2
terhadap produk halal juga menjadi salah satu faktor potensi untuk memperluas pangsa
pasar ekonomi islam di negara-negara Asia dan Eropa. Sebagai tambahan, Teknologi
yang semakin maju berdampak pada globalisasi yang memudarkan batasan
internasional (Tampake, 2019), dimana hal tersebut turut menunjang imdustri halal
sehingga proses pengiklanan restoran, sosialisasi substansi halal sebuah produk, dan
informasi lainnya dapat diakses dengan mudah baik oleh konsumen ataupun produsen.
Dengan berdirinya banyak restoran halal tentu akan membantu Muslim dalam
menentukan opsi makanan yang dapat dikonsumsi. Terlebih, makanan yang halal dapat
dikonsumsi semua orang termasuk non-muslim.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Regulasi serta Substansi Kehalalan sebuah Halal Restautant di Negara
non-Muslim?
b. Bagaimana Potensi Halal Restaurant untuk terus berkembang di Negara non-
Muslim?
c. Bagaimana Analisis Strategi yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan
Halal Restaurant di Negara non-Muslim?
d. Bagaimana timbal balik dari Penduduk non-Muslim terhadap perkembangan Halal
Restaurant?
3
Adapun klasifikasi halal dan haram dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu secara sifat
dan proses. Kehalalan berdasarkan sifat menitik beratkan kepada bahan atau sifat
dasar dari barang atau jasa yang diproduksi, apabila sebuah barang atau jasa memiliki
sifat dasar yang tidak baik maka akan dihukumi haram, beberapa contoh dari klasifikasi
sifat yang diharamkan adalah bangkai, daging babi, dan darah. Sedangkan kehalalan
berdasarkan proses melihat kepada tahapan mengelola bahan dasar untuk menjadi
sebuah produk atau jasa, apakah sesuai dengan prinsip islam atau tidak. Sebagai
contoh daging yang disembelih sesuai dengan syariat islam namun terkontaminasi
dengan zat haram pada akhirnya tidak boleh untuk dikonsumsi bagi seorang muslim
(Astuti & Rukiah, 2019). Selain itu, transportasi logistik makanan Halal baik domestik
maupun ekspor juga perlu mendapat perhatian dalam kehalalan, seperti:
4
akan cenderung untuk bergerak mencapai kebutuhan diatasnya. Kebutuhan fisiologis
sendiri meliputi sandang, pangan, dan papan sehingga dapat disimpulkan Industri
makanan dan minuman menjadi sumber yang selalu memiliki konsumen selama umat
manusia masih hidup (Mostafa, 2020).
2.3. Makanan dan Minuman dalam perspektif Agama Islam
Pada dasarnya penyajian makanan dan minuman merupakan salah satu
ekspresi budaya yang menjadi pembeda antara suatu budaya dan budaya lain. Kendati
demikian, tidak menutup kemungkinan pihak lain untuk mempelajari bahkan
mengadaptasinya. Menrut pandangan Geertz (1966), budaya ditunjang oleh aliran
kemanusiaan yang luas, dan semakin lama makin sistematis. Makna dari ungkapan
tersebut adalah pemikiran manusia terhadap suatu kebudayaan tidak selalu menolak
atau tidak menerima meskipun datang dari kebudayaan yang berbeda, namun manusia
memiliki naluri untuk berkompromi dengan mempertimbangkan value atau nilai dari
kebudayaan yang dibawa. Pada akhirnya kompromi tersebut menciptakan kolaborasi
budaya dan asimilasi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (Geertz,
1966). Sebagai perbandingan di kehidupan, Islam tidak semata-mata mengharamkan
makanan yang bukan berasal dari dataran arab sepeti rendang, sushi, dan kimchi, pun
sebaliknya, islam tidak juga semata-mata menghalalkan makanan yang berasal dari
arab seperti samosa, Nasi Mandi, Jalamah, dan lain-lain, namun status kehalalan
mempertimbangkan proses pengolahan dari bahan dasar hingga menjadi makanan
yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu, masyarakat non-muslim yang melihat budaya
halal pada sebuah produk, secara rasional menerima hal tersebut bahkan
menerapkannya pada produk yang mereka miliki agar memperluas konsumen serta
sebagai penjamin kualitas produk.
2.4. Restoran Halal
Menurut Marsum dalam bukunya yang berjudul “Restoran dan segala
Permasalahannya” (2005) restoran adalah suatu tempat ataupun bangunan yang
diorganisasikan secara komersial, yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik
kepada semua tamu, baik berupa menyediakan makanan maupun minuman (Marsum,
2005). Restoran merupakan salah satu komponen yang menunjang perekonomian
suatu negara dimana dengan banyaknya restoran yang berkualitas serta harga yang
sesuai dengan rata-rata pendapatan masyarakat maka agregat konsumsi sebuah
negara atau wilayah akan mengalami peningkatan. Selain itu, restoran merupakan sub
sektor dari Sektor perdagangan yang bergerak di bidang jasa sekaligus barang. Adapun
Halal restaurant mengacu pada suatu tempat yang menyediakan makanan dan
minuman yang diproduksi berdasarkan hukum islam, kriteria halal pada makanan
menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul “Al-Halal wa Al-haram fi Al-
islam” setidaknya harus memenuhi 3 kriteria, yaitu halal zat nya, halal cara
memperolehnya, serta halal cara pengelolannya (Qardhawi, 1997).
Sebagaimana perusahaan jasa ataupun barang pada umumnya, nilai jual
sebuah restoran terletak pada kualitas pelayanan, makanan, serta keunikan yang
menjadi ciri khas sebuah restoran (Nurmaydha, Mustaniroh, & Sucipto, 2019). Restoran
halal identik dengan penyajian makanan dan minuman yang berasal dari jazirah arab
5
dan timur tengah, namun pada kenyatannya banyak restoran dari wilayah lain bahkan
wilayah mayoritas non-muslim yang telah tersertifikasi halal. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya restoran sushi dan ramen yang berdiri di Indonesia namun dapat
dikonsumsi oleh muslim (Novianti & Veronika, 2021). Pengaruh halal dibawa oleh
proses globalisasi dimana terjadi pertukaran nilai dan budaya yang menuntut adanya
adaptasi sehingga apabila seorang pengusaha asing yang menjual produk non-halal
ingin menjual di negara mayoritas muslim, hendaknya beradaptasi dengan regulasi
halal demi memperoleh keuntungan (Sayekti, 2019).
6
tahun 2019 (Adinugraha & Sartika , 2019). Adapun rincian perbandingan pengeluaran
umat muslim Indonesia dan global dapat dilihat di tabel berikut:
7
produk, serta tidak menguntungkan bagi sejumlah pebisnis. Sehingga banyak para
pelancong muslim yang mengeluhkan hal tersebut. Seiring berjalannya waktu, hingga
saat ini, Industri halal menjelma menjadi ladang bisnis raksasa yang sedang tren baik di
dalam negeri atau mancanegara sejalan dengan demografi umat muslim serta daya
belinya yang kian meningkat. Pada tahun 2013 saja pasar Islam global bernilai lebih
dari $ 3,6 triliun dan hanya dalam waktu 7 tahun nilai pasar Islam Global berlipat ganda
menjadi lebih dari $ 5 triliun. Peningkatan nilai pasar Islam yang signifikan membuka
kesadaran pemerintah dan pebisnis asing bahwa perlu adanya sertifikasi dan labelisasi
halal untuk produk mereka demi memperluas konsumen serta memanfaatkan
momentum yang mampu menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, halal menjadi
suatu kebutuhan dibuktikan dari banyaknya pembentukan lembaga sertifikasi halal
seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) di negara lain dengan ketentuan dan standar
yang ditentukan berdasarkan pemahaman hukum Islam yang tentunya berbeda-beda.
Menurut keterangan dari Wrap it Up (2019) terdapat beberapa lembaga di Asia
Tenggara yang sudah mengkaji kehalalan sebuah produk seperti The Central Islamic
Council of Thailand atau CICOT (Thailand), Jabatan Kemajuan Islam Mayalsia atau
JAKIM (Malaysia), Majerlis Ulama Singapur atau MUIS (Singapura), dan Halal
Certification Agency atau HCA (Vietnam). Beberapa negara Asia dan Eropa juga
memiliki lembaga khusus untuk sertifikasi dan labelisasi halal seperti Muslim
Professional Japan Association atau MPJA yang berada di Jepang dan Halal Quality
Control atau HQC yang berada di Jerman.
Proses sertifikasi dan labelisasi halal umumnya lebih terstruktur dan kredibel di
negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) di
Indonesia lebih baik daripada di Negara Eropa. Meski begitu, beberapa negara
mayoritas non-muslim telah mampu menciptakan standarisasi yang baik terhadap
produk halal, diantaranya adalah Singapura (MUIS) bahkan Thailand (CICOT) telah
menerapkan kriteria persyaratan yang lebih baik daripada MUI (Fuadah, Karseno,
Firdausi, Bagus, Putri, & Ulhusna, 2022).
Halal lifestyle menjadi sangat diperlukan tidak hanya untuk umat islam tapi
seluruh manusia di muka bumi karena konsep halal berlaku secara universal dengan
membawa nilai filosofis sekaligus praktis yang sudah menjadi Standar Operasional
Prosedur (SOP) dari 14 abad yang lau dalam syariah Islam (Adinugraha & Sartika ,
2019). Istilah Halal lifestyle sendiri tidak dimaksudkan sebagai batasan atau bahkan
pemaksaan, melainkan untuk mengimplementasikan kalimat Islam rahmatan lil ‘alamin
ke seluruh dunia karena secara normatif gaya hidup halal menjadi sangat penting bagi
jati diri umat muslim karena Halal lifestyle menciptakan sebuah prinsip yang menuntun
manusia kearah yang benar dan jelas (Boediman, 2017).
3.2. Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Berdasarkan data Global Religious Futures, pemeluk agama Islam pada tahun
2010 mencapai 1,6 miliar jiwa atau 23,2% dari populasi dunia. Adapun rincian
perkembangannya dapat dilihat dari grafik berikut:
8
Sumber: Global Religious Futures
Dalam satu dekade dari tahun 2010, umat muslim bertambah signifikan sebesar
19,22% menjadi 1,91 miliar pada tahun 2020, pada satu dekade berikutnya yakni tahun
2030, Pertumbuhan populasi muslim diproyeksikan akan bertambah sebesar 15,84%
menjadi 2,21 miliar manusia. Masih berdasarkan Global Religious Futures, Jumlah
populasi akan terus meningkat sepanjang dekade dimana pada tahun 2040 populasi
umat muslim diperkirakan akan mencapai 2,5 miliar yang bertambah sebesar 13.06%
dari dekade sebelumnya. Bahkan pada tahun 2050, umat muslim diprediksi akan
mendekati jumlah populasi Nasrani dengan mencapai 2,76 miliar jiwa yang mana
selisihnya hanya 200-300 jiwa saja dari populasi Nasrani yang diproyeksikan mencapai
2,92 miliar Jiwa pada tahun yang sama (Kusnandar, 2021).
Lantas aspek halal menjadi fundamental bukan hanya bagi umat Muslim namun
seluruh populasi dunia. Dari sudut pandang seorang Muslim, kehalalan sebuah produk
selalu menjadi perhatian utama bagi mereka karena merupakan suatu kewajiban
sekaligus nilai ibadah, sedangkan dari sudut pandang non-muslim, kriteria serta
standarisasi yang ketat terhadap sebuah produk membangun kepercayaan terhadap
produk halal. Bahkan dalam sebuah penelitian pengaruh label halal terhadap reaksi
konsumen non-Muslim menunjukan bahwa 39,4% pasti membeli Produk Halal, 56,4%
terkadang membeli produk Halal, dan 4,2% tidak membeli produk Halal (Nugraha,
Chen, & Yang, 2022). Sejalan dengan itu, produsen akan mengambil langkah seiring
bertambahnya populasi serta daya beli muslim dengan melakukan sertifikasi dan
labelisasi halal pada produknya.
Perlu diketahui sertifikasi dan labelisasi halal adalah dua istlah yang berbeda.
Menurut LPPOM MUI, Sertifikat Halal merupakan sebuah fatwa tertulis MUI yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikasi halal juga
merupakan proses untuk memperoleh sertifikat halal melaui beberapa tahapan untuk
membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan sistem jaminan halal (SJH) memenuhi
standarisasi yang ditetapkan oleh LPPOM MUI. Sertifikat Halal merupakan syarat untuk
pencantuman label Halal. Artinya produk Halal ini merupakan produk yang sudah
memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan hukum Islam, menurut Annisa ada beberapa
9
hal yang menjadi pertimbangan kehalalan sebuah produk, diantaranya adalah (Annisa,
2019):
a. Bahan untuk membuat sebuah produk tidak berasal dan tidak mengandung babi.
b. Bahan untuk membuat sebuah produk tidak tercampur organ manusia, darah,
dan tidak mengandung kotoran dan sejenisnya.
c. Hewan tersebut halal dan disembelih sesuai dengan tata cara penyembelihan
halal.
d. Lokasi pengolahan, penjualan produk, pengemasan dan penyimpanan,
transportasi kendaraan terbukti tidak terkontaminasi dengan zat yang
diharamkan.
e. Bahan atau produk tidak mengandung khamr.
Selain itu, Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga telah
menetapkan secara rinci terkait persyaratan pengajuan sertifikasi halal yang diuraikan
oleh Kun Mahardiwati Rahayu dalam Artikelnya yang berjudul “Info Halal: Persyaratan
dalam melakukan sertifikasi halal” (Rahayu, 2020), ada 11 poin yang dijadikan acuan,
diantaranya:
1. Kebijakan Halal
Merupakan suatu ketetapan bahwa manajemen puncak suatu perusahaan memiliki
kewajiban dalam merumuskan kebijakan halal kepada seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders) Perusahaan.
4. Bahan
Secara umum bahan yang digunakan dalam proses membuat sebuah produk tidak
boleh najis atau mengandung unsur haram. Selain itu, perusahaan harus memiliki
dokumen pendukung untuk membuktikan semua bahan yang digunakan.
5. Produk
Karakteristik produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau, bentuk, hingga rasa
mengarah kepada hal-hal yang diharamkan secara tegas oleh fatwa MUI. Selain itu,
nama merk atau nama produk yang didaftarkan unutk disertifikasi tidak boleh
mengandung unsur yang diharamkan dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
10
6. Fasilitas Produksi
a. Industri Pengolahan: (i) seluruh fasilitas produksi harus terjamin tidak
terkontaminasi degan zat haram (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan secara
bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang tidak
disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang berasal dari babi/turunannya,
namun harus ada prosedur yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.
b. Restoran/catering/dapur: (i) Restoran/catering/dapur hanya memproduksi produk
yang halal (ii) fasilitas produksi terjamin tidak najis atau haram serta hanya
digunakan untuk memproduksi produk halal.
c. Rumah Potong Hewan (RPH): (i) hanya difokuskan untuk memotong hewan
yang dihalalkan secara syariah (ii) Lokasi RPH harus terpisah dengan
peternakan babi (iii) Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka
harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal; (iv) Alat penyembelih
harus memenuhi persyaratan.
11
11. Kaji Ulang Manajemen
Manajemen puncak atau perwakilannya harus melakukan kaji ulang manajemen
setidaknya saekali dalam satu tahun dengan tujuan untuk menilai tingkat efektifitas
penerapan SJH serta merumuskan bahan evaluasi berkelanjutan.
3.3. Potensi dan Strategi Penerapan Halal Restaurant di Asia dan Eropa
Islam merupakan agama dengan penganut terbesar kedua di Eropa setelah
Kristen sekaligus terbesar pertama di Asia dimana total populasi muslim yang hidup di
Asia mecapai 62,1% dari populasi muslim dunia. Diperkirakan sepertiganya hidup di
Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, serta
negara-negara lainnya yang memiliki komunitas Muslim seperti Thailand dan Filipina.
12
Apabila dilihat dari setiap negara yang ada di dunia, Indonesia adalah negara dengan
populasi muslim terbesar dimana berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic
Study Center (RISSC) jumlah populasi muslim mencapai 231,06 juta per 31 Desember
2021 yang setara dengan 86,7% Penduduk Indonesia (Bayu, 2022). Jumlah tersebut
mewakili 56,3% dari populasi muslim Asia. Negara berikutnya adalah Pakistan dengan
total populasi muslim mencapai 200,4 Juta jiwa atau 11,10% populasi muslim dunia,
kemudian India yang berkisar 177 juta disusul dengan Bangladesh yang 90,2%
penduduknya beragama Islam atau sekitar 153,7 juta Jiwa dari total 164 Juta Penduduk
(Fathina, 2022). Sedangkan di Eropa, komunitas Muslim tersebar dan tidak terpusat
pada negara tertentu sebagaimana negara-negara di Asia karena sebagian besar dari
mereka adalah imigran. Muslim di Eropa terdapat di Bosnia, Herzegovina, Albania,
Kosovo, beberapa wilayah di Bulgaria, Macedonia dan Montenegro, serta beberapa di
wilayah Rusia.
Berdasarkan data diatas dapat kita ketahui bahwa umat Islam memberi
pengaruh yang demikian besar pada pertumbuhan populasi dunia. Meski begitu, tujuan
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini bukanlah untuk fokus kepada pertumbuhan kuantitas
dan kualitas Muslim pada suatu daerah saja, melainkan pada negara-negara minoritas
muslim khususnya Asia dan Eropa, dimana hal tersebut seringkali menimbulkan
pertanyaan pada benak umat Islam seperti bagaimana kondisi umat muslim? Apakah
ada makanan yang halal disana? Bagaimana skala serta kriteria dalam memilih
makanan? Menurut studi yang melibatkan beberapa responden Muslim di Jepang,
terdapat 4 segmen yang menjadi perhatian. Segmen pertama mewakili sebagian besar
responden, yakni terkait ketersediaan ruang ibadah yang menjadi prioritas utama
mereka dalam memilih restoran, segmen kedua yang diwakili seperlima responden
memprioritaskan ketersediaan label halal pada produk, dan 2 segmen lainnya memiliki
presentase yang sangat kecil dimana sebagian responden memilih penawaran dengan
anggaran rendah sedangkan kelompok berpenghasilan tinggi lebih mempertimbangkan
ketersediaan ruang ibadah sekaligus label halal pada produk (Saville & Mahbubi, 2021).
Di Eropa sendiri, industri makanan tumbuh dengan cukup pesat. Hal tersebut
tidak terlepas dari perkembangan populasi muslim baik yang dari awal menetap di
Eropa atau bermigrasi untuk menempuh pendidikan atau sekedar berwisata. Menurut
penelitian Pew Research Center, jumlah penduduk Muslim di Eropa terus mengalami
peningkatan, tercatat dari tahun 2010 hingga 2016 saja, pertumbuhan populasi tersebut
bertambah dari 3,8 persen menjadi 4,9 persen atau yang awalnya 19,5 Juta muslim
menjadi 25,8 Juta jiwa. Di tahun yang sama, selisih angka kelahiran dan angka
kematiannya mencapai lebih dari 2,9 Juta jiwa. Perlu diketahui pada 2050 mendatang,
peningkatan populasi Muslim di Eropa diproyeksikan akan mencapai 11,2 persen
bahkan lebih tergantung seberapa banyak migrasi yang diizinkan oleh Pemerintah,
namun meskipun terdapat pembatasan migrasi, angka peningkatan populasi muslim di
Eropa diprediksi mencapai 7,4 persen. Mengutip dari Wolrd Population Review,
setidaknya terdapat 1,9 Juta Penduduk Muslim di negara Bosnia pada tahun 2022, 1,1
Jiwa di Spanyol bahkan di Italia total pemeluk Agama Islam mencapai 2,87 juta Jiwa
atau sekitar 4,8 persen dari total penduduk. Selain itu, Pada tahun 2030 Rusia
diperkirakan akan memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa dengan total 18,6 Juta
13
Penduduk yang mana jika dihitung secara matematis peningkatannya dari tahun 2010
mencapai 12,5 persen.
Sebagaimana pemaparan sebelumnya, tumbuhnya benih-benih restoran halal di
negara Asia dan Eropa tidak terlepas dari perkembangan sektor pariwisata halal.
Negara Asia dan Eropa memiliki banyak destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan
asing, tidak terkecuali wisatawan Muslim. Semakin meningkatnya pariwisata di suatu
negara, maka semakin tinggi juga kualitas layanan yang diberikan. Menjadi suatu hal
yang lumrah bagi sebuah bisnis untuk mengadaptasi beberapa pembaharuan untuk
meningkatkan pendapatan. Sama halnya dengan Wisatawan muslim yang melakukan
wisata ke negara Asia dan Eropa dimana makanan halal menjadi indikator seorang
muslim dalam menentukan destinasi wisata, maka perusahaan, pemerintah, dan
restoran pada suatu negara harus secara kolektif untuk melakukan sertifikasi dan
labelisasi halal untuk menjaga konsumen. Menurut tiset yang dilakukan oleh PEW, lebih
dari 20% populasi ummat Islam hidup di negara minoritas muslim, terutama di negara-
negara Eropa. Pergolakan etnis dan politik di beberapa negara Islam menyebabkan
kenaikan angka migrasi umat Muslim ke negara-negara barat sehingga jumlah Mulim di
negara minoritas muslim meningkat.
Meskipun rasio umat Muslim di Eropa tidak sebanyak rasio Muslim di Asia,
timbal balik dari masyarakat Eropa terhadap Produk halal cukup positif bahkan
Permintaan produk halal disana terus meningkat sebanyak 15% per tahun sejak tahun
2003 yang saat itu nilainya mencapai 15 Milyar Euro. Di Prancis terdapat sebuah istilah
yang berbunyi “Diversity Baby-Boomers du Halal” yang mengacu pada Era kelahiran
variasi Produk halal. Era kelahiran ini dimulai sejak tahun 2009 yang ditandai dengan
maraknya produk halal yang diluncurkan oleh perusahaan kecil seperti penjual daging
sekaligus beberapa perusahaan besar seperti Fuery Micron, Herta, Knorr, Laberye,
Liebig, dan Maggi yang melakukan investasi terhadap Produk Halal. Seiring berjalannya
waktu, Produk halal di Prancis semakin bervariasi bahkan beberapa produk asli Prancis
seperti saucisson, croquet-monsieur, dan le foie gras mengadaptasi halal melalui
sertifikasi dan labelisasi. Pangsa pasar makanan halal di Prancis semakin membesar
sampai menarik perhatian sejumlah pengusaha di bidang fast-food seperti KFC dan
McDonals, dengan jumlah muslimnya yang diperkirakan berada di sekitar 6,86 Juta
pada Tahun 2030 atau 10,3 persen dari populasi tentu membuka mata pengusaha
akan peluang bisnis yang menguntungkan, sehinnga pada tahun yang sama, tercatat
keduanya telah membuka 3 gerai yang menjual halal fast food di kota Marsille dan kota
Toulose (Listyowati, 2013).
Beralih ke negara Rusia yang merupakan negara Eropa dengan populasi Muslim
terbesar dimana dari 150 Juta penduduknya, 14 hingga 20 juta diantaranya adalah
Muslim. Proses sertifikasi halal di Rusia mulai meningkat pesat sejak Tahun 2015,
menurut pernyataan Aidar Gazizov selaku Direktur Jenderal Pusat Internasional untuk
Standarisasi Halal Dewan Mufti Rusia, sertifikasi halal adalah inovasi baru yang tidak
rumit untuk diterapkan dimana untuk mendapatkan sertifikat halal, hanya ada 2 kriteria
dasar untuk dilakukan. Pertama, lembaga tersebut harus memenuhi seluruh standar
kebersihan yang berlaku di Internasional dan Rusia. Kedua, selama proses sertifikasi
berlangsung, Dewan Mufti Rusia akan mengimplementasikan peraturan dan kriteria
14
pemberian status halal pada sebuah produk. Selain itu, Rusia membangun kerja sama
sekaligus mempelajari proses sertifikasi halal di negara lain seperti, Uni Emirat Arab,
Malaysia, Indonesia, Qatar, dan lain-lain sehingga produk halal yang dihasilkan dapat
masuk dan bersaing di pangsa pasar Islam. Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 150
Produsen dan perusahaan Rusia yang telah mendapatkan sertifikasi Halal. Aidar
Gazizov menambahkan bahwa Pengembangan pasar pariwisata halal khususnya
perhotelan terbilang cukup sukses dimana omset rata-rata tahunan pariwisata Halal
diperkirakan mencapai 125 miliar dollar AS atau 12,3 persen dari pariwisata outbound
dunia. meningkatnya pasar pariwisata berbanding lurus dengan perkembangan pasar
makanan halal. Beberapa kota yang menjadi target wisatawan muslim tertinggi seperti
Saint Petersbug dan Moskow yang merupakan kota metropolitan di Rusia (Saputra,
2022).
Sama halnya dengan Prancis, salah satu strategi pemasaran makanan halal di
Rusia adalah dengan menerapkan konsep halal di beberapa olahan makanan asli
Rusia yang diminati wisatawan seperti kulebyaka, Beef Straganof, Blini, Pirozhki, Sup
Borshct, dan lain-lain sehingga Rusia dapat beradaptasi dan bersaing di industri halal
namun tanpa menghilangkan eksistensi budaya yang mereka miliki. Selain dari pasar
pariwisata, perkembangan pasar makanan halal di Rusia juga didukung oleh pameran
industri halal seperti Moscow International Halal Expo yang diadakan pada bulan Mei
2015 lalu. Pameran terrsebut dihadiri lebih dari 200 perusahaan dari berbagai sektor
industri seperti perbankan, fashion syariah, farmasi, serta layanan makanan produk
halal dan sukses membawa pengaruh baru di Rusia, dilansir dari The Journal of Turkish
Weekly, Yaketerina Preina yang menjadi perwakilan perusahaan produsen makanan
halal untuk anak-anak menyatakan bahwa mereka memulai pekerjaan pertama di
sebuah wilayah muslim Rusia, namun tidak lama setelah itu, permintaan serupa juga
datang dari wilayah lainnya.
Seiring maraknya tren produksi halal, sebagian pengusaha Eropa melihat
peluang untuk masuk di industri halal karena populasi Muslim yang kian meningkat,
baik penduduk asli yang menetap, migrasi pelajar dari negara muslim, meningkatnya
sektor pariwisata domestik dan internasional, serta berbagai macam faktor lainnya.
Selain itu, masyarakat non-muslim merasa lebih nyaman dengan prinsip syariah dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga peluang bisnis halal menjadi lebih luas.
Secara umum pangsa pasar Produk halal terus meningkat signifikan dalam
beberapa dekade terakhir. Angka perdagangan makanan halal setidaknya mencapai
17% dari industry makanan dunia atau setara dengan USD 632 milyar per tahun. Dari
angka tersebut, pasar makanan halal terbesar terdapat di Asia dengan Nilai USD 400
dan Aurtralia dengan angka terkecil yang bernilai USD 1,2 milyar. Dapat dilihat bahwa
negara-negara Asia memiliki peluang paling besar bagi industri halal untuk
berkembang. Thailand dan Filipina merupakan dua negara di Asia Tenggara yang
sering menjadi opsi destinasi wisata karena memiliki keunikan alam sekaligus budaya
yang menarik perhatian, tidak terkecuali kuliner yang juga beragam. Untuk
mempertahankan agregat wisatawan, restoran harus meningkatkan kinerja dengan
menyediakan produk berkualitas, lezat, sekaligus Halal. Di Filipina sendiri terdapat
banyak restoran halal yang dapat dinikmati, baik restoran yang menjual makanan lokal
15
Filipina maupun yang menjual makanan khas dari negara asing seperti kebab, nasi
iryani, bahkan makanan Indonesia.
Adapun Thailand memiliki 20 restoran halal termasuk restoran yang belum
melakukan sertifikasi halal di wilayah timur lautnya. Sedangkan di Negara Asia lainnya,
Korea dan Jepang mendapat gelar muslim friendly karena berbagai kegiatan dan
kebutuhan umat muslim difasilitasi dengan baik seperti banyaknya didirikan masjid,
kamar kecil dengan air, serta permisahan kebutuhann pokok di supermarket antara
produk halal dan non-halal. Keduanya juga menjalin kerja sama dengan negara-negara
Islam dalam meningkatkan tren halal. Bahkan Jepang memiliki lembaga sertifikasi dan
labelisasi halal sendiri yaitu Japanese Muslims Assosiation (JMA) dan Japan Halal
Assosiation (JHA) (Fuadah, Karseno, Firdausi, Bagus, Putri, & Ulhusna, 2022). Bisnis
Halal Food terus mengalami perkembangan di Jepang hingga saat ini, pada Oktober
tahun 2017 lalu saja, sebanyak 788 restoran halal telah terdaftar meskipun diantaranya
hanya 161 (20,4%) yang tersertifikasi halal melaui JMA atau JHA. Sementara itu, pada
tahun yang sama sebanyak 465 restoran telah menggunakan daging halal sebagai
bahan produksinya dan 313 restoran melakuka klaim bahwa peralatan dapur dan
peralatan makannya Halal dan tidak tercampur dengan zat yang diharamkan (Wahidati
& Sarinasiti, 2018).
Di Korea, meskipun arus perkembangan industri halal tidak secepat Jepang,
namun tetap dapat memfasilitasi Muslim dengan baik seperti penyediaan makanan
halal di Bandara, yaitu Bandara Internasional Incheon dan Bandara Internasional
Gimhae dan pendirian 8 Masjid di kota-kota sentral seperti Masjid Pusat Seoul, Masjid
Busan, Masjid Gwangju, Masjid Jeounju, Masjid Anyang, Masjid Bupyeong, Masjid
Gyeonggi, dan Masjid Ansan. Selain itu, pada tahun 2014 Korean Tourism
Organizations (KTO) menerbitkan buu berisi panduan makanan Halal di Korea Selatan,
buu ini dapat diakses melalui website KTO dan setiap tahunnya selalu diadakan
pembaharuan, seperti halnya pada tahun 2017 lalu, KTO menambah jumlah restoran
halal terdaftar dari yang awalnya hanya 117 restoran menjadi 252 restoran (May, Ayu,
Aulia, Fani, & Hidayatullah, 2020).
Sedangkan di China, sejak tahun 2010 total wisatawan Muslim dari
perjalanan domestik maupun internasional mencapai lebih darii 100.000 setiap
tahunnya, namun China belum memiliki restoran halal yang memadai sehingga
wisatawan muslim hanya bisa mengonsumsi makanan di Halal Canteen beberapa
Perguruan Tinggi di China saja. Meski begitu, beberapa Kota di Cina seperti Zhang
Jiajie di Provinsi Hu nan, Desa Yuan yang dekat dengan kota Xi’an Provinsi Shan Xi,
Kota Xi Wu di Provinsi Zhe Jiang, dan Desa Xiao Bei di Provinsi Guang Dong
merupakan 4 situs yang tidak memiliki histori pemukuman Muslim namun secara
sukses menyediakan Halal Restaurant dan lingkungan yang ramah bagi Muslim. Zhang
Jiajie meluncurkan restoran Halal untuk memperluas Pasar pariwisata Asia Tenggara,
sedangkan desa Yuan Jia memanfaatkannya karakteristik etnis dan daerah makanan
halal sebagai tujuan daya tarik. Restoran halal di Yi Wu dan Xiao Bei disiapkan untuk
dan dimiliki oleh pelancong bisnis, biasanya orang asing. Oleh karena itu, beberapa ini
situs penelitian dianggap cocok untuk menjadi destinasi wisata Muslim di China (Jia &
Gaozhi, 2021).
16
Hal serupa pun terjadi di negara-negara minorias Muslim Asia Lainnya seperti
Tiongkok, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Hong Kong. Kebutuhan akan Halal Food
kian bertambah seiring dengan laju pertumbuhan umat Islam dan daya belinya yang
memberikan dampak cukup besar bagi perdagangan dunia, maka secara tersirat
tekanan koersi oleh Muslim mempengaruhi patronasi restoran halal (Ghazali, Mutum,
Waqas, Nguyen, & Tarmizi, 2022). Negara-negara minoritas muslim bersaing dalam
pasar halal food dengan melakukan berbagai strategi seperti menjalin hubungan kerja
sama dengan negara Muslim, mendirikan lembaga sertifikasi halal, mengadaptasi halal
ke beberapa produk lokal, serta mendukung sektor yang dapat meningkatkan
keuntungan di sektor makanan halal seperti pariwisata. Makanan halal juga menjadi
kebutuhan yang lebih universal sehingga peluang konsumen lebih luas dan keuntungan
menjadi lebih menjanjikan.
3.4. Restoran Makanan Halal di Asia dan Eropa
Restoran merupakan suatu tempat yang diorganisasikan secara komersial yang
memberikan pelayanan kepada pelanggan, khususnya dalam menyediakan makanan
dan minuman (Marsum, 2005). Sedangkan Halal memiliki pengertian segala objek atau
kegiatan yang diperbolehkan dalam Syariat Islam melalui kriteria hukum tertentu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa restoran halal adalah suatu tempat yang
memberikan layanan berupa penyediaan makanan dan minuman yang sesuai Hukum
Islam. Hingga saat ini restoran halal terus berkembang di seluruh negara dunia,
diantaranya:
1. Restoran Le Petit Gourmet di Prancis
Restoran ini memiliki lokasi yang sangat strategis bagi wisatawan, yakni terletak di
39 Rue Du Faubourg Montmartre, 75009, Paris. Restoran Le Petit Gourmet
menawarkan Fine Dining berbagai macam menus khas Prancis yang dibuka dengan
Entrée atau makanan pembuka seperti Soupe de Potiron dan Fois de gras de
Canard-toasts, confiture de figues, petite salade compose, kemudian dilanjutkan
dengan Plat atau makanan utama, lalu ditutup dengan Dessert atau makanan
penutup seperti Tarte au citron meringue, Délice au chocolat - biscuits et crème
anglaise, dan Crème brûlée au gingembre. Selain itu, restoran ini juga menyediakan
beberapa souvenir untuk para wisatawan berupa tumbler dan gelas.
17
3. Japanese Restaurant Matsuri di Jepang
Merupakan restoran yang terletak di Osaka, Jepang dan menyediakan berbagai
makanan khas jepang. Pada awalnya restoran ini tidak menyajikan makanan halal,
namun beberapa tahun ke belakang Restoran Matsuri mewajibkan hidangan halal
bagi wisatawan Muslim. Beberapa rekomendasi menu yang ditawarkan restoran ini
adalah Halal Kobe Teppan Yakiniku yang memiliki cita rasa manis dan gurih dengan
‘marbling’ daging sapi Kobe yang padat, kemudian ada Japanese Dry Curry yang
sangat cocok dengan lidah wisatawan Muslim karena memiliki rasa mirip ‘Nasi
Goreng’, dan DIY Takoyaki atau bola-bola gurita yang menjadi salah satu kuliner
andalan di Jepang. Selain itu, restoran ini juga menydiakan Dessert berupa Daifuku
Set yang merupakan kue beras (Mochi) bertekstur lembut dengan berbagai variasi
isian seperti Matcha, Mangga, dan Stroberi.
4.3. Saran/Rekomendasi
Dalam meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap retoran halal, sertifikasi
Halal merupakan syarat fundamental dalam memenuhi tujuan tersebut, restoran yang
tersertifikasi melalui lembaga atau badan khusus sertifikasi halal tentu memiliki
keredibiltas, sehingga seluruh proses mulai dari cara memperoleh bahan hingga diolah
menjadi sebuah produk tentu akan lebih terjamin. Meskipun sertifikasi halal hanyalah
syarat sah secara hukum namun tidak secara syariat, konsumen Muslim diarahkan
untuk lebih memilih restoran tersertifikasi halal karena dapat melakukan taqlid kepada
lembaga atau badan terkait yang menerbitkan sertifikat halal.
19
Daftar Pustaka
Akhtar, N., Jin, S., Alvi, T., & Siddiqi, U. I. (2020). Conlicting Halal Attributes at Halal Restaurant and
Consumers Renponses: The Moderating role of Religiosity. Journal of Hospitality and Tourism
Management, 499-510.
Ghazali, M. E., Mutum, S. D., Waqas, M., Nguyen, B., & Tarmizi, N. A. (2022). Restaurant Choice and
Religous Obligation in The Absence of Halal logo: A Serial Mediation Model. International
Journal of Hospitality Management, 2-8.
Jia, X., & Gaozhi, Z. (2021). Turning Impediment into Attraction: A Supplier on Halal Food in non-
Islamic Destinations. Journal of Destinations Marketing and Management, 2-9.
Kwag, S. I., & Ko, Y. D. (2019). Optimal Deisgn for The Halal Food Logistics Network. Transportation
Research Part E: Logistics and Transportation Review, 212-228.
Nugraha, W. S., Chen, D., & Yang, S.-H. (2022). The Effect of Halal Label and Label Size on
Purchasing Intent for non-Muslim Customers. Journal of Retailing and Concumers Services, 2-
9.
Mostafa, M. M. (2020). A Knowlegde Domain Visualization Review of Thirty yearsof Halal Food
Research: Themes, trends, and Knowlegde Structure. Trends in Food Sciences and
Technology, 660-667.
Saville, R., & Mahbubi, A. (2021). Assessing Muslim Traveller's Prefences regarding Food in Japan
Using Conjoint Analysis: An Explory Study on The Importance of Praying Room Availibility and
Halalness . Heliyon, 7, 1-11.
Adinugraha, H. H., & Sartika , M. (2019). Halal Lifestyle di Indonesia. An-Nisbah: Jurnal Ekonomi
Syariah, 5(2), 57-81.
Ananda. (2022, October). 11 Negara Islam terbesar di Dunia beserta Populasinya. Retrieved
December 12, 2022, from gramedia.com: https://www.gramedia.com/best-seller/negara-islam-
terbesar-di-dunia/#:~:text=Statistik%20tahun%202020%20dari%20Pusat,tahun%202022%2C
%20menganut%20Agama%20Islam.
Aniqoh, A., & Hanasetiana, M. R. (2020). Halal Food Industry: Challenges and Opportunities in Europe.
Journal of Halal Digital Marketing and Halal Industry, 2(1), 43-45.
Annisa, A. A. (2019). Kopontren dan Ekosistem Halal Value Chain . Jurnal Ilmiah Ekonomi, 5(1).
20
Astuti, A. T., & Rukiah. (2019). Bisnis Halal dalam Perspektif Etika Islam: Kajian Teoritis . Al Ma'arief:
Jurnal Pendidikan Nasional, 2(1), 97-104.
Azizah, S., & Azizah, Y. N. (2021). Analisis Pengaruh Packaging dan Label Halal terhadap Keputusan
Pembelian Konsumen. International Conference on Islam, Law, and Society (INCOILS), 1-10.
Bayu, D. (2022, February 16). Sebanyak 86,9% Penduduk Indonesia beragama Islam. Retrieved
December 12, 2022, from https://dataindonesia.id/:
https://dataindonesia.id/ragam/detail/sebanyak-869-penduduk-indonesia-beragama-islam
CCN, I. (2022, May 3). 7 Besar Populasi Umat Islam di Eropa, terbanyak dari negara mana? Retrieved
December 13, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220430052053-134-791581/7-besar-populasi-
umat-islam-di-eropa-terbanyak-dari-negara-mana#:~:text=Menurut%20penelitian%20Pew
%20Research%20Center,menjadi%2025%2C8%20juta%20jiwa.
Deniar, M. S., & Effendi. (2019). Halal Food Diplomacy in Japan and South Korea. Journal of Social
and Political Sciences, 2(3).
Farid, M., & Basri, H. (2020). The Effects of Haram Food on Human Emotional and Spiritual Intelligens
Level. Indonesian Journal of Halal Reseacrh, 2(1), 21-26.
Fathina, H. (2022, September 17). Ini 5 Negara Islam Terbesar di Dunia, Indonesia Posisi Berapa?
Retrieved December 12, 2022, from https://kabar24.bisnis.com/:
https://kabar24.bisnis.com/read/20220917/79/1578447/ini-5-negara-islam-terbesar-di-dunia-
indonesia-posisi-berapa#:~:text=Pakistan&text=Sementara%20itu%2C%20menurut%20World
%20Population,juta%20nya%20adalah%20pemeluk%20islam.
Fuadah, D. K., Karseno, Firdausi, M. H., Bagus, A. M., Putri, N. I., & Ulhusna, S. (2022). The Potential
of Halal Business In Asia and Europe with Majority of Non-Muslim Communities. Al-Kharaj:
Jurnal Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syariah, 4(1), 1-12.
Hamdan, H., Issa, M. Z., Abu, N., & Jusoff. (2018). Purchasing Decison Among Muslim Consumers of
Processed Halal Food Product. Journal of Food Products Marketing, 19(1), 54-61.
Intihanah, A. N. (2022). Analisis Faktor Sikap, Norma Subjektif, Persepsi Kontrol Perilaku, terhadap
minat beli masyarakat non-muslim pada Halal Food di Kota Metro. AKSES: Jurnal Ekonomi dan
Bisnis, 17(1), 66-73.
Kusnandar, V. B. (2021, October 25). Jumlah Umat Muslim Diprediksi mendekati Umat Kristiani di
Dunia pada Tahun 2050. Retrieved December 11, 2022, from https://databoks.katadata.co.id/:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/25/jumlah-umat-muslim-dipredeksi-
mendekati-umat-kristiani-di-dunia-pada-2050
21
Listyowati, M. (2013, April 4). Peluang Bisnis Makanan Halal di Prancis. Retrieved December 13, 2022,
from http://djpen.kemendag.go.id/:
http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/publication/7011384233472.pdf
May, F. A., Ayu, A., Aulia, N., Fani, A., & Hidayatullah, A. F. (2020). Wisata Hahal Trend baru di Korea
Selatan. Jurnal Penelitian, 14(1), 153-165.
Novianti, D. A., & Veronika, R. (2021). Kesadaran Halal dan Laber Halal terhadap Minat Beli Produk
Makanan di Restoran Jepang. Hospitality and Gastronomi Reseacrh Journal, 3(2).
Nurmaydha, A., Mustaniroh, S. A., & Sucipto. (2019). Strategi Pengembangan Restoran Halal sebagai
Penunjang Hotel Syariah. Dinar: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam, 6(2), 71-82.
Pangestu, A. D., & Attas, S. G. (2022). Fenomena Restoran Jepang Halal: Perspektif Agama dan
Ekonomi. Community Development Journal, 3(3), 1892-1899.
Pratiwi, N., Prakkasi, I., & Darussalam, A. Z. (2022). Pengaruh Sertifikasi dan Labelisasi Halal terhadap
Perilaku Pembelian Produk Mi Samyang (Studi Kasus di Kabupaten Ujung Bulu Kabupaten
Bulukuma). Edunomika, 6(2), 1-15.
Rahayu, K. M. (2020, November 17). Info Halal: Persyaratan dalam melakukan Sertifikasi Halal.
Retrieved December 11, 2022, from https://wr4.uai.ac.id/: https://wr4.uai.ac.id/persyaratan-
dalam-melakukan-sertifikasi-halal/
Rahmadani, G. (2015). Halal dan Haram dalam Islam. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 2(1), 20-25.
Rohman, T. (2020). Tren Wisata Halal berkembang pesat di Negara non-Muslim, Kok bisa? Retrieved
December 12, 2022, from Phinemo.com: https://phinemo.com/tren-wisata-halal-berkembang-
pesat-di-negara-non-muslim-kok-bisa/
Saputra, A. (2022, February 12). Produk Halal Makin Populer di Rusia. Retrieved December 16, 2022,
from https://ihram.republika.co.id/: https://ihram.republika.co.id/berita/r7mmfk430/produk-halal-
makin-populer-di-rusia
Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Wisata Halal: Perkembangan, Peluang, dan Tantangan.
Journal of Halal Product and Research, 1(2), 32-41.
Sayekti, N. W. (2019). Strategi Pengembangan Pariwisata Halal di Indoneisa. Jurnal DPR RI , 24(1),
159-172.
Syariah, D. I. (2020). Laporan Perkambangan Pariwisata Ramah Muslim Daerah 2019-2020. Kuningan:
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).
22
Up, W. i. (2019, November). Nutrional Info. Retrieved December 12, 2022, from wrapitup.co.uk:
https://www.wrapitup.co.uk/wp-content/uploads/2019/12/WIU-Nutritional-NOV-19.pdf
Wahidati, L., & Sarinasiti, N. E. (2018). Perkembangan Wisata Halal di Jepang. The Journal of
Tauhidinomics, 9(19), 73-80.
Warto, & Samsuri. (2020). Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis dan Produk Halal di Indonesia.
Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking, 2(1), 98-112.
Yani, A. (2016). Label Halal dan Konsumen Cerdas dalam Perdagangan Pasar Bebas. Jurnal Geografi
Gea , 7(3), 209-213.
Zahra, A., & Fawaid, A. (2019). Halal Food di Era Revolusi Industri 4.0: Prospek dan Tantangan.
Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, 3(2), 121-138.
Referensi Buku
Qardhawi, Y. (1997). Halal dan Haram dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
23