Anda di halaman 1dari 14

RESUME ETIKA PEMERINTAHAN

Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Pemerintahan

DOSEN PENGAMPU:
TRI ENDAH KARYA LESTIYANI, M.IP

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

1. NURUL HUSNA TUMANGGOR (105220038)


2. ALFI RAHMADI (105220091)
3. FATTUR SHIDDIQ (105220004)
4. MEILAN AGUNG PRATAMA (105220146)
5. M. REFKI BACHTIAR (105220245)
6. ERGI SYAHPUTRA (105220063)
7. NOVITA SARI (105220259)

KELAS : IP 4C

PRODI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2024
ETIKA PEMERINTAHAN

A. PENDAHULUAN

1. Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah


Keetikan perilaku ialah derajat, kualitas, atau kadar baik-buruk secara
moral perilaku seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan aparatur pemerintah
atau disebut juga aparatur negara adalah orang-orang yang diangkat untuk
melakukan pekerjaan pemerintahan dalam arti luas (eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan sebagainya) di seluruh tingkatan pemerintahan.
Keetikan perilaku berkaitan dengan kehormatan seseorang atau
sekelompok orang sebagai manusia di manapun mereka berada. Bagi seseorang
atau sekelompok orang yang mempunyai kesadaran etis, melakukan perbuatan etis
merupakan cara terhormat dalam bergaul dengan sesamanya. Apalagi, bagi orang-
orang yang bekerja di lapangan pemerintahan, keetikan perilakunya bukan hanya
mengenai kehormatan dirinya, tetapi juga kehormatan lembaganya. Dalam
kaitannya dengan hal ini, Dougle mengingatkan bahwa seluruh bidang
pemerintahan harus diperlakukan sebagai bagian yang esensial dari hidup etis atau
kesusilaan yang harus dijalani pada tingkat yang setinggi mungkin.
Bertolak dari kepentingan itu, pemerintah diharapkan terus berupaya
membangun keetikan aparaturnya. Selama ini upayaupaya tersebut telah dilakukan
antara lain dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengarahkan
pembentukan iklim etis, mempersempit peluang penyelewenganpenyelewengan,
perbaikan sistem pelayanan publik, dan penataan sistem kepegawaian negara.
Kebijakan-kebijakan yang dimaksud dituangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, seperti UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme; Ketetapan MPR-RI
No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; UU No. 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik; dan UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara,serta penetapan berbagai kode 3 etik profesi/organisasi dalam lingkungan
pemerintahan berikut penataan manajemennya.

1
2. Hubungan Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah dengan Good
Governance
Dari pandangan etika sebagai ilmu, pembinaan etika oleh pemerintah bagi
aparaturnya bukanlah imperatif hipotesis (kewajiban bersyarat) melainkan
imperatif kategoris (kewajiban tidak bersyarat), karena pada diri pemerintah ada
kewajiban untuk menunjukkan kinerja pemerintahan dalam menyejahterakan
rakyatnya melalui aparaturnya. Secara etis, pemerintah dituntut untuk
menunjukkan kinerja sampai tingkatan yang dapat diterima oleh rakyatnya. Kinerja
yang diharapkan bukan hanya mengenai kesejahteraan masyarakat secara fisik saja
tetapi juga nonfisik.
Hubungan keetikan antara negara yang diwakili pemerintah dan manusia
(warga negara) terutama nampak melalui perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia dan upaya-upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal ini sejalan
dengan maksud dibentuknya organisasi bagi dan oleh manusia sebagaimana
dikemukakan Davis dan Newstrom, organisasi ada untuk melayani manusia
ketimbang keberadaan manusia untuk melayani organisasi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa secara etis semua kekuasaan negara yang dijalankan oleh
pemerintah pada dasarnya adalah untuk melayani manusia yang menjadi
penduduknya.
Pada gilirannya, citra pemerintah dapat berimplikasi pada legitimasinya.
Legitimasi berasal dari bahasa Latin lex yang berarti hukum dan padanannya
adalah kewenangan atau keabsahan. Legitimasi merupakan pengakuan dan
penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah, membuat dan
melaksanakan keputusan politik. Dari pandangan etika, legitimasi yang dimaksud
adalah legitimasi etis pemerintahan. Ciri-ciri pemerintahan yang memiliki
legitimasi etis menurut Max Weber, yaitu:
1) Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti kata,
berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat.
2) Perilaku kekuasaan didasarkan pada landasan etika yang dihubungkan dengan
ajaran atau ideologi.
3) Setiap perbuatan dilakukan untuk umum dan tidak karena kepentingan tertentu
(vested interest).

2
B. ETIKA SEBAGAI PEGANGAN PEMERINTAHAN

1. Konsep Pemerintahan

Kata ‘pemerintahan’ berasal dari kata perintah, pemerintah, dan kemudian


pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perintah berarti 1)
perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu, 2) aba-aba, komando,
dan 3) aturan dari pihak atas yang harus dilakukan. Pemerintah berarti 1) sistem
menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan
politik, 2) sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung-jawab
terbatas untuk menggunakan kekuasaan, 3) penguasa suatu negara. Sedangkan
pemerintahan berarti 1) proses, perbuatan, cara memerintah; dan 2) segala urusan
yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat
dan kepentingan negara. Berdasarkan kamus tersebut, kata pemerintah ditujukan
pada orang atau badannya, sedangkan kata pemerintahan ditujukan pada aktivitas
orang atau badan tersebut.

Keberadaan pemerintah di semua negara tidak terlepas dari tujuan


pembentukannya. Menurut Ryaas Rasyid, secara umum ada 2 tujuan pembentukan
pemerintah suatu negara, yaitu:

1) Menegakkan keteraturan. Pemerintah dibentuk agar tercipta rasa aman di


kalangan masyarakat suatu negara. Sebelum negara terbentuk, keadaan
masyarakat sungguh kacau atau tidak teratur.
2) Menciptakan suasana yang adil.

Dengan maksud pembentukannya itu, negara dengan pemerintahannya


memiliki ‘kekuasaan.’ Menurut faham tripraja dari Montesquieu yang dikenal
dengan ‘trias politica,’ kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan negara
dipisahkan menjadi 3 jenis, yaitu:

1) kekuasaan legislatif (membuat undang-undang) yang dipegang oleh lembaga


perwakilan rakyat;
2) Kekuasaan yudikatf (peradilan) yang dipegang oleh lembaga peradilan; dan

3
3) Kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) yang dipegang oleh
lembaga yang menjalankan tugas-tugas negara sehari-hari.

Ada beberapa fungsi pemerintahan diantaranya :

1) Fungsi pengaturan, yakni mengatur kehidupan masyarakat agar tertib dan


teratur.
2) Fungsi pelayanan, yakni melayani berbagai kepentingan umum masyarakat,
agar masyarakat mudah mengurus kepentingan hidupnya.
3) Fungsi pembangunan, yaitu membangun kehidupan masyarakat di berbagai
bidang, agar masyarakat berdaya dan makmur. Sistem Pemerintahan Republik
Indonesia

Dalam sistem pemerintahan RI, kekuasaan negara diselenggarakan


(dipegang, digunakan, dan dipertanggungjawabkan) oleh beberapa lembaga negara
yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan
Mahkamah Konstitusi. Prinsip yang digunakan, bukan pemisahan kekuasaan
seperti trias politica, melainkan ‘pemilahan.’ Contoh, Presiden RI adalah Kepala
Pemerintahan merangkap Kepala Negara. Sebagai Kepala Pemerintahan, ia
berwenang menyelenggarakan kekuasaan eksekutif, tetapi sebagai Kepala Negara,
ia berwenang dalam bidang yudikatif antara lain memberi grasi, amnesti, dan
abolisi.

Presiden dibantu oleh Wakil Presiden. Keduanya dicalonkan oleh partai


politik dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Selain oleh Wakil Presiden,
Presiden dibantu oleh Kabinet (para Menteri) dan jajaran eksekutif lainnya
(misalnya Panglima TNI, Gubernur BI, Dewan Penasehat Presiden, dan
sebagainya).

Sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial. Semua menteri


negara dan jajaran eksekutif lainnya ditunjuk oleh dan bertanggungjawab kepada
Presiden (bukan bertanggungjawab kepada DPR). Presiden tidak dapat dijatuhkan
oleh DPR, demikian pula sebaliknya. Keduanya sama-sama kuat. Praktik
penyelenggaraan pemerintahan di negara-negara kesatuan pada umumnya
menggunakan cara sentralisasi dan desentralisasi. Dengan cara sentralisasi

4
ekstrem, semua urusan pemerintahan (termasuk wewenangnya) dijalankan
pemerintah pusat. Daerah hanya berperan sebagai pelaksana saja. Pada saat
sekarang cara yang banyak digunakan adalah desentralisasi. Dengan cara ini,
wewenang/urusan pemerintahan dibagi-bagi oleh pemerintah pusat. Ada
wewenang/urusan yang tetap ditanganinya, dan ada yang diserahkan atau
ditugaskan pengurusannya kepada daerah.

Pemerintahan di Indonesia diselenggarakan di tingkat pusat, daerah


(provinsi, kabupaten/kota), dan desa. Karena itu, sebutan aparatur pemerintah dapat
ditujukan bagi semua orang yang bertugas di semua tingkatan pemerintahan
tersebut.

2. Pegangan Pemerintah

Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa dalam pemerintahan terdapat 10


(sepuluh) jenis pegangan pemerintah yang tidak boleh diabaikan, yaitu :

1) Pegangan administratif, bersumber dari organisasi dan apabila diabaikan akan


berakibat pengenaan sanksi administratif dari atasan. Pegangan administratif
banyak bentuknya, antara lain berupa juklak (petunjuk pelaksanaan) atau juknis
(petunjuk teknis) dari atasan atau satuan atas instansi pemerintah.
2) Yuristik politik, bersumber dari keputusan politik dan apabila diabaikan akan
berakibat pengenaan sanksi hukum negara dari negara/hakim. Yuristik politik
biasanya berupa ketentuan perundangundangan yang berada dalam lingkup
hukum pemerintahan atau lingkup hukum yang lebih luas (Hukum Pidana,
Hukum Perdata, dan sebagainya). Salah satu pegangan yuristik politik adalah
asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimuat dalam pasal 3
UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
3) Adat, yang bersumber dari tradisi sakral atau leluhur, dan apabila diabaikan
akan berakibat pengenaan sanksi kualat, karma, atau terkucil dari masyarakat
atau kekuatan gaib.
4) Kebiasaan, yang bersumber dari tradisi atau kebiaran, dan apabila diabaikan
akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari masyarakat penganutnya.

5
5) Fatwa otoritas, yang bersumber dari keputusan lembaga otoritas (sosial), dan
apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi sosial dari pemegang
otoritas atau masyarakat pendukungnya.
6) Etiket, yang bersumber dari formalitas dan apabila diabaikan akan berakibat
pengenaan sanksi sosial dari masyarakat tertentu yang menyepakatinya.
7) Moral, yang bersumber dari norma sosial dan apabila diabaikan akan berakibat
pengenaan sanksi moral dari masyarakat.
8) Etika, yang bersumber dari kesadaran, free will, atau self commitment dan
apabila diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi dari hati nurani diri sendiri,
seperti rasa malu, penyesalan, rasa bersalah, minta maaf, mohon ampun, tobat,
memberi tebusan, mempersembahkan korban, mengaku bersalah, mundur dari
jabatan, mengasingkan diri, atau bahkan bunuh diri.
Yang dimaksud dengan etika sebagai pegangan pemerintahan disini adalah
etika dalam artinya sebagai pedoman, acuan, dan ukuran praktis dalam
berperilaku dengan bentuknya yang rinci dan operasional, dalam hal ini adalah
asas-asas dan norma-norma etik yang dikemas di dalam berbagai aturan atau
kode etik. Misalnya, kode etik profesi, kode etik organisasi, tata-tertib, naskah
sumpah/janji pegawai, dan naskah sumpah/janji jabatan.
9) Hukum alam, yang bersumber dari pengetahuan atau pengalaman dan apabila
diabaikan akan berakibat pengenaan sanksi dari alam berupa bencana alam.
10) Teologik, yang bersumber dari kesadaran dan keyakinan, dan apabila diabaikan
akan berakibat pengenaan sanksi neraka atau azab dari Tuhan.

3. Konsep Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos. Dalam bentuk
tunggalnya berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, ahlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamaknya ta
etha, yang berarti adat kebiasaan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dikenal antara lain etika
politik, etika pemerintahan, etika administrasi negara, etika bisnis, etika hukum,
etika peradilan, dan etika lingkungan. Etika-etika tersebut mengandung unsur
teoritik dan praktik. Unsur teoritiknya terlihat dari bahasan-bahasan konsepsional

6
secara filosofis dan atau teologik tentang perilaku baik-buruk dikaitkan dengan
kepentingan pada masing-masing segi kehidupan yang disebutkan tadi.
Kode etik adalah persetujuan bersama yang timbul dari para anggota itu
sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai
ideal yang diharapkan. Dorongan untuk mematuhi perintah atau kendali untuk
menjauhi larangan dalam kode etik, bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa
kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis.

4. Nilai Etik
Secara etimologis (asal usul kata), kata ‘nilai’ berasal dari bahasa Latin
valere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Secara
leksikografis (perkamusan), kata nilai mempunyai beberapa arti, yaitu 1) harga, 2)
harga uang), 3) angka kepandaian, 4) banyak sedikitnya isi, kadar, mutu 5) sifat-
sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Nilai etik berbeda dengan nilai-nilai lain dalam hal urgensinya untuk
direalisasikan dalam perilaku. Nilai etik ‘lebih mendesak dan serius’ untuk
direalisasikan ketimbang nilai-nilai lainnya. Jika tidak segera direalisasikan, maka
pada saat itu pula suara hatinya bereaksi negatif (kecewa). Sebaliknya jika
direalisasikan, maka saat itu pula suara hatinya bereaksi positif (puas).

5. Norma Etik
Istilah “norma” dalam bahasa Indonesia (Inggris: norm) berasal dari kata
yang sama dalam bahasa Latin norma Dalam bahasa Latin, kata norma mempunyai
dua arti, yaitu 1) siku-siku, dan 2) pedoman, ukuran, aturan, kaidah. Norma adalah
aturan yang ‘mengarahkan perbuatan’ manusia agar sesuai dengan nilai yang
dianut, dan ‘menjaganya’ agar nilai tersebut dapat terpelihara. Dengan fungsinya
sebagai pengarah dan penjaga nilai, maka norma itu dijadikan pedoman, acuan,
rujukan, standar, dan ukuran perbuatan (sikap yang nampak).
Dengan mengacu pada arti norma secara umum, maka yang dimaksud
dengan norma etik adalah aturan yang ‘mengarahkan perbuatan’ manusia agar
sesuai dengan nilai etik yang dianut, dan ‘menjaganya’ agar nilai etik tersebut dapat
terpelihara. Dengan kehadiran norma etik, nilai etik dapat dipaksakan untuk

7
diaktualisasikan (diwujudkan) dan dipelihara dalam sikap/perilaku/perbuatan
seseorang atau sekelompok orang.

C. ETIKA PEMERINTAHAN

1. Konsep Etika Pemerintahan


Secara historis, etika merupakan hasil tuntutan manusia untuk hidup
bahagia melalui cara-cara yang tertib, teratur, rukun, nyaman, dan aman. Jika etika
politik subyeknya adalah negara, maka etika pemerintahan subyeknya adalah
pejabat dan para pegawai. Etika pemerintahan merupakan etika yang khusus
membahas mengenai keutamaan-keutaman yang harus dilaksanakan oleh para
pejabat pegawai negeri.
Etika pemerintahan mempunyai dua arti yaitu : 1. Sebagai kajian teoritik
secara filosofis dan teologis tentang baik-buruk secara moral perilaku aparatur
pemerintah. 2. Sebagai sistem nilai/norma dan kumpulan asas moral yang dijadikan
pegangan/acuan/ukuran perilaku aparatur pemerintah sehari-hari.

2. Sumber-Sumber Etika Pemerintahan


Dikemukakan oleh Djadja Saefullah bahwa etika bagi pejabat publik
terdapat dalam sumber-sumber etika yang secara hierarkis dari mulai agama sampai
dengan perintah atasan. Kata ‘hierarkis’ menunjukkan bahwa sumber etika yang
lebih atas mempunyai daya keberlakuannya lebih kuat daripada sumber etika yang
lebih bawah.
Sumber-Sumber Etika, yaitu :
1) Agama.
2) Norma dan nilai dari kebudayaan masyarakat.
3) Pancasila.
4) Undang-Undang Dasar 1945.
5) Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
6) Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya, sepanjang mengenai kode etik
dan sumpah pegawai/sumpah jabatan.

8
7) Peraturan-peraturan lain (kementerian, daerah, unit kerja, dan kode etik
profesi);
8) Perintah/petunjuk atasan.

3. Kekuatan Aplikasi Pemerintahan


Kekuatan aparatur pemerintah dalam mengaplikasikan etika pemerintahan
merupakan penjelmaan dari kompetensi etiknya. Sedangkan buahnya adalah
keetikan perilakunya.
Kekuatan dalam mengaplikasikan etika pemerintahan ditunjukkan dengan
seberapa banyak, seberapa sering, seberapa kuat, dan seberapa bagus perbuatannya
dalam menggunakan, menerapkan, atau menaati norma-norma etik pemerintahan.
Semakin banyak norma etik yang ditaatinya (kuantitas), semakin sering
melakukannya (frekuensi), semakin teguh (konsistensi), dan semakin bagus
(kualitas) perbuatan etiknya baik verbal maupun nonverbal, berarti semakin kuat
aplikasi etikanya. kekuatan aplikasi etika seseorang dapat diamati dan diukur dari
perilaku nampaknya.

4. Pola Aplikasi Pemerintahan


Pola aplikasi etika pemerintahan adalah kerangka proses pembentukan
perilaku aparatur pemerintah dalam mengaplikasikan etika pemerintahan.
Kerangka proses yang dialami seseorang dalam beretika menunjukkan bagaimana
cara seseorang, baik yang disadari atau tidak disadarinya, memiliki pengetahuan,
sikap mental dan keterampilan etik.
Taliziduhu Ndraha berpendapat bahwa aplikasi etika pada umumnya
dilakukan dengan 2 (dua) pola yaitu pola peragaan dan pola pelakonan. Kesatu,
pola peragaan. Pola ini terjadi melalui learning process (proses pembelajaran).
Bermula dalam diri pelaku budaya, dari suatu kebenaran, keyakinan, anggapan
dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan
kemudian diaktualisasikan menjadi kenyataan (meraga) melalui sikap dan perilaku.
Kedua, pola pelakonan. Pola ini terjadi melalui proses penurutan, peniruan,
penganutan dan penaatan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar
pelaku budaya yang bersangkutan. Dalam pola pelakonan ini, aplikasi etika oleh

9
aparatur pemerintah dipengaruhi pihak luar dirinya, dalam hal ini berupa
karakteristik organisasi pemerintahan (struktur, kultur, proses, kepemimpinan,
wewenang, dan tanggungjawab).

D. KOMPETENSI ETIK APARATUR PEMERINTAH

1. Faktor-Faktor Keetikan Perilaku Aparatur Pemerintah


Perilaku seseorang dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor
internalnya berupa kondisi fisik, kondisi mental, persepsi, sikap, kepribadian,
belajar, motivasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan
pengalamannya. Sedangkan faktor eksternalnya berupa keadaan lingkungan
keluarga, budaya, kelas sosial dan karakteristik organisasi.
Dalam konteks pemerintahan, faktor-faktor yang mempengaruhi keetikan
perilaku aparatur pemerintah terdiri dari:
1) Faktor internal diri pelaku, berupa faham kehidupan, pengetahuan etik,
kesadaran etis, persepsi bekerja, kepribadian, belajar, motivasi, harapan,
kebutuhan, rasa kebersamaan, kebebasan, keimanan/kepercayaan, kesediaan
berkorban dan pengalaman etis; serta
2) Faktor eksternal, berupa karakteristik organisasi pemerintahan, kontrol sosial,
penerapan hukum, budaya dan keluarga. 178 Dari kedua faktor keetikan
perilaku tadi, faktor internal merupakan bahan-bahan pembentuk kompetensi
etik yang terhimpun dan berbaur di ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

2. Konsep Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah


Di lapangan pemerintahan, kompetensi dipakai antara lain sebagai bahan
pertimbangan dalam rekrutmen, pendidikan, penggajian, pembinaan, penilaian,
dan penempatan aparatur pemerintah dalam posisi-posisi tertentu. Selama ini
standar kompetensi aparatur pemerintah masih ditekankan pada keperluan
manajemen dan teknis berupa kompetensi manajerial (kompetensi melakukan
pekerjaan sebagai manajer), dan kompetensi teknis (kompetensi melakukan
pekerjaan operasional tertentu).

10
kompetensi etik ialah kemampuan seseorang yang dihasilkan dari
perpaduan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan etiknya untuk melakukan
perbuatan yang bernilai baik secara moral.
fenomena keetikan perilaku aparatur pemerintah yang berragam. Kesatu,
ada aparatur pemerintah yang secara mental bersikap negatif untuk berperilaku etis.
Mereka cenderung berbuat semaunya. Tidak begitu peduli pada norma-norma etik
yang sepatutnya ditaati. Kedua, ada aparatur pemerintah yang bersikap mental 180
positif terhadap etika, tetapi kurang pengetahuan etiknya. Perilaku aparatur ini ini
lebih baik dari yang pertama. Mereka cenderung ingin berbuat etis dalam banyak
situasi, namun kurang rajin belajar etika sehingga pengetahuan tentang hal itu
sedikit. Ketiga, ada aparatur pemerintah yang memiliki pengetahuan etik dan
bersikap mental positif terhadap etika, tetapi kurang terampil dalam
mengaplikasikannya.

3. Pengetahuan Etik
Obyek etika adalah fenomena sosial yang berupa perilaku manusia dalam
pergaulan sosial (obyek materia). Sedangkan sisi atau segi yang dijadikan fokus
perhatiannya (obyek forma) adalah kualitas perilaku baik-buruk secara moral. Jadi,
pengetahuan tentang etika atau pengetahuan etik adalah pengetahuan tentang segi
baik-buruk secara moral perilaku manusia.
Dalam arti luas, pengetahuan etik meliputi pengetahuan etika sebagai
filsafat moral dan etika sebagai pegangan praktis. Sedangkan dalam arti sempit,
pengetahuan etik hanya menyangkut etika sebagai pegangan praktis. Dalam
konteks kompetensi etik aparatur pemerintah, pengetahuan etik yang dimaksud
adalah pengetahuan tentang etika dalam arti sempit, yakni pengetahuan etika yang
dapat dijadikan pegangan praktis untuk berperilaku etis di lingkungan masyarakat
tertentu.

4. Sikap Mental Etik


Sikap mental seseorang merupakan hasil perpaduan unsur-unsur motif
(dorongan yang berasal dari sistem nilai, keinginan, harapan, dan kebutuhan),
keyakinan, perasaan, persepsi dan pengetahuannya.

11
Menurut Suseno, orang yang mempertajam dan memperdalam rasa-nya
selalu akan ‘mengerti’ bagaimana harus bertindak tepat dalam situasi tertentu. Ia
seakan-akan mempunyai insting etis
Pada sikap mental etik terdapat unsur, ciri dan sifat. Unsurnya yaitu
keyakinan dan kesadaran akan arti penting nilai/norma etik bagi kehidupan.
Cirinya, sikap mental etik lebih kuat terbentuk karena perasaan, motif dan
kehendak untuk bersikap etis-tidak etis. Sedangkan, sifatnya dapat berubah kuat
atau lemah tergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan/keimanan/
kepercayaannya.

5. Keterampilan Etik
Keterampilan, menunjukkan kemampuan gerakan motorik untuk
mengekspresiakan hasil perpaduan pengetahuan dan sikap mentalnya. Dalam etika,
keterampilan etik adalah kemampuan melakukan gerakan motorik yang bernilai
baik-buruk secara moral.
Keterampilan etik berhubungan dengan pengetahuan etik dan sikap mental
etik. Jika pengetahuan etik ibarat kemudinya, sikap mental etik ibarat motornya,
dan keterampilan etik ibarat rodanya. Pengetahuan etik mengarahkan keterampilan,
sedangkan sikap mental etik menetapkan kemauan untuk menunjukkan
keterampilan dalam tindakan etisnya.

6. Manfaat Kompetensi Etik Aparatur Pemerintah


Setidak-tidaknya ada beberapa manfaat berikut yang dapat diperoleh dari
penggunaan kompetensi etik.
1) manfaat untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Setiap orang tentu
mengharapkan kehidupan yang bahagia, yakni kehidupan yang ditandai dengan
perasaan senang, gembira, cukup, puas, nyaman, aman, dan tenteram.
2) manfaat bagi pengembangan karier. Pada umumnya, para pegawai berharap
agar kariernya berkembang, karena dengan cara itu banyak hal positif yang
dapat diperolehnya.
3) manfaat bagi kesehatan diri. Pengetahuan etik yang memadai dapat
berpengaruh positif terhadap kesehatan mental dan jasmaninya. Karunia Tuhan
akan dapat banyak dinikmati oleh orang yang sehat.

12
4) manfaat bagi keadaan rumahtangganya. Bagi aparatur pemerintah yang
berkeluarga tentu akan merasa bahagia apabila rumah-tangganya tenteram,
nyaman, penuh kasih sayang dan selalu mendapat kucuran rahmat dari
Tuhannya.
5) manfaat bagi kehidupan sosial. Pembinaan Kompetensi Etik Aparatur
Pemerintah

7. Pembinaan Kompetensi Etik


Pembinaan kompetensi etik aparatur pemerintah setidak-tidaknya
dilakukan melalui 3 (tiga) kegiatan pokok yaitu :
1) Edukasi, Kompetensi etik dapat dimiliki oleh setiap pribadi aparatur
pemerintah dengan cara belajar dari kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
2) Penciptaan Iklim Etis, iklim etis adalah seperangkat pemahaman bersama
tentang perilaku yang benar dan bagaimana isu-isu keetikan ditangani. Iklim
etis atau kultur etis di instansi-instansi pemerintah sangat diperlukan untuk
membangun, menunjang atau memperkuat kepemilikan kompetensi etik
pribadi aparaturnya masing-masing.
3) Keteladanan Para Pimpinan Instansi Pemerintahan, Proses pendidikan dan
penciptaan iklim etis perlu ditunjang dengan komitmen yang kuat dari para
tokoh bangsa/pimpinan tiap instansi pemerintah untuk memberi contoh
keteladanan tentang bagaimana berperilaku etis.

13

Anda mungkin juga menyukai