Anda di halaman 1dari 4

a.

Pengertian Etika Politik


Politik berasal dari kata “polis” (negara kota), yang kemudian berkembang menjadi
kata dan pengertian dalam barbagai bahasa. Aristoteles dalam Politics mengatakan bahwa
“pengamatan pertama-tama menunjukan kepada kita bahwa setiap polis atau negara tidak
lain adalah semacam asosiasi. Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata
cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik
pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya
menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Secara subtantif pengertian
etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Etika
politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan
hanya sebagai warga negara terhadap negara (Suseno 1994: 14). Kebaikan sebagai manusia
dan kebaikan sebagai warga negara tidak identik. Identitas sebagai manusia yang baik dan
warga negara yang baik hanya bisa terwujud apabila negara sendiri baik. Jika negaranya
buruk, di mana orang baik sebagai warga negara hidup dalam aturan negara yang buruk,
maka orang tadi menjadi buruk sebagai manusia. Demikian pula, dalam negara buruk,
manusia yang baik sebagai manusia, akan buruk pula sebagai warga negara karena tidak
dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara. Negara yang ideal dengan warga negara
yang ideal adalah suatu negara yang dapat membahagiakan rakyatnya, didukung oleh
individu warga negara yang secara moral dan etis baik.
Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia
sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-
kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia.
Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia.
Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan
kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu
kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang
tidak baik dalam arti moral.
b. Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan
positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda
pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan
terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi,
toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan
sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab.
Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan
dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar
sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, hak-hak asasi manusia
adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut: a) Mutlak
karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat,
melainkan karena pemberian Sang Pencipta: b) Kontekstual karena baru mempunyai
fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas di mana manusia tidak
lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaiknya diancam oleh Negara modern.
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga
demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup
menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara
melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia
menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan
keterbatasan masing-masing.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit
atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain
harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang
dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka
mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak
masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua
dasar yaitu :a) Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM
menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas; b) Kekuasaan
dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum
demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi
(karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan
keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide,
ideologi-ideologi, agama-agama tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan
sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan,
keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang
ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di semua bidang terhadap
perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya. Untuk itu
tantangan etika politik paling serius di Indo33/91 sekarang adalah: a) Kemiskinan,
ketidakpedulian dan kekerasan, sosial; b) Ekstremisme ideologis yang anti pluralism,
pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak
Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat; c)
Korupsi.
c. Nilai-nilai Terkandung dalam Pancasila sebagai Sumber Etika Politik

d. Dimensi Politik Manusia


Dalam perspektif etika politik, manusia memiliki dimensi politis. Dimensi politis
manusia, dapat dikaji dari tiga hal. Pertama, manusia sebagai makhluk sosial. Kedua, manusia
dengan dimensi kesosialannya. Ketiga, dimensi politis kehidupan manusia.
Dalam pengertian yang pertama, manusia sebagai makhluk sosial dipahami dalam
arti keseimbangan. Manusia memang bebas bertindak menurut kehendaknya, tetapi ia
hanya mempunyai arti ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat. Arti sebagai manusia
hanya dapat diperoleh pada saat ia berinteraksi dengan manusia lainnya didalam
masyarakat. Sebagaimana dikatakan Suseno(1994:16),” manusia hanya mempunyai
eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena ada orang
lain”.
Dalam arti kedua, kesosialan manusia dinyatakan dalam tiga dimensi, yaitu (1) dalam
penghayatan spontan individual.(2) berhadapan dengan lembaga-lembaga,dan (3) melalui
pengartian simbolis terhadap realitas. Manusia menghayati bahwa kehidupan sehari-hari
yang ia alami adalah konkret dan spontan. Dalam segala aktivitasnya, manusia sadar bahwa
ia hidup senantiasa dilihatdan diawasi oleh manusia lainnya. Kesedihan dan kesenangan
diperoleh individu manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Pendek kata, ia
menemukan diri ketika berada dalam kebersamaan orang lain. Hubungan sosial yang dilalui
individu manusia adalah berstruktur. Ada kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi melalui
kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula, ada lebih banyak lagi kebutuhan dapat
dipenuhi dan dipermudah ketika diusahakan bersama-sama orang lain. Untuk menjamin agar
fungsi struktur berlangsung lestari, maka dikembangkan pola-pola bertindak bersama, yaitu
lembaga.
Lembaga dipahami sebagai bentuk kolektif atau struktur dasar dari organisasi sosial
sebagaimana dibangun oleh hukum atau manusia (Duverger 1985:105). Dalam perspektif
sosiologi politik, lembaga dibagi dalam dua bentuk, yaitu lembaga yang dibentuk dengan
sengaja atau institutions by design dan lembaga yang secara kebetulan merupakan fakta atau
institutions by fact. Eksistensi lembaga yang sengaja dibentuk didasarkan pada norma dan
hukum. Lembaga jenis ini berfungsi menurut undang-undang yang dibuat terdahulu yang
mengatur perilaku anggota masyarakat melalui rule of conduct. Sementara itu, institution by
fact bersifat deterministik, dimana seseorang mendapatkan pengaruh kekuasaan secara
otomatis (Handoyo 2008).
Dimensi kesosialan manusia yang ketiga, yakni dalam arti simbolis, mengacu pada
apa yang disebut Berger dengan “symbolic universe of meaning” (Suseno 1994:19), yaitu
segala macam paham, kepercayaan, pandangan, dan keyakinan tentang makna realitas
sebagai keseluruhan.Dunia simbolik pengartian atau pemaknaan itu, termasuk di dalamnya
agama, pandangan dunia (world view), sistem nilai, pandangan moral, politis dan estetis,
serta keyakinan falsafah dan ideologi. Sistem simbolis ini menjelaskan kepada manusia
tentang siapa dia, bagaimana ia harus hidup, mengapa alam dan masyarakat berstruktur
sebagaimana ia menemukan apa yang baik dan buruk serta apa yang bernilai dan tidak
bernilai terkait dengan kesemestaan tersebut. Fungsi utama sistem simbolik tersebut adalah
memberikan legitimasi terhadap struktur sosial yang dihadapi manusia, sehingga ia
memperoleh orientasi dan kepastian dalam hidup.
Dalam rangka dimensi kesosialan manusia, dimensi politis mencakupi lingkaran
kelembagaan hukum dan negara, sistem nilai dan ideologi yang memberikan legitimasi
kepada manusia. Dimensi politis manusia dipahami sebagai dimensi masyarakat secara
keseluruhan (Suseno 1994:19). Sebuah pendekatan disebut politis jika pendekatan tersebut
terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
Keputusan bersifat politis, bila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
sebagai keseluruhan. Demikian pula, suatu tindakan disebut politis, apabila menyangkut atau
menyentuh kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Dimensi politis manusia ini
berkaitan dengan dua kemampuan fundamental manusia, yaitu makhluk yang tahu atau
berorientasi dan makhluk yang mau atau bertindak.
Dimensi politis manusia berfungsi dalam kerangka kehidupan masyarakat. Untuk ini,
perilaku manusia dalam masyarakat perlu ditata, baik secara normatif maupun efektif.
Tindakan manusia dalam masyarakat ditata secara normatif melalui tiga cara, yaitu melalui
rintangan-rintangan fisik, melalui kondisionasi psikis, dan secara normatif. Hukum
merupakan lembaga penata perilaku manusia dalam masyarakat secara normatif. Hukum
memberitahukan kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus berkelakuan. Hukum
hanya bersifat normatif dan seringkali tidak efektif. Artinya, hukum tidak dapat menjamin
agar orang mentaati perintah dan menjauhi larangan. Lembaga yang memiliki kekuasaan
yang dapat memaksakan perilaku orangatau masyarakat agar taat kepada hukum. Lembaga
itulah yang disebut negara. Hukum dan negara sebagai bagian dari studi etika politik,
merupakan dua penata masyarakat yang ideal. Hukum merupakan lembaga penata
masyarakat secara normatif, sedangkan negara merupakan lembaga penata masyarakat yang
efektif. Hukum tanpa negara, tidak dapat berbuat apa- apa untuk mengatur masyarakat
secara efektif. Demikian pula, negara tanpa hukum ibarat sosok fisik manusia kuat tanpa otak
dan hati nurani, sehingga tindakannya dapat menginjak-injak harkat dan martabat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, S. Etika Sosial

Handoyo, E. Susanti, M, H. Munandar, M, A. 2016. Etika Politik. Widya Karya SEMARANG

Anda mungkin juga menyukai