Anda di halaman 1dari 24

ARTIKEL ILMIAH

ANALISIS STRATEGI DAN POTENSI HALAL RESTAURANT DI NEGARA NON-MUSLIM

NAMA: YAHYA AYASH MUJAHID


NIM: 042111433231
PROGRAM STUDI: EKONOMI ISLAM
BAB I: PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pertumbuhan ekonomi yang dinamis menyebabkan perkembangan serta
pendapatan masyarakat yang terus meningkat (Fuadah, Karseno, Firdausi, Bagus,
Putri, & Ulhusna, 2022). Hal tersebut berbanding lurus dengan pertambahan agregat
konsumsi yang juga terus meningkat dari waktu ke waktu. Bagi ummat Muslim
mengonsumsi sesuatu tidak hanya memperhatikan bentuk, kenyamanan, penampilan,
ataupun rasa, namun ada faktor yang lebih penting yaitu ke halal-an suatu produk yang
akan dikonsumsi (Farid & Basri, 2020). Halal menjadi suatu syarat fundamental bagi
seorang muslim sebelum mengonsumsi suatu barang karena ummat muslim memiliki
keyakinan bahwa barang yang tidak halal atau bahkan diharamkan akan memberikan
dampak buruk bagi orang yang mengonsumsinya (Farid & Basri, 2020). Adapaun kata
Halal berasal dari bahasa arab yang jika diartikan secara bahasa adalah dibenarkan,
sedangkan secara istilah Halal merupakan barang ataupun jasa yang dalam proses
produksinya dilakukan dengan hukum islam serta tidak mengandung hal-hal yang
diharamkan baik secara proses ataupun sifatnya (Hamdan, Issa, Abu, & Jusoff, 2018).
Oleh karena itu, halal dan haramnya sebuah produk berdasarkan syariat islam sangat
kompleks serta memiliki substansi yang jelas, sebagai contoh produk ayam goreng
yang bahan dasarnya halal belum tentu sepenuhnya halal jika dalam proses
penyembelihannya tidak menggunakan syariat islam.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipicu banyak faktor seperti Sumder Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas, kemajuan pada sektor rill dan sentral negara,
komoditas utama yang didukung pemerintah untuk ekspor internasional, distribusi
pendapatan yang merata, rasio pendapatan nasional, serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sebuah negara yang mengabaikan faktor-faktor tersebut
cenderung mengalami resesi atau proses penurunan pertumbuhan ekonomi selama
beberapa kuartal yang juga melemahkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebuah negara.
Selain itu, sebuah negara harus memperhatikan beberapa sektor sentral dalam
perekonomian, khususnya sektor perdagangan.
Sektor perdagangan ataupun produksi memiliki peran penting dalam
perekonomian dunia karena dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan lapangan
kerja di masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Singkatnya,
perdagangan dapat juga dikatakan sebagai salah satu sumber terbesar bagi
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Nasional Bruto (PNB). Sektor
perdagangan terdiri dari 3 sub sektor, yaitu sektor perdagangan besar dan eceran,
rumah makan/restoran, serta perhotelan. Salah satu faktor yang menstimulus
perkembangan sektor perdagangan atau produksi adalah Sektor Pariwisata yang juga
terus meluas karena transportasi serta regulasi antar negara yang semakih mudah
(Wahidati & Sarinasiti, 2018). Disisi lain, seiring berjalannya waktu, Jumlah konsumen
tumbuh secara pesat dengan jumlah kebutuhan yang semakin tidak terbatas, meski
begitu, pertumbuhan konsumen berbanding lurus dengan pertumbuhan bisnis yang
saat ini begitu cepat sehingga konsumen dihadapkan pada banyak pilihan produk yang
1
beraneka ragam. Maka pengusaha ataupun businessman perlu mempelajari strategi
perilaku konsumen untuk memproduksi produk yang lebih berkualitas serta sesuai
dengan kebutuhan konsumen. Oleh karena itu, untuk mempertahankan laju
pertumbuhan ekonomi, sebuah negara dituntut untuk beradaptasi kepada setiap
keadaan yang berpotensi meningkatkan sektor-sektor perekonomian, salah satu
contohnya adalah sektor perdagangan dan produksi yang distimulus oleh pariwisata.
Bagi wisatawan muslim, makanan halal adalah salah satu elemen paling penting
yang berkontribusi terhadap menentukan pilihan wisata di luar negeri (Satriana &
Faridah, 2018) Oleh karena itu, konsumsi produk halal di berbagai negara khususnya
negara non-muslim menjadi sorotan dan perhatian para ulama dan pengusaha muslim
dimana dengan meningkatnya sektor pariwisata ke negara-negara non-muslim seperti
Amerika, Jepang, Rusia, dan Korea secara tidak langsung menaikkan demand ummat
muslim terhadap produk halal. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan kerjasama
antara negara-negara muslim dan negara non-muslim yang menjadi target wisata
sehingga negara yang bersangkutan melakukan kerjasama dalam bidang penyediaan
Halal produk yang membuka kesempatan bagi para pengusaha untuk berinvestasi
dengan membuka halal restoran di negara non-muslim (Zahra & Fawaid, 2019).
Disamping itu, Perusahaan yang masih menjual makanan yang belum disertifikasi halal
harus beradaptasi dengan melakukan sertifikasi terhadap produk yang mereka
pasarkan apabila ingin mendapatkan peluang tidak langsung dari peningkatan
pariwisata Muslim (Warto & Samsuri, 2020). Akibatnya, Halal Produk menjadi relatif
mudah untuk ditemukan di negara-negara non-muslim dan lambat laun Produksi halal
produk menjadi sebuah tren di negara non-muslim karena selain bertujuan untuk
memperluas pangsa pasar di ekspor internasional juga memiliki tujuan untuk
membentuk branding sebagai negara yang ramah terhadap Muslim (Deniar & Effendi,
2019).
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembukaan dan sertfikasi halal terhadap restoran
di negara muslim awalnya berorientasi untuk menyediakan makanan yang dapat
dikonsumsi bagi wisatawan muslim. Namun hingga saat ini, Halal Restoran menjadi
semakin populer bahkan di kalangan non-muslim karena mereka meyakini bahwa
restoran halal menyediakan makanan yang lebih sehat dan juga lebih higenis untuk
dikonsumsi. Menurut laporan Islamic Food and Council of America (2019), peluang
bisnis untuk membuka halal restoran di negara non-muslim saat ini sangat besar,
khususnya Asia, Amerika, dan Eropa karena pada kenyataanya keinginan non-muslim
untuk mengonsumsi makanan yang halal lebih tinggi daripada mengonsumsi makanan
reguler karena mereka beranggapan makanan halal adalah pilihan yang tepat, disisi
lain makanan bersertifikasi halal sudah terjamin kualitas dan keamanannya terhadap
kesehatan (Intihanah, 2022).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa restoran halal memiliki
potensi yang sangat tinggi untuk terus berkembang meskipun di negara dengan
mayoritas non-muslim. Menginat produksi halal produk yang sudah menjadi tren, maka
kemungkinan restoran halal menjadi ladang bisnis menjadi cukup menguntungkan dan
menjanjikan. Selain pariwisata, pertukaran pelajar atau pelajar muslim yang sedang
menempuh pendidikan di luar negeri, serta persepsi positif penduduk non-muslim

2
terhadap produk halal juga menjadi salah satu faktor potensi untuk memperluas pangsa
pasar ekonomi islam di negara-negara Asia dan Eropa. Sebagai tambahan, Teknologi
yang semakin maju berdampak pada globalisasi yang memudarkan batasan
internasional (Tampake, 2019), dimana hal tersebut turut menunjang imdustri halal
sehingga proses pengiklanan restoran, sosialisasi substansi halal sebuah produk, dan
informasi lainnya dapat diakses dengan mudah baik oleh konsumen ataupun produsen.
Dengan berdirinya banyak restoran halal tentu akan membantu Muslim dalam
menentukan opsi makanan yang dapat dikonsumsi. Terlebih, makanan yang halal dapat
dikonsumsi semua orang termasuk non-muslim.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Regulasi serta Substansi Kehalalan sebuah Halal Restautant di Negara
non-Muslim?
b. Bagaimana Potensi Halal Restaurant untuk terus berkembang di Negara non-
Muslim?
c. Bagaimana Analisis Strategi yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan
Halal Restaurant di Negara non-Muslim?
d. Bagaimana timbal balik dari Penduduk non-Muslim terhadap perkembangan Halal
Restaurant?

1.3. Tujuan Penelitian


a. Untuk mengetahui Regulasi serta Substansi sebuah Halal Restaurant di Negara
non-Muslim.
b. Untuk mengetahui Potensi Halal Restaurant untuk terus berkembang di Negara non-
Muslim.
c. Untuk mengetahui Strategi yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan
Halal Restaurant di Negara non-Muslim.
d. Untuk mengetahui timbal balik penduduk non-Muslim terhadap perkembangan Halal
Restaurant.

BAB II: Kajian Teori


2.1. Pengertian dan Substansi Halal
Secara etimologi halal berarti hal-hal yang tidak boleh dan dapat dilakukan
karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.
(Azizah & Azizah, 2021). Halal merupakan istilah dari bahasa rab yang artinya
diperbolehkan atau legal menurut hukum Islam. Apabila dikaitkan dengan produk
pakaian, farmasi, ataupun makanan, maka halal dapat diartikan sebagai produk
pakaian, farmasi, dan makanan yang boleh dikunsumsi seorang Muslim (Aniqoh &
Hanasetiana, 2020). Menurut ajaran islam, penentuan kehalalan dan keharaman
sesuatu tidak dapat hanya berlandaskan asumsi atau rasa suka dan tidak suka saja,
namun harus memenuhi kriteria tertentu sebagaimana yang ditulis dalam Alquran,
Hadits, serta ijtihad para ulama.

3
Adapun klasifikasi halal dan haram dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu secara sifat
dan proses. Kehalalan berdasarkan sifat menitik beratkan kepada bahan atau sifat
dasar dari barang atau jasa yang diproduksi, apabila sebuah barang atau jasa memiliki
sifat dasar yang tidak baik maka akan dihukumi haram, beberapa contoh dari klasifikasi
sifat yang diharamkan adalah bangkai, daging babi, dan darah. Sedangkan kehalalan
berdasarkan proses melihat kepada tahapan mengelola bahan dasar untuk menjadi
sebuah produk atau jasa, apakah sesuai dengan prinsip islam atau tidak. Sebagai
contoh daging yang disembelih sesuai dengan syariat islam namun terkontaminasi
dengan zat haram pada akhirnya tidak boleh untuk dikonsumsi bagi seorang muslim
(Astuti & Rukiah, 2019). Selain itu, transportasi logistik makanan Halal baik domestik
maupun ekspor juga perlu mendapat perhatian dalam kehalalan, seperti:

 Pemisahan dari Haram: Fasilitas, peralatan dan produk harus benar-benar


terpisah dari sesuatu yang haram.
 Efek berantai makanan: Apabila terdapat Produk halal yang menyentuh produk
haram, maka tidak bisa diakui lagi kehalalannya.
 Biaya tenagar kerja: Personil yang bersentuhan langsung atau tidak langsung
dengan barang harus selalu memeriksakan kesehatannya
pemeriksaan medis, laporan penyakit, kepatuhan terhadap standar kebersihan
dan kepatuhan terhadap perilaku yang dapat diterima.
 Biaya perawatan: Semua peralatan harus bersih sesuai dengan aturan
pembersihan prinsip syariah (Kwag & Ko, 2019).
Halal dan Haram menjadi persoalan yang sangat penting dan dipandang sebagai
inti keberagaman, karena setiap Muslim yang akan melakukan atau menggunakan,
terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat dituntut oleh agama untuk memastikan
terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, Muslim boleh melakukan,
menggunakan atau mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus
dijauhkan dari diri seorang muslim (Rahmadani, 2015).
2.2. Makanan dan Minuman sebagai Kebutuhan Fisiologis
Dari dulu hingga kini, makanan bukan hanya sekedar kebutuhan primer manusia,
namun dapat juga dikategorikan sebagai salah satu kebutuhan sosial, budaya dan
ekonomi. Semua faktor tersebut saling berkaitan, namun beda tingkatan (Pangestu &
Attas, 2022). Salah satu teori kebutuhan yang cukup populer ditemukan oleh Abraham
Maslow menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi kecenderungan individu
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (Minderope, 2013). Maka dari keyakinan
tersebut, Maslow kemudian memproyeksikan kebutuhan masyarakat dalam piramida
hirearki kebutuhan, yakni urutan untuk mengklasifikasian kebutuhan manusia secara
vertical dari yang terendah hingga tertinggi. Adapun kebutuhan fisiologis berada paling
bawah, dianjutkan Rasa aman, Sosial, Penghargaan, serta Aktualisasi yang berada di
puncak pridamida hirearki kebutuhan. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan Fisiologis
merupakan kebutuhan paling mendesak yang harus dimiliki manusia sebagai sumber
utama untuk bertahan hidup. Apabila kebutuhan fisiologis seseorang tidak terpenuhi
atau tertunda maka tingkatan setelahnya pada hirearki kebutuhan tidak akan tercapai.
Sebaliknya, apabila kebutuhan fisiologis dapat dipenuhi dengan baik maka manusia

4
akan cenderung untuk bergerak mencapai kebutuhan diatasnya. Kebutuhan fisiologis
sendiri meliputi sandang, pangan, dan papan sehingga dapat disimpulkan Industri
makanan dan minuman menjadi sumber yang selalu memiliki konsumen selama umat
manusia masih hidup (Mostafa, 2020).
2.3. Makanan dan Minuman dalam perspektif Agama Islam
Pada dasarnya penyajian makanan dan minuman merupakan salah satu
ekspresi budaya yang menjadi pembeda antara suatu budaya dan budaya lain. Kendati
demikian, tidak menutup kemungkinan pihak lain untuk mempelajari bahkan
mengadaptasinya. Menrut pandangan Geertz (1966), budaya ditunjang oleh aliran
kemanusiaan yang luas, dan semakin lama makin sistematis. Makna dari ungkapan
tersebut adalah pemikiran manusia terhadap suatu kebudayaan tidak selalu menolak
atau tidak menerima meskipun datang dari kebudayaan yang berbeda, namun manusia
memiliki naluri untuk berkompromi dengan mempertimbangkan value atau nilai dari
kebudayaan yang dibawa. Pada akhirnya kompromi tersebut menciptakan kolaborasi
budaya dan asimilasi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (Geertz,
1966). Sebagai perbandingan di kehidupan, Islam tidak semata-mata mengharamkan
makanan yang bukan berasal dari dataran arab sepeti rendang, sushi, dan kimchi, pun
sebaliknya, islam tidak juga semata-mata menghalalkan makanan yang berasal dari
arab seperti samosa, Nasi Mandi, Jalamah, dan lain-lain, namun status kehalalan
mempertimbangkan proses pengolahan dari bahan dasar hingga menjadi makanan
yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu, masyarakat non-muslim yang melihat budaya
halal pada sebuah produk, secara rasional menerima hal tersebut bahkan
menerapkannya pada produk yang mereka miliki agar memperluas konsumen serta
sebagai penjamin kualitas produk.
2.4. Restoran Halal
Menurut Marsum dalam bukunya yang berjudul “Restoran dan segala
Permasalahannya” (2005) restoran adalah suatu tempat ataupun bangunan yang
diorganisasikan secara komersial, yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik
kepada semua tamu, baik berupa menyediakan makanan maupun minuman (Marsum,
2005). Restoran merupakan salah satu komponen yang menunjang perekonomian
suatu negara dimana dengan banyaknya restoran yang berkualitas serta harga yang
sesuai dengan rata-rata pendapatan masyarakat maka agregat konsumsi sebuah
negara atau wilayah akan mengalami peningkatan. Selain itu, restoran merupakan sub
sektor dari Sektor perdagangan yang bergerak di bidang jasa sekaligus barang. Adapun
Halal restaurant mengacu pada suatu tempat yang menyediakan makanan dan
minuman yang diproduksi berdasarkan hukum islam, kriteria halal pada makanan
menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul “Al-Halal wa Al-haram fi Al-
islam” setidaknya harus memenuhi 3 kriteria, yaitu halal zat nya, halal cara
memperolehnya, serta halal cara pengelolannya (Qardhawi, 1997).
Sebagaimana perusahaan jasa ataupun barang pada umumnya, nilai jual
sebuah restoran terletak pada kualitas pelayanan, makanan, serta keunikan yang
menjadi ciri khas sebuah restoran (Nurmaydha, Mustaniroh, & Sucipto, 2019). Restoran
halal identik dengan penyajian makanan dan minuman yang berasal dari jazirah arab

5
dan timur tengah, namun pada kenyatannya banyak restoran dari wilayah lain bahkan
wilayah mayoritas non-muslim yang telah tersertifikasi halal. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya restoran sushi dan ramen yang berdiri di Indonesia namun dapat
dikonsumsi oleh muslim (Novianti & Veronika, 2021). Pengaruh halal dibawa oleh
proses globalisasi dimana terjadi pertukaran nilai dan budaya yang menuntut adanya
adaptasi sehingga apabila seorang pengusaha asing yang menjual produk non-halal
ingin menjual di negara mayoritas muslim, hendaknya beradaptasi dengan regulasi
halal demi memperoleh keuntungan (Sayekti, 2019).

BAB III: PEMBAHASAN

3.1. Konsep Halal Lifestyle dalam kehidupan


Peluang ekonomi yang terdapat di lingkungan sekitar memberikan suatu
dorongan kepada produsen untuk menciptakan dan mengembangkan sebuah bisnis.
Sudah seharusnya bagi seorang produsen yang ingin memulai bisnis untuk
memperhatikan dengan seksama terkait kondisi konsumen sasaran yang tentunya
dipengaruhi berbagai faktor. Di tengah cepatnya pertumbuhan manusia yang diukur dari
angka kelahiran, maka kebutuhan manusia terhadap makanan, fashion, minuman, serta
kebutuhan pangan lainnya juga meningkat secara pesat. Disisi lain halal lifestyle
sedang menjadi tren sejalan dengan populernya pariwisata halal.
Di Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, Pariwisata halal berperan
sebagai salah satu kontributor terhadap surplus pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun
terakhir. kedatangan wisatawan muslim mancanegara, serta perjalanan wisata halal
domestik memberikan dampak positif kepada peningkatan PDB, Penerimaan Devisa,
dan UMKM masyarakat (Syariah, 2020). Bahkan bersamaan degan hal tersebut, Global
Muslim Travel Index (GMTI) pada 2019 lalu menempatkan Indonesia di peringkat
pertama dengan kategori destinasi wisata halal terbaik di dunia. Meski begitu, negara-
negara dengan mayoritas penduduk non-muslim juga mengalami perkembangan yang
cukup progresif serta memiliki potensi yang besar bagi wisata halal global. GMTI
bahkan menempatkan Taiwan pada posisi ke 3 setelah Malaysia sebagai destinasi
muslim terbaik (Rohman, 2020). Dapat kita ketahui bahwa Pariwisata halal membawa
perubahan signifikan di banyak sektor kehidupan salah satunya dalam bidang food and
beverages dimana seorang wisatawan muslim diharuskan untuk mengonsumsi
makanan dan minuman yang halal dimanapun mereka berada sehingga negara yang
‘ramah’ terhadap muslim cenderung menjadi opsi pariwisata terbaik.
Berdasarkan Statistik tahun 2020 dari Pusat Riset Pew yang berasal dari
Amerika Serikat, menunjukan bahwa setidaknya ada 1,9 miliar umat muslim di seluruh
dunia, dengan kata lain total populasi muslim adalah 24,9% dari populasi seluruh dunia
yang saat ini berada di angka 7,75 miliar pada tahun 2015 (Ananda, 2022). Selain itu,
terdapat 56 negara mayoritas muslim dengan PDB mencapai 6,7 triliun dollar.
Keseluruhan potensi konsumen muslim dapat diukur dari rata-rata pengeluaran global
konsumen muslim dalam hal makanan dan gaya hidup yang mencapai 3,9 triliun pada

6
tahun 2019 (Adinugraha & Sartika , 2019). Adapun rincian perbandingan pengeluaran
umat muslim Indonesia dan global dapat dilihat di tabel berikut:

Sektor Halal Muslim Indoneisa Muslim Global Pangsa


Lifestye Pasar
Makanan US$ 190,4 Milyar US$ 1.292 Milyar 14.7%
Keuangan US$ 36 Milyar US$ 1.214 Milyar 3%
Perjalanan US$ 7,5 Milyar US$ 140 Milyar 0,6%
Mode US$ 18,8 Milyar US$ 266 Milyar 7%
Media dan US$ 9,37 Milyar US$ 185 Milyar 5% Sumber:
State of Rekreasi The
Global Farmasi US$ 4,88 Milyar US$ 75 Milyar 6,7% Islamic
Economy Kosmetik US$ 3.44 Milyar US$ 46 Milyar 7,4% 2017-
2018
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa Industri makanan halal menjadi
market share dengan presentase 14,7% di pangsa pasar internasional disusul dengan
insustri kosmetik yang memiliki perbedaan jauh lebih rendah dan industri perjalanan
sebagai sektor halal lifestyle terendah. Meski begitu, banyak maskapai besar dunia
yang sudah menyediakan menu makanan dan minuman halal seperti Japan Airlines,
Singapore Airlanes, Qantas, Cathay Pacifis (Hongkong), dan American Airlines (Warto
& Samsuri, 2020).
Pertambahan populasi muslim, daya beli yang tinggi, serta maraknya era
modernisasi semakin melecut perkembangan halal lifestyle di dunia sehingga di masa
yang akan datang, unsur dan prinsip syariat islam akan mudah ditemukan dan
diimplementasikan dalam berbagai sektor kehidupan karena pasar global mau tidak
mau harus menyesuaikan diri terhadap preferensi, orientasi, serta kebutuhan konsumen
muslim yang populasinya mencapai seperlima populasi dunia. tingkat daya beli muslim
juga memberikan pengaruh terhadap pengembangan pasar halal di negara non–muslim
seperti masakan dan minuman, transportasi dan perjalanan, manufaktur, keuangan dan
perbankan, media dan teknologi, obat-obatan, serta pakaian. Konsep kemaslahatan
dalam halal bersifat universal baik bagi umat Muslim maupun non-Muslim, karena halal
tidak hanya mencakup kebutuhan syariah, tetapi juga merupakan konsep keberlanjutan
melalui aspek kebersihan, sanitasi dan keselamatan, membuat produk halal dapat
diterima oleh konsumen yang peduli (Yani, 2016). Oleh karena itu, adaptasi halal ke
sebuah produk akan sangat menguntungkan bagi produsen karena sifatnya yang
universal serta kualitas dan keamanan produk menjadi lebih terjamin dari sudut
pandang konsumen, baik konsumen muslim maupun non-muslim.
Dari seluruh pemaparan diatas lantas timbul sebuah pertanyaan, apakah Halal
lifestyle merupakan keinginan atau kebutuhan? Pada awal penerapannya, Halal lifestyle
di negara mayoritas non-muslim merupakan suatu keinginan muslim yang sedang
melakukan kunjungan wisata dan menempuh pendidikan, kebutuhan fisiologis yang
dapat dikonsumsi sangat sulit untuk ditemukan karena daya beli serta jumlah umat
muslim belum menjadi suatu hal yang dipertimbangkan dalam regulasi penyediaan

7
produk, serta tidak menguntungkan bagi sejumlah pebisnis. Sehingga banyak para
pelancong muslim yang mengeluhkan hal tersebut. Seiring berjalannya waktu, hingga
saat ini, Industri halal menjelma menjadi ladang bisnis raksasa yang sedang tren baik di
dalam negeri atau mancanegara sejalan dengan demografi umat muslim serta daya
belinya yang kian meningkat. Pada tahun 2013 saja pasar Islam global bernilai lebih
dari $ 3,6 triliun dan hanya dalam waktu 7 tahun nilai pasar Islam Global berlipat ganda
menjadi lebih dari $ 5 triliun. Peningkatan nilai pasar Islam yang signifikan membuka
kesadaran pemerintah dan pebisnis asing bahwa perlu adanya sertifikasi dan labelisasi
halal untuk produk mereka demi memperluas konsumen serta memanfaatkan
momentum yang mampu menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, halal menjadi
suatu kebutuhan dibuktikan dari banyaknya pembentukan lembaga sertifikasi halal
seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) di negara lain dengan ketentuan dan standar
yang ditentukan berdasarkan pemahaman hukum Islam yang tentunya berbeda-beda.
Menurut keterangan dari Wrap it Up (2019) terdapat beberapa lembaga di Asia
Tenggara yang sudah mengkaji kehalalan sebuah produk seperti The Central Islamic
Council of Thailand atau CICOT (Thailand), Jabatan Kemajuan Islam Mayalsia atau
JAKIM (Malaysia), Majerlis Ulama Singapur atau MUIS (Singapura), dan Halal
Certification Agency atau HCA (Vietnam). Beberapa negara Asia dan Eropa juga
memiliki lembaga khusus untuk sertifikasi dan labelisasi halal seperti Muslim
Professional Japan Association atau MPJA yang berada di Jepang dan Halal Quality
Control atau HQC yang berada di Jerman.
Proses sertifikasi dan labelisasi halal umumnya lebih terstruktur dan kredibel di
negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) di
Indonesia lebih baik daripada di Negara Eropa. Meski begitu, beberapa negara
mayoritas non-muslim telah mampu menciptakan standarisasi yang baik terhadap
produk halal, diantaranya adalah Singapura (MUIS) bahkan Thailand (CICOT) telah
menerapkan kriteria persyaratan yang lebih baik daripada MUI (Fuadah, Karseno,
Firdausi, Bagus, Putri, & Ulhusna, 2022).
Halal lifestyle menjadi sangat diperlukan tidak hanya untuk umat islam tapi
seluruh manusia di muka bumi karena konsep halal berlaku secara universal dengan
membawa nilai filosofis sekaligus praktis yang sudah menjadi Standar Operasional
Prosedur (SOP) dari 14 abad yang lau dalam syariah Islam (Adinugraha & Sartika ,
2019). Istilah Halal lifestyle sendiri tidak dimaksudkan sebagai batasan atau bahkan
pemaksaan, melainkan untuk mengimplementasikan kalimat Islam rahmatan lil ‘alamin
ke seluruh dunia karena secara normatif gaya hidup halal menjadi sangat penting bagi
jati diri umat muslim karena Halal lifestyle menciptakan sebuah prinsip yang menuntun
manusia kearah yang benar dan jelas (Boediman, 2017).
3.2. Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Berdasarkan data Global Religious Futures, pemeluk agama Islam pada tahun
2010 mencapai 1,6 miliar jiwa atau 23,2% dari populasi dunia. Adapun rincian
perkembangannya dapat dilihat dari grafik berikut:

8
Sumber: Global Religious Futures
Dalam satu dekade dari tahun 2010, umat muslim bertambah signifikan sebesar
19,22% menjadi 1,91 miliar pada tahun 2020, pada satu dekade berikutnya yakni tahun
2030, Pertumbuhan populasi muslim diproyeksikan akan bertambah sebesar 15,84%
menjadi 2,21 miliar manusia. Masih berdasarkan Global Religious Futures, Jumlah
populasi akan terus meningkat sepanjang dekade dimana pada tahun 2040 populasi
umat muslim diperkirakan akan mencapai 2,5 miliar yang bertambah sebesar 13.06%
dari dekade sebelumnya. Bahkan pada tahun 2050, umat muslim diprediksi akan
mendekati jumlah populasi Nasrani dengan mencapai 2,76 miliar jiwa yang mana
selisihnya hanya 200-300 jiwa saja dari populasi Nasrani yang diproyeksikan mencapai
2,92 miliar Jiwa pada tahun yang sama (Kusnandar, 2021).
Lantas aspek halal menjadi fundamental bukan hanya bagi umat Muslim namun
seluruh populasi dunia. Dari sudut pandang seorang Muslim, kehalalan sebuah produk
selalu menjadi perhatian utama bagi mereka karena merupakan suatu kewajiban
sekaligus nilai ibadah, sedangkan dari sudut pandang non-muslim, kriteria serta
standarisasi yang ketat terhadap sebuah produk membangun kepercayaan terhadap
produk halal. Bahkan dalam sebuah penelitian pengaruh label halal terhadap reaksi
konsumen non-Muslim menunjukan bahwa 39,4% pasti membeli Produk Halal, 56,4%
terkadang membeli produk Halal, dan 4,2% tidak membeli produk Halal (Nugraha,
Chen, & Yang, 2022). Sejalan dengan itu, produsen akan mengambil langkah seiring
bertambahnya populasi serta daya beli muslim dengan melakukan sertifikasi dan
labelisasi halal pada produknya.
Perlu diketahui sertifikasi dan labelisasi halal adalah dua istlah yang berbeda.
Menurut LPPOM MUI, Sertifikat Halal merupakan sebuah fatwa tertulis MUI yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikasi halal juga
merupakan proses untuk memperoleh sertifikat halal melaui beberapa tahapan untuk
membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan sistem jaminan halal (SJH) memenuhi
standarisasi yang ditetapkan oleh LPPOM MUI. Sertifikat Halal merupakan syarat untuk
pencantuman label Halal. Artinya produk Halal ini merupakan produk yang sudah
memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan hukum Islam, menurut Annisa ada beberapa

9
hal yang menjadi pertimbangan kehalalan sebuah produk, diantaranya adalah (Annisa,
2019):
a. Bahan untuk membuat sebuah produk tidak berasal dan tidak mengandung babi.
b. Bahan untuk membuat sebuah produk tidak tercampur organ manusia, darah,
dan tidak mengandung kotoran dan sejenisnya.
c. Hewan tersebut halal dan disembelih sesuai dengan tata cara penyembelihan
halal.
d. Lokasi pengolahan, penjualan produk, pengemasan dan penyimpanan,
transportasi kendaraan terbukti tidak terkontaminasi dengan zat yang
diharamkan.
e. Bahan atau produk tidak mengandung khamr.
Selain itu, Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga telah
menetapkan secara rinci terkait persyaratan pengajuan sertifikasi halal yang diuraikan
oleh Kun Mahardiwati Rahayu dalam Artikelnya yang berjudul “Info Halal: Persyaratan
dalam melakukan sertifikasi halal” (Rahayu, 2020), ada 11 poin yang dijadikan acuan,
diantaranya:
1. Kebijakan Halal
Merupakan suatu ketetapan bahwa manajemen puncak suatu perusahaan memiliki
kewajiban dalam merumuskan kebijakan halal kepada seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders) Perusahaan.

2. Tim Manajemen Halal


Merupakan suatu ketetapan bahwa manajemen puncak harus menetapkan Tim
manajemen halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktifitas kritis
serta memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang jelas.

3. Pelatihan dan Edukasi


Perusahaan harus memiliki prosedur pelatihan yang jelas dan tersturktur, pelatihan
internal harus dilaksanakan setidaknya setahun sekali dan pelatihan eksternal harus
dilakukan setidaknya 2 tahun sekali.

4. Bahan
Secara umum bahan yang digunakan dalam proses membuat sebuah produk tidak
boleh najis atau mengandung unsur haram. Selain itu, perusahaan harus memiliki
dokumen pendukung untuk membuktikan semua bahan yang digunakan.

5. Produk
Karakteristik produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau, bentuk, hingga rasa
mengarah kepada hal-hal yang diharamkan secara tegas oleh fatwa MUI. Selain itu,
nama merk atau nama produk yang didaftarkan unutk disertifikasi tidak boleh
mengandung unsur yang diharamkan dan tidak sesuai dengan syariat Islam.

10
6. Fasilitas Produksi
a. Industri Pengolahan: (i) seluruh fasilitas produksi harus terjamin tidak
terkontaminasi degan zat haram (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan secara
bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang tidak
disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang berasal dari babi/turunannya,
namun harus ada prosedur yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.
b. Restoran/catering/dapur: (i) Restoran/catering/dapur hanya memproduksi produk
yang halal (ii) fasilitas produksi terjamin tidak najis atau haram serta hanya
digunakan untuk memproduksi produk halal.
c. Rumah Potong Hewan (RPH): (i) hanya difokuskan untuk memotong hewan
yang dihalalkan secara syariah (ii) Lokasi RPH harus terpisah dengan
peternakan babi (iii) Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka
harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal; (iv) Alat penyembelih
harus memenuhi persyaratan.

7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis


Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan aktivitas
kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang dapat mempengaruhi status
kehalalan produk. Aktivitas kritis dapat mencakup seleksi bahan baru, pembelian
bahan, pemeriksaan bahan datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas
produksi dan peralatan pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan
produk, transportasi, pemajangan (display), aturan pengunjung, penentuan menu,
pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan proses bisnis perusahaan
(industri pengolahan, RPH, restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas kritis
dapat dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.

8. Kemampuan Telusur (Traceability)


Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin kemampuan telusur
produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang memenuhi kriteria (disetujui
LPPOM MUI) dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari
bahan babi/ turunannya).

9. Penanganan Produk yang tidak memenuhi kriteria


Dalam menangani hal tersebut, sebuah perusahaan harus memiliki metode khusus
untuk memberikan penanganan yang tidak memenuhi kriteria, yaitu dengan tidak
menjual kepada konsumen, apabila sudah terlanjur maka diharuskan untuk menarik
barang produksi tersebut.

10. Audit Internal


Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit internal pelaksanaan SJH.
Audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor
halal internal yang kompeten dan independen. Hasil audit internal disampaikan ke
LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.

11
11. Kaji Ulang Manajemen
Manajemen puncak atau perwakilannya harus melakukan kaji ulang manajemen
setidaknya saekali dalam satu tahun dengan tujuan untuk menilai tingkat efektifitas
penerapan SJH serta merumuskan bahan evaluasi berkelanjutan.

Sedangkan labelisasi juga memiliki pengertian tersendiri. Mengacu pada LPPOM


MUI, labelisasi halal merupakan pencantuman tulisan tanda kehalalan pada sebuah
produk. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 69 Tahun 1999
mengenai label serta iklan pangan, didefinisikan bahwa label Halal merupakan semua
keterangan terkait makanan dapat berupa gambar, tulisan atau kombinasi keduanya
yang ada di dalam atau kemasan suatu produk (Pratiwi, Prakkasi, & Darussalam,
2022). Sehingga dapat disimpulkan bahwa labelisasi halal adalah pemberian
pernyataan halal pada sebuah produk yang ditandai gambar ataupun symbol yang
mewakili secara semiotika dimana dengan hal tersebut produk memiliki bukti telah
memenuhi standar setelah melalui uji coba baik secara zat produk ataupun proses
pengelolaannya. Labelisasi Halal pada sebuah produk memberikan ketenangan serta
kepastian bagi Muslim ketika membeli sebuah produk dimana dengan symbol atau
keterangan dari labelisasi tersebut secara tidak langsung telah menjamin bahwa produk
yang akan mereka beli tidak mengandung zat-zat yang diharamkan. Produk yang
memiliki sertifkiat dari lembaga khusus terkait merupakan salah satu persyaratan untuk
mendapatkan labelisasi halal.
Dapat dikatakan bahwa produk-produk yang sudah terlabelisasi adalah produk
yang sudah melewati tahapan sertifikasi halal, namun Kehalalan sebuah produk tidak
selalu ditentukan sertifikasi dan labelisasi Halal. Artinya, masih banyak produk yang
halal secara proses pembuatan, bahan, fasilitas penunjang, dan manejemen namun
terdapat faktor-faktor lain yang tidak terpenuhi. Namun pada akhirnya produk-produk
tersebut tetap halal secara sifat namun tidak secara legalitas hukum yang mana sah-
sah saja bagi seorang Muslim untuk mengonsumsinya, seperti halnya kasus pada mie
gacoan yang tidak bisa melakukan sertifikasi halal karena beberapa nama produknya
mengandung unsur yang bertentangan dengan nilai dan norma Islam tapi tetap sesuai
secara bahan dan proses produksi. Meski begitu, ambivalen dalam sebuah produk
memberikan dampak signifikan terhadap psikologis. Hal ini menyiratkan bahwa objek
yang bertentangan di restoran halal menumbuhkan ketidakstabilan sikap, amiguitas,
dan ketidakpastian yang pada akhirnya merugikan psikologis konsumen (Akhtar, Jin,
Alvi, & Siddiqi, 2020).

3.3. Potensi dan Strategi Penerapan Halal Restaurant di Asia dan Eropa
Islam merupakan agama dengan penganut terbesar kedua di Eropa setelah
Kristen sekaligus terbesar pertama di Asia dimana total populasi muslim yang hidup di
Asia mecapai 62,1% dari populasi muslim dunia. Diperkirakan sepertiganya hidup di
Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, serta
negara-negara lainnya yang memiliki komunitas Muslim seperti Thailand dan Filipina.

12
Apabila dilihat dari setiap negara yang ada di dunia, Indonesia adalah negara dengan
populasi muslim terbesar dimana berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic
Study Center (RISSC) jumlah populasi muslim mencapai 231,06 juta per 31 Desember
2021 yang setara dengan 86,7% Penduduk Indonesia (Bayu, 2022). Jumlah tersebut
mewakili 56,3% dari populasi muslim Asia. Negara berikutnya adalah Pakistan dengan
total populasi muslim mencapai 200,4 Juta jiwa atau 11,10% populasi muslim dunia,
kemudian India yang berkisar 177 juta disusul dengan Bangladesh yang 90,2%
penduduknya beragama Islam atau sekitar 153,7 juta Jiwa dari total 164 Juta Penduduk
(Fathina, 2022). Sedangkan di Eropa, komunitas Muslim tersebar dan tidak terpusat
pada negara tertentu sebagaimana negara-negara di Asia karena sebagian besar dari
mereka adalah imigran. Muslim di Eropa terdapat di Bosnia, Herzegovina, Albania,
Kosovo, beberapa wilayah di Bulgaria, Macedonia dan Montenegro, serta beberapa di
wilayah Rusia.
Berdasarkan data diatas dapat kita ketahui bahwa umat Islam memberi
pengaruh yang demikian besar pada pertumbuhan populasi dunia. Meski begitu, tujuan
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini bukanlah untuk fokus kepada pertumbuhan kuantitas
dan kualitas Muslim pada suatu daerah saja, melainkan pada negara-negara minoritas
muslim khususnya Asia dan Eropa, dimana hal tersebut seringkali menimbulkan
pertanyaan pada benak umat Islam seperti bagaimana kondisi umat muslim? Apakah
ada makanan yang halal disana? Bagaimana skala serta kriteria dalam memilih
makanan? Menurut studi yang melibatkan beberapa responden Muslim di Jepang,
terdapat 4 segmen yang menjadi perhatian. Segmen pertama mewakili sebagian besar
responden, yakni terkait ketersediaan ruang ibadah yang menjadi prioritas utama
mereka dalam memilih restoran, segmen kedua yang diwakili seperlima responden
memprioritaskan ketersediaan label halal pada produk, dan 2 segmen lainnya memiliki
presentase yang sangat kecil dimana sebagian responden memilih penawaran dengan
anggaran rendah sedangkan kelompok berpenghasilan tinggi lebih mempertimbangkan
ketersediaan ruang ibadah sekaligus label halal pada produk (Saville & Mahbubi, 2021).
Di Eropa sendiri, industri makanan tumbuh dengan cukup pesat. Hal tersebut
tidak terlepas dari perkembangan populasi muslim baik yang dari awal menetap di
Eropa atau bermigrasi untuk menempuh pendidikan atau sekedar berwisata. Menurut
penelitian Pew Research Center, jumlah penduduk Muslim di Eropa terus mengalami
peningkatan, tercatat dari tahun 2010 hingga 2016 saja, pertumbuhan populasi tersebut
bertambah dari 3,8 persen menjadi 4,9 persen atau yang awalnya 19,5 Juta muslim
menjadi 25,8 Juta jiwa. Di tahun yang sama, selisih angka kelahiran dan angka
kematiannya mencapai lebih dari 2,9 Juta jiwa. Perlu diketahui pada 2050 mendatang,
peningkatan populasi Muslim di Eropa diproyeksikan akan mencapai 11,2 persen
bahkan lebih tergantung seberapa banyak migrasi yang diizinkan oleh Pemerintah,
namun meskipun terdapat pembatasan migrasi, angka peningkatan populasi muslim di
Eropa diprediksi mencapai 7,4 persen. Mengutip dari Wolrd Population Review,
setidaknya terdapat 1,9 Juta Penduduk Muslim di negara Bosnia pada tahun 2022, 1,1
Jiwa di Spanyol bahkan di Italia total pemeluk Agama Islam mencapai 2,87 juta Jiwa
atau sekitar 4,8 persen dari total penduduk. Selain itu, Pada tahun 2030 Rusia
diperkirakan akan memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa dengan total 18,6 Juta

13
Penduduk yang mana jika dihitung secara matematis peningkatannya dari tahun 2010
mencapai 12,5 persen.
Sebagaimana pemaparan sebelumnya, tumbuhnya benih-benih restoran halal di
negara Asia dan Eropa tidak terlepas dari perkembangan sektor pariwisata halal.
Negara Asia dan Eropa memiliki banyak destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan
asing, tidak terkecuali wisatawan Muslim. Semakin meningkatnya pariwisata di suatu
negara, maka semakin tinggi juga kualitas layanan yang diberikan. Menjadi suatu hal
yang lumrah bagi sebuah bisnis untuk mengadaptasi beberapa pembaharuan untuk
meningkatkan pendapatan. Sama halnya dengan Wisatawan muslim yang melakukan
wisata ke negara Asia dan Eropa dimana makanan halal menjadi indikator seorang
muslim dalam menentukan destinasi wisata, maka perusahaan, pemerintah, dan
restoran pada suatu negara harus secara kolektif untuk melakukan sertifikasi dan
labelisasi halal untuk menjaga konsumen. Menurut tiset yang dilakukan oleh PEW, lebih
dari 20% populasi ummat Islam hidup di negara minoritas muslim, terutama di negara-
negara Eropa. Pergolakan etnis dan politik di beberapa negara Islam menyebabkan
kenaikan angka migrasi umat Muslim ke negara-negara barat sehingga jumlah Mulim di
negara minoritas muslim meningkat.
Meskipun rasio umat Muslim di Eropa tidak sebanyak rasio Muslim di Asia,
timbal balik dari masyarakat Eropa terhadap Produk halal cukup positif bahkan
Permintaan produk halal disana terus meningkat sebanyak 15% per tahun sejak tahun
2003 yang saat itu nilainya mencapai 15 Milyar Euro. Di Prancis terdapat sebuah istilah
yang berbunyi “Diversity Baby-Boomers du Halal” yang mengacu pada Era kelahiran
variasi Produk halal. Era kelahiran ini dimulai sejak tahun 2009 yang ditandai dengan
maraknya produk halal yang diluncurkan oleh perusahaan kecil seperti penjual daging
sekaligus beberapa perusahaan besar seperti Fuery Micron, Herta, Knorr, Laberye,
Liebig, dan Maggi yang melakukan investasi terhadap Produk Halal. Seiring berjalannya
waktu, Produk halal di Prancis semakin bervariasi bahkan beberapa produk asli Prancis
seperti saucisson, croquet-monsieur, dan le foie gras mengadaptasi halal melalui
sertifikasi dan labelisasi. Pangsa pasar makanan halal di Prancis semakin membesar
sampai menarik perhatian sejumlah pengusaha di bidang fast-food seperti KFC dan
McDonals, dengan jumlah muslimnya yang diperkirakan berada di sekitar 6,86 Juta
pada Tahun 2030 atau 10,3 persen dari populasi tentu membuka mata pengusaha
akan peluang bisnis yang menguntungkan, sehinnga pada tahun yang sama, tercatat
keduanya telah membuka 3 gerai yang menjual halal fast food di kota Marsille dan kota
Toulose (Listyowati, 2013).
Beralih ke negara Rusia yang merupakan negara Eropa dengan populasi Muslim
terbesar dimana dari 150 Juta penduduknya, 14 hingga 20 juta diantaranya adalah
Muslim. Proses sertifikasi halal di Rusia mulai meningkat pesat sejak Tahun 2015,
menurut pernyataan Aidar Gazizov selaku Direktur Jenderal Pusat Internasional untuk
Standarisasi Halal Dewan Mufti Rusia, sertifikasi halal adalah inovasi baru yang tidak
rumit untuk diterapkan dimana untuk mendapatkan sertifikat halal, hanya ada 2 kriteria
dasar untuk dilakukan. Pertama, lembaga tersebut harus memenuhi seluruh standar
kebersihan yang berlaku di Internasional dan Rusia. Kedua, selama proses sertifikasi
berlangsung, Dewan Mufti Rusia akan mengimplementasikan peraturan dan kriteria

14
pemberian status halal pada sebuah produk. Selain itu, Rusia membangun kerja sama
sekaligus mempelajari proses sertifikasi halal di negara lain seperti, Uni Emirat Arab,
Malaysia, Indonesia, Qatar, dan lain-lain sehingga produk halal yang dihasilkan dapat
masuk dan bersaing di pangsa pasar Islam. Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 150
Produsen dan perusahaan Rusia yang telah mendapatkan sertifikasi Halal. Aidar
Gazizov menambahkan bahwa Pengembangan pasar pariwisata halal khususnya
perhotelan terbilang cukup sukses dimana omset rata-rata tahunan pariwisata Halal
diperkirakan mencapai 125 miliar dollar AS atau 12,3 persen dari pariwisata outbound
dunia. meningkatnya pasar pariwisata berbanding lurus dengan perkembangan pasar
makanan halal. Beberapa kota yang menjadi target wisatawan muslim tertinggi seperti
Saint Petersbug dan Moskow yang merupakan kota metropolitan di Rusia (Saputra,
2022).
Sama halnya dengan Prancis, salah satu strategi pemasaran makanan halal di
Rusia adalah dengan menerapkan konsep halal di beberapa olahan makanan asli
Rusia yang diminati wisatawan seperti kulebyaka, Beef Straganof, Blini, Pirozhki, Sup
Borshct, dan lain-lain sehingga Rusia dapat beradaptasi dan bersaing di industri halal
namun tanpa menghilangkan eksistensi budaya yang mereka miliki. Selain dari pasar
pariwisata, perkembangan pasar makanan halal di Rusia juga didukung oleh pameran
industri halal seperti Moscow International Halal Expo yang diadakan pada bulan Mei
2015 lalu. Pameran terrsebut dihadiri lebih dari 200 perusahaan dari berbagai sektor
industri seperti perbankan, fashion syariah, farmasi, serta layanan makanan produk
halal dan sukses membawa pengaruh baru di Rusia, dilansir dari The Journal of Turkish
Weekly, Yaketerina Preina yang menjadi perwakilan perusahaan produsen makanan
halal untuk anak-anak menyatakan bahwa mereka memulai pekerjaan pertama di
sebuah wilayah muslim Rusia, namun tidak lama setelah itu, permintaan serupa juga
datang dari wilayah lainnya.
Seiring maraknya tren produksi halal, sebagian pengusaha Eropa melihat
peluang untuk masuk di industri halal karena populasi Muslim yang kian meningkat,
baik penduduk asli yang menetap, migrasi pelajar dari negara muslim, meningkatnya
sektor pariwisata domestik dan internasional, serta berbagai macam faktor lainnya.
Selain itu, masyarakat non-muslim merasa lebih nyaman dengan prinsip syariah dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga peluang bisnis halal menjadi lebih luas.
Secara umum pangsa pasar Produk halal terus meningkat signifikan dalam
beberapa dekade terakhir. Angka perdagangan makanan halal setidaknya mencapai
17% dari industry makanan dunia atau setara dengan USD 632 milyar per tahun. Dari
angka tersebut, pasar makanan halal terbesar terdapat di Asia dengan Nilai USD 400
dan Aurtralia dengan angka terkecil yang bernilai USD 1,2 milyar. Dapat dilihat bahwa
negara-negara Asia memiliki peluang paling besar bagi industri halal untuk
berkembang. Thailand dan Filipina merupakan dua negara di Asia Tenggara yang
sering menjadi opsi destinasi wisata karena memiliki keunikan alam sekaligus budaya
yang menarik perhatian, tidak terkecuali kuliner yang juga beragam. Untuk
mempertahankan agregat wisatawan, restoran harus meningkatkan kinerja dengan
menyediakan produk berkualitas, lezat, sekaligus Halal. Di Filipina sendiri terdapat
banyak restoran halal yang dapat dinikmati, baik restoran yang menjual makanan lokal

15
Filipina maupun yang menjual makanan khas dari negara asing seperti kebab, nasi
iryani, bahkan makanan Indonesia.
Adapun Thailand memiliki 20 restoran halal termasuk restoran yang belum
melakukan sertifikasi halal di wilayah timur lautnya. Sedangkan di Negara Asia lainnya,
Korea dan Jepang mendapat gelar muslim friendly karena berbagai kegiatan dan
kebutuhan umat muslim difasilitasi dengan baik seperti banyaknya didirikan masjid,
kamar kecil dengan air, serta permisahan kebutuhann pokok di supermarket antara
produk halal dan non-halal. Keduanya juga menjalin kerja sama dengan negara-negara
Islam dalam meningkatkan tren halal. Bahkan Jepang memiliki lembaga sertifikasi dan
labelisasi halal sendiri yaitu Japanese Muslims Assosiation (JMA) dan Japan Halal
Assosiation (JHA) (Fuadah, Karseno, Firdausi, Bagus, Putri, & Ulhusna, 2022). Bisnis
Halal Food terus mengalami perkembangan di Jepang hingga saat ini, pada Oktober
tahun 2017 lalu saja, sebanyak 788 restoran halal telah terdaftar meskipun diantaranya
hanya 161 (20,4%) yang tersertifikasi halal melaui JMA atau JHA. Sementara itu, pada
tahun yang sama sebanyak 465 restoran telah menggunakan daging halal sebagai
bahan produksinya dan 313 restoran melakuka klaim bahwa peralatan dapur dan
peralatan makannya Halal dan tidak tercampur dengan zat yang diharamkan (Wahidati
& Sarinasiti, 2018).
Di Korea, meskipun arus perkembangan industri halal tidak secepat Jepang,
namun tetap dapat memfasilitasi Muslim dengan baik seperti penyediaan makanan
halal di Bandara, yaitu Bandara Internasional Incheon dan Bandara Internasional
Gimhae dan pendirian 8 Masjid di kota-kota sentral seperti Masjid Pusat Seoul, Masjid
Busan, Masjid Gwangju, Masjid Jeounju, Masjid Anyang, Masjid Bupyeong, Masjid
Gyeonggi, dan Masjid Ansan. Selain itu, pada tahun 2014 Korean Tourism
Organizations (KTO) menerbitkan buu berisi panduan makanan Halal di Korea Selatan,
buu ini dapat diakses melalui website KTO dan setiap tahunnya selalu diadakan
pembaharuan, seperti halnya pada tahun 2017 lalu, KTO menambah jumlah restoran
halal terdaftar dari yang awalnya hanya 117 restoran menjadi 252 restoran (May, Ayu,
Aulia, Fani, & Hidayatullah, 2020).
Sedangkan di China, sejak tahun 2010 total wisatawan Muslim dari
perjalanan domestik maupun internasional mencapai lebih darii 100.000 setiap
tahunnya, namun China belum memiliki restoran halal yang memadai sehingga
wisatawan muslim hanya bisa mengonsumsi makanan di Halal Canteen beberapa
Perguruan Tinggi di China saja. Meski begitu, beberapa Kota di Cina seperti Zhang
Jiajie di Provinsi Hu nan, Desa Yuan yang dekat dengan kota Xi’an Provinsi Shan Xi,
Kota Xi Wu di Provinsi Zhe Jiang, dan Desa Xiao Bei di Provinsi Guang Dong
merupakan 4 situs yang tidak memiliki histori pemukuman Muslim namun secara
sukses menyediakan Halal Restaurant dan lingkungan yang ramah bagi Muslim. Zhang
Jiajie meluncurkan restoran Halal untuk memperluas Pasar pariwisata Asia Tenggara,
sedangkan desa Yuan Jia memanfaatkannya karakteristik etnis dan daerah makanan
halal sebagai tujuan daya tarik. Restoran halal di Yi Wu dan Xiao Bei disiapkan untuk
dan dimiliki oleh pelancong bisnis, biasanya orang asing. Oleh karena itu, beberapa ini
situs penelitian dianggap cocok untuk menjadi destinasi wisata Muslim di China (Jia &
Gaozhi, 2021).

16
Hal serupa pun terjadi di negara-negara minorias Muslim Asia Lainnya seperti
Tiongkok, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Hong Kong. Kebutuhan akan Halal Food
kian bertambah seiring dengan laju pertumbuhan umat Islam dan daya belinya yang
memberikan dampak cukup besar bagi perdagangan dunia, maka secara tersirat
tekanan koersi oleh Muslim mempengaruhi patronasi restoran halal (Ghazali, Mutum,
Waqas, Nguyen, & Tarmizi, 2022). Negara-negara minoritas muslim bersaing dalam
pasar halal food dengan melakukan berbagai strategi seperti menjalin hubungan kerja
sama dengan negara Muslim, mendirikan lembaga sertifikasi halal, mengadaptasi halal
ke beberapa produk lokal, serta mendukung sektor yang dapat meningkatkan
keuntungan di sektor makanan halal seperti pariwisata. Makanan halal juga menjadi
kebutuhan yang lebih universal sehingga peluang konsumen lebih luas dan keuntungan
menjadi lebih menjanjikan.
3.4. Restoran Makanan Halal di Asia dan Eropa
Restoran merupakan suatu tempat yang diorganisasikan secara komersial yang
memberikan pelayanan kepada pelanggan, khususnya dalam menyediakan makanan
dan minuman (Marsum, 2005). Sedangkan Halal memiliki pengertian segala objek atau
kegiatan yang diperbolehkan dalam Syariat Islam melalui kriteria hukum tertentu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa restoran halal adalah suatu tempat yang
memberikan layanan berupa penyediaan makanan dan minuman yang sesuai Hukum
Islam. Hingga saat ini restoran halal terus berkembang di seluruh negara dunia,
diantaranya:
1. Restoran Le Petit Gourmet di Prancis
Restoran ini memiliki lokasi yang sangat strategis bagi wisatawan, yakni terletak di
39 Rue Du Faubourg Montmartre, 75009, Paris. Restoran Le Petit Gourmet
menawarkan Fine Dining berbagai macam menus khas Prancis yang dibuka dengan
Entrée atau makanan pembuka seperti Soupe de Potiron dan Fois de gras de
Canard-toasts, confiture de figues, petite salade compose, kemudian dilanjutkan
dengan Plat atau makanan utama, lalu ditutup dengan Dessert atau makanan
penutup seperti Tarte au citron meringue, Délice au chocolat - biscuits et crème
anglaise, dan Crème brûlée au gingembre. Selain itu, restoran ini juga menyediakan
beberapa souvenir untuk para wisatawan berupa tumbler dan gelas.

2. Restoran Hasir di Jerman


Restoran ini terletak di Maassenstr, 10, 10777 Berlin, Jerman dan buka dari Pukul
09.00 AM hingga 04.00 PM. Adapun jenis makanan utama yang disajikan adalah
berbagai makanan khas Turki seperti daging kebab, İzmir Köfte, dan kadınbudu
Köfte sehingga para wisatawan dapat merasakan perpaduan antara nuansa
masakan Eropa dan Asia di restoran ini. Restoran ini juga memiliki beberapa cabang
yang cabang utamanya terletak di Turki sehingga kehalalannya tidak perlu
diragukan lagi untuk para konsumen Muslim.

17
3. Japanese Restaurant Matsuri di Jepang
Merupakan restoran yang terletak di Osaka, Jepang dan menyediakan berbagai
makanan khas jepang. Pada awalnya restoran ini tidak menyajikan makanan halal,
namun beberapa tahun ke belakang Restoran Matsuri mewajibkan hidangan halal
bagi wisatawan Muslim. Beberapa rekomendasi menu yang ditawarkan restoran ini
adalah Halal Kobe Teppan Yakiniku yang memiliki cita rasa manis dan gurih dengan
‘marbling’ daging sapi Kobe yang padat, kemudian ada Japanese Dry Curry yang
sangat cocok dengan lidah wisatawan Muslim karena memiliki rasa mirip ‘Nasi
Goreng’, dan DIY Takoyaki atau bola-bola gurita yang menjadi salah satu kuliner
andalan di Jepang. Selain itu, restoran ini juga menydiakan Dessert berupa Daifuku
Set yang merupakan kue beras (Mochi) bertekstur lembut dengan berbagai variasi
isian seperti Matcha, Mangga, dan Stroberi.

4. Restoran Al-Sana di Thailand


Restoran ini terletak di Bangkok, Thailand, lebih tepatnya di Pasar Pratunam.
Restoran Al-Sana menjual berbagai hidangan dari Malaysia, India, dan Pakistan
seperti Nasi Biryani, Samosa, Rendang dan Tikka Masala. Lokasi yang strategis
yakni dekat dengan Hotel Baiyoke Sky serta harga yang relativef murah menjadikan
restoran ini salah satu restoran favorit bagi wisatawan Muslim.

BAB IV: KESIMPULAN


4.1. Simpulan
Halal Lifestyle menjadi sebuah tren baru yang mendunia. Sejumlah perusahaan
dari negara-negara minoritas Muslim seperti Eropa dan Asia bahkan turut menyambut
tren ini, tidak dapat dipungkiri bahwa motif utama dari banyaknya produsen halal adalah
untuk mencari keuntungan, meski begitu, produksi makanan halal yang dilakukan
secara masif tetap membawa perubahan positif bagi Umat Muslim yang sedang berada
di negara minoritas Muslim. Ketersediaan dan akses kepada restoran halal menjadi
relatif mudah karena banyaknya restoran halal. Bisnis halal tentu memiliki regulasi
untuk menjamin kualitas, kenyamanan, serta kepuasan konsumen, terutama konsumen
Muslim. Maka sertifikasi dan labelisasi Halal berperan sebagai penjamin bahwa sebuah
produk telah memenuhi kualifikasi Halal melalui badan atau lembaga terkait.
Keberadaan Muslim di Asia dan Eropa menjadi salah satu faktor yang
memberikan peluang lebih besar bagi restoran halal untuk terus berkembang. Asia dan
Eropa menawarkan destinasi wisata serta budaya yang menjadi daya tarik bagi
wisatawan Muslim. Laju sektor pariwisata sejalan dengan permintaan terhadap
makanan Halal sehingga sejumlah besar restoran menetapkan strategi untuk
mempertahankan agregat wisatawan dengan menyediakan makanan halal. Selain itu,
untuk menjaga eksistensi budaya, sejumlah restoran lokal pun menerapkan prinsip
syariah dalam penyajian makanan sehingga kepercayaan konsumen Muslim semakin
meningkat disisi lain konsumen juga tetap mendapat pengalaman wisata yang baik. Di
Asia, restoran halal berkembang dengan cukup pesat, namun keterbatasan informasi
mengenai regulasi dan substansi halal menyebabkan persaingan antar produsen
terbilang rendah sehingga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat untuk
18
mendirikan restoran halal meskipun belum tersertifkasi. Berbeda dengan Eropa yang
sejak awal perusahaan-perusahaan besar telah berinvestasi pada produk halal karena
kesadaran akan permintaan produk halal yang tinggi baik dari Muslim maupun non-
Muslim. Maka potensi industri makanan halal termasuk restoran akan diperkirakan
mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa dekade kedepan.
4.2. Temuan
Dalam penelitian ini, penulis menemukan sejumlah temuan dalam analisis
strategi dan potensi perkembangan restoran halal di negara non Muslim, khususnya
Asia dan Eropa. Pertama, Dalam penyajian makanan halal, sebuah produk berbahan
dasar halal belum tentu dikatakan Halal dan dapat dikonsumsi oleh Muslim, setidaknya
produsen harus memastikan bahwa proses pengolahan, cara memperoleh bahan, serta
fasilitas yang digunakan untuk melakukan produksi tidak mengandung zat yang
diharamkan dan sesuai prinsip Syariah. Kedua, restoran halal yang berlum tersertifikasi
halal dapat dikonsumsi oleh Muslim selama mereka yakin jika seluruh proses produksi
aman dan sesuai regulasi dan substansi halal, dengan kata lain, sertifikasi dan
labelisasi halal hanyalah mengkasifikasikan halal atau haramnya suatu produk secara
hukum namun tidak secara syariat Islam.
Ketiga, untuk mendukung sektor restoran halal, salah satu strategi yang dapat
dilakukan seuatu negara adalah mendirikan lembaga sertifikasi halal nasional serta
menjalin kerja sama dengan negara-negara Muslim sehingga peluang untuk bersaing di
pasar halal internasional menjadi lebih besar. Keempat, Halal bersifat universal, artinya
seluruh golongan dan kelompok sosial dapat mengonsumsi produk halal. Selain itu,
konsep halal dapat diterapkan pada seluruh jenis makanan selama memenuhi kriteria
persyaratan sehingga banyak makanan lokal di negara minoritas Muslim yang
mengadaptasi konsep Halal sehingga wisatawan dapat menikmati makanan lokal.
Kelima, tren produksi produk halal distimulus oleh sektor pariwisata.

4.3. Saran/Rekomendasi
Dalam meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap retoran halal, sertifikasi
Halal merupakan syarat fundamental dalam memenuhi tujuan tersebut, restoran yang
tersertifikasi melalui lembaga atau badan khusus sertifikasi halal tentu memiliki
keredibiltas, sehingga seluruh proses mulai dari cara memperoleh bahan hingga diolah
menjadi sebuah produk tentu akan lebih terjamin. Meskipun sertifikasi halal hanyalah
syarat sah secara hukum namun tidak secara syariat, konsumen Muslim diarahkan
untuk lebih memilih restoran tersertifikasi halal karena dapat melakukan taqlid kepada
lembaga atau badan terkait yang menerbitkan sertifikat halal.

19
Daftar Pustaka

Referensi Jurnal (Scopus)

Akhtar, N., Jin, S., Alvi, T., & Siddiqi, U. I. (2020). Conlicting Halal Attributes at Halal Restaurant and
Consumers Renponses: The Moderating role of Religiosity. Journal of Hospitality and Tourism
Management, 499-510.

Ghazali, M. E., Mutum, S. D., Waqas, M., Nguyen, B., & Tarmizi, N. A. (2022). Restaurant Choice and
Religous Obligation in The Absence of Halal logo: A Serial Mediation Model. International
Journal of Hospitality Management, 2-8.

Jia, X., & Gaozhi, Z. (2021). Turning Impediment into Attraction: A Supplier on Halal Food in non-
Islamic Destinations. Journal of Destinations Marketing and Management, 2-9.

Kwag, S. I., & Ko, Y. D. (2019). Optimal Deisgn for The Halal Food Logistics Network. Transportation
Research Part E: Logistics and Transportation Review, 212-228.

Nugraha, W. S., Chen, D., & Yang, S.-H. (2022). The Effect of Halal Label and Label Size on
Purchasing Intent for non-Muslim Customers. Journal of Retailing and Concumers Services, 2-
9.

Mostafa, M. M. (2020). A Knowlegde Domain Visualization Review of Thirty yearsof Halal Food
Research: Themes, trends, and Knowlegde Structure. Trends in Food Sciences and
Technology, 660-667.

Saville, R., & Mahbubi, A. (2021). Assessing Muslim Traveller's Prefences regarding Food in Japan
Using Conjoint Analysis: An Explory Study on The Importance of Praying Room Availibility and
Halalness . Heliyon, 7, 1-11.

Referensi Jurnal (Umum)

Adinugraha, H. H., & Sartika , M. (2019). Halal Lifestyle di Indonesia. An-Nisbah: Jurnal Ekonomi
Syariah, 5(2), 57-81.

Ananda. (2022, October). 11 Negara Islam terbesar di Dunia beserta Populasinya. Retrieved
December 12, 2022, from gramedia.com: https://www.gramedia.com/best-seller/negara-islam-
terbesar-di-dunia/#:~:text=Statistik%20tahun%202020%20dari%20Pusat,tahun%202022%2C
%20menganut%20Agama%20Islam.

Aniqoh, A., & Hanasetiana, M. R. (2020). Halal Food Industry: Challenges and Opportunities in Europe.
Journal of Halal Digital Marketing and Halal Industry, 2(1), 43-45.

Annisa, A. A. (2019). Kopontren dan Ekosistem Halal Value Chain . Jurnal Ilmiah Ekonomi, 5(1).

20
Astuti, A. T., & Rukiah. (2019). Bisnis Halal dalam Perspektif Etika Islam: Kajian Teoritis . Al Ma'arief:
Jurnal Pendidikan Nasional, 2(1), 97-104.

Azizah, S., & Azizah, Y. N. (2021). Analisis Pengaruh Packaging dan Label Halal terhadap Keputusan
Pembelian Konsumen. International Conference on Islam, Law, and Society (INCOILS), 1-10.

Bayu, D. (2022, February 16). Sebanyak 86,9% Penduduk Indonesia beragama Islam. Retrieved
December 12, 2022, from https://dataindonesia.id/:
https://dataindonesia.id/ragam/detail/sebanyak-869-penduduk-indonesia-beragama-islam

Boediman, E. P. (2017). Halal Lifestyle in Marketing Communication and Hospotality. Interntional


Journal of Economics Research , 14(4), 429-438.

CCN, I. (2022, May 3). 7 Besar Populasi Umat Islam di Eropa, terbanyak dari negara mana? Retrieved
December 13, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220430052053-134-791581/7-besar-populasi-
umat-islam-di-eropa-terbanyak-dari-negara-mana#:~:text=Menurut%20penelitian%20Pew
%20Research%20Center,menjadi%2025%2C8%20juta%20jiwa.

Deniar, M. S., & Effendi. (2019). Halal Food Diplomacy in Japan and South Korea. Journal of Social
and Political Sciences, 2(3).

Farid, M., & Basri, H. (2020). The Effects of Haram Food on Human Emotional and Spiritual Intelligens
Level. Indonesian Journal of Halal Reseacrh, 2(1), 21-26.

Fathina, H. (2022, September 17). Ini 5 Negara Islam Terbesar di Dunia, Indonesia Posisi Berapa?
Retrieved December 12, 2022, from https://kabar24.bisnis.com/:
https://kabar24.bisnis.com/read/20220917/79/1578447/ini-5-negara-islam-terbesar-di-dunia-
indonesia-posisi-berapa#:~:text=Pakistan&text=Sementara%20itu%2C%20menurut%20World
%20Population,juta%20nya%20adalah%20pemeluk%20islam.

Fuadah, D. K., Karseno, Firdausi, M. H., Bagus, A. M., Putri, N. I., & Ulhusna, S. (2022). The Potential
of Halal Business In Asia and Europe with Majority of Non-Muslim Communities. Al-Kharaj:
Jurnal Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syariah, 4(1), 1-12.

Hamdan, H., Issa, M. Z., Abu, N., & Jusoff. (2018). Purchasing Decison Among Muslim Consumers of
Processed Halal Food Product. Journal of Food Products Marketing, 19(1), 54-61.

Intihanah, A. N. (2022). Analisis Faktor Sikap, Norma Subjektif, Persepsi Kontrol Perilaku, terhadap
minat beli masyarakat non-muslim pada Halal Food di Kota Metro. AKSES: Jurnal Ekonomi dan
Bisnis, 17(1), 66-73.

Kusnandar, V. B. (2021, October 25). Jumlah Umat Muslim Diprediksi mendekati Umat Kristiani di
Dunia pada Tahun 2050. Retrieved December 11, 2022, from https://databoks.katadata.co.id/:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/25/jumlah-umat-muslim-dipredeksi-
mendekati-umat-kristiani-di-dunia-pada-2050

21
Listyowati, M. (2013, April 4). Peluang Bisnis Makanan Halal di Prancis. Retrieved December 13, 2022,
from http://djpen.kemendag.go.id/:
http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/publication/7011384233472.pdf

May, F. A., Ayu, A., Aulia, N., Fani, A., & Hidayatullah, A. F. (2020). Wisata Hahal Trend baru di Korea
Selatan. Jurnal Penelitian, 14(1), 153-165.

Novianti, D. A., & Veronika, R. (2021). Kesadaran Halal dan Laber Halal terhadap Minat Beli Produk
Makanan di Restoran Jepang. Hospitality and Gastronomi Reseacrh Journal, 3(2).

Nurmaydha, A., Mustaniroh, S. A., & Sucipto. (2019). Strategi Pengembangan Restoran Halal sebagai
Penunjang Hotel Syariah. Dinar: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam, 6(2), 71-82.

Pangestu, A. D., & Attas, S. G. (2022). Fenomena Restoran Jepang Halal: Perspektif Agama dan
Ekonomi. Community Development Journal, 3(3), 1892-1899.

Pratiwi, N., Prakkasi, I., & Darussalam, A. Z. (2022). Pengaruh Sertifikasi dan Labelisasi Halal terhadap
Perilaku Pembelian Produk Mi Samyang (Studi Kasus di Kabupaten Ujung Bulu Kabupaten
Bulukuma). Edunomika, 6(2), 1-15.

Rahayu, K. M. (2020, November 17). Info Halal: Persyaratan dalam melakukan Sertifikasi Halal.
Retrieved December 11, 2022, from https://wr4.uai.ac.id/: https://wr4.uai.ac.id/persyaratan-
dalam-melakukan-sertifikasi-halal/

Rahmadani, G. (2015). Halal dan Haram dalam Islam. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 2(1), 20-25.

Rohman, T. (2020). Tren Wisata Halal berkembang pesat di Negara non-Muslim, Kok bisa? Retrieved
December 12, 2022, from Phinemo.com: https://phinemo.com/tren-wisata-halal-berkembang-
pesat-di-negara-non-muslim-kok-bisa/

Saputra, A. (2022, February 12). Produk Halal Makin Populer di Rusia. Retrieved December 16, 2022,
from https://ihram.republika.co.id/: https://ihram.republika.co.id/berita/r7mmfk430/produk-halal-
makin-populer-di-rusia

Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Wisata Halal: Perkembangan, Peluang, dan Tantangan.
Journal of Halal Product and Research, 1(2), 32-41.

Sayekti, N. W. (2019). Strategi Pengembangan Pariwisata Halal di Indoneisa. Jurnal DPR RI , 24(1),
159-172.

State of the Global Islamic Economics 2017-2018. (n.d.).

Syariah, D. I. (2020). Laporan Perkambangan Pariwisata Ramah Muslim Daerah 2019-2020. Kuningan:
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

Tampake, T. (2019). Tantangan Globalisasi terhadap Nilai-nilai Keindonesiaan. Theologia: Jurnal


Teologi Interdisipliner, 18-28.

22
Up, W. i. (2019, November). Nutrional Info. Retrieved December 12, 2022, from wrapitup.co.uk:
https://www.wrapitup.co.uk/wp-content/uploads/2019/12/WIU-Nutritional-NOV-19.pdf

Wahidati, L., & Sarinasiti, N. E. (2018). Perkembangan Wisata Halal di Jepang. The Journal of
Tauhidinomics, 9(19), 73-80.

Warto, & Samsuri. (2020). Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis dan Produk Halal di Indonesia.
Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking, 2(1), 98-112.

Yani, A. (2016). Label Halal dan Konsumen Cerdas dalam Perdagangan Pasar Bebas. Jurnal Geografi
Gea , 7(3), 209-213.

Zahra, A., & Fawaid, A. (2019). Halal Food di Era Revolusi Industri 4.0: Prospek dan Tantangan.
Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, 3(2), 121-138.

Referensi Buku

Geertz, C. (1966). Regional as a Cultural System. In M. Banton, Antropoligical Approaches to The


Study of Religion (pp. 1-46). London: Tavistock.

Marsum, W. (2005). Restoran dan segala Permasalahannya. Jakarta: ANDI.

Minderope, A. (2013). Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Qardhawi, Y. (1997). Halal dan Haram dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

23

Anda mungkin juga menyukai