Anda di halaman 1dari 13

“ANDAI SAYA MENJADI PRESIDEN : APA YANG AKAN SAYA

LAKUKAN DALAM MENCIPTAKAN KEHIDUPAN POLITIK YANG


BERMORAL”

NASKAH PIDATO

Disusun untuk memenuhi tugas individu dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik.

Disusun Oleh :

HELEN GRACIELA

NPM : 6211181093

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2018
BAGIAN I
PEMBUKAAN

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Nama saya Helen


Graciela dari jurusan Hubungan Internasional, Universitas Jenderal Achmad Yani
angkatan 2018. Saya akan menyampaikan hal mengenai kehidupan politik di
Indonesia serta andai saya menjadi presiden, apa saja hal yang akan saya lakukan
untuk mewujudkan kehidupan politik yang bermoral.

Saya yakin bahwa kita sering mendengar kata “moral” yang diucapkan,
seperti moralitas bangsa, tidak punya moral, moralnya kurang, sangat bermoral dan
sebagainya. Kata “moral” biasanya akan diucapkan begitu saja jika dalam kondisi
marah dalam bentuk umpatan atau juga dalam memberi nasehat ataupun pidato para
pemimpin.

Menurut asal-usul katatanya “moral” berasal dari kata mores dari Bahasa
Latin, lalu kemudian diartikan atau diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”
ataupun suatu istilah yang digunakan untuk menentukan sebuah batas-batas dan
sifat peran lain, kehendak, pendapat atau batasan perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik maupun buruk. Namun pada umumnya, moral adalah
istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang
mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral,
artinya tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya
sehingga moral merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Ciri orang bermoral dan tidak bermoral adalah jika seseorang melakukan
tindakan sesuai dengan nilai rasa dan budaya yang berlaku ditengah masyarakat
tersebut dan dapat diterima dalam lingkungan kehidupan sesuai aturan yang berlaku
maka orang tersebut dinilai memiliki moral.
Kata moral atau akhlak sering kali digunakan untuk menunjukkan pada
suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai
kehidupan pada seseorang. Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral,
etika, akhlak, budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas
yang baik yang diterapkan pada perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari,
baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan
bermasyarakat.
Nilai baik sekaligus ciri manusia bermoral sebagai makhluk individu dapat
dilihat dengan adanya perilaku seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung
jawab dan lain-lain, maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan
masyarakat, seperti kejujuran, sikap hormat sesama individu, tanggung jawab,
kerukunan, kesetiakawanan, solidaritas sosial dan sebagainya.

Berbicara mengenai moral setiap individu tentu tidak lepas dari dampaknya
dalam berbagai bidang, salah satunya adalah dalam bidang Politik karena moral
yang dimiliki para aktor dalam bidang politik akan sangat menentukan arah “politik”
tersebut akan dibawa, apakah menuju kesejahteraan atau terjerumus dalam
kesengsaraan.
BAGIAN II
ISI

Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan


dalam study system politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan dari system itu sendiri dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yaitu tujuan yang
menyangkut dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan pribadi (private
goals).

Seperti yang kita ketahui, Politik Indonesia dewasa ini seperti sedang
mendominasi wacana di media, setiap hari masyarakat disuguhi dengan berbagai
berita politik yang sudah mendarah danging di Indonesia. Kondisi politik di
Indonesia saat ini kurang begitu baik, bahkan jauh dari kata “bermoral” bila dilihat
dari kasus-kasus yang menimpa beebrapa pejabat di Indonesia yang marak terjadi
dan justru saling memperebutkan kekuasaan.

Para penjabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. Janji


– janji yang dulu di buat justru di lupakan seiring dengan kursi kekuasaan yang di
peroleh. Seolah tidak menerima dengan kemenangan sang rival, maka berusaha
mencari kesalahan untuk dapat saling menggulingkan dan merebut kekuasaan.
Salah satu contohnya adalah mengenai kasus suap dan gratifikasi 41 dari 45 anggota
DPRD Kota Malang yang belum menemukan titik penyelesaiannya, wakil rakyat
yang seharusnya dapat menampung aspirasi masyarakat namun malah dibutakan
oleh jabatan demi mengejar kekayaan dan akhirnya rakyat yang menjadi korban
dari kondisi politik saat ini.

Lingkaran Survey Indonesia (LSI) melakukan penelitian terkait tingkat


kepercayaan masyarakat terhadap perilaku eit politik. Hasil penelitiannya
meneybutkan bahwa 51,5% masyarakat kita tidak percaya moral para elit politik.
Dari hasil ini, bisa dikatakan bahwa masyarakat sudah anti politik, karena lebih
sering orang menyebut “politik itu kotor, hanya untuk mengejar kekuasaan, penuh
dengan kebohongan dan trik-trik”

Stigma politik itu kotor (jahat) memang telah memenuhi ruangan publik
selama berabad-abad. Bukan hanya saat ini, tetapi jauh sebelumnya, bahwa politik
selalu dipraktekan untuk menindas orang lain. Sehingga sangat sulit untuk
membangun kembali stigma baru yang tidak memisahkan antara aktivitas politik
dan nilai moralitas.

Politik dan moral, bagi kebanyakan orang adalah sesuatu yang bertentangan,
terpisah satu dengan yang lain. Dimana moral mewakili dunia spiritual sedangkan
politik mewakili dunia materil. Moral adalah kejujuran nurani, sedangkan politik
adalah akal muslihat yang menipu. Politik disatu sisi merupakan sesuatu yang
rendah dan kotor serta menghalalkan segala cara, sedangkan moral di sisi lain
adalah sesuatu yang suci dan agung.

Disatu sisi, pandangan ini benar jika di perhadapkan dengan situasi


perpolitikan saat ini. Banyak sekali para elit politik, termasuk para pemimpin kita
yang menanggalkan moralnya untuk sebuah tujuan politiknya. Terlibat dalam
kasus-kasus korupsi, suap menyuap serta menghalalkan segala cara hanya untuk
memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya. Begitu pula sebaliknya, jika
seseorang ingin menjaga moralnya, sudah pasti tidak akan melibatkan
diri dalam pentas politik.

Aktivitas politik yang menyimpang ini, memang sudah menjadi tradisi dan
standar penilaian bagi system politik yang ada, yang membuat nilai-nilai moralitas,
kejujuran,keadilan, tanggungjawab dan amanah, keteladanan dan cita-cita mulia
sudah sangat jauh dari kehidupan perpolitikan.

Tetapi disisi lain, pandangan tentang realitas politik diatas sangatlah keliru,
jika diperhadapkan dengan konsepsi moralitas dalam hubungannya dengan fitrah
manusia, apakah moralitas dan politik merupakan sesuatu yang bertentangan
ataukah keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Maka referensi
historis islam yang berkaitan dengan praktek pemerintahan dan kekuasaan, sudah
pasti akan merubah pandangan kita tentang politik.

Sebenarnya politik layaknya sebuah pisau. Bila pisau tersebut di gunakan


oleh ibu rumah tangga untuk memasak maka pisau akanlah sangat bermanfaat.
Maka akan tersedia hidangan yang lezat untuk keluarga. Namun beda cerita bila
pisau tersebut di gunakan oleh pembunuh. Maka yang terjadi adalah sebuah
kesedihan dan kesengsaraan yang terjadi. Begitu pula dengan politik, ia akan bisa
menjadi sebuah alat untuk mencapai sebuah kebahagiaan atau malah menjadi
sebuah kesengsaraan. Dewasa ini, para politikus yang ada justru tidak mampu
memberikan sebuah kesejukan di tengah gerahnya suasana politik yang ada. Para
pemegang kekuasaan ini nampaknya masih terlalu sibuk, padahal rakyat Indonesia
di luar sana menjadi korban mereka.

Kemiskinan tidak hanya di alami oleh orang dewasa akan tetapi para
pemuda penerus bangsa kian menjadi korban diantaranya putus sekolah dan
kelaparan dan lain-lainnya. Lalu kemana para pejabat bersembunyi untuk
menyikapi permasalah seperti ini? para pejabat masih belum tersentuh untuk
menuju ke situ akhirnya masih berkutat dengan masalah kekuasaan.

Para elit politik di Indonesia tidak hanya menguras uang rakyat akan tetapi
mereka juga berlomba-lomba membuat kebijakan yang tidak pro rakyat serta sarat
akan kepentingan-kepentingan golongan mereka sendiri. Disamping kebijakan-
kebijakan yang tidak pro rakyat, banyak pula partai politik yang mengedepankan
pesan moral melalui slogan-slogan kesejahteraan namun justru malah terjerumus
dalam kasus korupsi. Selain hal tersebut, pemilihan selebritis tanah air sebagai
anggota partai politik juga menjadi faktor yang membuat politik di Indonesia
semakin tidak jelas. Partai politik memilih selebritis tanah air untuk menjadi
anggotanya dengan tujuan mendapat popularitas agar lebih banyak rakyat yang
memilih partai itu dengan maksud mendapatkan kursi di jajaran wakil-wakil rakyat.
Sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah kepopuleran, seharusnya partai politik
memilih anggota yang mahir pada bidangnya agar dapat memberikan kinerja yang
optimal untuk membangun politik Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Selain menggunakan selebritis untuk mendapat popularitas, saat pemilihan


umum banyak calon dari partai politik akan berbondong-bondong menggunakan
cara apapun untuk memenangkan pemilu contohnya dengan melakukan “money
politic” atau dapat dikatakan uang suap kepada masyarakat sekitar supaya
masyarakat luluh hatinya kemudian memilih partai yang bersangkutan padahal
sudah tertera pada Pasal 73 ayat 3 UU No.3 tahun 1999 yang menjelaskan sanksi
berupa hukuman penjara paling lama tiga tahun bagi oknum yang melakukan
“money politic” dan juga kepada pemilih yang menerima suap.

Sekarang ini keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan.


Banyak rakyat beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang hanya
mementingkan dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Pemerintah Indonesia pun tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil
rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup
mereka belum dapat disejahterakan oleh negara. Pandangan masyarakat terhadap
politik itu sendiri menjadi buruk, dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak
menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik. Bagi mereka politik
hanyalah sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan.

Jika kondisi pemerintah terus seperti ini maka tidaklah mustahil jika rakyat
tidak akan percaya dengan politik. Ketidakpercayaan masyarakat inilah yang sangat
berbahaya bagi kestabilan negara. Akibatnya, masyarakat akan cenderung apatis
terhadap kondisi sebuah negara karena kestabilan negara juga di pengaruhi oleh
kestabilan politik yang ada di negara tersebut. Apabila gejolak politik di suatu
negara terus menerus bergejolak maka tidak mustahil jika terjadi peperangan, dan
pada akhirnya masyarakat yang menjadi korban seperti negara negara di timur
tengah.

Rakyat Indonesia belum merasakan kinerja yang baik dari pemerintah


Indonesia, justru kondisi politik di Indonesia sekarang ini membuat masyarakat
memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain itu, para generasi muda
Indonesia haruslah diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya, agar
dikemudian hari mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung jawab
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sehingga kondisi bangsa ini tidak
terus terpuruk akibat politik tidak bertanggungjawab para pejabat sekarang.

Masyarakat Indonesia sangat menunggu pemimpin yang dapat


mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini ataupun saat yang akan
dating dan dapat membuat Negara Indonesia menjadi lebih baik lagi begitu pula
agar masalah-masalah dapat terselesaikan dan menemukan titik terang.

Menurut Dr. Kazim Ghazizadeh yang menulis pandangan politik Ruhullah


Musawi dengan tema beragama dalam berpolitik. Dia mengatakan bahwa politik
itu tidak hanya ditafsirkan sebagai ilmu kekuasaan atau tehnik mengeksploitasi
orang-orang dengan tujuan supaya mereka tunduk pada penguasa tertentu. Ia
menyebut terminologi “politik setan” untuk politik semacam ini dan meyakini
bahwa politik tersebut jauh dari agama.

Menurutnya politik yang dipraktekan nabi adalah politik yang membimbing


dan memimpin manusia menuju maslahat mereka yang sesungguhnya dan
bertujuan untuk menuntun manusia kepada kesempurnaan (sebagaimana manusia
dalam fitrahnya pasti merindukan kesempurnaan hidup) dan meraih kebahagiaan
mereka yang tidak hanya soal ritual dan moral tetapi juga membangun
pemerintahan yang adil dan memiliki aturan-aturan tertentu dalam pajak, keuangan
publik, hukum dan keadilan, jihad dan hubungan internasional.
Dalil di atas, mengungkapkan bahwa politik dan moral tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lain. Keduanya seperti dua mata uang - yang menjadi syarat
mutlak bagi setiap aktivitas dalam mengatur pemerintahan dan kekuasaan.

Aktivitas politik ini pasti mengandung unsur-unsur keadilan agar tidak


bertentangan dengan syara. Dengan kata lain, jika praktek politik yang tidak
mengarah pada kebahagiaan umat, maka itu adalah kedzoliman.

Sama halnya dengan kondisi politik suatu bangsa yang tidak mempraktekan
keadilan dan kebenaran maka itu disebut sebagai kediktatoran dan kesewenang-
wenangan politik. Sedangkan Imam Khomeini menyebut politik seperti ini sebagai
kekuasaan tagut atau “politik setan”.

Dengan begitu, tujuan politik haruslah selalu mengarah ke hidup yang baik,
bersama dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan
membangun institusi-institusi yang adil.

Jadi praktek “politik moral” inilah yang harus dipraktekan oleh semua
bangsa, termasuk Bangsa Indonesia, yang akan membawa masyarakat dan
bangsa kita kepadakehormatan, kepedulian sosial, kesejahteraan, kebebasan dan
keadilan. Bukan pada kebodohan, pengangguran, kemiskinan, eksploitasi
sosial, keterpecahan, kelemahan dan penyerahan serta ketundukan kepada pihak
asing.

Kita semua tahu bahwa politik yang bermoral itu sangatlah penting
untuk sebuah negara, maka sudah seharusnya seorang pemimpin negara (presiden)
segera sigap untuk menciptakan politik yang bermoral agar negara dan
masyarakatnya sejahtera dan hidup makmur.
Politik yang bermoral baik hanya bisa dihasilkan oleh mereka memiliki
moral baik. Mustahil seseorang dapat menjalankan politik dengan baik jika
pribadinya sendiri tidak memiliki moral ataupun etika yang baik dan benar.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang


politikus yang mampu menghasilkan politik yang bermoral, maka di dalam dirinya
harus tertanam minimal dua unsur penting, yaitu unsrur sikap kenegarawan sejati
dan unsur moral yang baik.

Ada beberapa cara untuk menciptakan poltik yang bermoral yang dapat
dilakukan oleh seorang presiden, yang akan berhasil jika seluruh rakyatnya juga
membantu dan berpartisipasi dalam menciptakan politik yang bermoral. Oleh
karena itu peranan warga negara juga penting untuk menciptakan tujuan bersama.

Saat saya menempatkan diri saya sebagai seorang Presiden Republik


Indonesia, selanjutnya saya akan berusaha menciptakan politik yang bermoral
dengan cara sebagai berikut :

1. Menanamkan moral berpolitik yang baik ke seluruh masyarakat dengan


cara meningkatkan Pendidikan politik pada masyarakat.
Tujuan dari pendidikan politik sendiri Menurut Endang Sumantri adalah
menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, cinta tanah air, kebanggaan
berbangsa dan bernegara, menyegarkan kembali jiwa yang cinta damai dan
cinta kemerdekaan serta menjunjung tinggi ideologi negara dan menghormati
kepada pemerintah disertai tawakal kepada tuhan yang maha kuasa.
Dengan meningkatkan pendidikan politik pada masyarakat dapat
membentuk masyarakat yang melek politik serta Pendidikan politik yang
bermoral pada generasi muda sejak dini dapat membentuk karakter generasi
muda agar menjadi lebih baik lagi dan siap untuk menjadi calon penerus
bangsa yang bermoral.
2. Mengatur dan mengawasi tugas perangkat pemerintahan agar tidak
sewenang-wenang dalam menjalankan tugas.
Dapat diwujudkan dengan adanya penerapan hukum yang tegas serta
dibentuknya aparat penegak hukum yang mengawasi langsung para penguasa.

3. Membuat peraturan yang tegas dalam bidang politik dan memberi efek
jera agar tidak ada yang berani melanggarnya.
Peraturan dalam bidang politik dapat mendorong terwujudnya penerapan
hukum yang lebih baik lagi maka dari itu dibutuhkan penegasan peraturan
berpolitik termasuk mengenai sanksi atau hukuman yang diperuntukkan bagi
penyalahguna kekuasaan agar dapat memberi efek jera bagi siapapun yang
melanggarnya dan memberi rasa “takut untuk menyalahgunakan kekuasaan”

4. Memperbaiki sistem politik Indonesia menjadi lebih baik


Menurut Sunarto, pembangunan sistem politik dalam arti luas disamping
ditujukan untuk terwujudnya pemerintahan yang stabil, efektif, dan efisien
serta pergantian pemerintahan yang tertib, juga ditujukan pada berfungsinya
secara baik lembaga-lembaga negara yang lain, sehingga terwujud
keseimbangan pemerintahan dan mekanisme pengawasan yang mampu
menghindari tindakan yang sewenang-wenang dari lembaga negara.
Pembangunan sistem politik merupakan suatu proses dalam menata unsur-
unsur kehidupan politik, sehingga untuk sementara atau seterusnya dapat
mewujudkan keadaan yang baik.
Kondisi politik pasca Reformasi menjadikan masyarakat dihidangkan
dengan sistem politik baru yang menuntut masyarakat untuk lebih terlibat
secara proaktif didalamnya. Oleh karenanya pembangunan politik diarahkan
kepada peningkatan kesadaran politik masyarakat serta penanaman nilai yang
bertujuan untuk menciptakan sistem politik yang demokratis.
Dalam mewujudkan pembangunan politik yang demokratis prinsip
pemerintahan yang baik (good governance) mutlak adanya. Seperti yang
tertuang dalam UU No 28 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, terdapat tujuh prinsip
penyelenggaraan negara yaitu asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
profesionalitas, dan tentunya asas akuntabilitas. Dimana pemerintahan yang
baik akan meningkatkan tikat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
yang berdampak pada pemerintahan yang stabil.

5. Mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan politik


yang bermoral.
Dalam rangka mewujudkan kehidupan politik yang bermoral tentunya
sangat diperlukan partisipasi masyarakat sebagai salah satu unsur pendukung,
maka dari itu diperlukan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk berpartisipasi dalam rangka menciptakan kehidupan politik
yang lebih bermoral.
BAGIAN III
PENUTUP

Menjadi seorang pemimpin dalam hal ini seorang presiden adalah suatu
kebanggaan sekaligus merupakan wadah dari seluruh harapan rakyat Indonesia.
Menjadi presiden tidaklah mudah karena seorang presiden mempunyai tanggung
jawab yang berat di dunia maupun di akhirat.

Menciptakan kehidupan politik yang bermoral adalah sesuatu yang dapat


dilakukan dengan catatan seperti bermoral dan bertanggung jawab, sebelum kita
menjadi presiden kita harus mempunyai niat yang baik, niat yang tulus untuk
mensejahterakan rakyat, bukan untuk mengejar kekuasaan, jabatan, kekayaan,
ataupun yang lainnya.

Seorang pemimpin dituntut untuk dapat menanamkan rasa solidaritas antar


anggota partai dan instansi politik serta memperbaiki komunikasi, karena
bagaimanapun, komunikasi antar aktor politik sangat mempengaruhi pergerakan
politik di panggung politik.

Dalam menjalankan tugas politik harus diutamakan perpaduan moral dan


kekuasaan. Negara dan pemerintah dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus
memiliki moral yang baik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara
universal serta sebagai suatu faktor utama agar dapat mewujudkan cita-cita bangsa
untuk negara yang maju dan lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai