Anda di halaman 1dari 192

Secangkir Kopi

Tentang Semangat Ber-HMI

Sebuah Catatan Harian

Ibnu Arsib
Pengantar Penulis

Segala puja dan puji tiada bertempat lain kecuali tertuju kepada Allah Swt.

Ucapan rasa syukur yang sedalam-dalamnya hanya tertuju kepada-Nya atas

berkat, rahmat dan nikmat-Nya, sehingga saya dapat menyusun tulisan ini yang

pada mulanya adalah tulisan-tulisan yang berserak di media-media online.

Semoga kita semuanya, terkhususnya kader-kader HMI terus mempertahankan

budaya tulis-menulis yang menjadi salah satu kekuatan HMI dari semenjak

berdirinya hingga masa kini.

Salam sejahtera tak lupa dan tak henti-henti kita ucapkan kepada junjungan kita,

Muhammad Rasulullah Saw. manusia yang dipilih sebagai pembawa risalah-

risalah dari Allah Swt. Dialah (Muhammad Saw) pembawa obor perubahan yang

berlandaskan Islam dan Ia adalah panutan yang selayak-layaknya menjadi panutan

ummat manusia.

Syukur Alhamdulillah, sungguh awalnya tidak terpikirkan bahwa akhirnya

tulisan-tulisan ini dapat dikumpulkan sehingga menjadi kumpulan tulisan yang

saling berkaitan dari satu judul terhadap judul yang lain. Tulisan ini merupakan

kumpulan tulisan-tulisan penulis yang aktif menulis tentang HMI semenjak tahun

2016 hingga awal-awal 2018.

Tulisan-tulisan ini muncul dikarenakan berbagai sebab. Sebab yang pertama

adalah karena adanya keresahan terkait memudarnya atau hilangnya suatu


kekuatan HMI masa kini. Sebab kedua adalah sering melihat adanya ketidak

sesuai dengan apa yang seharusnya diharapkan dengan apa yang terjadi. Dan juga

sebab-sebab lainya, yang pada intinya sebab itu beradu dalam rasa (Qalb) dan

pikiran(Fikr). Maka oleh karena itu, kumpulan tulisan-tulisan ini yang diterbitkan

diberbagai media massa online, seperti Mudanews.com, Medanheadlines.com, dan

Yakusa Blog, saya susun kembali dengan sedikit perubahan. Tulisan-tulisan ini

lebih terfokus meneropong HMI masa kini.

Semenjak menjadi Instruktur HMI di HMI Cabang Medan, tahun 2016, penulis

aktif mengelola-mengelola training di HMI, baik formal maupun informal.

Terkadang ide-ide tulisan ini muncul dari sana. Di tengah-tengah kesibukan

sebagai seorang mahasiswa dan sekaligus juga Instruktur HMI, awalnya tidak

percaya tulisan ini bisa menjadi tersusun. Motivasi menulis lembar demi lembar

membuat penulis terus bersemangat dan berkeyakinan akan dapat

membukukannya yang Insya Allah dapat berguna bagi kader-kader HMI saat ini.

Membaca, berdiskusi, dan menulis adalah suatu tradisi HMI yang hari ini sudah

sangat menurun jika dibandingkan dengan kuantitas HMI yang terus meningkat.

Hal yang tiga tersebut menjadi aktivitas rutin saya setiap hari, baik itu saya

praktikan di kampus maupun di “kampus” HMI. Aktivitas-aktivitas ini sudah saya

samakan dengan kebutuhan pokok dalam kehidupan.

Dalam buku yang saya tulis ini, tidak lepas dari kajian, analisa, teori, realita

zaman serta semangat ber-HMI yang saya tulis dalam bahasa-bahasa sederhana,

juga suatu tulisan yang bersifat otokritik yang konstruktif. Tujuannya adalah agar
lebih mudah untuk dipahami kader-kader HMI masa kini. Buku ini juga

merupakan buku pertama saya dan bentuk sumbangsih kecil bagi suatu organisasi

yang sangat besar, HMI. Organisasi yang pendirinya, Lafran Pane, telah menjadi

Pahlawan Nasional Republik Indonesia, atas jasa dan perjuangannya kepada

Negara Indonesia lewat berjuang di HMI. Dan juga telah melahirkan tokoh-tokoh

bangsa.

Untuk selanjutnya, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya pada

kedua orangtua saya, di mana mereka terus mendukung saya untuk selalu menulis,

walau terkadang mereka sering protes karena sering menghabiskan waktu di meja

belajar ketika saya berada di rumah. Mereka sangan menginginkan saya supaya

cepat lulus kuliah dan menjadi sarjana dan kerja disuatu perkantoran, selayaknya

anak teman-teman mereka. Akan tetapi, saya bertentangan dengan mereka, saya

memang ingin sarjana tapi saya ingin menjadi penulis.

Terimaksih juga kepada keluarga besar HMI Komisariat UISU yang tak dapat

saya sebut satu persatu dalam buku ini. Di sinilah awal-awal saya banyak

mendapat pelajaran dan pengalaman dalam keilmuan dan pengalaman.

Pembentukan karakter dan pola pikir saya dapatkan di HMI Komisariat UISU.

Terimakasih juga kepada seluruh teman-teman Instruktur HMI Cabang Medan,

baik Instruktur Tua dan Instruktur Muda, karena kita terus komitmen dalam

berjuang di medan training HMI, walau terkadang terjadi silih pendapat.

Terimakasih juga kepada teman-teman Pengurus HMI Cabang Medan, baik itu di
masa periode kita dan periode sekarang, karena masih komitmen untuk terus

menjalankan perkaderan di HMI.

Tentunya tak lupa, ini sangat khusus sekali kepada seluruh kader HMI Cabang

Medan dan umumnya seluruh kader HMI se-Indonesia. Ada saudara Taufik

Hidayat, Adit, Ardi, Lowrend, Fitrah, Mus’ab, Abdul Rahman, Egi, Agung

Mardani, Fadel Muhammad, Mustafa Habib, Aulia Akbar Askam (A3),

Muhammad Ridho, untuk seluruh HMI-Wati baik yang dikenal maupun belum

dikenal dan teman-teman yang tak dapat saya sebutkan satu persatu namanya

dalam buku ini. Semoga kita semuanya dapat selalu berkumpul di Ngopi Kita

(Ngobrol Pintar Kader Insan Cita) di Pendopo Sekretariat HMI Cabang Medan.

Tiada gading yang tak retak. Begitu pulalah dengan karya ini. Mohon sumbangsih

dan sarannya dengan tujuan semata-mata untuk perbaikan. Mohon maaf juga

apabila ada yang tersindir dengan karaya ini. Bukan maksud hendak

“menyerang”, tapi karena niat ingin menyadarkan kita semua supaya kita tetap

semangat ber-HMI. Dengan Secangkir Kopi Tentang Semangat Ber-HMI ini dapat

membuka wacana dan semangat ber-HMI di era masa kini. Selamat membaca,

monggo diseruput.

Tiada makhluk yang sempurna, karena kesempurnaan itu milik-Nya secara

mutlak. Dan kepada-Nya-lah kita kembali.

Medan, Januari 2018

Ibnu Arsib
Secangkir Kopi Tentang Semangat Ber-HMI

Tengah malam itu cuaca sangat dingin. Hujan rintik-rintik membasahi halaman

rumah yang aku tempati. Rumah itu sering aku sebut UNISA, kependekan dari

Universitas Islam Santun. Saya sebut sebagai universitas bukanlah seperti

universitas-universitas yang kita kenal seperti UI, UII, UGM, UISU, USU,

UNIMED dan nama-nama universitas lainnya. Rumah itu aku sebut Unisa

(universitas), karena setiap harinya kader-kader HMI ada di rumah itu. “Mereka-

mereka ngampus”, maksudnya ngampus layaknya seperti kegiatan di kampus.

Ada yang diskusi, ada yang sharing pendapat, ada yang bercanda tawa, ada yang

membaca, dan aktivitas-aktivitas positif lainnya. Kebetulan itu juga menjadi

Sekretariat mereka. Sedangkan kata “Santun” tersebut, maksudnya adalah alamat

rumah itu di Jln. Santun, Kel. Sudirejo, Medan Kota.

“Cruouukkkkkkk……” Keseduh secangkir kopi panas yang biasa menemaniku

setiap malam di kala kami sedang berdiskusi lepas tengah malam dan di kala aku

sedang menulis dan juga membaca.

“Uughhhhh……..aroma kopinya harum sekali.” Suaraku terdengar pelan

menikmati aroma kopi seperti seorang yang penikmat narkoba yang lagi sedang

sakau.

Setelah aku menyeduh dan mengaduk-aduk kopi panas ke meja di mana tempat

biasa aku membaca dan menulis. Rasanya malam itu aku kurang bergairah untuk

menulis. Untuk merefresh aku pun menghidupkan laptop dan menghidupkan wifi

dari salah satu smart phone teman yang lagi sedang asyik bermimpi di alam sana.
Rencana ingin membaca berita-berita media online malam. Tapi entah kenapa,

aku merasa tidak juga bergairah membacanya. Berita-beritanya tidak sehat,

menurutku. Dan isu-isunya semuanya berita-berita receh dan manifulasi atas

kepentingan kelompok.

“Ah…lebih baik aku buka Fb, mana tahu ada pesan dari teman-teman.” Terucap

dalam hati.

“Crek…crekk…” Aku menghidupkan sebatang rokok, kemudian menyeruput kopi

yang sangat nikmat itu.

“Oh..banyak sekali pemberitahuan yang telah masuk. Inbox fb juga banyak.”

Gumamku dalam hati.

Perlahan-lahan aku membuka pesan-pesan yang telah masuk. Membacanya secara

pelan-pelan dengan penuh konsentrasi. Awalnya aku hanya menganggap tulisan

dalam pesan itu biasa-biasa saja. Tapi, semakin aku baca pesan itu semakin serius.

“Aku pengen diskusi, sebenrnya ber-HMI itu untuk apa Bang?” Demikian kalimat

pembukanya. “Karna titik koordinat awalnya adalah syiar dan mempertahankan

NKRI kan bg, kalo aku sederhananya ber-HMI kan berdakwah, ditambah lagi aku

tau bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah alumni kan bg, plus Arifin Ilham juga

alumni. Maksudnya ber-HMI itu untuk ummat, untuk pemerintah, atau untuk

organisasi ini doank? Makalah LK II ku itu Bang.”

Awalnya aku tak paham dengan maksud tulisan itu. Pertanyaannya sangat serius

tapi pake logat anak-anak Medan, jadi sedikit sulit. Setelah aku baca sampai tiga
kali, aku pun mulai paham maksud keluhannya itu. Pasukan tangankupun berpacu

bergerak-gerik di atas papan ketik.

“Satu yang harus mantum pahami.” Kalimat pertama dariku, Mantum itu

maksudnya adalah singaktan dari Mantan Ketua Umum. Yang mengirimkan pesan

itu adalah salah satu Mantan Ketua Umum Komisariat yang ada di HMI Cabang

Medan.

“Hari ini Kader-Kader HMI kita telah terdegradasi. Nah, ente sebagai orang yang

resah seperti abang ini, harus memunculkan ide-ide untuk mengkonstruksi HMI

lagi. Kekecewaan terhadap kualitas HMI saat ini sudah pernah terjadi di awal-

awal tahun 80-an hingga 90-an. di tahun 1994-1999, HMI mendapat “darah” segar

untuk bangkit. tapi, di setelah reformasi, HMI mulai memudar hingga krisis

sampai hari ini. Situasi nasional dan internasional yang dipengaruhi teknologi

menjadi salah satu faktornya. Kader-kader terpengaruh sisi negatifnya, bukan

memanfaatkan sisi positifnya. HMI tetap untuk ummat dan bangsa, jika kader-

kader menjalankan apa yang tertuang dalam Al-Qur'an, Hadist, Tujuan HMI

(pasal 4), Usaha-usaha HMI (pasal 5), dan NDP HMI.”

“Pergerakan itu dijalankan dengan banyak cara, ada dengan sendiri, ada dengan

kelompok. Banyak pula metodenya, ada dengan menulis, tentunya ketika itu

sendri, ada dengan berceramah, ada dengan bersedekah, dan banyak lainnya.

Tinggal pilih mana, sesuai dengan kondisi.”

“Tekk….” Suara tombol Enter pada keyboard mengirimkan tanggapanku.


Dalam tulisan tanggapanku itu, sempat aku mengirmkan link tulisan yang berjudul

Kita Harus Tetap Bersemangat Ber-HMI. Aku merasa bukan dia dan aku saja

yang meresakan hal-hal yang ia sebutkan tadi. Bukan dia dan aku saja yang

merasakan bahwa saat ini HMI mengalami degradasi. Pasti banyak kader-kader

dan atau alumni-alumni yang merasakan itu.

Rintikan hujanpun semakin terdengar deras, malam makin dingin, secangkir kopi

itupun menghangatkan suasana. Dan harapannya juga kader-kader HMI yang

masih aktif sekarang harus tetap semangat ber-HMI dan menjalankan misi-misi

organisasi.[]
Tiga Pilar Pemikiran HMI

Lahirnya suatu organisasi tentulah mempunyai suatu tujuan, dimana tujuan itu

terkadang berangkat dari suatu permasalahan yang sedang dihadapi dan atau

berangkat dari suatu cita-cita yang ingin dicapai. Setiap organisasi akan

menggariskan tujuannya masing-masing dalam konsep pemikiran yang tertuang

dalam suatu aturan main organisasi sehingga menjadi landasan aktivitas suatu

organisasi tersebut.

Himpunan Mahasiswa Islam atau yang lebih akrab disebut dengan singkatan

HMI, adalah organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia, berdiri sejak tahun

1947. HMI secara sosial-historis telah mengakar di negeri tercinta ini. Ruh-ruh

HMI tidak dapat lagi dipisahkan dengan negara ini.

Sejak kelahirannya, HMI telah menggariskan ide-ide pemikiran dalam pola

lakunya, baik secara institusi maupun individual seorang kader. Pemikiran HMI

berangkat dari latar belakang keadaan yang dialami pada masa itu, sebelum HMI

berdiri hingga sampai akhir ini, HMI masih konsisten berada ditengah-tengah

perubahan sosial.

Pada kesempatan ini, penulis mengistilahkannya dengan “Tiga Pilar Pemikiran

HMI”, kalau kita lihat dalam bukunya Hariqo Wibawa Satria, tiga pilar tersebut

diistilahkan dengan “Wawasan”. Tiga pilar pemikiran yang kita dimaksud adalah

Pemikiran Keislaman (Keagamaan), Pemikiran Keindonesiaan (Kebangsaan) dan

Kemahasiswaan (Perguruan Tinggi/Keilmuan). Dalam sejarah berdirinya HMI,

kondisi dari tiga tersebut menjadi latar belakang berdirinya HMI di Indonesia.
Tiga pilar pemikiran tersebut hingga sampai akhir ini mengakar dalam diri HMI

yang diaplikasikan oleh kader-kadernya. Tiga pilar tersebut masih menjadi ciri

khas organisasi HMI.

Pilar Keislaman

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin menjadi nafas HMI. Pilar ini,

bentuk daripada ciri khas HMI bahwa organisasi ini adalah suatu organisasi yang

mengakui suatu agama (Islam) sebagai pemikirannya. Lafran Pane, seorang

pendiri HMI mengatakan, sebagai organisasi kader, HMI menginginkan

mahasiswa yang beragama Islam mengenal dan menghayati ajaran agamanya,

serta mengamalkannya di mana pun dia berada. Tentunya penghayatan.

Pengenalan dan pengamalan agama tersebut disesuaikan dengan atribut

kemahasiswaannya yang lebih menekankan pada etos keintelektualan.

Pemikiran keislaman ini juga terlihat dari tujuan HMI dahulu sebelum ada

perubahan, yaitu pada poin yang kedua, di mana disebutkan menegakkan dan

mengembangkan ajaran agama Islam, yang mengandung makna: 1). Pengamalan

ajaran agama Islam, 2). Keharusan pembaharuan pemikiran dalam Islam, dan 3).

Pelaksanaan dan pengembangan dakwah Islamiyah.

Perlu kita ketahui bahwa, dalam pemikiran keislaman di HMI, tidak pernah

mempertentangkan Islam yang bagaimana. Dia (baca: HMI) tidak menghalalkan

liberalisme. Maksudnya, tidak ada permasalahan dari golongan Islam mana

seorang kader tersebut berangkat. Baik dari keluarga Muhammadiyah, Nahdathul

Ulama (NU),Al-wasliyah dan golongan Islam lainnya, selagi dia Islam, kitabnya
Al-quran dan Hadist, Tuhannya Allah SWT dan Nabinya Muhammad SAW,

diterima masuk dalam HMI. Karena organisasi ini bergerak secara independen,

tidak berada dalam naungan organisasi keagamaan dan tidak pula dalam naungan

pemerintah.

Di HMI, tidak ada perdebatan masalah mazhab yang diikuti. Secara pelaksaan

syariat Islam yang sifatnya fiqqiyah dikembalikan kepada kadernya masing-

masing. Tidak ada perdebatan antar kader HMI, mana yang benar dan mana yang

salah. Misalnya, terkait melakukan qunut atau tidak melakukan dalam shalat

Shubuh. Dalam pemikiran keagamaan ini, yang ditekankan adalah bagaimana agar

supaya kader-kadernya bertakwa kepada Allah SWT.

Pilar Keindonesiaan

Adapun maksud dari pilar pemikiran ini, HMI sangat identik dengan pemikiran

kebangsaannya. Organisasi ini bergerak sepanjang sejarahnya telah

mempertahankan Indonesia, bahkan ikut andil mengusir penjajah ketika kolonial

Belanda melakukan Agresi Militer II ke Indonesia. Bukan hanya itu, HMI ikut

andil dalam mempertahankan Indonesia dari bahaya komunis yang ingin

menghancurkan negara Indonesia dengan membentuk negara sendiri, yaitu

dikenal dengan peristiwa Madiun tahun 1948 yang dipimpin oleh Muso.

HMI akan menjadi garda terdepan mempertahankan Indonesia ketika ada oknum-

oknum atau kelompok yang ingin meruntuhkan keutuhan berbangsa dan bernegara

di Indonesia. Hal ini telah dibuktikan oleh perjuangannya ketika adanya ancaman
meruntuhkan negeri ini. Kondisi keindonesiaan dan atau kebangsaan adalah

bagian daripada latar belakang pemikiran berdirinya HMI.

Hal di atas dapat kita buktikan dengan tujuan awal berdirinya HMI, yaitu

mempertahankan negara Republik Indonesia, dan mempertinggi derajat rakyat

Indonesia. Hariqo lebih lanjut menuliskan bahwa, tujuan tersebut memiliki lima

makna pemikiran, yaitu: 1). Aspek politik, membebaskan bangsa Indonesia dari

belenggu penjajahan; 2). Aspek pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa; 3).

Aspek ekonomi, menysejahterakan kehidupan rakyat; 4). Aspek budaya,

membangun budaya-budaya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia; 5).

Aspek hukum, membangun hukum yang sesuai dengan kepentingan seluruh

rakyat Indonesia.

Pilar Kemahasiswaan

Pemikiran ini menekankan bahwa HMI adalah organisasi kemahasiswaan yang

berorientasi keilmuan, dengan kewajiban menuntut dan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi sebagai kunci kemajuan, bagi terwujudnya intelektual

Islam. Pembangunan Indonesia merdeka jauh lebih berat daripada sekedar

merebut kemerdekaan. Karena itu, perlu ada pembinaan dan pengembangan calon

cendekiawan yang memiliki pengetahuan luas di segala bidang dengan dasar iman

dan takwa kepada Allah SWT.

Lafran Pane pernah mengatakan, HMI adalah organisasi kader yang lahir karena

kebutuhan politik mahasiswa. Kondisi politik yang melingkupi ketika itu


merangsang beberapa mahasiswa untuk membentuk suatu organisasi yang bisa

berguna bagi masyarakat, bangsa, dan agama.

HMI yang berstatus sebagai organisasi mahasiswa memainkan peranannya yang

sangat strategis, yakni pembentukan dan pembinaan terhadap mahasiswa,sebagai

calon cendekiawan dan pemimpin di masa mendatang, yang bergumul akrab

dengan ilmu pengetahuan. Mahasiswa Muslim yang bergabung di HMI menjadi

lokomotif modernisasi yang didasari agama Islam dan dibingkai dengan ideologi

Keislaman-Keindonesiaan dan Kemahasiswaan.

Tekad tiga pemikiran HMI di atas yang merupakan ciri khasnya menjadikan ia

(baca: HMI) selalu diminati oleh banyak orang, baik mahasiswa Muslim yang

ingin bergabung, maupun khalayak ramai. Di samping itu, HMI dapat eksis terus

dalam kurun waktu dan setiap perjalanan sejarah kenegaraan dan kebangsaan

Indonesia yang karena sifatnya independen dan juga berpihak pada kebenaran.

Jadi, pada garis besarnya, pemikiran HMI lahir hanya untuk kepentingan nasional

dan kepentingan Islamyang diperankan oleh mahasiswa Muslim sebagai generasi

penerus. Dengan kata lain, kelahiran pemikiran HMI merupakan manifestasi

kepedulian mahasiswa pada waktu pembentukannya untuk ikut berperan dalam

menegakkan dan menyiarkan Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan kiprah HMI

sepanjang perjalanan sejarah Indonesia yang telah menjadikan kader-kadernya

sebagai Intelektual-Muslim dan Muslim-Intelektual.[]


Lima Konsep Pemahaman Dasar Ber-HMI

Meningkatkan kualitas intelektual manusia tidaklah semudah membalikkan

telapak tangan. Setiap manusia harus melalui berbagai proses perjalanan menuju

kematangan pola pikir dan pola laku. Demi mempermudah perjalanan tentu

dibutuhkan sesuatu bekal untuk mencapai tujuan. Begitu pula ketika membentuk

pola pikir (intlektualitas) manusia, tentu membutuhkan konsep pemahaman dasar

sebagai modal awal.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa

Islam di Indonesia, yang diinisiasi oleh seorang mahasiswa Islam, bernama Lafran

Pane pada tahun 1947, tentunya mempunyai latar belakang dan tujuan

pembentukan. HMI di dirikan bukan untuk dijadikan basis politik, akan tetapi

sebagai basis intelektual-intelektual muda Islam. Jika kita pinjam bahasanya Cak

Nur, ia menyebutkan di HMI akan menghasilkan dua kelompok, yaitu Muslim-

Intelektual dan Intelektual-Muslim.

Maksudnya, Muslim-Intelektual itu adalah mahasiswa-mahasiswa berasal dari

pesantren yang kuliah di Perguruan Tinggi dan basic-nya ilmu agama Islam yang

dapat menguasai juga ilmu-ilmu pengetahuan umum dikarenakan belajar bersama

mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari sekolah umum yang basic ilmunya ilmu-

ilmu pengetahuan umum. Sedangkan, Intelektual-Muslim adalah mahasiswa-

mahasiswa Muslim yang berasal dari sekolah umum dapat menguasai ilmu agama

dari HMI, dikarenakan belajar bersama dengan mahasiswa-mahasiswa yang

berasal dari pesantren.


Nah, jika kita kembali mengutip kata-kata para tokoh tentang sepak terjang HMI

dan kader-kadernya, Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa organisasi HMI

adalah dapurnya intelektual-intelektual muda Indonesia. Artinya, HMI melahirkan

pemuda-pemuda Muslim yang mempunyai intelektualitas yang mumpuni,

sehinggga dapat mengisi segala lini yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tak

perlu lagi kita sebutkan tokoh-tokoh intelektual yang lahir dari rahim HMI,

tentunya mereka telah banyak dikenal khalayak ramai.

Dengan demikian, jika kita ambil substansi dari apa yang saya jelaskan di atas,

untuk meningkatkan kualitas intelektual kader HMI, tentunya harus mempunyai

konsep dasar yang meningkatkan pemahaman ber-HMI, sehingga melahirkan

kader-kader HMI yang berkualitas. Maka untuk itu, menurut saya ada lima konsep

dasar yang harus dipahami oleh setiap kader HMI, yaitu:

Pertama, seorang kader harus mempunyai pemahaman keIslaman. Maksudnya

adalah, Islam yang menjadi azas HMI dan sebagai agama setiap kader, harus

menjadi ruh kehidupannya. Ajaran-ajaran Islam harus ia pahami dan diaplikasikan

dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingat bahwa, pemahaman keislaman di HMI

tidak bersifat sempit dan tidak pula liberal. Artinya, pemahaman keislaman

seorang kader tidak takliq (tertutup). Pemahaman Islam seorang kader HMI harus

moderat, tidak menyalahkan ajaran-ajaran syariat yang dianut oleh beberapa

kelompok Islam selama kelompok itu masih memegang teguh Al-Qur’an dan Al-

Hadist.
Kedua, pemahaman ideologi. Maksudnya adalah, seorang kader harus betul-betul

memahami ideologi-ideologi yang ada di dunia ini. Penyebaran-penyebaran

ideologi terus berkembang yang dapat mempengaruhi pola pikir dan pola laku

manusia. Seorang kader harus dapat memahami ideologi-ideologi yang

bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga tidak terpengaruh dengan ideologi

sesat tersebut. Misalnya, masuknya ideologi komunisme, kapitalisme,

sekularisme, dan ideologi sesat lainnya. Jika kader-kader HMI tidak dapat

membendung itu, maka kader-kader kita yang beragama Islam akan hancur.

Solusinya adalah, Islam bukan hanya dijadikan sebagai agama, akan tetapi

sekaligus juga sebagai ideologi.

Ketiga, seorang kader harus betul-betul memahami Konstitusi HMI. Maksudnya,

seorang kader adalah tulang punggung organisasi yang menggerakkan HMI.

Organisasi tidak akan dapat berjalan baik jika tidak ada yang menggerakkannya.

Nah, dengan digerakkannya suatu organisasi dengan keinginan mencapai tujuan

organisasi, supaya tidak memaksakan kehendak pribadi, maka dibutuhkan yang

namanya aturan main berorganisasi. Jika kader-kader HMI ingin sukses dalam

ber-HMI, maka Konstitusi HMI harus dipahami dan diaplikasikan dalam

kehidupan ber-HMI.

Keempat, pemahaman keindonesiaan. Maksudnya adalah, seorang kader yang

notabenenya adalah seorang warga negara Indonesia, harus meningkatkan

pemahamannya tentang keindonesiaan. Dengan cara itu, maka kecintaan kepada

negara semakin tinggi, dan tidak akan berniat merusak-rusak atau tidak akan
menghianati negara dalam bentuk perbuatan buruk. Dengan pemahaman ini,

kecintaan terhadap bangsa (umat) di Indonesia akan semakin meningkat.

Kepedulian sosial (ummat) akan menjadi dasar ia bergerak. Dengan kecintaan

kepada negara dan bangsa, mewujudkan kedamaian dan keadilan akan menjadi

tugas bersama.

Kelima, pemahaman kemahasiswaan. Artinya, kader-kader HMI yang

notabenenya seorang mahasiswa muslim, harus sadar akan funsi dan perannya

sebagai agent of change and agent of control social. Ia sadar bahwa dia adalah

generasi penerus bangsa dan agama, maka harus mempersiapkan diri sejak dini.

Dengan sadar akan statusnya sebagai seorang mahasiswa sekaligus juga seorang

pelajar, maka nilai-nilai keilmuan menjadi ciri khasnya. Ia akan sadar bahwa,

gerak dan langkahnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengaspirasikan

dan menyampaikan kepada pemerintah terkait permasalahan yang dialaminya.

Mahasiswa menjadi penyambuh lidah rakyat.

Lewat penjelasan yang singkat tersebut, kiranya lima konsep dasar tersebut, dapat

menjadi bahan kajian dan renungan bagi kita seorang kader HMI. Pemahaman-

pemahaman terkait apa yang kita sebutkan di atas harus terus ditingkatkan oleh

seorang kader HMI. Tentunya dalam rangka meningkatkan kualitas intelektual

kader HMI kedepannya.[]


Tantangan Berat HMI Di Awal Kelahirannya

Awal-awal berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 5 Februari 1947, di

Yogyakarta, HMI (secara organisasi) dan pendiri-pendirinya banyak menghadapi

reaksi-reaksi atau tantangan berat dari organisasi mahasiswa, pemuda dan pelajar

yang ada di Yogyakarta atau di daerah lain, seperti di Solo dan Malang pada masa

itu.

Bagi para pendiri HMI, menghadapi berbagai reaksi yang datang silih berganti,

selalu diterima dengan jiwa besar, sabar dan dengan kepala dingin. Mereka

mempunyai prinsip: “Bukan suatu perjuangan namanya apabila tidak menghadapi

kesulitan.” Adanya reaksi-reaksi tersebut bukan untuk dihindari, akan tetapi justru

untuk diatasi.(Agussalim Sitompul, 1984: 141)

Gelombang pasang surut reaksi-reaksi yang dialami HMI (secara organisasional)

dan para pendiri-pendirinya dari organisasi-organisasi mahasiswa, pemuda dan

pelajar lainnya, sebagaimana yang dituliskan Agussalim Sitompul, yaitu sebagai

berikut:

Pertama, reaksi-reaksi dari organisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta

(PMY).Sebelum adanya HMI sebagai wadah atau organisasi mahasiswa, di

Yogyakarta sudah ada organisisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY).

PMY yang dipimpin oleh Milino Ahmad, menganggap bahwa HMI merupakan

saingan dalam dunia kemahasiswaan. Pengurus-pengurus PMY takut kehilangan

atau kekurangan anggota dan pengaruh. Tidak mengherankan lagi jika mereka
tidak setuju terhadap kelahiran HMI, dan menghendaki supaya HMI

membubarkan diri.

Di mana-mana, PMY selalu mempropagandakan bahwa HMI akan segera mati.

HMI dituduh memecah-belah mahasiswa. Selain reaksi dalam

mempropagandakan, PMY juga melakukan reaksi ideologis, karena PMY jelas

tidak menyenangi agama, sedankan HMI dengan tegas dan komitmen menjunjung

tinggi agama Islam. akhirnya sejarah membuktikan, dalam perkembangan situasi

yang tidak terlalu lama, ternyata bukan HMI yang bubar atau mati. Karena

eksistensinya PMY mulai redup, maka PMY bergabung, mungkin menyusun

kekuatan, dengan Perserikatan Mahasiswa Malang (PMM) pada bulan April 1948,

kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Entah

kenapa, tanggal 19 Desember 1948, PMI hilang lenyap tertelan zaman hingga

sekarang ini.

Kedua, reaksi dari organisasi Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) yang berfusi

dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), yang berdiri pada tanggal 27 September

1945, kemudian berganti nama menjada Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

Serikat Mahasiswa Islam (SMI) secara ideologis menentang dan terus mencoba

menggagalkan langkah-langkah HMI. SMI ini berideologi sosialis-komunis,

sehingga sangat bertentangan dengan HMI.

Ketiga, reaksi dari organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Reaksi

GPII tidak sama dengan reaksi PMY dan SMI. Jika reaksi PMY dan SMI bersifat

ideologis, akan tetapi reaksi dari GPII terhadap awal-awal didirikannya HMI
adalah kurang pengertiannya serta kurang memahami tuntutan sejarah. Anggota-

anggota GPII pada masa itu menganggap bahwa belum masanya mendirikan HMI.

Di tubuh GPII sendiri terdapat GPII Seksi Pelajar. Dengan berdirinya HMI,

anggota-anggota GPII merasa dirugikan. Mereka mengajukan argumentasi dengan

mengatakan: “Mahasiswa juga adalah Pemuda dan Pelajar.” Dan wadanya adalah

GPII. GPII menganggap tidak perlu mendirikan wadah tersendiri dengan

mendirikan organisasi mahasiswa Islam secara khusus.

Isu bahwa HMI memecah belah mahasiswa yang dipropagandakan PMY berhasil

mempengaruhi GPII. GPII menuding bahwa HMI adalah pemecah belah Pemuda

dan ummat Islam. Pada mulanya berhasil juga dipropagandakan, terbukti tidak

semuanya mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) khususnya dan mahasiswa

Islam di luar STI umumnya tidak jadi masuk HMI.

Argumentasi-argumentasi yang dilontarkan terhadap kelahiran HMI, dikatakan

berdirinya HMI identik dengan pisahnya Pakistan dari India, kemudian menjadi

negara Islam. Hal demikian sangat dirasakan para pembina dan anggota HMI pada

masa itu. Sebab, setiap kelompok besar atau kecil, ketika ada tokoh HMI yang

sedang lewat atau datang, maka spontan disambut dengan kata-kata yang bernada

mengejek: “Hidup Pakistan”.

Pertentangan-pertentangan yang timbul dan hampir meluas itu tidak cukup dengan

mulut dan pemikiran saja, bahkan suatu ketika terjadi pergulatan fisik antara para

“penegak HMI” dengan pihak yang belum memahami kelahiran HMI. Demikian

Agussalim Sitompul berpendapat.


Keempat, reaksi dari organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). PII berdiri setelah

tiga bulan HMI berdiri. Dalam organisasi ini terdapat juga anggota GPII, baik ia

sebagai anggota maupun sebagai pengurus. Maka dari itu, secara otomatis, reaksi

GPII terhadap kelahiran HMI terdengar juga dari anggota-anggota maupun

pengurus PII dengan motif yang hampir sama.

Walau PII berdiri setelah HMI, yang jaraknya hanya hitungan bulan, sikap dan

reaksi anggota PII terhadap HMI dapat disaksikan sewaktu berlangsungnya

Kongres I PII di Sala, tanggal 14-16 Juli 1947. Waktu itu, dalam forum Kongres

PII ada kebiasaan siapa-siapa yang ingin menyambut atau berbiacara di antara

hadirin. Lafran Pane, yang sebagai Ketua PB HMI waktu itu, tidak mendapat

undangan tapi hadir, tidak diberi kesempatan berbicara, karena anggota-anggota

PII menganggap bahwa HMI tidak ada dan statusnya HMI di kalangan umat Islam

masih disangsikan.

Keadaan yang sangat tragis itu berjalan selama sepuluh bulan, antara bulan

Februari sampai bulan November 1947. Hingga akhirnya, pada Konferensi Besar I

PII di Ponorogo, pada tanggal 4-6 November 1947.

Demikianlah beratnya reaksi yang datang kepada HMI. Dengan jiwa besar dan

kepala dingin, Lafran Pane, Asmin Nasution, Maisaroh Hilal, Karnoto dan teman-

temanya yang lain menyaksikan kenyataan itu. Setiap waktu mereka sanggup

menghadapi dengan tenang reaksi-reaksi pedas dari organisasi lain, baik reaksi

yang datang silih berganti dari internal umat Islam maupun luar umat Islam.

Belum lagi jika kita lihat tantangan HMI ketika Agresi Militer Belanda II dan
tantangan mengahadpi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, di mana

banyak-kadernya turun langsung ke medan juang.

Lafran Pane dan teman-temannya pada masa itu yakin, bahwa di satu masa kelak,

kelahiran HMI akan bisa diterima oleh semua pihak, bahkan akan merasakan

kelahiran HMI dibutuhkan oleh sejarah. Hal demikian terbukti hingga saat ini,

bahwa HMI sangat besar jasanya kepada negara baik dalam mempertahankan

kemerdekaan negara, menjaga persatuan bangsa, memperjuangkan ummat Islam,

mengisi kemerdekaan, menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas dan

meberikan kontribusi positif lainnya.[]


HMI Rumah Kaum Intelektual Muda Islam

Seyogiyanya suatu rumah tentu ada penghuninya. Rumah yang indah nan bersih

kalau tidak ada penghuninya lama-kelamaan rumah tersebut akan terlihat kotor

dan bahkan bisa rusak. Kalaupun ada penghuninya, mereka harus melukan

aktivitas yang baik, seperti merawatnya agar rumah tersebut tetap indah dan

bersih.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),organisasi mahasiswa Muslim tertua di

Indonesia, dalam tulisan ini kita sebutkan ia sebagai “rumah”, tempat

berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa Muslim sebagai kaum intelektual muda

Islam dengan segudang aktivitas yang menunjang keintelektualannya, sehingga

nantinya menjadi masyarakat yang maju.

Franz Magnis Suseno, dalam bukunya yang berjudul Mencari Makna Ke-

Bangsaan mengatakan, “Dalam tahun-tahun terakhir ini (dari tahun 1960-an

hingga 1990-an - peny), saya makin banyak mengenal orang-orang muda dari

HMI karena sering diundang ceramah, pada umumnya tentang tema seperti Etika

Politik, Kebudayaan, Agama dan Masa Depan”.Lebih lanjut, dia mengatakan,

“Bagi saya, HMI bukan sebuah nama saja, melainkan salah satu ‘sekolah kader

bangsa Indonesia’ yang saya kenal sebagai terbuka, kritis, serta simpatik.”

Tentunya kita sudah mengetahui, kader-kader HMI mempunyai segudang

aktivitas di dalam “rumah” maupun di luar “rumah”. Segudang aktivitas itupun,

seperti melaksanakan perkaderan atau pendidikan (baik formal maupun

informal), membaca, menulis, berdiskusi dan serta tradisi-tradisi intelektual


lainnya yang bertujuan untuk menunjang keintelektualannya dengan ide-ide

gagasan yang maju, kepribadiannya yang utuh dan sikapnya yang baik.

Bagaimana Pada Hari Ini ?

Ya..., pertanyaan di atas perlu sekali untuk kita renungkan saat ini. Apakah

segudang aktivitas kita sebagai kader HMI saat ni menunjang untuk kemajuan

intelektual kita? Jangan sampai “rumah” kita yang indah dan bersih ini tak

berpenghuni atau berpenghuni tapi tidak bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang

tidak bisa menjaga keindahan dan kebersihan “rumah”.

Tradisi-tradisi intelektual yang seperti kita sebutkan di atas harus tetap

dipertahankan dan ditingkatkan dalam menjawab tantangan masa depan. Ketika

tradisi-tradisi tersebut ditinggalkan, tentunya akan berdampak negatif pada kita

sebagai kader dan pada HMI sebagai rumah kaum intelektual muda Islam.

Kembali penulis kutipkan tulisannya Franz Magnis Suseno dalam buku yang

sama, dia mengatakan bahwa HMI adalah “dapur” kader intelektual Islam di

Indonesia. Dia mengharapkan HMI harus memiliki gagasan-gagasan yang luas

dan jauh ke depan untuk bangsa Indonesia yang majemuk.[]


Menjaga Dan Merawat Independensi HMI

Dalam usianya yang sudah tua (tujuh puluh satu tahun tepatnya bulan Februari

2018), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sering menghadapi berbagai gejolak

dan tantangan, baik itu datangnya dari dalam (internal) maupun datangnya dari

luar (eksternal). Indonesia tempat ia tumbuh dan berkembang, tentunya HMI tidak

bisa lepas dari hiruk pikuk keadaan sosial, hukum, ekonomi, politik dan keadaan-

keadaan lainnya.

HMI bukan hanya dipandang secara regional akan tetapi dipandang secara

nasional dan bahkan secara internasional. Dia dipandang sebagai organisasi

mahasiswa tertua dan dengan kadernya yang berjuta-juta, kualitas pengalamannya

sudah tidak disangsikan lagi dan ini suatu menjadi kekuatan untuk melakukan

perubahan. Maka banyak sekali orang-orang, baik secara individu maupun

kelompok melakukan pendekatan pada HMI lewat berbagai cara agar

“kepentingannya” masuk ke tubuh HMI.

Aktivitaskader sehari-hari dalam berorganisasi saat ini sungguh sangat

memprihatinkan. Pengaruh-pengaruh yang buruk, godaan-godaan dunia begitu

mudah masuk ke dalam kader itu sendiri. Kader HMI sering terperangkap oleh

bujuk-rayuan popularitas, materi dan godaan nafsu dunialainnya, sehingga

mengakibatkan kerugian bagi kader tersebut dan himpunan.

Ada sesuatu yang mulai hilang baik disadari atau tidak sadari, tidak terawat

dengan baik oleh kader-kader HMI, terperangkap dengan “kepentingan” dan

bujuk-rayuan “setan” dunia, yaitu sudah mulai memudarnya sifat independensi


HMI bagi setiap kader dalam aktivitasnya. Belum lagi tantangan pesta demokrasi

tahun 2018 dan 2019 nanti. Kader HMI harus mampu menjaga independensi HMI

agar tidak terjerumus dalam lubang politik praktis.

Sifat Independen HMI

Dalam Tafsir Independensi HMI, yang ditafsirkan dari pasal 6 Anggaran Dasar

HMI tentang Sifat (Hasil-Hasil Kongres HMI XXVIII) mengatakan, watak

independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan

kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola

pikir, pola sikap dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya

sebagai kader HMI maupun melaksanakan “Hakekat dan Mission” organisasi

HMI dalam kiprah hidup berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir, pola sikap

dan pola laku setiap kader akan membentuk “independensi etis HMI”, sementara

watak HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi

HMI akan membentuk “independensi organisatoris HMI”.

Independensi etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan

fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan

secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader

sesuai dengan fitahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya

yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian, kebenaran,

bukan karena popularitas, kepentingan kelompok, bukan dan karena materi.

Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti
pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik

“hablumminallah” maupun dalam “hablumminannas” dan hanya tunduk dan

patuh pada kebenaran, yaitu Allah SWT.

Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan

watak asasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui watak dan

kepribadian serta sikap-sikap yang cenderung kepada kebenaran (hanief), bebas

terbuka dan merdeka, obyektif rasional dan kritis, progresif dan dinamis,

kemudian demokratis, jujur dan adil.

Sedangkan independensi organisasi adalah watak independensi HMI yang

teraktualisasi secara organisatoris di dalam dinamika HMI dan dalam kehidupan

intern organisasi maupun dalam kehidupan ekstern (bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara).

Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional

HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, konstruktif,

korektif dan konstitusional agar perjuangan dan segala pembangunan bangsa dan

negara semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi-partisipasi

tersebut secara organisatoris hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip

kebenaran dan obyektifitas.

Dalam melaksanakan kerja-kerja organisasi, HMI secara organisatoris dan setiap

kader tidak diperkenankan “committed”, mengutamakan dan terperdaya dengan

kepentingan pihak manapun ataupun kelompok manapun, kecuali tunduk dan

terikat pada kepentingan kebenaran dan obyektivitas, kejujuran dan keadilan.


Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip

independensi, maka HMI dituntut untuk mengembangkan kepemimpinan

kuantitatif serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan

kebijaksanaan organisasi mampun diemban selaras dengan hakikat independensi

HMI. Untuk itu, kader HMI (secara pribadi) dan HMI (secara organisassi) harus

mampu memciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan

kualitas-kualitas kader HMI.

Dalam rangka menjalin tegaknya prinsip-prinsip independensi HMI, maka

implementasi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut: (a). Kader HMI dalam

aktivitasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa

program perjuangan HMI. Oleh karena itu, tidak diperkenankan melakukan

kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar manapun

juga.(b). Kader HMI tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan

bentuk apapun dengan pihak luar selain segala sesuatu yang telah diputuskan

secara organisatoris.(c). Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang

meneruskan dan mengembangkan watak independensi etis di mana pun berada

dan mengembangkan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat mission

HMI. Alumni HMI harus menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan

melalui semua jalur, baik secara organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-

lembaga sosial, wadah aspirasi politik, lembaga pemerintahan atau pun jalur-jalur

lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam

rangka mewujudkan kehidupan masyarakat adil makmur diridhoi Allah SWT.


Dalam menjalankan garis independen HMI dengan beberapa ketentuan di atas,

pertimbangan HMI adalah semata-mata untuk memelihara dan mengembangkan

peranan kader dan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap agama,

bangsa dan negara. Dasar itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan nasional

bukang kepentingan golongan atau partai politik dan bukan untuk pihak penguasa

sekalipun.

Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan

menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi yang dihadapi sikap seorang

pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuannya untuk

sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.

Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI

harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan

kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktivitas fungsionaris dan kader-

kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita

HMI.

Dalam tulisannya Nanang Tahqiq, yang dikutip oleh Hariqo Wibawa(2011)

berkata, ada tiga kekuatan kunci saling bertaut telah menciptakan HMI begitu

memukau, masing-masing adalah Latihan Kader (LK), Tradisi Intelektual, dan

Independensi. Ketiga kekuatan tersebut merupakan kesatuan tidak tercerai dan dia

harus utuh di dalam HMI.

Nah, agar HMI terus kuat dan dapat menjadi tumpuan masyarakat, seperti yang

dikatakan Jenderal Soedirman: HMI tidak hanya sebagai Himpunan Mahasiswa


Islam, tapi sebagai harapan masyarakat Indonesia, maka kekuatan yang tiga tadi

harus dipupuk dan dirawat dengan baik. Bagi setiap kader harus terus

meningkatkan kualitasnya lewat pelatihan-pelatihan baik formal maupun

informal, lewat tradisi-tradisi intelektual seperti membaca, diskusi, menulis, dan

lainnya, yang terpenting juga dalam kondisi politik praktis saat ini yang saling

menarik massanya, tentunya HMI menjadi target. Maka dari itu, HMI dan

kadernya dapat menjaga juga merawat independensi agar dapat berpihak pada

kebenaran, tidak mudah terbujuk oleh rayuan-rayuan nafsu, popularitas, jabatan

dan materi yang menghancurkan diri kader dan HMI.[]


Menulis; Tradisi HMI Yang Mulai Hilang

Tadi malam ba’da shalat Taraweh, saya “bertempur habis-habisan” (baca:

berdiskusi) dengan teman-teman kader-kader HMI Cabang Medan di salah satu

Sekretariat HMI Komisariat yang ada di HMI Cabang Medan. Entah berapa gelas

kopi sudah dihapuskan dan entah berapa “balok” (baca: batang) r*k*k (sensor,

nanti ada yang masih BO) beradu di mulut. Awalnya kita membicarakan tentang

seputar bulan Ramadhan, hingga menjurus pada pembahasan kondisi menurunnya

budaya menulis di HMI saat ini. Yang saya maksud di sini bukan menulis

percakapan sehari-hari lewat media sosial online. Akan tetapi, tulisan-tulisan yang

menambah wawasan para kader HMI.

Teman-teman mengambil sampel dari HMI Cabang Medan tersendiri. Mereka

mengatakan jarang sekali kita menemukan adanya tulisan kader-kader HMI yang

di muat di media cetak atau media online. “Ah...mungkin kau gak up to date,

asyik lihat vidio Instagram?”, tanyaku dalam canda pada salah satu teman. “Iya

Bang, kita ambil saja contoh ketika perlombaan menulis esai yang

diselenggarakan Badko Sumut dalam memperingati Milad HMI ke-70. sedikit

sekali pesertanya yang ikut.” Ungkap salah satu teman lagi.

“Ummm...ini kau karena juara satu ini?”, tanyaku lagi dalam canda.

“Nggak Bang...”, ia membela. Sebelum selesai ia menjelaskan langsung saya

potong kata-katanya, “Nggak salah lagi...?”. Bla.....bla...bla...bli...bli....


Banyak sekali percakapan kami malam itu. Kurang etis rasanya kalau diceritkan

semua. Khawatirnya nanti tulisan ini terkesan seperti cerpen.

Kalau kita baca literatur-literatur HMI. Kader-kader HMI di zaman tak enak

(dahulu), banyak sekali kader-kader HMI yang menulis. Lafran Pane, Nurcholish

Madjid, Ahmad Wahib, Endang Saifuddin Anshari, Yudi Letief, Fachry Ali,

Alfan Alfian dan sederetan nama-nama lainnya. Mereka sadar waktu itu, bahwa

organisasi yang digelutinya adalah organisasi kemahasiswaan yang bergerat

dalam dunia keilmuan. Menyampaikan ide atau gagasan lewat tulisan, sehingga

dibaca khalayak banyak.

Menulis menjadi tradisi intelektual yang selalu mereka lakukan. Maka tidak

heran, kader-kader HMI sebelum kita banyak bisa menulis buku, mereka terkenal

karena karyanya, dan memberikan sumbangsih pemikiran sebagai bentuk solusi

yang konstruktif dalam berbangsa dan bernegara.

Nah, untuk saat sekarang. Apakah tradisi menulis mulai turun? Bisa kita jawab

‘tidak’, bisa juga kita katakan ‘ya’. Kenapa demikian? Tradisi kader HMI yang

“menulis” tidak menurun, cobalah dicek, mereka menuliskan kata-kata ribuan

jumlahnya dalam setiap hari lewat media sosial online, tapi hanya percakapan

sehari-hari. Bisa dikatakan menurun, karena yang kita maksud bukan menuliskan

percakapan sehari-hari. Akan tetapi, narasi-narasi berupa ide pemikiran, gagasan

atau esai-esai lainnya, sangat minim tulisan kader-kader HMI tentang yang

demikian.
Dapat kita teliti, atau amati bersama. Bagaimana minat kader HMI untuk menulis

dalam media-media sosial baik ia diterbitkan dalam media-media online dan

maupun media cetak. Dari ribuan bahkan jutaan kader HMI saat ini, berapa

persenkah yang menjalankan tradisi menulis? Bukankah dengan menulis kita bisa

mentransfer ilmu-ilmu yang kita dapat kepada orang lain? Akankah kita lenyap

apabila tidak ada lagi tradisi menulis? Terus siapa yang menuliskan peristiwa di

HMI, kalau bukan kita?

Saya pikir, berkurangnya tradisi menulis bukan hanya terjadi HMI Cabang

Medan. Mungkin masih ada beberapa HMI Cabang di seluruh Nusantara yang

mengalami hal yang sama. Nah, untuk itu, kita harus mempunyai motivasi yang

kuat untuk menulis. Meningkatkan tradisi-tradisi menulis bagi setiap kader.

Terlepas apa yang ia tulis, sesuai genre yang ia suka. Yang intinya kader HMI

harus menulis. Kiranya tulisan tersebut pun yang baik dan bernuansa ilmu

pengetahuan alam, sosial, budaya, politik, agama dan bagian ilmu pengetahuan

lainnya.[]
Hakikat Menjadi Seorang Kader HMI

Menjadi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk saat ini tidaklah sulit.

Secara formalitasnya, setelah dinyatakan lulus Latihan Kader I (LK I) atau nama

lainnya Basic Training, maka seorang mahasiswa Muslim yang bergabung di

HMI dinyatakan sah menjadi seorang kader HMI. Demikianlah syarat formalitas

yang sesuai dengan aturan main HMI.

Nah. Pertanyaannya adalah, cukupkah memenuhi syarat normatif menjadi seorang

kader HMI? Nampaknya begitulah yang banyak terjadi dilingkungan HMI saat

ini. Status kader hanya formalitas belaka. Tidak terlihat bagaimana ciri kader yang

benar-benar kader HMI. Tidak mencerminkan sebagai kader HMI. Maka dari itu,

tidak heran bahwa banyak pendahulu-pendahulu HMI mempertanyakan kualitas

kader HMI saat ini.

Perlu sekali kita ketahui dan harus tertanam di dalam hati kader HMI, bahwa yang

dimaksud dengan kader itu adalah sekelompok orang yang terorganisir secara

terus menerus akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang besar. Dengan

demikian seorang kader mempunyai tanggung jawab yang besar di dalam suatu

kelompok atau organisasi.

Kader disebutkan sebagai tulang punggung, dapat kita bayangkan jika seseorang

tidak memiliki tulang punggung, maka seseorang tersebut tidak akan kuat berdiri

dan mudah roboh. Begitulah pentingnya kader sebagai tulang punggung di HMI.
Maka dari itu, ciri atau hakekat seorang kader HMI harus terwujud dalam empat

hal yang paling pokok. Pertama, seorang kader HMI harus bergerak dan terbentuk

dalam HMI yang mengenal aturan main dalam ber-HMI. Seorang kader HMI

tidak beraktivitas dan tidak berprilaku seseuai dengan selera kepentingannya

masing-masing.

Kedua, seorang kader HMI mempunyai komitmen kuat (permanen) yang terus

menerus ia lakukan sesuai dengna tujuan dan arah perjuangan HMI. Dia tidak

mengenal semangat musiman dalam ber-HMI, akan tetapi komitmen itu utuh dan

istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan mengaplikasikan nilai-nilai

kebenaran.

Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas diri sebagai tulang punggung

di HMI yang mampu menyangga keutuhan HMI dan komunitas di masyarakat

yang lebih besar. Maka, fokus seorang kader HMI adalah peningkatan kualitas,

baik itu kualitas iman dan ilmu. Akan tetapi tidak menyampingkan juga

penambahan kuantitas. Untuk itu, penambahan kualitas dan kuantitas (rekrutmen

kader) harus menjadi salah satu titik fokus seorang kader HMI.

Terakhir, keempat, seorang kader memiliki visi (pandangan), misi (tujuan) dan

kepedulian yang serius dalam merespon dinamika perkembangan sosial di

lingkungannya. Maka dengan ini gerakan-gerakan amal sholeh (amal baik) harus

terus dilakukan oleh kader-kader HMI dalam rangkan mewujudkan masyarakat

adil-makmur yang diridhoi Allah Swt.


Maka dari itu, keempat hal tersebut harus tertanam dan teraplikasi dalam

kehidupan sehari-hari oleh setiap kader HMI. Hakekat menjadi seorang kader

HMI seperti yang saya jelaskan di atasdapat terwujud dengan cara mandiri karena

kesadaran seorang kader HMI dan terwujud lewat pelatihan-pelatihan di HMI.

Kedua faktor tersebut harus dilewati oleh setiap kader HMI supaya betul-betul

menjadi seorang kader HMI.[]


HMI Kehilangan Ruh

“Awalnya aku tak percaya kalau HMI ini dikatakan telah degradasi. Akan tetapi,

setelah perjalananku sampai hingga saat ini, aku baru percaya bahwa rumah kita

ini betul-betul memang telah rusak.”

Tulisan di atas adalah perkataan seorang kader HMI, teman saya, dan bahkan

teman banyak kader-kader HMI, yang kami harapkan dapat membawa HMI ini

lebih baik dan kembali menghidupkan ruh HMI yang telah lama hilang di Cabang

Medan. Kata-kata di atas masih terus terngiang di telinga saya. Sore hari itu,

setelah saya bertemu dengannya seusai menyampaikan materi Pengantar

Keislaman di dalam kegiatan Masa Perkenalan Calon Anggota (Maperca) HMI.

Awalnya ia tidak percaya bahwa HMI kita saat ini sangat jauh menurun dan betul-

betul mengalami degradasi yang sangat. Akan tetapi, setelah ia mengalaminya

langsung di lapangan, ia pun baru mengakuinya. Nampaknya, ia kurang percaya

dengan perkataan orang-orang sebelum ia mengalaminya sendiri. Sangat berbeda

dengan saya. Lewat literatur-literatur yang ada tentang HMI, walau tidak seratus

persen, saya percaya memang HMI saat ini sudah mengalami degradasinya.

Awalnya penilaian kami sangat berbeda, tapi di sore hari itu, apa yang pernah

saya katakan padanya memang benar.

Lewat literatur-literatur yang sifatnya kritik dan otokritik terhadap HMI, dapat

memberikan data penjelasan kepada kita bahwa HMI saat ini telah mengalami

degradasi. Baik itu secara kualitas dan kuantitas. Dapat kita perhatikan dan

renungkan di dalam bukunya Sang Sejarawan HMI, Agussalim Sitompul yang


berjudul 44 Indikator Kemunduran HMI dan HMI Mengayuh Di Antara Cita dan

Kritik. Bukan hanya lewat tulisan Sang sejarawan HMI itu, ada juga dari buku-

buku yang lain, dari tulisan-tulisan yang lain, baik di media cetak ataupun di

media online yang membicarakan bahwa HMI saat ini mengalami kemunduran.

Apa hal yang mengakibatkan kemunduran ini? Saya hendak menuliskan dan juga

menambahkan, selain faktor-faktor yang telah disebutkan di dalam berbagai

literatur, bahwa faktor menurunnya HMI saat ini adalah karena ruh HMI telah

hilang, sehingga mengakibatkan kader-kadernya jauh dari harapan HMI, tidak ada

ghirah (semangat) dengan benar-benar ber-HMI dan tidak jelas orientasinya.

Apa sebanarnya yang menjadi ruh HMI? Jikalau kita teliti dan tekun

memperhatikan sejarah HMI, kita akan dapat mengetahui apa sebenarnya yang

menjadi ruh utama HMI. Menurut hasil yang saya kaji, mungkin sudah banyak

juga yang mengetahui hal ini. Ruh HMI itu adalah Islam.

Dengan Islam sebagai ruh HMI, maka HMI tidak akan pernah mengalami

degradasi. Apabila ruh ini selalu tertanam di dalam hati para kader-kader HMI,

maka HMI akan meningkat secara kualitas dan kuantitas. Karena ajaran Islam

adalah ajaran yang betul-betul akan kebenarannya. Dalam sejarahnya, HMI lahir

di kala itu (1947) karena kondisi umat Islam di Indonesia. Baik kondisi Islam

dalam masyarakat biasa dan juga kondisi Islam di dunia perguruan tinggi dan

kemahasiswaan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sekularisme dan materialisme

sehingga mengakibatkan kepincangan dalam sosial. Maka HMI hadir dengan ruh

Islam untuk menutupi kepincangan yang terjadi itu.


Terbukti dengan keadaan saat ini, HMI dan kader-kadernya telah jauh dari ajaran

Islam. ajaran Islam dipakai ketika itu sesuai dengan tujuannya seorang kader

tersebut dan apabila tidak sesuai dengan tujuannya, maka ajaran Islam itu ia

kesampingkan dan memakai konsep lain. Kader-kader HMI tidak takut lagi

kepada Allah Swt. akan tetapi lebih takut kepada sesuatu yang ia anggap penolong

di HMI. Saya sering menyebutkannya dengan “tuhan-tuhan” atau “berhala-

berhala” di HMI.

Realitanya hari ini juga, HMI dan kader-kadernya sedikit sekali yang menerapkan

ajaran-ajaran Islam dalam aktivitasnya sebagai seorang kader. Ajaran-ajaran Islam

dianggap tidak relevan dengan perkembangan sekarang, sehingga ia mengambil

sumber konsep teori dari orang-orang yang menentang Islam. Dalam praktik

sehari-hari, kader-kader sangat menurun akhlaknya walau kualitasnya

intelektualnya “meningkat”. Lihat sajalah etika atau akhlaknya ketika ada rapat-

rapat besar di HMI, seperti Kongres, Konferensi, bahkan di RAK sekalipun. Tapi

apa gunananya kualitas intelektualnya yang tinggi tetapi akhlaknya rendah.

Kader-kader kita, mayoritas lebih senang hal-hal yang praktis dan pragmatis

daripada sesuatu yang melewati proses. Kader-kader kita lebih menyukai

pembicaraan yang tematis daripada yang filosofis. Kader-kader kita lebih senang

mencari jabatan (struktural) di HMI daripada betul-betul mencari substansi

berorganisasi (kulutural).

Kader-kader kita, mayoritas mencari penghasilan materi dibandingkan betul-betul

meningkatkan kualitas iman, ilmu dan mencari ridha Allah Swt. Maka dengan
keadaan yang terus-menerus seperti ini, maka tidak heranlah HMI kurang diminati

oleh mahasiswa Muslim di Indonesia, dan organisasi mahasiswa Islam lainnya

dapat berkembang dengan subur.

Maka tidak ada cara lain jika HMI ini ingin kembali jaya, mulai dari tingkatan

HMI yang terendah hingga yang tertinggi, nilai-nilai Islam harus diterapkan

secara total. Di HMI jangan mencari keuntungan pribadi. Sesuatu yang benar

harus betul-betul dipegang teguh. Dengan terpeliharanya dan kuatnya Islam

tertanam di hati kader, maka ber-HMI itu lebih nikmat dan dapat meningkatkan

kualitas kita sebagai kader. Dengan tertanamnya nilai-nilai Islam di HMI, maka

HMI akan melahirkan sosok pemimpin yang Islami, akademisi yang Islami,

politisi yang Islami, pengusaha yang Islami dan dapat mengisi segala lini

masyarakat dengan jiwa Islam, sehingga bermanfaat bagi seluruh umat manusia.[]
Jangan Bunuh HMI

Ada suatu tingkah laku seseorang atau sekelompok kader HMI saat ini yang

sangat susah dirubah dan ditinggalkan. Fenomena ini telah menjadi penyakit yang

menyatu, mendarah daging atau sudah akut pada mayoritas kader. Penyakit

tersebut membuat HMI semakin memudar, mundur dan kronis. Membuat HMI

hilang dan lupa akan perjuangannya. Peran HMI sudah mulai tidak menyentuh

pada kebenaran secara vertikal dan horizontal sehingga Allah Swt. pun tidak

ridho, masyarakat sudah mulai kurang simpatik pada HMI dan mahasiswa Islam

sudah mulai tidak tertarik pada HMI.

Sejarah HMI yang selalu dibangga-banggakan kader HMI telah menjadi barang

usang akibat adanya suatu penyakit. Tahukan Anda penyakit atau fenomena apa

yang saya maksud tersebut, yang efek negatifnya sangat kita rasakan secara

organisasional atau pun individual? Mungkin Anda sudah tahu tooh.

Baiklah. Saya akan mencoba menguraikannya dengan singkat dalam tulisan

sederhana ini, yang merupakan lanjutan dari beberapa tulisan-tulisan sebelumnya.

Bukan maksud untuk menyinggung Anda yang sudah terinveksi penyakit yang

saya maksud. Jikalau belum terinveksi, alhmadulillah segeralah cari pengaman

atau anti-virusnya. Penyakit ini adalah suatu realita yang kita alami di rumah

(HMI) kita sendiri. Secara tidak sadar, penyakit kronis ini membuat kita terpecah-

belah. Tidak saling percaya, saling curiga-mencurigai. Membuat kita saling

berebut “kursi” numer onedi setiap tingkatan HMI. Tidak menutup kemungkinan

akan sering terjadi kontak fisik sesama kader.


Penyakit kronis itu adalah terinveksinya seorang atau sekelompok kader HMI

pada politik praktis saat ini yang tarik-menarik dan mengikat. Hal ini tentu

mengakibatkan tercinderainya independensi HMI. Di tengah-tengah isu

perpolitikan negara saat ini setiap kader HMI haruskudu hati-hati.

Saya melihat ada kader-kader HMI saat ini tidak mampu berada di posisi tengah

untuk mendengarkan jeritan-jeritan dari bawah (rakyat). Seharusnya kader HMI,

yang notabenenya seorang mahasiswa harus bisa menjadi jembatan atau kalau kita

pakai kata-kata Bung Karno: penyambung lidah rakyat. Menyampaikan jeritan-

jeritan rakyat kepada politisi-politisi negeri ini.

Akan tetapi, yang terlihat adalah mereka berada di belakang para pelaku politik

praktis. Anda kurang percaya apa yang saya katakan? Saya tidak hendak beradu

argumen (berdebat) dengan Andah. Silahkan Anda amati sendiri di daerah Anda

ber-HMI.

Apa yang mereka harapkan?Saya tidak tahu pasti apa yang mereka harapkan.

Sepenglihatan dan sepemahaman saya, mereka mengejar eksistensi nama untuk

meningkatakan nilai jual dan mengejar percikan uang logam dari pelaku-pelaku

politik praktis. Kader-kader HMI mengejar mati-matian, hingga pukul-pukulan

untuk mencari jabatan di HMI supaya terkenal dan berharap dipanggil para

politisi. Kalau tidak dipanggil ia akan “melacurkan” diri. Saya heran kenapa

kader-kader HMI saat ini, ambisius terhadap jabatan di HMI. Bahkan untuk

memuluskan jalan, segala cara pun mulai dilakukan.


Calon-calon Ketua Umum HMI di setiap tingkatan seperti Koordinator

Komisariat (Korkom), HMI Cabang, Badan Koordinasi (Badko), dan Pengurus

Besar (PB) terpublis di media. Sudah meniru seperti Pemilihan Umum di negara

ini. Saya pikir ini budaya-budaya politik praktis. Di HMI kiranya tidak perlu

seperti itu. Cukup kita melihat kualitas calonnya saja, bagaimana ia berproses di

HMI.

Menurut saya, makin banyak promosi atau iklan calon Ketua Umum, maka

semakin tampaklah kebohongan yang terorganisir dan manupulasinya.

Ketakutannya, promosi yang berlebihan, tidak sesuai realitas akan mengakibatkan

kekecewaan yang sangat besar. Lagi pula percuma saja seperti itu, tooh sudah ada

tradisi Jahiliyah yang sering dilakukan. Seperti dengan membuat gerbong-

gerbong atau lumbung suara hesil intervensi dan instruksi dari berbagai pihak.

Kambing pun bisa menang jadi Ketua Umum kalau sudah ada gerbong dan ridho

dari “tuhan-tuhan” atau “berhala-berhala” di HMI.

Selanjutnya, terjun dalam dunia politik praktis demi mengharap percikan uang

logam. Saya ingin bertanya kepada Anda, boleh ya? Untuk apakah uang haram

itu? Bukankah agama Islam, yang menjadi azas organisasi kita telah melarang kita

untuk “merampok”? Atau kader-kadernya tidak beragama lagi? Untuk membiayai

kuliah? Untuk hedon bersama teman-teman dan pasangannya? Dan membeli

fasilitas modern saat ini.

Saya pikir, dengan tingkah laku tersebut, ia telah mencorang harga dirinya sendiri

sebagai mahasiswa yang sedang dalam dunia belajar. Ia telah menguliti dirinya
sendiri untuk siap disantap oleh “anjing-anjing”. Menelanjangi dirinya dan

bersedia “diperkosa” oleh elit-elit politik. Terdengar suara busuk yang begitu bau

dari pelakunya.

Apa yang harus dilakukan? Saya pikir Anda harus menjawabnya sendiri. Sudah

kader HMI kan? Marilah kita gali nilai-nilai luhur yang ada di HMI. Jikalau tidak

mau berubah, tinggalkanlah HMI. Jangan bunuh HMI dan janan bunuh kader-

kader yang ingin ber-HMI dengan tujuan yang murni untuk kebaikan. Fastabiqul

Khairat…!!![]
Anggota HMI Harus Utamakan Akhlak Dalam Berorganisasi

“Tidaklah Aku diutus menjadi seorang rasul, melainkan untuk memperbaiki

Akhlak manusia.” Demikian sabda Muhammad Saw. “Membina pribadi Muslim

untuk mencapai aqhlaqul karimah.” Demikian pula tertuang dalam salah satu

Usaha Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diatur oleh pasal 5 ayat (1)

Anggaran Dasar HMI (AD HMI).

HMI adalah suatu wadah yang diisi oleh mahasiswa-mahasiswa Islam (anggota

HMI) dan organisasi yang berazaskan Islam, sudah seharusnya (wajib)

menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai landasan berpikir dan bergerak. Sabda

Rasulullah Saw. yang kita sebutkan di atas, pun kiranya menjadi motivasi anggota

HMI dalam beraktivitas di HMI dan di luar HMI.

HMI begitu terkenal dengan keintelektualannya, sehingga terkadang tidak

terkontrol sehingga sebahagian terjerumus ke dalam ranah yang salah. Anggota

HMI terkadang terlalu mengutamakan rasio dan bahkan terpengaruh cara berpikir

yang materialistis sehingga mengakibatkan anggota HMI bersikap hedon dan

pragmatis. Ada kesalahan dalam memaknai keintelektualan tersebut.

Keintelektualan dimaknai secara sempit, hanya diukur dengan kecerdasan akal,

tidak diukur dengan perbuatan amal baik.

Tidaklah salah memang kita sebagai seorang anggota HMI yang notabenenya

sebagai seorang mahasiswa (kaum intelektual) terus mempertajam ilmu

pengetahuan dan daya pikir kita. Akan tetapi, jangan sampai kita melupakan atau
menyampingkan suatu akhlak mulia (aqhlakul karimah). Seharusnya ilmu dan

kecerdasan yang kita peroleh dapat memperkuat akhlak kita dalam berorganisasi.

Akhlak Islam menganjurkan bahwa cita-cita hidup kita semata-mata adalah untuk

mencari kemuliaan di mata Allah, yang dengan demikian kemuliaan di mata

sesama manusia juga akan kita dapatkan. Pun kiranya di HMI, kita mencari

kemuliaan di mata Allah Swt. bukan kemuliaan di mata pejabat.

Jika kita melahit kondisi anggota-anggota HMI saat ini, banyak sekali yang telah

melanggar akhlak Islam. Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat contohnya, di

sekitar kita, masih ada anggota-anggota HMI yang melanggar akhlak kepada

Allah Swt. Misalnya, Allah Swt. memerintahkan kita untuk shalat, akan tetapi

anggota HMI melanggar perintah Allah Swt. tersebut dengan berbagai alasan ini

dan itu. Kemudian, akhlak sesama anggota, terus kita temukan anggota-anggota

HMI yang saling memburuk-burukkan, padahal itu sama saja menggigit jarinya

sendiri.

Dalam aktivitas ber-HMI, masih banyak anggota-anggota HMI tidak berakhlak

dengan “mengangkangi” aturan main ber-HMI. Banyak anggota HMI lebih patuh

pada “tuhan-tuhan” atau “berhala-berhala” di HMI dibanding patuh pada azas

HMI (Islam) dan aturan organisasi HMI. Hal ini membuktikan bahwa, anggota-

anggota HMI masih lemah akhlaknya.

Untuk merealisasikan usaha-usaha HMI (pasal 5 AD HMI) dalam membina

pribadi Muslim untuk mencapai aqhlaqul karimah dan untuk mencapai tujuan

HMI (pasal 4 AD HMI), setiap anggota HMI harus mengetahui bagaimana


berakhlak yang Islami dan mempraktekkannya dalam aktivitas sehari-hari. Akhlak

mulia harus menjadi prioritas utama bagi anggota HMI, baik hubungan secara

vertikal (hablumminallah), secara horizontal (hablumminannas wa

hablumminal’alam). Maksudnya berakhlak baik kepada Allah Swt. dengan

menjalankan perintah-Nya juga menjauhi segala larangan-Nya, dan berakhlak

baik kepada sesama anggota HMI, masyarakat, dan kepada lingkungan sekitar.[]
HMI; Anak Kandung Ummat atau Anak Kandung Pejabat?

Dewasa ini banyak kalangan, baik dari internal maupun eksternal HMI, yang

meragukan eksistensi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Beberapa pertanyaan

pun muncul, bagaimanakah kualitas HMI saat ini? Apakah yang diperjuangkan

HMI sekarang? Berpihak ke manakah HMI saat ini? Dan banyak pertanyaan

lainnya.

Di dalam lingkungan HMI sehari-hari, kita sering kali menyebutkan bahwa “HMI

adalah anak kandung ummat”, “Di mana ada ummat di situlah HMI”. Lantas

benarkah demikian, apakah itu sekedar sloganistik dan juga sekedar penyemat?

Apa buktinya jika HMI seperti yang sering disebutkan itu?

Secara kualitas HMI, kita harus jujur bahwa HMI saat ini sangat menurun

kualitasnya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa mayoritas kader HMI saat ini lebih

fokus pada pemenuhan struktural (jabatan) organisasi daripada peningkatan

substansi nilai intelektual (kultural). Bukti konkritnya, silahkan diperhatikan

berbagai HMI Cabang se-Nusantara, betapa banyak masalah sedang dialami yang

hanya permasalahan itu terkait struktural. Kegiatan-kegiatan kader pun hanya

sekedar kegiatan periodik dan sifatnya normatif. Jarang sekali kita mendengar,

adanya kader HMI berdebat bahkan sampai pada tahap tinggi terkait pemikiran

(ide-ide intelektual). Hal tersebut telah banyak dituliskan dalam buku yang

disusun oleh Agussalim Sitompul dengan judul HMI Mengayuh Di Antara Cita

dan Kritik.
Nah, sekarang apakah yang diperjuangkan HMI? Dengan terkurasnya pemikiran

kader-kader HMI terhadap hal-hal yang struktural dan taktis, tentunya pemikiran

untuk menanamkan dan meningkatkan nilai-nilai intelektualitas tidak akan efektif.

Semangat intelektualitasnya menurun. Dengan kondisi tersebut, apa yang

seharusnya diperjuangkan HMI, seperti yang diamanahkan oleh azas HMI dan

Konstitusi HMI tidak terealisasi lagi secara global di seluruh wilayah Indonesia.

Dengan kondisi demikian juga, orientasi kader yang terus mencari jabatan maka

tergambarkan bahwa yang diperjuangkan kader bukan lagi tujuan universal HMI

yang termaktub dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI hasil Kongres XXIX

Pekanbaru 2015, melainkan lebih cenderung menyelamatkan tujuan pribadi dan

golongan. Maka muncul praduga: “Dengan mendapatkan suatu jabatan strategis

di HMI, maka urusan di kampus atau dibirokrasi pemerintahan akan lebih

gampang.Dengan mendapatkan jabatan strategis di HMI, maka eksistensi pribadi

disegani.” Jarang sekali kita temukan, dengan jabatan strategis itu dia lebih kuat

untuk memperjuangkan kebenaran dan memperjuangkan ummat yang tertekan

akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.

Lantas, berpihak ke manakah HMI saat ini? Rakyat Indonesia (selanjutnya kita

sebut ummat) di tahun 2018 dan di tahun 2019 akan mengikuti pesta demokrasi.

Pertengahan tahun 2018, 171 daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, ummat

Indonesia akan mengikuti pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, dan tahun

2019 nanti akan mengikuti pesta demokrasi pemilihan legislatif dan presiden.
Nah, yang menjadi pertanyaannya, di manakah posisi HMI saat pesta berturut-

turut tersebut?

Kembali kepada judul dan slogan yang kita tuliskan di atas tadi, apakah posisi

kader HMI atau HMI itu sendiri berada dalam lingkaran para pejabat atau ummat?

Dapatkah HMI membawa atau menyuarakan persoalan-persoalan yang dialami

rakyat Indonesia saat ini kepada para pejabat-pejabat atau kepada calon-calon

pejabat, seperti alumni HMI yang mencalonkan diri. Atau sebaliknya, kader-kader

HMI malah membantu para pejabat untuk berkampanye dengan menjual janji-

janji manis, dengan bermacam visi-misi dalam “keranjang” agama dan ummat.

Jika HMI ketergantungan dengan pejabat-pejabat tersebut dan berada dalam

lingkaran itu, maka hal itu membuktikan bahwa HMI adalah anak kandungnya

pejabat.

Jika memang kita masih mengakui bahwa HMI itu adalah anak kandung ummat,

dan bukan anak kandung pejabat, tentunya kita sebagai seorang kader harus lebih

dekat dengan ummat itu sendiri. Ketika kita memiliki alumni HMI yang menjadi

seorang pejabat, cukuplah hubungan garis historis dengannya seperti yang

disebutkan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI. Tidak bisa lebih, apalagi

terkait intervensi politik. Seharusnya, dengan alumni kita yang menjadi pejabat

pemerintahan, kita lebih berani menyampaikan aspirasi masyarakat tanpa ada

kompromi di sana-sini. HMI harus lebih berani menegurnya, karena ia masih

bagian daripada HMI, walaupun hanya secara garis historis. Akan tetapi, ia
(alumni yang menjadi pejabat tersebut) mempunyai kewajiban terhadap HMI,

yaitu menjaga nama baik HMI.

Maka dari itu semua, untuk meningkatkan kualitas HMI, apa yang harus

diperjuangkan HMI dan di manakah posisi HMI, suasana intelektual HMI harus

lebih ditingkatkan dan menjaga independensi HMI (independensi etis dan

independensi organisatoris). Kader-kader HMI harus sanggup merumuskan

gagasan-gagasan yang strategis, kreatif dan produktif untuk membangun

masyarakat. HMI sebagai wadah mahasiswa (pasal 7 AD HMI) yang bersifat

independen (pasal 6 AD HMI) dan organisasi yang berperan sebagai organisasi

perjuangan (pasal 9 AD HMI) harus menjadi pelopor, pemersatu, dan pembaharu

perubahan dalam masyarakat Indonesia.

Kader-kader HMI harus mampu melontarkan kepada khalayak ramai, baik

pemerintahan hingga seluruh masyarakat, ide-ide konstruktif dan menyentuh

persoalan yang dialami rakyat secara permanen. Kader-kader HMI berjuang tidak

bersifat musiman atau hanya sekedar menjalankan program-progam kerja, akan

tetapi harus utuh dan konsisten. Berjuang untuk ummat yang ada di Indonesia dan

seluruh dunia dalam rangka mencari ridho Allah Swt.[]


HMI Organisasi Liberal, Benarkah?

Akhir-akhir inibanyak sekali isu-isu yang muncul untuk menyudutkan organisasi

mahasiswa tertua di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tuduhan-

tuduhan tidak baik itu, yang menyerang HMI bukanlah hal baru untuk

dirasakannya. Semenjak berdirinya, hingga sekarang, tuduhan yang tidak tepat

sudah sering dihadapi HMI. Di saat pembentukannya berdirinya, organisasi

mahasiswa pada masa itu menudah memecah belah mahasiswa. Di zaman Orde

Lama, HMI pernah ingin dibubarkan oleh Bung Karno akibat pengaruh dari

orang-orang komunis karena HMI dituduh kontra revolusi, dan tuduhan-tuduhan

secara politik dan paham pemikiran yang menyimpang datang bergantian seiring

bergantinya zaman.

Tujuan mereka yang menuduh HMI dengan berbagai macam isu, bertujuan supaya

HMI tidak diminati oleh mahasiswa Muslim. Mereka ingin menghancurkan HMI.

Menurut saya, itu hanya mimpi. Pekerjaan sia-sia saja. Toh, ternyata sampai hari

ini, tidak ada yang bisa. Dan HMI masih menjadi organisasi pilihan mahasiswa

Islam di Indonesia secara mayoritas. Kader-kader HMI percaya dengan ridho

Allah semuanya akan berkah.

Di suasana kampus, ada beberapa pertanyaan titipan dan statemen titipan ketika

HMI mengajak mahasiswa untuk bergabung dari berbagai pihak yang tidak suka

dengan HMI. Seperti, ada yang mengatakan bahwa HMI itu adalah organisasi

liberal, HMI itu organisasi sekuler, HMI organisasi Syi’ah dan lain-lainnya.

Demikianlah “barang dagangan mereka”.


Itu semua hanya tuduhan-tuduhan yang dititipkan kepada orang (mahasiswa baru)

yang sebetulnya apa yang ia katakan tadi tentang istilah liberal, sekuler dan yang

lainnya tidaklah ia pahami. Dia belum membaca bagaimana HMI itu dan apa yang

diperjuangkan HMI.

Benarkah HMI itu organisasi liberal? Bahkan ada yang mengatakan HMI itu

sekuler. Nah, untuk memastikan ini, sebetulnya saya tidak mungkin membahasnya

dalam tulisan singkat ini. Kiranya nantinya ada kesempatan untuk menulis yang

khusus membahas terkait tema yang demikian. Jadi begini saja, saya menyarankan

supaya terlebih dahulu mempelajari tentang HMI. Tidak asal menuduh.

Mempelajari HMI itu menurut saya ada dua cara.

Pertama, masuk dan bergabunglah dengan HMI, Anda akan merasakan HMI itu

secara langsung. Kedua, lakukanlah penelitian kepada HMI itu sendiri. Ketiga,

bergaullah dengan kader-kader HMI tanpa hasuk masuk menjadi kadernya. Jika

karena unsur kebencian dan tidak suka dengan HMI, karena tidak mampu

berkompetisi dengan HMI jangan menyudutkan HMI. Itu menjadi pekerjaan sia-

sia. Hal itu membuat Anda (yang memfitnah HMI) semakin terpuruk lagi.

Semakin tidak berkembang dan tidak diminati mahasiswa. Karena pada dasarnya

seseorang yang memburuk-buruk orang lain, sebernarnya dialah yang paling

buruk.

Saya perlu jelaskan sedikit, bahwa HMI itu tidaklah liberal, bahkan tidak pula

sekuler. HMI memegang prinsip Islam. Liberal jangan diartikan sebagai

kebebasan berkumpul antar berbagai kelompok. Pahamilah liberal itu sebagai


aliran pemikiran, ideologi atau aliran filsafat, yang biasa dikenal istilah

liberalisme. Secara lazimnya, banyak orang memahami liberal ini dengan istilah

kebebasan atau bebas. Ya, di HMI kita diberikan kemerdekaan.Tapi perlu di ingat

dan diketahui, kebebasan itu masih dalam koridor prinsip Islam.

Jika Anda hari ini pacaran dan melakukan praktik pacaran yang jelas-jelas

dilarang Islam, apakah Anda akan menyalahkan Islam atau perilaku Anda?

Apabila Anda melihat kader HMI menyimpang, apakah Anda menyalahkan

organisasinya padahal ketentuan organisasi sesuai dengan prinsip Islam? Kalau

Anda melihat hari ini pejabat negara kita yang koruptor banyak dari yang

beragama Islam, apakah Anda akan mengatakan bahwa Islam itu korupsi, atau

Islam mengajarkan korupsi? Tentunya tidak. Semua yang dilakukan itu adalah

merupakan penyimpangan dari ajaran Islam.

Maka dari itu, saya mengajak kepada teman-teman mahasiswa baru dan teman-

teman mahasiswa lainnya untuk betul-betul memahami suatu istilah. Harus

memahami sesuatu kemudian barulah mengeluarkan pendapat. Pendapat yang

bersifat doktrinisasi tanpa landasan akan memperburuk pola pikir. Mahasiswa

harus betul-betul mengenali sesuatu barulah ia mengeluarkan pendapat. Tidak

langsung percaya dengan hasutan. Dalam Islam diajarkan, apabila kita

mendapatkan suatu informasi, maka periksalah terlebih dahulu siapa pemberi

informasinya dan pelajari informasi yang diberikan.[]


HMI-Wati Sosok Perempuan Ideal

“Perempuan adalah tiang negara, bila kaum perempuannya baik maka baiklah

negaranya, dan apabila perempuannya buruk (amoral) maka buruklah

negaranya”.

Penuturan kata-kata di atas adalah suatu syair yang kita ketahui dari arab.

Penegasan kata-kata tersebut lebih diabadikan di dalam paragraf Mukaddimah

Pedoman Dasar Kohati (PDK). Syair tersebut adalah suatu harapan atau suatu

gambaran keadaan realitas dalam negara yang apabila perempuannya baik maka

baiklah negaranya, atau sebaliknya.

Perkataan syair tersebut, penulis pernah mendengarnya dari suatu film kerajaan di

Indonesia, yaitu film Angling Dharma. Perkataan yang persis seperti di atas

terucap dari ayahnya Dewi Sekarwangi saat awal keberangkatan Angling

Dharma dan Dewi Sekarwangi dari rumah ayahnya, setelah diselesaikannya

pernikahan mereka. Sungguh memang perempuan menjadi sosok yang sangat luar

biasa pengaruhnya dalam kehidupan manusia.

Landasan yang lebih kuat lagi tentang kedudukan tinggi perempuan bagi kita yang

meyakini sumber Islam (Al-qur’an dan Hadist), dalam hadist Rasulullah

menyebutkan kedudukan seorang ibu sampai tiga kali dan keempat kalinya

barulah ayah. Kejadian hadist itu ketika seorang sahabat bertanya tentang hal itu.

Betapa Nabi Allah juga berangkat dari perjuangan membela kaum perempuan

pada masa itu.


Dalam sejarah perempuan Islam, kiranya dapat kita berikan contoh tokoh-tokoh

perempuan nan sangat mulia hatinya dan kuat imannya, yaitu adanya ummul

mukminin atau perempuan shaliha (muslimah yang taat) yaitu Siti Khadijah (isteri

pertama Rasulullah SAW), Siti aisyah (isteri Rasulullah SAW. atas berkatnya

hadist-hadist bisa dapat diketahui secara pasti) dan Siti Fatimah (putri Rasulullah

dan isteri imam Ali). kiranya tokoh-tokoh tersebut dapat menjadi inspirator

perempuan-perempuan yang ada di dunia ini, bukan berarti kita menyampingkan

tokoh-tokoh muslimah lainnya yang telah banyak berjuang untuk kebaikan selama

dalam sejarah keperempuanan.

Marilah kiranya kita lihat keadaan mayoritas perempuan Muslim Indonesia hari

ini. Kitamelihat adanya pergeseran nilai, kultural, pergeseran pemahaman atau

belum sama sekali paham dengan apa yang dialaminya saat ini. Perempuan

Muslim saat ini, khususnya di Indonesia, dalam ukuran mayoritas tidak

mencerminkan sebagai Muslimah yang baik. Saat ini, perempuan yang beragama

Islam mengumbar-umbar aurat sudah hal yang biasa dalam kesehari-hariannya.

Perempuan yang menutup auratnya dikatakan tidak zamani dan kolot, sedangkan

yang mempertontonkan aurat kepada orang yang tidak berhak dipandang

suatu tranddan dikatakan maju. Sungguh pola pemikiran yang salah pada

pandangan tersebut. Singkatnya, tidak terlihat adanya semangat Islam dalam

dirinya.

Kalau kita tarik ke belakang (sejarah penjajahan Belanda di Indonesia),

perempuan-perempuan Indonesia sangat membenci adanya budaya-budaya yang


datang dari Barat apalagi itu dari Belanda. Jangankan meniru bahasanya, memakai

pakaian ala Belanda mereka tidak mau bahkan lagu-lagu Barat menjadi lagu-lagu

ejekan. Alasannya, karena menurut mereka hal itu dapat mengikis

nasionalismenya, dengan sikap itu perempuan ikut berjuang untuk negara dengan

segala cara yang dilakukannya. Sungguh mereka adalah perempuan-perempuan

pejuang di Indonesia, suatu sosok perempuan yang ideal.

Meneropong masa sekarang, bagaimana perempuan-perempuan Indonesia,

khususnya perempuan Islam di Indonesia? Seperti apakah mereka saat ini?

Apakah mereka berjuang dengan cara apa yang bisa dibuatnya untuk

mempertahankan Indonesia dan agamanya yang diserang secara terus menerus

secara halus. Diserang secara halus maksudnya adalah perempuan dipengaruhi

atau dirusak dengan menggunakan sarana-prasarana yang diciptakan di Era

Globalisasi dan Modernisasi saat ini.

Dahulunya perempuan Indonesia sangat membenci cara-cara orang penjajah

dalam pola sikapnya dan tindakannya, seperti mempertontonkan auratnya,

sekarang kita lihat lewat begitu saja didepan mata kita setiap harinya. Hal itu

menjadi suatu kebanggaan bagi mereka, lebih miris lagi saat ini banyak kita lihat

artis-artis mempertontonkan auratnya dengan bebas lewat Televisi. Dari

pertunjukan-pertunjukan liar itu, banyak pulalah perempuan yang mengikuti gaya

berpakaian artis tersebut.

Berangkant dari kondisi ini, jauh-jauh hari sudah lama realitas ini ditangkap oleh

satu kelompok intelektual muslimah, maka dari itu dibentuklah Korps HMI Wati
(KOHATI), suatu lembaga semi-otonom dibawah naungan Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI). Di dalam lembaga semi-otonom ini jelas diisi oleh mahasiswi-

mahasiswi Islam (Muslimah) atau sering kita sebut HMI-Wati yang telah dikader,

dibina secara mandiri, terdidik menjadi perempuan-perempuan yang berkualitas,

sehingga HMI-Wati megerti dan paham dalam peran perempuan dalam

pembangunan negara.

Pada mukaddimah Pedoman Dasar KOHATI (PDK) menyebutkan bahwa dalam

rangka memaknai peran strategis tersebut, HMI-Wati dituntut untuk menguasai

ilmu agama sebagai landasan atas keimanan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi

untuk kemudahan dalam aktivitas di dunia, serta keterampilan yang tinggi dengan

senantiasa menyadari fitrahnya.

Labih lanjut, tujuan KOHATI yang diisi HMI-Wati adalah terbinanya muslimah

yang berkualitas insan cita. Dimana kita ketahui kualitas insan cita dalam tafsir

tujuan HMI itu terdiri dari : (a). Kualitas Insan Akademis, (b). Kualitas Insan

Pencipta, (c). Kualitas Insan Pengabdi, (d). Kualitas Insan yang bernafaskan Islam

dan (e). Kualitas Insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil

makmur yang diridhoi Allah SWT.

Untuk melihat usaha yang dilakukan dalam mewujudkan HMI-Wati yang

berkualitas atau menjadi sosok perempuan yang ideal, ada kualifikasi yang sudah

dibuat telah menjadi konsep pengembangan kualitas diri HMI-Wati. Dengan itu,

HMI-Wati mempunyai kelebihan, yaitu : (a). Kualifikasi Intelektual, (b).

Kualifikasi Kepemimpinan, (c). Kualifikasi Manajerial, dan (d). Kualifikasi


Kemandirian. Disamping itu, ada wacana HMI-Wati dan juga spesifikasi gerakan

dengan kajian-kajian keperempuanan dalam Islam, peningkatan keintelektualan

dengan menggabungkan kajian Tridharma Perguruan Tinggi, dan keperempuanan

masa kini.

Dari hal-hal di atas, akan lahirlah HMI-Wati yang menjadi sosok perempuan yang

ideal, perempuan yang penuh keimanan, perempuan yang akan berguna untuk

negara dan bangsa dan juga keluarganya. HMI-Wati tidak mudah terpengaruh

dengan arus leberalisme, globalisasi dan modernisasi yang menjerumuskan

manusia. Kalaupun modernisasi tidak terbendung lagi, maka HMI-Wati sudah

siap menghadapinya dan tidak menjadi korban. HMI-Wati tidak akan menjadi

perempuan pengumbar aurat, perempuan pengrusak tatanan masyarakat tidak

menjadi perempuan amoral.

Dengan kualitas insan citanya, dan proses yang dialaminya (proses psikologi dan

intelektual), jadi HMI-Wati dengan kemampuan atau kualitas iman yang kuat,

intelektual yang tinggi, perempuan yang mandiri dan perempuan yang bermoral.

Jadilah ia menjadi sosok perempuan ideal yang mengerjakan amal kebajikan

untuk kehidupan yang lebih baik.

Allah Swt menegaskan: “Barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-

laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan

kepadanya kehidupan yang baik, dan akan kami berikan balasan dengan pahala

yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl; 16 : 97).[]
Kader-Kader HMI Yang Sedang Kronis

Ide tulisan ini terlintas cepat di pikiran saya waktu tengah malam, sekitar pukul

00.30 Wib, ketika duduk di halaman depan tempat tinggal saya (kontrakan). Saat

saya me-review kembali aktivitas yang saya lakukan dari mulai bangun tidur

hingga hendak mau tidur. Saya takut dia liar ke mana-mana, ide yang terlintas ini

pun segara saya ikat dalam berupa tulisan sederhana ini.

Proses ketika mengingat ulang kembali aktivitas saya lakukan dari pagi hari

hingga malam hari, saya terhenti pada satu aktivitas dimana ketika saya berdiskusi

dengan beberapa kader-kader HMI Cabang Medan. Sebut sajalah nama mereka si

Anu,Fulan, Hidun dan yang lainnya. Mereka dari Komisariat-komisariat yang ada

di HMI Cabang Medan.

Dari tujuh orang yang menjadi teman saya berdiskusi pada waktu itu, tidak satu

pun dapat menjelaskan bahkan tidak satu orang pun yang pernah membaca

tulisan-tulisan (buku) ke-HMI-an, seperti Sejarah Perjuangan HMI di tingkat

nasional atau pun Sejarah HMI Cabang Medan, sejarah cabangnya sendiri.

Apalagi ketika diminta menjelaskan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, sungguh

jauh dari harapan.

Dari kepolosan mereka menjawab dengan tidak mengetahui dan tidak pernah

membaca tentang ke-HMI-an, saya begitu geram dan “marah”. Tapi kemarahan

itu saya “lemparkan” dengan senyuman yang terpaksa ramah. Tidak etis rasanya

marah pada mereka atau bahkan mengatakan mereka buta akan sejarah HMI.
Bukan bermaksud dari mereka lalu saya mengeneralkan seluruh kader HMI buta

juga akan ke-HMI-an. Tapi saya berani menjamin, diantara seluruh kader HMI di

Indonesia ini mayoritas jumlahnya banyak yang tidak mengetahui, belum “duduk”

dan bahkan tidak dapat menjelaskan ke-HMI-an, apalagi NDP HMI. Saya yakin

sekali dari seluruh kader-kader HMI di Nusantara ini membaca tulisan-tulisan

tentang HMI sangat minoritas jumlahnya.

Kalaulah seorang kader tidak paham akan ke-HMI-an, secara sejarah, konstitusi,

mission, filosofis pendirian dan perjuangan, bagaimana mungkin dia (baca: kader)

HMI cinta, loyal dan militan kepada HMI? Bagaimana mungkin dia tahu garis

perjuangan HMI? Maka sering timbul kecintaan yang “buta” dan tahu HMI atas

“doktrinisasi” dari “tuhan-tuhan” dan atau “berhala-berhala” yang ada di HMI.

Syukur-syukur yang memberitahukan itu orang yang paham ke-HMI-an dengan

data yang benar, kalau ada yang “terpleset”, bagaimana dampaknya?

Bolehlah kiranya saya mengatakan bahwa saat ini mayoritas kader HMI sedang

dalam kronis. Mengalami penyakit sehingga menurunnya kualitas diri seorang

kader-baik itu kualitas intelektualnya, krisis moralitas, krisis etika, krisis religius,

krisis ideologi, krisis independensi dan krisis kualitas HMI lainnya. Kita pun

sangat membutuhkan “imun” atau obat untuk menguatkannya.

Kenapa di era kemajuan zaman ini malah menurun kualitas kader HMI?

Bukankah di zaman sekarang ini kita sebagai kader HMI lebih mudah mengakses

wawasan-keilmuan untuk meningkatkan kualitas intelektual kita? Kenapa budaya

hedonis dan pragmatis yang lebih cepat berkembang biak dan kita biarkan di
tubuh HMI? Padahal kita mengetahuinya itu suatu penyakit yang sangat

membahayakan HMI, baik secara organisasional maupun diri pribadi seorang

kader.

Akankah sistem perkaderan formal HMI terus menjadi sasaran “tembak”

kesalahannya? Lantas dimana lagi kesadaran bersama untuk menghadapi penyakit

kronis di HMI. Seharusnya dengan kesadaran, kita membudayakan lagi suatu

tradisi-tradisi yang meningkatkan kualitas kader HMI.

Penyakit kronisnya bukan hanya dalam permasalahan wawasan-keilmuan

(keintelektualan). Cenderung juga kita menghadapi krisis kader yang tidak sesuai

dengan aturan main dalam aktivitas organisasi seperti AD/ART, Pedoman

Organisasi, Pedoman Perkaderan HMI dan Ketentuan-ketentuan HMI lainnya.

Krisis independensi pun terjadi terjadi sehingga independensi HMI

(organisasional dan etis-kader) sering tergadaikan kepada “tuhan-tuhan” dan atau

“berhala-berhala” kontemporer di HMI dan di luar HMI.Sepertinya kesadaran

seorang kader HMI yang perlu kita tingkatkan bersama.[]


Berlakunya Seleksi Alam Di HMI, Benarkah?

Tulisan ini sebenarnya berawal dari diskusi ringan saya dengan seorang kader

HMI Cabang Medan. Pembicaraan kami terkait kondisi HMI saat ini,

terkhususnya kondisi kader-kader HMI saat ini. Kondisi atau fenomena yang

dimaksud tersebut memang sudah lama ada di HMI. Ini mungkin baru ia (teman

saya tersebut) rasakan setelah melihat teman-temannya ada yang kurang aktif dan

bahkan tidak aktif lagi selepas Basic Training atau Latihan Kader I (LK I).

Hukum Seleksi Alam berlaku. Itulah kira-kira fenomena yang kita maksud. Pada

pemakaian istilah tersebut tidaklah merujuk pada teori-teori evolusinya Darwin

dalam hal spesies makhluk hidup. Tapi ini lebih tepatnya kita gunakan dalam

gambaran perubahan sosial-budaya manusia. Jikalau dalam konteks organisasi

dapat kita katakan: satu per satu “hilang”, tidak aktif karena mungkin tidak

sanggup mengikuti dinamika organisasi. Lingkungan organisasi sangat

mempengaruhi dalam keaktifan seorang kader atau anggota organisasi.

Teman saya itu menceritakan dengan penuh kekesalannya, “Ternyata bukan

Anggota Muda yang habis Maperca saja terseleksi oleh alam ya Bang?”,

ungkapnya dalam tanya. “Ternyata seorang kader yang sudah LK I pun ada juga

yang terseleksi alam”, lanjutnya.

“Ooohh...itu sudah biasa”, saya jawab dengan sedikit jutek. “Jadi itu bagaimana

Bang?”, ia bertanya lagi. “Bagaimana apanya?” Sayabertanya balik.


“Bagaimana supaya teman-teman itu aktif lagi? Sayangkan...sudah LK I tapi

kurang aktif. Padahal seleksi masuk LK I susah kali di HMI Cabang Medan ini”,

tanya lagi. “Yaa..., seleksi alam memang berlaku. Bukan di HMI saja, bahkan

disetiap organisasi. Apa lagi organisasinya tidak memberikan keuntungan materil.

Yang memberikan keuntungan materil saja, sering pekerjanya memecat diri

sendiri. Ada sesuatu faktor penyebab yang membuat kurang aktifnya mereka.

Nah, faktor penyebab itu harus dirubah, setidaknya diminimalisir. Pengurus

organisasi harus bisa men-disign lingkungan organisasi senyaman mungkin tanpa

menghilangkan substansi kualitatif HMI.” Saya mencoba menjelaskan.

Banyak memang kader HMI selepas Latihan Kader tidak terlihat lagi aktivitasnya.

Berbagai faktor penyebabnya pun tentu mempengaruhinya. Ada sesuatu hal yang

harus dilakukan supaya hal tersebut dapat diperkecil peminatnya. Menurut saya,

ada beberapa hal yang harus kita lakukan.

Pertama,harus ada motivasi yang kuat untuk setiap setiap kader HMI. Ber-HMI

bukan karena sesuatu yang sifatnya hedonisme-praktisme, tapi betul-betul adanya

dorongan secara sadar yang kuat untuk ber-HMI. Kedua, harus mempunyai tujuan

(visi-misi) di HMI yang terarah dan jelas. Ketiga, harus ikhlas dalam mengerjakan

aktivitas-aktivitas di HMI demi mengharap ridho Allah Swt.

Keadaan membosankan dan menjenuhkan sudah pasti menjadi teman setipa

aktivis organisasi. Tidak berorganisasi juga menjenuhkan. Membosankan dan

kejenuhan itu sudah sifat alamiahnya manusia. Maka dari itu, buatlah suatu

lingkungan yang senyaman mungkin tanpa mengurangi substansi kualitatif HMI.


Cara lain supaya tetap kuat dan bertahan, yang namanya kesabaran dan keikhlasan

harus ditingkatkan. Apa yang dilakukan itulah yang didapatkan. Hasil tidak akan

pernah menghianati proses. Yang namanya proses, hasilnya bisa cepat datang

dengan tidak disangka-sangka, bisa pula lambat. Laayukallifullaaha nafsan illa

wus’aha, lahaa makasabat wa’alaiha maktasabat.[]


Di HMI,Saya Memilih Jalan Sunyi

Sebetulnya judul di atas sudah lama saya simpan dalam catatan pribadiku. Setelah

saya menyelesaikan SeniorCourse (SC) di HMI untuk menjadi Instruktur di HMI,

sekaranglah baru dapat sedikit saya tuliskan bagaimana maksud judul itu. Tulisan

ini pun tidaklah dalam bentuk artikel ilmiah sebagaimana tulisan-tulisan saya

sebelumnya tentang HMI. Tulisan ini lebih cenderung seperti catatan ringan saja,

atau semacam catatan kaki dan menurut saya sangat perlu untuk direnungkan.

Mulanya saya dilema pikiran apakah ikut Pelatihan Khusus untuk menjadi

Instruktur di HMI (Senior Course atau Training Instruktur) sekitar Februari 2016

lalu. Setelah ber-ijtihad dengan diri sendiri, saya pun memutuskan untuk ikut dan

siap mengabdi apabila dinyatakan lulus.

Menjadi instruktur HMI berari siap mengabdikan diri untuk HMI, menjadi

instruktur juga berarti siap dan bersedia memilih “jalan sunyi”.

Seperti apakah yang dimaksud “jalan sunyi” itu? Kata-kata ini (jalan sunyi) saya

dapatkan dari seorang instruktur HMI yang menjadi Master of Training kami

Februari 2016, Roni Gunawan. Saya juga tidak tahu darimana istilah itu ia

dapatkan.

Dikatakan “jalan sunyi” kerena sedikit sekali kader yang melewati proses ini

(menjadi instruktur), adapun yang ikut pelatihannya cukup banyak, tapi pada

pertengahan jalan habis tereliminasi (seleksi) oleh alam sendiri. Hal ini juga

dikatakan “jalan sunyi” karena ribuan kader HMI se-Nusantara telah


menyelesaikan Latihan Kader II (Intermediate Training) tapi hanya sedikit yang

menjadi instruktur. Menurut saya ini juga bagian dari kelemahan HMI saat ini

sehingga kualitas kader-kader organisasi mahasiswa tertua di Nusantara ini

menurun.

Sudah lebih dari satu tahun, tepatnya satu tahun dua bulan, sayatelah berada

di“jalan sunyi” ini. Awalnya saya dan teman-teman (seangkatan) itu berjumlah

belasan orang, tapi sekarang yang aktif hanya sedikit. Dengan alasan dan kendala,

teman-teman yang lain pun sudah ada yang tidak aktif dan kurang aktif. Tentunya

yang kami rasakan ini, telah dilewati oleh pendahulu-pendahulu kami.

Di usiayang seumur jagung ini, sata pun bertambah semangat berada di “jalan

sunyi” setelah beberapa teman-teman kader HMI Cabang Medan ikut bergabung

di “jalan sunyi”. Seleksi alam juga tetap berlaku kepada mereka. Semua proses

harus dilewati setelah forum SC. Apalagi di HMI Cabang Medan, untuk menjadi

instruktur HMI sangat banyak sekali hal-hal yang harus dilewati supaya menjadi

Instruktur Penuh dan baru dapat dapat dilantik dan serta baru bisa menjadi Master

of Training (MoT) dalam traning LK I HMI Cabang Medan.

Menjadi instruktur di HMI (jalan sunyi), sangat berat peran dan tanggung

jawabnya. Selain wawasan keilmuan yang harus mumpuni, sikap atau akhlak juga

harus dijaga. Banyak sekali “zona nyaman” yang harus ditinggalkan. Jika seorang

instruktur tidak terus meng-upgrade dirinya secara kualitas keilmuan, emosional

dan psikologi, maka seorang instruktur tersebut akan “mati” sendiri. Instruktur

HMI harus produktif dalam karya-karya yang konstruktif.


Ber-HMI rasanya tidak sempurna kalau tidak menjadi instruktur HMI. Tidak

afdhol rasanya bergabung dalam organisasi yang fungsinya perkaderan tidak

terlibat di dalamnya secara langsung. “Jalan sunyi” ini adalah satu pilihan di mana

kita harus siap mengabdi. Siap tenaga dan waktu terkuras demi perkaderan HMI

dan juga semuanya harus dilalui dengan ikhlastanpa pamrih. Instruktur HMI se-

Indonesia harus dan tetaplah semangat digaris perkaderan. Dengan tujuan

memperbaiki HMI yang mana pada saat ini mengalami kemerosotan secara

kualitas dan kuantitas. Semoga Allah Swt. merahmati dan meridhoi kita.[]
BPL HMI Sebagai Benteng Pertahanan HMI

Latihan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (LK HMI) pada hakikatnya

merupakan bentuk perkaderan HMI yang berorientasi padapembentukan watak,

pola pikir, visi, orientasi serta berwawasan ke-HMI-an yang paling dasar. Posisi

dan peranan Latihan Kader adalah untuk meletakkan dasar-dasar bagi setiap kader

HMI agar siap mengemban amanah dan tanggungjawab guna membangun bangsa

Indonesia di masa depan.

Pelatihan (training) di HMI sangat menentukan gerak dan dinamika para kader

maupun organisasi, sehingga apabila pengelola atau penanggungjawab suatu

training HMI salah dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan semangat

dan juga gagasan dasarnya maka akan salah pula pengembangan bentuk-bentuk

pembinaan berikutnya, baik pada up-grading maupun aktivitas.

Berkaitan pada persoalan-persoalan tersebut, dalam pelatihan di HMI, sangat

dibutuhkan lembaga serta forum yang serius mencurahkan konsentrasi pemikiran

pada pengembangan kualitas para pengelola latihan, kemampuan mengkonsep

atau merumuskan maupun menajerial. Dari kesadaran tersebutlah, maka Badan

Pengelola Latihan (BPL) HMI dibentuk. (Lihat: Pendahuluan Pedoman Dasar

BPL HMI, Hasil-Hasil Kongres HMI XXVIII, hal: 429)

BPL HMI adalah badan pembantu HMI (pasal 2 PD BPL HMI) yang

berkedudukan di tingkat Pengurus Besar HMI (PB HMI) dan berkedudukan di

tingkat HMI Cabang (pasal 3 PD BPL HMI). Walau BPL hanya sebagai badan

pembantu di HMI, akan tetapi ia mempunyai tugas, wewenang dan


tanggungjawab yang sangat sentral dan berat di HMI. Seperti yang kita sebutkan

di atas tadi, lembaga ini (baca: BPL HMI) di setiap tingkatan harus mampu

merumuskan suatu konsep pelatihan agar kader yang dihasilkan dari “rahim”

perkaderan HMI berkualitas.

Secara tugasnya, BPL harus (a). Menyiapkan pengelola latihan atau Sumber Daya

Manusia (SDM) atas permintaan pengurus HMI setingkat (PB HMI dan atau HMI

Cabang). (b). Selain menyiapkan SDM sebagai pengelola latihan, lembaga ini

harus juga meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelola latihan dengan

mengadakan forum-forum internal di lingkungan internal BPL HMI. (c). BPL

HMI harus meningkatkan kualitas latihan dengan cara memonitor dan

mengevaluasi pelaksanaan latihan. (d). Membuat panduan pengelolaan training

HMI. (e). Melakukan standarisasi pengelola training dan pengelolaan training.

Dan (f). BPL harus memberikan informasi kepada pengurus HMI setingkat

tentang perkembangan kualitas latihan. (lihat: pasal 4 PD BPL HMI)

Selanjutnya, wewenang BPL HMI dibagi berdasarkan tingkatan, yaitu: (a). BPL

di tingkat PB HMI memiliki kewenangan untuk menyiapkan pengelolaan

pelatihan di tingkat nasional yang meliputi Latihan Kader III (LK III), Pusat

Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat), Up-Grading instruktur Nilai-nilai Dasar

Perjuangan HMI (NDP HMI), dan Up-Grading menajemen organisasi

kepemimpinan. (b). BPL di tingkat HMI Cabang memiliki wewenang untuk

menyiapkan pengelolaan pelatihan yang meliputi Latihan Kader I (LK I), Latihan

Kader II (LK II) dan latihan-latihan ke-HMI-an lainnya. Dan yang terakhir, (c).
BPL (di setiap tingkatan) dapat menyelenggarakan training lain yang berkenaan

dengan pengembangan sumber daya manusia. (lihat: pasal 5 PD BPL HMI)

Sedangkan secara tanggungjawabnya, BPL di setiap tingkatan masing-masing,

bertanggungjawab melalui Musyawarah Nasional (Munas) BPL HMI dan

Musyawarah BPL Cabang. (lihat: pasal 6 PD BPL HMI).

Atas alasan-alasan yuridis tersebutlah, penulis mengatakan bahwa BPL HMI

adalah suatu lembaga atau badan pertahanan HMI. Selain daripada itu, BPL HMI

tentunya di isi oleh para orang-orang yang sudah mengikuti pelatihan khusus

untuk menjadi seorang instruktur. Di mana, seorang instruktur adalah suatu status

yang sangat langka, dan hanya sedikit kader HMI yang mencapai dan sanggup

komitmen menjadi instruktur. Secara praktiknya, mereka adalah orang-orang yang

sangat luas wawasannya. Jika tidak demikian, berarti statusnya seorang instruktur

HMI hanya formalitas belaka.

Selain alasan yuridis seperti yang kita jelaskan tersebut, BPL menjadi badan atau

lembaga pertahanan HMI, maksudnya adalah saat ini, seperti yang kita ketahui

bahwa HMI “diserang” dari berbagai arah, dari berbagai sisi dan dari berbagai

media. Misalnya dari sisi ideologi, banyak kader-kader kita mulai terpengaruh

dengan aliran-aliran pemikiran yang menyesatkan. Seperti aliran sekularisme,

liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sebangsanya. Aliran-aliran tersebutpun

mempengaruhi pola pikir dan pola sikap kader-kader HMI.

Dari segi aktivitas, budaya dan karakter misalnya, kader-kader kita mayoritas

terpengaruh oleh budaya-budaya hedon, apatis, konsumerisme dan budaya negatif


lainnya, yang sehingga membuat budaya-budaya intelektual di HMI semakin lama

semakin menipis. Belum lagi jika kita lihat pada segmen keagamaannya, banyak

sekali hari kader yang melalaikan perintah Tuhannya sendiri. Dan banyak segi-

segi yang lainnya.

Oleh karena itu, BPL sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi dalam

ranah perkaderan menjadi benteng pertahanan dari hal-hal yang negatif seperti

yang kita sebutkan tadi. Personil BPL, yang notabenenya seorang instruktur HMI,

dapat meluruskan dan mensterilkan virus-virus ideologi yang masuk ke tubuh

HMI. Dan BPL HMI terus menerus mengkaji dan mebuat suatu pelatihan yang

terencana, terukur dan sistematis, dalam rangka mewujudkan kader-kader HMI

yang berkualitas. Berkualitas dari segi agama (iman), berkualitas dari segi

keintelektualan (ilmu) dan dapat mengaplikasikan ajaran-ajaran agama dan ilmu

yang bermanfaat bagi orang banyak (ummat), hal demikianlah yang disebutkan

gerakan amal shaleh (amal kebaikan). Hal itu, mayoritas kita dapatkan dari medan

training yang dikelola oleh BPL HMI. Kiranya lembaga BPL HMI terus dapat

eksis dan tetap menjaga diri dalam kesucian perkaderan HMI. Jangan sampai BPL

HMI terpengaruh akan hal-hal yang sifatnya praktis tidak membangun HMI

secara kualitas dan kuantitas.[]


Kader Harus Taat Pada Konstitusi HMI

Jika dahulu awal-awal reformasi banyak kritikan atau otokritik kepada Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) terkait menurunnya kualitas intelektual kader-kader

HMI, seperti banyak terdapat dalam bukunyaAgussalim Sitompul yang berjudul

HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik dan juga di berbagai literatur lain.

Kritikan tersebut memang benar adanya. Di mana kader HMI secara kualitas

intelektual sangat menurun. Di dalam 44 Indikator Kemunduran HMI yang

ditulisAgussalim tersebut juga disebutkannya.

Hal tersebut masih dirasakan saat ini. Menurunnya kualitas intelektual kader HMI

saat ini, faktor terbesarnya adalah karena menurunnya tradisi-tradisi intelektual

kader HMI. Kader-kader HMI lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang taktis dan

mencari tujuan dengan praktis, daripada hal-hal yang strategis. Tradisi seperti

membaca, menulis, diskusi, seminar, penelitian dan tradisi intelektual lainnya jauh

sekali dari kader-kader HMI.

Budaya-budaya hedonis menjadi sesuatu yang akut bagi kader-kader kita. Kader

HMI mudah terpengaruh oleh perkembangan zaman tekhnologi sehingga dimabuk

dengan dunia maya. Seharusnya kader-kader HMI menjadi aktivis sosial, sekarang

telah banyak yang menjadi “aktivis” media sosial (konsumerisme).

Yang kita sebutkan di atas adalah bagian dari penurunan kualitas kader yang

sering di kritik oleh orang-orang banyak. Akan tetapi, hari ini kita juga

menemukan faktor menurunnya kualitas kader HMI secara individual atau

organisasional. Mungkin faktor ini sudah pernah disinggung oleh warga HMI,
akan tetapi secara praktiknya yang sudah klimaks baru kita lihat sekarang. Faktor

yang kita maksudkan tersebut adalah kurang taatnya kader-kader HMI pada aturan

hukum (rule of law) atau aturan main (rule of game) dalam ber-HMI, yaitu

Konstitusi HMI.

Kader-kader kita lebih patuh kepada seseorang yang ia segani atau lembaga yang

di atasnya. Sehingga menghasilkan intervensi dan instruksi yang bertentangan

dengan Konstitusi HMI. Aturan main ini telah banyak dikangkangi oleh kader

sehingga menimbulkan kualitas berorganisasi yang buruk. Secara hakikatnya, jika

suatu aturan telah dikesampingkan maka yang terjadi adalah kehancuran. Jika

demikian yang terjadi, tidaklah ada bedanya dengan istilah homo-homo ni lupus

(yang kuat memakan yang lemah). Dan sering memaksakan dan menghalalkan

segala cara demi menggapai kepentingan pribadi dan kekuasaan.

Bukti konkrit dari faktor tersebut adalah dipaksakannya kehendak pribadi atau

golongan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Jika aturan main ber-HMI sudah

tidak menjadi pedoman lagi, budaya-budaya anarkisme akan terus muncul di

HMI. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya terlihat bentrok antar sesama kader

HMI. Lihat contohnya, beberapa HMI Cabang yang ada dari Sabang hingga

Merauke. Tidak dijadikannya Konstitusi HMI sebagai pedoman berorganisasi,

maka tinggal menunggu kejenuhan semua warga HMI yang berakibatkan

bubarnya HMI.

Untuk itu, setiap kader HMI harus betul-betul mempelajari, memahami dan

mengaplikasikan Konstitusi HMI. Jangan mengikuti sesuatu perkataan dari


siapapun yang melanggar Konstitusi HMI. Setiap kader HMI harus memiliki

Konstitusi HMI baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy. Jika kita ingin

betul-betul menjadi seorang organisatoris, aturan main harus dipegang teguh.

Begitu juga ber-HMI, jika ingin benar-benar berproses di HMI, jauhkan

kehendak-kehendak pribadi yang dipengaruhi hawa nafsu setan, pegang dan

taatilah Konstitusi HMI.[]


Kepada Siapa Kader HMI Menghamba?

Tadi siang ketika saya tertidur, saya bermimpi yang berkaitan dengan HMI, lebih

tepatnya berkaitan dengan Konferensi HMI Cabang Medan XLIII yang sedang

berlangsung. Saya yakin, mimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Mimpi itu adalah

luapan emosional yang tidak terungkapkan atau tidak terluapkan di alam nyata,

kemudian dia (mimpi tersebut) memberontak keluar dari alam bawah sadar:

mimpi. Saya juga yakin, itu bukan sekedar mimpi yang harus dilupakan begitu

saja. Mimpi itu sangat berarti dan harus saya tuliskan. Karena menurut saya,

mimipi itu adalah potret kader-kader HMI saat ini, tepatnya juga potret keadaan

psikologis kader-kader HMI Cabang Medan dan tidak menutup kemungkinan

kader-kader HMI se-Nusantara.

Bagaimanakah cerita mimpi saya itu? Saya harap Anda sabar dulu untuk ingin

mengetahuinya. Saya sendiri hamper menunda shalat Dzuhur demi untuk

menuliskannya. Saya takut mimpi itu terbayang-bayang dalam shalat.Menurut

saya, mimpi itu adalah “bisikan” Tuhan lewat alam bawah sadar: mimpi. Kalau

saya sadar, pasti saya tidak mampu menangkap bisikan itu. Kalau Anda

menganggap ini lelucon dan hanya sekedar mimpi, tidak apa-apa. Yang penting

Anda bisa maksud. Bukankah banyak Nabi dan atau orang-orang mendapat

wahyu, hidayah atau petunjuk lewat mimi? Sampai-sampai ada yang mengaku

jadi malaikat dan jadi Nabi. Itu memang orang sinting. Tapi, saya tidak mengaku

Malaikat, Nabi atau menjadi penyelamat di tengah kronisnya HMI saat ini. Saya

hanyalah kader HMI yang biasa-biasa saja. Kalau tidak sesuai, ya...saya kritisi dan
kasih saran. Kalau saya salah, Anda jangan membiarkan saya dalam “jurang”

kesalahan itu.

Bagaimana mimpi saya itu? Baik, karena Anda bertanya terus, saya akan

menceritakan atau menjelaskan ceritanya saja tanpa menyebutkan nama orang-

orang yang ada dalam mimpi tersebut, walau saya kenal mereka. Mimpi itu kira-

kira begini: “Ada satu orang calon Ketua Umum HMI Cabang Medan periode

2017-2018 menghampiri saya dengan wajahnya yang cukup kecewa. Dia kecewa

dan kesal karena hasil Rapat Harian Pengurus HMI Komisariat (salah satu HMI

Komisariat di HMI Cabang Medan) “dikangkangi” dan tidak dihargai lagi oleh

segelintir orang yang bukan lagi berproses sebagai Pengurus Komisariat. Si

Kandidat itu cukup kecewa”.

Di dalam mimpi itu, saya langsung tanyakan kepada Pengurus Komisariat yang ia

(kandidat Ketua Umum) maksud. “tuhan-tuhan” atau “berhala-berhala” mana

yang menurunkan “firman”-nya supaya teman-teman “lari” dari hasil Rapat

Harian Pengurus? Kenapa dengan mudahnya teman-teman Pengurus Komisariat

“digoyang” oleh tatih-tatihnya “tuhan-tuhan” itu. Kasihkan saja si Zaskia Gotik

kepada “tuhan-tuhan” itu supaya dia “mabuk” kena goyang itik.”

Secara organisasi, kepada siapakah Kader HMI tunduk? Tentu pada aturan main

organisasi tooh. Lantas kenapa “berhala-berhala” itu ditakuti dan mau ikut

langsung dengan “firman”-nya? Apakah calon-calon Ketua Umum lebih dahulu

bersujud-sembah kepada “tuhan-tuhan” itu, dengan dalih adab berorganisasi?

Menurut saya, kalau itu benar-benar bagian dari adab, ya...sah-sah aja. Tapi kalau
tujuan mengharapkan “intervensi” supaya mendapat dukungan, menurut yang

ditemuinya akan berubah menjadi “tuhan-tuhan” di HMI.

Begitulah kira-kira mimpi saya itu. Tidak terlalu panjang memang. Karena mimpi

itulah saya terbangun, kemudian memaksa saya meraih pena dan kertas yang

berada di dekat saya. Kiranya Anda memahami maksud dari mimpi itu.

Sebagai seorang Kader HMI-yang katanya dekat dengan ummat, anak kandung

ummat, dan ummat adalah manifestasi Tuhan di muka bumi ini. Kepada siapakah

kader HMI menghambakan diri? Kepada “tuhan-tuhan” atau “berhala-berhala”

yang tiba-tiba turun “gunung” memberikan perintah: “harus begini-harus begitu”

dan “harus pilih ini-harus pilih itu”. Atau Kader HMI menghambakan diri kepada

yang benar-benar Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta. Yang firman-Nya

(tersurat dan tersirat) menjadi pegangan Kader HMI selain adanya otoritas-praktis

organisasi lainnya.

Menghambakan diri atau terhambakan kepada “tuhan-tuhan” di HMI dan di luar

HMI menjadi penyakit psikologis kader kita sekarang. Lemahnya independensi,

lemahnya daya kritis, lemahnya daya analitis, dan ketidak-percayaan diri

membawa perubahan HMI ke arah yang lebih baik menjadi bagian dari faktor-

faktor penghambaan dan terhambakannya kader-kader oleh “tuhan-tuhan” atau

“berhala-berhala” kontemporer.

Perlu kiranya kita ketahui dan pahami secara sadar-seperti kata-kata bijak

mengatakan: “Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya”. Nah,

sekarang kita telah menjadi kader dan Pengurus HMI (baik disetiap tingkatan),
tentunya ini pun masa kita ber-HMI dan menorehkan sejarah kita. Di HMI tidak

ada pertandingan kalah-menang. Di HMI kita belajar supaya tahu salah-benar,

supaya tahu mana etis-tidak etis, supaya tahu baik-tidak baik dan supaya tahu arif-

tidak arif. Nilai-nilai positifnya kita pegang dan siap diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari.

Jangan nanti setelah selesai ber-HMI, baru kita “sibuk turun” ke gelanggang HMI.

Walau memang masih ada tanggungjawab historis dan menjaga nama baik

organisasi. Akan tetapi, kalau hendak menurunkan “firman”: “harus begini-harus

begitu” dan “harus pilih si ini-harus pilih si Anu, karena “kepentingan”. Saya pikir

perilaku yang seperti itu (menurunkan “firman”) tidaklah etis dan tidak arif.

Cukuplah ide-ide kontruksi (moril) dan sumbangan materil yang halal tanpa

pamrih diberikan kepada HMI. Mengingat itu sebagai bentuk terimakasih kita

kepada HMI karena telah memberikan suatu pengalaman yang mengajarkan kita

tentang kehidupan.

Untuk seorang kader HMI, garis independensi di HMI sudah jelas dirumuskan.

Tinggal kita memahami secara benar dan mangaktivitaskannya dalam kehidupan

kader sehari-hari. Cukuplah kita menghamba kepada Sang Khalik, Tuhan yang

menciptakan segalanya dan tempat meminta segala sesuatu. Janganlah

menduakan-Nya dengan menghambakan diri kepada “tuhan-tuhan” atau “berhala-

berhala” kontemporer di HMI dan di luar HMI.[]


Orang-Orang Munafik Di Rumah Kita

Bismillahirrahmanirrahim

(Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang)

Ashadu Allah ilaha illallah was ashadu anna muhammada rasulullah

(“Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya


Muhammad adalah Rasul Allah”)

Rabitu billahi Rabba Wabil Islami dina Wabi Muhammadin Wannbiyan


Warrusala

(“Kami rela Allah Tuhan kami, Islam agama kami dan Muhammad Nabi dan
RasulAllah”)

Dengan kesadaran dan tanggung jawab, kami pengurus …….. dengan ini berjanji
dan berikrar :

1. Bahwa kami dengan kesungguhan hati kami akan melaksanakan ketetapan


– ketetapan …… ke ……… di ………
2. Bahwa kami akan selalu menjaga nama baik Himpunan dengan selalu
tunduk dan patuh kepada AD/ART dan pedoman pokok HMI beserta HMI
beserta ketentuan–ketentuan lainnya.
3. Bahwa apa yang kami kerjakan dalam kepengurusan ini adalah untuk
mencapai tujuan HMI dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT untuk
mencapai kesejahteraan ummat dan bangsa di dunia dan diakhirat.

Innassalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamin


(Sesungguhnya Sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku hanya untuk
Allah Tuhan seru sekalian alam”)
Tulisan di atas tentunya tidak asing lagi bagi kader HMI. Setiap kader Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) di seluruh Cabang HMI pasti pernah mengucapkan bunyi

ikrar dan janji di atas, bahkan ada yang mengucapkannya lebih dari satu kali.

Secara prosedur pelatihan, walau sedikit berubah redaksi bahasa, setiap kader

yang baru menyelesaikan pelatihan formal di HMI tentunya diangkat sumpahnya

(ikrar), jika dia telah mengikuti seluruh training formal HMI berarti sebanyak

itulah ia berarjanji dan berikrar kepada HMI. Nah, itu masih dalam pelatihan

HMI. Jika kita telusuri lagi lebih jauh, pada pelantikan kepengurusan HMI di

setiap tingkatan tentunya mengucapkan janji dan ikrar tersebut.

Apakah ikrar dan janji tersebut diucapkan hanya sebagai pelengkap syarat formal

saja? Tidakkah di dalam isinya itu ada nilai-nilai yang sakral untuk dijadikan

norma dalam berorganisasi? Saya melihat hari ini banyak sekali kader-kader HMI,

tidak menutup kemungkinan saya juga, melanggar nilai-nilai dalam isi ikrar

tersebut.

Rasulullah Saw.dalam hadistnya yang diriwayatkan oleh Bukhari mengatakan

bahwa tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. Yaitu, jika berbicara ia bohong,

jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia khianat.

Jika kita merujuk kepada hadist Rasulullah Saw. tersebut, terbuktilah bahwa

banyak sekali terdapat indikasi bahwa kader-kader kitayang menjadi orang-orang

munafik. Mengapa demikian?

Alasannya adalah banyak sekali kader-kader HMI yang melanggar apa yang ia

katakan di dalam ikrar tersebut sebagai bentuk janji, tapi dilanggar. Misalnya,
Allah Swt. diakui sebagai Tuhan yang menciptakannya dan Maha Kuasa, akan

tetapi pada praktik dalam berorganisasi, ada kader-kader kita yang lebih takut

kepada “tuhan-tuhan” di HMI daripada takut kepada yang sebenar-benarnya

Tuhan.

Di dalam ikrar dan janji tersebut, kader-kader mengatakan bahwa Islam adalah

agamanya dan Muhammad adalah Rasulnya, akan tetapi dalam praktik

berorganisasi, kader-kader kita sangat jauh dari nilai-nilai dan prilaku yang Islami.

Dan banyak pula yang lebih mengikuti “Sunnah nabi-nabi” di HMI daripada

sunnah Rasulullah Saw.

Lebih lanjut lagi, kader-kader kita mengatakan, dalam berorganisasi harus tunduk

dan patuh pada aturan-aturan organisasi (AD/ART HMI dan ketentuan-ketentuan

Himpunan lainnya), ternyata pada praktiknya labih banyak yang dilanggar dengan

tujuan untuk memuluskan tujuannya. Segala cara pun dihalalkan untuk mencapai

tujuan. Tidak peduli ia membunuh siapa, yang terpenting apa yang ia inginkan

harus ia dapatkan. Tidakkah kita ingat ikrar dan janji yang kita ucapkan

sebelumnya?

Dengan sedikit perenungan ini, saya membuat hipotesa bahwa banyak sekali

orang-orang munafik di rumah kita, HMI. Kiranya ikrar dan janji yang kita

ucapkan itu harus benar-benar tertanam di dalam hati, pikiran kita dan dibuktikan

dalam praktik berorganisasi.[]


Kalau Di HMI Mau Cari Uang, Lebih Baik Jadi Driver Go-Jek

Akhir-akhir ini kembali terasa sekali banyaknya kritikan maupun otokritik

terhadap Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), baik yang nampak dalam media

online maupun dalam forum-forum diskusi. Kritikan itu terjadi bukan tanpa sebab,

karena ada suatu sebablah sehingga kritik pedas pun datang pada HMI.

Tingkatan HMI baik di pusat hingga ke daerah-daerah (PB HMI hingga

Komisariat HMI) hari ini kurang jelas ke mana arah perjuangannya. Sangat terasa

sekali ada sesuatu yang hilang di HMI. Seperti, budaya-budaya intelektual HMI,

kalau adapun itu, pasti tidak berbanding lurus dengan banyaknya kader-kader

HMI di setiap kampus yang ada di Indonesia ini.

Selain memudarnya budaya-budaya intelektualnya, rasanya independensi HMI

dan independensi kader HMI pun banyak yang telah menggadaikannya, bahkan

menjualnya, demi mengharap “percikan” penghasilan dari pejabat. Banyak kita

lihat, di sana-sini, kader HMI melakukan aksi, akan tetapi ia seperti: “Angkat

tangan kiri, masuk tangan kanan.” Artinya, mengkritisi kebijakan pemerintah

untuk mengisi kantong yang sedang kritis. Terkadang, kader-kader HMI lebih

bangga bertemu dengan seorang pejabat dibanding bertemu dengan seorang rakyat

yang sedang kesusahan. Kader-kader HMI terlihat bangga berfoto, bahkan selfie

dengan seorang pejabat tersebut. Bahkan yang lebih miris lagi, ada seorang kader

bangga berfoto dengan seorang pejabat korupsi.

Dan ada pula kader-kader HMI, yang diberi amanah untuk mengemban misi HMI,

tidak dapat mengkritisi dan mengaspirasikan suara-suara rakyat. Malah ia lebih


dekat kepada pejabat daripada kepada rakyat. Mungkin jika lebih dekat dengan

pajabat, ia akan mendapatkan uang dan kantong tipis akan jadi tebal.

Kalau ingin mencari uang, jangan di HMI, lebih baik bergabung dengan Go-Jek,

menjadi Driver Go-Jek. Pekerjaan itu lebih menjamin untuk mendapatkan uang

halal. Jika Anda mengatakan karena cinta pada hijau-hitam, tooh Go-Jek juga

warna hijau-hitam. Menjadi Driver Go-Jek lebih dapat membantu orang-orang

dan dapat membantu ekonomi Anda. Sedangkan jika Anda menggadaikan atau

menjual HMI, hal itu bisa menghancurkan HMI.

Menjadi kader HMI bukan untuk mencari jabatan dan kepentingan materi (uang)

sehingga “menjilat-jilat” kepada pejabat atau penguasa pemerintah. Menjadi

Pengurus Besar, Pengurus Badko, Pengurus Cabang, Pengurus Korkom, dan

Pengurus Komisariat di HMI, bukan untuk mengamankan posisi eksistensi dan

bukan untuk memperkaya diri, meminta-minta, mengamankan uang kuliah, dan

mengamankan pekerjaan setelah kuliah. Tapi menjadi Pengurus di setiap

tingkatan HMI adalah untuk mengemban dan menjalankan misi HMI.

Seorang kader HMI harus sadar dan meluruskan orientasinya dalam berorganisasi.

Ber-HMI bukan untuk mencapai tujuan pribadi, jika tujuan pribadi Anda tidak

sesuai dengan tujuan HMI, maka jangan masuk HMI atau keluarlah dari HMI.

Carilah suatu organisasi atau komunitas yang sesuai dengan tujuan Anda. Jika

Anda seorang kader HMI ingin mencari uang di HMI, saya sarankan kembali

lebih baik Anda menjadi Driver Go-Jek. Itu lebih baik dan halal. Janganlah

kitamengotori perjuangan HMI.[]


Ketika Perkaderan HMI Menjadi Slogan Belaka

Mengingat fungsi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kader,

maka seluruh aktivitasnya harus dapat memberi kesempatan berkembang bagi

kualitas-kualitas pribadi anggota-anggotanya. Sifat kekaderan HMI, dipertegas

dengan tujuan HMI yang berada pada pasal 4 Anggaran Dasar HMI. Tujuan HMI,

telah memberi tuntunan ke mana arah perkaderan HMI di arahkan. (Agussalim

Sitompul, 2008:11).

Menurut hemat penulis, perkaderan adalah jantung dari HMI. Tidak akan hidup

organisasi ini (baca: HMI) apabila perkaderannya tidak berjalan. Tentunya kita

mengetahui, pidato pemrakarsa HMI, Lafran Pane, yang mengatakan, kira-kira

seperti ini, “HMI tidak perlu ada. Karena apa yang dilakukan HMI dapat

dilakukan oleh Corps Mahasiswa (CM), bisa dilakukan PPMI, KAMI dan

organisasi lainnya pada masa itu. Akan tetapi, yang membedakan HMI dengan

organisasi tersebut adalah perkaderannya, suatu yang tidak dilakukan organisasi-

organisasi tersebut”.

Nah, perkaderan adalah hal yang sangat sakral dalam HMI, sangat menentukan

bagi HMI, selain tantangan eksternal lainnya. Perkaderan harus dilakukan secara

sadar, sistematis, terencana dan terukur. Perkaderan jangan dijadikan motif untuk

mengambil “kepentingan”. Mengumbar kata-kata demi perkaderan, tapi tujuannya

untuk mengambil atau merebut suatu “kepentingan” jabatan.

Visi dan misi seorang kader untuk menjalankan dan mensukseskan perkaderan itu

memang sah-sah saja. Akan tetapi, yang kita sayangkan saat ini, banyak sekali
para kader HMI, ketika ingin menuju suatu jabatan di HMI, perkaderan pun hanya

di jadikan sebagai slogan-slogan saja. Tidak terdapat solusi dan tidak terdengar

gagasan-gagasan riil tentang bagaimana perkaderan HMI yang berada di pusaran

kemajuan zaman sekarang.

Jadi, kenapa demikian? Menurut saya, faktornya adalah lemahnya pemahaman

seorang kader tersebut, yang ingin menuju jabatan sebagai pimpinan di tingkatan

kepemimpin HMI. Di tambah lagi, tidak pernah terjun dalam perkaderan HMI

secara langsung. Jadi dia tidak merasakan perkaderan secara psikologis

bagaimana perkaderan HMI itu. Slogan-slogan seorang Calon Ketua Umum pun

terdengar disetiap calon, tapi gagasannya kosong dan hampa.

Untuk itu, kiranya Perkaderan HMI tidak dijadikan motif untuk “kepentingan”,

tidak pula hanya dijadikan sebagai slogan-slogan untuk menarik simpatik para

kader. Dan untuk setiap kader yang menentukan, yang mempunyai hak pilih,

pilihlah yang betul-betul mengerti perkaderan, paham perkaderan, merasakan

langsung perkaderan dan kepentingannya untuk HMI. Bukan sebaliknya, memilih

atau mendukung karena kedekatan yang tidak bertujuan pada HMI, karena ada

gerbong (sekte-sekte), burgening jabatan, instruksi dari “tuhan-tuhan” juga

“berhala-berhala” yang tiba-tiba turun gunung dan hal-hal negatif lainnya yang

tidak pada kepentingan perkaderan.

Apabila Perkaderan HMI sudah dibawah “ketiak” kepentingan dan hanya slogan-

slogan saja, mari kita nantikan sama-sama hancurnya HMI kita ini. Supaya HMI
terus terjaga dan eksis dalam tuntunan zaman, mari dukung dan perbaiki

perkaderan HMI.[]
Syarat-Syarat HMI Sebagai Organisasi Kader

Dalam catatan harian Ahmad Wahib yang telah dibukukan dengan judul

Pergolakan Pekimiran Islam (PPI), ia menyebutkan Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI) dapat dikatakan suatu organisasi kader harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

Pertama, Mendidik anggota yang sadar bukan penurut. Maksudnya, sungguh

sayang bahwa perkaderan di HMI sekarang ini masih cenderung untuk

menghasilkan manusia-manusia yang tidak berkepribadian dan kebanyakan

kurang sadar akan apa yang sesungguhnya menjadi arah dari gerak organisasi.

Anggota-anggota tidak lagi merupakan “imformed public” dan pemimpin-

pemimpin bergembira karena dia menjadi pemimpin dari manusia-manusia mati.

Mereka takut menjadi pemimpin dari manusia-manusia hidup.

Kedua, Mengutamakan kejernihan rasio daripada kehangatan agitasi dan

demagogi, yang karenanya tak akan bersifat isolatif dan membuka diri bagi dialog

dengan segala ide.

Sungguh sayang bahwa sampai kini bahasa slogan dan eksploitasi sentimen-sen-

timen massa masih sering dipakai di kalangan pimpinan HMI. Sama sekali tidak

terasa adanya kehidupan kebudayaan dalam HMI yang akan selalu merangsang

kita untuk bergerak mencapai kemajuan dalam pembaharuan dan pematangan ide-

ide. Kekosongan kehidupan batin ini mungkin karena aktivis-aktivisnya terlalu

HMI-centered, menganggap Himpunan sebagai nucleus kehidupan dan bukan

sebagai bagian. Anggapan seperti ini telah kurang “memberi waktu” untuk
mengadakan “pertemuan dengan masalah-masalah luar. Kurangnya dialog dengan

perkembangan-perkembangan politik yang prinsipal, dengan perkembangan sastra

dunia, pergolakan-pergolakan mahasiswa dinegara lain dan sebagainya, membuat

HMI menempatkan masalah dirinya di atas masalah-masalah lain.

Ketiga, Pimpinannya secara periodik terus bergantian. Keempat, Anggota-anggota

mendapat saluran untuk meningkatkan diri bahkan “distimulir (dipaksa)” untuk

meningkatkan diri. Kelima, Tidak mengutamakan besarnya jumlah anggota,

melainkan tingginya kualitas anggota.Keenam, Daya kreasi dan semanggat kritis

anggota dihormati dan kemerdekaan jiwa dirangsang.

Organisasi modern merangsang sikap kreatif anggotanya, sedang organisasi

tradisional menekankan partisipasi pasif para anggotanya. Untuk membangkitkan

sikap kreatif maka suasana merdeka harus dijaga dan jiwa bebas ditumbuhkan.

Membunuh kreatifitas anggota berarti bahwa organisasi telah mulai membunuh

dirinya sendiri. Memupuk kreatifitas anggota berarti mempersubur hidupnya

organisasi. Seorang eseis Harjadi S. Hartowardojo berkata: “Kreatifitas adalah

pernyataan keluar hakekat kodratnya sebagai manusia, baik sebagai manusia

individual maupun sebagai anggota masyarakat individual”. Kemerdekaan adalah

syarat mutlak bagi hadirnya dan mampu berkembangnya sikap kreatif. Tidak ada

kreatifitas yang bisa bertahan terhadap ujian keaslian dan keunikannya sebagai

hasil daya cipta, jika tidak dilandasi oleh perasaan bebas dari segala macam

tekanan. Kemerdekaan adalah sesuatu yang inherent dengan hakekat manusia

sendiri baik sebagai individu maupun kelompok.


Ketujuh, Menghidupkan kompetisi di antara anggota. Maksudnya, adanya kom-

petisi di samping koperasi di dalam organisasi mempunyai arti bahwa tiap-tiap

fungsionaris atau bagian diberi kesempatan untuk mencapai karier atau prestasi

yang setinggi mungkin. Ini merupakan faktor penggerak dalam organisasi dengan

demikian menyesuaikan dengan naluri-naluri asli yang ada dalam diri manusia.

Asal saja dalam berkompetisi tak ditinggalksn sama sekali faktor koperasinya,

mengusahakan dengan cara-cara yang jujur, meletakan suatu target di mukannya

sesuai dengan kemungkinan kemampuannya saat itu, maka kompetisi yang begini

sangat konstruktif. Maka hapuslah iklim seolah-olah kalau seseorang memburu

suatu karier lebih tinggi adalah jelek, tidak ikhlas, ada interest dan sebagainya.

Ikhlas dan tidaknya seseorang tidak bisa diketahui oleh orang lain, karena itu

persoalan hati. Tapi semua yang terjadi dalam Himpunan ini, memang

menunjukkan betapa kita belum mampu berorganisasi secara moderen, secara

zakelijk, dan semuanya telah mengakibatkan bertebaranya selimut-selimut

kemunafikan. Karena itu perlu disadari bahwa menghidupkan kompetisi dalam

organisasi berarti menimbulkan vitalitas dan dinamika dalam kehidupan dan rasa

tanggung jawab dalam diri masing-masing sebagai manusia perjuangan.

Kedelapan, Membangkitkan semangat percaya pada diri sendiri dan membunuh

setiap bentuk pembeoan.

Kesembilan, Penghormatan terhadap “nilai-nilai”, right to dissent, duty to answer

dan penggikisan prinsip-prinsip “identification with the whole”:Dalam sebuah

organisasi kader, tidak ada keharusan bahwa keputusan atau sikap organisasi
harus juga menjadi sikap pribadi tiap-tiap anggota, dalam statusnya sebagai

individu. Hal ini terkecuali kalau pribadi itu berbicara dalam status sebagai wakil

organisasi. Dalam arena dimana dia berada sebagai individu biasa yang telanjang,

maka suatu kebolehan (malahan keharusan) baginya untuk menjaga integrits

pribadinnya: dan orang lain harus memandangnya sebagai kemutlakan pribadi

pula. Kecenderungan-kecenderungan organisasi-organisasi kita selama ini ialah

suatu gerakan untuk mempermak manusia dalam satu mode, dalam suatu skema

dan kategori. Mereka tidak tahu manusia itu individual. Ini membunuh

kemanusiaan kita. Dalam organisasi kader, hal seperti ini tidak boleh terjadi. Right

to dissent mesti dihormati. Karena itu keputusan bersama sama dengan mufakat

itu tidak perlu. Sistem voting adalah sistem yang lebih demokratis dan

berkemanusiaan.

Kesepuluh, Pengurus selalu mengikuti kemajuan yang diperoleh tiap-tiap anggota.

Artinya, hal itu bagi HMI merupakan suatu keharusan untuk secara periodik bisa

menilai kemajuan tiap anggota, dalam perkembangan: kemampuan akademisnya,

sikap kreatifnya, moral pengabdiannya dan nafas Islamnya. Agaknya, perintisan

bagi permusuhan suatu cara “educational evaluation and measurement” dalam

perkaderan kita harus segera dimulai.

Kesebelas, Anggota-anggotanya ialah mereka yang masih punya potensi untuk

mengembangkan diri.

Kedua belas, Struktur organisasi dan mekanismenya diatur sesuai dengan tujuan

dari proses perkaderannya.Yang kita lihat kini ialah struktur organisasi dari
Himpunan (struktur pimpinan dengan job classification-nya) sama sekali belum

menunjang lancarnya proses pencapaian tujuan. Yang dihasilkan HMI hanyalah

kesibukan-kesibukan dan pemborosan tenaga dan gagallah HMI menjadi

generator kemajuan. Struktur yang ada sekarang sangat tidak tepat bagi sebuah

organisasi kader.

Ketiga belas, Selalu mengadakan eksperimen-eksperimen bagi pengembangan

pikiran-pikiran baru. Artinya, sayang sekali dalam tingkat sekarang ini syarat ke

13 di atas belum terlaksana, malahan masih terasa hambatan-hambatan mental

untuk merealisirnya. Mental “status oriented” yang masih hidup di HMI

(pimpinan-pimpinannya) mengakibatkan setiap usaha pembinaan pikiran-pikiran

baru dinilai sebagai usaha merongrong kedudukan, mengejar posisi dan

popularitas nama. Mereka belum bisa menilai sesuatu “achievement motive”,

murni sebagaiamana adanya, dalam rangka peningkatan karya-karya positif.

Masalah posisi akhir-akhir ini kelihatan menjadi masalah sensitif dalam rangka

menilai pikiran-pikiran lain. Mereka menilai posisi sebagai posisi dan tidak bisa

menilai posisi sebagai batu penyangga yang bisa perlu dan tidak perlu dalam

rangka mencapai tujuan yakni pencapaian yang lebih tinggi.

Dan yang terakhir adalah, sesuai dengan fungsinya yaitu pengembangan individu,

maka anggotanya merupakan suatu flux (constant flow) dan karenanya tidak

permanen.

Demikianlah beberapa syarat organisasi kader yang harus kita penuhi kalau kita

memang ingin konsekuen bernama organisasi kader. Alangkah jauhnya ide


dengan realita. Tapi mudah-mudahan saja ide yang masih jauh ini justru

membangkitkan semangat dalam diri HMI.[]


Organisasi Perkaderan Harus Dipimpin Yang Paham Perkaderan

Jikalau kita melihat suatu perhimpunan atau suatu wadah, misalnya seperti

perguruan pencak silat, dipimpin oleh seorang pelatih yang tidak paham

bagaimana silat, apa yang akan terjadi pada wadah itu? Tentunya kita tahu, wadah

tersebut akan kesusahan dalam perjalanannya dan orang tidak akan yakin pada

seseorang itu (yang tidak paham silat), kemudian memutuskan akan pindah ke

wadah lain, sedangkan wadahnya yang pimpin yang tidak bisa silat tadi akan

bubar. Jikalau kita menginginkan supaya wadah pencak silat atau suatu wadahnya

lain bisa berjalan baik dan mencapai tujuannya, tentunya wadah itu dipimpin oleh

orang-orang yang paham pada kekhususan wadah yang ia pimpin.

Pengelolaan lembaga pendidikan, sepertinya dapat juga dijadikan contoh

permisalannya. Lembaga pendidikan akan baik (secara sistem dan praktik) apabila

dikelola dan dipimpin oleh orang yang paham tentang bagaimana pendidikan itu,

bagaimana metode menjalankannya dan bagaimana visi-misi yang akan dibangun.

Ketika lembaga pendidikan tidak lagi dapat menjalankan tugasnya, ada

kemungkin besar di dalamnya dipimpin atau dikelola oleh orang-orang yang tidak

betul-betul paham secara hakikat tentang pendidikan itu.

Tentunya dalam bernegara juga begitu, negara akan baik apabila dipimpin oleh

seorang negarawan, dak rakyatnya juga seorang yang mencintai negaranya. Saya

sangat sependapat dengan Cak Nun (bukan Cak Nur), yang mengatakan negara ini

baik kalau sudah dipimpin seorang negarawan, dan hal ini (seorang negarawan)

sangat susah didapatkan.


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah suatu wadah sekelompok pemuda-

pemuda Muslim yang mengemban status sebagaimahasiswa Muslim, yang

bersifat independen, tidak terikat pada pihak lain, kecuali pada kebenaran (lihat

tafsir tujuan independensi HMI). Peran HMI adalah sebagai organisasi perjuangan

(memperjuangkan kebenaran dan membela kaum lemah). Dan yang terpenting

adalah fungsinya sebagai organisasi kader (lihat pasal 8 AD HMI).

Dalam tulisan ini terkait judul ini, penulis tidak banyak membahas tentang apa itu

kader, bagaimana itu perkaderan di HMI dan metode-metodenya. Pembahasan

tentang perkaderan lebih efektif dibahas dalam tulisan-tulisan lain yang khusus

membahas tentang perkaderan HMI. Tulisan ini, lebih memfokuskan pada

pembahasan sesuai dengan judul tulisan.

Ranah Perkaderan Adalah Lingkungan Suci

Kalau kita lihat struktur organisai HMI, terdapat ada dua struktur organisasi di

HMI. Struktur yang pertama adalah Struktur Kekuasaan, yang dipegang oleh

Kongres HMI, Konfrensi/ Musyawarah Cabang dan Rapat Anggota Komisariat

(lihat pasal 12 AD HMI). Sedangkan struktur organisasi kedua adalah Struktur

Kepemimpinan, yang dipegang oleh Pengurus Besar HMI, Pengurus HMI Cabang

dan Pengurus HMI Komisariat. Dan untuk membantu tugas Pengurus Besar HMI

maka dibentuklah Badan Koordinasi dan juga untuk membantu tugas pengurus

HMI Cabang maka dibentuklah Koordinator Komisariat (lihat pasal 13 AD HMI).

Secara detail dalamsatu pasal pada AD/ART HMI tidak ada pembagian ranah-

ranah perkaderan, hal ini mengingat bahwa perkaderan tugas disetiap struktur
kepemimpinan. Dalam HMI, memang dikenal dengan dua jenis perkaderan,

pertama perkaderan formal, seperti Latihan Kader I (ditingkat Cabang dengan

panitianya bisa Pengurus Komisariat bisa juga Pengurus Cabang, tapi yang tetap

bertanggung jawab adalah Pengurus Cabang), Latihan Kader II (biasanya

dilaksanakan oleh Pengurus Cabang dan bisa juga Pengurus Koordinator

Komisariat), dan Latihan Kader III dilaksanakan oleh PB HMI dan bisa juga oleh

BADKO HMI.

Sedangkanjenis perkaderan yang kedua adalah perkaderan informal, seperti

dilakukannya upgrading, Latihan Khusus Kelembagaan, Diskusi-diskusi dan

aktivitas lainnya yang dilakukan secara organisasional maupun kader itu sendiri

demi untuk menunjang kualitas kader-kader HMI.

Dalam diskusi-diskusi di HMI, sering disebutkan bahwa ranah perkaderan adalah

tugasnya Pengurus Cabang Medan, tentunya itu dari dahulu telah disepakati,

Pengurus Cabang ranahnya adalah perkaderan (setiap kader telah diajarkan begitu,

walaupun memang sejatinya proses perkaderan bukan miliknya Cabang, tapi

setiap tingkatan). Sedangkan di Pengurus Komisariat mempunyai tugas rekrutmen

mahasiswa Muslim dan pembinaan kader dan ditingkat PB HMI bertugas dalam

menjaga stabilitas kebijakan politik tetapi tidak terlibat sebagai pelaku politik

(kita katakanlah pemangku jabatan pemerintahan).

Sebagai ranah perkaderan dan dalam menjaga independensinya, ada dua lembaga

yang sangat diharapkan agar dapat menjaga independensinya, dan “kesuciannya”,

yaitu di tingkat HMI Cabang dan di tingkat HMI Komisariat. Nah, ditingkat HMI
Cabang, yang sangat diidentikkan dengan perkaderan (baik formal maupun

informal) harus melakukan kerja-kerja yang notabenenya meningkatkan kualitas

kader-kader HMI, maka dari itu aktivitasnya harus “suci” dan “bersih” tidak

terikat pada sesuatu yang “memanfaatkan” HMI secara kelembagaan dan secara

individu seorang kader. HMI Cabang harus terus konsisten pada pekerjaannya

(sebagai perkaderan) walaupun terkadang itu sangat menjenuhkan, karena sifatnya

yang berulang-ulang. Perlu kita pahami bahwa rusaknya perkaderan akan

berdampak pada kualitas HMI secara organisasional dan individual. Terkait

masalah ini, lebih lanjut telah dijelaskan oleh Sejarawan HMI, Agussalim

Sitompul dalam bukunya yang berjudul 44 Indikator Kemunduran HMI.

Pemimpin HMI Harus Paham Perkaderan

Kita (kader HMI) sering terjebak dalam suatu konflik atau dinamika-dinamika

yang melemahkan HMI secara organisasional dan individual. Maksudnya, ketika

melakukan suatu agenda tahunan, seperti pemilihan Pimpinan (Ketua Umum) di

HMI, terkhususnya di HMI Cabang, sering terjadi dinamika yang tidak menuju

pada perbaikan atau masih banyak memilih Ketua Umum berdasarkan unsur

politis, kedekatan dan karena satu kelompok. Jarang sekali memilih pemimpin

(Ketua Umum) berdasarkan indikator-indikator yang menunjang perbaikan HMI.

Tentunya kita tahu, sosok pemimpin sangat diperlukan dalam suatu wadah.

Seperti yang sudah penulis jelaskan di ataa tadi, berjalannya suatu wadah dengan

baik, apabila yang memimpinnya paham tentang di mana, dan apa yang sedang

dia pimpin. Orang bijak pernah mengatakan, “untuk menyelesaikan suatu


masalah, serahkanlah pada orang yang ahli dan paham permasalahan tersebut”.

Kita harus jujur, hari ini, HMI mengalami suatu permasalahan dalam perkaderan.

Hal ini ditandai dengan banyak masalah yang terjadi disetiap tingkatan

kepengurusan dan banyaknya kritikan dari dalam dan dari luar terkait kualitas

HMI sekarang, baik secara organisasional maupun individual.

Memilih Pemimpin di HMI (sebagai organisasi perkaderan), khususnya di tingkat

HMI Cabang, memang sudah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI

pasal 29 ayat (3). Akan tetapi, menurut penulis, itu masih sangat normatif.

Kiranya setiap kader dalam rapat harus bisa membuat kriteria yang lebih baik

(tanpa menyampingkan pasal tadi) supaya Ketua Umum sekaligus Formateur yang

terpilih adalah seseorang yang menjiwai perkaderan dan paham perkaderan.

Indikator “paham perkaderan” yang penulis maksud disini bukan hanya paham

secara teoritis seperti apa yang ada di dalam konstitusi, teori-teori yang terdapat di

dalam buku atau konsep yang masih dalam pemikiran. Selain itu, seorang calon

pemimpin HMI Cabang harus juga sudah pernah dan sedang dalam terjun ke

medan training HMI. Lebih jelasnya, kita harus berani katakan, dan harus berani

pilih, Ketua Umum HMI Cabang harus seorang Instruktur. Tapi, aturan HMI

(pasal 29 ayat 3 ART HMI) tidak menghalangi seseorang yang sudah lulus

persyaratan untuk mencalonkan diri. Akan tetapi, alangkah lebih baik dia adalah

seorang Instruktur, karena secar otomatis seorang istrutuk HMI telah lolos seperti

yang disebutkan pasal tersebut.


Memilih karena kualitas itu lebih baikdaripada karena unsur kedekatan, lobi-lobi

jabatan, karena satu gerbong dan unsur-unsur yang tidak memperbaiki HMI

kedepannya. Dalam tulisan ini, kiranya jangan dimaksudkan hanya dalam HMI

Cabang saja, kiranya di Korkom HMI, Badko HMI dan PB HMI harus juga

dipimpin oleh seorang yang seperti kita sebutkan tadi.

Apa yang saya sampaikan tadi mungkin tidak bisa menjawab segala pertanyaan

dan permasalahan yang ada. Permasalahan dapat kita selesaikan ketika yang

menyelesaikannya adalah orang-orang yang profesional, ahli di dalamnya dan

paham apa masalahnya. HMI sebagai organisasi perkadran harus dipimpin oleh

seorang kader yang betul-betul paham (secara teori dan praktik) tentang

perkaderan. Tentunya, dia harus seorang instruktur HMI.

Perlu kita ingat dan jangan membiasakan memilih Ketua Umum HMI disetiap

tingkatan karena indikator kedekatan, satu gerbong, lobi-lobi kepentingan dan

unsur-unsur yang tidak baik lainnya. Akan tetapi, buatlah indikator yang dapat

membangun HMI secara organisasional dan individual. Karena di HMI ini kita

sama-sama berproses, HMI bukan menjadi tujuan dan jangan sekali-kali dijadikan

batu loncatan menuju kekuasaan dan pemenuhan nisbi lainnya.

Ber-HMI adalah suatu proses penempahan jati diri (Chandradimuka) seorang

mahasiswa Muslim yang menjadi kader HMI agar dapat menjalankan tugas-tugas

manusia sebagai khalifah fil ard. Dapat menjawab tantangan zaman, mampu

memecahkan dan memberikan selosi terkait masalah yang dihadapi oleh

masyarakat. Dan dapat menjadi insan akademis yang mencipta, mengabdi dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang dirindhoi oleh

Allas SWT, dalam kesehariannyabernafaskan Islam.[]


Pertarungan Tolol Kader-Kader HMI Saat Ini

Jika kita membaca secara mendalam tulisan Ahmad Wahib dalam Catatan

Hariannya yang dibukukan oleh sahabatnya, Djohan Efendi dan Ismed Natsir

dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam (PPI) dan kemudian

membandingkannya dengan tulisan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam

pengantar Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, jelas sekali terlihat adanya

suatu “pertarungan” yang sangat keras antara kelompoknya Ahmad Wahib dan

kawan-kawanya dengan Cak Nur dan kawan-kawannya.

“Pertarungan” yang terjadi antara kedua kelompok tersebut sangat jauh sekali

berbeda antara beberapa kelompok-kelompok antar kader HMI saat ini. Jika

pertarungan yang terjadi pada saat itu antara kedua kelompok yang kita sebutkan

tadi adalah terkait masalah ide-ide pemikiran, bisa dikatakan perang ide pemikiran

atau perang strategis dalam tubuh HMI. Hal tersebut membuat suatu dinamika

yang konstruktif di kalangan kader-kader HMI, sehingga kualitas intelektual kader

HMI terus bertambah dan kuat.

Sungguh sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan pertarungan kelompok-

kelompok antar kader HMI saat ini. Hari ini terkesan pertarungannya

memperebutkan jabatan atau perang struktural. Akibatnya, dinamika yang ada

bukan dinamika intelektual, sehingga kader-kader sangat rendah kualitas

keilmuannya.

Jika pertarungan antara kelompok Ahmad Wahibdengan Cak Nur bergulir dalam

lingkaran forum diskusi dan forum perkaderan HMI, hari pertarungannya terlihat
seperti pertarungan “preman”, maksudnya lebih menonjolkan kekuatan fisik

daripada kekuatan pikiran. Banyak kelompok menarik kader-kader hanya

mengumpulkan massa untuk kekuatan fisik, merebut jabatan, “menjilat” pada

pemerintah, bukan untuk saling mencerdaskan dan menggiring pada perarungan

intelektual. Kelompok-kelompok yang seperti saat ini menurut penulis diisi oleh

kader-kader “tolol” yang tidak duduk pemahaman kekaderannya, sehingga

pertarungan yang terjadi adalah pertarungan tolol.

Akibat dari dinamika yang tidak konstruktif membuat HMI semakin lemah. HMI

tidak terlihat “taji” dalam mengkritisi pemerintah yang tidak berpihak kepada

rakyat. Dan saat ini terlihat mudahnya kader-kader HMI dipecah-belah dan

mudahnya independensi HMI dijual ke mana-mana.

Seharusnyapada saat ini, kita harus menguatkan ukhuwah Islamiyah sesama kader

dan ummat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia. Dengan kuatnya ukhuwah

Islamiyah sesama umat Islam dan bangsa Indonesia maka persatuan dan kesatuan

dalam berorganisasi, berbangsa dan bernegara agar lebih erat. Untuk mewujudkan

masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt. akan lebih mudah. Seharusnya

kita kembali kepada khittahnya HMI.[]


Andai Aku Ketua Umum PB HMI

Masalah tentunya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai

makhluk sosial suatu masalah tidak bisa lepas dari masalah. Jika masalah yang

satu telah selesai atau hilang dengan sendirinya, maka timbullah masalah yang

lain. Memang begitulah kehidupan di dunia ini. Hal itu Allah ciptakan supaya

menguji kita, apakah kita betul-betul makhluk yang berserah diri padanya atau

tidak. Dan juga supaya kita dapat mengambil pelajaran dari setiap masalah yang

kita alami.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa terbesar dan

tertua di Indonesia, demikian kita sering sebutkan dengan tak bosan-bosannya.

Dalam liku-liku perjalanan HMI pastilah menghadapi masalah, baik itu masalah di

internal dan masalah yang datang dari eksternal. Hal itu pulalah yang membuat

HMI semakin matang dan semakin berkualitas, karena ditempah oleh keadaan-

keadaan tersebut. Akan tetapi, bukan pula terlarut-larut dalam masalah.

Masalah di HMI, secara internal, yang lebih urgent di HMI apabila ada

permasalahan antara dua pihak yang saling bertikai atau sedang dalam masalah.

Dalam tulisan ini saya hendak mengatakan secara langsung terkait masalah

Konferensi HMI Cabang Medan XLIII yang menghasilka dua Ketua Umum HMI

Cabang Medan dengan kekuatan pendukungnya masing-masing (komisariat-

komisariat HMI). Yang pada akhirnya salah satunya disahkan oleh Pengurus

Besar HMI, dengan rapat yang mendadak.


Saya terus terang tidak mengetahui di lapangan (Rapat Harian) PB HMI telah

mensahkan salah satu Formateur yang dua-duanya terpilih oleh gerbongnya

masing-masing tanpa menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Masalah

yang tersbesar bukan siapa yang menjadi Ketua Umum HMI Cabang Medan

periode 2017-2018. Akan tetapi, bagaimana Komisariat-komisariat yang di HMI

Cabang Medan dapat berproses dengan baik sedangkan mereka belum bisa

menerima akan keputusan dari PB HMI, karena masalahnya belum selesai. Tidak

menutup kemungkinan, masalah ini juga terjadi di berbagai Cabang HMI se-

Nusantara.

Andai aku Ketua Umum PB HMI, aku akan memanggil perwakilan kedua

kelompok yang mengalami perpecahan. Sebagai Ketua Umum, yang mengambil

kebijakan, harus mendengarkan pendapat-pendapat dan keterangan-keterangan

dari kedua belah pihak. Islam mengajarkan kepada kita, “apabila ada dua orang

berselisih maka minta dan dengarkanlah penjelasan dari mereka dan panggillah

saksinya.” Ingat, dalam hal ini bukan lewat penjelasan tertulis, karena penjelasan

tertulis tersebut tidak dapat dijamin kebenarannya dan kurang efektif dalam

mencari kepastian.

Andai aku Ketua Umum PB HMI, aku akan langsung turun tangan mengatasi

masalah yang seperti ini bersama bidang yang menangani masalah ini. Masalah

ini mungkin tidak hanya terjadi bagi HMI Cabang Medan, tapi terjadi juga bagi

HMI Cabang lainnya.


Andai aku Ketua Umum PB HMI, maka aku tidak akan patuh dan tunduk kepada

manusia, siapa pun dia. Saya akan tunduk dan patuh kepada aturan organisasi dan

juga kepada Allah Swt.

Andai aku Ketua Umum PB HMI, aku akan mengundurkan diri dari jabatan

jikalau tidak dapat menegakkan kebenaran di HMI dan jika tunduk kepada

kecurangan. Atau pilihannya berjuang mempertahankan nilai-nilai kebenaran

walau musuh sehebat Fir’aun.

Dan andai ada yang tersinggung dengan tulisan ini saya memohon maaf. Bukan

maksud berbuat lancang, tapi hanya ingin berniat menyampaikan aspirasi

perbaikan terkait apa yang sedang terjadi. Sebagai seorang yang terlibat secara

langsung dalam perkaderan formal HMI, suara-suara perbaikan harus terus

disuarakan.[]
Aktivis HMI-Wati Yang Mencintai Perkaderan HMI

Saya ingin menuliskan kisah tentang seorang aktivis HMI yang sangat mencintai

perkaderan HMI. Dia seorang HMI-Wati sekaligus Instruktur HMI. Walau status

Instruktur HMI yang ia emban masih baru (muda), tapi kecintaannya terhadap

perkaderan membuat ia terus berjuang untuk jantungnya HMI tersebut, yaitu

perkaderan. Disegudang aktivitasnya, ia tetap lebih memfokuskan pada

perkaderan HMI.

Dia begitu membenci kepada segelintir orang apabila perkaderan HMI itu

dipolitisir untuk “kepentingan” semata. Dia tidak pernah begitu mengurusi apabila

kader-kader di Cabangnya mempraktikkan politik praktis, tapi dia tidak akan

pernah sepakat dan akan terus melawan apabila perkaderan telah dikotori.

Baginya perkaderan adalah hal yang sangat suci dan harus dijaga.

Instruktur muda itu, ingat betul apa yang dikatakan oleh pemrakarsa HMI, Lafran

Pane saat memberikan pidato pada Milad HMI Cabang Yogyakarta di Gedung

Seni Sono Yogyakarta 5 Februari 1969. Dimana Lafran Pane mengatakan bahwa

kerja-kerja HMI dapat dilakukan organisasi pada masa itu, seperti Corps

Mahasiswa (CM), PPMI, KAMI dan organisasi lainnya ketika itu, tapi yang

membedakan dengan HMI adalah perkaderannya.

Realitas sekarang, terkadang sering kita dengar bahwa perkaderan HMI tinggal

slogan semata. Berbicara perkaderan akan tetapi praktiknya jauh dari perkaderan

yang dimaksudkan oleh HMI itu sendiri. Ingin memperbaiki perkaderan di HMI,

akan tetapi apa yang dilakukannya tidak sesuaidengan apa yang dikatakannya.
Instruktur Muda HMI itu sangat menginginkan murninya perkaderan dilakukan.

Tidak ada “kepentingan” golongan dan sekte-sekte. Dia begitu kasihan kepada

teman-temannya di HMI, kader-kader HMI yang baru Latihan Kader karena tidak

mendapatkan hasupan gizi intelektual dalam perkaderan (formal dan informal)

HMI. Permasalahan pun sering terjadi dalam perkaderan yang membuat macetnya

perkaderan di HMI, terkhususnya di HMI Cabang yang ia tempati.

Tentunya kita pun mengalami dan melihat ini di HMI Cabang kita masing-

masing. Untuk itu perjuangan mempertahankan perkaderan HMI agar tidak

dipolitisir untuk “kepentingan” perlu kita lakukan. Yang perduli perkaderan,

seperti seorang HMI-Wati yang saya sebutkan tanpa nama itu, kiranya kita

menjaga dan memperjuangakan kesucian perkaderan HMI.

Meningkatkan kuantitas dan kualitas kader-kader HMI adalah tujuan kita

bersama. Ajaran Islam dan Mission HMI menjadi semangat, motivasi dan

landasan kita berhimpun di organisasi mahasiswa Indonesia dan organisasi

mahasiswa Muslim terbesar dan tertua ini.[]


Pola Rekrutmen Kader Dengan Konsep Al-Fatihah

Sejatinya suatu organisasi supaya dapat mencapai tujuannya tentu harus ada

subjek penggeraknya. Apa pun nama dan jenis organisasi tersebut tidak akan

dapat beraktivitas jikalau tidak ada pengurusnya. Kenapa demikian? Karena suatu

organisasi itu sifatnya pasif (diam). Dia hanya nama saja. Wadah saja. Supaya

wadah itu dapat bermanfaat tentunya harus ada pengelolanya, supaya tujuan yang

diinginkannya dapat tercapai.

Di dunia ini tidak ada yang kekal-abadi kecuali yang Penciptanya: Tuhan yang

ahad dan wahid. Segala yang disebut makhluk (dalam bahasa Sosial-Agama), bio

(dalam bahasa Biologi), benda (dalam bahasa Fisika) ataupun sebangsanya

pastilah berubah-ubah dan sirna. Kalau kita kita hubungkan teori tersebut dengan

suatu organisasi maka suatu organisasi tersebut tidak akan kekal-abadi dan

pengurusnya atau penggeraknya tidak juga kekal-abadi. Organisasi butuh tenaga-

tenaga baru. Generasi-generasi pelanjut dan pengemban amanah organisasi.

Nah. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa tertua di

Indonesia. Organisasi mahasiswa Islam ini sudah berkiprah lebih tujuh puluh

tahun di Nusantara ini. HMI tidak lepas seperti apa yang kita sebutkan tadi.

Hukum historis-psikologis sosial tentu berlaku baginya. Dia (HMI) hanya sekedar

wadah yang diam. Wadah yang bisa jaya bisa hilang. Untuk mempertahankannya

supaya tetap eksis dan dapat melakukan amal shaleh, maka harus ada yang

menggerakkannya sesuai visi dan juga misinya. Bukan untuk supaya kekal-abadi.

Karena kekekalan dan keabdian itu hanyalah milik yang Kuasa-Allah SWT.
Secara normatifnya, disebutkan bahwa HMI adalah organisasi kader (lihat AD

HMI pasal 8). Dalam penjelasan tentang kader yang dimaksudkan HMI adalah

tulang punggung organisasi. Penyebutan kader pun disabetkan kepada mereka

yang menjadi anggota HMI-pastinya yang sudah memenuhi syarat dan ketentuan.

Kader menjadi subjek organisasi untuk mencapai tujuan HMI. Masa-masa

kejayaan HMI dan degradasinya HMI, itu tidak lepas dari aktivitas seorang kader

HMI semasa berproses.

Secara normatifnya lagi, tidak selamanya seorang kader HMI berstatus sebagai

seorang kader. Ada batas waktu yang sudah ditentukan oleh aturan main HMI.

Tapi jiwa kekaderan HMI harus terus melekat sampai akhir hayatnya. Sehingga ia

terus merasa ada tanggungjawab untuk menjaga nama baik HMI.

Seorang kader juga adalah seorang manusia. Makhluk ciptaan yang tidak kekal-

abadi. Status kadernya juta tidak selamanya melekat pada dirinya. Supaya HMI

dapat eksis di mata ummat dan dapat menjalankan tugas-tugasnya untuk mencapai

tujuannya, maka harus ada terus-menerus proses pergantian penggerak: penerus

atau generasi pelanjut.

Untuk itu, mendapatkan generasi pelanjut dan sebagai cadangan organisasi,

seperti HMI dan organisasi lainnya harus melakukan perekrutan anggota. Nah.

Disini, perekrutan, dalam praktiknya kita sering mengalami permasalahan dan

kewalahan mencari mahasiswa yang berniat masuk HMI. Apalagi di tengah-

tengah zaman yang pragmatis-hedonis ini, mengakibatkan mahasiswa kita kurang

berminat bergabung dengan organisasi kader. Padahal berorganisasi adalah


kewajiban bagi setiap manusia. Bukankah Al-Qur’an telah mengatakan kita

diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, ada laki-laki dan ada perempuan,

supaya saling mengenal. Kata ‘mengenal’ jangan dipahami secara sempit.

Penurunan kuantitas rekrutmen anggota sangat dialami oleh HMI saat ini. Tidak

menutup kemungkinan hal itu juga dirasakan oleh organisasi-organisasi

mahasiswa yang lain. Belum lagi kita menyinggung penurunan kualitasnya.

Berbagai upaya dan metode pun sudah dilakukan. Terkadang kita mentok juga

pada pelaksanaan dan konsep strategi yang kurang tepat.

Untuk itu saya menawarkan metode perekrutan memakai konsep Al-Fatihah.

Yang mungkin bisa ditolak dan diterima kemudian dikembang-luaskan oleh Anda.

Rekrutmen Dengan Memakai Konsep Al-Fatihah

Surah Al-Fatihah. Pastinya seluruh ummat Islam di dunia ini tahu dan hafal

bunyinya. Kecuali yang baru lahir dan belum bisa berbicara sempurna. Anak-anak

Muslim yang berumur empat sampai lima tahun lebih pasti sudah hafal bunyinya.

Tapi apakah semuanya paham makna dan kegunaannya. Tentu tidak mayoritas.

Surah pembukan Al-Qur’an ini dan juga sering disebut induk dari surah-surah

yang ada dalam Al-Qur’an, sering dimaknai hanya sebatas surah yang dibaca

setiap shalat dan memaknainya hanya secara hubungan vertikal kepada Allah

SWT. memang itu tidak salah. Saya juga tidak cukup hujjah untuk membahasnya

secara dalam.
Nah, selain surah Al-Fatihah bermakna dan berguna secara vertikal dan menjadi

do’a, saya menarik surah ini ke dalam konsep horizontal. Hal ini memang sudah

dibahas oleh tokoh-tokoh Muslim yang menggarap ilmu-ilmu sosial dan budaya.

Seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) misalnya. Dan ayah saya juga pernah

menjelaskan konsep horizontal Al-Fatihah ini.Pada kesempatan ini saya kemudian

mendekatkannya pada pola rekrutmen anggota di HMI.

Kalau kita perhatikan baik-baik dan didalami (secara konsep horizontal-sosial)

surah Al-Fatihah ini, Allah SWT. mengajarkan kepada kita suatu konsep.

Sebelum kita meminta, seperti; “Jalan yang lurus. Yaitu jalan yang diberkahi-

Nya”, yang intinya sebelum kita meminta kepada-Nya, ada sesuatu hal yang harus

kita lakukan. Yaitu apa? Kita harus mengetahui Allah sebagai Tuhan dan memuji

sifat-sifat-Nya. Lihat saja terjemahan mulai dari ayat pertama hingga ayat

keempat, semuanya memberikan pujian kepada Allah SWT. setelah itu, mulai dari

ayat kelima hingga yang terakhir barulah kita meminta kepada-Nya.

Kalau konsep itu kita dekatkan kepada pola perekrutan kader, mengajak

mahasiswa Islam supaya bergabung dengan HMI, kita harus tahu terlebih dahulu

tentang dia, sifat-sifatnya dan kemudian memujinya. Perlu diingat, tidak perlu

berlebihan cara-cara memujinya. Setelah kita telah melakukan itu barulah kita

meminta dia masuk ke HMI-menawarkan HMI. Tidak perlu dengan bahasa yang

langsung. Cukup berikan pandangan-pandangan yang sifatnya mengajak. Dengan

pendekatan-pendekatan tadi: mendekatinya supaya kita tahu bagaimana dia,

mengetahui sifat-sifatnya dan memujinya yang baik-baik. Secara psikologis, dia


sudah terpengaruh. Jika itu memang sudah dilakukan secaran intensif, seperti

intensnya setiap orang membacakan Al-Fatihah dalam shalatnya. Mudah-

mudahan calon anggota tersebut akan berniat bergabung dengan HMI.

Pendekatan dengan memakai konsep Al-Fatihah dapat juga kita lakukan dalam

kehidupan sosial kita sehari-hari. Pemaknaan dan pendekatan konsep yang saya

jelaskan tadi bukanlah suatu pendapat yang sangat benar sekali. Sebetulnya saya

khawatir juga kalau ada orang mengatakan saya memplesetkan tafsir surah

tersebut. Saya memang bukan Mufassir, tapi surah tersebut bukan juga milik para

Mufassir. Saya memberanikan diri melakukan pendekatan tersebut dengan niat

yang lurus. Semata-mata mencoba mengambil konsep aplikasi hidup bersosial-

berbudaya dari kitab Allah SWT yang suci itu. Selebihnya kembali kepada

Anda![]
Tafsir Mukaddimah AD HMI

Tentunya sudah menjadi kewajiban seorang kader Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI) membaca dan memahami nilia-nilai (substansi) yang terkandung dalam isi

Mukaddimah Anggaran Dasar HMI (AD HMI). Secara praktiknya, isi

Mukaddimah AD HMI tersebut, sering menjadi syarat normatif dalam

screeningtest Latihan Kader II (LK II) dalam materi screening Konstitusi HMI

yang harus bisa disebutkan tanpa melihat teksnya.

Lantas, apakah cukup dengan mengucapkan tanpa melihat teksdan dianggap telah

memahaminya? Tentunya tidak. Isi Mukaddimah yang terdapat dalam AD HMI

tersebut menurut saya sangat bernilai sakral (suci) walaupun dia tidak sesuci ayat-

ayat Allah Swt. Karena ia mempunyai nilai-nilai yang baik, maka tentunya kita

harus memahaminya dan mengaplikasikannya. Sebenarnya, dengan hanya

memahami Mukaddimah tersebut, seorang kader sudah dapat mengerti bagaimana

itu HMI, karena isi Mukaddimah itulah yang melahirkan “Batang Tubuh” (pasal-

pasal) AD HMI.

Di dalam isi Mukaddimah tersebut, terdapat 6 (enam) paragraf atau alinea yang

masing-masing alinea membicarakan hal-hal yang sangat fundamen dan

mempunyai nilai yang berbeda-beda. Seperti:

Alinea pertama menyebutkan bahwa: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala

telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq lagi sempurna untuk mengatur

umat manusia berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka

bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.”


Jika kita tarik penafsirannya, alinea pertama ini membicarakan tentang agama

Islam. di mana pada alinea ini bernilai tauhid, hal mana Allah Swt. disebutkan di

dalamnya. Selain itu, ia membicarakan Islam yang diwahyukan oleh Allah Swt.

sebagai ajaran yang haq (benar) lagi sempurna. Artinya, tidak ada lagi ajaran yang

benar dan sempurna selain Islam. Manusia sebagaimana fitrahnya menjadi

pemimpin di muka bumi ini harus memeluk ajaran yang benar lagi sempurna agar

dapat mengatur atau memimpin ummat manusia yang berlandaskan ajaran yang

benar (Islam), bukan atas dasar ajaran manusia (seperti ajaran komunisme,

sosialisme, leberalisme, sekularisme, kapitalisme dan sebangsanya), memimpin

bukan atas dasar hawa nafsu dan keinginan manusia. Karena menjadi pemimpin

hanyalah untuk mengabdikan diri semata-mata mengharap ridho dan kehadirat

Allah Swt. Atas dasar itulah, seorang kader HMI harus memimpin atau menjadi

pemimpin atas dasar ajaran yang benar lagi sempurna, yaitu ajaran Islam.

Alinea kedua menyebutkan: “Menurut iradat Allah Subhanahu wata’ala

kehidupan yang sesuai dengan fitrah-Nya adalah panduan utuh antara aspek

duniawi dan ukhrawi, individu dan sosial serta iman, ilmu, dan amal dalam

mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.”

Nah, dalam alinea kedua tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan yang

utuh atau kehidupan yang bahagia itu harus sesuai fitrah-Nya. Di mana panduan

hidup yang utuh itu tidak memisahkan aspek kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Sangat berbeda dengan ajaran filsafat materialisme (seperti komunisme) yang

hanya percaya bahwa kehidupan duniawi saja. Nilai-nilai yang terkandung di


dalamnya juga menyatakan bahwa seorang kader HMI tidak boleh inklusif dan

bersifat individualistis. Akan tetapi kader HMI harus juga peduli terhadap sosial

(ummat). Selain pemenuhan aspek duniawi dan ukhrawi, individu dan sosial,

seorang kader juga harus meningkatkan keimanan, keilmuan dan amal sholeh.

Maka jika aspek-aspek tersebut terpenuhi oleh setiap kader HMI, maka insya

Allah, kebahagiaan hidup seorang kader HMI di dunia dan akhirat akan

didapatkan.

Alinea ketiga menyebutkan: “Berkat rahmat Allah Subhanahu wata’ala Bangsa

Indonesia telah berhasil merebut kemerdekaan dari kaum penjajah, maka umat

Islam berkewajiban mengisi kemerdekaan itu dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia menuju masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah

Subhanahu wata’ala.”

Alinea ketiga di atas membicarakan tentang keindonesiaan, di mana HMI

mempercayai bahwa kemerdekaan yang didapatkan oleh Negara Indonesia tidak

murni dari perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Akan tetapi, ada peran

kekuasaan Allah Swt. tentunya setiap yang beragama pasti mempercayainya

adanya peran Yang Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa. Sangat berbeda dengan

kepercayaan dari orang-orang komunis yang tidak mempercayai kehendak Tuhan

dalam kehidupan manusia.

Nah, atas dasar perjuangan yang dikehendaki oleh Allah Swt. maka kader HMI

sebagai bagian daripada ummat Islam berkewajiban mengisi kemerdekaan

tersebut dalam berbangsa dan bernegara dengan tujuan mewujudkan masyarakat


adil makmur yang diridhoi Allah Swt. seperti yang disebutkan dalam pasal 4 AD

HMI (Tujuan HMI).

Pada elinea keempat menyebutkan: “Sebagai bagian dari umat Islam, maka umat

Islam Indonesia memiliki kewajiban berperan aktif dalam menciptakan Ukhuwah

Islamiyah sesama umat Islam sedunia menuju masyarakat adil makmur yang

diridhoi Allah Subhanahu wata’ala.”

Jika kita tarik nilai-nilai yang terdapat dalam alinea keempat Mukaddimah AD

HMI tersebut, maka kita dapatkan bahwa alinea tersebut bernilai Ukhuwah

Islamiyah. HMI sebagai bagian dari ummat Islam di Indonesia dan dunia harus

menguatkan hubungan sesama ummat Islam sedunia. Artinya, perjuangan HMI

tidak hanya berkewajiban dan berperan aktif untuk ummat Islam di Indonesia,

akan tetapi untuk Islam sedunia dengan tujuan menciptakan masyarakat adil

makmur yang diridhoi Allah Swt.

Dalam alinea kelima disebutkan: “Mahasiswa Islam sebagai generasi muda yang

sadar akan hak dan kewajibannya serta peran dan tanggung jawab kepada

ummat manusia, ummat muslim dan Bangsa Indonesia bertekad memberikan

dharma baktinya untuk mewujudkan nilai-nilai keIslaman demi terwujudnya

masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala.”

Dalam alineakelimaini, membicarakan bagaimana peran dan fungsi seorang

mahasiswa Muslim yang selanjutnya disebut sebagai generasi muda. Artinya,

generasi muda (kader HMI) harus sadar akan hak dan kewajibannya serta peran

dan tanggungjawabnya kepada seluruh ummat manusia yang ada di dunia ini.
Selain akan sadar atas hak dan kewajibannya, serta peran dan tanggungjawabnya

kepada seluruh ummat, kader HMI harus siap dan konsisten berbakti kepada

ummat manusia dengan mewujudkan nilai-nilai kebaikan. Tentunya nilai-nilai

kebaikan itu diukur dari indikator ajaran Islam, bukan ajaran manusia. Dan tujuan

akhirnya sama seperti alinea-alinea sebelumnya, mewujudkan masyarakat adil

makmur yang diridhoi Allah Swt.

Yang terakhir, alinea keenamberbunyi: “Meyakini bahwa tujuan itu dapat dicapai

dengan taufiq dan hidayah Allah Subhanahu wata’ala serta usaha-usaha yang

teratur, terencana dan penuh kebijaksanaan, dengan nama Allah kami

Mahasiswa Islam menghimpun diri dalam satu organisasi yang digerakkan

dengan pedoman berbentuk anggaran dasar sebagai berikut:”

Alinea terakhir ini, pada dasarnya meneguhkan suatu organisasi (HMI) yang

meyakini bahwa tujuan HMI dapat tercapai karena taufiq dan hidayah dari Allah

Swt. Selain keyakinan yang bersifat vertikal tersebut, untuk mencapai tujuan-

tujuan HMI harus membentuk usaha-usaha yang teratur, terencana dan penuh

kebijaksanaan. Maksudnya, HMI membentuk suatu pola atau metode yang sering

kita sebut pola perkaderan HMI untuk mewujudkan profil kader HMI yang

berkualitas maka HMI melaksanakan pelatihan-pelatihan HMI, baik secara formal

maupun informal. Dan untuk menggerakkan organisasi secara teratur dan

terencana, maka dibentuklah suatu norma dasar (AD HMI) dan aturan hukum

(rule of law) atau aturan main (rule of game) ber-HMI. HMI dapat berjalan
dengan baik, apabila aturan-aturan tersebut dapat ditegakkan dan tidak

memaksakan kehendak diri pribadi atau golongan untuk kepuasaan pribadi.

Maka dari penjelasan-penjelasan singkat kita di atas, kiranyalah tulisan ini dapat

disebutkan sebagai “Tafsir Mukaddimah HMI” walaupun masih sangat

memerlukan tambahan pendapat di setiap tafsiran alinea. Kiranya itu dapat

dilengkapi oleh setiap kader HMI. Dan kiranya juga kader-kader HMI dapat

memahami dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena selain

berguna untuk internal pribadi kader, berguna pula untuk eksternal kader HMI.[]
Tugas Komisariat Dalam Konteks Sistem Perkaderan HMI

Dalam Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam (AD HMI) menyebutkan

bahwa struktur organisasi kepemimpinan di HMI yaitu adalah Pengurus Besar

HMI (PB HMI), Pengurus HMI Cabang, dan Pengurus HMI Komisariat.

Kemudian, untuk membantu kinerja PB HMI dengan HMI Cabang maka

dibentuklah Badan Koordinasi (Badko). Dan dibentuk juga Koordinator

Komisariat (Korkom) untuk membantu HMI Cabang berhubungan dengan HMI

Komisariat. (Lihat AD HMI pasal 13).

Selanjutnya, di dalam Anggaran Rumah Tangga HMI (ART HMI) pasal 37-39

menjelaskan lebih lanjut tentang HMI Komisariat dan tugas dan wewenang HMI

Komisariat. Menurut saya, tugas dan wewenang HMI Komisariat yang disebutkan

dalam pasal tersebut terlalu normatif, intern dan hanya bersifat yuridis atau

vertikal. Tidak dijelaskan, apa tugas atau peran HMI Komisariat dalam garis

horizontal juga ekstern. Maksudnya, dalam pasal tersebut hanya mengatur terkait

administratif saja.

Lantas apa yang menjadi tugas sentral HMI Komisariat sehingga dapat

meningkatkan kualitas dan kuantitas HMI? Dalam ruang pembicaraan kader-kader

HMI dan Eks-kader HMI (alumni), baik dalam ruang formal maupun informal,

sering disebutkan bahwa fungsi HMI Komisariat itu adalah fokus pada rekrutmen

dan pembinaan. Sedangkan HMI Cabang adalah fokus pada perkaderan, dan PB

HMI fokus pada kebijakan politik. Tidak menutup kemungkinan juga, PB HMI

dapat melakukan kerja-kerja HMI Cabang, dan HMI Cabang dapat melakukan
kerja-kerja HMI Komisariat. Akan tetapi, sudah menjadi suatu konvensi di dalam

HMI sendiri bahwa, apa yang kita sebutkan pertama tadi, telah mejadi tugasnya

masing-masing. Dan fokus pembicaraan kita kali ini adalah tugas dan fungsi HMI

Komisariat, yaitu rekrutmen dan pembinaan, karena kedua-duanya masuk dalam

konteks sistem perkaderan HMI.

Nah, setiap kader HMI yang masih berproses di tingkat HMI Komisariat, baik

sebagai pengurus atau juga belum, diharuskan memahami dan melaksanakan dua

tugas yang kita sebutkan tadi. Jaya dan merosotnya HMI, baik secara kualitas

maupun kuantitas, kunci utamanya ada pada tingkat HMI Komisariat. Perlu

diingat, apabila kuantitas kader HMI di Komisariat bertambah, maka HMI dalam

skala besar mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) karena kader-kader

tersebut sebagai cadangan untuk regenerasi. Dan apabila kualitas kader-kader di

tingkat HMI Komisariat berkembang baik, maka sangat menguntungkan bagi

HMI. Kemudian apabila menurun dalam hal kedua-duanya (kuntitas dan kualitas),

maka akan terlihat bagamana kondisi buruk HMI itu sendiri. Baik kondisi di

tingkat PB HMI, Badko-Badko HMI, Cabang-Cabang HMI dan Komisariat-

Komisariat HMI. Untuk itu, kita tekankan kembali, kunci utamanya adalah di

tingkat HMI Komisariat. Maka, setiap kader dan eks-kader harus selalu merawat

dan menjaga HMI Komisariat.

Rekrutmen dan Pembinaan

Selanjutnya, rekrutmen dan pembinaan seperti apa yang dimaksudkan oleh HMI

itu sendiri? Tentunya, rekrutmen dan pembinaan yang dimaksudkan itu adalah
mewujudkan calon-calon kader HMI yang ideal dan kader-kader HMI yang

berkualitas.

HMI sebagai organisasi kader (pasal 8 AD HMI) aspek kualitas kader menjadi

titik fokus perhatian dalam proses rekrutmen, pembinaan dan perkaderan HMI.

Hal ini bertujuan supaya terbentuknya out put kader yang berkualitas sebagaimana

disebutkan dalam tujuan HMI (pasal 4 AD HMI). Maka dari itu, faktor kualitas

input calon kader menjadi faktor penentu yang sangat penting sekali untuk

diperhatikan.

Di dalam Pedoman Perkaderan HMI menyebutkan bahwa, pola rekrutmen harus

lebih mengutamakan tersedianya input calon kader yang berkualitas. Maka untuk

itu, rekrutmen kader yang banyak diamanahkan kepada HMI Komisariat, harus

berusaha aktif untuk merekrut calon kader yang berkualitas tanpa menyampingkan

kuantitas dengan cara yang baik dan terencana.

Rekrutmen kader yang lebih mengutamakan pada calon kader yang berkualitas

dengan cara yang baik dan terencana maksudnya adalah harus ada kriteria

rekrutmen. Dalam Pedoman Perkaderan HMI merumuskan dua kriteria ketika

melakukan rekrutmen, yaitu harus memperhatikan kriteria sumber-sumber kader

dan kriteria kualitas calon kader. (Lebih lanjut lihat Hasil-Hasil Kongres HMI

XVIII, hal: 361)

Selanjutnya, selain memperhatikan kriteria-kriteria dalam rekrutmen calon kader,

harus juga memperhatikan metode dan pendekatan rekrutmen. Karena hal tersebut

merupakan cara atau pola yang ditempuh untuk melakukan pendekatan kepada
calon-calon kader agar mereka mengenal dan tertarik masuk HMI. Untuk

mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan rekrutmen dilakukan dalam dua

tempat, yaitu pendekatan di tingkat pra Perguruan Tinggi (SMA/sederajat) dan di

tingkat Perguruan Tinggi. (Lebih lanjut lihat juga Hasil-Hasil Kongres HMI

XVIII, hal: 361-362)

Sedangkan tugas tingkat HMI Komisariat yang kedua, pembinaan, dapat

diwujudkan lewat pembentukan karakter seorang kader. Pembinaan yang

dilakukan harus menghasilkan kader-kader HMI yang berkualitas. Secara

praktiknya, dapat dibentuk lewat aktivitas-aktivitas Komisariat yang terintegrasi,

terencana, dan sistematis. Dalam kesehari-harian HMI, dikenal dua jenis aktivitas

kader HMI, yaitu aktivitas formal HMI (trainingformal) dan aktivitas non-formal

(trainingnon-formal). Dalam aktivitas-aktivitas yang kita sebutkan tersebut,

bagian daripada pembinaan kader HMI untuk mewujudkan profil kader-kader

HMI yang berkualitas dalam rangka mencapai tujuan HMI.

Pembinaan ini dapat dilakukan dengan kerja sama yang baik di setiap tingkatan

HMI, mulai dari tingkat Komisariat HMI sampai tingkat PB HMI. Misalnya

hubungan kerja sama dalam malaksanakan pelatihan-pelatihan di HMI, baik

formal maupun informal. Selain itu, untuk melaksanakan pembinaan agar

mewujudkan profil kader yang berkualitas, setiap tingkatan HMI harus dapat

menciptakan budaya-budaya intelektual dan religius di setiap lingkungan kader

HMI.
Dengan langkah-langkah demikian tentunya HMI akan mempunyai kader-kader

yang berkualitas. Perlu diingat bahwa, baiknya kualitas seorang kader HMI,

penempahan awalnya ada di tingkat Komisariat. Apabila seorang kader HMI

mendapatkan proses dan dinamika organisasi yang baik di Komisariat, maka ke

tingkat HMI selanjutnya ia akan mencerminkan kebaikan-kebaikan tersebut.

Untuk itu, HMI tingkat Komisariat harus terus menjaga dan merealisasikan tugas

rekrutmen calon-calon kader yang berkualitas dan tugas pembinaan anggota atau

kader-kader HMI.[]
Secangkir Kopi Tentang Komunisme

Catatan ini merupakan ulasan kembali (rivew) diskusi ringan bersama beberapa

kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Sekretariat HMI Cabang Medan,

Jln. Adinegoro No. 15 Medan, atau yang sering disebut Alimbas. Diskusi

beberapa malam yang lewat sungguh sangat menarik. Awalnya hanya sebatas

ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati secangkir kopi.

Seseorang di antara kami, sebutlah itu namanya akrabnya Bako (kalaupun ada

nama itu, artinya saya ingin berdiskusi dengannya), mulai mengarahkan

pembicaraan yang lebih serius, dengan bertanya padaku.

“Bang, aku mau nanya lah ini sedikit. Mengapa kita harus menolak komunisme,

padahal jelas komunisme itu melarang kapitalisme, sama seperti agama kita

melarangnya. Bukankah sebaiknya antara Islam dan komunisme berjalan sama

untuk menumbangkan kapitalisme?” Dengan seriusnya ia bertanya sambil

menyerupu secangkir kopi dan menghembuskan hisapan sebatang rokok.

Aku pun sedikit terkejut dengan munculnya pertanyaan itu. Maksudku, bukan

pada pertanyaannya, kalau pertanyaan yang demikian sudah biasa terdengar dan

aku baca dalam beberapa literatur. Tapi, kami yang duduk santi dan

membicarakan hal-hal ringan, ia mulai membawa ke arah yang lebih serius.

Kembali saya menyeruput kopi, membiarkan pertanyaannya itu termakan terlebih

dahulu oleh waktu dan senyam-senyumnya teman-teman yang lain. Aku tidak

ingin suasana berubah menjadi formal dan tidak nyantai lagi.


“Komunisme dan Islam memang sama-sama tidak sepakat dengan dengan

tumbuhnya kapitalisme. Karena dengan kapitalisme, jurang pemisah antara rakyat

yang miskin, dalam bahasa aktivis komunis yaitu buruh atau proletar, dengan

kaum pemodal, semakin lebar dan jauh.” Kembali aku menyeruput kopi, dan

menghidupkan sebatang rokok. Membiarkan suasana diam sejenak.

“Jadi bang, kenapa harus kita tolak komunisme itu, kenapa tidak sama-sama

berdampingan saja?” Ia mengulangi pertanyaannya kembali.

“Banyak orang, bahkan aktivis-aktivis HMI yang tersesat karena salah

memahaminya. Mereka melihat persamaannya dan tidak melihat perbedaannya

yang tipis itu, antara Islam dan Komunisme. Maka mereka mencoba

mengawinkan antara keduanya, Islam dan Komunisme sebagai landasan berpikir

dan berjuang. Ya akhirnya tidak pernah berhasil, dan malah mengalami kesulitan

sendiri.” Aku diam sejenak memperhatikan teman-teman yang lain sambil

tersenyum.

“Maksudnya bang....?” Teman-teman yang lain tidak sabar ingin memahami

pendapatku.

“Begini saja, aku akan menganalogikakannya seperti dua cangkir kopi ini.” Aku

menuangkan kopi ke dalam dua cangkir.

“Baik, aku mau nanya ke teman-teman semuanya. Satu cangkir kopi kuberi racun

dan satu cangkir lagi tidak kuberi apa-apa. Nah, sekarang kutanya, maukah kalian

meminum kedua cangkir yang berisi kopi ini?” Mereka pun saling tatap-tatapan.
“Bagaimana, mau...?” Pertanyaan kupertegas.

“Mau bang, tapi kopi yang tidak diberi racun.” Salah satu teman menjawab.

“Gimana Bako, mau minum keduanya?” Sekarang ku alihkan pertanyaan kepada

orang yang mengawali diskusi yang serius malam itu.

“Sudah paham maksudku terkait Islam dan Komunisme sama-sama menentang

kapitalisme, tapi kenapa kita harus menolak komunisme sebagai orang yang

beragama Islam?” Sebagian ada yang menjawab paham, dan Bako nampaknya

ingin jawaban yang lebih serius dan sedikit ilmiah.

Baca juga: Islam Menggantikan Komunisme dan Kapitalisme

“Nah, begini maksudku. Komunisme mengapa harus kita tolak, karena di

dalamnya ada racun. Walaupun mempunyai kesamaan ide dengan ajaran Islam,

tapi di sana ada racun yang sangat membahayakan manusia. Sama seperti kopi

tadi. Ada satu cangkir yang dapat mematikan kita, walaupun rasanya sama-sama

manis. Tapi kandungan racunnya berbahaya kalau kita minum. Jadi, komunis itu

tidak sehat untuk “dikonsumsi”, berbeda dengan Islam yang sudah sempurna, dan

Islam itu tidak ditemukan sedikitpun zat racunnya.” Aku menjelaskan sedikit lebih

serius tapi dengan nada santai.

“Di mana zat racunnya pada komunisme bang...?” Bako bertanya

menghembuskan asap hisapan rokok.


“Semuanya pasti sudah mengetahui bahwa komunisme itu tidak percaya dengan

agama dan tidak pula percaya dengan Tuhan. Bagi mereka yang paham

komunisme, agama dan Tuhan hanyalah alat untuk memperkuat kaum-kaum

pemodal dan atau orang-orang kaya (kapital). Dan kepemilikan pribadi atas

sesuatu, seperti tanah, tidaklah ada. Seluruhnya harus dikuasai oleh negara, dan

negara yang mengaturnya. Tidak ada yang lebih berkuasa kecuali Negara, dan

negara itu dikuasai oleh mereka-mereka yang menjadi petinggi di Partai Komunis,

walaupun mereka berasal dari kaum proletar. Sehingga muncul diktator

proletariat. Nah, hal-hal ini sungguh sangat bertentangan dengan fitrah manusia,

apalagi terkait masalah kepercayaan kepada Tuhan yang tidak mereka yakini.

Demikian kenapa aku mengatakan ada racunnya, dan komunis sangat haram untuk

“dikonsumsi”. Sebagai kader HMI yang menjadikan Al-qur’an dan Hadist sebagai

rujukan utama ajaran agama kita, kiranya ajaran Islam, baik dalam hal ibadah dan

muamalah, menjadi dasar berpikir dan bergerak kita.”

“Nah, untuk itu, kopi yang satu ini (komunis) kita tumpahkan, dan yang satu lagi

(ajaran Islam) kita nikmati dan kita syukuri.” Aku pun menumpahkan secangkir

kopi, dan secangkir lagi kuseruput.

“ooohh...gitu ya bang...?” Bako memahami maksudku.

“Yaps....” Aku pun mengacungkan jempol sambil menyeruput kopi dan

menikmati hisapan-hisapan sebatang rokok.[]


Jangan Menjadi Kader Semangka

Beberapa tahun belakangan ini, banyak kabar berita, baik lewat media sosial

online ataupun berita dari mulut ke mulut, membicarakan terkait pemikiran kader-

kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat ini. Banyak kalangan, baik dari

dalam HMI (Alumni) dan dari luar HMI, sudah mulai meragukan pemikiran

kader-kader HMI saat ini. Mereka mulai meragukan perkaderan HMI atau bahkan

mencurigainya. Hal ini harus kita akui, saat ini banyak kalangan yang lebih

kecewa pada kader-kader HMI saat ini, yang tidak bisa meneruskan dan atau

mempertahankan garis perjuangan yang pernah ditorehkan oleh pendahulu-

pendahulu HMI.

Banyak muncul stigma masyarakat bahwa beberapa kader HMI telah terpengaruh

dan terbawa arus paham liberalisme, sekularisme, bahkan lebih parah lagi

terpengaruh oleh ideologi komunisme dan Marxisme. Stigma itu muncul bukan

tanpa sebab. Tentunya karena ada yang dilihat dari perilaku kader-kader HMI saat

ini, begitu juga dalam pola pemikirannya. Alhasil itu semua, yang pertama

diragukan adalah sistem perkaderan HMI.

Melihat fenomena kader-kader HMI saat ini, dan beberapa tahun belakangan ini,

kader-kader kita sering latah. Maksud saya adalah, di HMI memang kita

mempelajari segalanya tanpa ada batas dan tanpa ada larangan. Tujuan untuk

mempalajari segalanya, termasuk mempelajari ideologi komunis, adalah supaya

kita mengetahui dan tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang bertentangan

dengan ajaran Islam. akibat dari sifat kelatahan beberapa kader HMI saat ini, ia
pun dengan bangganya membela ideologi-ideologi yang bertentangan dengan

ajaran agama Islam. bahkan ada yang mengawinkan Islam dengan komunis

dengan landasan historis orang-orang agamawan di Indonesia yang masuk Sarekat

Islam Merah, seperti H. Misbach. Kelompok ini pun mengatakan bahwa komunis

tidan bertentangan dengan Islam.

Saya pernah menemukan beberapa kader HMI bangga dengan teori-teori aliran

komunisme daripada teori yang ada dalam agama Islam. Mereka menganggap

bahwa ajaran Islam tidak mampu menjawab permasalahan yang ada. Akibat dari

mengagungkan teori-teori komunisme sehingga mereka mengkultuskan si

pencetus teori, katakanlah itu Karl Marx, Engels, Lenin, Stalin, Mao Zedong dan

yang lainnya. Menurut saya, kader-kader yang seperti ini hanya memahami Islam

secara syariat saja atau bersifat fiqiyah. Padahal ajaran itu sangat luas untuk

membahas seluruh isi dunia ini hingga akhir kelak nanti.

Sifat latah. Ya, demikian yang saya sebutkan di atas tadi. Maksud saya adalah, ada

beberapa kader HMI, baru sekali selesai membaca toeri-teori kiri (baca:

komunisme), seperti membaca Das Kapitalnya Marx, Manifesto Partai Komunis,

yang ditulis Karl Marx dan Engels, bukunya Tan Malaka, dan buku-buku komunis

lainnya, seorang kader tersebut langsung mengaminkan tanpa terlebih dahulu

menganalisisnya, membandingkannya dan membuktikan teori-teori sesat tersebut.

Akibat dari sifat kelatahan tersebut, membuat seorang kader HMI menjadi

terpengaruh dan perlahan-lahan mulai berani mengatakan atu mengawinkan

bahwa komunisme tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan ada yang lebih
ekstrim dan lebih sesat lagi, seorang kader tersebut mulai membuang ajaran

agamanya dan menggantikannya dengan ajaran ideologi komunisme yang sesat

itu.

Inilah yang saya maksudkan sebagai kader-kader “semangka”. Di luarnya hijau

(kader HMI secara formal dan beragama Islam) tapi, isi pemikirannya merah

(ideologi komunis). Jika pun ada yang menyangkalnya bahwa semangka itu tidak

hanya berwarna merah, tapi ada juga yang berwarna kuning, ya, saya dapat

mengatakannya bahwa, ia seorang kader HMI (warnanya saja) tapi dalamnya

sudah terkontaminasi dan ikut partai politik Gol*** yang berwarna kuning, atau

ikut partai politik yang lain. Untuk itu, yang terpenting adalah,sebagai seorang

kader HMI janganlah menjadi kader “semangka”.[]


Menjaga Kader HMI Dari Paham Sesat

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagaimana organisasi yang berazaskan

Islam (pasal 3 AD HMI), tentulah menjadikan ajaran Islam yang bersumber dari

Al-Qur’an dan Hadist sebagai dasar pemikiran dan dasar perjuangan. Jikalau kita

tinjau kembali kebelakang, berdirinya HMI disebabkan salah satu karena faktor di

mana pada masa itu (pra-HMI) mahasiswa Islam berada dalam cengkraman

paham-paham sesat. Organisasi-organisasi yang beraliran sekuler menjamur

dikalangan mahasiswa Islam di Indonesia, sehingga mengakibatkan ide-ide

westernisasi (kebarat-baratan) dapat berkembang pesat. Ditambah lagi

berkembangnya ide-ide sosialis-komunisme yang tambah menyesatkan

mahasiswa Islam di Indonesia.

Dengan semakin kencangnya persaingan ideologi di kalangan mahasiswa, demi

mempertahankan ide-ide Islam di HMI, maka kader-kader HMI mulai menyusun

suatu kurikulum pendidikan pada tahun 1950-an dan 1960-an, sehingga

muncullah istilah perkaderan HMI hingga sampai yang kita rasakan saat ini,

walau di sana-sini terdapat perbedaan. Akan tetapi, tujuannya tetap sama, yaitu

peningkatan kualitas mahasiswa Islam yang bergabung dengan HMI (internal),

dan pengabdian pada ummat dan negara (eksternal).

Sedikit berbicara di zaman rezim Soeharto, terkait paham-paham yang kita

katakan sesat, yang menyimpang dari Pancasila (sebagaimana maksud rezim

Soeharto) harus dibubarkan. Maka pada tahun 1966 lewat TAP MPRS Nomor

XV, ideologi-ideologi Komunisme, Marsxisme, Leninisme dan simpatisan-


simpatisannya dilarang di Indonesia. Memang itu layak dilakukan Soeharto,

karena sangat menyesatkan pemikiran dan terus memunculkan kegaduhan, bukan

memberikan solusi yang tepat.

Kembali kepada pembicaraan di zaman tersebut, paham-paham sesat yang

bertentangan dengan Pancasila tidak diperbolehkan berkembang, baik lewat

tulisan-tulisan atau pun bentuk-bentuk diskusi. Ditambah lagi, pada tahun 1980-

an, Soeharto mensahkan Undang-Undang terkait azas tunggal organisasi. Di mana

setiap organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan harus berasaskan Islam.

Mau tidak mau HMI pun ikut beradaptasi, sehingga memunculkan polemik pada

Kongres XVI di Padang.

Setelah pemerintahan Soeharto tumbang pada tahun 1998, di mana isu reformasi

dan demokrasi selalu didengungkan oleh rakyat Indonesia, maka hal itu pun

tercapai. Sehingga secara hukum ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar 1945

(UUD 1945) diubah (amandemen) sebanyak empat kali, dari tahun 1999 sampai

tahun 2002. Isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) mulai dibicarakan, penyebaran

ideologi-ideologi sesat, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme,

komunisme dan sebangsanya menjamur di Indonesia. Di sana-sini mulai

ditemukan atau diterbitkannya buku-buku berpaham kiri (sesat) yang sangat

bertentangan dengan agama dan ruhnya bangsa Indonesia.

Perlu saya jelaskan di sini, yang saya maksudkan dengan paham sesat adalah

ideologi-ideologi yang menyesatkan manusia, terkhususnya kader-kader HMI,

baik secara fisik maupun non-fisik. di mana ideologi-ideologi tersebut adalah


turunan daripada aliran filsafat materialisme (yang menuhankan materi) dan aliran

filsafat rasionalisme (menuhankan akal). Seperti adanya, paham sosialisme-

komunisme, kapitalisme, liberalisme, relativisme, positivisme, sekularisme, dan

paham-paham sesat lainnya. Singkatnya, paham sesat yang tidak perlu diikuti oleh

seorang kader HMI yaitu paham yang tak berdasarkan Islam.

Seiring perkembangan zaman, penyebaran paham-paham sesat tersebut pun ikut

berkembang. Bahkan, paham-paham sesat yang kita maksudkan tadi secara sadar

atau tidak sadar masuk ke dalam diri kader atau ke dalam HMI itu sendiri. Dengan

kecanggihan tekhnologi sekarang, lewat pendekar-pendekar ideologi kiri (paham

sesat), mereka memanfaatkan tekhnologi informasi untuk menyebarkan paham-

paham komunisme, liberalisme, kapitalisme, sekularisme dan yang lainnya.

Dalam penyebarannya, mereka pun mendesain suatu kegiatan agar dengan mudah

menyebarkan paham-paham sesat tersebut, baik itu lewat penerbitan buku-buku

dan lewat tulisan-tulisan di media online. Tidak jarang, kader-kader organisasi

Islam, khususnya kader HMI terpengaruh olehnya. Bahkan kader kita menjadikan

ide-ide komunisme bagian daripada solusi terkait keadaan ini. Padahal jika kita

nilai secara objektif, sosialisme-komunisme itu tidak dapat memberikan solusi

yang tepat, karena ajaran dan doktrinnya sudah sesat.

Terkadang, di dalam lingkungan kader-kader HMI, dengan bangganya

mengemukankan teori komunisme, liberalisme, sekularisme, dan kapitalisme. Ia

tidak bangga dengan teori-teori Islam yang bersumber dari Allah Swt. bahkan

kader-kader kita ada yang mulai meragukan ajaran agamanya. Ia menganggap


bahwa ideologi sesat tersebut menjadi solusi atas permasalahan. Padahal kalau

kita tilik ke negara-negara asal paham-paham tersebut, semuanya telah gagal.

Kader-kader kita terkadang lebih bangga membawa buku Das Kapital,

MADILOG, Manifesto Komunis, dan buku-buku murahan lainnya. Kader-kader

kita lebih rajin membawanya ke mana-mana kemudian membukanya dibanding

membawa dan membaca Al-Qur’an dan Hadist. Sesuatu keadaan kader yang

sudah kronis dalam pemikiran.

Apa yang harus dilakukan?Menurut saya, untuk menangkal dan majaga kader-

kader HMI dari virus-virus paham sesat yang kita maksudkan di atas tadi, ada

beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:

Pertama, Islam harus betul-betul menjadi nafasnya seorang kader HMI. Artinya,

dengan Islam sebagai nafasnya, setiap kehidupannya harus dilandaskan dengan

Islam. maksudnya juga, Islam jangan hanya dijadikan agama dalam bentuk pasif,

tapi Islam sebagai agama dan ideologi harus diaktivitaskan dalam kehidupan

sehari-hari di segala aspek.

Kedua, perkaderan yang mana menjadi tembok pertahanan HMI harus betul-betul

bisa mengajarkan nilai-nilai Islam dalam perkaderan. Dalam perkaderan harus

dijelaskan betapa sesatnya ideologi-ideologi yang kita maksudkan tadi. Dari

perkaderan yang melahirkan tulang punggung organisasi (kader) harus yang

berjiwa Islami dan berakhlak.


Ketiga, soerang kader HMI harus menguatkan dasar pengetahuan keislamannya.

Dengan membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya. Membaca dan mempelajari

Hadist Rasulullah Saw. dan membaca buku-buku hikmah lainnya yang ditulis

oleh orang-orang sholeh.

Keempat, mempelajari dan tanpa mengikuti ajaran-ajaran sesat tersebut, akan

tatapi pengetahuan dasarnya harus kuat. Karena jika kita tidak mempelajarinya,

kita tidak tahu di mana letak kesalahannya.

Kelima, sebagai gerakan bersama, setiap kader HMI harus saling mengingatkan

dan saling berbagi pengetahuan. Saling mengingatkan agar pikiran seorang kader

tidak terjerumus ke dalam lembah sesat tersebut. Dan kemudian mengamalkan apa

yang menjadi perintah Islam (Al-Qur’an dan Hadist) dan missi HMI.

Selian dari yang saya sebutkan di atas, pastinya masih banyak lagi usaha-usaha

yang harus dilakukan untuk membendung masuknya paham-paham sesat tersebut

dan atau mengkrantina kader-kader HMI yang telah terpengaruh oleh virus-virus

paham sesat yang kita maksudkan tadi.[]


Bukan Sekedar Ber-HMI

Jika kita bertanya kepada seorang mahasiswa Muslim yang baru bergabung

dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), “mengapa Anda bergabung di HMI

dan apa tujuan Anda ber-HMI?” Banyak sekali di antara mereka menjawab, “Saya

ingin berorganisasi”, “Saya ingin mencari pengalaman di HMI”, “Saya ingin

mencari teman di HMI”, “Saya ingin belajar di HMI”, dan “Saya ingin menambah

wawasan di HMI”. Demikianlah berbagai jawaban yang penulis dapatkan dari

mereka, ketika saya mewawancarai mereka pada saat test interview mengikuti

Latihan Kader I (Basic Training) di HMI Cabang Medan. Tidak menutup

kemungkinan, jawaban itu juga banyak kita dapatkan di HMI Cabang se-

Indonesia.

Tentunya kita sendiri pun pernah mengatakan salah satu jawaban-jawaban yang

kita sebutkan tadi. Tujuan-tujuan yang privat tersebut tidaklah salah. Setiap

mahasiswa Islam yang bergabung dengan HMI berhak untuk mengatakan

demikian. Di HMI itu sendiri ada dua tujuan, yang pertama tujuan pribadi seorang

kader HMI dan tujuan HMI itu sendiri. Tujuan itu juga bagian daripada motivasi

untuk ber-HMI.

Nah, setelah dinyatakan sah menjadi anggota HMI, baik sebagai anggota muda

(pasca Maperca) dan sebagai anggota biasa (pasca LK I), dalam praktiknya pun

tujuan pribadi tersebut mulai menurun. Motivasi ingin belajar dan mencari

wawasan di HMI mulai menurun, bahkan tidak jarang banyak kader-kader HMI

“melarikan diri” setelah menjadi pengurus HMI di setiap tingkatan. Demikianlah


merupakan kita sebut sebagai masalah, di mana antara das sollen (apa yang

diharapkan) dengan das sein (apa yang terjadi) tidak berbanding lurus.

Mengapa hal ini terjadi? Menurut penulis hal ini terjadi karena penyampaian

orientasi ber-HMI belum maksimal dan situasi kondisi (budaya) organisasi HMI

itu sendiri. Maksud penyampaian orientasi ber-HMI yang kurang maksimal

maksud, tidak bisa memadukan tujuan HMI dengan tujuan privat tersebut,

sehingga terjadi tujuan yang tidak berbanding lurus. Artinya, muncul tujuan-

tujuan “gelap” di HMI, hal itu tercerminkan dalam watak, pola pikir dan pola laku

seorang anggota HMI.

Sedangkan, situasi kondisi (budaya) di HMI sendiri maksudnya, kultur yang

dibangun dalam lingkungan HMI tidak lagi seperti awal berdirinya HMI, atau

kultur pada saat masa-masa kejayaan HMI. Kultur intelektual dan solidaritas di

HMI mulai berkurang saat ini. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya kelompok-

kelompok dekonsturktif di dalam tubuh HMI itu sendiri. HMI terkesan hanya

seperti organisasi komunitas, hanya tempat berkumpul biasa saja. Budaya

intelektual di HMI mulai terkikis ditelan budaya hedonis dan budaya apatis.

Perlu kita sadari bahwa, HMI didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawan

(1947) merupakan perjalanan historis yang sangat panjang hingga terbentuknya.

Tujuan-tujuan pun demikian. HMI ada bukan sekedar organisasi biasa saja, bukan

wadah berkumpul para mahasiswa Islam tanpa tujuan yang jelas. HMI dibentuk

bukan untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Tapi, HMI didirikan

merupakan suatu wadah perjuangan dalam membentuk karakter mahasiswa Islam


di Indonesia sehingga mampu menjawab tantangan zaman dalam rangka

mewujudkan masyarakat madani, semata-mata mengharap ridho dari Allah Swt.

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dari HMI sangat diharapkan oleh

bangsa dan negara Republik Indonesia. Demikian yang sudah dibuktikan oleh

kader-kader HMI angkatan pertama hingga awal-awal reformasi, di mana mereka

dapat mengisi segala lini masyarakat Indonesia. Kita pun masih merasakan peran

mereka hingga saat ini.

Nah, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kader-kader HMI saat ini?

Mampukah kita mengikuti jejak mulia yang mereka (alumni HMI) lakukan? Apa

yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi tantangan zaman yang akan datang

ketika sudah terjun langsung di dunia nyata (masyarakat)? Sudahkah kita

mempersiapkan kualitas intelektual kita? Sudah kita mempertebal benteng

keimanan kita, di mana saat ini kita berada dalam lingkaran sekularisme,

liberalisme, materialisme, komunisme dan kapitalisme?

Maka dari itu, untuk setiap anggota HMI harus meningkatkan kesadarannya.

Meningkatkan kualitas intelektual (keilmuan) dan keimanannya (tauhid). Setiap

anggota harus meningkatkan akhlakul karimah dan ukhuwah islamiyah (amal

shaleh). Bergabung dengan suatu organisasi, bukan sekedar berorganisasi. Bukan

sekedar ngumpul-ngumpul tanpa tujuan yang jelas dan tanpa tujuan yang

membangun (konstruktif). Begitu pula di HMI, bergabung dengan HMI bukan

sekedar ber-HMI.[]
Menikmati Secangkir Kopi NDP HMI

Tulisan pada judul kali ini bukanlah bermaksud ingin membahas tuntas dengan

lugas tentang Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI).

Rasanya juga belum pantas dan cerdas untuk mengais isi-isi NDP tersebut,

sekalipun saat ini materi NDP menjadi spesialis saya dalam Training LK I HMI

Cabang Medan. Saya masih memerlukan proses dan memusatkan pikiran dengan

fokus agar dapat mengulasnya dengan jelas dan lugas.

Tulisan ini hanya sebagai “catatan kaki” dalam memberikan motivasi untuk terus

belajar dan menjadikan NDP lebih menarik dan lebih nikmat bagi setiap kader

HMI, terkhususnya diri saya pribadi. Ada suatu mitos di tubuh HMI sendiri, yaitu

ada yang berpandangan bahwa NDP adalah materi yang bersifat sakral, hanya

orang-orang tertentu yang membawakannya. Banyak sekali kader-kader HMI atau

bahkan Instruktur HMI merasa tidak pantas untuk menyampaikannya isi NDP

dalam Training-Training HMI.

Cara pandang seperti yang disebutkan di atas wajib dibuang jauh-jauh ke tong

sampah. Materi pembahasan NDP yang disusun oleh Cak Nur, Endang Saifuddin

Anshari dan Sakieb Mahmud yang dipilih lewat Kongres IX HMI di Malang

adalah materi pembahasan yang tidak jauh berbeda dengan materi-materi

pembahasan lainnya, seperti materi Sejarah Perjuangan HMI, Konstitusi HMI,

dan Mission HMI.

Perbedaannya adalah hanya bagaimana pemahaman atau wawasan keislamannya

yang memusatkan pemikiran dalam ideologi, sosiologi, filosofi dan aspek lainnya
saja yang lebih ditekankan. Toh yang menyusun NDP adalah manusia, kenapa

takut atau merasa tidak sanggup untuk membawakannya dalam pelatihan HMI.

Sedangkan Al-Qur’an saja ditafsirkan oleh manusia, yang tidak luput dari ke-

khilafan.

Materi-materi pembahasan NDP yang direduksi dari sebagian ayat-ayat Qur’an

sangat nikmat sekali untuk “diseruput”. Pembahasan NDP, baik dalam suhu

“dingin” maupun suhu “panas” masih tetap nikmat rasanya.

Pada saat menyampaikan materi NDP di LK I HMI Cabang Medan, sering saya

sampaikan bahwa di NDP HMI tidak ada dan tidak akan membicarakan yang

sifatnya fiqh dan atau tidak membicarakan aliran-aliran fiqh yang dianut oleh

setiap Muslim, seperti bagaimana tata cara shalat, wudhu, shalat jenazah, puasa,

haji, nikah dan yang lainnya. Urusan fiqh dan mazhab, itu dikembalikan kepada

masing-masing kader HMI. Karena di HMI, kader-kadernya banyak berasal dari

latar belakang keluarga golongan Islam di Indonesia yang berbeda. Ada dari

keluarga Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Wasliyyah, bahkan ada dari

kalangandan golongan umat Muslim lainnya.

Di HMI tidak mengenal dan tidak memandang dari sekte mana kader tersebut

berasal. Selagi dia mahasiswa Muslim, dan dia tidak dipandang dari kampus mana

berasal, apakah dia dari kampus yang Islami dan kampus sekular. Masing-masing

kader atau anggota mempunyai hak dan kewajiban di HMI, sesuai dengan status

keanggotaannya. Tujuan di HMI telah digariskan oleh kader-kader HMI dalam

Anggaran Dasar (AD) HMI dan itulah yang akan diwujudkan oleh HMI.
Ada juga kader-kader kita temukan yang berpersfektif, setiap kali mendengar kata

NDP, dalam pikirannya pati membahas tentang Tuhan. Padahal bukan itu saja

materi-materi pembahasan yang ada di dalam “secangkir KOPI (Konsentrasi

Pikiran)” NDP tersebut.

Perlu kita perjelas kembali, NDP tidak hanya membahas tentang Tuhan, dimana

Tuhan apakah ada Tuhan dan lain-lain yang membahas tentang keimanan. NDP

HMI terdiri dari delapan bab pembahasan. Bab pertama membahas tentang

Dasar-Dasar Kepercayaan, bab kedua tentang Pengertian-Pengertian Dasar

Tentang Kemanusiaan, bab ketiga membicarakan tentang Kemerdekaan Manusia

(Ikhtiar) dan Kaharusan Universal (Takdir), bab keempat mengkaji tentang

Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, bab kelima membahas tentang

Individu dan Masyarakat, bab keenam membahas tentang Keadilan Sosial dan

Keadilan Ekonomi, bab ketuju tentang Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan, dan

yang bab terakhir ditutup dengan kesimpulan yaitu Iman, Ilmu dan Amal.

Kesemuanya pembahasan tersebut diambil atau direduksi dari sebagian sumber

Islam, Al-Qur’an.

Seluruh pembahasannya pun begitu menarik dan begitu nikmat untuk “diseruput”

baik secara tekstual maupun kontekstual oleh hati dan akal pikiran kita.

Menikmatinya bukan hanya sekedar menikmati di atas kertas, tapi dia harus

dipraktikkan dalam aktivitas demi menuju tujuan HMI dan menjadikan kader-

kader yang berkualitas keimanan, keilmuan dan amal shaleh.[]


NDP HMI vs LML

Sebelum penulis membahas apa maksud daripada judul tulisan ini, terlebih dahulu

saya mengapresiasi tulisan dari saudara saya Muhammad Mualimin, dimana dia

juga sebagai Instruktur HMI di Jakarta yang sangat produktif dalam dunia tulis

menulis, bagian daripada budaya HMI yang sudah mulai tertinggal oleh berbagai

faktor.

Dalam tulisannya Detik-Detik Kematian HMI yang terbit di media kritis

qureta.com pada akhir November 2017, yang kemudian aku tanggapi dengan

tulisan pula dengan judul Detik-Detik Kematian HMI, Benarkah? Yang terbit di

media Yakusa Blog. Saudara Muhammad Mualimin pun menanggapi balik secara

singkat di dalam tulisannya Postmodernisme, Galian Kubur NDP? yang

diterbitkan media qureta.com juga, pada 19 Desember 2017. Tulisan itu pun

mengingatkan pada tulisanku berjudul Menikmati Secangkir Kopi NDP yang

terbit di Yakusa Blog.

Demikianlah pula yang harus kita bangun di HMI. Jika boleh meminjam

perkataan saudara saya tersebut, walau berbeda pendapat, dan sekeras apapun

reaksi dan argumentasi, asal tidak kekerasan fisik, hal itu sah-sah saja bagi kader

HMI. Kader HMI sudah terbiasa berdialektika dan kebal atas perbedaan pendapat.

Tapi entah mengapa sudaraku Muhammad Mualimin, akhir-akhir ini kader-kader

HMI tidak seperti yang kau katakan. Kader-kader kita sudah malas berdialektika

dalam kajian keilmuan, apalagi kader-kader HMI saat ini menganggap bahwa

perbedaan pendapat bagian daripada perpecahan. Bahkan ada yang tak suka
berargumentasi baik dalam lisan maupun tulisan. Jarang sekali aku membaca

tulisan-tulisan kritis dan membangun dari rekan-rekan kita sebagai Instruktur

HMI, kecuali tulisan-tulisanmu.

Di rumah kita sendiri (HMI) saat ini, sangat susah kita menemukan generasi-

generasi penulis seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Endang Saifuddin Anshari,

Mahbub Djunaidi, Agussalim Sitompul, AM Fatwa, Fachry Ali, Yudi Latief,

Amien Rais, Alfan Alfian, dan penulis-penulis hebat lainnya dari HMI. Kader-

kader HMI saat ini hanya jago di forum saja.

Nah, dalam tulisanku kali ini pun masih berkaitan dengan tulisan saudara

Muhammad Mualimin terkait NDP HMI, yang sudah lama aku simpan dalam

gudang tulisan-tulisanku. Ide tulisan inipun menjadi kuat dan segar ketika

membaca tulisannya. Judul tulisan ini menggambarkan suatu masalah di dalam

budaya kesehari-harian kader HMI saat ini, dengan judul Nilai Dasar Perjuangan

versus Ludo dan Mobile Legends (NDP vs LML).

“Setelah lebih dari 48 tahun dijadikan dokumen resmi HMI, NDP terasa makin

terasing dalam pergulatan wacana internal HMI. Daripada memperbincangkan

makna dan intisari NDP, kader perempuan lebih asyik mendiskusikan model hijab

terbaru, film korea, gosip artis, sementara yang laki-laki sibuk main Ludo atau

Mobile Legends. Artinya, NDP hanya menjadi mantra saja, dianggap mengawang-

awang lalu diabaikan.” Demikian dalam tulisan saudara Muhammad Mualimin.

Setelah beberapa minggu ini penulis amati, aku sangat sependapat dengan apa

yang dikatakannya. Wacana internal kader-kader HMI sudah sangat jarang


membicarakan dan membahas NDP HMI secara dalam. Membentuk kelompok-

kelompok kajian keilmuan dan membahas NDP tidaklah terlihat ghirah atau

semangatnya dibanding membentuk kelompok-kelompok (skuad) Mobile Legends

(ML). Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas masalah muatan NDP-nya, akan

tetapi lebih terfokus pada budaya atau pola laku kader-kader HMI saat ini.

Kader-kader HMI zaman now tahan menghabiskan waktu berjam-jam di depan

Smart Phone-nya hanya untuk bermain game Ludo dan Mobile Legends,

dibandingkan membicarakan NDP atau kajian keilmuan lainnya. Membicarakan

permain tersebut secara teoritis dan praktik lebih dikuasainya dibanding teori dan

praktik NDP HMI. Bahkan ini bukan hanya kaum HMI-Wannya saja, tapi kaum

HMI-Watinya juga.

Ketika sesama kader HMI bertemu pembahasan intefsifnya adalah bagaimana

mengatur strategi bermain agar menang. Menurut penulis, mayoritas kader HMI

saat ini tidak lagi memikirkan bagaimana strategi untuk mengembangkan HMI di

era zaman now. Banyak apologi dari mereka bahwa, bermain Ludo dan ML dapat

meningkatkan kesolitan sesama kader dan belajar strategi. Nampak-nampaknya,

LK II pun sebentar lagi akan ditinggalkan kader-kader HMI. Jika LK II tidak

menjadi syarat konstitusional menjadi Pengurus Cabang, mungkin LK II sudah

ditinggalkan. Karena di ML sudah belajar strategi dan taktik (stratak), jadi untuk

apalagi LK II.

Penulis bukan tidak sepakat jika kita bermain game. Akan tetapi, jika ia menjadi

rutinitas yang terorganisir, berarti dia sudah menjadi aktivitas rutin. Sudah
menjadi bagian daripada kebutuhan. Padahal, kita ketahui sendiri bahwa game

adalah hanya untuk menghilangkan kepenatan, bukan menjadi rutinitas. Bahkan

ada kader HMI, yang menghabiskan waktu malamnya (begadang) hanya untuk

bermain ML (bukan ML original). Jika kader-kader HMI terkenal dengan budaya

malamnya dengan membaca, berdiskusi, rapat dan mengatur strategi, untuk saat

ini sudah terkenal dengan bermain Ludo dan Mobile Legends.

Dengan budaya seperti ini, kader-kader HMI menjadi miskin wacana, miskin ide

pemikiran dalam berorganisasi dan bermahasiswa. Kader-kader HMI menjadi

miskin ilmu tapi cita-citanya setinggi langit. Kader-kader HMI hanya mengaku

sebagai kader intelektual, berada dalam organisasi yang pendirinya sudah menjadi

Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Mengaku sebagai kader umat tapi jauh

dari umat. Atau jangan-jangan kader-kader yang aktif bermain Mobile Legends

ingin menjadi Pahlawan ML.

Yang lebih miris lagi, kader-kader HMI rela meninggalkan shalatnya dan tidak

peduli pada kondisi keumatan, asal terus dapat main Mobile Legends. Ini sungguh

sangat menghina NDP yang mengajarkan keimanan, peduli pada keadilan dalam

kondisi keumatan. Kesadaran keimanan, keilmuan dan amal shaleh semakin hari

semakin menipis.

Seharusnya NDP HMI, mejadi pegangan dan pedoman kader-kader HMI walau

perlu penambahan berbagai literatur yang mendukung untuk mempelajari NDP

dan konsisten mengaplikasikannya dalam pergerakan kehidupan sehari-hari

seorang kader HMI.


Kembali penulis mengutip perkataan Muhammad Mualimin, bila NDP sudah

tidak lagi menjadi nilai dan pedoman kader HMI dalam bergerak, di situlah

saatnya NDP masuk museum. Dan saya ingin menambahinya, maka Mobile

Legends pun akan menjadi materi menarik dalam training-training HMI. Tak

perlu mengundang ahli-ahli stratak, cukup kader-kader membentuk tim dalam

forum (FGD LML) dengan tema “Menguatkan Kesolitan dan Loyalitas Kader-

Kader HMI Melalui Ludo dan Mobile Legends.”[]


Secangkir Kopi Tentang HMI Zaman Now

“Kak…kami pesan kopi tiga gelas” Salah satu temanku bernama Aditya Fernanda

memesan kopi dengan begitu cepat sebelum pelayan café yang kami tempati

bertanya, kami hendak memesan apa.

“Kopi apa bang?” Tanya ramah pada kami.

“Kopi Susupanas, tapi susunya jangan banyak kali ya kak. Gimana bang,

cocok…?” Salah satu teman bertanya padaku.

“Kalau aku cocok saja, asal kalian suka juga.” Jawabku dengan penuh negosiasi.

“Iya kak. Sama Ubi goreng juga ya kak.”

“Ok bang. Sebentar ya bang.” Kakak pelayan tersebut dengan ramah

meninggalkan kami.

Suasana sana malam itu sangat tenang untuk berdiskusi. Suara-suara pengunjung

malam itu tidak terlalu ribuk. Memang kedai kopi itu tempat nongkrongannya

mahasiswa, wartawan, pengusaha, dan aktivis-aktivis sosial lainnya. Suasananya

sangat mendukung untuk berdiskusi ringan, membahas semua hal. Tempat itu

pula tidak ada anak-anak alay yang hanya menghabiskan waktu dengan bermain

Mobile Legends, Ludo dan main kartu.

“Crekk…crekk.” Suara Mancis membakar rokok yang sedang terselip di antara

jari telunjuk dan jari tengah.


“Bang, bagaimana menurut abang HMI kita sekarang yang sudah berusia tujuh

puluh tahun usianya dan tidak sampai dua bulan lagi akan bertambah usia menjadi

tujuh puluh satu tahun?” Fernanda tiba-tiba nimbrung dengan pertanyaan itu.

“Ukhuuk…ukhhuuuk.” Entah kenapa akupun batuk-batuk saat mendengar

pertanyaan itu. Aku juga sudah berniat, jangan sampai ada pembahasan tentang

HMI malam hari itu. Eh…ternyata pembahasan pertama dimulai dari HMI.

“Aduh….aduh, minum dulu bang. Hahahahahahaa….” Salah satu teman ngeledek.

“Menurut kalian gimana, kalain juga merasakannya tooh? Aku balik bertanya.

Sebenarnya pertanyaan itu bentuk penolakanku terkait pembahasan itu.

“Ya…kalau menurutku bang. HMI sekarang, telah terdegradasi dan memudar

seperti yang pernah disebutkan oleh sejarawan HMI, Agussalim Sitompul, dalam

bukunya 44 Indikator Kemunduran HMI.” Fitrah, menjadi pembicara pertama.

“Terdegradasi dan memudar dari segi mana ini?” Aku kembali bertanya.

“Ya, baik secara kualitas maupun kuantitas bag.” Jawabnya tegas.

“Menurut sudara Fernanda, gimana?”

“Ah…abang ini kayak di forum aja. Kami yang nanya, malah ke kami pula yang

dilemparkan pertanyaan itu. Nampak kali abang instrukturnya. Ini kita diskusi

bang, kami mau tahu pendapat dari abang.”

“Hahahahaaa…..” Aku tertawa lepas.


“Oh…iya ya. Kok kita pula malah ditanya. Terjebak aku bah.” Fitrah baru sadar

dengan metodeku.

Memang demikian metode yang menjadi kultur di keinstrukturan di training-

training HMI. Pertanyaan yang berasal dari peserta, tidak langsung di jawab oleh

si Instruktur. Tapi pertanyaan itu, dilemparkan dulu ke peserta lainnya. Dibiarkan

berdebat sesama peserta, kemudian setelah peserta lelah saling berargumentasi

barulah sang instruktur menengahinya. Nah, metode ini sangat baik untuk

memacu supaya peserta berani berbicara dan berpendapat. Metode ini tidak seperti

di kelas kampus. Biasaya pertanyaan dari mahasiswa langsung di jawab oleh

dosen.

“Jadi gimana menurut abang.” Mereka bertanya kembali.

“Begini, sebenarnya aku malas membicarakan terkait HMI saat ini, atau HMI

zaman now. Sudah banyak sekali kader-kader kita, senior-senior kita, dan alumni-

alumni kita yang membicarakan hal ini. Dan mereka sudah memberikan berbagai

otokritik yang konstruktif untuk HMI. Tooh…HMI ini, ya….entahlah. Payah

menyebutkannya.”

“Hmmmm….langsung gitu. Ya, sebagai seorang instrukturkan tidak boleh bosan

dan tidak boleh patah semangat dalam membicarakan dan membahas ini. Dan

harus dijelaskan kepada kader-kader HMI. Apa masalahnya dan bagaimana solusi

memperbaikiki.” Cetus Fernanda.


“Ya, memang. Kita tidak boleh lelah untuk itu. Tapi itu bukan tugas mutlak bagi

seorang instruktur. Seluruh keluarga besar HMI harus juga terlibat dalam

memperbaiki HMI zaman now yang sedang sakit ini.”

“Kopinya bang…” Kakak pelayan memotong pembicaraan kami sambil

meletakkan tiga gelas kopi yang dicampur dengan susu sedikit.

“Ok…kak, makasi ya.” Jawabku dengan ramah.

“Sampai mana tadi aku menjelaskan?”

“Kata abang tadi kita tidak boleh lelah…”

“Oooh…iya iya. Beberapa hari ini aku mendapat pesan yang masuk lewat inbox

FB. Isi tentang ungkapan kekecewaan terhadap HMI di masa kini. Organisasi ini

besar tapi mengapa kader-kader sangat menurut kualitasnya, dan bahkan ribut

sesamanya demi mengejar kekuasaan di HMI. Struktural yang menjadi perebutan

oleh beberapa oknum, sedangkan kultural HMI, seperti membaca, menulis dan

berdiskusi, semakin menurun. Bahkan yang lebih parah lagi, ada kader-kadernya

ikut dalam hal politik praktis di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Demikian mereka

mengatakan.” Aku coba menjelaskan realita yang ada.

“Jadi menurut abang gimana?”

“Ya, menurutku apa yang mereka gambarkan ini memang benar, dan itu fakta.

Hari ini HMI kita, dalam artian perilaku kader-kadernya, mulai dari pusat hingga

komisariat, sudah terdegradasi. Terlibat dalam politik praktis, dipengaruhi Mobile


Legends, dan aktivitas-aktivitas hedonis lainnya. Hal ini membuat budaya

keilmuan dan keagamaan kita menurun drastis. Jika dahulu, seperti yang

digambarkan dalam beberapa literatur HMI, kita sangat mudah menemukan

kader-kader HMI berdiskusi di kampus, membaca, dan tulisan-tulisannya nongol

di berbagai media. Nah, hari ini bagaimana? Belum lagi sistem perkaderan kita

sekarang, instruktur HMI yang kualitas keagamaan, keilmuan dan emosialnya

sangat rendah. Aduh macam-macamlah…” Aku pun malas membicarakannya

lebih dalam.

“Jadi bagaimana solusinya bang…?”

“Apa? Kau tanya solusinya padaku, baiknya tanyalah diri sendiri, dan mari kita

tanyakan solusinya kepada mereka yang menjadi petinggi-petinggi di HMI, mulai

dari Komisariat, Korkom, Cabang, Badko sampai PB HMI.”

“Ehh…tunggu. Tunggu dulu. Aku heran kenapa kopi yang ada dalam gelas kita

ini bertuliskan HMI 70. Apa maksudnya ini, ide siapa ini? Fitrah bertanya heran.

“Oh..iya ya.” Fernanda juga ikut heran.

Aku hanya tersenyum dengan melihat ekspresi mereka. Diskusi malam itu tentang

HMI zaman now tidak kami tuntaskan. Memang baiknya begitu, ide-ide yang baik

untuk HMI saat ini tidak bakalan diterima oleh mereka-mereka yang memegang

tampuk kepemimpinan di HMI. Karena ide-ide yang baik, tidak lebih kuat dari

perkataan-perkataan senior walau itu salah, yang terpenting bisa menjaganya di

struktural dan memberi dia amunisi “perjuangan”.


Orang-orang yang ingin memperbaiki HMI akan dibuat tidak betah sehingga pergi

dengan sendirinya. Orang-orang yang tidak mempunyai jabatan dalam HMI dan

dalam lingkungan masyarakat (alumni) sangat jarang dipanggil ke forum-forum

HMI. Bahkan ada sekelompok orang ingin membuat suatu dinasti kerajaan di

HMI.

HMI ini baik, maju dan atau mundur, hal itu ada di tangang kader-kader HMI

saat ini. Jika HMI ingin baik, betul-betullah menjalankan usaha-usaha HMI yang

tertuang di dalam pasal 5 AD HMI. Dan seluruh kader HMI harus patuh pada

konstsitusi. Mendahulukan apa yang menjadi kata konstitusi HMI, daripa

kemauan pribadi dan kelompok.[]


Secangkir Kopi Tentang Anak HMI Yang “LGBT”

“ Assalamu’alaykum. Hallo boy…kalian di mana. Ngumpul yokk…?” Lewat

telpon genggam aku mengajak teman-teman yang mana kami biasa menghabiskan

malam dengan banyak berdiskusi di kedai kopi.

“Wa’alaykumsalam bang, ini kami udah ngumpul. Abang di mana?” Jawab Fitrah

menjelaskan.

“Abang baru saja selesai ngelola forum training LK I ini. Ok…aku ke sana.”

Aku pamit pada teman-teman instruktur yang bertugas dalam kepengelolaan LK I

Cabang Medan kali itu. Ku hidupkan sepeda motor, tancap gas menuju tempat

kami biasa minum kopi. Menuju ke tempat kedai kopi favorit kami, aku hanya

butuh waktu selama kurang lebih lima belas menit. Itu pun karena malam hari,

jika di siang atau di sore hari butuh sekitar empat puluh menit supaya sampai ke

tujuan. Rasa-rasanya kemacetan di Medan ini sudah seperti di Jakarta. Belum lagi

jalannya yang begitu hancur, anehnya Medan mendapat penghargaan sebagai kota

terbaik. Sepertinya tim surveinya masih mengantuk dan butuh minum kopi.

“Bang…di sini.” Ahmad mengangkat tangannya saat aku lagi kebingunan mencari

mereka.

“Kok di sini, biasanyakan di sana?” Aku menunjukkan tempat kami biasa duduk

sambil menyalami mereka. Memang demikian, kader-kader HMI jika bertemu

langsung salaman. Sungguh luar biasa keakraban mahasiswa Indonesia ini.


“Ah…gak masalah itu bang. Di sini juga tetap bisa duduk dan berdiskusi.” Cetus

Fitrah dengan bijak.

“Dari mana bang, baru selesai ngelola LK I?” Basa-basi dari salah satu teman.

Mungkin itu mencairkan suasana.

“Iya…boy. Alhamdulillah sudah selesai.”

Suasana malam itu lumayan panas sekali, tidak biasanya seperti ini. Aku buka

baju kemejaku dan tinggal mengenakan baju kaos oblong. Malam itu pun terasa

sangat berbeda sekali. Biasanya tempat itu tidak terlalu ramai. Entah mengapa

memang hari di kedai kopi lebih banyak jema’ahnya daripada di masjid atau

tempat ibadah lainnya sesuai agamanya masing-masing.

“Kak…pesan. Abang pesan apa?” Fitrah menawarkan.

“Creek….crekk…” Aku menghidupkan sebatang rokok dan rasanya nikmat sekali,

setelah satu harian aku tak merokok. Dalam tradisi HMI Cabang Medan, ada suatu

semacam pandangan bahwa Instruktur tidak boleh merokok, baik di lokasi

training atau di luar. Apabila ada seorang instruktur merokok itu dapat mencoreng

nama baik instruktur HMI Cabang Medan. Bagiku itu tidaklah jadi permasalahan,

jika kita obyektif, seharusnya kita semua tidak merokok. Tapi itu sangat susah

sekali, silahkan bagi yang merokok merokok, bagi yang tidak jangan merokok.

Jangan muncul pandangan negatif pada seseorang yang merokok. Apa yang

menjadi saran dokter itu bagiku busyit semua. Jadi selama tidak dalam training

formal silahkan saja.


“Huufff…..aku pesan Sanger dingin kak.”

“Makannya bang….?” Pelayan yang sangat ramah.

“Minum aja dulu ya kak, nanti kalau aku lapar aku cari kakak. Rasanya enak jika

kakak yang mengantarkannya.” Aku hendak menolak pesan makanan dengan cara

menggombalnya dengan melemparkan senyuman ramah.

“Aduuhhhh….instruktur yang satu ini bukan hanya jaga di forum. Tapi gombal

cewek juga bisa.” Ahmad menganggap itu sangat serius.

“Udahlah mad. Fokus aja sama makalah LK II mu itu. Sebelum deadline harus

udah dikirim. Jangan lupa konfirmasi sama panitia sebelum ngirim makalah”

Cetusku pada Ahmad.

“Ouououou….ada yang mau LK II?” suara ejekan dari Fitrah.

“Udah Fitrah, kita dukung dong teman kita ini. Di antara kita cuman dia yang

belum Intermediate Training atau LK II. Jadi harus kita dukung dan do’akan

supaya lancar-lancar saja.” Aku memberi motivasi pada Ahmad sambil

meletakkan tanganku di pundaknya.

“Amiiinnn….aminnn….ya Rabb.” Teman-teman yang lain mengangkat tangan

selayaknya seperti orang-orang yang sedang berdoa.

“Kalau dia tidak cepat-cepat ikut training lanjutan sehabis LK II, apalagi dengan

kondisi HMI saat ini, terkhususnya di Cabang kita, takutnya Ahmad menjadi

Anak HMI yang “LGBT”, kan itu berbahaya.”


“Maksud abag gimana. Apa bisa orang yang tak ikut LK II bisa jadi LGBT.”

Tanya Adit dengan serius. Terlihat kerutan keningnya sedang berlipat-lipat.

“Bukan begitu maksudnya dit.”

“Jadi bagaimana bang.”

“Maksud abang, dengan keadaan psikologi HMI di Cabang kita, tidak menutup

kemungkinan di HM Cabang lain, kita takut semangatnya Ahmad untuk ber-HMI

akan berkurang. Nah, dengan semangatnya yang berkurang itukan dia bisa jadi

“LGBT”. Akau pun mengangkat kedua tanganku dengan membuat seperti tanda

kutip saat mengatakan LGBT.

“Aku belum paham bang, maksud abang tentang Anak HMI yang “LGBT” itu.”

Adit juga ikut menganggkat tangannya mempraktikkan apa yang aku lakukan

sebelumnya.

“Maksud abang Ank HMI yang “LGBT” itu adalah Anak HMI yang Lagi Gak

Butuh Training. Kalau LGBT yang original itu tentunya kita tolak, karena itu bisa

membahayakan manusia. Baik secara materil maupun moril.”

“Hahahahhaa…hahahahaa…wkwkwkwkwk…wkwkwkwkwk….” Semuanya

tertawa, perhatian orang-orang pun tertuju pada kami.

Pelayan yang mengantarkan minumpun menghentikan canda kami, “Bang ini

minumnya.”
“Ok…kak. Terimkasih ya. Oh..iya kak, kenalkan ini orang yang “LGBT”. Jawab

Adit sambil menunjuk Ahmad, sambil mengangkat kedua tangan kemudian

menggerakknaya membuat seperti lambang tanda kutip.

Semuanya pun tertawa dengan lepas dan bahagia. Keakraban dan kekeluargaan

adalah sesuatu yang sangat berharga di HMI. Karena di HMI kita berteman lebih

dari saudara. Yakin Usaha Sampai (Yakusa) menjadi slogan motivasi kita.[]
Merawat Kunci Kekuatan HMI

Nanang Tahqiq, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pernah menulis

kritikannya kepada HMI dengan judul tulisan Bye-Bye HMI. Dapat Anda lihat di

dalam bukunya Agussalim Sitompul yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita

dan Kritik. Ia mengatakan:

“Ada tiga kekuatan kunci saling bertaut, telah menciptakan HMI begitu
memukau, masing-masing Latihan Kader (LK), Tradisi Intelektual, dan
Independensi. Ketiga kekuatan itu merupakan kesatuan tidak tercerai dan utuh,
elemen-elemen pokok yang saling menunjang dan membangun basis perkaderan
yang tangguh. Lewat bahasa HMI, ketiga unsur tersebut ditujukan demi meraih
tujuan HMI. Demikian lewat tiga unsur itu, HMI kemudian dipertimbangkan
sebagai gerakan pembaharu. Setelah 49 tahun (sekarang 70 tahun-peny) sejak
HMI didirikan 5 Februari 1947, ada baiknya dukungan HMI ditimbang-
timbang lagi, sembari mengukur apresiasi maupun prestasi, mengingat
banyaknya perubahan terjadi. Teristimewa ketiga kunci kekuatan itu tidak
efektif lagi.”

Agussalim Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduran HMI, berpendapat

terkait kritikan tersebut di atas, bahwa Nanang Tahqiq mengambil kesimpulan

HMI kehilangan nama (tuah atau kekuatan batin), karena ketiga kunci kekuatan

HMI dianggap tidak sakti lagi.

Dalam tulisan saya ini, tidak lagi membahas tentang apa itu latihan kader, tradisi

intelektual dan independensi. Dalam beberapa tulisan sebelumnya sudah saya

bicarakan walaupun secara singkat. Lebih lengkapnya Anda juga dapat


membacanya di media-media yang lain. Akan tetapi, saya hendak bermaksud

membahas bagaimana kunci kekuatan HMI saat ini, apakah redup atau terang?

Menurut saya, kritikan Nanang Tahqiq itu banyak benarnya. Tiga kekuatan yang

dimaksudkannya itu telah membuktikan bahwa HMI dapat menunjukkan kualitas

dirinya sehingga ia memukau, dipertimbangkan sebagai gerakan pembaharu dari

kaum muda, dan wadah perkaderan anak-anak bangsa yang beriman, berilmu dan

beramal. Lewat pelatihan di HMI, tradisi intelektual dan independensinya, insya

Allah, tercipta semuanya. Dan sangat kita rasakan manfaatnya sebelum HMI saat

ini mengalami kemunduran.

Bagaimanakah saat ini? Seperti yang dikatakan di atas tadi: “Kekuatan HMI tidak

sakti lagi”, saya sangat sependapat sekali dengan pernyataan tersebut saat ini.

Kunci-kunci kekuatan HMI sebagai organisasi perkaderan yang menciptakan

kader-kader yang berkualitas telah rapuh dan memudar. HMI kurang

dipertimbangkan lagi secara kualitas. Adapun ia (HMI) dipertimbangkan itu

karena untuk “kepentingan” sesuatu kelompok. Jujur saja saya katakan, sering

HMI diperdayakan untuk mobilisasi massa politik praktis. HMI saat ini kurang

terdengar gerakan-gerakan intelektualnya di semua aspek masyarakat. Nah, yang

lebih ironi lagi, independensi HMI telah digadaikan.

Agussalim Sitompul berpendapat yang menafsirkan kritikan Nanang Tahqiq,

supremasi HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa yang mampu

menyelenggarakan proses perkaderan lewat LK yang mumpuni lantaran cara-cara


kaderisasi HMI kini telah juga dilakukan oleh banyak organisasi lain. HMI tidak

mampu menciptakan metode baru (sesuai dengan tuntutan masa.

Mengenai tradisi intelektual saat ini, sungguh sangat jauh berubah menurun

drastis secara kualitas, sebelumnya para kader HMI pernah mengharu biru di

dunia intelektual Indonesia secara politik (bukan politik praktis), sosial budaya,

ekonomi, dan dalam aspek lainnya.

Nah, sekarang bagaimana? Saat ini tradisi intelektual kita telah redup, sudah

sangat sering kita sebutkan. Banyak aktivis kita lebih bersemangat pada struktural

ketimbang kepada tradisi intelektual atau kultural. Yang lebih miris lagi, tradisi-

tradisi yang berkembangan pesat di HMI sat ini adalah tradisi hedonisme,

feodalisme dan kapitalistik. Mayoritas telah terpengaruh dengan dunia modern

secara fisik-materialistik.

Masalah independensi, tentunya sudah Anda rasakan dan melihatnnya. Mayoritas

kader-kader kita belum memahami konsep independensi di HMI sehingga tidak

teraplikasikan dalam hidupnya sehari-hari. Akan tetapi, ada juga yang sudah

mengetahui tentang konsep independensi HMI. Seorang kader atau sekelompok

kader itu tetap melanggarnya kemudian menggadaikannya demi kepentingan

nisbi dan nafsu materialistik dan juga kesenangan belaka. Mungkin Anda lebih

mengerti ralitasnya sekarang.

Apa yang harus dilakukan? Tentunya yang kita lakukan adalah menjaga dan

menguatkan kembali kekuatan-kekuatan HMI. Kekuatan-kekuatan yang dimaksud

bukan kekuatan secara pengertian fisik, bukan otot yang kuat dan alat
persenjataan perang. Kita tidah butuh bom, karena kita bukan teroris. Kita tidak

butuh pedang besi, kita hanya butuh pedang iman dan ilmu.

Selain tiga kekuatan yang harus kita jaga seperti yang disebutkan tadi, saya ingin

mengajak kepada kita semua, seluruh kader HMI, mari kita perkuat keagamaan

kita dan ukhuwah Islamiayah. Baik secara pemahaman dan juga praktiknya.

Dengan memperkuat keagaaman kita dan ukhuwah Islamiayah, secara otomatis

segala sendi-sendi kehidupan akan kuat. Karena dengan kekuatan ini, insya Allah

kita mendapat ridho-Nya.

Mari memahami lagi lebih dalam tentang nilai-nilai kebaikan yang ada di HMI.

Mempertahankan dan melanjutkan tradisi-tradisi positif yang pernah dibangun di

HMI tanpa menyampingkan kemajuan zaman. Kembali bangkit dan jayanya HMI

itu ada di tangan kader-kadernya lewat usaha yang benar-benar dan baik (amal

shaleh) demi mengharap ridho Allah Swt. semata.[]


HMI Menuntut Agar Islam Sebagai Dasar Negara

Pada Kongres ke-5 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang berlangsung pada

24-31 Desember 1957 dan diadakan di Medan. Kongres tersebut menjadi Kongres

HMI pertama di luar pulau Jawa. Kongres ke-5 ini dihadiri oleh 16 dari 19

Cabang HMI yang sudah terbentuk pada masa itu.

Dalam kongres tersebut, ada beberapa butir keputusan yang disepakati, baik yang

bersifat internal maupun bersifat eksternal. Keputusan yang bersifat internal itu

misalnya seperti, disahkannya Hymne HMI yang digubah (disusun) oleh R.M.

Akbar, seorang aktivis HMI dari HMI Cabang Medan. Kemudian merumuskan

Islam sebagai asas HMI, dan yang lainnya.

Sedangkan keputusan yang bersifat eksternal harus diperjuangkan oleh kader-

kader HMI adalah rata-rata yang berkaitan dengan perjuangan Islam. Seperti,

mendesak pemerintah agar pelajaran agama Islam menjadi pelajaran pokok di

sekolah negeri dan swasta, menyatakan bahwa komunisme bertentangan dengan

Islam, dan yang terpenting adalah menuntut agar Islam sebagai dasar negara

Indonesia.

Islam Sebagai Dasar Negara

HMI menuntut dan menginginkan supaya Islam sebagai dasar negara karena awal

perjanjiannya di negara Indonesia, awal-awal kemerdekaan, bahwa Islam akan

menjadi dasar negara. Ir. Soekarno pernah menjanjikan hal itu. Silahkan dibaca

sejarah awal pembentukan negara Indonesia, dalam sidang Badan Penyidik


Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan dalam sidang

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lebihlanjut silahkan dibaca

tulisan saya yang berjudul Menagih Janji Soekarno, dimuat dalam

Medanheadlines.com

Selain dalam sidang HMI, di tahun yang sama pula, pembicaraan terkait dasar

negara masih berlangsung di sidang Majelis Konstituante. Masing-masing fraksi

dan kelompok (Nasionalis Agamis dan Nasionalis Sekuler) menyampaikan ide-ide

pemikirannya. Dengan kediktatoran dan keotoriteran Soekarno (Presiden

Republik Indonesia waktu itu), sidang Majelis Konstituante pun dibubarkannya

lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Menurut hemat saya, Soekarno melakukan itu

karena takut dan tidak ikhlas bahwa Islam sebagai dasar negara, karena 90%

mulai terlihat. Akan tetapi, Soekarno tetap ingin mempertahankan hasil produk

pemikiran sekuler itu, yaitu Pancasila. Dan ia ingin berkuasa secara absolut.

Perlu kita tegaskan bahwa, ajaran Islam tidak hanya berhubungan dengan Tuhan

(Hablumminannas) akan tetapi berhubungan juga dengan manusia

(Hablumminannas). Maka dari itu, Islam harus mencampuri dan tidak dapat

dipisahkan dari segala aspek. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan

dunia. Tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Islam tidak seperti

yang dikatakan oleh kaum-kaum sekuler. Maka dari itu, HMI yang berasaskan

Islam menginginkan bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia.

Apa tugas kita sebagai kader HMI zaman now? Sesuatu yang harus kita lakukan

adalah menuntut janji-janji Soekarno tersebut kepada Pemerintah Indonesia saat


ini. Islam harus menjadi dasar negara Indonesia. Islam jelas bahwa bukan produk

pemikiran sekuler. Dengan Islam sebagai dasar negara, maka dapat menjaga

seluruh ummat di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Mohammad Natsir,

Islam itu kalaupun besar tidak akan melanda. Kalaupun tinggi malah akan

melindungi.

Islam kita wujudkan sebagai dasar negara bukan semata-mata lantaran ummat

Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia. Alasan

bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia karena berdasarkan kepada

ajaran-ajaran Islam tentang ketatanegaraan dan sosial masyarakat mempunyai

sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat

menjamin hidup keragaman atas saling menghargai antar berbagai golongan

dalam negara. Dengan tegaknya Islam sebagai dasar dari segalanya atas

kenegaraan kita, kedamaian dan kenyamanan akan terpenuhi.

Jelas bahwa, tugas kader HMI dan kaum intelektual Muslim lainnya bukan hanya

untuk meningkatkan kualitas dirinya pribadi. Akan tetapi, seorang kader HMI

harus juga menjalan dan mewujudkan ajaran-ajaran agama Islam disegala aspek.

Tidak mencampur-adukkan antara yang haq dan yang bathil, apalagi

mengislamkan (Islamisasi) sesuatu yang bertentangan dengan Islam demi

mencapai tujuan pribadi. Dalam tugas sederhananya, Islam harus selalu hidup

dalam aktivitas kita sehari-hari, dan dalam skala besarnya harus menjadi dasar

negara agar dapat mewujudkan negeri yang baldatun toyyibatuh warabbun ghofur

bagai seluruh rakyat dan bangsa yang ada di Indonesia ini.[]


Tugas Intelektual Muda Muslim Zaman Now

Saat ini sungguh banyak kalangan muda Muslim yang bergabung di organisasi-

organisasi berbasis agama Islam. Ada di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),

Himpunan Mahasiswa Al-Wasliyah (HIMMAH), dan ada gabungan dari berbagai

organisasi yang disebutkan tadi, yaitu Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

Muda (ICMI Muda).

Semuanya berasal dari kaum intelektual muda yang sedang bergelut dalam dunia

ilmu pengetahuan dan berjuang untuk agamanya. Akan tetapi, hari ini umat Islam

tidak merasakan akan peran dan perjuangannya. Jika ada pun, ia tidak lebih dari

gerakan reaksioner, gerakan mengikut, dan gerakan yang bukan diinisiatori oleh

kelompok-kelompok intelektual ini.

Terkadang diberbagai daerah di Indonesia ini, kita sering menemukan sesama

organisasi tersebut saling menghujat. Kalau beda pendapat, ya itu wajar sekali.

Yang jelas tujuannya tetap masih kepada arah Islam. dan yang lebih mirisnya lagi,

kader-kadernya lebih memfokuskan dirinya pada politik praktis.

Sebagai intelektual muda Muslim yang bergabung di berbagai organisasi

mahasiswa Islam, tugas kita hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam

sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan

maupun masyarakat.
Mengapa demikian, mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran?

Karena, hari ini banyak mahasiswa Muslim yang hanya menganggap Islam hanya

sekedar agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan saja. Padahal, ajaran

Islam sangat begitu sempurna dan mengatur segala hal tanpa terkecuali. Ada

mahasiswa Muslim, tapi ia secara sadar dan tidak sadar berperilaku seperti kaum-

kaum kapitalis dan komunis.

Nah, sekarang bagaimanakah cara kita mempelajari dan memahami Islam sebagai

aliran pemikiran kita? Menurut Ali Syari’ati (terlepas dia orang Syi’ah, sebagai

mahasiswa Muslim kita harus obyektif mengambil suatu kebenaran) cara-cara

mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran, yaitu:

Pertama, seorang intelektual Muslim harus mengenal Allah, dan

membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Kedua, mempelajari

dan memahami kitab Al-Qur’an, dan kemudian membandingkannya dengan kitab-

kitab samawi dan juga kitab-kitab agama lainnya. Ketiga, mempelajari

keperibadian Muhammad Rasulullah SAW. dan membandingkannya dengan

tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Keempat,

mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan mereka dengan

tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.

Menurut saya, tugas itu harus perlu kita tambahi di mana intelektual muda

Muslim hidup di Abad Informasi, yaitu dapat memanfaatkan perkembangan

teknologi saat ini untuk dakwah Islam, menyebarkan aliran-aliran pemikiran

Islam, dan tidak terpengaruh hal-hal buruk dari teknologi informasi. Untuk
memahami dan memanfaatkan sebaik-baiknya teknologi informasi tidak harus

menjadi seorang ahli tekhnologi. Jika boleh meminjam kata-kata Ziauddin Sardar,

kita cukup membuat pertimbangan-pertimbangan saat menggunakan alat-alat

teknologi informasi, menimbang-nimbang baik dan buruknya. Apabila lebih

memudaratkan dan bukan menjadi kebutuhan, maka pantas untuk ditinggalkan.

Kita harus dapat mengontrol diri.

Sebagai intelektual muda Muslim zaman now, tentunya memikul amanah demi

masa depan umat manusia yang lebih baik. Seorang intelektual muda Muslim

harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya, dia

harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang

tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Seperti yang kita

sebutkan di atas tadi, Islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, maka setiap

intelektual muda Muslim bisa menemukan sudut pandangan yang paling tepat

sesuai dengan bidangnya.

Jika bidang studi yang kita minati tentang politik, maka kita harus menyusun

politik Islam berdasarkan Islam dengan mempergunakan terminologi yang berasal

dari Al-Qur’an, kepustakaan Islam, dan kepustakaan-kepustakaan yang tidak

bertentangan dengan ajaran Islam dalam segala aspek. Begitu juga dengan bidang-

bidang studi yang lainnya.

Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Dan tidak ada pula seseuatu yang menjadi

kebetulan. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “kejahatan yang terorganisir dapat

mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.” Maka untuk itu, gerakan yang
baik harus dimanajemen dengan baik, dan itu bagian dari tugas terbesar para

intelektual muda Islam saat ini.[]


Anak HMI Ataukah Aktivis HMI?

Usailah kiranya kita tereuforia dengan kebesaran sejarah HMI. Rasanya

membangga-banggakan HMI (menepuk dada sendiri) secara berlebihan membuat

kedangkalan rasio kita dalam hal menciptakan sesuatu yang baru. Rasanya HMI

tidak inovatif lagi, sumbangan ide pemikiran HMI saat ini tidak lagi dapat

menembus langit. Sejarah bukan semata-mata hanya untuk kita ceritakan dengan

menyeruput secangkir kopi dan dengan hisapan-hisapan tembakau. Seharusnya

prestasi sejarah HMI dahulu menjadi bahan evaluasi diri untuk konsolidasi

(penguatan) supaya kita sebagai manusia umumnya dan kader HMI khususnya

untuk lebih bijaksana lagi pada masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Jutaan jumlah alumni, Kader HMI dan sejarah HMI itu sendiri terkadang menjadi

objek pembicaraan yang telah membesarkan nama HMI. Ide-ide pemikiran kader

HMI sekarang terkadang tidak relevan dan membuat kontroversial. Gerakan-

gerakan HMI saat ini tidak jelas orientasinya, dan itu menjadi bangga-banggaan

kadernya sendiri dalam bahasa lainnya terlalu sering menepuk dada sendiri. Ada

yang menamakan ini dengan sebutan “dinamika”.

Menurut penulis, pendapat yang demikian kurang tepat mengatakan itu dinamika.

Seharusnya dinamika itu mempunyai konsep dan misi. Konsep dan misinya bukan

untuk kepentingan pribadi dan golongan. Dinamika HMI seharusnya sesuai

dengan azas, tujuan, usaha dan pedoman-pedoman lainnya, hal itu kita sebut

sebagai arah perjuangan kader HMI.


HMI dahulu begitu selektif dalam mengajak (rekrutmen) dan membina kader-

kadernya. Orientasinya bukanlah pada kuantitas semata, akan tetapi pada

pemenuhan kualitas insan cita. Maka dari itu landasan keimanannya dan

keilmuannya dapat duduk pada diri seorang kader atau anggota HMI (belum

kader) hingga menjadi alumni yang dapat direalisasikan dalam aplikasi kita

sebutkan sebagai amal shaleh.

Sungguh sangat disayangkan dengan keadaan HMI saat ini. Mengatasnamakan

organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua tapi tidak mencerminkan sebagai

contoh yang baik. Situasi lokal (HMI Cabang, Korkom, dan Komisariat) sampai

nasional (PB HMI) tidak jauh beda. Orientasinya hari ini cenderung kepada

pemenuhan kuantitas anggota, ketika orientasinya ke arah sana secara otomatis ini

menjadi orientasi politik, bukan lagi orientasi ilmu pengetahuan. Dari pencapaian

itu kita terasa dibingungkan mana “Anak HMI” dan “Aktivis HMI” menuju kader

HMI yang utuh (kaffah).

Anak HMI

Penamaan ini (Anak HMI) tidak jarang lagi kita dengar dalam kesehari-harian kita

sebagai kader dan anggota HMI, terkhususnya di lingkungan kampus. Penamaan

atau penyebutan “Anak HMI” adalah penyebutan nama yang ditujukan kepada

orang yang sudah masuk HMI. Perlu kita ingat penyebutan ini tidaklah

penyebutan formal. Bahasa ini sering digunakan oleh mereka yang kurang

mengerti tentang ke-HMI-an dan non-HMI.


Di dalam Anggaran Dasar HMI pasal 10 tentang keanggotaan disebutkan bahwa

keanggotaan HMI dibagi dalam tiga keanggotaan, yaitu Anggota Muda (setelah

Maperca), Anggota Biasa (sudah Basic) dan Anggota Kehormatan (diangkat

karena berjasa kepada HMI dengan ketentuan tersendiri). Dalam hal ini tidak ada

kita dengar penyebutan “Anak HMI”.

Selain kita berbicara tentang keanggotaan di tubuh HMI, kita sering juga

mendengar istilah kader (cadre). Apakah dan bagaimanakah sebetulnya kader itu?

Akankah layak “Anak HMI” dimasukkan ke dalam kategori kader? Sebelum kita

membahas kearah yang lebih jauh terlebih dahula kita bahas peristilahan atau

penyebutan “Anak HMI”.

Anak HMI yang kita maksudkan dalam diskusi kali ini adalah seorang mahasiswa

Islam yang masuk HMI (secara formalnya sudah Maperca). Seseorang tersebut

masuk HMI tidak jelas apa orientasinya (tujuan). Seseorang tersebut bergabung

bersama HMI karena beberapa faktor seperti, karena ingin terkenal (orientasinya

eksistensi) seperti kader-kader HMI lainnya, seseorang tersebut diajak oleh

pacarnya, ikut-ikutan saja, gaya-gayaan masuk organisasi, disuruh oleh seniornya

di kampus, ingin ikut menjadi panitia kegiatan di kampus karena kader-kader

HMI banyak menduduki posisi strategis organisasi kemahasiswaan intra kampus,

dan seseorang masuk karena faktor-faktor lainnya yang sifatnya ingin

menguntungkan pribadi secara pragmatis.

Anak HMI yang dimaksud di sini terus mengikuti pelatihan dari Masa Perkenalan

Calon Anggota (Maperca) sampai tranining selanjutnya. Anak HMI juga ada yang
hanya sampai pada status Anggota Biasa. Maksud kita lebih lanjut, Anak HMI

hanya aktif apabila ada kegiatan yang menguntungkan diri pribadinya. Landasan

perjuangannya tidak jelas, yang paling lucunya adalah ketika berbicara tentang

HMI kepada dibawah-bawahnya (juniornya) seolah-olah dialah yang paling

paham tentang HMI, padahal yang keluar dari pembicaraannya dusta. Seharusnya

landasannya harus jelas yaitu landasan atau azas HMI (Islam) dan orientasinya

untuk kepentingan umat.

Mereka terus mengaku sebagai “Anak HMI” sampai dia selesai bermahasiswa

atau sudah bekerja. Hal ini mereka lakukan demi mengamankan eksistensinya,

ditambah yang lebih mengherankan lagi mereka (baca: Anak HMI) yang masuk

(mengaku) setelah dia wisuda, ya...mungkin mereka ingin akrab dengan kader

HMI yang menjadi atasannya atau petnernya di dalam pekerjaan. Ini kita sebut

“AHG (Anak HMI Gede)”- mengaku-ngaku anak HMI. Selain dari pada itu,

karakter “Anak HMI” sering memburukkan sesama mereka, tidak akur, saling

jatuh menjatuhkan, terus berkata perjuangannya demi membangun HMI,

mamajukan HMI, akan tetapi pekerjaannya jauh dari harapan itu.

Aktivis HMI

Mohon kesabarannya, sebelum kita mendiskusikan sejatinya kader HMI (Kader

HMI yang kaffah), terlebih dahulu kita diskusikan apa dan bagaimana “Aktivis

HMI” itu ?

Kata aktivis ini menjadi sebutan atau panggilan kebanggaan mahasiswa atau juga

seseorang yang melakukan suatu gerekan. Kata ini sekaligus sangat disegani dan
dihormati. Tahukah kita sebelumnya, kata aktivis ini dahulu sangat dibenci di

Prancis. Dalam bukunya Jhon Burry “Kebebasan Berpikir” mengatakan “ dulu

aktivis mulanya dibenci dan dilarang, karena dianggap orang-orang yang bergerak

untuk menghancurkan negara/pemerintah atau raja (status quo) di Prancis”. Saat

ini aktivis mejadi kata terhormat (dahulu sebutan itu negatif) yang dijuluki kepada

seseorang.

Secara harfiah kata aktivis dalam kamus ilmiah populer yang disusun oleh

Burhani MS dan Hasbi Lawres mengatakan aktivis adalah orang yang aktif

menjadi anggota suatu organisasi (garis bawahi aktif menjadi anggota organisasi

bukan hanya aktif pada kegiatannya saja) dan penggerak suatu kegiatan organisasi

menuju tujuan murni organisasi. Dari pengertian ini aktivis adalah seseorang yang

anggota organisasi yang kegiatan-kegiatannya atau aktivitas-aktivitasnya

dilandaskan suatu orientasi ideologi organisasinya.

Seorang aktivis, di dalam dirinya sudah tertanam nilai-nilai perjuangannya, hal itu

untuk landasan berpijaknya di manapun dan kapanpun. Aktivis itu mempunyai

kekuatan dan penuh semangat optimis terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan

yang menjadi amanah organisasi atau lembaganya. Aktivis-aktivis ini menjadi

penggerak untuk kepentingan umat dan dilandasi ideologi yang diyakini secara

sadar, dan ini disebut Ali Syari’ati sebagai Rausyanfikr.

Seorang aktivis sudah mempunyai ideologi yang menjadi alat perjuangannya.

Suatu ideologi yang benar dan dapat mengarahkan kehidupannya pada kehidupan

yang baik. Seorang aktivis harus mempunyai paham, ide, atau keyakinan karena
dengan itu maka akan menentukan bentuk-bentuk watak sosialnya, watak itu akan

memberi warna kepada tindakan-tindakan dan tingkah laku hidupnya, yang

selanjtunya akan memberikan arah kepada jalan nasib. (Nurcholish Madjid, 2008:

273).

Begitu jualah dengan “Aktivis HMI”, seorang anggota HMI yang mempunyai

landasan berpikir, berpola sikap dan mempunyai paham atau keyakinan yang

benar. Aktivis HMI Ini tidak pandang apakah dia Anggota Muda atau Anggota

Biasa HMI. Aktivis HMI dalam perspektif kita ini adalah seseorang yang

mencurahkan atau tepatnya mengabdikan dirinya di HMI untuk perbaikan dan

pembelaan umat yang tertindas (Mustadha’afin) dari para kaum penindas

(Mustakbirin) yang angkuh dan sombong.

Mereka mengabdikan dirinya karena HMI berasaskan Islam (pasal 3 AD HMI),

dengan tujuannya yang mulia dan menjadi arah perjuangan (pasal 4 AD HMI),

usahanya yang relevan hingga saat ini (pasal 5 AD HMI), sifatnya yang tidak

memihak kepada siapapun kecuali kepada kebenaran (pasal 6 AD HMI), HMI

mengabdi dengan kegigihannya kepada umat.

Dalam kesehari-hariannya, segala langkah-langkahnya dicurahkan kepada

perjuangan HMI, karena HMI berperan menjadi organisasi perjuangan (pasal 9

AD HMI). 24 jam waktu sehari semalam penuh dengan HMI baik secara

pembicaraannya (berdiskusi atau memperkuat teori) maupun secara prakteknya

(misalnya, kuliah sebagai aplikasi insan akademis dan yang lainnya). Dengan

HMI, dia meningkatkan kecintaannya kepada Pencipta alam semesta, Allah SWT.
dan juga cinta kepada umat yang akan dibela (kaum mustadha’afin) bukan

membela kaum elit yang berkuasa yang menindas (kaum mustakbirin) walaupun

dia dari kalangan HMI dulunya. Dengan sering kita dengar HMI adalah anak

kandung umat bukan anak kandung pejabat.

Dari “Aktivis HMI” inilah yang akan membawa nama baik organisasi Himpunan.

Dengan hati dan pikirannya yang bersih, orientasinya yang jauh kedepan

(visioner) untuk pembelaan kaum tertindas, dengan penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi oleh aktivis HMI, maka HMI menjadi organisasi yang terorganisir

dan organisasi yang dinamis bukan organisasi yang statis dan primordial. Maka

dari itu juga, setiap tahunnya harus ada evaluasi dan pergantian regenarasi

(kepengurusan disetiap tingkatan, baik per satu tahun dan per dua tahun masa

jabatan) untuk menyegarkan kembali kebekuan-kebekuan yang datang dari

kepentingan atau doktrin-doktrin yang berasal dari dalam ataupun dari luar

organisasi.

Tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno bahwa organisasi

HMI adalah tempat ditempahnya kader-kader bangsa. HMI adalah dapur-dapur

intelektual Indonesia. Realita apa yang dikatakan oleh Franz tadi, hal itu dapat

kita lihat kader-kader HMI yang sudah berproses di HMI dahulu (sekarang sudah

menjadi alumni HMI) banyak menempati posisi strategis di segala bidang aspek

masyarakat Indonesia. Akan tetapi bagi yang tidak setia dengan perjuangan HMI

akan mengalama spilit personaliti atau kehilangan kendali sehingga tindakannya

tidak mencerminkan kader HMI lagi. Mereka yang konsisten pada perjuangan
HMI, dan di dadanya masih ada HMI. Tanpa panggilan HMI pun dia akan

bergerak untuk umat.

Kader HMI Yang Kaffah

Sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya, kita akan mendiskusikan tentang apa

dan bagaimana itu kader HMI. Setelah kita membahas peristilahan sehari-hari

tentang “Anak HMI” dan “Aktivis HMI” timbulah suatu pertanyaan dalam

pembicaraan kita kesempatan ini, yaitu diantara peristilahan atau penyebutan

untuk Anggota HMI di atas, yang manakah kita sebut sebagai Kadar HMI

yang kaffah “Anak HMI” ataukah “Aktivis HMI” ataukah kedua-duanya dapat

kita sebut kader?

Jikalau kita bahas defenisi kader (cadre), di dalam konstitusi HMI (pada pedoman

perkaderan), di sana disebutkan bahwa kader adalah sekelompok orang yang

terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi

kelompok yang lebih besar. Sedangkan pengertian Kader HMI secara khusunya

disebutkan adalah anggota HMI yang telah melalaui proses perkaderan sehingga

menilik ciri kader memiliki integritas kepribadian yang utuh, beriman, berilmu

dan beramal shaleh sehingga siap mengemban tugas dan agamanah kehidupan

beragama, bermasyrakat, berbangsa dan bernegara. HMI yang menjadi organisasi

kader diperkuat dalam AD HMI pasal 8.

Pengertian di atas tidak dapat digangu gugat lagi, kader organisasi manapun harus

menjadi tulang punggung organisasinya, jikalau tidak maka robohlah bangunan

organisasi tersebut. Hal ini dapat kita analogikan misalnya dengan seorang
mahkluk hidup, katakanlah dia manusia (sebagai mahkluk dan khalifah di muka

bumi). Apabila dia tidak mempunyai tulang punggung pastilah dia lemah dan

tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya sebagai manusia lagi.

Secara landasan filosofisnya, kader ini adalah kaum-kaum yang sudah terlatih dan

sudah tercandradimukakan, sudah tertempah dan juga mempunyai landasan

perjuangan, mempunyai landasan pemikiran atau landasan keyakinan yang tidak

mudah goyah. Dia mempunyai mentalitas dan semangat atau motivasi yang kuat

untuk melakukan sesuatu yang benar. Dengan singkat mempunyai landasan

keimanan, keilmuan yang direalisasikan dengan amal shaleh.

Lahirnya kader HMI bukanlah dengan proses yang mudah, instan dan tanpa

konsepsi yang matang. Lahirnya kader HMI yang meningkatkan kualitas dirinya

membutuhkan proses yang terus menerus, baik di dalam training-training formal

HMI (kita sebut sebagai perkaderan) dan informal, seperti up-grading, follow up

atau pelatihan-pelatihan kepemimpinan, kewirausahaan dan pelatihan-pelatihan

informal lainnya. Akan tetapi di dalam konstitusi anggota HMI yang sudah Basic

Training (Latihan Kader I) lah yang dapat dikatan sebagai kader. Penulis sepakat

dengan hal tersebut tapi tidak sepenuhnya (secara pikiran bebas), menurut penulis

anggota HMI yang tidak keluar dari sanapun (hanya mengikuti Maperca) jikalau

menyadari pentingnya perjuangan membela kaum tertindas dia adalah kader HMI.

Sebagai kader HMI, dia harus mampu bersikap objektif, dinamis, dan inovatif.

Artinya perbedaan atau bahkan benturan pandangan yang terjadi harus dipahami

sebagai dinamika perubahan dan harus ditanggapi dengan memberikan solusi-


solusi untuk mengisi perubahan-perubahan dan layaklah kader HMI

mengawalnya. Mari kita lihat kembali sejarah di masa pemerintahan Orde Lama

dan Orde Baru. Kader-kader HMI mengisi pembangunan bangsa dan negara

Indonesia baik secara ide pemikiran maupun sumbangsih tenaga, pembinaan

menuju sumber daya manusia yang berkualitas iman dan ilmu, hal ini sebagai

bentuk pengabdian amal shaleh.

Sangat kita sayangkan saat ini, “Anak HMI” lebih mendominasi di tubuh HMI

dari pada “Aktivis HMI”. Dari jumlah mayoritas ini sangat mempengaruhi kondisi

kader dan himpunan, sehingga ciri khas HMI yang terus meningkatkan tradisi

intelektual semakin terkikis. Tidak bisa kita pungkiri mari kita sadari bersama

sebagai yang merasa “Anak HMI” atau “Aktivis HMI” di lingkungan HMI (dari

Komisariat hingga sampai ke PB HMI) jarang dilakukan-diskusi rutin atau

kegiatan-kegiatan tradisi intelektual lainnya yang dilakukan secara rutin.

Tradisi intelektual HMI untuk peningkatan kualitas kader mengalami proses

pemiskinan menuju pemikiran satu arah, yaitu political oriented. Komunitas

epistemik atau kelompok diskusi-diskusi di masjid atau di luar masjid yang

melahirkan banyak intelektual-intelektual seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Deliar

Noer, Dawam Rahardjo, dan yang lainnya, tradisi itu sudah mulai hilang karena

digerus oleh komunitas-komunitas politik praktis di HMI.

Saat ini, jarang sekali ditemukan kelompok-kelompok diskusi yang dipelopori

anggota-anggota HMI, adapun tidak sebanding dengan jumlah anggota yang

keluar pertahun dari forum Basic Training atau training yang lebih tinggi, seperti
yang kita sebutkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Kondisi ini tentu

menyedihkan ketika dihadapkan bersamaan dengan lemahnya terobosan

pemikiran Islam yang kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang

modern. (Abu Yazid Bustami, 2014: 108).

Dari “Aktivis HMI” yang sebagai kader HMI sejati, harus mempunyai pemikiran

yang plural, cerdas dan strategis dengan mengakomodir semua keragaman

pemikiran menjadi satu cita-cita dan misi. Pengalaman pahit HMI di masa lalu

(pada tahun 1986) kiranya sudah cukuplah. Kita tidak ingin lebih lagi dari itu,

dahulunya pisah menjadi dua, yang kita takutkan dengan menipisnya kualitas

kader, HMI akan hilang. Adapun dia seperti mati suri. Seperti apa yang dikatakan

Alm. Agussalim Sitompul-Sejarawan HMI yang banyak menulis buku-buku

tentang HMI.

Solusinya adalah pengkaderan yang sebagai ujung tombak atau poros organisasi

kita ini harus dimanajemen sebaik-baiknya sesuai dengan tuntuan-tuntutan

kebutuhan masa sekarang dan yang akan datang. HMI harus lebih selektif dalam

menerima calon-calon kader. Maksudnya adalah betul-betul memimilih mereka

yang mempunyai kualitas diri yang baik, yang pencariannya sesuai dengan

metode yang dibutuhkan. Calon kader jangan dipilih karena kedekatan

pengurusnya atau kedekatan senior-senior di HMI dan bukan juga karena fakor

iba dan juga faktor-faktor lainnya yang tidak objektif.

Jelas kiranya ini semua tugas dari Aktivis HMI yang masih ada di dalam

kepengurusan sebagai refresentatif aktivis-aktivis HMI lainnya. Dan di luar


kepengurusan tetap harus menjalankan peran, fungsi dan tanggung jawabnya

sebagai aktivis HMI. Tugas ini sungguh sangat berat dibandingkan tugas anak

HMI. Seharusnya “Anak HMI” janganlah membuat malu HMI dengan sering

mengatasnamakan HMI untuk kepentingan pribadi, cukuplah tugasmu menjaga

nama baik HMI.

Dapat kita tarik kesimpulan atau pelajaran dari pembahasan kita di atas bahwa

kita harus dapat membedakan “Anak HMI” dan “Aktivis HMI” dan siapakah yang

menjadi Kader HMI yang kaffah? Penulis singgung kembali, dalam hal ini kader

secara formal dan kader HMI sejati yang lahir dari proses pelatih formal dan

informal.

Kader HMI formal lahir dari pelatihan-pelatihan formal HMI, dan anggota ini

masih rentan menjadi “Anak HMI”, dia masih sesuai dengan musiman. Ya...dapat

kita katakan “Anak HMI Musiman” dan menurut penulis ini menjadi penambah

44 indikator kemunduran HMI yang di cetusknan Alm. Agussalim Sitompul

menjadi 45 Indikator Kemunduran HMI. Boleh juga kita katan mereka adalah

kader musiman atau kader buah.

Kader HMI sejati (kaffah) sudah panjang lebar kita jelaskan di atas, tinggal kita

bagaimana memahaminya. Kader ini lahir dari pelatihan formal dan informal,

yang penting di dalam dirinya adalah HMI, dan mengabdikan dirinya, ide

pemikirannya dan tenaganya untuk umat, kaum yang tertindas bukan kepada

kaum-kaum elit yang hari ini banyak menanam saham kepentingan di tubuh HMI

sendiri.
Kader HMI sejati ini dihasilkan dari proses dan pelatihan yang luar biasa.

Pelatihan yang objektif dan selektif. Menanamkan pada dirinya nilai-nilai

keimanan, keilmuan sebagai fitrahnya manusia yang direalisasikan dengan

perbuatan yang kita namakan dengan perbuatan amal shaleh.

Ini menjadi tugas kita bersama yang masih tetap berdiri dibarisan perjuangan HMI

dan dibarisan meningkatkan tradisi-tradisi intelektual dan juga menamkan nilai-

nilai keislaman dan keindonesiaan pada diriki yang menjadi kader umat dan kader

bangsa, yang menjadi anak kandung umat bukan anak kandung pejabat.[]
Kita Harus Tetap Semangat Ber-HMI

Saya tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah Warga Insan Cita (Anggota dan

Alumni HMI) yang merasa fesimis dan “emosi” melihat keadaan HMI saat ini,

baik kader-kadernya hingga organisasinya. Akan tetapi hal itu dapat kita temukan

dalam beberapa otokritikan yang datang dari berbagai warga insan cita.

Banyak di antara warga insan cita mengeluh dan menyesalkan akibat memudarnya

kualitas intelektual kader-kader HMI saat ini. Dalam era politik transaksional di

negara Indonesia saat ini, menjadi ancaman bagi independensi di HMI, baik

secara individual kader dan organisasional. Kedekatan HMI dengan para pejabat-

pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, hampir tak berbatas lagi.

Sedangkan kedekatan dengan umat semakin menjauh, seolah-olah terlihat sekat-

sekat pemisah.

Belum lagi kita berbicara, banyaknya terjadi firqoh-firqoh di HMI. Sehingga

membuat ukhuwah (persatuan dan persaudaraan) sesama warga insan cita semakin

menipis. Dan juga budaya kultural HMI untuk meningkatkan kualitas warga insan

cita semakin memudar, bahkan hampir hilang. Hal itu dapat dibuktikan dengan

kegiatan-kegiatan yang dilakukan, hanya tinggal ceremonial belaka. Hilangnya

budaya-budaya kultural tersebut, maka mengakibatkan praktek-praktek budaya

struktural semakin menguat, sehingga tidak terfokus pada pembinaan dan

pembangunan kualitas diri.

Saya melihat, lumayan banyak kader-kader HMI meninggalkan HMI karena

melihat lingkungan HMI tidak lagi mencerminkan aktivitas-aktivitas intelektual


dan religius. Yang awalnya ia bersemangat ber-HMI, kemudian karena melihat

lingkungan yang dinamikanya tidak konstruktif, ia pun beralih kepada lembaga-

lembaga lain, atau memilih “menyendiri”. Walaupun itu bukan menjadi pilihan,

tapi itu sudah terjadi.

Sekali lagi, meninggalkan HMI karena lingkungan tersebut tidaklah boleh

menjadi pilihan. Kita mesti terus bersemangat ber-HMI. Semangat ber-HMI

bukan harus mendapatkan jabatan strategis di HMI. Semangat ber-HMI adalah

bagaimana kita bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang membangun di HMI. Kita

harus semangat, walau hari ini musuh terbesar kita ada dalam rumah kita sendri.

Semangat ber-HMI itu tidak mengharapkan apa-apa kecuali ridho dari Allah Swt.

HMI, sebagai organisasi kemahasiswaan yang diisi oleh mahasiswa Islam (kaum

intelektual muda Islam), tetaplah fokus pada tujuan HMI dan fokus meningkatkan

kualitas iman dan ilmu pengetahuan. Walau tidak mendapat atau tidak

ditempatkan dalam struktural HMI yang strategis, tidak ada larangan untuk

mewujudkan apa yang dicita-citakan HMI.

Dalam Al-Qur’an ada disebutkan bahwa, Allah Swt. tidak melihat hambanya dari

golongan mana, jabatannya apa, status sosialnya bagaimana, kaya atau miskin.

Tapi Allah melihat hambanya dari ketakwaan pada-Nya. Dalam sabda Rasulullah

Saw. menyabutkan bahwa manusia yang baik itu, bukan manusia yang

mempunyai harta dan jabatan yang tinggi. Tapi, manusia yang baik itu adalah

manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu apa jabatan kita di HMI,
yang penting adalah bagaimana kita terus mengerjakan hal-hal baik di HMI

dengan ikhlas demi mengharap ridho dari Allah Swt.

Tetaplah bangga menjadi warga insan cita. Dan tetaplah semangat ber-HMI dalam

rangka mengharap ridho dari Allah Swt. Di HMI kita harus terus meningkatkan

keimanan dan ketakwaan kita. Meningkatkan kualitas keilmuan kita. Dan

jadikanlah HMI sebagai wadah untuk terus berbuat kebaikan-kebaikan (amal

sholeh) kepada seluruh umat. Yakinlah bahwa usaha-usaha HMI itu akan

sampai.[]
Sumber Tulisan

1. Secangkir Kopi Tentang Semangat Ber-HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 28

Desember 2017.

2. Tiga Pilar Pemikiran HMI, diterbitkan diterbitkan Yakusa Blog, 5 April 2017.

3. Lima Konsep Pemahaman Dasar Ber-HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 18

Oktober 2017.

4. Tantangan Berat HMI Di Awal Kelahirannya, diterbitkan Yakusa Blog, 25

November 2017.

5. HMI Rumah Kaum Intelektual Muda Islam, diterbitkan Yakusa Blog, 3 Mei

2017.

6. Menjaga Dan Merawat Independensi HMI, diterbitkan Medanheadlines.com,

20 Maret 2017.

7. Menulis; Tradisi HMI Yang Mulai Hilang, diterbitkan Yakusa Blog, 9 Juni

2017.

8. Hakikat Menjadi Seorang Kader HMI, diterbitkan Mudanews.com, 21

September 2017.

9. HMI Kehilangan Ruh, diterbitkan Yakusa Blog, 12 September 2017.

10. Jangan Bunuh HMI, diterbitkan Yakusa Blog,11 Juni 2017.

11. Anggota HMI Harus Utamakan Akhlak Dalam Berorganisasi, diterbitkan

Yakusa Blog, 1 November 2017.


12. HMI; Anak Kandung Ummat atau Anak Kandung Pejabat?, Diterbitkan

Yakusa Blog, 17 Oktober 2017.

13. HMI Organisasi Liberal, Benarkah?, Diterbitkan Yakusa Blog, 30 Agustus

2017.

14. HMI-Wati Sosok Perempuan Ideal, diterbitkan PBHMI.or.id, 24 Mei 2016.

15. Kader-Kader HMI Yang Sedang Kronis, diterbitkan Yakusa Blog, 23 Mei

2017.

16. Berlakunya Seleksi Alam Di HMI, Benarkah?, diterbitkan Yakusa Blog, 8 Juni

2017.

17. Di HMI Saya Memilih Jalan Sunyi, diterbitkan Yakusa Blog, 13 April 2017.

18. BPL HMI Sebagai Benteng Pertahanan HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 26

Oktober 2017.

19. Kader Harus Taat Pada Konstitusi HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 17 Oktober

2017.

20. Kepada Siapa Kader HMI Menghamba?, diterbitkan Yakusa Blog, 26 Mei

2017.

21. Orang-Orang Munafik Di Rumah Kita, diterbitkan Yakusa Blog, 14

September 2017.

22. Kalau Di HMI Mau Cari Uang, Lebih Baik Jadi Driver Go-Jek, diterbitkan

Yakusa Blog, 31 Oktober 2017.

23. Ketika Perkaderan HMI Menjadi Slogan Belaka, diterbitkan Yakusa Blog, 14

Mei 2017.
24. Syarat-Syarat HMI Sebagai Organisasi Kader, diterbitkan Yakusa Blog, 31

Oktober 2017.

25. Organisasi Perkaderan Harus Dipimpin Yang Paham Perkaderan, Yakusa

Blog, 5 April 2017.

26. Pertarungan Tolol Kader-Kader HMI Saat Ini, diterbitkan Yakusa Blog, 31

Oktober 2017.

27. Andai Aku Ketua Umum PB HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 11 September

2017.

28. Aktivis HMI-Wati Yang Mencintai Perkaderan HMI, diterbitkan Yakusa Blog,

15 Mei 2017.

29. Pola Rekrutmen Kader Dengan Konsep Al-Fatihah, diterbitkan Yakusa Blog,

2 Juni 2017.

30. Tafsir Mukaddimah AD HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 17 Oktober 2017.

31. Tugas Komisariat Dalam Konteks Sistem Perkaderan HMI, diterbitkan

Yakusa Blog, 21 Oktober 2017.

32. Secangkir Kopi Tentang Komunisme, diterbitkan Yakusa Blog, 26 Desember

2017.

33. Jangan Menjadi Kader Semangka, diterbitkan Yakusa Blog, 4 Desember 2017.

34. Menjaga Kader HMI Dari Paham Sesat, diterbitkan Yakusa Blog, 15 Oktober

2017.

35. Bukan Sekedar Ber-HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 23 Oktober 2017.

36. Menikmati Secangkir Kopi NDP HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 17 April

2017.
37. NDP HMI vs LML, diterbitkan Yakusa Blog, 20 Desember 2017.

38. Secangkir Kopi Tentang HMI Zaman Now, diterbitkan Yakusa Blog, 27

Desember 2017.

39. Secangkir Kopi Tentang Anak HMI Yang “LGBT”, diterbitkan Yakusa Blog,

30 Desember 2017.

40. Merawat Kunci Kekuatan HMI, diterbitkan Mudanews.com, 20 September

2017.

41. HMI Menuntut Agar Islam Sebagai Dasar Negara, diterbitkan Yakusa Blog,

17 September 2017.

42. Tugas Intelektual Muda Muslim Zaman Now, diterbitkan Yakusa Blog, 25

Desember 2017.

43. Anak HMIAtaukahAktivis HMI?, diterbitkan Yakusa Blog, 2 Januari 2018.

44. Kita Harus Tetap Semangat Ber-HMI, diterbitkan Yakusa Blog, 16 November

2017.
Profil Penulis

Ibnu Arsib, demikian nama yang sering ia

perkenalkan kepada kader-kader HMI. Nama itu

merupakan nama penanya dan ia lebih merasa akrab

dipanggil dengan nama tersebut. Semenjak mulai

kuliah di UISU ia aktif di organisasi intrakampus

dan ekstra kampus (HMI).

Akhir tahun 2011 ia mengikuti Latihan Kader I

(Basic Training) di HMI Cabang Medan, kemudian

LK II (Intermediate Traning) di HMI Cabang

Bandung bulan September 2015. Selanjutnya

mengikuti Senior Course (SC) tahun 2016.

Semenjak dinyatakan lulus SC hingga saat ini, ia

aktif sebagai Instruktur HMI di HMI Cabang

Medan.

Pengalaman jabatannya di HMI belum terlalu jauh. Dia pernah menjadi Ketua

Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP) kemudian

menjadi Pj. Ketua Umum di HMI Komisariat UISU (Komisariat tertua di HMI

Cabang Medan) periode 2014-2015. Di HMI Cabang Medan, ia masuk Pengurus

HMI Cabang Medan (Presedium) periode 2015-2016.

Dunia tulis menulis, membaca, dan berdiskusi adalah rutinitasnya sehari-hari. Di

Medan, selain sibuk mengelola training-training di HMI, ia juga membentuk


kelompok-kelompok diskusi baik di lingkungan kampusnya, HMI dan luar HMI.

Dia juga aktif menulis diberbagai media online. Demikianlah dia apa adanya.

Sebagai seorang manusia tentu sangat banyak kekurangannya.

Penulis dapat diajak berdiskusi lewat emailnya: ibnuarsib@gmail.com akun fb-

nya: Ibnu Arsib, No. Hp: 085261599352 dan Ig: @ibnu_arsib.

Anda mungkin juga menyukai