OLEH:
PASHYALIA APRIANI
NIM. E1031221020
❖ TEORI POLITIK
Teori selalu memakai konsep-konsep oleh karena itu bersifat
abstrak. Konsep merupakan hal penting agar kita dapat mengerti hal yang
ada di dunia sekeliling. Konsep merupakan abstraksi beberapa fenomena
atau karakteristik yang mencerminkan tanggapan mengenai fakta.
Konsep dapat ditata dan dirumuskan generalisasinya. Generalisasi
adalah proses suatu observasi tentang satu fenomena yang berkembang
menjadi beberapa fenomena. Dengan konsep, generalisasi melihat
hubungan kausalitas beberapa fenomena.
Generalisasi tertinggi adalah teori. Teori politik merupakan
bahasan dan pandangan mengenai:
a. Tujuan dari kegiatan politik
b. Cara-cara mencapai tujuan itu
c. Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang
ditimbulkan oleh situasi politik tertentu
d. Kewajiban-kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan
politik itu
Hal yang dibahas dalam konsep teori politik, yaitu masyarakat,
kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban,
kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial,
pembangunan politik, modernisasi, dan lain sebagainya. Menurut
Thomas P. Jenkin dalam ‘The Study of Political Theory’ teori politik
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Teori yang mempunyai dasar moral
b. Teori yang membahas fenomena dan fakta politik dengan tidak
mempersoalkan norma
Teori kelompok A dapat dibagi menjadi 3 sebagai berikut.
- Filsafat Politik
Filsafat Politik mencari penjelasan berdasarkan rasio yang
terdapat hubungan antaran sifat dan hakikat alam semesta.
- Teori Politik Sistematis (sistematic political theory)
Teori ini mendasarkan atas hal-hal yang sudah umum diterima
pada masa itu mengenai hukum alam tetapi tidak mempersoalkan
tentang hukum alam itu dan tidak menjelaskan tentang asal usul
norma.
- Ideologi Politik
Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, ide-ide atau norma-
norma, kepercayaan atau keyakinan seseorang atas sikapnya
terhadap kejadian atau problematika.
❖ MASYARAKAT
Robet M. Mclver mengatakan: “Masyarakat adalah suatu sistem
hubungan-hubungan yang ditata (Society means a system of ordered
relations)”. Tiap masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain karena
adanya faktor budaya, agama, dan/atau etinis.
Semua ilmu sosial mempelajari manusia sebagai anggota
kelompok. Kelompok bisa terbentuk karena adanya pertentangan antara
satu sama lain. Dalam mengamati masyarakat di sekelilingnya (barat),
Harlod Laswell merinci 8 nilai, yaitu:
1. Kekuasaan
2. Kekayaan
3. Penghormatan
4. Kesehatan
5. Kejujuran
6. Keterampilan
7. Pendidikan/Penerangan
8. Kasih Sayang
❖ NEGARA
Negara merupakan alat untuk mengkoordinir kekuasaan dan hal-
hal yang mengenai politik. Dalam hal ini dapat dikatakan negara
mempunyai 2 tugas, yaitu:
a. Mengkoordinir hal-hal kekuasaan yang bertentangan
b. Menentukan bagaimana kegiatan asosiasi masyarakat agar mencapai
tujuan nasional.
2. Sifat-Sifat Negara
Negara kita mempunyai 3 sifat, yaitu:
a. Sifat Memaksa
Maksud dari sifat memaksa ini yaitu agar segala peraturan
perundang-undangan di patuhi oleh seluruh masyarakat. Sifat
memaksa ini tentunya sudah di legalkan tetapi tetap pada batas
aturan yang sewajarnya.
b. Sifat Monopoli
Sifat monopoli ini berarti hanya ada satu sistem yang
digunakan sesuai ketetapan negara. Aliran kepercayaan atau
aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan karena
dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
c. Sifat Mencakup Semua
Artinya segala peraturan yang ada itu berlaku untuk semua
masyarakat tanpa terkecuali
3. Unsur-Unsur Negara
Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
a. Wilayah
Wilayah dalam suatu negara ialah yang mencakup tanah dan
juga perairan. Hal yang perlu diperhatikan negara menyangkut
wilayah adalah ukuran, iklim, dan perbatasan.
b. Penduduk
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah
jumlah penduduk, tingkat pembangunan, tingkat kecerdasan,
homogenitas, dan masalah nasionalisme. Ucapan seorang filsuf
Prancis Ernest Renan: “Pemersatu bangsa bukanlah kesamaan
bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil
gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapainya
lagi dimasa depan”.
c. Pemerintah
Pemerintah ialah yang akan mengatur dan membuat keputusan
bagaimana suatu negara tersebut dijalankan. Keputusan-
keputusan yang dibuat tetap berpacu pada Undang-Undang dan
peraturan lainnya.
d. Kedaulatan
Kekuasaan tertinggi ialah kedaulatan untuk membuat serta
melaksanakan perundang undangan bagi semua masyarakat
baik itu bersifat memaksa.
❖ KONSEP KEKUASAAN
1. Definisi
Kekuasaan ada konsep politik yang banyak di bahas. Kekuasaan
biasanya diselengarakan dalam isyarat jelas yang dinamakan
kekuasaan manifes, Contoh dari kekuasaan manifes yaitu pihak
berwajib menindaklanjuti seseorang yang melanggar aturan (sudah
terjadi). Adapula kekuasaan implisit, contohnya seseorang yang
membatalkan rencana karena untuk menghindari hal buruk terjadi
(belum terjadi; mencegah).
Cara menyelengarakan kekuasaan itu berbeda-beda, ada yang
melakukan dengan kekerasan fisik dan koersi (ancaman berupa
sanksi). Adapula dengan cara lunak, seperti persuasi (meyakinkan,
beragumentasi, imbalan atau kompensasi yang positif.
2. Sumber Kekuasaan
Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kepercayaan, atau
kekayaan. Ada dua istilah yang menyangkut konsep diantaranya ialah
scope of power (cakupan kekuasaan) yang memiliki kekuasaan atas
seseorang yang masih terikat, contohnya seperti guru dan kepala
sekolah. Kemudian istilah yang kedua adalah domain of power
(wilayah kekuasaan) yang memiliki kekuasaan atas banyak orang yang
berkaitan, contohnya seperti sekolah-sekolah dan dinas pendidikan.
❖ Talcott Parsons
Dalam perumusan Talcott Parsons, ia mengatakan:
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya
kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan
dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah
jika menyangkut tujuan tujuan kolektif. Jika ada perlawanan,
maka pemaksaan melalui sanksi sanksi negatif dianggap wajar,
terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.
3. Pengaruh
Suatu konsep yang dibahas bersamaan dengan kekuasaaan
dinamakan pengaruh. Pengaruh biasanya tidak merupakan satu-satunya
faktor yang menentukan perilaku seseorang. Mengenai hal ini banyak
ahli yang memiliki perbedaan pendapat sebagai berikut.
a. Floyd Hunter, Carl Friedrich: Kekuasaan merupakan pengertian
pokok, dan pengaruh bentuk khususnya.
b. Laswell dan Kaplan: Pengaruh sebagai konsep pokok dan
kekuasaan sebagai bentuk khas dari pengaruh.
c. Norman Barry: Pengaruh adalah tipe kekuasaan yang jika
seseorang dipengaruhi akan bertindak.
d. Robert Dahl: A mempunyai kekuasaan atas B.
BAB III
BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK
❖ PENGANTAR
Ilmu politik mengalami perkembangan pesat yang ditandai dengan
pendekatan yang beragam. Kemudian pendekatan lain muncul dan
berkembang, seperti pilihan rasional, teori ketergantungan, dan
institusionalisme. Mengamati aktivitas politik dapat dilakukan dengan cara
yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang dan kerangka acuan
yang digunakan. Vernon van Dyke mengatakan bahwa: ”Suatu pendekatan
(approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang
relevan.”
❖ PENDEKATAN
1. Pendekatan legal/institusional
Pendekatan legal/institusional sering disebut pendekatan
tradisional yang berkembang pada abad ke-19 sebelum perang. Diskusi
tradisional meliputi sifat konstitusi, masalah kedaulatan, posisi hukum,
formal dan kekuasaan lembaga negara seperti, parlemen, badan
eksekutif dan yudikatif.
Peneliti tradisional tidak mengkaji apakah lembaga benar-benar
berdiri dan berfungsi sebagaimana dirumuskan dalam teks-teks resmi,
apalagi mempertimbangkan mengapa ada antara struktur formal dan
fenomena yang dapat diamati dalam praktik. Selain itu dalam proses
diskusi fakta sulit dibedakan dengan norma. Dengan demikian orang
dapat memahami bahwa pendekatan itu tidak menawarkan pembentuk
teori baru.
Sementara itu, pada pertengahan 1930-an, banyak orang di
Amerika Serikat mulai berpendapat bahwa politik adalah sebagai
aktivitas atau suatu proses, dan sebagai sarana perjuangan untuk
kekuasaan antar kelompok dalam masyarakat.
Di Amerika, visi baru ini memang lebih bisa diterima karena
situasi sosialnya sangat berbeda dengan situsi di Eropa. Namun,
penelitian tentang kekuasaan dalam praktiknya sangat sulit dilakukan
dan tidak berkembang pada saat itu. Perpisahan dengan pendekatan
tradisional terjadi dengan pendekatan perilaku.
2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika
pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab
kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat deskriptif dari
ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan
sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran
bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan
dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan
tokohnya Max Weber dan Talcott.
Salah satu gagasan utama dari pendekatan perilaku adalah bahwa
tidak ada gunanya membahas lembaga formal, karena tidak
memberikan banyak informasi tentang proses politik. Disis lain, lebih
berguna untuk mempelajari perilaku karena itu adalah fenomena yang
benar-benar dapat diamati.
Pendekatan ini tidak menganggap institusi formal sebagai titik
fokus atau sebagai titik independen, tetapi hanya kerangka kerja untuk
aktivitas manusia. Mereka umumnya tidak hanya memeriksa perilaku
dan keterampilan manusia, tetapi juga orientasi mereka terhadap
kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, presepsi, evaluasi, harapan
dan lain sebagainya.
Di samping itu, pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas
yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih
mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep
pokok, yang oleh David Easton (1962) dan Albert Somit (1967),
diuraikan sebagai berikut.
a. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang perlu
dirumuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian
dibuktikan atau diveriikasi kebenarannya. Proses verifikasi ini
dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data yang dapat
diukur atau dikuantifikasikan antara lain melalui statistik dan
matematika.
b. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau
standar sebagai pedoman untuk perilaku) dan fakta (sesuatu yang
dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman).
c. Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si
peneliti; setiap analisis harus bebas-nilai (valuefree), sebab
benar/tidaknya nilai-nilai seperti misalnya demokrasi, persamaan,
kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
d. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory
building).
e. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science); kajian terapan
untuk mencari penyelesaian masalah (problem solving) dan
menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan. Akan tetapi ilmu
politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu
lainnya.
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah
pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem
sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi
subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian-bagiannya
saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja
sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.
Sistem mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha
mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dengan
demikian sistem dapat bertahan.
Salah satu pelopor Pendekatan Perilaku ini ialah Gabriel
Abraham, di samping sarjana seperti David Easton, Karl Deutsch,
Robert Dahl, dan David Apter. Gabriel Almond berpendapat
bahwa semua sistem mempunyai struktur dan unsur-unsur dari
struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Sistem politik
menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi masukan dan keluaran.
Keduanya terpengaruh oleh sifat dan kecenderungan para aktor
politik. Kemudian dalam perkembangannya Almond mengubah
istilahnya menjadi tiga fungsi, yakni fungsi kapasitas, fungsi
konversi dan pemeliharaan serta fungsi adapsi.
Ia mengutarakan bahwa dalam suatu sistem politik selalu
ada suatu aliran terus-menerus dari input ke output dan bolak-balik.
Input terdiri atas tuntutan dan dukungan yang berasal dari
lingkungan. Output ini kembali lagi ke lingkungan melalui suatu
lingkaran umpan balik dan ini menjadi input baru bagi sistem
politik. Selalu terjadi suatu proses mencari keseimbangan . Proses
ini terus berlanjut dan sistem politik dapat bertahan , melalui suatu
proses yang dinamis. Para structural-functionalists berpendapat
bahwa, sekalipun berbagai sistem politik berbeda satu sama lain
dalam cara mengatur institusi, tetapi ada fungsi-fungsi tertentu
yang diselenggarakan dalam setiap sistem politik. Hal ini
memudahkan para peneliti untuk juga mempelajari kegiatan dan
kehidupan politik di negara-negara berkembang yang masing-
masing berbeda sejarah perkembangan, latar belakang
kebudayaan, dan ideologinya.
❖ Kritik Terhadap Pendekatan Perilaku
Dalam perkembangannya, pendekatan perilaku tidak luput
dari kritik berbagai pihak, termasuk kaum tradisional, kaum
yang menganut pendekatan perilaku tersebut, dan juga kaun
neo-Marxis. Kaum tradisional sebelumnya menjadi sasaran
utama perilaku tampaknya tidak mau kalah dan membela diri.
Juga dilontarkan kritik bahwa Pendekatan Perilaku tidak
mempunyai relevansi dengan realitas politik dan terlalu banyak
memusatkan perhatian pada masalah yang kurang
penting, seperti survei mengenai perilaku pemilih, sikap
politik, dan pendapat umum. Secara sinis dikatakan bahwa para
sarjana perilaku atau behavioralis ini bermain biola pada saat
Roma dibakar.
Perbedaan antara para tradisionalis dengan para
behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Jika para tradisionalis menekankan nilai-nilai dan norma-
norma, maka para behavioralis menekankan fakta.
b. Jika para tradisionalis menekankan segi ilsafat, maka para
behavioralis menekankan penelitian empiris.
c. Jika para tradisionalis memilih metode kualitatif, maka para
behavioralis lebih mementingkan metode kuantitatif.
Akan tetapi pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kritik
juga tumbuh di kalangan behavioralis sendiri, yang mencapai
puncaknya ketika perang Vietnam berlangsung. Revolusi
Pasca-Perilaku ini dipelopori oleh David Easton sendiri. Maka
dari itu, gerakan Pasca-Perilaku ini malahan mencanangkan
perlunya relevansi dan tindakan . Gerakan ini tidak menolak
Pendekatan Perilaku seluruhnya, hanya mengecam skala
prioritasnya. Akan tetapi ia mendukung sepenuhnya
Pendekatan Perilaku mengenai perlunya meningkatkan mutu
ilmiah ilmu politik.
Pada tahun 1969 David Easton, pelopor Pendekatan
Perilaku yang kemudian mendukung Pendekatan Pasca-
Perilaku, dalam tulisannya The New Revolution in Political
Science, merumuskan pokok-pokoknya dalam suatu Credo of
Relevance sebagai berikut:
a. Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan
kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak
relevan dengan masalah sosial yang dihadapi. Padahal
menangani masalah sosial lebih mendesak ketimbang
mengejar kecermatan dalam penelitian.
b. Pendekatan Perilaku secara terselubung bersifat konservatif,
sebab terlalu menekankan keseimbangan dan stabilitas
dalam suatu sistem dan kurang memperhatikan gejala
perubahan (change) yang terjadi dalam masyarakat.
c. Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan; ilmu
tidak boleh bebas nilai (valuefree) dalam evaluasinya.
Malahan para cendekiawan mengemban tugas untuk
melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah
sosial dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
d. Mereka harus merasa committed untuk aktif mengubah
masyarakat agar menjadi lebih baik. Sarjana harus
berorientasi pada tindakan (actionoriented).
3. Pendekatan Neo-Marxis
Sementara para penganut Pendekatan Perilaku sibuk menangkis
serangan dari para sarjana Pasca-Perilaku, muncullah kritik dari kubu
lain, yaitu dari kalangan Marxis. Lebih tepat apabila mereka
digambarkan sebagai kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
cendekiawan yang mendapat inspirasi dari tulisan-tulisan
Marx, terutama yang dikarang dalam masa mudanya. Kebanyakan
kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan
«borjuis» dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan
menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau
terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Para Neo-Marxis ini, di satu
pihak menolak komunisme dari Uni Soviet karena sifatnya yang
represif, tapi di pihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak
aspek dari masyarakat kapitalis di mana mereka berada. Karena
pentingnya peran kalangan Neo-Marxis ini, ada baiknya kita
menelusuri asal usul mereka. Pada awal dasawarsa 1960-an, di Eropa
Barat telah timbul perhatian baru terhadap tulisan Marx. Selama tiga
puluh tahun berkuasanya Stalin , tafsiran Lenin mengenai pemikiran
Marx oleh Stalin dibakukan dan dinamakan MarxismeLeninisme atau
Komunisme.
Dominasi ini diakui sebagai fakta oleh orang Barat yang
menamakan dirinya Marxis, sedangkan para Neo-Marxis pada
umumnya tidak mempermasalahkan apakah tafsiran Lenin dan Stalin
merupakan satu-satunya tafsiran yang layak, ataukah mungkin ada
interpretasi lain. Akan tetapi oleh mayoritas orang Barat komunisme
ditolak, apalagi setelah Stalin melancarkan teror terhadap lawan-
lawannya di Uni Soviet pada akhir tahun 1930-an. Banyak pemuka
masyarakat dan cendekiawan dipecat dari kedudukannya, dikucilkan
dari masyarakat, atau dipenjarakan. Tetapi pada tahun 1960-an Eropa
Barat dan Amerika mulai dilanda berbagai konlik sosial, ekonomi, dan
rasial sehingga membangkitkan keresahan yang luas. Dalam keadaan
frustrasi ini, mereka berpaling ke tulisan-tulisan Marx, terutama
karangan yang ditulisnya di masa mudanya, Frűhschriften, yang baru
ditemukan dan diterbitkan kira kira tahun 1932. Bangkitnya kembali
perhatian pada tulisan-tulisan Marx ini berbarengan dengan beberapa
kejadian di berbagai belahan dunia. Pertama, perubahan yang
mendasar di dunia komunis internasional sesudah Stalin meninggal
pada tahun 1953.
Mao Zedong menolak mentah-mentah gerakan destalinisasi yang
sedang giat diselenggarakan oleh kelompok Khrushchev. Keretakan
ini, yang terjadi pada awal tahun 1960-an, mendorong Mao Zedong
untuk lebih mengembangkan ciri-ciri khas China dalam ideologi
Komunisme dan menjauhkan diri dari apa yang olehnya disebut Neo-
Revisionisme Khrushchev. Ketiga, terjadinya proses dekolonisasi di
belahan-belahan dunia yang selama ini dijajah. Negara-negara
merdeka yang muncul selanjutnya dikenal dengan sebutan Dunia
Ketiga.
Pada bulan Mei dan Juni 1968 ribuan mahasiswa dan hampir
sepuluh juta pekerja mengadakan pemogokan umum yang dianggap
paling besar dalam sejarah Prancis. Di Amerika terjadi perkembangan
yang lebih rumit dengan memuncaknya perang Vietnam pada awal
1960-an dan bersamaan dengan itu bangkitnya berbagai gerakan sosial
seperti gerakan anti-diskriminasi ras , gerakan pembebasan
perempuan , dan gerakan mahasiswa. Mereka yang ditunjuk
berdasarkan undian harus menjalani masa dinasnya di
Vietnam, kecuali jika mereka meneruskan studi di perguruan
tinggi. Gebrakan-gebrakan ini dipimpin oleh para aktivis mahasiswa
yang sedikit banyak terorganisasi dan yang bernaung di bawah gerakan
Kiri Baru , seperti SDS , dan sebagainya.
Ada dua unsur dalam pemikiran Marx yang bagi mereka sangat
menarik. Pertama, ramalannya tentang runtuhnya kapitalisme yang
tidak terelakkan. Kedua, etika humanis yang meyakini bahwa manusia
pada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang
menguntungkan akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga
yang menindas, menghina, dan menyesatkan. Salah satu kelemahan
yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka
mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah.
Tafsiran ini yang kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama
Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Dengan demikian banyak
masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah
pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama
sekali.
Lagi pula dalam tahun 1960-an dan 1970-an dunia sudah sangat
berbeda dengan dunia pada abad ke-19 yang merupakan kerangka
acuan Marx dan Engels. Dunia kapitalis yang diharapkan akan
runtuh, ternyata menunjukkan dinamika tersendiri. Di pihak
lain, komunisme telah mengembangkan unsur-unsur totaliterisme dan
represi, sesuatu yang juga ditolak oleh golongan Neo-Marxis.
Karena karangan-karangan Marx begitu fragmentaris, dan sering
hanya merupakan bagian dari uraian-uraian lain, maka tafsirannya juga
bermacam-macam dan kadang-kadang bertentangan satu sama
lain. Para sarjana yang berorientasi pada pemikiran Marx menunjukkan
banyak variasi dalam pemikiran dan tidak merupakan kelompok yang
homogen. Untuk pembahasan dalam karangan ini, ada baiknya kita
memakai deinisi yang diajukan dalam buku The Left Academy, yang
diedit oleh dua sarjana Neo-Marxis Amerika, Bertell Ollman dan
Edward Vernof.
Marxisme Klasik cenderung untuk menekankan determinasi
ekonomi , maka para Neo-Marxis hanya mencanangkan keunggulan
dari basis ekonomi, artinya ekonomi merupakan faktor yang sangat
penting dalam politik, tetapi politik tidak seluruhnya ditentukan
ekonomi. Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konlik
yang terjadi dalam negara. Menurut pandangan struktural-
fungsional, konlik dalam masyarakat dapat diatasi melalui
rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik
tolak pemikiran Neo-Marxis. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan
Neo-Marxis ini mengabaikan konlik-konlik lain dalam
masyarakat, seperti konlik etnis, agama, maupun rasial. Karena
menyadari bahwa konsep lama mengenai adanya dua kelas
bertentangan dan di masa modern tidak dapat dipertahankan lagi
karena tidak sesuai dengan kenyataan, kalangan Neo-Marxis memberi
perumusan yang lebih leksibel dan luas dengan mencanangkan adanya
dua himpunan massa yang sedikit banyak kohesif serta memiliki
banyak fasilitas dan mereka yang tidak mempunyai fasilitas .
Himpunan pertama paling dominan, dan negara mempertahankan
kepentingan himpunan yang dominan itu dengan segala kekuatan yang
ada padanya untuk mempertahankan dan memperkuat
dominasinya. Kelas dominan berasal dari latar belakang sosial dan
pendidikan yang sama dan mempunyai kepentingan politik dan
ekonomi yang sama pula. Dominasi mereka hanya dapat diakhiri
dengan transformasi total dari keadaan yang menimbulkannya yaitu
tatanan sosial politik yang ada.
Meskipun demikian, kelas yang berkuasa dapat saja mencegah
usaha kelas-kelas lainnya untuk melawan dominasinya melalui
paksaan, konsesi, atau persuasi. Akan tetapi apa yang tampak sebagai
harmoni sebenarnya harmoni yang semu dan menyesatkan.
Di Eropa Barat dan Amerika telah timbul bermacam-macam
mazhab, yang paling terkenal adalah Frankfurter Schule dengan
tokohnya seperti Marx Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert
Marcuse. One Dimensional Man, yang menjadi sangat terkenal saat
itu. Dari generasi kedua mazhab ini, kita kenal Jűrgen.
Diantara cendikiawan yang perlu disebut ialah pemikir Prancis,
Poulantzas, dan sarjana Amerika, J. O’Connor. Mereka banyak
memakai analisis interdisipliner dengan mengikutsertakan
sosiologi, ilsafat, ekonomi serta sejarah, dan kebanyakan beranjak dari
tradisi intelektual di Eropa. Perlu disebut bahwa mereka jarang
menganalisis sistem politik dan ekonomi Uni Soviet, sehingga
kadang-kadang memberi kesan mereka menyetujuinya. Soviet pada
dasarnya adalah kapitalisme Negara.
Kritik yang dilontarkan oleh sarjana ilmu politik arus utama ialah
bahwa para Neo-Marxis lebih cenderung mengecam pemikiran sarjana
«borjuis» daripada membentuk atau membangun teori baru sendiri
yang mantap. Kritik lain yang dilontarkan ialah bahwa Neo-Marxis
kontemporer merupakan ciptaan dari teoretisi sosial yang berasal dari
kampus, khususnya dari staf pengajar senior yang direkrut waktu
terjadi perluasan universitas pada tahun-tahun 190-an. Mulai tahun
1970-an pemikiran kelompok Neo-Marxis juga dicantumkan dalam
kurikulum jurusan-jurusan ilmu politik di Amerika Serikat dan Eropa
Barat.
Pada awal dasawarsa 1990-an situasi politik telah banyak berubah.
Tahun 1970 yang oleh Khrushchev dengan penuh optimisme
dicanangkan sebagai saat UniSoviet akan melampaui Amerika Serikat
di bidang perekonomian, ternyata telah berlalu. Jatuhnya pamor
komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif pada
pemikiran Marx, baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat Neo-
Marxis.
❖ KESIMPULAN
Tak dapat dipungkiri hasil pembangunan pendekatan terhadap fenomena
politik merupakan akumulasi dari analisis dan kontroversi diantara para
sarjana yang terkadang sengit memperkaya khazanah analisis. Interaksi
denga ilmu-ilmu sosial lainnya juga telah memperluas jangkauan. Hasil
dialog ini sangat mendorong perkembangan ilmu politik itu sendiri, baik
dibidang teoritis maupun dibidang komparatif antara negara maju dan
negara berkembang. Kesadaran ini telah membuat para ahli kebijakan lebih
toleran terhadap pendapat orang lain. Setiap paradigma tidak lagi saling
bersaing, tetapi saling melengkapi dengan meminjam konsep dan alat
analisis.