana telah diketahui bahwa agama Islam mensyariatkan jual beli dengan baik tanpa ada

xiii
unsur gharar, riba dan sebagainya. Yang dimaksud dengan jual beli tadlis adalah semua jual beli
yang mengandung ketidakpastian, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan
jumlah dan ukuranya atau tidak mungkin diserah terimakan. Salah satu macam bentuk praktek
tadlis ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini
sebagai salah satu bagian dari jual beli. Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat
tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diwujudkan.
Praktek tadlis sering terjadi di Pasar-pasar tradisional, sebagian para pedagang buah-buahan
melakukan pengurangan timbangan dalam jual beli buah-buahan. Sedangkan sebagian dari
mereka (pedagang) buah-buahan mayoritas beragama Islam. Mengurangi timbangan atau takaran
adalah perbuatan tercela tapi mereka masih ada yang melakukan ‫ ن‬pengurangan timbangan
dalam jual beli. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Mutaffifin ayat 1-3 yang
berbunyi Artinya : Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orangorang yang
apabila menerima takaran dari orang-orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. . (Q.S. Al-Mutaffifin: 1, 2, 3)
Dalam fatwa dewan syariah nasional No : 75/DSN MUI/VII/2009 tentang pedoman penjualan
langsung berjenjang syariah (PLBS), Sangat jelas tercantum tentang larangan jual beli dengan
jalan Tadlis (menipu) seperti mengurangi takaran dan timbangan yang terdapat dalam surat
almutaffifin ayat 1-3. Tadlis dalam transaksi muamalah a.
Tadlis dalam transaksi muamalah Jurnal Imiah BONGAYA (Manajemen & Akuntansi)
April 2016, No.XIX ISSN : 1907 – 5480 220 Tadlis merupakan transaksi yang mengandung
suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak “Setiap transaksi dalam Islam harus
didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak, mereka harus mempunyai informasi
yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa ditipu/dicurangi karena
ada sesuatu yang unknown to one party” . Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari 4 ( empat ) hal
pokok dalam jual beli berikut ini :

a) Kuantitas Pihak ( penjual ) mengurangi taksiran barang yang telah disepakati antara
penjual dan pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh penjual.
b) Kualitas Pihak ( penjual ) mengetahui bahwa barang yang dijual memiliki cacat yang
diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang sesuai dengan nilai barang
yang sebenarnya.

xiv
c) Harga Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketiaktahuan
pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan hargha tinggi.
d) Waktu penyerahan Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan
menutupi kemampuannya dalam menyerahkan barang yang sebenarnya lebih lambat dari
yang di janjikan. Kondisi ini juga bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam muamalah.
Untuk mengakali timbangan pedagang hanya bermodalkan sebuah tang dan obeng,
pedagang berhasil memanipulasi jarum pada timbangan tersebut. Timbangan awalnya
dibuka hingga terlihat komponen di dalamnya, kemudian mur yang menggerakkan jarum
diputar sampai terkesan lebih longgar. Maka saat barang diletakkan di atas timbangan, arah
jatuhnya jarum pada timbangan pun akan lebih lentur berputar melewati angka-angka yang
tertera pada timbangan. Hal tersebut membuat bobot barang yang ditimbang akan lebih
mudah berat karena jarum timbangan terkesan lebih lentur. Walaupun begitu, jarum
timbangan tetap dimulai pada angka nol (dapat berkurang sampai 2 ons), teknik lain yaitu
menggunakan magnet atau pemberat lain. Dua jenis timbangan ini yang digunakan secara
umum di pasar sayur itu. Secara umum, ada tiga jenis timbangan yang digunakan di pasar
tradisional itu, yaitu jenis timbangan yang disebut kodok (timbangan yang menggunakan
satuan batu untuk mengukur berat barangnya), timbangan gantung yang untuk
mengukurnya dilihat dari apakah gantungan sudah berada dalam posisi lurus atau tidak
ketika angka ditunjuk, timbangan jarum, timbangan elektronik, dan jenis timbangan
lainnya.

Jurnal Imiah BONGAYA (Manajemen & Akuntansi) April 2016, No.XIX ISSN : 1907 –
5480 221 Namun umumnya, timbangan yang mendominasi adalah timbangan kodok, di samping
tahan lama, juga murah. Banyak juga timbangan jarum karena dianggap dipercaya konsumen
saat ini. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
masalah pokok dalam tulisan ini adalah Apakah takaran dan timbangan yang digunakan
pedagang buah-buahan dikota makassar sudah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang
berlaku? Jual beli Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak
lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukar. Menurut etimologi, jual beli adalah
pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dasar hukum jual beli yaitu : 1. Al-qur’an Yang
mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29 “Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

xv
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.(Qs. An-Nisa:29) 2. Hadist Nabi Nabi, yang
mengatakan : “suatu ketka Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau
menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur (HR. Bajjar,
Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). maksud mabrur adalah jual beli yang
terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain 3. Ijma’ Ulama telah sepakat bahwa
jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkan itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Rukun dan syarat jual beli

1. Rukun juan beli :

a. Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli


b. Objek akad (barang dan harga)
c. Ijab kabul (persetujuan)

2. Syarat jual beli :

a. Orang-orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli). Syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
a. Berakal
b. Baliqh
c. Orang yang mengucapkan ijab kabul telah akil baliqh
d. Kabul harus sesuai dengan ijab
e. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majelis
b. Barang yang diperjual belikan Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-
syarat yang diharuskan, antara lain :
a. Barang yang diperjual belikan halal
b. Barang itu ada manfaatnya
c. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tetatpi ada ditempat lain
d. Barang itu merupakan milik penjual atau dibawah kekeuasaannya.
c. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuk dan kadarnya, maupun sifatsifatnya.

xvi
d. Nilai tukar barang yang dijual.
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah :
a. Harga juala disepakat penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya
b. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara
hukum. Misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
c. Apabila jual beli dilakukan secara barter Jual beli yang dilarang Diantara jual beli beli
yang dilarang dalam islam tersebut antara lain :
1) Jual beli yang diharamkan Jual beli yang melanggar yaitu dengan cara menipu.
2) Jual beli barang yang tidak dimiliki Pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak
ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya.
3) Jual beli hashat Jika seseorang membeli dengan menggunakan undian atau dengan
ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian yang
didapat.
4) Jual beli mulamasah Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang
berkata “pakaian yang sudah kamu sentuh berarti sudah menjadi milikmu dengan
harga sekian”. dilarang karena tidak ada kejelasan tentang sifat yang harus diketahui
dari calon pembeli dan didalamnya terdapat unsur pemaksaan.
5) Jual beli najasy Seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi
penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa
Tadlis Jurnal Imiah BONGAYA (Manajemen & Akuntansi) April 2016, No.XIX
ISSN : 1907 – 5480 223

Tadlis (Penipuan) adalah Informasi yang tidak lengkap (asymmetric information).


Transaksi di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Tadlis
dapat terjadi dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Setiap transaksi dalam
Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama rida). Mereka
harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang
merasa dicurangi/ditipu karena ada suatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah
satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut juga ( asymmetric
information).

xvii
Macam – macam tadlis Dalam hal Tadlis ini terbagi dalam empat macam, yaitu Tadlis
dalam kuantitas, Tadlis dalam kualitas, Tadlis dalam harga dan Tadlis pada waktu penyerahan.

1. Tadlis dalam Kuantitas Tadlis (penipuan) dalam prakteknya penjual mengurangi


kuantitas barang yang dibeli tanpa sepengatahuan si pembeli, dimana pembeli membayar
untuk kuantitas yang banyak
2. Tadlis dalam Kualitas Tadlis (penipuan) dalam prakteknya penjual menyembunyikan
cacat atau memberikan kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang
disepakati oleh penjual dan pembeli.

F. Syubhat
Selain halal dan haram, Islam mengenal istilah syubhat yang berarti samar dan tidak
diketahui kebenarannya. Ketika suatu perkara tidak jelas status hukumnya, Islam menganjurkan
untuk meninggalkan perkara tersebut agar tehindar dari perilaku yang dilarang Allah.
Dalam Islam, syuhbat adalah sesuatu yang masih diperdebatkan hukumnya berdasarkan
Alquran dan sunnah. Dikutip dari buku 40 Pesan Nabi Untuk Setiap Muslim oleh Fahrur Mu’is,
S.Pd.I, M.Ag, dkk., ketidakjelasan terhadap perkara halal dan haram ini dijelaskan oleh
Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdillah Nu’man bin Basyir berikut:
Rasululullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Di antara keduanya, terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak
diketahui oleh orang banyak. Maka, siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya.

Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, ia akan terjerumus dalam perkara yang
diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar
(ladang) yang dilarang untuk memasukinya, lambat laun dia akan memasukinya.

Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan. Ketahuilah bahwa larangan Allah adalah apa
yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging, jika dia baik
maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah
bahwa dia adalah hati." (HR AI-Bukhari dan Muslim)

xviii
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa jika seseorang tidak mengetahui dengan
jelas status halal dan haramnya suatu perkara, maka sebaiknya ia meninggalkan perkara tersebut
agar tidak terjerumus dalam perkara haram. Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadits
berikut:

“Tinggalkanlah apa yang meragunkanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. At-
Tirmidzi)

Lalu, bagaimana bentuk syuhbat dalam pandangan Islam?

1. Sesuatu yang diketahui sebagai perkara haram, namun bercampur dengan yang halal.
dari kasus ini adalah daging binatang yang diharamkan untuk dimakan, sebab ia
meragukan penyembelihannya. Maka, daging tersebut digolongkan dalam perkara syuhbat.
Contoh lain dari kasus ini adalah buah curian yang tercampur dengan buah halal. Makanan
haram yang bercampur dengan makanan halal sehingga tidak dapat dibedakan status hukumnya
juga tergolong dalam perkara syuhbat.

2. Sesuatu yang diketahui halal namun timbul keraguan sebab keharamannya.


Contoh dari kasus ini adalah seseorang yang ragu antara terjadinya hadast ketika ia
sedang menunaikan sholatnya. Hal tersebut pernah terjadi pada zaman Rasulullah yang
diriwayatkan Imam Bukhari.

Oleh Abbad bin Tamim dari pamannya yang mengadu kepada Rasulullah tentang seseorang yang
kentut ketika sedang menunaikan sholat. Kemudian Rasulullah bersabda, “Janganlah ia
berpaling (menggurkan sholatnya) sampai ia benar-benar mendengar suara atau mencium
baunya.” (HR. Al Bukhari)

3. Sesuatu yang tidak diketahui asal dan status halal atau haramnya.
Sikap yang paling baik adalah menghindari keraguan tersebut karena tidak diketahui
dengan jelas status halal dan haramnya. Seperti yang dilakukan Rasulullah ketika menemukan
sebuah kurma di tanah rumahnya. Beliau memilih untuk tidak memakannya karena khawatir
kurma tersebut berasal dari harta sedekah.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Rasulullah SAW bersabda:

“Saat aku kembali ke rumah, aku menemukan kurma di tanah rumahku. Kalau saja aku
tidak khawatir bahwa sebutir kurma ini berasal dari barang sedekah, tentu sudah aku makan.”

xix
(HR. Al Bukhari dan Muslim)

(IPT).

G. Khianat

Khianat artinya dalam Islam adalah salah satu perbuatan tidak jujur, dan harus dijauhi.
Allah SWT sangat tidak menyukai perbuatan khianat, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-
Qur'an, surat AL- Anfal ayat 27 :

ٓ ‫َاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتُخ ْو ُنوا َهّٰللا َو الَّرُسْو َل َو َتُخ ْو ُنْٓو ا َاٰم ٰن ِتُك ْم َو َاْنُتْم َتْع َلُم ْو َن‬

artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah, Rasul
(Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat- amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui.

Sudah dijelaskan, perbuatan khianat artinya dalam Islam adalah, segala bentuk perbuatan
yang tidak jujur, dan sangat dilarang oleh Allah SWT.

Sebaiknya dalam hal apapun, kita harus menjauhkan diri dari perbuatan khianat.
Perbuatan ini dapat mengakibatkan kemurkaan dari Allah, dan mengakibatkan orang tersebut
kehilangan petunjuk, dari Allah.

Macam-macam pebuatan Khianat dalam Islam

Secara sederhana, Khianat adalah bentuk perbuatan yang tidak bisa dipercaya. Dalam
Islam, perilaku khianat terbagi menjadi 3, antara lain:

1. Berkhianat pada Allah SWT

Berkhianat pada Allah, dapat diartikan untuk orang yang mengaku memiliki iman yang
kuat, akan tetapi ucapannya tidak sesuai dengan perbuatannya. Orang tersebut bahkan tidak
mengerjakan ibadah dan melakukan segala bentuk perbuatan yang dilarang Allah SWT.

2. Berkhianat pada Nabi Muhammad SAW

xx
Berkhianat pada Nabi Muhammad, bisa diartikan untuk orang yang mengaku memiliki
iman yang kuat atas ajaran Nabi Muhammad, akan tetapi perbuatannya tidak menggambarkan,
bahwa ia merupakan umat Nabi Muhammad SAW.

3. Berkhianat pada Manusia

Berkhianat kepada manusia, bisa diartikan untuk seseorang yang telah berjanji atas
sesuatu kepada orang lain, tetapi malah mengingkarinya.

Bentuk-bentuk perbuatan khianat ini dapat merusak hubungan antar umat di dunia.

Allah SWT telah berfirman di dalam surat Al-Baqarah :

‫َاآَل ِاَّنُهْم ُهُم اْلُم ْفِس ُد ْو َن َو ٰل ِكْن اَّل َيْش ُعُرْو َن َو ِاَذ ا ِقْيَل َلُهْم اَل ُتْفِس ُد ْو ا ِفى اَاْلْر ِۙض َقاُلْٓو ا ِاَّنَم ا َنْح ُن ُم ْص ِلُح ْو َن‬

Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!”
Mereka menjawab,

“Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya


merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Baqarah: 11-12).

Cara Menjauhi Perbuatan Khianat

1. Ikhlas dan selalu takut dengan Allah SWT

Kita harus senantiasa menjauhi sifat tercela, salah satunya adalah khianat. Selalu takut
dengan Allah SWT, akan membuat anda memikirkan segala hal dalam bertindak.

Jangan biasakan diri untuk berbohong, dan selalu tanamkan dalam diri bahwa kita ikhlas
menjaga amanah yang diberikan, hanya karna Allah SWT.

2. Membiasakan diri untuk jujur

Perbuatan jujur dapat menghindarkan kita dari sifat khianat. Dengan terbiasanya kita
berperilaku jujur, maka kita akan takut untuk melakukan perbuatan ini. Sebagai mana disebutkan
dalam hadist yang membahas sifat khianat :

“Jika berjanji, maka ia ingkari. Apabila berbicara, ia berdusta. Jika membuat perjanjian, tidak
dipenuhi”.

xxi
3. Rajin beribadah, dan memperbanyak sedekah

Selain kita takut dengan Allah, dan membiasakan diri untuk jujur, dalam menghindarkan
diri dari sifat tercela ini, kita harus rajin beribadah dan memperbanyak sedekah.Hal tersebut
dapat menambah keimanan kita untuk senantiasa berada pada jalan yang benar. Kita harus
menjauhkan diri dari khianat, sebab, sudah jelas sifat ini merupakan sesuatu yang dilarang dalam
agama Islam, yang sudah dijelaskan pada sebuah hadist. Maka dari itu, sebaiknya kita sebagai
umat muslim yang baik, kita harus mempertebal iman kita agar terhindar dari segala sesuatu
yang salah dalam ajaran Islam.

H. Haram

Menurut ulama ushul fikih, terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi batasan dan
esensinya, serta dari segi bentuk dan sifatnya.

Dari segi batasan dan esensinya, Imam al Ghazali merumuskan haram dengan sesuatu yang
dituntut syari' (Allah SWT dan Rasul-Nya) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan
mengikat. Adapun dari segi bentuk dan sifatnya, Imam al Baidawi, tokoh ushul fikih Mazhab
Syafi'i, merumuskan haram dengan 'suatu perbuatan yang pelakunya dicela'. Ada juga ulama
ushul fikih yang menambahkan dalam rumusan tersebut dengan kalimat '..dan orang yang
meninggalkannya dipuji', sebagai lawan dari pengertian wajib.

Istilah-istilah yang mirip dan semakna dengan haram dalam ushul fikih adalah al-mahzur
(yang dihindari), al-ma'siyah (maksiat), az-zanb (dosa), al-mamnu (yang dilarang), al-qabih
(yang buruk/jelek), as-sai'ah (jelek), al-fahisyah (yang keji), al-ism (dosa) dan al-mazjur'anh
(yang dicegah darinya).

Bagi ulama Mazhab Hanafi, suatu dalil yang menunjuk hukum haram kualitasnya harus
dalil yang qat'i (pasti). Jika dalil tersebut kualitasnya zanni (relatif), maka mereka disebut
makruh tahrim. Sedangkan jumhur ulama ushul fikih tidak membedakan antara dalil yang qat'i
dan yang zanni. Menurut mereka, asal dalil itu mengacu kepada ungkapan-ungkapan yang
mengacu pada keharaman, baik dalilnya qat'i maupun zanni, maka hukumnya tetap haram.

Sementara itu, pembagian haram ada dua. Apabila keharaman itu terkait dengan esensi
perbuatan, maka disebut dengan haram li zatih (haram karena zatnya). Dan apabila terkait
dengan sesuatu yang di luar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk ke-mafsadat-an, maka
disebut haram li gairih (haram karena yang lain).Lebih jelasnya, haram li zatih adalah suatu
keharaman yang sejak semuka ditentukan syar'i bahwa hal itu haram, misalnya, memakan
bangkai, babi, minum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim.
Keharaman pada hal-hal di atas adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri.

xxii
Sedangkan haram li gairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi
dibarengi oleh suatu yang bersifat mudharat bagi manusia, keharamannya disebabkan adanya
mudharat itu. Contohnya, melaksanakan shalat dengan pakaian yang di-gasab (mengambil
barang orang lain tanpa izin), bertransaksi jual beli saat kumandang adzan shalat Jumatm, atau
berpuasa di hari raya Idul Fitri.

Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fikih dalam menentukan hukum perbuatan
haram li zatih itu, apakah batal (batil) atau fasid. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, dalam
persoalan-persoalan muamalah, karena keharamannya bukan pada zatnya, tetapi disebabkan
faktor luar, maka hukumnya fasid (rusak), bukan batal. Akan tetapi, jika haram li gairih yang
menyangkut aspek ibadah, hukumnya adalah batal.

BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

xxiii
Kesimpulan dari pembahasan serta materi yang telah kami tulis ialah bahwa pentingnya di
dalam masalah ekonomi wajib serta dikaitkan dalam syariah agama agar sesuai dengan
ketentuan-ketentuan al-quran dan hadist dalam penentuan syariahnya agar dapat di kelola serta
dilasanakan dengan bak dan benar dalam segi ekonomi maupun dalam bersyariah.

B. Saran

Sarannya Ialah dalam berekonomi serta bersyariah perbanyaklah membaca buku serta
menerima ilmu dari beragai macam sumber ilmu dalam berekonomi agar tetap menjaga
syariatnya dalam bragama.

xxiv

Anda mungkin juga menyukai