Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSEP TASY’IR DALAM HADITS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ekonomi Islam yang diampu
oleh Bapak H. Arif Wahyudi., Lc. MA.

Disusun oleh :

KELOMPOK 4

IMDAD FAIHA ILA SABILA (2038303207)

INDANA ZULFA (20383032072)

ILAFUL UMMAH (20383032069)

GADA SUNDAWA RAHMAN (20383031129)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan pemilik segala
ilmu pengetahuan atas segala rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “KONSEP TASY’IR DALAM HADITS” ini. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam
ajaran beliau.
Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam
memenuhi tugas mata kuliah Hadist Ekonomi Islam yang diampu oleh Bapak H.
Arif Wahyudi, Lc., MA, juga sebagai upaya untuk memberikan konstribusi
pemikiran dan mengetahui atas kajian ilmiah yang membahas bagian apa saja
yang dibahas dan dikaji dalam materi Hadits Ekonomi Islam ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan
oleh kedangkalan dalam ilmu, keterbatasan keahlian, dan tenaga penulis.
Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah
diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Sumenep, 29 Maret 2021

Penulis,

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... i

Daftar Isi.......................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 1

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................. 2

A. Pengertian At-Tasy’ir........................................................................... 2
B. Dasar hukum At-Tasy’ir ...................................................................... 3
C. Macam-macam At-Tasy’ir.................................................................... 5
D. Ketentuan hukum At-Tasy’ir................................................................ 6

BAB III : PENUTUP...................................................................................... 10

A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah peninggalan dari Nabi Muhammad yang fungsinya untuk
menjelaskan hal yang masih butuh penjelasan dalam Al-Qur’an. Sebenarnya, dalam
Al-Qur’an sudah tertera semua peraturan dan ketentuan yang datangnya dari Allah
melalui wahyu dari malaikat jibril yang di sampaikan ke Nabi Muhammad dan adanya
hadits untuk melengkapi Al-Qur’an atau menjelaskan sesuatu hal yang masih belum
cukup jelas dalam Al-Qur’an. Dalam hadis nabi, didalamnya menjelaskan peraturan
atau hukum-hukum yang harus di patuhi oleh umat islam, seperti sebuah hukum yang
akan di paparkan dalam makalah ini yaitu hukum tasy’ir atau penentuan harga.
Tas’ir menurut bahasa sama dengan si’r yaitu menetapkan atau menentukan
harga.1 “as-si’r” adalah harga yang ditentukan untuk barang dagangan. Kata as-
si’ru jamaknya as’ar artinya harga (sesuatu). Kata as-si’ru ini digunakan di pasar
untuk menyebut harga (di pasar). Fluktuasi harga suatu komoditas berkaitan erat
dengan as-si’ir bukan as-saman larena as-si’ir merupakan harga aktual yang terbentuk
dalam proses jual beli.2 Jadi al-Tas’ir itu bisa dikatakan dengan penentuan harga suatu
barang yang telah ditentukan dan harus diikuti oleh setiap pedagang dalam
pelaksanaan jual beli.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud At-Tasy’ir?
2. Bagaimana Dasar Hukum At-Tasy’ir?
3. Apa saja macam-macam At-Tasy’ir?
4. Bagaimana ketentuan hukum At-Tasy’ir?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian At-Tasy’ir
2. Untuk mengetahui dasar hukum At-Tasy’ir
3. Untuk mengetahui macam-macam At-Tasy’ir
4. Untuk mengetahui ketentuan hukum At-Tasy’ir

1
Abu Lois al-Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut : Dar al-Masyriq, 1986), Hlm. 334
2
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan Syariah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.379-380

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian At-Tasy’ir
Tasy’ir menurut bahasa sama dengan si’r yaitu menetapkan atau menentukan
harga.3 Dapat juga dikatakan bahwa al-si’r adalah harga dasar (Price Rate), yang
berlaku di kalangan pedagang.4 Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Tasy'ir
adalah perintah para penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur
urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang
dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas
harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar
mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang memambah atau
mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyarakat.5
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa Tas'ir berarti menetapkan harga tertentu
untuk barang dagangan yang dijual selama tidak ada kezaliman penguasa dan tidak
pula kezaliman terhadap pembeli. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa tas'ir dengan
keadaan yang mewajibkan para pedagang untuk menjual dan membeli dengan harga
pasaran. Seperti yang dikemukakan bahwa keadaan yang mewajibkan pedagang untuk
menjual barang dagangannya dengan harga mistli (harga pasar).6
Sedangkan menurut Fathi ad-Duraini guru besar Fikih Universitas Damaskus,
ketetapan pemerintah itu tidak hanya terhadap komoditi yang di kugunakan dan
diperlukan masyarakat, tetapi juga terhadap manfaat dan jasa pekerja yang diperlukan
masyarakat. Misalnya, apabila sewa rumah naik dengan tiba-tiba dari harga biasanya
atau harga semen naik secara tidak wajar.7
Sesuai dengan kandungan definisi-definisi diatas, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah
pihak pemerintah setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam
menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para
pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duraini apapun bentuk
3
Abdul Aziz Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Hlm. 1802
4
Muhammad Rawas Qal’ah Ji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam al-Lughah alFuqaha’ (Bairut : Dar al-
Nafais, 1985), Hlm. 244
5
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari'ah. Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Ekonomi Syari'ah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.380
6
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari'ah. Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Ekonomi Syari'ah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.380.
7
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). hlm.140.

2
komoditi dan keperluan warga suatu negara untuk kemaslahatan mereka pihak
pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis sehingga pihak
produsen dan konsumen tidak dirugikan.8

B. Dasar Hukum Al-Tas’ir


Sebagian ulama berpendapat bahwa campur tangan ini memperoleh
landasannya pada firman Allah swt :

{59 :‫واطیعواهللا واطیعواالرسول واولى االمر منكم { النساء‬


“ Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antaramu “(An-Nisa’: 59).
Nash di atas memberikan hak campur tangan kepada pemerintah dalam
kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh individu. Hal itu untuk menjaga masyarakat
Islam dan menegakkan keseimbangan dalam masyarakat. Nash itu juga mewajibkan
atas semua umat Islam untuk taat kepada pemerintah mereka. Para penganut pendapat
ini menambahkan bahwa “ulil amri” adalah mereka yang melaksanakan kedaulatan
hukum syara’ terhadap umat Islam, meskipun disana ada perbedaan pendapat diantara
para fuqaha (ahli hukum Islam) dalam menentukan dan membataskan syarat-syarat
ulil amri.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa landasan hukum syara’ dari
campur tangan negara bergantung pada definisi pemilihan harta menurut Islam dan
bagaimana hak individu itu dalam hubungan dengan harta ini.
Harta menurut Islam semuanya kepunyaan Allah swt :

{ 6: ‫لھ مافالسموات ومافاالرض ومابینھماوماتحت الثرى { طھ‬


“Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan apa yang
ada diantara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah.”(Thaha : 6).
Sedang manusia hanya mendapat kepercayaan atas harta ini saja :

{7: ‫وانفقوا مما جعلكم مستخلفین فیھ { الحدید‬


“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya”.(Al-Hadid : 7).
Manusia diperintahkan oleh penciptanya, untuk memanfaatkan harta ini untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperbaiki hidupnya dengan cara yang
tidak bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat tempat ia tinggal. Diterangkan
juga bahwa manusia suatu saat akan berdiri dihadirat-Nya untuk diperhitungkan atas
8
Ibid, Hlm. 381

3
perbuatan yang pernah ia lakukan terhadap harta itu. Maka apabila manusia itu tidak
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan tidak mematuhi perintah-perintah
pencipta-Nya, maka negara berkewajiban untuk campur tangan mengembalikannya
kepada yang baik dan jalan yang benar, seperti bila ada orang yang menghambur-
hamburkan hartanya atau memberikan hartanya atau memberikan hartanya kepada
orang yang belum sempurna akalnya,9 seperti firman Allah swt :

‫وال تؤتواالسفھاءأمولكم التى جعل هللا لكم قیما وارزقوھم فیھا وارزقوھم فیھا‬
‫} قوال معروفا‬5:‫واكسوھم وقولوالھم {النساء‬
”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya,harta (mereka yang ada di dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)
dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa’ : 5).
Landasan at-tas’ir selanjutnya adalah surat al-Hadid ayat 25 :

‫وانزلنا الحدید فیھ بأس شدید و منافع للناس ولیعلم اهللا من ینصره ورسو لھ با‬
‫ان هللا قوى عزیز‬.‫لغیب‬
{ { 25: ‫الحدید‬
“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (AlHadiid :
25)
Penyebutan keadilan dan besi secara bersamaan dalam ayat ini menunjukkan
adanya indikasi akan pentingnya penerapan keadilan dan kebenaran dengan bantuan
kekuatan (yang dalam ayat ini disebut dengan besi, sebagai simbol kekuatan). Dengan
demikian negara hendaknya mempergunakan kekuatan, jika itu dibutuhkan, untuk
menegakkan keadilan ekonomi.10
Sedangkan landasan tas’ir secara khusus terdapat dalam hadis nabi :

‫م‬.‫ غال السعرفالمدینة على عھد رسول هللا ص‬: ‫عن انس بن مالك رضي هللا عنھ قال‬
‫م ان هللا‬.‫فقال رسول هللا ص‬.‫فقال الناس یارسول هللا غال السعر فسعرلنا‬
9
Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, prinsip dan tujuan ekonomi Islam.
Penerjemah Imam Saefudin, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 103-105
10
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam,penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001),

4
‫ھوالمسعرالقابض الباسط الرازق وانالرجوأن القا هللا تعلى ولیس احد منكم یطلبنى‬
‫{صححھ ابن حبان‬11 ‫بمظلمة فى دم والمال {رواه الخمسة اال النسائ و‬
”Dari Anas bin Malik r.a. beliau berkata : Harga barang-barang pernah mahal pada
masa Rasulullah saw. Lalu orang-orang berkata : Ya, Rasulullah harga-harga
menjadi mahal, tetapkanlah patokan harga untuk kami; lalu Rasulullah saw.
bersabda : Sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga, yang menahan dan
membagikan rezeki; Dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya dapat
berjumpa dengan Allah swt dalam keadaan tidak ada seorangpun di antara kamu
sekalipun yang menuntut saya karena kezhaliman dalam penumpahan darah
(pembunuhan) dan harta”. ( H.R al-Khamsah kecuali al-Nasai dan dishahihkan oleh
Ibn Hibban).
Nabi tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga-harga
itu membumbung tinggi. Ketidaksediaan itu didasarkan atas prinsip tawarmenawar
secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara
tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah dari
pada pasar selama perubahan-perubahan harga itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata
dalam permintaan dan penawaran yang tidak diikuti dengan dorongan-dorongan
monopoli.12

C. Macam - macam At-Tasy’ir


Para ulama fiqh membagi tas’ir kepada dua macam, yaitu :
Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah para
pedagang. Dalam harga seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya sesuai
dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya. Pemerintah,
dalam harga yang berlaku secara alami ini, tidak boleh campur tangan, karena campur
tangan pemerintah dalam kasus seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
Kedua, harga suatu komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan
modal dan keuntungan bagi para pedagang dan keadaan ekonomi masyarakat.
Penetapan harga dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir al-jabari.
Penetapan harga dalam fiqh disebut dengan at-tas’ir al-jabari.

11
As-Shan’ani, Subul as-Salam,(Bandung : Dahlan, t.th), juz III, h. 25. Abu Daud, Sunan Abi Daud, (t.tp : Dar
al-Fikr, t.th), juz II,
12
Monzer Kahf, Ekonomi Islam (telaah Analitik terhadap fungsi system ekonomi Islam),(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 53-54.

5
Ada beberapa rumusan at-tas’ir al-jabari yang dikemukakan para ulama. Ulama
Hambali mendefenisikan at-tas’ir al’jabari dengan:

‫ﺃﻥ ﻴﺳﻌﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺳﻌﺭﺃ ﻮﻴﺟﺒﺭﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺗﺒﺎﻴﻊ ﺒﻪ‬


“upaya pemerintah dalam menetapkan harga suatu komoditi, serta memberlakukannya
dalam transaksi jual beli warganya”
Imam as-Syaukani (1172-1250 H/ 1759-1834 M), tokoh usul fiqh,
mendefenisikannya dengan:

‫ﺃﻥ ﻴﺄﻣﺮ ﺍﻠﺴﻠﻄﺎﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﺃﻥ ﻻ ﻴﺑﻴﻌﻭﺍ ﺃﻣﺘﻌﺘﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﺴﻌﺭ ﻣﻌﻠﻭﻢ ﻠﻣﺻﻠﺤﺔ‬
”Intruksi pihak penguasa kepada para pedagang agar mereka tidak menjual barang
dagangannya, kecuali sesuai dengan ketentuan harga yang telah ditetapkan
pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bersama”

D. Ketentuan Hukum At-Tas’ir


Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tas'ir menjadi 2 (dua) madzhab
sebagai berikut :
Pertama, yang mengharamkan secara mutlak. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari
ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Ini juga pendapat ulama muta'akkhirin
seperti Imam Syaukani dan Imam An Nabhani. Namun sebagian ulama Hanabilah ada
yang mengharamkan secara mutlak seperti Ibnu Gudamah, sementara ulama lainnya
ada yang memberikan rincian (tafshil) seperti Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul
Qayyim. Artinya, menurut Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim jika tas'ir
mengandung kezhaliman, hukumnya haram. Jika untuk menegakkan keadilan,
hukumnya boleh bahkan wajib.13
Kedua. yang membolehkan, meski tidak membolehkan secara mutlak. Ini pendapat
sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan
tas'ir jika para pedagang melambungkan harga secara tidak wajar. Sebagian ulama
Malikiyah membolehkan tas'ir jika sebagian kecil pedagang di pasar sengaja menjual
dengan harga sangat murah, sedang umumnya pedagang memasang harga lebih
mahal. Maka tas'ir dibolehkan untuk menaikkan harga agar sesuai dengan harga
umumnya pedagang.14

13
Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmkyah fi As-Siyasah Al-Syar’iyah, (Riyadh : Maktabah Nazar Musthofa Al-
Baz), 1996, hlm. 290-291
14
Rincian pendapat masing-masing madzhab lihat Ahmad Irfah, ibid. hlm. 6. Lihat juga Yusuf Al-Qardhawi,
Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al- Islami, hlm. 426-429

6
Pendapat pertama, berdalil dengan hadits-hadits Nabi SAW, misalnya hadits Anas bin
Malik RA :
Dari Anas RA, dia berkata, "Harga melonjak pada masa Rasulullah SAW. Maka
berkatalah Orang orang, 'Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami." Maka
bersabda Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah adalah Drat Yang Menetapkan Harga,
Yang Memegang Rizki, Yang Melapangkan Rizki, Yang Maha Pemberi Rizki. Dan
sungguh akan betul betul berharap berjumpa dengan Tuhanku sementara tak ada
seorang pun dari kalian yang akan menuntutku karena suatu ke.haliman dalam urusan
harta atau nyawa.” (HR. Abu Dawud, hadits no 3450).
Imam Syaukani berkata, ”Hadits ini dan yang semisalnya dijadikan dalil untuk
keharaman tas'ir dan bahwasanya tas'ir itu adalah suatu kezhaliman (mazhlimah).
Semakna dengan pernyataan Imam Syaukani, Imam Tagiyuddin An Nabhani berkata,
”Hadits hadits tentang tas'ir menunjukkan keharaman tas'ir. Juga menunjukkan bahwa
tas'ir adalah suatu kezhaliman (madzlimah) 15 yang dapat diajukan kepada penguasa
untuk dihilangkan. Maka jika justru penguasa melakukan tas'ir, dia berdosa di
hadapan Allah, karena dia telah melakukan perbuatan yang haram.”
Pendapat kedua, berdalil antara lain dengan ayat Q.S. An-Nisa' : 29 :
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ۗ واَل تَ ْقتُلُ¨ ۤ¨وْ ا اَ ْنـفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن‬ ۤ ۤ ‫ْأ‬ ٰ ۤ


ٍ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَ ُكلُوْ ا اَ ْم َوا لَـ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل ِااَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ¨ َرا‬
َ  ‫ض ِّم ْن ُك ْم‬
‫هّٰللا َ َكا نَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)
Wajhul istidlal dari ayat ini ialah, bahwa ayat ini melarang memakan harta secara
batil. Jika ada pedagang yang menjual dagangan dengan harga yang melambung
tinggi yang merugikan masyarakat, maka itu termasuk memakan harta secara batil.
Maka hal itu harus dicegah oleh penguasa dengan cara melakukan tas'ir.

15
Imam Syaukani, Nailul Authar, V/334. Dikutip oleh Yusuf Al-Qardhawi, Daur Al-qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-
Iqtishadi Al-Islami, hlm. 427

7
Dalil lainnya, hadits Nabi SAW : “Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun,
biarkanlah manusia, Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian
lainnya.” Wajhul istidlal dari hadits ini, bahwa Rasulullah melarang orang kota yang
tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga.
Karena hal ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas'ir dibolehkan agar tidak
terjadi pelonjakan harga.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas'ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa
melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari
harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka
dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga
pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang
diperintahkan Allah.
Pendapat yang rajih (kuat), menurut kami adalah pendapat jumhur yang
mengharamkan tas'ir secara mutlak, baik itu tas'ir untuk melindungi kepentingan
pedagang maupun tas'ir untuk melindungi kepentingan pembeli. Hal itu dikarenakan
dalil dalil yang mengharamkan tas'ir bersifat mutlak, atau tanpa disertai dengan
tagyid, yaitu pemberian sifat atau syarat atau batasan tertentu. Jadi tidak ada dalil
yang menerangkan tas'ir yang diharamkan hanyalah yang bersifat zhalim, sedang tas'ir
yang bersifat adil dibolehkan. Dalil tagyid seperti ini ini tidak ada. Yang ada justru
adalah dalil mutlak dari hadits Anas RA di atas, yaitu bahwa tas'ir adalah kezhaliman
(mazhlimah), tanpa ada rincian dari Nabi SAW bagaimana sifat tas'ir itu.
Maka dari itu, segala bentuk tas'ir adalah haram secara mutlak, sesuai kaidah ushul
fiqih : “Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil
yang mentagyidkan (memberikan sifat/syarat/batasan).”
Adapun dalil dalil lainnya yang diajukan pihak yang membolehkan tas'ir, sebenarnya
tidak layak menjadi dalil. Karena OS An Nisa' : 29 tidak ada hubungannya dengan
persoalan tas'ir, mengingat maudhu' (topik) dari ayat tersebut tidak sama dengan
hadits Anas RA. Begitu pula hadits larangan orang kota menjual kepada orang dusun
juga tidak ada hubungannya dengan persoalan tas'ir, karena maudhu' (topik) hadits ini
beda dengan topik hadits Anas RA. Perbedaan maudhu' (topik) ini dalam Ushul Fiqih
khususnya pembahasan Mutlak Mugayyad disebut perbedaan “sebab”. Adanya
perbedaan “sebab” ini menyebabkan nash yang mutlak tidak dapat dibawa kepada
nash yang mugayyad. Atau dengan kata lain, nash yang dianggap mugayyad itu

8
sebenarnya tidak ada relevansinya dengan nash yang mutlak, sehingga nash yang
mutlak sebenarnya tetap dalam kemutlakannya.

Bagaimana Mengatasi Lonjakan Harga Tanpa Tasy’ir?


Jika tas'ir tidak boleh, lalu bagaimanakah solusinya jika terjadi kenaikan harga di
pasar? Menurut Imam Tagiyuddin An Nabhani, harus dilihat dan diinvestigasi dulu
apa yang menjadi penyebab melonjaknya harga di pasar.
Menurut Imam Tagiyuddin An Nabhani, kemungkinan penyebab melonjaknya harga
ada dua :
Pertama, karena terjadi ihtikar (penimbunan). Jika sebabnya adalah ihtikar, maka
tindakan yang dilakukan negara adalah menindak tegas orang yang melakukan ihtikar,
sebab ihtikar adalah haram menurut syara’.
Kedua, karena kelangkaan barang. Jika sebabnya adalah faktor kelangkaan barang,
maka tindakan negara adalah menambah persediaan (supply) agar ketersediaan barang
di pasar mencukupi dan harga barang tidak melonjak. Ini seperti yang dilakukan
Khalifah Umar, ketika di Madinah terjadi lonjakan harga gandum karena gandum
langka. Maka Khalifah Umar lalu membeli gandum dari Mesir dan Syam, lalu
menjualnya di Madinah. Dengan demikian persoalan melonjaknya harga dapat
terselesaikan tanpa perlu melakukan Tasy’ir.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasy'ir adalah perintah para penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang
mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual
barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang
menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari
harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Para ulama fiqh membagi Tasy’ir
kepada dua macam, yaitu : Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur
tangan dan ulah para pedagang. Kedua, harga suatu komoditi yang ditetapkan
pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi para pedagang
dan keadaan ekonomi masyarakat. Penetapan harga dari pemerintah ini disebut
dengan At-Tasy’ir Al-Jabari. Sedangkan mengenai hokum Tasy’ir, para ulama
berbeda pendapat yang membagi Tasy’ir menjadi 2 (dua) madzhab yaitu pertama,
yang mengharamkan secara mutlak. Kedua. yang membolehkan, meski tidak
membolehkan secara mutlak.

B. Saran
Demikian makalah konsep hukum tasy’ir dalam hadits yang kami susun. Kami
menyadari masih terdapat banyak kesalahan dalam makalah yang kami susun. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi terciptanya
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca manapun.

10
DAFTAR PUSTAKA
Abu Lois al-Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut : Dar al-Masyriq, 1986)
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan
Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016)
Abdul Aziz Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997)
Muhammad Rawas Qal’ah Ji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam al-Lughah alFuqaha’
(Bairut : Dar al-Nafais, 1985)
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, prinsip dan tujuan
ekonomi Islam. Penerjemah Imam Saefudin, (Bandung : Pustaka Setia, 1999)
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2001)
As-Shan’ani, Subul as-Salam,(Bandung : Dahlan, t.th), juz III, h. 25. Abu Daud, Sunan Abi
Daud, (t.tp : Dar al-Fikr, t.th), Juz II
Monzer Kahf, Ekonomi Islam (telaah Analitik terhadap fungsi system ekonomi Islam),
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995)
Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmkyah fi As-Siyasah Al-Syar’iyah, (Riyadh : Maktabah
Nazar Musthofa Al-Baz), 1996
Rincian pendapat masing-masing madzhab lihat Ahmad Irfah, ibid. hlm. 6. Lihat juga Yusuf
Al-Qardhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al- Islami

11
Imam Syaukani, Nailul Authar, V/334. Dikutip oleh Yusuf Al-Qardhawi, Daur Al-qiyam wa
Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami

12

Anda mungkin juga menyukai