Anda di halaman 1dari 12

MORALITAS DAN PENERIMAAN ATAS NEGARA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Etika Administrasi Publik

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Tri Yuniningsih, M.Si.

Disusun Oleh : Kelompok 7

Milla Nur Afifah (14020118130059)

Lailatul Chasanah (14020118130066)

Kartika Maharani (14020118130072)

Hilda Happy Ekaryn (14020118130120)

Pinkan Afielia Firdaust (14020118130130)

DEPARTEMEN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITASI DIPONEGORO

SEMARANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi
landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-
citakan. Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar
dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun
kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin
dikesampingkan. Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol
terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap,
tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara.
Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan,
referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk
menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi
negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika
administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya
mal administrasi dan cara mengatasinya.
Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran
agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan
berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin,
etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga
kehormatan, dan martabat diri sebagai warga negara. Dimensi etika mencakup
etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis,
etika penegakan hukum yang berkeadilan, etika keilmuan, serta etika lingkungan.
Dalam penyelenggaraan negara di Indonesia pelaksanaaan nilai-nilai etika
tersebut masih jauh dari kenyataan dalam mewujudkan penyelenggaran negara
yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, kualitas pelayanan
publik, kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, serta profesionalisme
aparatur birokrat. Banyaknya penangkapan terhadap penyelenggara negara seperti
hakim, anggota DPR, anggota DPRD, gubernur, bupati, wali kota, pejabat Bank
Indonesia, pimpinan partai, dan menteri yang sedang menghadapi tuntutan hukum
atau sudah divonis dalam perkara korupsi. Hal ini makin nyata bahwa persoalan
terbesar pada bangsa ini bukan yang utama pada sistem atau aturan, tetapi pada
moralitas dan etika. Sebaik apapun aturan, tetapi dijalankan oleh pejabat yang
moralitasnya buruk, aturan akan diselewengkan. Moralitas dibangun melalui
keteladanan para tokoh, elite, dan semua yang ada di pusat kekuasaan, dan pusat
kebudayaan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Moralitas dan Penerimaan atas Negara


Moral, diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores) yang berarti kebiasaan,
adat. Sementara moralitas secara lughowi juga berasal dari kata mos bahasa Latin
(jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu
pada bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku. Dan kata
moralitas juga merupakan kata sifat latin moralis, mempunyai arti sama dengan
moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan moralitas memiliki arti yang
sama, maka dalam pengertiannya lebih ditekankan pada penggunaan moralitas,
karena sifatnya yang abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk perbuatan manusia. Baron, dkk
mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Asri Budiningsih, bahwa moral adalah
hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan
salah atau benar. Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian
untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika,
budi pekerti dan susila. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan
sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila.
Negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana
kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souverien (kedaulatan). Peranan
negara biasanya sesuai dengan fungsi institusi politik dan ditentukan oleh corak
sistem politiknya. Menurut Adam Smith, tugas negara adalah melindungi
masyarakat dari kekerasan institusi manapun, ketidakadilan masyarakat lain dan
menjaga pekerjaan masyarakat (Stepan, 1978), sedangkan fungsi negara adalah
keamanan luar negeri, ketertiban dalam negeri, keadilan, kesejahteraan umum dan
kebebasan (Budiardo, 1978). Oleh sebab itu, negara memerlukan sarana untuk
tercapainya fungsi tersebut, yaitu kekuatan polisi dan militer, peradilan
independen, pegawai negeri yang taat kepada negara serta administrasi keuangan
yang jujur dan monopoli persoalan keuangan (Bonne, 1973). Dari berbagai
perspektif fungsi negara, yang lebih menonjol adalah peranan negara dalam
bidang ekonomi dalam bentuk pemilikan masyarakat terhadap kapital produksi
(state owned enterprise). Beberapa fungsi negara yang berkaitan dengan ekonomi,
yaitu: menjamin hak miliki, liberalisasi ekonomi, pengaturan siklus bisnis,
perencanaan ekonomi, pemberian input tenaga kerja, tanah, modal, teknologi,
infrastruktur ekonomi dan input manufaktur, campur tangan sensus sosial dan
mengelola sistem ekonomi (Rusli, 1995). Sekalipun banyak tokoh yang
mempunyai pandangan peranan negara dalam ekonomi dominan, namun tokok
lain seperti Evans membantah ”hipotesis” negara merupakan ”aktor ekonomi”
yang sudah ditinggalkan, karena aktor lintas bangsa swasta lebih berkembang,
sehingga aparatur negara menjadi lemah (Evans, 1986).
2.2 Realitas Negara
Realitas adalah hal-hal yang benar-benar nyata atau terbukti benar-benar ada.
Kita sebagai orang actual yang menghadapi realitas negara actual harus
menangani masalah yang berhubungan dengan menerima atau menolak ketetapan
negara untuk memaksakan kehendaknya atas diri kita. Jika sebuah negara dapat
dilihat layak diterima, secara bebas setuju untuk menerima keanggotaan dalam
system politiknya atau setuju untuk mematuhi undang-undangnya. Sehingga
realitas Negara adalah kejadian yang benar-benar nyata yang terjadi di dalam
suatu Negara. Banyak kejadian yang benar-benar terjadi di Negara seperti
permasalahan di dalam negara, permasalahan tersebut yaitu:
1. Permasalahan Legitimasi kekuasaan
Dilihat dari sudut penguasa, A.M. Lipset: Legitimasi mencakup
kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa
lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling
wajar untuk masyarakat itu (Legitimacy includes the capasity to produce and
mantain a belief, that the existing political institutions or forms are the most
appropriate for the society).
Etika mempengaruhi bukan saja perilaku para penyelenggara administrasi
publik tetapi perilaku dari masyarakat yang menjadi objek penetapan
kebijakan. Birokrasi sebagai penyelenggara administrasi publik bekerja atas
dasar kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa rakyat
berharap adanya jaminan bahwa dalam menjalankan dan memanfaatkan
kekuasaannya etika senantiasa dijadikan dasar bagi para pemimpin. Apabila
etika yang ada pada pemimpin tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
ada pada masyarakat maka legitimasi tidak akan mampu tercapai.
2. Permasalahan Birokrasi
Di tengah posisinya yang cukup strategis, birokrasi di Indonesia sulit
menghindar dari berbagai kritik yang hadir yaitu:
a. Buruknya pelayanan publik
b. Besarnya angka kebocoran anggaran negara
c. Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS
d. Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi
e. Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang
tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-
masalah lainya.
f. Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan
terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan
sentuhan-sentuhan birokrasi
g. Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang
berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya
pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan.
3. Permasalahan Demokrasi
Menurunnya angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan
pemiluini berbanding terbalik dengan angka golput (golongan putih) yang sem
akin meningkat.Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari
masyarakat di tengah pestademokrasi, karena sesungguhnya pemilu
merupakan wahana bagi warga negara untukmenggunakan hak pilihnya dalam
memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mewakilimasyarakat, baik
yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
DewanPerwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden
2.3 Administrator Negara
Ilmu administrasi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses dinamika
kerjasama manusia. Kerja sama merupakan gejala yang sifatnya universal dan
sudah ada dan berlangsung sejak jaman primitif sampai zaman modern.
Administrasi dalam arti luas merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih dalam kerangka kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Menurut Pajudi Atmosudirdjo, Administrasi publik adalah administrasi
daripada negara sebagai organisasi dan administrasi yang mengejar tercapainya
tujuan-tujuan yang bersifat kenegaraan. Arifin Abdulrachman, menyatakan bahwa
administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari pelaksanaan politik negara.
Sedangkan menurut Waldo, administrasi negara dikatakan sebagai manajemen
dan organisasi daripada manusia-manusia peralatannya guna mencapai tujuan
pemerintah. Sedangkan orang / orang-orang yang bertugas untuk mengurusi hal-
hal administrasi disebut administrator.
Administrator sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai peranan sangat
menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan yang dibuatnya.
Kecenderungan terjadinya tarik ulur suatu kebijakan mulai dari perumusan,
implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan merupakan proses yang wajar
dan ini merupakan suatu proses yang baik dalam arti semua kepentingan peduli
terhadap kebijakan yang akan dibuat. Leys berpendapat bahwa seorang
administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-
standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan
keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada. Sehingga
seorang administrator Negara harus mempunyai etika administrai public yang
baik.
Etika administrasi Publik adalah bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan
asas kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan
tugas pekerjaanna dan melakukan tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini
diharapkan memberikan berbagai asas etis, ukuran baku, pedoman perilaku, dan
kebijakan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas atau administrator
guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat. Etika
administrasi publik sebagai petunjuk dalam menjalankan kebijakan publik dan
sebagai standar penilaian atas perilaku yang dilakukan oleh administrator dalam
menjalankan kebijakan publik.
Di Indonesia sendiri, seorang administrator telah mempunyai kode etik profesi
yang wajib untuk dilaksanakan agar setiap administrator mempunyai landasan
yang pasti didalam bertindak dan mengambil keputusan Supaya proses
administrasi dapat mencapai tujuan dengan efisien dan efektif, serta interaksi
antara administrator dengan masyarakat umum dapat terbina secara harmonis
karena administrasi pada suatu organisasi memiliki kewajiban kepada publik,
sehingga administrator tidak boleh hanya mementingkan organisasinya saja tetapi
harus mengabdi kepada kepentingan umum dan tidak boleh menyimpang dari
hukum, khususnya HAM.
2.4 Dilema penerimaan dan penolakan negara.
Jika dilihat dari komitmen hukum tingkat tertinggi dikatakan masyarakat
menerima sistem hukum dan setuju menjadi anggota didalamnya serta
menganggap pertimbangan dibuktikan dengan masyarakat yang mematuhi
peraturan perundang-undangan sistem hukum ini sebagai sebuah pertimbangan
moral yang absah. Seperti yang dituliskan oleh Socrates dalam Citro tulisan Plato,
jika kita menerima sebuah sistem hukum, maka sebagai penurunannya kita harus
menerima semua undang-undang dan keputusan sistem hukum tadi dalam
tindakan-tindakan kita, meskipun kita juga harus tetap mengutarakan pendapat
(membuka mulut) atas dasar hati nurani untuk menentang undang-undang yang
kita anggap salah. Bahkan dalam seluruh lingkup tingkatan komitmen yang di
buat untuk patuh kepada hukum pun harus dicari keseimbangan antara komitmen-
komitmen umum tingkat tinggi dan pertimbangan-pertimbangan khusus tentang
tindakan-tindakan tertentu.
Demikian pula apabila masyarakat mau tidak mau harus menerima sistem
hukum ini sebagai keseluruhan, masih ada kemungkinan bahwa tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh masyarakat terkadang perlu bertentangan dengan undang-
undang bukannya harus sejalan dengannya. Masyarakat tidak boleh berargumen
secara deduktif kaku bahwa jika mereka menerima pertimbangan maka mereka
mematuhi aturan perundan-undangan dalam sistem. Karena terkadang penolakan
dilakukan untuk merevisi perundangan yang kurang benar sehingga ditemukan
keputusan yang tepat yang dapat memajukan negara.
2.5 Studi Kasus : Membangun Moral Pajak di Masyarakat Sebagai Bentuk
Penerimaan Negara Mematuhi Peraturan Pemerintah.
Sampai sekarang kesadaran masyarakat membayar pajak masih belum
mencapai tingkat sebagaimana yang diharapkan. Umumnya masyarakat masih
sinis dan kurang percaya terhadap keberadaan pajak karena masih merasa sama
dengan upeti yakni memberatkan. Krisis sistem pajak ini dikuatirkan akan
berimbas mengikis kewajiban moral masyarakat untuk membayar pajak. Kalau ini
terjadi, tentu akan menggerus penerimaan negara melalui pajak. Menurut
Frecknall-Hughes (2020), moral adalah suatu tindakan atau perilaku yang
dianggap benar, dapat diterima secara sosial, pantas, dan wajar. Dalam konteks
moral pajak (tax morale), artinya sejauh mana motivasi intrinsik seseorang untuk
mematuhi pajak. Moral pajak sendiri merupakan kunci untuk hadirnya kepatuhan
pajak secara sukarela (Torgler, 2005).
Moral pajak akan menjamin kontribusi masyarakat melalui sistem pajak dengan
atau tanpa adanya pendekatan yang bersifat memaksa, kadang bahkan di tengah
kekosongan hukum pajak. Tak pelak, dari sisi pemerintah, moral pajak menjadi
modal penting untuk memupuk kepatuhan pajak. Keterlibatan gerakan moral
dalam sektor pajak juga kian mengemukan. Setidaknya ada beberapa gerakan
moral yang dapat menjelaskan pendekatan moral dapat diterapkan untuk
mendorong kepatuhan pajak. Bahkan, menciptakan masyarakat yang bangga
membayar pajak. Temuan World Giving Index 2018 (CAF, 2018) menarik
menjadi penyemangat. Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang
paling dermawan di dunia. Artinya, moral orang Indonesia untuk berkontribusi
bagi masyarakat sangat tinggi. Tinggal bagaimana strategi untuk mendorong
kontribusi mereka secara optimal melalui mekanisme pajak.
Temuan di atas relevan bagi Indonesia untuk melakukan pendekatan berbasis
moral pajak dalam rangka untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Akan tetapi,
moral pajak bukanlah sesuatu yang dapat diubah secara instan dalam jangka
pendek. Kuncinya adalah, edukasi pajak sejak usia dini secara konsisten dan
bersabar untuk tidak berharap segera menghasilkan kepatuhan pajak dalam jangka
pendek.
Dapat disimpulkan dari studi kasus diatas adanya upaya yang dilakukan
pemerintah agar masyarakat dapat membayar pajak secara sukarela sebagai
bentuk penerimaan negara mematuhi membayar pajak. Pada nyata sudah lumayan
masyarakat yang dapat melakukan penerimaan negara dengan membayar pajak
dengan sukarela namun masih ada yang belum. Maka sebagai masyarakat yang
baik kita harus menerima semua undang-undang dan keputusan sistem hukum
tadi dalam tindakan-tindakan kita sebagai bentuk penerimaan negara, dan lagipula
kewajiban membayar pajak benar dan tidak merugikan masyarakat sehingga
penolakan negara tidak membayar pajak tidak perlu dilakukan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk perbuatan manusia. Dari berbagai perspektif fungsi negara, yang lebih
menonjol adalah peranan negara dalam bidang ekonomi dalam bentuk pemilikan
masyarakat terhadap kapital produksi (state owned enterprise). Adapun
permasalahan di dalam negara di antaranya yaitu: permasalahan legitimasi
kekuasaan, permasalahan birokrasi, dan permasalahan demokrasi. Permasalaham
ini benar-benar terjadi di dalam negara. Dan delima penerimaan dan penolakan
negara di lihat dari komitmen hukum tingkat tinggi yaitu, masyarakat menerima
sistem hukum dan setuju menjadi anggota didalamnya serta menganggap
pertimbangan dibuktikan dengan masyarakat yang mematuhi peraturan
perundang-undangan sistem hukum ini sebagai sebuah pertimbangan moral yang
absah.
Studi kasus membangun moral pajak di masyarakat sebagai bentuk penerimaan
negara mematuhi peraturan pemerintah. Adanya upaya yang dilakukan
pemerintah agar masyarakat dapat membayar pajak secara sukarela sebagai
bentuk penerimaan negara mematuhi membayar pajak. Pada nyata sudah lumayan
masyarakat yang dapat melakukan penerimaan negara dengan membayar pajak
dengan sukarela namun masih ada yang belum.
3.2 Saran
Sebagai masyarakat yang baik kita harus menerima semua undang-undang dan
keputusan sistem hukum tadi dalam tindakan-tindakan kita sebagai bentuk
penerimaan negara, dan lagipula kewajiban membayar pajak benar dan tidak
merugikan masyarakat sehingga penolakan negara tidak membayar pajak tidak
perlu dilakukan. Setidaknya ada beberapa gerakan moral yang dapat menjelaskan
pendekatan moral dapat diterapkan untuk mendorong kepatuhan pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Irwan Rudhiarto, nSri Rahayu, W. & A. W. S. (2015). Buku Ajar Mata Kuliah MAP.

Yuningsih, T. (2019). Etika Administrasi Publik. In Ensiclopedy (Vol. 53, Issue 9).
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Anda mungkin juga menyukai