Anda di halaman 1dari 12

ETIKA DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA

Disusun oleh:
KELOMPOK 8
1. Zulfia Salsabilla (E1S022143)
2. Ariyandi Darmawansyah (E1S022144)
3. Hendriyanti RS (E1S022145)

PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia dan taufik serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
ilmu dan keterampilan yang kami miliki. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang Etika sosial dan etika
politik dalam pergaulan hidup dengan mata Etika Sosial dan Politik. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki kekurangan dan jauh dari harapan kami. Semoga
makalah mi dapat dipahami oleh semua orang yang membacanya.

Mataram, 28 oktober 2023


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Metode
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Politik
B. Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
C. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Pancasila Sebagau Sumber Etika Politik
D. Dimensi Politik Manusia
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai dasar negara, pancasila memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa
diimplementasikan sebagai etika politik bangsa. Secara istilah, etika politik merujuk
pada proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang dijiwai oleh nilai-nilai
tertentu seperti Pancasila. Prosesnya dilakukan dengan mempertimbangkan landasan
fundamental dan rumusan undang-undang. Di Indonesia, kehidupan politik belum
berjalan dengan maksimal. Buktinya adalah sederet praktik korupsi, penyelewengan,
dan penggelapan uang yang masih kerap dilakukan oleh oknum tertentu. Untuk
menghilangkan tabiat buruk tersebut, perlu diimplementasikan etika politik Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan etika politik?
2. Bagaimana peran pancasila sebagai etika politik di indonesia?
3. Bagamana penerapan etika politik pancasila di negara indonesia?
4. Bagaimana dimensional etika politik manusia?
C. Tujuan
1. Memahami apa yang dimaksud dengan etika politik
2. Mengetahuiperan pancasila sebagai etika politik di indonesia
3. Memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang menjadi
landasan etika politi
4. Serta mengetahui dimensional politik manusia
D. Metode
Metode pada penulisan makalah ini yaitu “Penelusuran Pustaka” atau
“Penelitian Kepustakaan”. Makalah ini disusun dengan menganalisis sumber-sumber
tertulis seperti buku, jurnal, artikel, dan literatur terkait lainnya untuk memperoleh
pemahaman mendalam tentang topik yang kita sajikan yaitu “Etika Politik dalam
Kehidupan di Indonesia”.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Politik


Politik berasal dari kata “polis” (negara kota), yang kemudian berkembang
menjadi kata dan pengertian dalam barbagai bahasa. Aristoteles dalam Politics
mengatakan bahwa “pengamatan pertama-tama menunjukan kepada kita bahwa setiap
polis atau negara tidak lain adalah semacam asosiasi. Istilah politik dalam
ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan,
ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-
tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai
politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat
tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek
sebagai pelaku etika yaitu manusia. Etika politik mempertanyakan tanggung jawab
dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara
terhadap negara (Suseno 1994: 14). Kebaikan sebagai manusia dan kebaikan sebagai
warga negara tidak identik. Identitas sebagai manusia yang baik dan warga negara
yang baik hanya bisa terwujud apabila negara sendiri baik. Jika negaranya buruk, di
mana orang baik sebagai warga negara hidup dalam aturan negara buruk, maka orang
tadi menjadi buruk sebagai manusia. Demikian pula, dalam negara buruk, manusia
yang baik sebagai manusia, akan buruk pula sebagai warga negara karena tidak dapat
hidup sesuai dengan aturan buruk negara. Negara yang ideal dengan warga negara
yang ideal adalah suatu negara yang dapat membahagiakan rakyatnya, didukung oleh
individu warga negara yang secara moral dan etis baik.
Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral.
Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian
kewajiban-kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia
sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun
negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia.
Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa
didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa
berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
B. Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup
dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat
yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme
mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan
berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan
kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan
beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib
diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus
diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu,
hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam
pengertian sebagai berikut: a) Mutlak karena manusia memilikinya bukan
karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena pemberian Sang
Pencipta: b) Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai
disadari, diambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh
adat/tradisi, dan sebaiknya diancam oleh Negara modern.
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan
juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia
hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri,
melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas
manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok
etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini
termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua
lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-
masing.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah
elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan
orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa
mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan
kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system
penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi hanya
dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :a) Pengakuan dan jaminan terhadap
HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi
kediktatoran mayoritas; b) Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam
ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum
merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang
sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan.
Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai
pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu, keadilan sosial
tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang
terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah
diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas
dasar ras, suku dan budaya. Untuk itu tantangan etika politik paling serius di
Indo33/91 sekarang adalah: a) Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan,
sosial; b) Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama
ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa
berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat; c) Korupsi.
C. Nilai-nilai Terkandung dalam Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan nilai yang menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala
penjabaran norma hukum, norma moral, dan norma kenegaraan³. Norma kenegaraan
yang dimaksud salah satunya adalah etika politik. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan negara dijalankan
sesuai dengan norma tertentu, yaitu:
a. Asas legalitas atau legalitas hukum yang dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku. Disahkan dan dijalankan secara demokratis.
b. Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan
moral yang berlaku.

Pancasila sebagai sumber etika politik memiliki makna bahwa dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, seluruh aspek yang menyangkut kekuasaan,
kebijaksanaan yang berkaitan dengan publik, dan pembagian kewenangan harus
berdasarkan legitimasi moral religius, legitimasi hukum, dan legitimasi demokrasi

Legitimasi moral religius sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu


Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Legitimasi hukum sesuai dengan pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar atau UUD
1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Legitimasi demokrasi sesuai
dengan sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

D. Dimensi Politik Manusia


Dalam perspektif etika politik, manusia memiliki dimensi politis. Dimensi
politis manusia, dapat dikaji dari tiga hal. Pertama, manusia sebagai makhluk sosial.
Kedua, manusia dengan dimensi kesosialannya. Ketiga, dimensi politis kehidupan
manusia.
Dalam pengertian yang pertama, manusia sebagai makhluk sosial dipahami
dalam arti keseimbangan. Manusia memang bebas bertindak menurut kehendaknya,
tetapi ia hanya mempunyai arti ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat. Arti
sebagai manusia hanya dapat diperoleh pada saat ia berinteraksi dengan manusia
lainnya didalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Suseno(1994:16),” manusia
hanya mempunyai eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan
berkembang karena ada orang lain”.
Dalam arti kedua, kesosialan manusia dinyatakan dalam tiga dimensi, yaitu (1)
dalam penghayatan spontan individual.(2) berhadapan dengan lembaga-lembaga,dan
(3) melalui pengartian simbolis terhadap realitas. Manusia menghayati bahwa
kehidupan sehari-hari yang ia alami adalah konkret dan spontan. Dalam segala
aktivitasnya, manusia sadar bahwa ia hidup senantiasa dilihatdan diawasi oleh
manusia lainnya. Kesedihan dan kesenangan diperoleh individu manusia dalam
interaksinya dengan orang lain. Pendek kata, ia menemukan diri ketika berada dalam
kebersamaan orang lain. Hubungan sosial yang dilalui individu manusia adalah
berstruktur. Ada kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi melalui kebersamaan dengan
orang lain. Demikian pula, ada lebih banyak lagi kebutuhan dapat dipenuhi dan
dipermudah ketika diusahakan bersama-sama orang lain. Untuk menjamin agar fungsi
struktur berlangsung lestari, maka dikembangkan pola-pola bertindak bersama, yaitu
lembaga.
Lembaga dipahami sebagai bentuk kolektif atau struktur dasar dari organisasi
sosial sebagaimana dibangun oleh hukum atau manusia (Duverger 1985:105). Dalam
perspektif sosiologi politik, lembaga dibagi dalam dua bentuk, yaitu lembaga yang
dibentuk dengan sengaja atau institutions by design dan lembaga yang secara
kebetulan merupakan fakta atau institutions by fact. Eksistensi lembaga yang sengaja
dibentuk didasarkan pada norma dan hukum. Lembaga jenis ini berfungsi menurut
undang-undang yang dibuat terdahulu yang mengatur perilaku anggota masyarakat
melalui rule of conduct. Sementara itu, institution by fact bersifat deterministik,
dimana seseorang mendapatkan pengaruh kekuasaan secara otomatis (Handoyo
2008).
Dimensi kesosialan manusia yang ketiga, yakni dalam arti simbolis, mengacu
pada apa yang disebut Berger dengan “symbolic universe of meaning” (Suseno
1994:19), yaitu segala macam paham, kepercayaan, pandangan, dan keyakinan
tentang makna realitas sebagai keseluruhan.Dunia simbolik pengartian atau
pemaknaan itu, termasuk di dalamnya agama, pandangan dunia (world view), sistem
nilai, pandangan moral, politis dan estetis, serta keyakinan falsafah dan ideologi.
Sistem simbolis ini menjelaskan kepada manusia tentang siapa dia, bagaimana ia
harus hidup, mengapa alam dan masyarakat berstruktur sebagaimana ia menemukan
apa yang baik dan buruk serta apa yang bernilai dan tidak bernilai terkait dengan
kesemestaan tersebut. Fungsi utama sistem simbolik tersebut adalah memberikan
legitimasi terhadap struktur sosial yang dihadapi manusia, sehingga ia memperoleh
orientasi dan kepastian dalam hidup.
Dalam rangka dimensi kesosialan manusia, dimensi politis mencakupi
lingkaran kelembagaan hukum dan negara, sistem nilai dan ideologi yang
memberikan legitimasi kepada manusia. Dimensi politis manusia dipahami sebagai
dimensi masyarakat secara keseluruhan (Suseno 1994:19). Sebuah pendekatan disebut
politis jika pendekatan tersebut terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada
masyarakat sebagai keseluruhan. Keputusan bersifat politis, bila diambil dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Demikian pula, suatu
tindakan disebut politis, apabila menyangkut atau menyentuh kepentingan masyarakat
sebagai keseluruhan. Dimensi politis manusia ini berkaitan dengan dua kemampuan
fundamental manusia, yaitu makhluk yang tahu atau berorientasi dan makhluk yang
mau atau bertindak.
Dimensi politis manusia berfungsi dalam kerangka kehidupan masyarakat.
Untuk ini, perilaku manusia dalam masyarakat perlu ditata, baik secara normatif
maupun efektif. Tindakan manusia dalam masyarakat ditata secara normatif melalui
tiga cara, yaitu melalui rintangan-rintangan fisik, melalui kondisionasi psikis, dan
secara normatif. Hukum merupakan lembaga penata perilaku manusia dalam
masyarakat secara normatif. Hukum memberitahukan kepada anggota masyarakat
bagaimana mereka harus berkelakuan. Hukum hanya bersifat normatif dan seringkali
tidak efektif. Artinya, hukum tidak dapat menjamin agar orang mentaati perintah dan
menjauhi larangan. Lembaga yang memiliki kekuasaan yang dapat memaksakan
perilaku orangatau masyarakat agar taat kepada hukum. Lembaga itulah yang disebut
negara. Hukum dan negara sebagai bagian dari studi etika politik, merupakan dua
penata masyarakat yang ideal. Hukum merupakan lembaga penata masyarakat secara
normatif, sedangkan negara merupakan lembaga penata masyarakat yang efektif.
Hukum tanpa negara, tidak dapat berbuat apa- apa untuk mengatur masyarakat secara
efektif. Demikian pula, negara tanpa hukum ibarat sosok fisik manusia kuat tanpa
otak dan hati nurani, sehingga tindakannya dapat menginjak-injak harkat dan martabat
manusia.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaitan dengan bidang kehidupan politik,
politik juga memiliki makna dan bermacam-macam kegiatan, dalam sistempolitik negara dan
politik lainnya harus berpedoman dan mengacu pada butir-butir yang terdapat dalam
Pancasila, dengan tujuan demi kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat (publik) dan
bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau individu. Dalam hubungan dengan etika
politik bahwa pengertian politik harus dipahami secara lebih luas yaitu yang menyangkut
seluruh unsur yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut Negara dan
Masyarakat. Dalam kapasitas berhubungan dengan moral, maka kebebasan manusia
dalammenentukan tindakan harus bisa dipertanggungjawabkan, sesuai aturan yang telah
ditetapkan dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekelilingnya. Sifat serta ciri khas
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis
melainkan segala keputusan kegiatan dan kebijakan serta arah dari tujuan politik harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.

Saran

Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan berbangsa,


bernegara dan bermasyarakat serta berpolitik dalam berbagai segi kegiatan dapat terwujud
dengan baik dan lancar. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah
selaku pemegang amanat rakyat dan penyelenggara Negara harus mentaati peraturan yang
telah ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negaraditentukan oleh kondisi pemerintah
yang absolut, pemerintah yang didukung penuh oleh rakyat, karena kedaulatan tertinggi
berada di tangan dan rakyat merupakan bagian terpenting dari terbentuknya suatu Negara.

DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, S. Etika Sosial
Handoyo, E. Susanti, M, H. Munandar, M, A. 2016. Etika Politik. Widya Karya
SEMARANG

Anda mungkin juga menyukai