Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TAS’IR ( PENETAPAN HARGA ) DAN IKHTIKAR ( MONOPOLI )

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih ekonom dan bisnis islam

DOSEN PENGAMPU:
Arsyil Azwar Senja, L.C., M.E.I,

DISUSUN OLEH :
Bimbim Onky Maulana : 63010210124
Muhammad Miftahudin : 63010210124
M. Riza Al Fata : 63010210144

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SALATIGA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
EKONOMI SYARIAH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia Nya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Tas ir (Penetapan Harga) dan Ikhtikar (Monopoli)" dengan
tepat waktu. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Ekonomi dan Bisnis Islam.
Selain itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk menambah wawasan kami tentang penetapan harga
dan monopoli.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Arsyil Azwar Senja , L.C., M.E.I. selaku dosen pengampu
mata kuliah tafsir. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak lain yang telah membantu
kami sehingga makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam isi maupun
sistematika penulisannya. Hal ini karena kurangnya pengetahuan dan wawasan. Oleh karena itu, penuils
mengharapkan kritik dan saran agar dapat lebih baik lagi dalam menyusun makalah. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Salatiga, Oktober 28

Penulis
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................
BAB I.............................................................................................................................................................
PENDAHULUAN............................................................................................................................................
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................................
C. TUJUAN............................................................................................................................................
BAB II...........................................................................................................................................................
PEMBAHASAN..............................................................................................................................................
A. PENJELASAN TAS’ IR.........................................................................................................................
B. DASAR PRAKTIK TAS’IR.....................................................................................................................
C. HAL YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN DALAM PRAKTIK TAS’IR...........................................
D. DEFINISI IKHTIAR............................................................................................................................
E. HUKUM PRAKTIK IKHTIKAR............................................................................................................
BAB III.........................................................................................................................................................
PENUTUP....................................................................................................................................................
A. KESIMPULAN..................................................................................................................................
B. SRAN...............................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAAN

A. LATAR BELAKANG

Mu'amalah merupakan hal pokok dan penting dalam agama Islam guna memperbaiki
kedihupan. Oleh karena itu, aturan muamalah diturunkan Allah dalam bentuk yang umum dengan
mengemukakan prinsip dan norma yang menjamis prinsip keadilan. Kegiatan perekonomian juga
merupakan bagian yang penting untuk kelangsungan utuhnya suatu negara. Perekonomian suatu
negara yang kokoh akan menjamijn kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada negara tersebut.

Salah satu bentuk muamalah yaitu jual beli. Jual beli sebagai sarana antar sesame manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam kitab umat Islam yaitu Al-Qur'an, Islam memberikan
kebebasan kepada setiap manusia untuk melakukan kegiatan jual beli.

Jual beli merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sudah diatur dalam Islam sebagai salah satu
aturan hukum yang tertuang dalam aturan agar setiap orang sebagai makhluk sosial dapat saling
tolong menolong. Kegiatan muamalah ini merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan transaksi
Islam.

Dalam Islam, dihalalkan dan diperintahkan untuk mencari rezeki melalui berbagai cara. Salah
satunya melalui kegiatan jual beli, atau melakukan kegiatan perdagangan. Namun, sebagai orang
yang beriman, kita harus menjalankan kegiatan udaha perdagangan secaraa Islam dan dituntut
menggunakan cara yang baik sesuai Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam juga memiliki aturan main
perdagangan Islam yang meenjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus dipenuhi
dalam melaksanakan kegiatan jual beli atau perdagangan.

Hukum yang mengatur kegiatan perekonomian ini gunanya untuk mencegah konflik dan
perselisihan yang kemungkinan dapat terjadi di antara pihak yang bertransaksi,
:menjaga hal, dan manfaat kedua belah pihak, serta menghilangkan segala ketidakpastian dan risiko
yang ada

Kesulitan dalam kehidupan ekonomi menyebabkan timbulnya transaksi yang tidak sesuai
dengan aturan hukum dan juga banyak yang melanggar guna memenuhi keinginan salah satu pihak.
Baik dalam hal penipuan, pemaksaan, atau penimbunan barang yang atau yang disebut dengan
monopoli

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu tas’ir?


2. Bagaimana dasar praktik tas’ir?
3. Apa saja yang dilarang dan diperbolehkaan dalam praktik tas’ir?
4. Apa itu Ihtikar?
5. Bagaimana hukum praktik ihtikar?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tas’ir
2. Untuk mengetahui dasar praktik tas’ir
3. Untuk mengetahui larangan dan anjuran dalam praktik tas’ir
4. Untuk mengetahui ihtikar
5. Untuk mengetahui hokum praktik ihtikar

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENJELASAN TAS’IR
Tas ir menurut bahasa yaitu menetapkan atau menentukan harga Bisa juga dikatakan bahwa tas ir
adalah harga dasar (price rate) yang berlaku di kalangan pedagang Dalam terminologi fiqh para Ulama
mendefinisikan al-tas 'ir dengan beragam redaksi.

Menurut Syafi'iyah. Syeikh Zakariya Al-Anshari: Pemerintah/penguasa menyuruh penjual (pasar) untuk
tidak menjual barang daganganya kecuali dengan harga tertentu, walaupun pada saat harga sedang
melambung tinggi yang menyusahkan harta masyarakat. Imam An-Nawawi mendefinisikan tas ir:
"Penetapan harga makanan atau yang semisalnya dengan harga tertentu. Menurut Malikiyah, Ibnu
Urfah mnedefinisikan: "Pembatasan harga dengan harga tertentu oleh pemerintah hakim badan
otoritatif kepada para penjual makanan. Menurut Hanabilah, Al-Bahuty mendefinisikan: "Penetapan
harga oleh imam/pemimpin atau yang mewakilinya, dan pemaksaan kepada masyarakat (pedagang
maupun pembeli) untuk mengikutinya. Al-Syaukani menyatakan bahwa tas ir adalah: "Perintah
penguasa atau wakilnya atau perintah setiap orang yang mengurus urusan kaum muslimin kepada para
pedagang untuk tidak menjual barang dagangannya kecuali dengan harga yang telah ditetapkan,
dilarang untuk menambah atau menguranginya dengan tujuan untuk kemaslahatan. 1

B. DASAR PRAKTIK TAS’IR

Para Fuqaha terbelah menjadi dua pendapat. Pertama, al-tas ir hukumnya haram dan ini merupakan
pendapat jumhur Sayyid Sabiq mengutarakan, bahwa pembatasan (penetapan) harga dapat
mengakibatkan tersembunyinya barang-barang hal mana membuat barang menjadi mahal. Meningginya
harga berarti menyusahkan orang-orang miskin, dikarenakan daya beli mereka yang menurun.
1
Abu Lois al-ma’luf, 1986
Muhammad rawas qal’ah ji dan hamid shadiq qunaibi 1989
Takim vol. XIII no. 2 desember 2017
Sementara orang kaya dapat membeli barang dari pasar gelap yang penuh dengan tipu daya. Hal ini
semus menyebabkan tidak terwujudnya kemaslahatan pada masyarakat. Kedua, at-tas ir diperbolehkan,
akan tetapi pembolehan ini tidak secara mutlak. Menurut Hanafiyah. diperbolehkan tas ir apabila
terjadi kenaikan harga-harga barang, yang muna kenaikannya melewati batas kewajaran. 2

Masing-masing mazhab memiliki dalil tersendiri untuk tas ir, yaitu:

1. Dalil mazhab pertama:

a. QS. An-Nisa: 29

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu".

Wajhu dilalah: adalah disyaratkannya al-taradhy antara penjual dan pembeli ialah untuk menjaga
sahnya jual-beli. Apabila penjual menjual dengan harga yang ditetapkan maka hilanglah al-taradhy,
sehingga jual-heli menjadi cacat karena ada keterpaksaan Pembeli telah memakan harta secara bathil.
Maka ayat ini merupakan dalil tidak diperbolehkannya al-tas ir

b. Hadits Dari Anas bin Malik ra.

beliau berkata: Harga barang-barang pernah mahal pada masa Rasulullah saw. Lalu orang-orang
berkata :Ya, Rasulullah harga-harga menjadi mahal, tetapkanlah patokanharga untuk kami; lalu
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga, yang menahan dan
membagikan rezeki: Dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya dapat berjumpa dengan Allah swt
dalam keadaan tidak ada seorangpun di antara kamu sekalipun yang menuntut saya karena kezhaliman
dalam penumpahan darah (pembunuhan) dan harta. (HR. Al-Tirmizi).

Wajhu dilalah: sesungguhnya Rasulullah saw tidak menetapkan harga, padahal para sahabat telah
meminta kepada Rasul untuk menetapkan harga diantara mereka. Seandainya tas ir diperbolehkan
maka tentunya Rasulullah Saw akan mengiyakan permintaan sahabat. Alasan mengapa Rasulullah Saw
tidak membolehkan tas ir karena terdapat kedzaliman.

Munaqasyah atas dalil hadis tidak diperbolehkannya tas ir: penolakan Rasulullah Saw untuk
menetapkan harga pada hadis di atas tidak menunjukkan pelarangan Rasulullah Saw terhadap tas ir
secara mutlak

Ibn Taimiyah menafsirkan hadis tentang penolakan Rasul Saw untuk menetapkan harga, padahal para
sahabat meminta Rasul untuk melakukannya. Menurut Ibnu Taimiyah hadis tersebut dalam konteks
khusus, bukan merupakan lafal umum, dan penolakan tas ir secara mutlak. Kenaikan harga pada saat itu
terjadi katena kekuatan pasar, kondisi pasar Madinah sangat objektif pada saat itu, kenaikkan harga
pada saat itu bukan disebabkan kecurangan para pedagang. sehingga Rasul Saw tidak menetapkan
harga.

Ibnu Taimiyah selanjutnya menjelaskan bahwa sebenarnya Rasul Saw pernah menetapkan harga.
Kondisi pertama, dalam kasus pembebasan budak yang memiliki dua orang majikana. Rasul Saw
menetapkan bahwa budak tersebut walaupun dimiliki oleh dua orang, dapat menjadi orang yang
merdeka cukup dengan harga yang adil (qimah al-adi) tanpa ada tambahan atau pengurangan, dan
2
Takhim Vol. XIII No. 2 Desember 2017
setiap majikannya harus diberi bagiannya masing-masing. Kondisi kedua, ketika terjadinya perselisihan
anatar dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain. Pemilik tanah
menemukan pohon di tanahnya dan merasa hal tersebut mengganggunya. Lantas ia mengajukan maslah
tersebut kepada Rasulullah Saw, kemudian Rasul memerintahkan kepada pemilik pohon untuk menjual
pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima kompensasi atau ganti rugi yang adil. Ternyata pemilik
pohon tidak melakukannya, maka Rasulullah Saw membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon
tersebut, dan ia memberikan kompensasi harganya kepada pemilik pohon.

Dari penjelasan di atas menunjukkan jika ada pedagang yang menolak untuk menjual barang yang wajib
diperjualbelikan, maka mereka dapat dipaksa untuk menjualnya dan jika mereka tetap menolaknya,
maka mereka dapat diberi sanksi Begitu pula jika terdapat pedagang yang mesti menjual barang
dagangannya dengan harga yang layak, lalu ternyata mereka tidak mau melakukannya kecuali dengan
harga yang lebih mahal, maka pedangang yang seperti ini dapat dipaksa, dan jika masih menolak mereka
dapat dijatuhi hukuman.

Dalil mazhab pertama mendapat sanggahan, bahwa dari hadis di atas dapat dilihat bahwa Rasulullah
Saw menolak tas ir karena terdapat kezaliman. Zalim dalam Islam merupakan suatu keharaman. Maka
larangan secara mutlak terdapat dalam hadis di atas. Hal itu mendapat sanggahan lebih lanjut bahwa
seandainya ini merupakan masalah tertentu atau khusus, maka pasti Nabi Saw akan menjelaskannya,
tetapi dalam redaksi hadis Rasul Saw menggunakan lafal umum. Maka hal ini menunjukkan pelarangan
secara umum.

2. Dalil mazhab kedua

a. QS. An-Nisa:29

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu" Wajhu dilalah:
sesungguhnya penjualan barang dengan adanya tambahan harga dari harga sewajarnya sehingga
menyusahkan manusia, Maka hal tersebut sama dengan makan harta orang lain dengan cara yang batil.
Jual-beli yang diperbolehkan tidak boleh merampas hak-hak orang lain atau menyusahkan orang banyak
karena mahalnya harga.

b. Hadits 1

Dari Ibnu Umar ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa membebaskan apa yang menjadi
bagian miliknya pada diri seorang budak, dan in masih mempunyai uang yang cukup untuk menebus
sisanya, maka hendaklah sisanya tersebut dihargai dan diberikan kepada serikatnya sehingga budak
tersebut bebas, jika tidak maka sungguh ia telah membebaskan apa yang menjadi miliknya." (HR.
Muslim) Apabila syariah mewajibkan mengeluarkan sesuatu barang dari pemiliknya dengan ganti yang
ditetapkan dengan alasan untuk kemaslahatan sempurnanya pemerdekaan hamba sahaya, sehingga
pemilik hamba sahaya tersebut tidak diperbolehkan menaikkan harganya. Maka penetapan harga
makanan merupakan sesuatu yang lebih penting karena kebutuhan masyarakat akan makanan
Penetapan harga hamba sahaya dalam hadis di atas merupakan bentuk tas ir yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw

C. HAL YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN DALAM PRAKTIK TAS’IR


Menurut Malikiyah, al-Tas ir ada dua bentuk, diperbolehkan al-tas ir apabila sebagian penjual
menurunkan harga barang, maka tas ir pada bentuk ini diperbolehkan agar penjual yang menurunkan
harga tersebut menyesuaikan dengan harga pedagang kebanyakan. Ini bentuk pertama menurut
Malikiyah, Bentuk kedua dari tus ir adalah membatasi para pedagang dengan harga tertentu, sehingga
mereka tidak boleh menjua melebihi harga yang telah ditetapkan. Maka bentuk ini diperbolehkan juga
menurut Malikiyah dalam riwayat Asyhab dari Malik, walaupun 4-fdhal menurutnya adalah
meninggalkannya.

Menurut Syafi'iyah, diperbolehkan tas ir pada saat kekeringan atau saat manusia sedang dalam
kesusahan. Menurut Hanabilah, di antaranya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim mewajibkan tas ir apabila
terjamin keadilan di antara manusia, seperti dalam melakukan pembelian dengan harga tertentu, dan
pelurangan terhadap mereka untuk menaikkan harga suatu barang. Ibn Taimiyah dalam al-Hisbah
menjelaskan pendapat Hanabilah tentang ut-tus ir: Penguasa tidak boleh menetapkan harga terhadap
manusia kecuali apabila berhubungan dengan kepentingan umum. Jika pedagang menjual dengan harga
yang tinggi sementara penguasa tidak bisa memelihara hak kaum muslimin kecuali dengan al-taxir, maka
penguasa boleh menetapkan harga setelah bermusyawarah dengan ahli ekonomi. Apabila pedagang
tidak mematuhinya, maka mereka dipaksa untuk melaksanakannya.

A. Definisi Ikhtikar
Ikhtikar dari bahasa Arab yang merupakan sebutan untuk monopoli Dalam kamus-kamus bahasa Arab
ihtikar mempunyai arti yang banyak, diantaranya sebagai berikut, menurut az-Zamakhsyari adalah
"ihakara antha'am" yang artinya adalah menimbun makanan sehingga harganya naik. Al-Jauhari
mendefinisikannya dengan "Ihtikar at-ta'am" yang artinya mengumpulkan dan menimbun dengan
menunggu harganya naik. Kemudian, Ibnu Maznur mengartikan al-ikhtikar adalah mengumpulkan
makanan dan sejenisnya dari apa-apa yang dimakan dan menahannya dengan menunggu naiknya harga.

Bahasa ikhtikar adalah suatu perbuatan menimbun, mengumpulkan barang atau tempat menimbun. Al-
Fahrust Abdi menyebutkan bahwa ikhtikar artinya mengumpulkan, menahan barang, dengan harapan
mendapatkan harga yang mahal. 3

B. Hukum Praktik Ikhtikar


Mayoritas fuqaha berpendapat haram pada praktik ini, ini berlaku mutlak dan tidak ada pembatasan
secara khusus dalam beberapa komoditas tertentu. Perbuatan penimbunan harta merupakan kejahatan
Para fuqaha membagi menjadi tiga kriteria pelarangan atau keharaman praktik ini, di antaranya:

1. Objek barang yang ditimbun itu kelebihan dari apa yang dibutuhkan, seseorang boleh menimbun
untuk persediaan kebutuhan dirinya dan keluarganya dalam jangka waktu satu tahun

2. Pelaku ikhtikar menunggu saat-saat naiknya harga barang agar dapat menjual dengan harga yang
lebih tinggi karena masyarakat sangat membutuhkannya di masa depan

3. Praktik ini dilakukan pada saat orang membutuhkan barang yang timbun seperti kebutuhan pokok,
bahan bakar, alat kesehatan, dan lainnya.

3
Takhim Vol. XIII No. 2 Desember 2017
Tawazun: jurnal of sharia economic law vol. 1 no 2 2018
Rohman,2017
Hikmah dari pelarangan kegiatan ini yaitu menjauhkan manusia untuk saling menzhalimi atau
kemudharatan bagi setiap orang, karena penimbunan harta akan menimbulkan sebuah kerugian bagi
masyarakat. Kemudian memunculkan sifat kederawanan seseorang kepada orang disekitar atau
lingkungan sosial. Penimbunan harta merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam
pasar Islam Berdasarkan hikmah ini, maka dapat dilihat bahwa pelarangan praktik penimbunan ini
memiliki kemaslahatan yang bukan hanya menyangkut masalah pribadi, tetapi jua masalah sosial dan
jika aturan ini diterapkan maka akan memberikan dampak positif bagi kehidupan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tas ir menurut bahasa yaitu menetapkan atau menentukan harga". Bisa juga dikatakan bahwa tas ir
adalah harga dasar (price rate) yang berlaku di kalangan pedagang. Hukum tas ir terbelah menjadi dua
Pertama menurut jumhur hukumnya haram dan yang kedua hukumnya diperbolehkan jika kenaikan
harga melewati batas wajar. Hal yang dilarang dalam praktik tas ir adalah penjual tidak boleh menaikkan
harga melebihi batas yang telah ditentukan. Hal yang diperbolehkan dalam praktik tas ir adalah mereka
boleh menetapkan harga jika itu berhubungan dengan kepentingan umum dan tidak ada cara lain selain
menggunakan tas ir ikhtikar adalah suatu perbuatan menimbun, mengumpulkan barang atau tempat
menimbun dengan harapan mendapatkan harga yang mahal. Hukum praktik ikhtikar adalah haram
secara mutlak

B. Saran Penulis
menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Tentunya penulis
selalu memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan
makalah Tas ir dan Ikhtikar ini. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Lois al-Ma'luf. (1997). Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam. Jakarta: PT lehtiar Baru Van Hoeve

Ahmad Maulidizen, N. A. (2019). Contemporary Study of Ihtikar According to Scholars and the Effect of
Ikhtikar Practies in the Economy. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 89-101

Baharudin, D. (2017). Tas'ir (Price Fixing) dalam Perspektif Maqashid Al-Syari'ah. Tahkim Vol. XIII, No. 2,
138-156,

Nurum, M. (2020). Larangan Menimbun Harta dalam Jual Beli. Makassar. Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar.

Qunaibi, M. R. (1985), Mujam al-Lughah al-Fugaha Bairut: Dar al-Narais


Rohman, M. (2017), Perbandingan Konsep Ihtikar Menurut Pendapat Fiqih Empat Mahzab dan Konsep
Penimbunan Barang menurut Hukum Positif Malang Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang. Zaini, A. (2018). Ikhtikar dan Tas ir dalam Kajian Hukum Bisnis Syariah. Tirwuzun: Journal of
Sharia Economic Law, Vol 1, No. 2. 187198.

Anda mungkin juga menyukai