Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ESAI AGENDA I

KEPEMIMPINAN PANCASILA SOLUSI PERMASALAHAN BANGSA

Oleh Rudi, SH

I. PENDAHULUAN

Peran kepemimpinan, terutama kepemimpinan politik merupakan aspek strategis dalam


masyarakat. Pada masyarakat yang menganut sistem demokrasi seperti di Indonesia, seorang
pemimpin dipilih melalui sistem pemilihan berasaskan langsung, umum, bebas dan rahasia.
Dalam mengurus persoalan pemilu, Komisi Pemilihan Umum merupakan lembaga yang
diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan proses pemilu, baik pemilihan legislatif;
Dewan Perwakilan Rakyat,yang meliputi DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Eksekutif; Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Pemilihan Umum telah melahirkan pemimpin-pemimpin dalam berbagai jenjang jabatan


publik, ada yang berprestasi baik, dan ada pula yang terjerat kasus hukum, terutama kasus
tindak pidana korupsi.Ironisnya, Lembaga Antirasuah, Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK)
mencatat sejak berdirinya sampai tahun 2019 telah memproses kepala Daerah tersangka
korupsi. Data ini memunculkan sudut pandang bahwa moral kepemimpinan kepala-kepala
daerah itu layak untuk dipertanyakan. Selain itu cara politik uang untuk mendapatkan
kekuasaan, politik dinasti, keluarnya kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak kepada
masyarakat.

Disamping keharusan bertindak berdasarkan prinsip etika, tampak kitapun tidak bisa
mudah terlepas dari variable lainnya, yaitu perkembangan teknologi informasi yang terjadi.
Dan apakah majunya tingkat peradaban, dalam hal ini kemajuan pesat teknologi informasi itu
berpengaruh baik terhadap kemajuan aspek moralitas manusia?. Pesatnya arus informasi yang
kita alami di zaman modern untuk sebagiannya berpengaruh terhadap situasi moral kita hari
ini.
II. ANALISIS MASALAH DAN AKAR MASALAH

Dari aspek susunannya manusia dapat dibedakan menjadi dua komponen jiwa dan raga.
Merujuk pada pemikiran Aristoteles, jiwa manusia terdiri dari cipta, rasa dan karsa, sedangkan
raga manusia terdiri dari zat mati, zat tumbuhan dan zat hewani. Dilihat dari kedudukannya,
manusia dapat berdiri sendiri sebagai pribadi yang mandiri juga dapat berdiri sebagai makhluk
Tuhan. Dilihat dari aspek sifatnya, kita dapat membedakan sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Sebagai makhluk individu; manusia memiliki sifat terutama bila dilihat dari
kenyataan bahwa ia memiliki karakter kepribadian serta memiliki pendirian.

Sigmund Freud pernah mengatakan bahwa di dalam diri setiap manusia terdapat ego
yang akan mewarnai karakter dan perilaku manusia sebagai makhluk individu. Sementara
manusia sebagai makhluk sosial; sifat sosial terutama terlihat dari adanya keinginan manusia
untuk hidup bersama dengan manusia lain, berkomunikasi, berbagi rasa dengan orang lain.
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yaitu makhluk yang senantiasa
ingin hidup berkelompok.

Aristoteles juga menyampaikan pendapat bahwa manusia adalah homo politicus yang
berarti bahwa manusia adalah makhluk politik. Perbedaan di atas, antara manusia sebagai
makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial melahirkan dua kutub paham mengenai
manusia, yaitu paham individualisme dan kolektivisme. Disamping itu muncul pula
pemilahan dari egoisme dan altruisme. Egoisme merujuk pada kecenderungan manusia untuk
mementingkan diri sendiri tanpa peduli atas hukum dan kewajibannya. Sebaliknya altruisme
berkenaan dengan ciri manusia untuk berbuat demi kepentingan orang lain.

Menurut Wahyudi Kumorotomo, Bahwa individualisme dan kolektivisme atau egoisme


dan altruisme adalah dua kutub yang saling berhadapan. Tinjauan yang lebih adil menurutnya
hanya dapat dilakukan apabila kita berada di tengah kedua titik ekstrem tersebut. Betapapun
individu-individu yang hidup di tengah masyarakat tidak bisa lepas dari kepentingan sosial
dan sebaliknya suatu sistem sosial tidak akan dapat dipahami tanpa mempelajari karakter
individu-individu yang terdapat di dalamnya. Kesosialan manusia bukan sekedar tambahan
situasi dari luar terhadap individualitas manusia yang sudah jadi, melainkan secara mendalam
dan hakiki menentukan manusia dalam individualitas dan keperibadiannya yang khas.
Dalam pada itu, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa manusia hanya memiliki
eksistensi karena orang lain dan dia hanya dapat hidup dan berkembang karena adanya orang
lain. Moralitas hanya akan berlaku sempurna dalam situasi dimana manusia berhubungan dan
berkomunikasi dengan manusia lain.

Moralitas tidak akan banyak dibicarakan jika seseorang hidup di tengah rimba belantara
tanpa pernah berhubungan dengan manusia lain. Dia dapat saja membunuh dengan keji atau
membantai binatang-binatang liar tanpa mempedulikan kaidah-kaidah moral. Akan tetapi
tindakan yang dilakukannya itu akan menyangkut etika sosial apabila ia melibatkan orang
lain. Seandainya yang ia bunuh itu misalnya satwa langka, maka etika sosial berperan karena
tindakannya membunuh tadi menyangkut perlindungan satwa langka ataupun konservasi
alam. Terkait dengan beberapa hal di atas, maka lingkungan sosial merupakan etalase yang
memperlihatkan perilaku seseorang dalam masyarakat. Baik buruk perilaku seseorang akan
menjadi penilaian bagi orang lain.

Pancasila merupakan sumber moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara.Etika kehidupan berbangsa telah diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaran
Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001. Dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2001
dinyatakan bahwa etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran
agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin
dalam pancasila sebagai acuan dasar dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang etika Kehidupan Berbangsa disusun dengan tujuan untuk memberikan
penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa.Etika
kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk meningkatkan
kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta berkeperibadian
Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian,
sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai
warga bangsa.
Terkait dengan etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi
rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat
yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan
kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa


kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi
amanat masyarakat, bangsa dan negara. Masalah potensial yang dapat menimbulkan
permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap
menjunjung tinggi perbedaan sebagai suatu yang manusiawi dan alamiah.

Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik
untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan,
rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan
dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang
toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan
kebohongan publik, tidak manifulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

III. PERAN KEPEMIMPINAN YANG DIPERLUKAN

Kepemimpinan dalam masyarakat Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai moral


pancasila, karenanya keteladanan memegang peranan yang sangat penting dan menentukan.
Salah satu aspek dalam kepemimpinan pancasila adalah sikap konsisten dan konsekuen dalam
menghayati dan mengamalkan pancasila. Selain itu, semangat kekeluargaan merupakan unsur
penting lainnya dari kepemimpinan pancasila. Seorang pemimpin harus bersikap sebagai
pengasuh yang mendorong, menuntun dan membimbing. Prinsip yang harus dibangun dalam
kepemimpinan pancasila adalah : “ing ngarso sung tulodo” yang artinya seorang pemimpin
harus mampu lewat sikap dan perbuatannya menjadi suri tauladan yang baik dan diikuti oleh
masyarakat yang dipimpinnya, “ ing madya mangun karso” artinya seorang pemimpin harus
mampu membangkitkan semangat bersuakarsa,dan berkreasi pada orang-orang yang
dipimpinnya, “tut wuri handayani” artinya seorang pemimpin harus berani mendorong orang-
orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Menyadari sepenuhnya bahwa pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan dasar
Negara Republik Indonesia, pancasila merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara
Indonesia menjadikan pancasila sebagai landasan dalamaq kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Kepemimpinan pancasila merupakan pedoman bagi pejabat dan elite politik untuk
bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan
secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika
ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran,
tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan
publik, tidak manifulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Dari paparan di atas dapat dirumuskan kesepakatan, bahwa tujuan etika adalah
memberitahukan bagaimana kita menolong manusia dalam kebutuhannya yang nyata yang
secara susila dapat dipertanggungjawabkan kepada khalayak.

Tentu saja kepemimpinan pancasila sebagai model kepemimpinan tidak hanya baik
dalam konsep tetapi buruk dalam implementasi. Pancasila tidak boleh diibaratkan seperti
sebuah baju yang mahal, lantas karena mahalnya kita sayang untuk memakainya. Pancasila
tidak boleh hanya baik dalam konsep saja akan tetapi harus terwujud dan berimplikasi sebagai
nilai praksis dalam kehidupan nyata.

Pelanggaran-pelanggaran hukum, terutama kasus korupsi, ketidakpuasan masyarakat


pada kebijakan-kebijakan elite politik mengindikasikan bahwa pancasila adalah teks hapalan,
tetapi tidak menjadi kontekstual menjadi pedoman kehidupan nyata.Kepemimpinan pancasila
adalah kepemimpinan yang berdasarkan, berjiwa, dan beramala pancasila, sebagai
keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur yang berakar pada budaya bangsa dan nilai-
nilai kemajuan universal.
Nilai-nilai moral pancasila sebagai landasan kepemimpinan pancasila yang bersumber
dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa meliputi; Keimanan dan Ketaqwaan, saling
menghormati (toleransi), sila ke dua Kemanusiaan yang adil dan beradab; menjunjung tinggi
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), sila ke 3 persatuan Indonesia; mengusung jiwa
patriotisme, nasionalisme, persatuan dan kesatuan, bhineka tunggal ika, sila ke 4 kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; musyawarah
dan mufakat, sila ke 5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; gotong royong,
supermasi hukum. Kepemimpinan pancasila merupakan model kepemimpinan nasional
Indonesia yang yang harus diterapkan, sehingga menjadi bagian terdepan dalam rangka
perbaikan Indonesia dari waktu ke waktu. Dan hari ini bagimana kita mampu menerapkan
kepemimpinan pancasila dalam prespektif era global.

Anda mungkin juga menyukai