Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

SEJARAH RIBA DI DUNIA


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“EKONOMI ISLAM”

DOSEN PENGAMPUN:

Paulina Lubis, S.E., ME.I.

Ary Dean Amri, S.E., M.E.

DISUSUN OLEH :

AKHMAD ANANTA SASTRA BENUA ( C1B021126 )

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2021/2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.3 Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3

2.1 Pengertian ribah4

2.2 Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam......................................................................8

2.2.1 Tahapan Larangan Riba dalam al-Qur'an11

2.2.2 Ragam atau Macam-macam Riba....................................................................14

2.2.3 Contoh Riba dalam kehidupan ........................................................................15

2.2.4 Pandangan kaum Modern terhadap Riba..........................................................16

2.2.5 Pandangan Islam terhadap Riba ......................................................................17

2.2.6 Manfaat diharamkan riba..................................................................................19

2.2.7 Sikap menghindari Riba...................................................................................19

2.3 Riba: Tinjauan Historis..................................................................................................20

2.4. Konsep Riba dan Bunga dalam Ekonomi Islam..........................................................23

2.4.1 . Definisi dan Jenis-Jenis Riba..........................................................................23

2.4.2 Definisi Bunga (Interest)..................................................................................24

2.4.3 Kritik Terhadap Teori-Teori Bunga.................................................................25

3.1 Riba dan Keuangan Islam Kontroversi..........................................................................30

3.1.1Konsep Uang dalam Islam30

3.1.2 Uang dalam Sistem Ekonomi Islam.................................................................36


ii
3.1.3Cara-Cara Pengembangan Uang yang Tidak Mengandung Riba......................37
3.1.4 Profit-Loss Sharing: Solusi Islam terhadap Alternatif Pengganti Bunga 38

4.1 Macam-macam riba.......................................................................................................39

4.1.1 faktor penyebab iharamkannya perbuatan riba..................................................40

4.1.2 larangan-laangan riba dalam Al-Quran.............................................................41


4.1.3 Dampak dan hikmah pelarangan riba………………………….......................42

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN SEJARAH


Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti Al-Ziyadah (tambahan)
atau Al-Nama (tumbuh). Pertambahan disini bisadisebabkan oleh faktor ekstern atau intern.
Dalam pengertian lain, secaralinguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun
menurutistilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok ataumodal secara
bathil.
Secara istilah syar’i, menurut A.Hassan, riba adalahsuatu tambahan yang diharamkan di
dalam urusan pinjam meminjam.Syabirin Harahap menyatakan bahwa riba adalah kelebihan
dari jumlahuang yang dipinjamkan. Shaleh Ibn Fauzan berpendapat bahwa ribaadalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil
atau pertentangan dengan prinsipmuamalah dalam IslamDiskursus riba telah lama
diperbincangkan baik dalam tataran akademik maupun pada kitab-kitab klasik. Akan tetapi,
hingga saat ini pengambilan riba masih saja terjadi diberbagai aktivitas, baik dalam aktivitas
jual beli, hutang piutang, maupun transaksi-transaksi lainnya. Dalam mu’amalah (ekonomi
Islam), riba tidak hanya dipandang sebagai hal yang haram untuk dilakukan, seperti yang
telah dijelaskan dalam al-Qur’an pada empat tahap ayat riba, merupakan perbuatan yang
tidak memiliki moralitas bagi pelaku riba. Pelarangan riba tidak hanya terjadi pada masa
Islam, melainkan sebelum Islam menjadi agama, agama lain (Yahudi dan Nasrani) juga
melarang pengambilan riba. Dengan demikian, riba membutuhkan penjelasan secara kongkrit
baik dari segi legalitas dalam hukum Islam, sejarah, dampak dari pengambilan riba dan
pandangan Islam terhadap riba.
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk
dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syariat Islam. Allah
telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang
telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
1.1 Latar Belakang

1
Sebagai bagian dari hukum Islam yang mana merupakan suatu prinsip yang sangat besar
dan terdapat pijakan berupa keadilan dalam memperhatikan kemaslahatanmanusia seluruhnya.
Berdasarkan prinsip-prinsip agung yang diuraikan dalam makalahini, dapat diketahui bahwa
muamalah dalam jual beli tidak dapat dikeluarkan darimubah kepada haram kecuali jika ada
sesuatu yang diperingatkan, misalnya karenamenjurus kepada kedzaliman terhadap salah satu
pihak, berupa riba, kedustaan, penipuan, dengan berbagai ragamnya, ketidak tahuan dan
pengecohan dengan segala jenisnya. Semua itu adalah contoh kedzaliman terhadap salah satu
pihak.Uraian dalam makalah ini hanyalah sekedar mengantarkan pada pemahaman pembaca dan
sebagai alat bantu dalam memudahkan pembaca dalam mendapatkansuatu informasi dan
referensi baru terkait permasalahan tentang mualah.

1.2 tujuan

1. Dapat mengetahui pengertian Riba2.

2. Dapat memahami hukum Riba3.

3. Dapat mengetahui dalil & bukti larangan Riba4.

4. Dapat mengetahui jenis-jenis Riba & contohnya di kehidupan5.

5. Dapat memahami bunga Bank6.

6. Dapat memahami manfaat diharamkanya Riba7.

7. Dapat mengetahui sikap Menghindari Riba

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian ribah

Riba (‫ )اـبرـال‬secara bahasa bermakna ziyadah (‫ – )ةداـيز‬tambahan). Dalam pengertian lain,


secara linguistic riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya: َ‫ ٰآ ي ا‬Kata riba dalam alquran

ditemukan sebanyak tujuh kali pada surat AlBaqarah ayat 275-279, surat Ar-Rum ayat 39, surat
An-Nisa ayat 161, dan surat Al-Imran ayat 130. Islam mengharamkan riba dalam alquran dan
hadis. 4Allah berfirman (interpretasi artinya): Karena mereka mengatakan bahwa penjualan itu
seperti riba, yaitu makan riba karena kelalaiannya dan membuatnya seperti menjual dan seperti
apa penjualannya. Penjualan itu merupakan hasil bersih dari dua hal, namun riba yang mereka
makan lebih banyak daripada agama mereka yang meningkatkannya bila penundaan waktu tidak
sesuai dengan apa pun, dan apa yang diambil tanpa biaya itu salah, jadi Allah melarang riba
tanpa menjual,dan dia berkata: Allah telah melarang penjualan dan melarang riba meskipun
harganya sama karena keputusan mereka berbeda dalam kasus keputusan yangpaling bijaksana.
Semua yang berlaku bebas dari memakan uang orang dengan kepalsuan.Keterlambatan dalam
jangka waktu, dan ini bukan jaring dan tidak adakompensasi untuk itu tidak adil, dan akan
masuk ayat lainnya adalah penjelasan tentang larangan riba sebagai tidak adil. Inilah yang
tampak bagi kita dalam artiungkapan ini, dan pandangan para komentator kita adalah bahwa
mereka membangun kata-kata mereka dalam penyerahan fakta bahwa penjualan itu seperti riba,
karena mereka telah melarang riba dalam arti tindakan pemujaan.Mereka mengatakan bahwa itu
berarti bahwa Allah telah membalasnya dengan menghapus ini dan melarangnya.5 Jadi alasan
pelarangannya adalah untuk menghindari adanya unsur eksploitasi dan mendapatkan tambahan
dengan cara yang tidak benar sangat merugikan dari harta orang lain. Hal ini sesuai dengan Ayat
alquran: (QS. AlBaqarah-188)

3
‫َاۡم َو اِل الَّناِس ِباِاۡل ۡث ِم َو َاۡن ـُتۡم َتۡع َلُم ۡو َنَو اَل َتۡا ُك ُلٓۡو ا َاۡم َو اَلـُك ۡم َبۡي َنُك ۡم ِباۡل َباِط ِل َو ُتۡد ُلۡو ا ِبَهٓا ِاَلى اۡل ُحـَّک اِم ِلَتۡا ُک ُلۡو ا َفِرۡي ًقا ِّم ۡن‬

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalannya yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau
komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-
beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah
sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu
barang karena penggunaan si penyewa mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti
menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta
pengkongsian berhak mendapatkankeuntungan karena di samping menyertakan modal, juga
turut serta menanggung kemungkinan risikokerugian yang bisa saja muncul setiap saat Dimikian
juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu
sematatanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang
tersebut mengusahakan bisa sja untung bisa saja rugi.Riba sering juga diterjemahkan dalam
bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh
dengancara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun
dengan jumlah tambahan banyak. Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering
kitadengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu
disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang. karena mempunyai arti yang sama yaitu
sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.

Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya
yang telah meminjamkan uang kepada debitur. dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga
dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang
diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditur (bank) maupun
debitur (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak
bankTimbullah pertanyaan, di mana letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk
menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai
terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan
dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi, uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

4
riba usury dan bunga "interest" pada hakikatnya sama, keduanya sama-sama memiliki arti
tambahan uang.

Abu Zahrah dalam kitab Buhusu fi al-Riba menjelaskan mengenal haramnya riba bahwa
riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi
atau eksploitasi. artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan
pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau
pinjaman itu untuk dikembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.

Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas
sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu iwadh (imbalan)
adalaha ribat Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan
asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-
barang riba fadhal emas, perak, gandum. serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan
komoditi tersebut.

Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam
perbankan konvensional banyak ditemui transaksi transaksi yang memakai konsep bunga,
berbeda dengan perbankan yang berbasis syariah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah)
yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang perbankan syariah di
Indonesia nomor 7 tahun 1992.

Ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali membahagikan riba kepada 2 jenis iaitu riba
al-fadl dan riba al-nasi‟ah. Sementara mazhab Syafie membahagikan riba kepada 3 jenis iaitu
riba al-fadl, riba al-nasi‟ah dan riba al-yad. Walau bagaimanapun riba al-yad telah puntermasuk
ke dalam riba al-fadl Untuk pembahagian yang lebih jelas dan menyeluruh untukdifahami
adalah seperti berikut.

2.3.1 Riba al-duyun (pinjam dan hutang)

Riba al-duyun terhasil daripada kadar lebihan faedah (riba) yang berpunca daripada
tempoh,samada tempoh pemberian pinjaman mata wang atau manfaat sesuatu asset. Asas
kepada riba jenis ini adalah hadis Nabi SAW:(setiap pinjaman yang membawa kepada manfaat
(bagi pemberi pinjam) maka ia adalah riba)Riba jenis ini terbahagi kepada 2 bahagian iaitu riba
jahiliah dan riba al-Qard

5
1) Riba al-jahiliyyah

Riba jahiliyyah ialah lebihan yang dikenakan ke atas hutang yang tidak mampu
untukdilunaskan dalam tempoh yang telah dipersetujui. Dalam keadaan ini, si pemberi hutang
akanmelanjutkan tempoh pembayaran balik hutang dengan mengenakan caj tambahan.
Cajtambahan ini biasanya dikenali sebagai bunga atau faedah dan ini adalah riba. Riba jenis ini
boleh berlaku dalam pinjaman dan dalam hutang.[1]Riba jahiliah amat popular pada
zamanRasulullah SAW dan ianya berterusan diamalkan di zaman baginda sehinggalah
Bagindamengharamkannya pada haji wida(Ketahuilah, semua jenis riba telah dihancurkan, dan
riba yang pertama aku hancurkan adalahriba yang bapa saudaraku abbas bin abdul muttalib,
semuanya kini telah dihancurkan.- IbnHibban, Tirmizi)[2]

2) Riba al-Qard

Riba al-Qard ialah kadar atau sebarang manfaat tambahan yang lebih daripada jumlah
pinjaman pokok yang mana ianya disyaratkan di awal kontrak pinjaman, yang dikenakan oleh
pemberi pinjaman kepada peminjam.[3]Contohnya Ali meminjamkan wang kepada
Amadsebanyak RM2000 dengan syarat Amad mestilah membayar kebali dengan nilai RM2500.

2.3.1 Riba al-Buyu

Riba jenis ini lahir daripada ketidaksamaan pada berat atau kuantiti pertukaran 2 item
riba, penukarannya dibuat secara tangguh[4]

1) Riba al-nasa’ /al-nasi’ah

Riba nasi‟ah ialah jual beli yang melibatkan item riba dengan cara tangguh dan kedua-
duanya mempunyai illah yang sama. Hukum ini melibatkan semua tukaran samada barangan
tersebutsama jenis atau jenis yang berbeza, samada wujud bayaran tambahan atau tidak .[5]Riba
jenis ini amat popular di kalangan masyarakat jahiliah. Riba ini berlaku apabilaseseorang lelaki
memberikan sejumlah hutang kepada seorang yang lain untuk satu tempohmasa contohnya
selama 12 bulan. Dalam masa yang sama diletakkan syarat jika dalamtempoh 12 bulan seorang
yang berhutang itu tidak mampu untuk menjelaskannya, tempohmasa akan dilanjutkan mungkin
selama 6 bulan dengan bayaran tambahan[6]Kata Ibn Jarir al-Tabariy: sesungguhnya seorang
lelaki pada zaman jahiliahmempunyai sejumlah hutang ke atas seorang lelaki yang lain. Apabila
sampai tempohnyalelaki pemiutang ini akan meminta hutangnya. Namun lelaki yang berhutang
ini tidak mampuuntuk menjelaskannya lalu meminta dilanjutkan tempoh pembayarannya sambil

6
berjanjiuntuk membayarnya kembali berserta kadar lebihan (bunga) dan lelaki pemiutang itu
bersetuju. Inilah riba yang berlipat ganda( adaafan mudaafah) lalu Allahmengharamkannya
[7]Para ulama telah sepakat bahawa transaksi jual beli secara bertangguh yangmelibatkan item
riba dan mempunyai illah yang sama termasuk dalam kategori riba al-nasi‟ah. Secara
ringkasnya setiap transaksi jual beli akan termasuk ke dalam riba jenis ini apabila terdapat 2
perkara:[8]1) jualan dilaksanakan secara tangguh2) kedua-dua barangan yang dijual beli terdiri
daripada item riba yang mempunyai illah yangsama samada barangan tersebut sama jenis atau
pun tidak, samada diketahui sukatan atau puntidak.Contohnya pertukaran di antara emas dengan
emas secara tangguh. Keduanya merupakanitem riba dan mempunyai illah yang sama. Sebarang
penangguhan dalam transaksi inimenyebabkan berlakunya riba al-nasi‟ah.

2) Riba al-Fadl

Riba al-Fadl ialah riba yang berlaku apabila berlaku jual beli barangan yang sama jenisdengan
tambahan atau lebihan yang berbeza. Contohnya menjual 1kg gandum Mesir dengan 2kg
gandum Syria. Riba al-Fadl melibatkan barangan riba yang sama jenis dengankadar berat yang
berbeza jika jenis dijual secara timbang dan kuantiti jika barangan jenisdijual secara kuantiti.
Unsur riba iaitu bayaran tambahan atau lebihan yang terdapat dalamtransaksi muamalat ini amat
jelas.[9]Transaksi ini jelas haram dan dilarang sama sekali. Ianya berdasarkan hadis NabiSAW
yang bermaksud:(Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama dengan sama, dan
janganlah kamumelebihkan sebahagiannya atas sebahagian yang lain. Janganlah kamu menjual
perak dengan perrak kecuali sama dengan sama, dan janganlah kamu melebihkan sebahagiannya
atassebahagian yang lain-riwayat Bukhari)Dalam satu lagi hadis Baginda SAW:(Bilal datang
menemui Nabi SAW dengan membawa tamar Barni (sejenis tamar yang bermutu tinggi). Lalu
Nabi SAW bertanya “Dari manakah tamar ini?” jawab Bilal “Pada asalnya kami mempunyai
tamar yang tidak elok, lalu saya jual 2 gantang tamar itu dengansegantang tamar yang elok ini,
untuk kami beri kepada Nabi SAW. Lantas Nabi SAW. bersabda “Oh! Oh! (menunjukkan
dukacitanya)! Itulah riba yang sebenarnya. Itulah riba yang sebenarnya. Janganlah kamu
lakukan” (riwayat Bukhari)Hukum haram ini tidak mengambil kira mutu barangan kerana hadis
tersebut bersifatumum. Ia juga tidak mengambil kira bentuk barangan tersebut. Jika penjual
emas menjualemas yang telah dibentuk menjadi acuan tertentu, penjual perlu memastikan
kedua-dua emastersebut mestilah sama dari segi berat.[10][1]Zaharuddin Abd. Rahman,

Riba Dan Isu Kewangan Semasa, Telaga Biru SdnBhd, Kuala Lumpur, hlm.19
20[2]ibid[3]Zaharuddin Abd. Rahman,

7
Riba Dan Isu Kewangan Semasa, Telaga Biru SdnBhd, Kuala Lumpur, hlm.1[4]Zaharuddin
Abd. Rahman,

Riba Dan Isu Kewangan Semasa, Telaga Biru SdnBhd, Kuala Lumpur, hlm.23

2.2 Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi transaksi perekonomian oleh
masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku
merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan
demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun
hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam. Riba tidak hanya
dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam) riba telah kenal dan juga
pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam

datang menjadi agama.

1. Masa Yunani Kuno

Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut
bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat
membenci pembungaan uang.

"Bunga uang tidaklah adil"

"Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur"

"Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendahderajatnya"

2. Masa Romawi

Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan
mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui undang-
undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna
melindungi para peminjam.

8
3. Menurut Agama Yahudi

Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya menurut kitab suci
agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22: "Bila
kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku
laksana seorang pemberi hutang. Jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik
uang 15 Dan pada pasal 36 disebutkan: Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau
mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu,
supaya saudaramu dapat hidup diantaramu: Namun, orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu
hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan
terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama mereka tetapl
menghalalkannya kalau pada pihak yang lain.

Dan inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain
kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an surat an-
Nisa' ayat 160-161 secara tegas menyatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu
memakan harta orang lain dengan jalan batil, dan Allah akan. menyiksa mereka dengan siksaan
yang pedih.

4. Menurut Agama Nasrani

Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi
semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan
Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian
lama kitab Deuntoronomy pasal 23, pasal 19 disebutkan: Janganlah engkau membungakan uang
terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan.
Kemudian dalam perjanjian baru di dalam injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu
menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya
kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak
mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak 37

Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada akhir abad
ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih sangat
konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman dengan
dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan pengaruh
gereja untuk menjustifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh

9
gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagal imbalan administrasi dan
kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi, sikap
pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin
Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau
banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba. Pada masa jahiliyah istilah riba
juga telah dikenal, pada masa itu. (jahiliyah) riba mempunyai beberapa bentuk aplikatif.
Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah. Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang
direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan
menambahkanya. Maksudnya adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitur), tetapi ia
tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitur) berkata: tangguhkan
hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan
uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian
seterusnya, 19 Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-
laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggang waktunya habis dan
barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh
menambah tenggatnya. Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa
jahiliyah hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu.
Tambahan itu adalah ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.Menurut Mujahid
(meninggal pada tahun 104 Hijriah), kan tentang riba yang dilarang oleh Allah SWT, "di zaman
menjelaskan Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain. Orang itu berkata
kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni menangguhkannya."
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus dibayar
dengan bunga.

Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab
adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan
bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan
bersama." Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan

Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, "riba nasi'ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah.
Karena biasanya, seseorang meminjamkan [22.41, 5/3/2022] Muhammad Zakaria: uang kepada
orang lain dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya setiap
bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran. Kalau tidak
mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.

10
2.2.1 Tahapan Larangan Riba dalam al-Qur'an

Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar.
Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by step).
Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan
riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan
kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian jahiliyah Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada
akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.

 Tahap pertama
Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Di sini, Allah menolak anggapan bahwa pinjaman nba yang mereka anggap
untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda
dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan melipat
gandakan pahala Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum
mengharamkannya.

 Tahap kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan
sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan
siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas
lagi tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan
larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk
menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat
dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan
menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.

 Tahap ketiga
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang
dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu
yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit
demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.

11
 Tahap keempat
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas, jelas,
pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan
besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut
jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Nu menafsirkan riba sebagai berikut :

Mengawali pembahasan ini, penulis ingin menukil sebuah ayat, di mana Allah SWT berfirman:

‫اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن الِّر َبا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم اَّلِذ ي َيَتَخَّبُطُه الَّشْيَطاُن ِم َن اْلَم ِّس ۚ َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهْم َقاُلوا ِإَّنَم ا اْلَبْيُع ِم ْثُل الِّر َباۗ َو َأَح َّل ُهَّللا اْلَبْيَع‬

‫َو َح َّر َم الِّر َباۚ َفَم ن َج اَءُه َم ْو ِع َظٌة ِّم ن َّرِّبِه َفانَتَهٰى َفَلُه َم ا َس َلَف َو َأْم ُر ُه ِإَلى ِهَّللاۖ َو َم ْن َعاَد َفُأوَٰل ِئَك َأْص َح اُب الَّناِر ۖ ُهْم ِفيَها َخ اِلُد وَن‬

Arti tekstual : “[Perumpamaan] orang-orang yang memakan riba tidak berdiri kecuali seperti
barang yang berdiri yang kemudian dibanting oleh setan dengan suatu timpaan (barang yang
dirasuki oleh setan). Demikian itu, sebab sesungguhnya mereka telah berkata bahwa jual beli itu
menyerupai riba. Padahal, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka,
barangsiapa yang telah dating padanya suatu nasihat (peringatan) dari Tuhannya, lalu mereka
berhenti dari memungut riba, maka baginya apa yang dulu ia pinjam, lalu mereka berserah diri
kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengulangi mengambil riba, maka mereka berhak atas
neraka. Mereka kekal di dalamnya.”

(QS Al-Baqarah: 275) Penggalan ayat ‫اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن الِّر َبا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم اَّلِذ ي َيَتَخَّبُطُه الَّشْيَطاُن ِم َن اْلَم ِّس‬
ditafsirkan oleh Abu Ja’far at-Thabari sebagai “pihak yang membuat riba”.

Riba berasal dari kata ‫ يربــو‬-‫ ربـــا‬yang berarti sebagai ‫إذا زاد على ما كان عليـه فعظم‬, yang berarti
“ketika melebihi dari apa yang seharusnya ada dan semakin besar.” Inti dari riba adalah al-
ziyâdah, yang berarti tambahan. Orang yang mengambil riba disebut dengan istilah murbin (
‫)ُم ْر ب‬. Oleh karenanya, pengertian riba juga didefinisikan sebagai:

‫ الذي كان له على غريمه حاال أو لزيادته عليه فيه لســبب األجل الذي يؤخره إليــه‬،‫ لتضعيفه المال‬،"‫وإنما قيل للمربي "ُم ْر ٍب‬
‫فيزيده إلى أجله الذي كان له قبَل َح ّل دينه عليه‬

Artinya: “Pihak yang mengambil riba diistilahkan dengan “murbin” karena usahanya
“melipatgandakan” harta yang ditetapkan kepada pihak yang berutang, baik secara kontan

12
(hâlan) atau dengan jalan menetapkan tambahan kepada pihak yang berutang sebab tempo
pengembalian (ajal), yaitu penundaannya gharim (pihak yang berutang) kepada “murbin” lalu
menetapkan tambahan atas aset yang dipinjam sampai masa jatuh tempo, yang mana hal ini
berlaku sebelum pihak gharim melunasi utangnya.”(Lihat Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Khalid at-Thabari, Jami'ul Bayan fi Ta'wil Qur'an, bisa diakses di alamat ini)
Penafsiran sedemikian ini oleh Abu Ja’far at-Thabari didasarkan pada adanya munasabah
(kesesuaian) ayat di atas dengan ayat yang lain dalam Surat Ali Imran ayat130:
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ال َتْأُك ُلوا الِّر َبا َأْض َع اًفا ُمَض اَع َفًة‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan jalan
melipatgandakan lagi dilipatgandakan.”

(QS Ali Imran: 130) Ibnu Mujahid dan Qatadah memiliki penafsiran yang sama dengan Abu
Ja’far. Keduanya, yang merupakan generasi tabi’in ahli qira’ah dan sekaligus ahli tafsir,
menegaskan bahwa dulu berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah, apabila ada seseorang
hendak meminjam ke orang lain, maka kepadanya disampaikan: “jika kamu pinjam dengan
tempo segini, maka kamu harus mengembalikan segini.” Bisyr yang menyandarkan ucapannya
dari Imam Qatadah, juga menjelaskan secara terpisah bahwa riba pada masa jahiliyah
berlangsung ketika ada seseorang melakukan jual beli barang sampai batas tempo tertentu
kemudian ketika telah sampai masa jatuh tempo pelunasan, ternyata pihak pembeli belum bisa
melunasi pembayarannya, maka ditetapkan “tambahan harga” kembali yang disertai “penetapan
tunda pelunasan kembali.”

Misalnya: Pak Udin membeli barang secara tempo sampai batas pelunasan 1 tahun. Sebut
misalnya bahwa harga barang secara tempo adalah 20 juta rupiah. Setelah masa satu tahun,
ternyata Pak Udin belum bisa melunasi harga pembelian barang tersebut, lalu diputuskan untuk
melakukan negosiasi lagi, kemudian dilakukan penjadwalan kembali dengan menambahkan
harga sebelumnya sebagai risiko penundaan lagi. Model transaksi seperti ini menurut mufasir
generasi tabi’in, yakni Imam Qatadah adalah termasuk transaksi riba yang pernah berlaku di
kalangan masyarakat jahiliyah. Kesimpulan dari Tafsir at-Thabari di atas, adalah bahwa yang
dimaksud sebagai riba, adalah:

1. Pengertian riba merujuk pada tradisi transaksi masyarakat jahiliyah

2. Riba terjadi disebabkan adanya ziyâdah (tambahan) yang ditetapkan di awal sebelum
berlakunya utang-piutang

13
3. Sifat dari ziyâdah (tambahan harga) adalah melipatgandakan lagi dilipatgandakan (‫أضعافا‬
‫)مضاعفة‬. Kelak akan disampaikan maksud dari ‫ أضعافا مضاعفة‬ini.

4. Riba dalam transaksi jual beli terjadi ketika ada penjadwalan kembali utang pembelian yang
disertai penetapan harga tambahan yang melebihi dari harga yang disepakati di awal. Wallahu
a’lam.

Muhammadiyah

Majlis Tarjih Muhammadiyah mengemukan bahwa bunga yang berlaku selama ini adalah
perkara Mutasyabihat (tidak jelas halal dan haramnya). Kata-kata mutasyabihat dalam
pengertian bahasa adalah perkara yang tidak jelas. Dalam pengertian Syara sebagai yang
tersimpul dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu'man bin Basyir yang
berkesimpulan sebagai berikut: Bahwasanya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas yaitu
yang dijelaskan oleh al-Qur'an dan Hadits Misalnya daging onta halal dimakan, daging khinzir
(babi) haram dan lain-lain sebagainya. Selain dari itu ada beberapa hukum yang tidak jelas halal
dan haramnya bagi seseorang maka inilah yang dinamakan mutasyabihat. Dalam keadaan
seperti ini Nabi menganjurkan kita untuk berhati-hati dengan menghindari dan menjauhinya
demi menjaga kemurnian jiwa dan pengabdian kita kepada Allah SWT. 24

2.2.2 Ragam atau Macam-macam Riba

Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang yang telah
dijelaskan tentang keharamannya dalam al Qur'an, dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan
boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.

A. Riba akibat hutang piutang disebut Riba Qardha), yaitu suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah
(4) ), yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.24

B. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fad! (J), yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis
barang ribawi, dalam hadits Ubadah bin Shamit disebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

14
‫ والبربالير‬،‫عن عبادة بن الصامت قال ابن سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ينهى عن بيع الذهب بالذهب والفضة بالفضة‬
‫ فاذا اختلف هذه األصناف فبيعوا كيف شفتم اذاكان‬,‫والشعير بالشعير والشمر بالتمر والملح بالملح مثال مثل سواء بسواء يدابيد‬
25 ‫بداييد‬

Maksud dari hadits di atas adalah seseorang menukar barang berupa emas harus dengan
emas pula yang sepadan dan beratnya juga harus sama, perak dengan perak dan harus
diserahterimakan secara langsung. Dan Riba Nasi'ah. yaitu penangguhan atas penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar Al-Haitami "Bahwa riba
itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadhi, riba al yaad dan riba an-nasi'ah. Al-Mutawally
menambahkan jenis ke-empat yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis
ini diharamkan secara ijma' berdasarkan Al-Quran dan hadis Nabi. (Az-Zawajir/An Iqtiraf Al-
Kabair vol.2 hal,205)

2.2.3 Contoh Riba dalam kehidupan

1). Seseoarang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan
ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjman dalah riba sebab
tidak ada imbangannya.

2). apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas
dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang
dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%. 5) jika si A meminjam 10 kg buah apel
kepada si B. jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan
tersebut merupakan riba yang diharamkan.

3). Andi akan membeli motor, dan penjualnya pun berkata "jika anda membeli secara tunai
maka anda harus membayar Rp. 5.000.000,- namun jika anda membeli secara kredit maka anda
harus membayar Rp. 500.000,-/bulan selama 11 bulan. Dari percakapan itu dapat disimpulkan
bahwa jika andi membeli secara kredit maka dia harus membayar Rp. 5.500.000,- sedangkan
secara tunai dia harus membayar Rp. 5.000.000 jadi jika dia membayar dengan kredit maka dia
akan rugi Rp 500.000.- Jadi tambahan uang Rp. 500,000 itu adalah riba dari kredit.

15
4). Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter keras, maka pertukaran
tersebut adalah riba, scabab beras harus ditukar dengan beras yang sejenis dan tidak boleh
dilebihkan salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya
digunakan untuk membeli beras dolog.

5). Si A meminjam dua liter bensin kepada si B, kemudian disyaratkan adanya penambahan
satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan.

2.2.4 Pandangan kaum Modern terhadap Riba

Kaum modernis memandang riba lebih menekankan pada aspek moralitas atas
pelarangannya, dan "menomorduakan" "legal-form" atas riba, seperti yang ditafsirkan dalam
fiqh. Para kaum modernis adalah Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad (1984), Sa'id al-
Najjar (1989), dan Abd al-Mun'im al-Namir (1989). Menurut Muhammad Asad:

"Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti di mana istilah digunakan dalam al-Qur'an dan
dalam banyak ucapan Nabi SAW) terkait dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh
melalui pinjaman pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang
berekonomi lemah orang-orang kuat dan kaya...dengan menyimpan definisi ini di dalam benak
kita menyadari bahwa persolan mengenai jenis transaksi keuangan mana yang jatuh ke dalam
kategori riba, pada akhirnya, adalah persoalan moralitas yang sangat terkai dengan motivasi
sosio-ekonomi yang mendasari hubungan timbal-balik antara si peminjam dan pemberi
pinjaman".27 Menurut pemikir modern yang lain adalah Abdullah Yusuf Ali, beliau
mendefiniskan riba adalah: "Tidak dapat disangsikan lagi tentang pelarangan riba. Pandangan
yang biasa saya terima seakan-akan menjelaskan bahwa tidak sepantasnya memperoleh
keuntungan dengan menempuh jalan perdagangan yang terlarang, di antaranya dengan pinjam
meminjam terhadap emas dan perak serta kebutuhan bahan makanan meliputi gandum, gerst
(seperti gandum yang dipakai dalam pembuatan bir), kurma, dan garam. Menurut pandangan
saya, seharusnya larangan ini mencakup segala macam bentuk pengambilan keuntungan yang
dilakukan secara berlebih-lebihan dari seluruh jenis komoditi, kecuali melarang pinjaman kredit
ekonomi yang merupakan produk perbankan modern" 28

Sedangkan Fazlur Rahman berpendapat bahwa riba: "Mayoritas kaum muslim yang
bermaksud baik dengan bijaksana tetap berpegang teguh pada keimanannya, menytakan bahwa
al Qur'an melarang seluruh bunga bank (menanggapi penjelasan tersebut) sedih rasanya
16
pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara mengabaikan bentuk riba yang bagaimanakah
yang menurut sejarah dilarang, mengapa al-Qur'an mencelanya sebagai perbuatan keji dan
kejam mengapa menganggapnya sebagai tindakan eksploitatif serta melarangnya, dan apa
sebenarnya fungsi bunga bank pada saat ini" 29.

Bagi kaum modernis tampak dengan jelas bahwa apa yang diharamkan adalah adanya
eksploitasi atas orang-orang miskin, bukan pada konsep bunga itu sendiri (legal-form) menurut
hukum Islam, apa yang diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha mengambil untung
dari penderitaan orang lain.

2.2.5 Pandangan Islam terhadap Riba

Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-ayat
yang menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan masa dan
periode turunnya ayat. tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas tentang riba.
Bahkan istilah dan persepsi tentang riba begitu mengental dan melekat di dunia Islam. Oleh
karena itu, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas agama Islam. Akan tetapi menurut
seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di
negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di
agama Kristen pun, selama satu melenium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan
theolog, cendikiawan maupun menurut undang-undang yang ada. [23.12, 5/3/2022] Muhammad
Zakaria: Kegiatan transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan transaksi yang secara
tegas diharamkan bahkan pengharamannya telah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Riba
merupakan transaksi yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitur)
bahkan merusak akhlak dan moralitas manusia. Pengharaman ini tidak hanya berlaku pada
agama Islam saja, akan tetapi dalam agama-agama samawi juga melarangnya bahkan mengutuk
pelaku riba. Plato (427-347 SM) misalnya, termasuk orang yang mengutuk para pelaku pelipat
gandaan uang.31

Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan, hal ini dikerenakan
bahwa riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya riba adalah yang berlipat ganda (ad'afan
mudha'afah). Landasan dari riba dalam al-Qur'an surat al-Imran ayat 130:

32 ‫يأيها الذين ءامنواال تأكلوالربوا أضعفامضعفة والقوهللا لعلكم تفلحون‬

17
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan"

Tetapi bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti al Baqarah ayat 275
(mengharamkan riba), ayat 276 masih dalam surat al Baqarah menyatakan bahwa Allah
menghapus keberkahan riba dan demikian pula dalam surat al-Baqarah ayat 278-279, yang
menegaskan tentang pelarangan riba, meskipun sedikit pengambilan bunga (tambahan) tersebut
tetap dilarang, hal ini menunjukkan bahwa tujuan ideal al-Qur'an adalah menghapus riba sampai
membersihkan unsur unsurnya.33

Dalam surat al-Baqarah ayat 278 279 menjelaskan secara tegas terhadap pelarangan pelaku riba:
‫هللا‬

‫يأيها الذين ءامنوا اتقوا هللا و روا مابقى من الربوا ان كنتم مؤمنين قال لم تفعلوا فأذنوا بحرب من ورسوله وان تبتم فلكم‬
24 ‫رءوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمون‬

Dalam ayat ini Allah menganjurkan hamba-Nya yang beriman supaya menjaga dirimu
dalam taqwa, dalam tiap gerak langkah, tutur kata dan amal perbuatan supaya benar-benar
dijalan Allah dan tinggalkan sisa hartamu (riba) yang masih ada ditangan orang. selebihnya dari
apa yang kalian berikan kepada mereka, jika kalian benar-benar beriman, percaya syari'at
tuntunan Allah dan melakukan segala yang diridha'i-Nya dan menjauh dari semua yang dilarang
dan dimurka-Nya.

Ahli-ahli tafsir menyebut di sini adalah kejadian pada Bani Amr bin Umar dari suku
Tsaqief dan Bani al-Mughirah dari suku Makhzum, ketika di masa Jahiliyah terjadi hutang
piutang riba, kemudian ketika Islam datang, suku Tsaqief akan menuntut kekurangan riba yang
belum dilunasi tetapi banul Mughirah berkata, "Kami tidak akan membayar riba dalam Islam,
maka gubernur Mekkah Attab bin Usaid menulis surat kepada Rasulullah SAW, surat tersebut
berisi mengenai kejadian hutang piutang antara Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief dengan
Bani Mughirah dari suku Makhzum, maka turunlah ayat 278-279 dari surat al Baqarah ini, maka
Bani Amr bin Umar berkata, "Kami tobat kepada Allah dan membiarkan sisa riba itu riba itu
semuanya.

Tampaknya pelarangan riba dalam al-Qur'an datang secara bertahap seperti larangan
minum khamar. Dalam surat al-baqarah merupakan ayat riba yang terakhir dan para ahli hukum
Islam dan ahli tafsir tidak ada yang membantahnya. Berbagai riwayat yang dikutip oleh
mufassir ketika mereka menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebutkan bahwa
18
ayat tersebut merupakan ketegasan atas praktek riba yang ditampilkan antara penduduk Makkah
dan penduduk Taif.

2.2.6 Manfaat diharamkan riba

Semua ajaran agama, baik yang berupa perintah maupun larangan pasti memiliki manfaat bagi
manusia, berikut manfaat diharamkannya riba

A. Manfaat bagi Rentenir


1. Selamat dari sikap serakah atau tamak terhadap harta yang bukan haknya

2. Terhindar dari sikap hidup malas karena hanya mengharapkan bunga uang yang

dipinjamkan

3. Terhindar dari perbuatan aniaya karena memeras kaum lemah

4. Selamat dari ancaman Allah SWT dan laknat Rosulullah SAW

B. Manfaat bagi peminjam


1. Selamat dari pemerasan yang dilakukan rentenir
2. Selamat dari ancaman Allah SWT dan laknat Rosulullah SAW
3. Memenuhi kebutuhan hidup dengan tenang

2.2.7 Sikap menghindari Riba

 Kiat Periama: Berilion Dulu Sebelum MembeliDalam bertindak, Islam selalu


mengajarkan berilmulah terlebih dahulu. Dalam masalah ibadah, Islam mengajarkan hal
ini agar amalan seseorang tidak sia-sia.
 Kiat Kedua: Mengetahui Bahaya Riba Setelah mengetahui definisi riba dan berbagai
bentuknya, mengetahui bahaya riba akansemakin membuat seorang muslim
menjauhinya transaksi haran tersebut.

19
 Kiat Ketiga: Tidak Bermudah-mudahan dalam Berutang Islam menerangkan agar kita
tidak terlalu bermudah-mudahan untuk berufang Orang yang berulang dan ia enggan
melunasinya-padahal ia mampu-sungguh sangat tercela.
 Kiat Keempat: Milikilah Sifat Qona'al Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat
qona 'ah, itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan
 Kiat Kelima: Sabar dan Tawakal Sikap sabar dalam menerima rizki yang diberikan
Allah SWT dalam kehidupan kitasangat diperlukan untuk dapat menghindari riba
 Kiat Keenam: Perbanyaklah Do'a Kiat terakhir yang juga jangan terlupakan adalah
memperbanyak do'a.
2.3 Riba: Tinjauan Historis

Konsep riba sebenarnya telah lama dikenal dan telah perkembangan dalam pemaknaan.
Kajian mengenai riba, ternyata bukan hanya diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi
berbagai kalangan di luar Islam-pun memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur
hingga lebih dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-
Muslim, seperti Hindu, Budha (Rivai, dkk. 2007: 761), Yahudi, Yunani, Romawi dan
Kristen (Antonio, 2001:42),

Konsep riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah "neshekh" dinyatakan
sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka,
baik dalam Old Testament (Perjanjian lama) maupun dalam undang-undang Talmud.
Banyak ayat dalam Old Testament yang melarang pengenaan bunga pada pinjaman kepada
orang miskin dan mengutuk usaha mencari harta dengan membebani orang miskin dengan
riba

(Antonio, 2001: 43) diantaranya adalah sebagai berikut:

1). Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan sebagai berikut: "Jika engkau
meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu,
maka janganlah engakau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia janganlah engkau
bebankan bunga uang terhadapnya".

2). Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyebutkan sebagai berikut:

"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan

makanan atau apapun yang dapat dibungakan".


20
Dudi Badruzman: Riba Dalam Presfekif Keuangan Islam

3). Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan sebagai berikut:

"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi
uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan
meminta riba" Sedangkan pada masa Yunani dan Romawi Kuno, praktek riba merupakan
tradisi yang lazim berlaku (Islahi, 1988; 124). Pada masa Yunani sekitar abad VI SM hingga
1 M. terdapat beberapa jenis bunga yang bervariasi besarnya (Antonio, 2001: 43). Sementara
itu, pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M, terdapat undang-undang yang
membolehkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan
"tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini
berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu, namun pengambilannya tidak dibenarkan
dengan cara bunga berbunga (double countable). Pada masa Romawi terdapat 4 jenis tingkat
bunga (Antonio, 2001: 44), yaitu sebagai berikut:

1) Bunga maksimal yang dibenarkan: 8%-12%

b) Bunga pinjaman biasa di Roma: 4%-12%

c) Bunga di wilayah taklukan Roma: 6%-100%

d) Bunga khusus Byzantium: 4%-12%

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga tersebut dicela oleh para ahli filsafat
Yunani, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), begitu pula para
ahli filsafat Romawi, seperti Cato (234-149 SM), Cicero (106-43 SM) dan Seneca (4 SM-65
M) mengutuk praktik bunga, yang digambarkannya sebagai tindakan tidak manusiawi
(Islahi, 1988: 124).

Konsep riba di kalangan Kristen mengalami perbedaan pandangan, yang secara umum
dapat dikelompokkan menjadi tiga periode sebagai berikut: Pertama, pandangan para
pendeta awal Kristen (abad 1-XII) yang mengharamkan riba dengan merujuk pada Kitab
Perjanjian Lama dan undang-undang dari gereja. Pada abad IV M. gereja Katolik Roma
melarang praktik riba bagi para pendeta, yang kemudian diperluas bagi kalangan awam pada

21
abad V M. Pada abad VIII M. di bawah kekuasaan Charlemagne, gereja Katolik Roma
mendeklarasikan prakiik riba sebagai tindakan kriminal (Iqbal dan Mirakhor, 2007: 71),
Kedua, pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang cenderung membolehkan
bunga, dengan melakukan terobosan baru melalui upaya melegitimasi hukum, bunga
dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang
diperbolehkan sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para sarjana Kristen yang
memberikan kontribusi pemikiran bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218),
William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), Bonaventure
(1221 1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) (Antonio, 2001:47).

Ketiga, pandangan para reformis Kristen (abod XVI-1836) seperti Martin Luther (1483-
1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551) dan John Calvin (1509-1564) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga (interest). Pada periode ini, Raja Henry
VIII memutuskan berpisah dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 bunga
(interest) resmi dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10%. Kebijakan ini kembali
diperkuat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun (571 (Karim, 2001: 72, Rivai, dkk, 2007: 763)
Dengan latar belakang sejarah tersebut di atas, maka seluruh praktik operasionalisasi
perbankan modem yang mulai tumbuh dan berkembang sejak abad XVI M ini menggunakan
sistem bunga. Sistem benga ini nilai tumbuh, mengakar, dan mendarah-daging dalam
industri perbankan modem sehingga sulit untuk dipisahkan. Bahkan mereka beranggapan
bahwa bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan Jika tanpa bunga, maka sistem
perbankan menjadi tak bernyawa dan akhirnya perekonomian akan lumpuh (Mannan, 1997.
165)

Sementara itu, riba telah jelas dan tegas dilarang dalam Islam. Pelarangan riba dalam al-
Qur'an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap, sejalan dengan kesiapan
masyarakat pada masa itu, seperti pelarangan minuman keras. Adapun tahap-tahap
pelarangan riba dalam al-Qur'an dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tahap pertama, disebutkan bahwa nba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan
Allah, sedangkan shodaqoh akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum:
39) Tahap kedua, poda awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan
dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Ritu dipersamakan dengan mereka yang
mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak
dengan siksa Allah yang pedih (QS. An-Nisa': 160-161). Tahap ketiga, pelarangan nba

22
dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini
turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah
berlipat ganda harus dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga pengertiannya adalah
yang diharamkan bokan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak
haram, melainkan sifat riba yang berlaku umam pada waktu itu adalah berlipat ganda. Tahap
keempat merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan
riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara jual beli dan riba dan menuntut kaum
Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang piliutang yang mengandung riba (QS. Al-
Baqarah: 278-279)

2.4. Konsep Riba dan Bunga dalam Ekonomi Islam

2.4.1 . Definisi dan Jenis-Jenis Riba

Secara etimologis, kata "ar-riba" bermakna zada wa nama', yang berarti bertambah dan
tumbuh (Abadi, 1998: 332). Di dalam al-Qur'an, kata "arriba" beserta berbagai bentuk
derivasinya disebut sebanyak dua puluh kali; delapan diantaranya berbentuk kata riba itu
sendiri. Kata ini digunakan dalam al-Qur'an dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh,
tambah, menyuburkan, mengembang dan menjadi besar dan banyak. Meskipun berbeda beda,
namun secara umum ia berarti bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Saeed,
1996:20) 531 Al Amwal: Vol. 1, No. 2, Februari 2019.

Dudi Badruzman Riba Dalam Presfekif Keuangan Islam

Sedangkan secara terminologis, riba secara umum didefinisikan sebagai melebihkan


keuntungan (harta) dari salah satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau
pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut
(Al-Jaziri, 1972: 221). Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran hutang
yang harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya
sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu (Muslim, 2005: 128).

Dengan mengabaikan perbedaan pendapat yang ada, umumnya para fuqaha'


menyepakati akan adanya dua macam riba, yaitu riba fadl (sebagaimana definisi pertama) dan
riba nasi'ah (sebagaimana definisi kedua). Namun, Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri
23
membuat pembagian riba yang agak berbeda dengan ulama lainnya. Menurut keduanya, riba
dibedakan atas riba yang terjadi pada hutang-pihutang yang disebut dengan riba nasi'ah dan riba
yang terjadi pada jual beli, yaitu riba nasa' dan riba fadl. Al-Mishri menekankan pentingnya
pembedaan antara riba nasi'ah dengan riba nasa agar terhindar dari kekeliruan dalam
mengidentifikasi berbagai bentuk riba. [00.17, 6/3/2022] Muhammad Zakaria: Riba nasi ah
dalam definisi sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat Arab Jahiliyyah dengan ciri utama
berlipat ganda dan eksploitatif telah disepakati keharamannya oleh para ulama. Sementara yang
kini menjadi perdebatan adalah riba nasi'ah yang tidak berlipat ganda dan dalam taraf tertentu
dipandang tidak eksploitatif, sebagaimana yang banyak diperbincangkan mengenai bunga bank
(interest). Sementara pada riba fadi masih diperdebatkan hukumnya di antara ulama dan
cendekiawan Muslim. Hassan merupakan salah satu ulama yang tidak setuju dengan
pengharamannya dengan berbagai alasan.

Perbedaan-perbedaan di atas umumnya disebabkan oleh beragamnya interpretasi


terhadap riba Kendati riba dalam al-Qur'an dan al-Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi
karena tidak diberi batasan yang jelas, sehingga hal ini menimbulkan beragamnya interpretasi
terhadap riba. Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga terhadap pemahaman para ulama
sesudah generasi sahabat Bahkan, sampai saat ini persoalan ini (interpretasi riba) masih menjadi
perdebatan yang tiada henti.

2.4.2 Definisi Bunga (Interest)

Secara etimologis, bunga dalam The American Heritage Dictionary of the English
Language didefinisikan sebagai interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of
the amount loaned (Wirdyaningsih, et al, 2005: 21). Definisi senada dapat ditemukan dalam
Oxford English Dictionary diartikan sebagai money paid for use of money lent (the principal) or
for forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rate per cent). Sedangkan dalam the Legal
Encyclopedia for Home and Business didefinisikan sebagai compensation for use of money
which is due (Tim Pengembangan Bank Syari'ah, 2001: 36). Sementara riba sering
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "usury" yang artinya the act of lending money at
exorbitant or illegal rate of interest (Wirdyaningsih, 2005: 25).

Definisi lain dalam Oxford English Dictionary diartikan sebagai the fact or practice of
lending money at interest: especially in later use, the practice of charging, taking or contracting
to receive, excessive or illegal rate of interest for money for loan. Dalam the Legal
Encyclopedia for Home and Business didefinisikan sebagai an excess over the legal rate charged
24
the borrower for the use of money (Tim Pengembangan Bank Syari'ah, 2001: 37). Dalam
sejarah ekonomi Eropa dibedakan antara "usury" dan "interest". Usury didefinisikan sebagai
kegiatan meminjamkan uang "where more is asked than is given". Kata "usury" berasal dari
bahasa Latin "usura" yang berarti "ase" berarti menggunakan sesuatu. Dengan demikian, usury
adalah harga yang harus dibayar untuk menggunakan uang Sedangkan kata "interest" berasal
dari bahasa Latin "interco" yang berarti untuk kehilangan "to be lost". Sebagian lain mengatakan
bahwa interest berasal dari bahasa Latin "interesee" yang berarti datang di tengah (to come in
between) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi jika peminjam tidak
mengembalikan sesuai waktu (compensation or penalty for delayed repayment of a loan). Pada
perkembangan selanjutnya, "interest" bukan saja diartikan sebagai ganti rugi akibat
keterlambatan pembayaran hutang, tetapi diartikan juga sebagai ganti rugi atas kesempatan yang
hilang (opportunity loss) (Rivai, dkk, 2007: 762: Karim, 2007:42).

Dari definisi ini, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada
hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase. Istilah
usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa
harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya
lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat
bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran

2.4.3 Kritik Terhadap Teori-Teori Bunga

Dalam sistem ekonomi kapitalis, bunga merupakan unsur yang sangat penting. Bahkan
dapat dikatakan bahwa darah perekonomian sistem kapitalis adalah bunga. Namun ternyata,
berbagai teori bunga tidak mampu menjelaskan secara pasti apakah bunga diperlukan dalam
suatu perekonomian atau apakah bunga berperan mendorong investasi nyata dan bukan
mendorong untuk berspekulasi. Untuk itu perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap
teori-teori bunga.

Secara umum, perkembangan teori bunga dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu
Teori Bunga Murni (Pure Theory of Interest) dan Teori Bunga Moneter (Monetary Theory of
Interest). Para pakar ekonom yang mendukung kelompok teori pertama diantaranya adalah
Adam Smith dan David Ricardo, mereka sebagai penganut Teori Bunga Klasik (Classical
Theory of Interest), N.W. Senior pelopor Teori Bunga Obstinence (Abstinence Theory of

25
Interest), Marshall sebagai pelopor Teori Bunga Produktivitas (Productivity Theory of Interest)
dan Bohm Bawerk, pelopor teori bunga Austria (Austrian Theory of Interest). Sementara itu,
pendukung kelompok teori kedua adalah A. Lerner sebagai pelopor The Loanable Funds Theory
of Interest dan Keynes pelopor teori bunga keseimbangan kas (Keynesian Theory of Interest)
(Tim Pengembangan Bank Syari'ah, 2001: 41-42). Dalam khasanah ekonomi klasik, tokoh yang
terkenal adalah Adam Smith dan David Ricardo Penganut teon bunga klasik memandang bokwa
bunga sebagai kompensasi yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman oleh peminjam sebagai
jasa atas keuntungan yang diperoleh dan uang pinjaman Oleh karena itu, bunga sebagai harapan
balas jasa atas tabongan Karena orang tidak akan menabung tanpa adanya harapan balas jasa
tabungan, sehingga teori bunga ini berpandangan bahwa ekonomi tanpa bunga tidak mungkin
bisa berjalan (Mohammad, 2001:13).

Selain itu, Adam Smith Jalam Rahman (2002 17) memandang masalah bunga sebagai
suatu masalah harga khusus dan menekankan pentingnya bunga dengan 2 (dua) landasan, yaitu
(1) untuk membangkitkan supply modal yang cukup; dan (2) kanna pentingnya keuntungan
yang memungkinkan berkelanjutannya modal Namun ternyata, seor ini memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya adalah tidak setiap penabung berniat meminjamkan uangnya, sehingga
tanpa bunga orang juga bersedia untuk menabung, dan bank ketika meminjamkan uang sama
sekali tidak logis dikatakan sebagai pengorbanan (Muhammad 2001: 15).

Sementara itu, teori bunga abstinence yang dipelopori oleh Senior berpandangan bahwa
bunga adalah harga yang dibayarkan sebagai tindakan menahan nafsu (abstinence). Menurutnya,
tindakan menahan nafsu ini merupakan tindakan untuk tidak mengkonsumsi atau melakukan
kegiatan produksi sehingga jika seseorang meminjam uang kepada orang lain. maka ia harus
membayar sewa atas uang yang dipinjamnya (Amonio, 2001: 69).

Teon ini dikritik dengan alasan bahwa penderitaan akibat pengorbanan "tahan nafsu
berbeda menunit tingkat pendapatan penabung. Atau dapat saja penabung tidak memilih untuk
meminjamkan uangnya agar tabungannya tetap likuid Dengan demikian tidak ada alasan
baginya untuk mendapat bunga (Tim Pengembangan Bank Syari'ah, 2001:42).

Pandangan Marshall sebagai pelopor icon bungs produktivitas berbeda dengan


pendahulunya. Teori ini memperlakukan produktivitas sebagai suatu kekayaan yang terkandung
dalam kapital dan produktivitas kapital tersebut dipengaruhi oleh suku bunga Suku bunga itu
sendiri ditentukan oleh interaksi kurva penawaran dan permintaan tabungan Jika penawaran
tabungan lebih besar dari permintaan tabungan, maka suku bunga akan turun dan investasi akan
26
meningkat. Sebaliknya, jika permintaan tabungan lebih besar dan penawaran tabungan, maka
suku bunga akan naik dan investasi akan tunin (Muhammad,2001: 13).

Kritik terhadap Smith, Ricardo dan Senior dapat juga dipakai untuk menunjukkan
kelemahan teori Marshall. Sekarang disadari bahwa yang menjamin keseimbangan antara
tabungan dan investasi adalah tingkat pendapatan, bukan suku bunga. Peribahsan singkat suku
bunga pengaruhnya sangat kecil terhadap tabungan. Peningkatan atas tabungan tidak selalu
diikuti oleh peningkatan a investasi atau dapat dikatakan halwa investasi tidak dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya ungkat soku bunga. Hal ini bisa dibuktikan bahwa dalam kondisi depresi,
misalnya, meskipun terjadi penurunan tingkat suku bunga, tetapi fakta menunjukkan bahwa
investasi tidak meningka. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa tingkat suku
bunga ditentukan oleh produktivitas kapital adalah alasan yang berputar-putar karena Sementara
Bohm Bawerk telah mengembangkan teori bunga yang mirip dengan teori yang dikembangkan
oleh Senior. Pelopor teori bunga Austria atau time preference theory init berpendapat bahwa
produktivitas marginal barang sekarang lebih tinggi daripada produktivitas marginal barang
untuk masa yang akan datang. Teori ini digeneralisasi atas dasar pandangan psikologis yang
sangat subyektif sehingga membuat pemahaman akan teori bunga menjadi salah kaprah.
Pertama, sebagian besar masyarakat menabung bukan atas pertimbangan agar tabungannya pada
masa mendatang akan lebih banyak dibanding dengan waktu sekarang, melainkan untuk tujuan
tertentu, seperti sekolah, perkawinan, masa pensiun, dan sebagainya. Kedua, masyarakat
menengah ke atas melakukan pemupukan kekayaan dengan tujuan untuk prestise dan
kedudukan sosial, jadi bukan karena produktivitas marginal barang sekarang lebih tinggi
daripada barang untuk masa yang akan datang (Tim Pengembangan Bank Syari'ah: 43).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa tidak ada satupun teori bunga murni yang
mampu menjelaskan dan membuktikan bahwa bunga diperlukan dalam suatu aktivitas ekonomi.
Sebagian orang kemudian berpaling ke teori bunga moneter untuk mencoba menjelaskan
bagaimana penentuan tingkat bunga meskipun mereka tidak memiliki dasar yang kuat tentang
definisi bunga itu sendiri. Sedangkan pandangan kelompok teori kedua, yaitu teori Bunga
Moneter, diantaranya adalah Lerner yang menggagas the loanable funds theory. Teori ini
berangkat dari konsep bunga yang berasal dari tabungan dan investasi. Teori ini berpandangan
bahwa bunga ditentukan oleh interaksi penawaran dan permintaan akan dana pinjaman.
Sedangkan teori bunga Keynes berpendapat bahwa tingkat bunga ditentukan oleh permintaan
dan penawaran akan uang.

27
Oleh karena itu, Keynesian meyakini bahwa tabungan dan investasi selalu sama nilainya
(seimbang). Aliran pertama tidak sependapat dengan hal ini. Menurutnya, mengasumsikan
tabungan yang direncanakan akan selalu sama dengan investasi yang direncanakan adalah tidak
berdasar. Menurut mereka, suku bunga ditentukan oleh harga kredit dan karena itu diatur oleh
interaksi penawaran dan permintaan modal. Teori ini dianggap rancu (Muhammad, 2001: 14).

karena analisisnya mencampuradukkan antara pengertian persediaan (stock) dengan


aliran (flow). Pemikiran teori bunga moneter terakhir dilakukan oleh Keynes. Ia memandang
bahwa bunga bukan sebagai harga atau balas jasa atas tabungan, tetapi bersifat pembayaran
untuk pinjaman uang. Secara umum teori bunga moneter memandang bahwa pembayaran bunga
sebagai tindakan opportunitas untuk memperoleh keuntungan dan tindakan meminjamkan uang.
Oleh kare itu, Keynes menyebutnya sebagai motif spekulasi. Motif ini didefinisikan sebagai
usaha untuk menjamin keuntungan di masa yang akan datang. Dalam teori ini, aktivitas
spekulasi yang dilakukan pelaku ekonomi akan mempengaruhi suku bunga dan silih berganti,
dan akhirnya akan mempengaruhi investasi, tingkat produksi dan kesempatan kerja
(Muhammad, 2001: 14-15)

Sementara itu, Islam melarang segala bentuk spekulasi karena aktivitas dapat
dikategorikan sebagai maysir (gambling). Jika dicermati, beberapa teori bunga di atas, baik dari
kelompok teori bunga muri maupun teori bunga moneter temyata memiliki sejumlah kelemahan
Kedua kelompok teori tersebut tidak mampu menjelaskan secara pasti apakah bunga diperlukan
dalam suatu perekonomian atau apakah bunga berperan mendorong investasi nyata dan bukan
mendorong untuk berspekulasi. Oleh karena itu, gugatan mulai muncul berkenaan dengan teon
bunga tersebut sampai akhirnya muncullah tawaran solusialternatif dengan munculnya teori bagi
hasil di perbankan syari'ah.

2.4.5 Sekilas Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Bunga Bank

Fatwa ulama tentang pengharaman bunga bank, sebenarnya telah ditetapkan dalam
suatu pertemuan penelitian Islam yang dihadiri oleh 150 para ulama terkemuka dalam
konferensinya yang kedua pada bulan Mei 1965 di Kairo, Mesir. Setelah itu berbagai forum
ulama internasional maupun nasional juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
Adapun keputusan lembaga Islam internasional (Ascarya, 2007: 15), antara lain:

28
1. Dewan Studi Islam al-Azhar, Kairo, dalam konferensi DSI al-Azhar pada bulan
Muharram 1385 H/ Mei 1965 M, yang memutuskan bahwa “bunga dalam segala
bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan”

2. Keputusan Muktamar Bank Islam II, Kuwait, 1403 H/1983.

3. Majma' al-Fiqh al-Islami, Organisasi Konferensi Islam, dalam Keputusan No. 10


Majelis Majma’ Fiqh Islami, pada Konferensi OKI ke-2 di Jeddah, Arab Saudi pada
tanggal 10-16 Rabi’ ats-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985, yang memutuskan
bahwa “seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah
tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari
permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang diharamkan secara syari’ah.

4. Rabithah al-'Alam al-Islami, dalam keputusan No. 6 sidang ke-9 yang


diselenggarakan di Mekkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H, yang memutuskan bahwa
“bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang
diharamkan”.

5. Jawaban Komisi Fatwa al-Azhar pada 28 Februari 1988.

Sedangkan keputusan lembaga Islam nasional di Indonesia (Ascarya, 2007: 16)


antaralain:
a) Muhammadiyah dalam Lajnah Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo memutuskan bahwa
a) “hukum bunga bank pemerintah adalah musytabihat. Nahdhatul Ulama dalam
Lajnah Bahsul Masa'il, Munas Bandar Lampung pada tahun 1992 mengeluarkan fatwa
tentang bunga bank dengan mengakomodasi tiga keputusan, yaitu bunga bank adalah
haram, halal dan syubhat.

b) Majelis Ulama Indonesia dalam Lokakarya Alim Ulama di Cisarua tahun 1991
memutuskan bahwa 1) bunga bank sama dengan riba; 2) bunga bank tidak sama
dengan riba; dan 3) bunga bank tergolong syubhat.

c) Lajnah Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, pada Silaknas
MUI pada tanggal 16 Desember 2003 memutuskan bahwa “bunga bank sama dengan
riba”.

29
d) 5. PP Muhammadiyah, Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah No. 8 pada bulan Juni
2006 diumumkan pada Rakernas dan Bussiness Gathering Majelis Ekonomi
Muhammadiyah tanggal 19-21 Agustus 2006 memutuskan bahwa “bunga bank
haram”.

Ternyata munculnya Fatwa-fatwa ini menimbulkan respon yang beragam di kalangan


masyarakat, baik yang pro dan kontra. Dengan demikian, tampak jelas bahwa dalam
menghadapi masalah bunga bank terdapat beragam pendapat di kalangan umat Islam di
Indonesia.

2.4.6 Kontroversi Seputar Riba dan Bunga Bank

Polemik ulama seputar bunga bank tidak bisa dilepaskan dari persoalan dasar hukum
Islam pada bidang mu'amalat dimana pengaturannya oleh nash dilakukan secara umum, tidak
dijelaskan secara rinci, berbeda dengan persoalan ibadah dan aqaid. Di samping itu, persoalan
intinya terletak pada perbedaan dalam menentukan 'illat hukum seputar riba. Sebagian ulama
memakai "ziyadah" (tambahan) dan sebagian ulama yang lain memakai "dzulm"
(kemudlaratan).

Setidaknya, terdapat dua pandangan kelompok ulama yang sangat concern mencermati
status bunga bank ini, yaitu kelompok Neo-Revivalisme dan modernis. Neo- Revivalisme
merupakan suatu gerakan yang ingin mengangkat relevansi ajaran Islam dalam kehidupan
bermasyarakat saat ini, serta berusaha menunjukkan kekuatan Islam di mata dunia Barat.
Neo-Revivalisme dianggap sebagai gerakan yang bertendensi tekstual karena cenderung
melihat persoalan riba (bunga bank) dari sisi harfiahnya saja, tanpa melihat apa yang
dipraktekkan dalam periode pra-Islam (Saeed, 1996: 49). Gerakan ini muncul pada paruh
pertama abad ke-20 yang merupakan kelanjutan dari gerakan kebangkitan Islam yang muncul
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Munculnya gerakan ini sebagai reaksi gelombang
sekulerisasi yang melanda Islam. Mereka memandang bahwa kebudayaan Barat sebagai
penyebab dekadensi moral dan gaya hidup materialistis. Untuk itu, umat Islam tidak perlu
sama sekali menolak Islam dan menerima nilai-nilai, ide-ide dan sistem peradaban Barat.
Mereka meyakini Islam sebagai agama yang memiliki peradaban yang cemerlang (Saeed,
1996: 7).

30
3.1 Riba dan Keuangan Islam Kontroversi
Pendapat ulama terhadap riba dan bunga bank menunjukkan bahwa persoalan riba
sebenarnya sangat terkait erat dengan masalah uang. Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas
dari perkembangan lembaga keuangan. Lembaga keuangan timbul karena kebutuhan modal
untuk membiayai industri dan perdagangan. Untuk itu, perlu dicermati secara mendalam
persoalan riba terkait dengan masalah keuangan Islam.

3.1.1 Konsep Uang dalam Islam

Uang dikenal sebagai sesuatu yang diterima secara umum oleh masyarakat sebagai alat
pembayaran yang sah, baik digunakan untuk membayar pembelian barang dan jasa maupun
digunakan untuk membayar hutang. Dengan kata lain, uang merupakan bagian yang integral
dari kehidupan manusia karena uang adalah alat pelancar lalu lintas barang dan jasa dalam
semua kegiatan ekonomi. Secara umum, menurut Rivai (2007: 3), uang berdasarkan fungsi
atau tujuan penggunaannya dapat didefinisikan sebagai suatu benda yang dapat dipertukarkan
dengan benda lain; dapat digunakan untuk menilai benda lain; dapat digunakan sebagai alat
penyimpan kekayaan dan dapat juga digunakan untuk membayar hutang di waktu yang akan
datang. Sementara itu, Samuelson dalam Ascarya (2007: 22).

mengemukakan definisi uang sebagai media pertukaran modern dan satuan standar
untuk menetapkan harga dan utang. Senada dengan definisi di atas, Lawrence Abbott
mengartikan uang adalah apa saja yang secara umum diterima oleh daerah ekonomi tertentu
sebagai alat pembayaran untuk jual beli atau utang. Sementara itu, beberapa literatur ekonomi
konvensional (Rivai: 2005: 3-4).

Mendefinisikan uang dari peran dan fungsi uang itu sendiri dalam ekonomi, yaitu uang
sebagai (1) alat tukar (medium of exchange); (2) alat penyimpan nilai (store of value);
(3) satuan hitung atau alat pengukur nilai (unit of account / measure of value); dan (4) ukuran
standar untuk pembayaran yang tertunda (standard for deferred payment). Sedangkan motif
memegang uang, menurut Keynes dalam Karim (2007:182-183), terdapat tiga motif yaitu (1)
transaction motive (motif untuk bertransaksi); (2) precautionary motive (motif untuk berjaga-
jaga); dan (3) speculatif motive (motif berspekulasi). Dari motif ketiga inilah, suku bunga
sebagai biaya opportunity muncul, dimana semakin tinggi suku bunga, maka semakin rendah
permintaan uang untuk spekulatif, begitu juga sebaliknya.

Konsep uang ini agak berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi Islam sebagai
31
paradigma baru dalam dunia ekonomi. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan
tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang
dikemukakan dalam ekonomi konvensional sering diartikan secara bolak-balik
(interchangeability) yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital (Karim, 2007: 77).

Menurut Ibn Taimiyah dalam Islahi (1988:140), uang dalam Islam adalah alat tukar dan
alat pengukur nilai. Uang dimaksudkan sebagai alat pengukur dari nilai suatu barang, melalui
uang, nilai suatu barang akan diketahui dan mereka tidak menggunakannya untuk diri sendiri
atau dikonsumsi. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh muridnya, Ibn Qayy bahwa uang
dan keping uang tidak dimaksudkan untuk benda itu sendiri, tetapi dimaksudkan untuk
memperoleh barang-barang (sebagai alat tukar). Dalam kaitannya dengan konsep uang, al-
Ghazali dalam Muhammad (2005: 46) mengungkapkan bahwa: “uang bagaikan kaca, kaca
tidak memiliki warna, tetapi ia dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak memiliki harga,
tetapi uang dapat merefleksikan semua harga”. Dari definisi dan teori mengenai uang di atas,
secara umum uang dalam Islam diartikan sebagai alat tukar dan pengukur nilai barang dan
jasa untuk memperlancar transaksi perekonomian. Dengan demikian, uang bukan merupakan
komoditi. Oleh karena itu, motif memegang uang dalam Islam adalah untuk transaksi dan
berjaga-jaga saja, dan bukan untuk spekulasi (Ascarya, 2007: 22-23) Dalam Islam, capital is
private goods, sedangkan money is public goods. Uang yang ketika mengalir adalah public
goods (flow concept) lalu mengendap ke dalam kepemilikan seseorang (stock concept) dan
uang tersebut menjadi milik pribadi (private goods). Uraian mengenai konsep uang sebagai
flow concept dan public goods dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Uang sebagai Flow concept Dalam Islam, uang adalah flow concept sedangkan capital
adalah stock concept (Muhammad, 2004: 71).

Semakin cepat perputaran uang, maka semakin baik. Uang dapat diibaratkan seperti air.
Jika air dialirkan, maka air tersebut akan bersih dan sehat. Namun jika air dibiarkan
menggenang dalam suatu tempat, maka air tersebut akan keruh (kotor). Demikian juga halnya
dengan uang, uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran
ekonomi dan kesehatan masyarakat. Sementara itu, jika uang ditahan (menimbun uang), maka
dapat menyebabkan macetnya roda perekonomian sehingga dapat menimbulkan krisis
ekonomi. Untuk itu, uang perlu digunakan untuk investasi di sektor riil. Jika uang hanya
disimpan, maka bukan saja tidak mendapatkan return, tetapi juga dikenakan zakat.

2. Uang sebagai Public Goods Uang sebagai public goods memiliki ciri sebagai barang
32
yang dapat digunakan oleh masyarakat tanpa menghalangi orang lain untuk
menggunakannya
Uang sebagai public goods diibaratkan jalan raya dan capital sebagai private goods
diibaratkan dengan kendaraan. Jalan raya dapat digunakan oleh siapa saja tanpa terkecuali,
tetapi masyarakat yang mempunyai kendaraan berpeluang lebih besar dalam pemanfaatan
jalan raya dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai kendaraan. Begitu pula
dengan uang. Uang sebagai public goods dapat dimanfaatkan lebih banyak oleh masyarakat
yang lebih kaya. Hal ini bukan karena simpanan mereka di bank, tetapi karena asset mereka,
seperti rumah, mobil, saham, dan lain-lain yang digunakan di sektor produksi sehingga
memberikan peluang yang lebih besar kepada orang tersebut untuk memperoleh lebih banyak
uang. Jadi, semakin tinggi tingkat produksi, maka akan semakin besar kesempatan untuk
memperoleh keuntungan dari uang (public goods) tersebut. Oleh karena itu, penimbunan
dilarang karena menghalangi orang lain untuk menggunakan public goods tersebut. Gerakan
ini memfokuskan pada beberapa permasalahan penting umat Islam, khususnya westernisasi
yang melanda umat Islam dan sebagai upaya untuk membentengi diri dengan menempatkan
Islam sebagai way of life dan menolak menginterpretasikan nash. Diantara ciri-ciri kelompok
ini menurut Saeed (1996: 8) adalah sebagai berikut: (1) al-Qur'an dan as-Sunnah secara kaffah
mengatur jalan kehidupan dengan segala kesucian dan kemurniannya tanpa harus dicampuri
oleh penafsiran baru dengan mempertimbangkan waktu dan keadaan; (2) fungsi ijtihad hanya
dilaksanakan terhadap permasalahan yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam nash; dan
(3) tidak ada satupun hukum dalam nash, baik al- Qur'an maupun as-Sunnah yang perlu
diinterpretasi ulang dan dimodifikasi kembali.

Berangkat dari ciri-ciri gerakan ini, pandangan para neo-Revivalisme, seperti Maududi
dan Sayyid Qutb tentang bunga bank juga tidak bisa dilepaskan dari ciri-ciri tersebut. Dalam
memandang riba, mereka lebih menekankan pada aspek legal-formal larangan riba, yang
memandang semua bentuk bunga bank adalah haram. Meskipun mereka membahas lebih jauh
tentang persoalan ketidakadilan dalam riba, secara umum mereka tidak mengatakan bahwa
ketidakadilan itu sebagai alasan dari larangan itu (Saeed, 1996: 49). Chapra (1995: 57),
seorang pakar ekonomi Islam juga menegaskan "riba has the same meaning and import as
interest". Alasan yang mendasari kelompok ini menurut Muslim (2005: 147) adalah: (1)
pernyataan yang ditetapkan dalam al-Qur'an harus diambil makna harfiahnya, tanpa
memperhatikan apa yang dipraktekkan pada masa pra-Islam; (2) al-Qur'an telah menyatakan
bahwa hanya uang pokok yang diambil, maka tidak ada pilihan lain kecuali menafsirkan riba
33
sesuai dengan pernyataan itu.

Pandangan kaum Neo-Revivalis mengenai riba sebagai bunga ini didasarkan pada
interpretasi literal terhadap pernyataan al-Qur'an "wa in tubtum fa lakum ru'usu amwalikum".
Istilah "ru'usu amwalikum" diartikan sebagai pokok pinjaman. Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa setiap tambahan yang melebihi dan di atas pokok pinjaman dapat
dikategorikan sebagai riba (Saeed, 1996: 119).

Sementara kelompok kedua adalah kelompok modernis. Kelompok ini menekankan


pentingnya melakukan penyegaran pemikiran Islam dengan cara membangkitkan kembali
gelombang ijtihad yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan
dari al-Qur'an dan as-Sunnah serta berusaha memformulasikan kebutuhan hukum. Secara
lebih rinci, Iqbal dalam Saeed (1996:7) mengidentifikasi ada 5 ciri modernis, yaitu (1) selektif
dalam menggunakan sunnah; (2) mengembangkan pola berpikir sistematis dengan
menghilangkan anggapan yang memutuskan tentang berakhirnya aktivitas hasil berpikir; (3)
membuat perbedaan antara syari'ah dan fiqh; (4) menghindari paham yang menonjolkan
sektarian, dan (5) mengubah karakteristik metode berpikir.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, kalangan modernis seperti Fazlur Rahman, Muhammad


Asad, Said an-Najjar dan Abd al-Mun'im an-Namir lebih menekankan pada aspek moral
dalam memahami pelarangan riba dan mengesampingkan legal formal riba itu sendiri.
Pemahaman rasional terhadap larangan riba terletak pada ketidakadilan sebagai alasan
diharamkan riba sesuai dengan statemen al-Qur'an "La tadzlimun wa la tudzlamun",

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya penyebab dilarangnya riba karena


mengandung unsur eksploitasi terhadap kaum fakir miskin, bukan faktor bunganya.
Eksploitasi ini dilakukan melalui bentuk pinjaman yang berusaha mengambil keuntungan dari
nilai pinjaman tersebut yang mengakibatkan kesengsaraan kelompok lain. Beberapa
pandangan modernis tentang bunga bank adalah dibolehkan menurut Muslim (2005: 148)
disebabkan antara lain:

a) Adanya hajat dan dharurah dalam kehidupan perekonomian, sebagaimana pendapat


Sanhuri.

b) Ada perbedaan antara pinjaman konsumtif dengan pinjaman produktif, Jika pinjaman
produktif maka dibolehkan tetapi jika pinjaman konsumtif, maka tidak dibolehkan,
sebagaimana dikatakan Doulibi.
34
c) c. Ada perbedaan antara riba (usury) dengan bunga (interest). Dalam pandangan ini
yang diharamkan adalah riba, bukan bunga bank (interest), sebagaimana pandangan
Hafni Nasif dan Abdul Aziz Jawish.

d) Adanya inflationary economic dalam mekanisme perekonomian, sehingga naiknya


suku bunga akan mengoreksi kerugian yang diderita kreditur yang disebabkan oleh
adanya inflasi, sebagaimana dikatakan Syauqi Dunya.

Dari uraian tersebut, tampaknya perdebatan seputar hukum bunga bank yang terkait
dengan masalah riba belum akan berakhir. Bahkan kedua pendapat yang saling bertolak
belakang antara modernis dan Neo-Revivalisme tersebut tidak mungkin saling bertemu
karena masing-masing kelompok melihat dari sudut pandang dan pendekatan yang berbeda.
Kelompok yang mensejajarkan bunga dengan riba cenderung dalam mendekati permasalahan
dari sisi legal formal atau meminjam istilah Minhaji (1999:16-17) "doktriner-normatif-
deduktif". Menurutnya, untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul, ushul fiqh sebagai
ilmu yang berkompeten dalam bidang ini, mengenal dua model pendekatan, yaitu doktriner-
normatif-deduktif dan empiris-historis-induktif. Dalam beberapa kasus hukum tertentu, untuk
memahami al-Qur'an, as-Sunnah dan hubungan keduanya, ijma', ijtihad dan proses-proses
yang mengitarinya diperlukan kombinasi kedua model pendekatan tersebut sekaligus.

Hal ini bisa dilihat dari pembahasan mereka yang hanya mengutamakan nash, teks dan
kurang memperhatikan aspek objektif keberadaan perbankan sebagai penghimpun dan
penyalur dana (financial intermediary) yang berpengaruh besar terhadap ekonomi dan sosial.
Di lain pihak, kelompok yang mendukung halalnya bunga bank, mendekati persoalan ini lebih
menekankan pada sisi objektif keberadaan perbankan, meminjam istilah Minhaji "empiris-
historis-induktif". Meskipun demikian kelompok ini tidak mengabaikan sama sekali aspek
nash. Nash, mereka tempatkan pada posisi ideal-moral yang tetap menjiwai produk hukum
yang dihasilkannya (Rahmi, 2001: 150).

35
3.1.2 Uang dalam Sistem Ekonomi Islam

Dalam sejarah kegiatan ekonomi Islam, pentingnya keberadaan uang ditegaskan oleh
pendapat Rasulullah SAW yang menganjurkan bahwa perdagangan yang lebih baik (adil)
adalah perdagangan yang menggunakan media uang (dinar atau dirham), bukan pertukaran
barang (barter) yang dapat menimbulkan riba ketika terjadi pertukaran barang sejenis yang
berbeda mutu. Dengan keberadaan uang, hakikat ekonomi (dalam perspektif Islam) dapat
berlangsung dengan lebih baik, yaitu terpelihara dan meningkatnya perputaran harta (velocity)
di antara manusia (pelaku ekonomi). Dengan keberadaan uang, aktivitas zakat, infaq, shadaqah,
wakaf, kharaj, jizyah, dan lain-lain dapat lebih lancar terselenggara. Dengan keberadaan uang
juga, aktivitas sektor swasta, publik, dan sosial dapat berlangsung dengan akselerasi yang lebih
cepat (Ascarya, 2007: 25).
Perbedaan konsep uang antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam berimplikasi
terhadap perekonomian. Dalam ekonomi konvensional, sistem bunga dan fungsi uang yang
dapat disamakan dengan komoditi menyebabkan timbulnya pasar tersendiri dengan uang
sebagai komoditinya dan bunga sebagai harganya. Pasar ini adalah pasar moneter yang tumbuh
sejajar dengan pasar riil (barang dan jasa) berupa pasar uang, pasar modal, pasar obligasi dan
pasar derivatif. Akibatnya, dalam ekonomi konvensional timbul dikotomi sektor riil dan
moneter. Lebih jauh lagi, perkembangan pesat di sektor moneter telah menyedot uang dan
produktivitas atau nilai tambah yang dihasilkan sektor riil sehingga sektor moneter telah
menghambat pertumbuhan sektor riil, bahkan telah menyempitkan sektor riil, menimbulkan
inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi (Ascarya, 2007: 25-26).

Inflasi ini selanjutnya akan dijadikan acuan untuk menaikkan suku bunga. Bila tingkat
keuntungan yang diharapkan oleh para investor dan pengusaha lebih rendah dari suku bunga
yang berlaku, maka dapat dipastikan para pengusaha dan investor akan enggan untuk
melakukan investasi. Secara teoritis, dalam sistem keuangan konvensional, seseorang akan
melakukan investasi sampai pada tingkat marginal efisiensi dari modal (marginal efficiency of
capital) sama dengan tingkat pengembalian pembayaran bunga karena perilaku investasi
bergantung kepada tingkat suku bunga dan tingkat ekpektasi keuntungan. Semakin tinggi suku
bunga, maka semakin rendah tingkat investasi. Hal ini tentu akan memperburuk masalah

36
pengangguran jika pemilik modal enggan berinvestasi karena laba yang akan diperoleh lebih
kecil dari suku bunga yang berlaku. Penghentian investasi ini secara tidak langsung akan
berakibat pada tidak dimanfaatkannya sumber daya ekonomi yang ada dan memperkecil
kesempatan kerja bagi masyarakat yang membutuhkan pekerjaan atau bahkan terjadi PHK
(Mansur, 2005: 206-207).

Dikotomi sektor riil dan moneter tidak terjadi dalam ekonomi Islam karena absennya
sistem bunga dan dilarangnya memperdagangkan uang sebagai komoditi sehingga corak
ekonomi Islam adalah ekonomi sektor riil dengan fungsi uang sebagai alat tukar untuk
memperlancar kegiatan investasi, produksi dan perniagaan di sektor riil.

3.1.3 Cara-Cara Pengembangan Uang yang Tidak Mengandung Riba

Riba merupakan suatu bentuk transaksi ekonomi yang keharamannya bukan disebabkan
karena dzatnya, namun disebabkan oleh transaksi yang dilakukan (haram lighairihi). Ajaran
Islam melarang praktik riba (membungakan uang) dan mendorong umatnya untuk melakukan
investasi karena terdapat perbedaan mendasar antara antara investasi dan membungakan uang.
Menurut Antonio (2001: 59), perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga maknanya
masing-masing, yaitu:

3.1 Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan
unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan return-nya tidak pasti dan tidak tetap.

3.2 Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena
perolehan return-nya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Investasi ini dapat dilakukan melalui kerjasama ekonomi yang dilakukan dalam semua
lini kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi dan distribusi. Salah satu bentuk kerjasama
dalam bisnis ekonomi Islam adalah musyarakah atau mudharabah. Melalui transaksi
musyarakah dan mudharabah ini, kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan
bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari kerjasama ekonomi yang
disepakati bersama. Profit-loss sharing ini dapat dianggap sebagai sistem kerjasama yang lebih
mengedepankan keadilan dalam bisnis Islam, sehingga dapat dijadikan sebagai solusi alternatif
pengganti sistem bunga.

37
3.1.4 Profit-Loss Sharing: Solusi Islam terhadap Alternatif Pengganti Bunga

Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam


menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik modal (surplus spending
unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha.
Apabila kegiatan usaha menghasilkan, keuntungan dibagi bersama dan apabila kegiatan usaha
menderita kerugian, kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi hasil ini dapat berbentuk
mudharabah atau musyarakah dengan berbagai variasinya. Dalam mudharabah terdapat kerja
sama usaha antara dua pihak dimana pihak (shahibul mal) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya sebagai mudharib (pengelola). Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun,
seandainya kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib juga harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Antonio, 2001: 95).

Alternatif pengganti bunga yang lain adalah partisipasi modal (equity participation)
melalui ekspektasi rate of return yang disebut sebagai musyarakah. Sektor riil merupakan
sektor yang paling penting disorot dalam ekonomi Islam karena berkaitan langsung dengan
peningkatan output dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Segala komponen dalam
perekonomian diarahkan untuk mendorong sektor riil ini, baik dalam memotivasi pelaku
bisnis maupun dalam hal pembiayaannya (Masyhuri, 2005: 108-109).

Ekspektasi return, berbeda dengan suku bunga yang selalu dijustifikasi pleh time value
of money, namun justru dikaitkan dengan economic value of money. Dengan demikian, faktor
yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin
efektif dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Dengan pemanfaatan waktu
sebaik-baiknya untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan pendapatan yang dapat dinilai
dengan uang. Hal ini bertentangan dengan time value of money, yang tidak secara
proporsional mempertimbangkan probabilitas terjadinya deflasi, selain adanya nflasi. Karena
pada realitanya, ketidakpastian (uncertainty) selalu terjadi, dan sangat menjadi tidak adil jika
hanya menuntut adanya kepastian, seperti yang berlaku dalam ekonomi konvensional melalui

38
konsep time value of money-nya. Oleh karena itu, pemodal dalam Islam tidak berhak meminta
rate of return yang nilainya tetap dan tidak seorangpun berhak mendapatkan tambahan dari
pokok modal yang ditanamkannya tanpa keikutsertaannya dalam menanggung resiko
(Masyhuri, 2005: 109-110).

Dengan demikian, menurut Ascarya (2007: 26) kedua sistem profit and loss sharing ini,
baik mudharabah dan musyarakah akan mampu menjamin adanya keadilan dan tidak adanya
pihak yang tereksploitasi (terdzalimi). Melalui sistem bagi hasil ini juga akan terbangun
pemerataan dan kebersamaan serta menciptakan suatu tatanan ekonomi yang lebih merata.
Sedangkan dalam perekonomian konvensional, sistem riba, fiat money, commodity money, dan
pembolehan spekulasi akan menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya
uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko. Akibatnya, uang atau investasi
yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor
moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil

 Macam-Macam Riba

Menurut para fiqih, riba dapat dibagi menjadi 4 macam bagian, yaitu sebagai berikut :

1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kwalitas berbeda yang
disyaratkan oleh orang yang menukarkan. contohnya tukar menukar emas dengan emas,perak
dengan perak, beras dengan beras dan sebagainya.

2. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum ditimbang dan diterima, maksudnya : orang
yang membeli suatu barang, kemudian sebelum ia menerima barang tersebut dari si penjual,
pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih
dalam ikatan dengan pihak pertama.

3. Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan
memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh : Aminah meminjam cincin 10 Gram pada
Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12
gram, dan apa bila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya.
Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.

39
4. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi
orang yang meminjami atau mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan
mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka
tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.

C. Faktor Penyebab Memakan dan Di Haramkannya Perbuatan Riba

Faktor Penyebab Memakan Riba:

1. Nafsu dunia kepada harta benda

2. Serakah harta

3. Tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan

4. Imannya lemah

5. Selalu Ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba

Faktor Penyebab di haramkan Riba:

1. Merugikan orang lain

2. Sama dengan mengambil hak orang lain

3. Mendapat laknat dari Allah SWT.

4. Neraka ancamannya

5. Termasuk perbuatan syetan yang keji

6. Memperoleh harta dengan cara yang tidak adil

Adapun hal-hal yang menimbulkan riba diantaranya adalah :

1. Tidak sama nilainya.

2. Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukuran.

3. Tidak tunai di majelis akad

40
Berikut ini merupakan contoh riba penukaran :

Ø Seseorang menukar uang kertas Rp 10.000 dengan uang receh Rp.9.950 uang Rp.50 tidak ada
imbangannya atau tidak tamasul, maka uang receh Rp.50 adalah riba.

Ø Seseoarang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10
persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjman dalah riba sebab tidak ada
imbangannya.

Ø Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka pertukaran tersebut
adalah riba, seabab beras harus ditukar dengan beras yang sejenis dan tidak boleh dilebihkan
salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan
untuk membeli beras dolog.

D. Larangan-Larangan Riba dalam Al Qur’an

Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتْأُك ُلو۟ا ٱلِّر َبٰٓو ۟ا َأْض َٰع ًۭف ا ُّم َٰض َع َفًۭة ۖ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّلل َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحوَن‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. QS Ali Imran : 130.

‫ٱلِّر َبٰو ۟ا ۗ َو َأَح َّل ٱُهَّلل ٱْلَبْيَع‬ ‫ٱَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن ٱلِّر َبٰو ۟ا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم ٱَّلِذ ى َيَتَخَّبُطُه ٱلَّش ْيَٰط ُن ِم َن ٱْلَم ِّس ۚ َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهْم َقاُلٓو ۟ا ِإَّنَم ا ٱْلَبْيُع ِم ْثُل‬
‫ُأ َٰٓل‬ ‫۟ا‬
‫ۖ ُهْم ِفيَها َٰخ ِلُد وَن‬ ‫َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو ۚ َفَم ن َج آَء ۥُه َم ْو ِع َظٌۭة ِّم ن َّرِّبِهۦ َفٱنَتَهٰى َفَل ۥُه َم ا َس َلَف َو َأْم ُر ٓۥُه ِإَلى ٱِهَّللۖ َو َم ْن َعاَد َف ۟و ِئَك َأْص َٰح ُب ٱلَّناِر‬
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. QS:2: 275,

‫َيْمَح ُق ٱُهَّلل ٱلِّر َبٰو ۟ا َو ُيْر ِبى ٱلَّصَد َٰق ِتۗ َو ٱُهَّلل اَل ُيِح ُّب ُك َّل َك َّفاٍر َأِثيٍم‬

41
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. QS Al-Baqarah : 276.

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّلل َو َذ ُرو۟ا َم ا َبِقَى ِم َن ٱلِّر َبٰٓو ۟ا ِإن ُك نُتم ُّم ْؤ ِمِنيَن‬

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Al-Baqarah : 278).

‫َفِإن َّلْم َتْفَع ُلو۟ا َفْأَذُنو۟ا ِبَح ْر ٍۢب ِّم َن ٱِهَّلل َو َر ُسوِلِهۦۖ َو ِإن ُتْبُتْم َفَلُك ْم ُر ُء وُس َأْم َٰو ِلُك ْم اَل َتْظِلُم وَن َو اَل ُتْظَلُم وَن‬

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah :
279.
‫َٰٓل‬
‫َو َم آ َء اَتْيُتم ِّم ن ِّر ًۭب ا ِّلَيْر ُبَو ۟ا ِفٓى َأْم َٰو ِل ٱلَّناِس َفاَل َيْر ُبو۟ا ِع نَد ٱِهَّللۖ َو َم آ َء اَتْيُتم ِّم ن َزَكٰو ٍۢة ُتِر يُد وَن َو ْج َه ٱِهَّلل َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلُم ْض ِع ُفوَن‬

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya). QS. Rum : 39.

Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :

‫ ُهْم َس َو اٌء‬: ‫ َو َش اِهَد ْيِه َو َقاَل‬، ‫ َو َك اِتَبُه‬، ‫ َوُم وِكَلُه‬، ‫ آِكَل الِّر َبا‬: ‫ َلَع َن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ْن َج اِبٍر َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬

Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya,
penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.

E. Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba

Riba dapat berdampak buruk terhadap:

Ø Pribadi seseorang

Ø Kehidupan masyarakat

Ø Ekonomi

42
Akibat-akibat buruk yang di jelaskan para ekonom muslin dan non-muslim, di antaraya:

Ø Riba merusak sumber daya manusia


Ø Riba merupakan penyebab utama terjadinya Inflasi
Ø Riba menghambat lajunya pertumbuhan ekonomi
Ø Riba menciptakan kesenjangan social
Ø Riba Faktor utama terjadinya krisis Ekonomi Global

Dampak Riba Pada Ekonomi

Riba (bunga) menahan pertumbuhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional


serta kesejahteraan individual dengan cara menyebabkan banyak terjadinya distrosi di dalam
perekonomian nasional seperti inflasi, pengangguran, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan
resersi.·

Bunga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi. Ia mendorong orang melakukan


penimbunan (hoarding) uang, sehingga memengaruhi peredaranya diantara sebagian besar
anggota masyarakat. Ia juga menyebabkan timbulnya monopoli, kertel serta konsentrasi
kekayaan di tangan sedikit orang. Dengan demikian, distribusi kekayaan di dalam masyarakat
menjadi tidak merata dan celah antara si miskin dengan si kaya pun melebar. Masyarakat pun
dengan tajam terbagi menjadi dua kelompok kaya dan miskin yang pertentangankepentingan
mereka memengaruhi kedamaian dan harmoni di dalam masyarakat. Lebih lagi karna bunga pula
maka distorsi ekonomi seperti resesi, depresi, inflasi dan pengangguran terjadi.

Investasi modal terhalang dari perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menghasilkan


laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun proyek yang
ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi negara dan bangsa. Semua aliran sumber-
sumber finansial di dalam negara berbelok ke arah perusahaan-perusahaan yang memiliki
prospek laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekaliun
perusahaan tersebut tidak atau sedikit saja memiliki nilai sosial.·

Riba (bunga) yang dipungut pada utang internasional akan menjadi lebih buruk lagi
karena memperparah DSR (debt-service ratio) negara-negara debitur. Riba (bunga) itu tidak
hanya menghalangi pembangunan ekonomi negara-negara miskin, melainkan juga menimbulkan
transfer sumber daya dari negara miskin ke negara kaya. Lebih dari itu, ia juga memengaruhi

43
hubungan antara negara miskin dan kaya sehingga membahayakan keamanan dan perdamaian
internasional.

Cara Menghindari Riba dalam Ekonomi Islam

Pandangan tentang riba dalam era kemajuan zaman kini juga mendorong maraknya
perbankan Syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung di dapat dari sistem bagi hasil
bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional pada umumnya. Karena, menurut sebagian
pendapat bunga bank termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat diketahui bahwa bunga
bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika nasabah sudah
menginventasikan uangnya pada bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka akan dapat
diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan
nisbah bagi hasil untuk deposannya.

Hal diatas membuktikan bahwa praktek pembungaan uang dalam berbagai bentuk
transaksi saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yakni riba
nasi’at. Sehingga praktek pembungaan uang adalah haram.

Sebagai pengganti bunga bank, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari
unsur riba antara lain:

a. Wadiah atau titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito.

b. Mudarabah adalah kerja sama antara pemlik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian
profit and loss sharing

c. Syirkah (perseroan) adalah diamana pihak Bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai
andil (saham) pada usaha patungan (jom ventura)

d. Murabahan adalah jual beli barang dengan tambahan harga ataaan.u cost plus atas dasar harga
pembelian yang pertama secara jujur.

e. Qard hasan (pinjaman yag baik atau benevolent loan), memberikan pinjaman tanpa bunga
kepada para nasabah yang baik sebagai salah satu bentuk pelayanan dan penghargaan.

44
f. Menerapkan prinsip bagi hasil, hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya, maka yang
dibagi adalah keuntungan dari yang di dapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Misalnya, nisbahnya dalah 60% : 40%, maka bagian deposan
60% dari total keuntungan yang di dapat oleh pihak bank.

g. Selain cara-cara yang telah diterapkan pada Bank Syariah, riba juga dapat dihindari dengan cara
berpuasa. Mengapa demikian? Karena seseorang yang berpuasa secara benar pasti terpanggil
untuk hijrah dari sistem ekonomi yang penuh dengan riba ke sistem ekonomi syariah yang penuh
ridho Allah. Puasa bertujuan untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah swt
dimana mereka yang bertaqwa bukan hanya mereka yang rajin shalat, zakat, atau haji, tapi juga
mereka yang meninggalkan larangan Allah swt.

Puasa bukan saja membina dan mendidik kita agar semakin taat beribadah, namun juga
agar aklhak kita semakin baik. Seperti dalam muamalah akhlak dalam muamalah mengajarkan
agar kita dalam kegiatan bisnis menghindari judi, penipuan, dan riba. Sangat aneh bila ada orang
yang berpuasa dengan taat dan bersungguh-sungguh namun masih mempraktekan riba. Sebagai
orang yang beriman yang telah melaksanakan puasa, tentunya orang itu akan meyakini dengan
sesungguhnya bahwa Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan
(komprehensif) manusia, termasuk masalah perekonomian. Umat Islam harus masuk ke dalam
Islam ssecara utuh dan menyeluruh dan tidak sepotong-potong. Inilah yang dititahkan Allah pada
surah al-Baaqarah : 208, “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
kaffah (utuh dan totalitas) dan jangan kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan
itu adalah musuh nyata bagimu”.

Ayat ini mewajibkan orang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas baik
dalam ibadah maupun ekonomi, politik, social, budanya, dan sebgainya. Pada masalah ekonomi,
masih banyak kaum muslim yang melanggar prinsip islam yaitu ajaran ekonomi Islam. Ekonomi
Islam didasarkan pada prinsip sayariah yang digali dari Al-Qur’an dan sunnah. Dalam kitab fiqih
pun sangat banyak ditemukan ajaran-ajaran mu’amalah Islam. Antara lain mudharabah,
murabahah, wadi’ah, dan sebagainya.

Hikmah di balik larangan riba:

45
 Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi
hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun
masyarakat.
 Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh si
pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya
diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari
padanya.
 Riba dapat menyebabkan krisis akhlak dan rohani. Orang yang meribakan uang atau barang
akan kehilangan rasa sosialnya, egois.
 Riba dapat menimbulkan kemalasan bekerja, hidup dari mengambil harta orang lain yang
lemah. Cukup duduk di atas meja, orang lain yang memeras keringatnya.
 Riba dapat mengakibatkan kehancuran, banyak orang-orang yang kehilangan harta benda dan
akhirnya menjadi fakir miskin.

46
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ditinjau dari berbagai penjelasan yang kami paparkan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :

Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam.
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Macam-macam riba
yaitu: Riba Yad, Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.

Di masa sekarang ini riba banyak di temukan di bank konvensional. Faktor-faktor yang
melatar belakangi perbuatan memakan hasil riba yaitu: Nafsu dunia kepada harta benda, serakah
harta, tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan, imannya lemah,
serta selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.

Allah SWT secara tegas melarang riba yang terdapat di dalam Al Qur’an di antaranya
pada:

 QS. ar-Rum (30) : 39, QS.

47
 An-Nisa' (4) : 160-161, QS.
 Ali Imran (3) : 130, dan
 Qs. Al-Baqarah (2) : 278-280.

1. Macam-macam riba ada 4, yaitu :

a. Riba Fadli (menukarkan dua barang yang sejenis tapi kwalitas berbeda).

b. Riba Qardhi (meminjamkan dengan ada syarat bagi yang mempiutangi).

c. Riba Yadh (bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima).

d. Riba Nasa’ (Nasiah) yaitu riba yang terjadi karena adanya penundaan waktu pembayaran,
dengan menetapkan adanya dua harga yaitu harga kontan atau harga yang dinaikan karena
pembayaran tertunda.

Dampak Riba pada ekonomi: Riba (bunga) menahan pertumbunhan ekonomi dan
membahayakan kemakmuran nasional serta kesejahteraan individual.

Riba (bunga) menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi (distorsi ekonomi) seperti


resesi, depresi, inflasi dan pengangguran

48
Daftar pustaka

http://digilib.uinsgd.ac.id/14732/4/4_bab1.pdf

https://www.studocu.com/id/document/universitas-ahmad-dahlan/bank-dan-lembaga-keu-
lain/riba-veizha-adya-medina-1900012133/12975087

https://www.researchgate.net/publication/
314487598_RIBA_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM_DAN_SEJARAH

http://www.makalah.co.id/2016/08/makalah-riba-dalam-islam.html

https://www.maxmanroe.com/vid/finansial/pengertian-riba.html

https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/pengertian-riba-dalam-tafsir-at-thabari-2hYw1

https://bisnis.tempo.co/read/28578/muhammadiyah-tidak-setuju-fatwa-haram-bunga-bank

49

Anda mungkin juga menyukai