Penulis : Prof. Dr. G.A. Van Poelje (Terjemahan Drs. B. Mang Reng Say)
Buku Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan yang dikarang oleh Prof. Dr. G.A Van
Poelje dianggap sebagai karya tulis pertama yang coba mendudukkan ilmu
pemerintahan sebagai sebuah ilmu yang mandiri. Ilmu pemerintahan menurutnya
adalah ilmu terapan (applied sciences), karena ilmu pemerintahan adalah ilmu
pengetahuan yang diterapkan maka ilmu pemerintahan harus bekerja dengan
bahan-bahan dari berbagai ilmu pengetahuan lain (hal ini berlaku sama untuk
semua ilmu pengetahuan yang bersifat ilmu terapan).
Ilmu pemerintahan membahas secara luas dan mendalam unsur manusia sebagai
bagian dari komunitas dalam struktur negara. Maka secara jelas disebutkan bahwa
pokok penelitian ilmu pemerintahan adalah di dinas umum (lembaga
pemerintahan) dalam arti kata yang seluas-luasnya. Ilmu pemerintahan adalah
ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memimpin hidup bersama manusia ke
arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara tidak
sah. Adapun kebahagiaan masyarakat itu dapat dibedakan dalam dua arti yang
pertama adalah kebahagiaan rohani dan yang kedua adalah kebahagiaan jasmani.
Untuk memperoleh kebahagiaan, maka masyarakat harus didorong untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti ketaatan kepada undang-undang dan
pembentukan budi pekerti. Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh
pemerintah guna menciptakan masyarakat yang taat pada undang-undang dan
memiliki budi pekerti adalah dengan menjamin dan menyediakan pelayanan guna
pelaksanaan pendidikan secara formal dan informal bagi seluruh masyarakat.
Pemerintahan itu pada dasarnya bersifat dinamis sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan artinya kecenderungan struktur-struktur pemerintahan itu dapat
berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan pemerintahan itu sendiri. Dalam
perkembangan negara, kita bisa melihat terbentuknya departemen-departemen
atau kementerian-kementerian pemerintahan yang masing-masing merupakan
lembaga yang secara administratif bekerja secara mandiri. Sistem pemerintahan
pun juga cenderung berubah dari yang pada awalnya bersifat sentralistik berubah
menjadi sistem pemerintahan yang yang terdesentralisasi. Perubahan sistem dari
sentralistik menjadi desentralisasi paling utama dipengaruhi oleh kemampuan dari
pemerintah khususnya yang berada di tingkat pusat untuk melaksanakan semua
urusan sendiri oleh karena itu di perlukan pemerintahan yang berada di level lebih
bawah untuk membantu pemerintah yang ada di pusat menyelesaikan tugas-
tugasnya. Hal ini membuktikan bahwa pemerintahan pada dasarnya bersifat
dinamis sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam buku ini juga membahas terkait dengan etika pemerintahan. Etika
pemerintahan dan lebih mengarah pada etika profesi pegawai atau birokrat yang
menjalankan tugas pemerintahan. Ada beberapa tuntutan yang wajib dipenuhi
oleh pemerintah terhadap rakyat yaitu: kejujuran, konsekuensi, kejelasan, tidak
korupsi, profesional, patuh terhadap norma-norma etik. Dibahas pula terkait
teknik pemerintahan yang lebih mengarah pada pengambilan keputusan.
Disebutkan bahwa teknik pemerintahan yang baik menurut Van Poelje antara lain:
Penulis : Mc Iver
Buku jaring-jaring pemerintahan karya Mac iver dianggap sebagai salah satu karya
besar yang coba untuk memposisikan kedudukan ilmu pemerintahan sebagai
sebuah ilmu yang mandiri. Buku ini terdiri dari 13 bab yang terbagi menjadi 5
bagian (jilid 1 dan 2), pada bagian awal menguraikan bagaimana pemerintahan
sebagai kebutuhan dasar manusia sangat diperlukan dalam upaya menciptakan
keteraturan dan ketertiban dalam hubungan dan interaksi antar manusia. Mc Iver
coba keluar dari kungkungan terkait apakah pemerintahan itu sebagai suatu ilmu
atau hanya suatu seni saja karena menurutnya sangat banyak hal yang harus
dipelajari tentang pemerintahan dan kajian tentang pemerintahan itu tidak akan
pernah mencapai titik jenuh seiring dengan dinamika kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial yang terus bergerak.
Sejak awal keberadaan manusia di muka bumi maka manusia telah melakukan
banyak penemuan-penemuan yang menjadikan dirinya sebagai makhluk terkuat
yang menguasai bumi. Penemuan-penemuan manusia itu terbagi atas dua
kelompok yaitu teknik dan mitos. Teknik adalah segala macam alat dan
keterampilan yang memungkinkan manusia untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi termasuk untuk memenuhi segala kebutuhannya sedangkan mitos ialah
kepercayaan-kepercayaan yang mengandung nilai dan gagasan yang dimiliki
manusia untuk mereka hidup atau untuk memerintah hidup mereka. Setiap
masyarakat dipersatukan oleh sistem mitos ini. Suatu bentuk pemikiran yang
berpengaruh dan kompleks yang menentukan dan memberi hidup pada semua
aktivitas dalam hubungan sosial.
Pada akhirnya Mac iver merumuskan bahwa pemerintahan adalah suatu gejala
yang muncul dalam kehidupan sosial, sifat sosial manusia adalah suatu sistem
respon dan kebutuhan yang kompleks dalam hubungan antara manusia dengan
manusia di mana saja akan selalu terdapat bibit-bibit pemerintahan. Bibit
pemerintahan ini mengambil bentuk lembaga yang berbeda-beda sesuai dengan
kadar pengaruh-mempengaruhi yang terdapat dalam hubungan tadi. Kadang-
kadang dalam masyarakat yang paling sederhana tidak terdapat menteri-menteri
ataupun badan-badan tetapi masyarakat itu dipertahankan oleh reaksi spontan
mitos rakyat yang masih hidup. Dimanapun manusia hidup di atas dunia ini pada
tahap eksistensi manapun selalu ada ketertiban sosial dan selalu pula keadaan ini
menyelinapkan sejenis pemerintahan sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa
pemerintahan adalah suatu aspek dalam sistem sosial masyarakat.
Mc Iver merumuskan bahwa ada tiga unsur yang menjadi bagian utama
terlaksananya pemerintahan yaitu kekuasaan, status dan harta benda yang
kemudian disebut sebagai trinitas yang memimpin pemerintahan. Kekuasaan
dipandang sebagai kapasitas dalam hubungan manapun untuk meminta pelayanan
atau kerelaan orang lain yang dapat diperoleh melalui berbagai cara dan sumber.
kekuasaan menurut Mc Iver digambarkan dalam 3 bentuk piramida kekuasaanya
yaitu piramida tipe kasta, tipe oligarki dan tipe demokrasi yang kesemuanya
membagi kekuasaan berdasarkan struktur-struktur/kelas-kelas yang terpisah
dengan tingkat kekuasaanya masing-masing. kelas yang berada dibagian bawah
piramida cenderung memiliki kekuatan atas kekuasaan yang rendah, dan yang
berada dipuncak piramida adalah kelas dengan kekuasaan yang kuat.
Unsur ketiga adalah harta kekayaan. Kekayaan menurut Mac iver adalah
kepemilikan atas sumber daya termasuk di dalamnya adalah hak untuk
mengawasi, mengeksploitir, menggunakan dan menikmati kekayaan dan
kepemilikan sumber daya tersebut. Bahkan John Locke mengklaim bahwa manusia
mendirikan pemerintahan untuk menjaga dan melindungi harta kekayaannya.
Identifikasi harta kekayaan dengan pemerintahan mungkin ditemukan dalam suatu
bentuk feodalisme abad pertengahan dimana tingkat kepemilikan atas lahan akan
menentukan tingkat kekuasaan seseorang sedangkan mereka yang tidak memiliki
lahan dan hanya sebagai pengolah tanah saja mau tidak mau akan tunduk dan
patuh pada perintah dari para pemilik tanah tempat mereka bekerja.
Buku Kybernology karya Taliziduhu Ndraha dianggap sebagai salah satu karya
fenomenal dalam pengembangan ilmu pemerintahan khususnya ilmu
pemerintahan di Indonesia. Buku ini terdiri dari 38 bahasan yang terbagi menjadi
2 jilid buku.
Dalam buku kybernology ini secara jelas dipisahkan antara yang diperintah
(Reinventing People) dengan pemerintah (Reinventing Government) yang
kemudian pola interaksi antara yang diperintah dengan pemerintah inilah yang
kemudian menjadi hubungan pemerintahan. Yang diperintah (Reinventing People)
terdiri dari berbagai macam definisi baik itu makhluk, manusia, orang, penduduk,
warga masyarakat, civil society, warga bangsa, rakyat, warga negara, pemerintah
sebagai bagian integral yang diperintah, pelanggan, consumer, dan yang
diperintahkan sebagai sosok berparadigma jamak. Sebagai yang diperintah
(Reinventing People), unsur-unsur tersebut tentunya memiliki kebutuhan yang
menciptakan atau melahirkan tuntutan dari yang diperintah kepada pemerintah.
Tuntutan yang diperintah itu didefinisikan menjadi kebutuhan manusia, barang
dan jasa, layanan, layanan Civil, kepedulian, reinventing product, pelayanan
hukum, jasa publik dan layanan Civil yang kemudian mengarah pada pelayanan
yang diperoleh dari pemerintah atas tuntutan tuntutan tersebut.
Pada tahap pertama gejala pemerintahan sebagai objek material yang dikaji
melalui sudut pandang dan metodologi ilmu yang ada di masa itu itu seperti ilmu
hukum, ilmu politik, sosiologi, ilmu ekonomi dan lain-lain. Pendekatan ini disebut
dengan pendekatan multidisiplin karena masalah pemerintahan pada fase ini
dipelajari dan dipecahkan oleh berbagai disiplin baik secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama
Pada tahap kedua terbentuklah kelompok nilai-nilai pemerintahan yang di
konstruksi dari konsep-konsep sumbangan berbagai disiplin ilmu lain, maka
terbentuklah sebuah bahan-bahan ajaran baru yang bersifat ideografik-normatif
seperti Karya G.A. Van Poelje. Ilmu pemerintahan pada tahap ini berstatus sebagai
ilmu pengetahuan terapan yang bahan-bahan ajarannya dianggap sebagai ilmu
pemerintahan generasi pertama yang berkembang melalui pendekatan
monodisiplin
Pada tahap ketiga berbagai anggapan dasar tentang ilmu pemerintahan dibangun
titik berdasarkan anggapan dasar tersebut ilmu pemerintahan berangsur-angsur
membedakan dirinya dengan disiplin lain dan menegakkan identitasnya sendiri
sebagai monodisiplin artinya ilmu pemerintahan membebaskan dirinya dari
bayang-bayang ilmu lain seperti Ilmu Politik, Ilmu Hukum, dan Ilmu Administrasi
Negara dan semakin akrab dengan Ilmu Ekonomi. Pada tahap ini ilmu
pemerintahan disebut sebagai ilmu pemerintahan generasi kedua yang sudah
mampu menyusun berbagai anggapan dasar dalam bentuk metodologi ilmu
pemerintahan. Pada tahap ini ilmu pemerintahan an mendefinisikan dirinya dan
membangun objek formalnya sendiri (bestuurswetenschappen)
Pada tahap keempat terjadi interaksi antara ilmu pemerintahan dengan disiplin
lainnya atau interdisiplin dalam mengkaji gejala pemerintahan. Terjadi proses
saling meminjam konsep, variabel, teori, dan metodologi sehingga ilmu
pemerintahan semakin diperkaya. Dilihat dari sudut ontologi kondisi ini adalah
transisi atau jembatan menuju proses hybridizing.
Pada tahap kelima gejala pemerintahan dikaji oleh sejumlah disiplin ilmu
pengetahuan menjadi spesialisasi masing-masing. Ilmu pengetahuan lain bergerak
dari objek formalnya melintasi objek formal ilmu pemerintahan, titik inilah terjadi
pendekatan lintas-transdisiplin. Pada saat ini ilmu pemerintahan berkembang
membentuk sebuah masyarakat ilmu-ilmu pemerintahan (bestuurwetenschappen)
Tahap keenam, metodologi ilmu pemerintahan digunakan oleh ilmu-ilmu lain
sebagaimana ilmu pemerintahan menggunakan metodologi ilmu ilmu lain juga.
Titik sinergi antara ilmu pemerintahan dengan ilmu tertentu terbentuk dalam 4
model
Resume Buku : Makna Pemerintahan (Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan)
Buku yang ditulis oleh M. Ryas Rasyid ini pada bagian awal menguraikan makna
penting hadirnya pemerintahan, bahwa pemerintahan adalah sebuah kebutuhan
terlepas dari pandangan yang mengatakan bahwa apakah pemerintah harus
mempunyai kekuatan untuk mengatur semua urusan masyarakat ataukah
pemerintah cukup mengatur hal-hal yang sifatnya publik tanpa harus terlalu jau
masuk pada ranah privat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran
pemerintah dibutuhkan jika ingin menciptakan keteraturan karena hanya dengan
kekuatan pemerintahlah hukum dapat ditegakkan.
Pada dasarnya buku ini coba menguraikan secara lebih mendalam bagaimana
kedudukan pemerintahan jika dikaitkan dengan kekuasaan khususnya dalam sistem
demokrasi. Prinsip-prinsip yang relevan dibahas dalam konteks pemerintahan
demokrasi yang ada dalam buku ini terkait pemisahan kekuasaan, supremasi
hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum serta kesederajatan dan kebebasan.
Hal yang paling substansial yang dibahas dalam buku ini adalah berkaitan dengan
etika dalam praktik pemerintahan atau etika pemerintahan. Menurut Ryaas Rasyid
etika pemerintahan termasuk dalam lingkup etika praktis yang artinya etika pada
dasarnya berkenaan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan
bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang profesional. Nilai-nilai etika yang
hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat profesi bukanlah sekedar menjadi
keyakinan pribadi para anggotanya tetapi juga menjadi seperangkat norma yang
terlembagakan. Tugas pokok pemerintahan dapat diringkas menjadi tiga fungsi
yang hakiki yaitu pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan. Dipandang dari
kacamata etika keberhasilan seseorang dalam memimpin pemerintahan harus
diukur dari kemampuannya mengemban tiga fungsi yang hakiki tersebut. Etika
pemerintahan tidaklah berdiri sendiriakan tetapi terjalin erat norma dan hukum.
Oleh karena itu pemerintahan yang bersih segala tingkah laku dan kebijakannya
berangkat dari komitmen moral yang kuat hanya bisa diharapkan dalam negara
hukum. Dalam penyelenggaraan pemerintahan interkoneksi antara administrasi
konstitusi (hukum) dan politik itu menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
Pemerintahan dalam sistem yang demokratis memang dimulai dengan politik
dilandasi oleh hukum dan dieksekusi melalui administrasi. Namun tidak bisa
dipungkiri dalam pelaksanaan pemerintahan dan akan terjadi kekacauan koneksi
dan ketegangan antara unsur politik, hukum dan administrasi. Oleh karena itu
peran etika pemerintahan menjadi sangat penting untuk mengatasi ketegangan
karena terjadinya kekacauan koneksi tersebut. (Rasyid, 2009)
Resume Buku : Perkembangan Ilmu Pemerintahan (Dari Klasik Sampai Ke
Kontemporer)
Buku ini terdiri dari 5 Bab yang secara keseluruhan menguraikan secara lengkap
kedudukan ilmu pemerintahan terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya dan bagaimana
sejarah perkembangan ilmu pemerintahan termasuk kontroversi yang lahir
bersamaan dengan eksistensi dari ilmu pemerintahan khususnya berbagai macam
kritikan dari ahli-ahli ilmu sosial yang kerap menganggap bahwa secara ontologis,
epistimologis dan aksiologis ilmu pemerintahan cenderung kabur dan tidak dapat
memisahkan diri dari ilmu-ilmu sosial lainnya khususnya ilmu politik dan ilmu
administrasi.
Pada bagian awal dari buku ini coba menghadirkan bagaimana cara pandang
dalam melihat ilmu-ilmu sosial termasuk dalam melihat ilmu pemerintahan. Cara
pandang yang dimaksud adalah cara pandang dalam mempelajari gejala dan
peristiwa sosial yang menyangkut individu, kelompok, masyarakat maupun
bangsa. Cara pandang tersebut terbagi menjadi dua bentuk yaitu cara pandang
yang idiografik dan nomotetik.
Cara pandang idiografik dianggap bersifat lokal dan sangat kontekstual hal ini
karena cara pandang idiografik cenderung fokus pada kasus-kasus individual atau
kelompok tertentu pada suatu lokasi tertentu secara terperinci dan mendalam.
Akan tetapi kesimpulan atas analisa dari kasus tersebut belum tentu bisa digunakan
untuk menggambarkan kondisi/kasus sejenis ditempat dan waktu yang berbeda.
Ilmu-ilmu sosial sangat lama larut dan tenggelam dalam menggunakan cara
pandang idiografik dalam menguraikan sebuah masalah, hal inilah yang
menyebabkan ilmu-ilmu sosial dianggap ilmu yang cenderung kuno dan tidak
menarik, hal ini disebabkan karena keterbatasan alat komunikasi untuk
membandingkan suatu kasus dengan kasus lain sehingga ruang analisa dan
kesimpulan yang diperoleh ilmu-ilmu sosial atas sebuah kasus atau fenomena yang
diteliti terbatas. Keterbatasan inilah yang melahirkan prinsip cateris paribus yang
melahirkan cara pandang kedua.
Cara pandang kedua adalah cara pandang nomotetik yang memungkinkan untuk
memahami sebuah gejala dan peristiwa sosial secara umum sehingga dapat ditarik
kesimpulan secara meluas yang berarti bisa diterapkan secara umum. Syarat utama
yang diperlukan dalam menerapkan cara pandang nomotetik adalah penggunaan
prinsip cateris paribus yakni faktor-faktor relevan yang mempengaruhi suatu gejala
atau fenomena sosial namun tidak diamati dalam sebuah penelitian dianggap
bersifat tetap atau konstan. Hal ini karena objek penelitian pada ilmu sosial adalah
manusia yang memiliki sifat dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai macam nilai.
Pada akhir buku ini diuraikan pula bagaimana perubahan paradigma dari
paradigma partikularisme (yang hanya menggunakan konsep skala lokal) menuju
paradigma universalisme (menggunakan fenomena mondial sebagai pembanding).
Perkembangan dalam paradigma ilmu pemerintahan dari beberapa sudut pandang
birokrasi (model lama) menjadi paradigma dari sudut pandang warganegara
(model baru) dan yang mengarahkan pemerintahan pada pemerintahan kelas
dunia. Pendekatan kelas dunia bisa dilaksanakan dengan menggunakan lima
pendekatan yaitu:
Buku ini terbagi menjadi tujuh bagian dengan pembahasan pada bagian awal fokus
pada makna dan fungsi pemeritahan dimana konsep pemerintahan telah banyak
mengalami perubahan makna dan bentuk akan tetapi secara fungsi tetap sama
yakni sebagai alat untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban guna tercapainya
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Konsep pemerintahan saat ini menurut
Muchlis Hamdi mengarah pada konsep good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik) dengan berbagai macam konsep dan indikator yang
diungkapkan oleh para ahli/lembaga.
Memahami konsep good governance dapat dimulai dari memahami perbadaan
konsep government dan governance. Government mengarah pada perangkat
institusi sedangkan governance berfokus pada sistem, sehingga good governance
adalah tingkat lanjutan dari good government dalam arti lain sistem pemerintahan
yang baik tidak akan pernah terwujud tanpa terbentuknya struktur institusi
pemerintahan yang baik, struktur institusi pemerintahan ini tentunya merujuk pada
organisasi yang efektif dan efisien dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Namun
institusi yang efektif dan efisien ini tidak serta merta mampu menciptakan sistem
pemerintahan yang baik utamanya dalam upaya menciptakan masyarakat yang
sejahter dan berdaulat, akan tetapi diperlukan unsur lain khususnya yang berkaitan
dengan terbukanya partisipasi dari aktor diluar pemerintah seperti sektor swasta
dan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh karena itu syarat
selanjutnya dari terciptanya good governance adalah sistem politik yang
demokratis yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan.
Pada bagian lain buku ini membahas etika dan ekologi pemerintahan sebagai dua
unsur pemerintahan yang berjalan beriringan. Etika dipandang sebagai ukuran atau
standar kepatutan prilaku atau tindakan baik secara individu maupun profesional
sehingga etika pemerintahan merupakan ukuran kepatutan dalam
penyelenggaraan pemerintahan termasuk kepatutan prilaku dan tindakan aparat
pemerintahan dalam upaya mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan ekologi pemerintahan dapat dipahami sebagai lingkungan baik yang
bersifat fisik maupun non fisik yang memberikan dampak dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah tentunya merupakan
respon atas lingkungan (ekologis) yang ada disekitarnya, sehingga sebuah
kebijakan pemerintah dapat dikatakan memberikan dampak apabila mampu
memberikan perubahan terhadap lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu
diperlukan sebuah pemerintahan yang mampu megidentifikasi dan merespons
kondisi lingkungannya dan mampu merumuskan tindakan dan hubungan yang
tepat dalam upaya memelihara dan mengembangkan keberadaannya.
Membahas tentang sistem pemerintahan maka tidak sah rasanya jika tidak
membahas tentang demokrasi dan pembagian kewenangan khususnya
desentralisasi. Muchlis Hamdi juga menempatkan pembahasan terkait demokrasi
dan desentralisasi dalam buku ini. Demokrasi sebagai sistem politik yang dianut
pada negara-negara yang menempatkan rakyat sebagai titik puncak dari kekuasaan
dimana negara wajib memberikan jaminan terhadap terpenuhinya hak-hak dasar
masyarakat sebagai warga negara. Pilihan untuk menjadi negara demokratis secara
langsung juga akan membentuk tatanan sistem politik guna menunjang
tercapainya nilai-nilai demokratisasi. Unsur politik ini minimal memiliki
infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Dimana infrastruktur politik menjadi
wadah untuk menangkap, mengetahui dan penyaluran keinginan (aspirasi) rakyat
sedangkan suprastruktur politik merupakan alat untuk mewujudkan aspirasi rakyat
tersebut dalam bentuk lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Desentralisasi baik dalam arti administratif maupun politik secara keras menutup
kemungkinan adanya negara dalam negara, artinya desentralisasi harus selalu
dipahami secara hierarkis berbentuk piramida tingkatan-tingkatan kekuasaan yang
mengalir dari atas kebawah, karenanya tidak ada pemerintahan daerah yang
sepenuhnya berpemerintahan sendiri. Pemerintah daerah tidak mempunyai
kekuasaan atau kewenangan selain yang diberikan padanya oleh pemerintah pusat
atau dengan kata lain pelimpahan wewenangan dari pemerintah pusat kepada
daerah baik itu yang kewenangan pemerintah daerah yang disebutkan secara
terperinci maupun secara umum. (Hamdi, 2002)
Dunia saat ini berada di ambang gelombang ekonomi baru yang ditandai oleh
pesatnya pertumbuhan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan industri
berbasis produk budaya hal ini mengisyaratkan bahwa kelak negara yang berada
di puncak piramida kemakmuran adalah negara yang memelihara pertumbuhan
kualitas sumber daya manusia dan kreatif budaya yang berbasis unggulan. Oleh
karena itu dalam upaya membawa pemerintahan Indonesia memasuki
pertumbuhan baik secara ekonomi maupun sosial politik maka pemerintah harus
mengambil peran-peran dalam upaya memperbaiki tata kelola pemerintahan dan
untuk itu dibutuhkan reformasi birokrasi dalam pemerintahan yang ditunjang
dengan sosok-sosok pemimpin yang berkualitas.
Salah satu upaya untuk menganalisa tata kelola pemerintahan yang baik menurut
Prof. Ermaya Suradinata dapat dilakukan tidak hanya dengan menggunakan
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities dan Threats), dalam
pengelolaan pemerintahan di Indonesia bisa diukur menggunakan analisis ASOCA
yaitu Ability (kemampuan), Strength (kekuatan), Opportunities (peluang), Culture
(budaya) dan Agility (kecerdasan). Analisis ASOCA menambahkan unsur culture
(budaya) dan agility (kecerdasan) sebagai unsur yang penting dalam menentukan
strategi pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan dapat dikembangkan
dalam mengikuti perubahan, perkembangan zaman dan kebutuhan
Ability (kemampuan). Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa,
bisa atau sanggup melakukan sesuatu, dapat juga orang yang berada atau kaya,
mempunyai harta berlebih. Kemampuan juga dapat diartikan kesanggupan,
kecakapan, kemampuan diri sendiri
Opportunity (peluang). Peluang berarti ruang gerak, baik yang bersifat konkrit
maupun abstrak dan memberikan kesempatan/kemungkinan untuk melakukan
kegiatan yang bermanfaat bagi usaha untuk mencapai cita-cita, tujuan dan
program .
Culture (budaya). Budaya merupakan adat istiadat dan sesuatu yang mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang beradab atau maju atau sesuatu yang
menjadi kebiasaan yang sulit diubah karena kesepakatan dalam lingkungan
tertentu yang terus-menerus dipelihara, dengan budaya orang akan maju dan
modern dan selalu hidup pada zamannya.
Agility (kecerdasan). Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang berarti sempurna
perkembangan akal budi, tajam pikiran, kesempurnaan dalam pertumbuhannya,
kesempurnaan akal budinya, ketajaman pikiran dan kepandaian. kemampuan saja
tidak cukup, harus dengan kecerdasan dalam mengolah pikir, menganalisis suatu
informasi untuk dijadikan bahan putusan.
Dalam analisis ASOCA juga dilakukan Analisa terhadap lingkungan internal dan
eksternal. Analisis lingkungan internal (Ability, Strength, Agility) terdiri dari
manajemen sumberdaya, tersedianya dana penunjang kegiatan, tersedianya sarana
dan prasarana, sistem informasi dan capacity building. Sedangkan analisis
lingkungan eksternal (Oppurtunities, Culture) terdiri dari faktor ekonomi, faktor
sosial dan faktor teknologi.
Konsep ASOCA ini secara keilmuan menambah khazanah dalam mengukur proses
tata kelola pemerintahan, hanya saja konsep ASOCA yang diuraikan ini
menggunakan pendekatan kualitatif dalam penerapannya dan belum dijelaskan
secara teknis bagaimana perbandingan bobot antara masing-masing indikator.
Padahal sebenarnya dengan menentukan bobot dari masing-masing indikator
maka proses analisa tata kelola pemerintahan dengan faktor-faktor yang sangat
kompleks ini bisa lebih mudah dilakukan dan ditentukan hubungan antara satu
indikator dengan indikator lainnya. Pengembangan konsep ASOCA ini dapat
dilakukan sehingga analisanya tidak hanya dilakukan secara kualitatif saja namun
bisa juga menggunakan metode kuantitatif melalui penentuan skor/bobot dari
masing-masing indikator dan perbandingan antara indikator internal dan eksternal.
(Suradinata, 2016)
Referensi