“Tentu, surat kabar yang mengagungkan kemurnian idea, belum membelit dan dibeliti kepentingan
pribadi.”
Untuk:
Jurnalis-jurnalis mahasiswa
Entah telah berapa banyak orang, tempat, kejadian, alasan, dan pemikiran yang telah
saya temui selama berkecimpung menjadi jurnalis mahasiswa—khususnya di LPM Arena.
Saya masuk sejak semester satu (2013), dan aktif di ARENA hingga pertengahan semester
sepuluh. Hampir lima tahun di ARENA dan merasakan pergantian kepengurusan hingga
empat kali. Jika menjadi anggota ARENA lebih lama dari itu, mungkin saya akan terus-
terusan. Namun, satu-satu akan pergi juga, regenerasi akan selalu terjadi demi sehatnya
organisasi.
Nyaris sebagian besar waktu hidup saya di Jogja saya persembahkan semuanya
dengan tulus untuk ARENA. Bagi saya ARENA adalah kesenangan yang tak henti-hentinya
saya syukuri seumur hidup. ARENA bagi saya lebih dari sebuah rumah di mana saya
mengalami revolusi besar-besaran terkait bagaimana saya memandang dan menjalani hidup.
Di ARENA saya belajar apa pun. Bahkan saya lebih merasa jika kuliah saya yang sebenarnya
adalah di ARENA daripada di kelas.
Atau sudah terlalu sering juga pengurus ditanyai: kenapa ARENA hanya membuat
berita dan tulisan yang negatif-negatif saja? Yang jelek-jelek saja? Saya hanya ingin
menggarisbawahi bahwa: kami bukan menulis hal-hal negatif atau yang jelek-jelek, kami di
kenyataan hanya melihat sesuatu yang tidak benar dan tidak sesuai; lalu kami melakukan
kritik atas itu. Tugas kami memantau dan mengabarkan ketimpangan yang terjadi antara apa
yang senyatanya dengan apa yang seharusnya—bukan menjelek-jelekkan.
Nafas kami adalah nafas progresif, konstruktif, dan alternatif. Kami idealis,
independen, dan terbelit kepentingan. Bagi saya, itu adalah nafas utama persma.
***
Saya tak tahu dengan pasti, untuk apa saya membuat buku kumpulan berita ini. Ada
beberapa kegelisahan pribadi yang saya rasakan ketika bergelut di persma. Pertama, semakin
sedikit anggota persma yang hanya sekedar “mencantumkan nama” dalam organisasi. Kerja
utama persma yaitu “menulis” (meski sesederhana apa pun) mulai ditinggalkan. Sebulan
sekali menulis tulisan satu saja masih bisa dibilang mending. Bahkan ada yang tak berkarya
sama sekali. Apakah itu laku yang tepat sebagai anggota persma? Kedua, tanpa tulisan rutin
yang dihadirkan para jurnalis pers mahasiswa, saya khawatir persma hanya sekedar menjadi
1
Tapi jangan mengacuhkan kami seperti tidak menggubris kami dengan tidak memberi waktu wawancara.
Padahal aktor kampus tersebut menjadi ring satu isu yang ditulis.
Setelah saya hitung-hitung, berita saya di web lpmarena.com yang saya kumpulkan
dalam antologi ini lebih banyak meliput di luar kampus daripada yang di dalam kampus.
Hanya sekitar 1/10 saja dari jumlah tulisan saya yang meliput kampus. Itu pun bukan berita
yang mendalam. Hanya tulisan-tulisan di SLiLiT yang murni secara lebih panjang membahas
soal kampus—dan jumlahnya hanya empat liputan. Itu kenapa antologi ini saya namai
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma. Sebab isinya memang kebanyakan liputan-
liputan sederhana, biasa, bisa jadi retjeh—yang semua anggota pers mahasiswa saya pikir
bisa membuatnya, tapi meliput kesederhanaan ini membuat saya senang/gembira.
Belakangan saya menyesal. Kenapa saya lebih banyak menulis hal di luar kampus?
Kenapa seabai ini dengan kampus sendiri? Padahal tugas pers mahasiswa adalah pers yang
menjadi pengingat bagi kampusnya sendiri. Isu kampus tak pernah akan selesai digali.
Apalagi setiap hari manusia berkembang, kampus juga berkembang, setiap tahun ajaran
memiliki kisah sendiri. Satu-satunya majikan pers mahasiswa adalah publik kampus. Masalah
dan dinamika kampus adalah jantung pers mahasiswa. Kampus adalah poros.
Pergeseran perspektif juga, seolah ada trend “liputan di luar” (apalagi liputan konflik)
lebih punya bobot, daripada meliput “yang di dalam”. Saya pribadi, kampus berperan sebagai
isu primer. Lalu ada isu sekunder semisal isu-isu genting kerakyatan, semisal penggusuran di
Kulon Progo, kasus proyek bandara NYIA, atau kasus agraria. Baru terakhir yang paling
sunnah sebagai isu tersier adalah yang ringan-ringan. Semisal bedah buku, pameran, atau
peristiwa-peristiwa yang sifatnya selingan.
***
Dari pengalaman liputan dan bertemu dengan banyak subjek di kampuslah saya
tumbuh dan melaju lebih cepat. Aktor-aktor kampus telah mengajari saya pelajaran-pelajaran
bagaimana menjadi seorang jurnalis persma. Saya ingin merangkum beberapa pelajaran
menjadi seorang jurnalis selama saya bergelut dalam dunia pers mahasiswa kampus:
Pelajaran pertama: Jurnalis itu jadi peneliti yang update kejadian setiap hari. Dulu
saya berpikir di media mainstream ada tuntutan menulis semisal 5-10 berita per hari. Setelah
berpikir lebih panjang, 5-10 kejadian itu tak ada seujung kuku fenomena dunia/Indonesia
yang terjadi. Saya harus ingat, dasar jurnalis adalah fakta (peneliti), bukan
etika/moral/idealita (penceramah).2 Journalist must be update in reality. Ingat pesan jurnalis
Amarta Loebis: hakikat jurnalis adalah menulis dan mengabadikan sejarah hari ini.
Pelajaran kedua: Melakukan liputan dan bertemu dengan narasumber jika tidak
benar-benar paham dengan isu yang diangkat sama saja dengan bunuh diri—yang datang
dengan kepala kosong dan tidak berbasis data. Jurnalis-jurnalis serampangan saja yang yang
melakukan hal seperti itu, yang melacurkan otaknya sedemikian rendah di depan narasumber.
2
Bedakan antara menjadi desainer dan tukang jahit. Antara jadi peneliti dan penceramah. Desainer dan peneliti
merdeka secara ide, tukang jahit dan penceramah hanya jadi budak ide. Tukang jahit dan penceramah sudah
begitu turah-turah di bumi ini.
Pelajaran ketiga: Baca itu mudah, murah, dan tinggal melakukan. Data-data
jurnalistik ada di mana-mana sekarang. Kita tinggal mencari dan membacanya. Apalagi
sekarang tinggal ketik dan klik.
Pelajaran keempat: Asyiknya liputan jika bertemu dengan seorang whistle blower
(seorang yang menceritakan secara blak-blakan akan suatu kejahatan pada isu tertentu). Di
sana kepentingan publik rasanya dipecundangi, tapi di sisi yang sama seorang whistle blower
tak ingin namanya ditampilkan, karena ada dampak-dampak tertentu secara personal.
Pelajaran keenam: Butuh usaha lebih. Terkait ini, ada seorang narasumber yang
bilang dalam WA-nya ke HP saya: “Kalau saya seharusnya Anda bisa dengan mudah ketemu
Pak X, seharian tadi dia di kampus, saya yang rapat di luar.” Dari pesan WA itu saya
berpikir, “harusnya kamu tuh lebih aktif dan usaha. Tak hanya sekedar mengandalkan HP.
Tapi langsung turun ke lapangan.”
“Mbak merekamnya?”
“Iya Pak.”
“Kenapa dilanggar?” saya hanya diam. “Anda tadi tidak bilang ke saya mau merekam.
Anda itu Pimred. Anda bisa saya tuntut.”
“Tadi saya ingin bilang mau merekam, tapi belum sempat bilang,” kata saya pasrah,
dalam hati saya mengaku salah, saya khilaf.
“Tadi ada pembicaraan yang penting, nyebut nama, dan saya bisa dipecat gara-gara
itu. Saya pernah kerja jadi wartawan. Harusnya tadi kalau saya bilang off the record,
rekamamannya di-pause dulu,” kata beliau. Sungguh teknik liputan yang tak pernah saya
dapatkan sebelumnya. Lalu Bapak yang saya hormati tersebut meminta saya menghapus
rekaman tersebut langsung di depan beliau. Saya tunjukkan rekamannya dan saya hapus. Lalu
saya pulang dan mengucapkan terima kasih. Sampai keluar ruangan, saya merasa ini
pelajaran berharga yang tak pernah saya dapatkan jika saya hanya duduk manis di ARENA.
Inti dari semuanya adalah baik atau buruk dari setiap pengalaman liputan itu berharga,
aset, dan investasi. Pelajaran di atas akan terus bertambah dan bertambah jika masih
mensetiai prosesi sebagai seorang jurnalis. Setiap langkah akan semakin dewasa dan berhati-
hati. Saya pernah menulis sebuah caption di IG: ”Saya sering merasa terpukul dan mengutuki
diri sendiri pada setiap berita-berita buruk dan berita-berita salah yang saya buat. Agak lama
merenungnya, sampai saya sadar di mana letak salahnya. Dari salah menangkap maksud
narasumber, salah ngutip, salah data, salah pengertian, tapi tak ada yang yang separah jika
salah konsep. Dari kritikkan berita anak SD, berita hello kitty, berita sampah, sampai saya
ngrasa ‘lu becus gak sih Is nulis berita!?’. Jatuh bangun terus, jatuh, jatuh bangun, bangun,
dan bangun.”
Saya sebenarnya malu ketika membaca tulisan-tulisan berita saya lagi. Sugguh. Saya
sering menghadirkan hal-hal yang tak konkret, yang terlalu wacanais, dan konsep-konsep
yang abstrak; bukan ciri dari jurnalisme yang baik seperti bisa dipanca-indra, sangat faktais,
dan lebih banyak kenyataan.
Saya sadar, tulisan-tulisan yang saya kumpulkan dalam antologi ini tidak semuanya
bermutu—toh saya mengumpulkan ini terutama untuk kegembiraan saya sendiri. Bagaimana
pun rupanya, ini adalah karya yang bisa saya pertanggungjawabkan. Saya hanya berharap
tulisan-tulisan di sini memiliki nilai guna juga; bagi siapa pun yang ingin membaca atau
belajar menulis berita. Semoga menginspirasi. Tabik.
"Petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok. Ingat pula kematian."
Persembahan.............................................................................................................................. 1
Mengantar… .............................................................................................................................. 2
Daftar Isi: ................................................................................................................................... 6
Ulik Fenomena Minor Musik dalam Masyarakat .................................................................... 12
Libertarianisme: Hilangkan Penghisapan ................................................................................ 15
Praktik Arsip Bukan Sekedar Memulung Dokumen ............................................................... 17
Mempertanyakan Ulang Seni Islam ......................................................................................... 19
Mengurai “Ibu Susu” dalam Proses Kreatif Rio Johan ............................................................ 21
Aguk, Memihak Daerah Perbatasan Lewat Novel ................................................................... 24
Mengkaji Jurnalisme Musik ..................................................................................................... 26
Seno: Hancurkan Berhala Kesuksesan..................................................................................... 28
Jumlah Sampah Lautan Indonesia Mengkhawatirkan ............................................................. 29
Festival Arsip Hadirkan Kuasa Ingatan ................................................................................... 31
RRI Bangkitkan Jiwa Nasionalisme Mahasiswa Lewat Konser Kebangsaan ......................... 33
Peringkat Rendah Jurnal Indonesia di Kancah Internasional .................................................. 34
Kualitas dan Susunan Kepengurusan LKS Tripartit DIY Rugikan Buruh .............................. 36
Selir Sulandri: Korban Feodal yang Bernasib Sendu .............................................................. 38
LP2M Rencanakan KKN Nusantara dan KKN Internasional.................................................. 40
Pesan Sutrisno Kepada KKN Angkatan 93 ............................................................................. 41
Tabir Gelap Kondisi Perburuhan di DIY ................................................................................. 43
Sanggar Nuun Memaknai Bandang ......................................................................................... 46
Noise On 2019: Kritik Terhadap Bangsa yang Sakit ............................................................... 48
50 Tahun GM Sudarta Kawal Indonesia Lewat Karikatur Oom Pasikom............................... 50
Isu Dalam dan Isu Luar Kampus Harusnya Seimbang Dikawal Persma ................................. 52
Netrajapu: Kolaborasi Seni Rupa Jawa – Papua ...................................................................... 54
Olah Rasa: Padukan Kritik Sosial dengan Cerita Sekitar Kita ................................................ 56
Pemerintah Tak Perhatikan Kesejahteraan Buruh Perempuan ................................................ 58
PAKYO Menyentil dan Melucukan Realitas Lewat Kartun.................................................... 60
Nobel Laureate: Sains untuk Perdamaian ................................................................................ 62
Menelisik Pola Laku Fans ........................................................................................................ 63
Perspektif Negara Sekuler Memandang Agama ...................................................................... 65
Berimajinasi dengan Lubang Jarum......................................................................................... 66
Lpmarena.com– Alunan gitar dari Deugalih mengawali peluncuran buku berjudul Lanskap:
Mosaik Musik dalam Masyarakat oleh Laras Studies of Music in Society.Lanskap merupakan
buku kedua yang terbit setelah buku pertama berjudul Ensemble. Peluncuran buku Lanskap
digelar di AOA Resto & Creative Space, Kamis (19/4).
Acara tersebut mendatangkan Raka Ibrahim selaku editor Jurnal Ruang dan Irfan R. Darajat
selaku editor buku Lanskap. Buku tersebut berisi sembilan tulisan, yang kata Irfan berawal
dari tema random, yang semua bisa ditulis, dan semua orang bisa mengikuti.
“Buku ini upaya menghadirkan amatan tentang fenomena musik di masyarakat yang belum
banyak dibicarakan. Dari sisi politis, sosiologis, antropologis. Kami buat lebih luas lagi
spektrumnya,” ujar Irfan.
Raka mulai membedah buku dengan kritik untuk para penulis musik. Ia mengatakan, penulis
musik kebanyakan mengulas musik sesuai seleranya sendiri dan menyebut dirinya kritikus.
Padahal, kegiatan itu bukan kegiatan kritikus, tapi kegiatan reviewer. Kedua, ketika membaca
suatu buku, semisal yang berkaitan dengan analisis kuasa pengetahuan dalam musik. Ambil
saja teori Foucault, orang tak berpikir bahwa dirinya “membaca”, tapi lebih kepada Foucault
siapa?
Bagi Raka, musik tidak berangkat dari ruang kosong. Ada kaitan yang begitu kompleks baik
dari asal-usul musik datang hingga pendanaannya. Namun saat ini, seringkali pembahasan
musik lebih mentok pada urusan selera, bukan bentuk, karena bentuk dianggap kurang
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 12
menantang. Ada yang membahas musik dari sisi akademis, tapi biasanya yang sering
menginisiasi datang dari luar negeri.
Raka mengatakan, di Lanskap banyak artikel yang “bikin ribut”. Persoalan yang diangkat
banyak; dari soal kontelasi musik Jalan Kaliurang yang ditulis oleh Rizky Sasono
(Summerbee & The Honeythief), hingga musik dangdut dari orang-orang pinggiran oleh
Micahel HB Raditya yang malam itu bertindak sebagai moderator.
Ada pula tulisan dari Ferdhi F. Putra yang membahas tentang Gerakan Metal Satu Jari
(GMSJ) yang mengatasnamakan Islam dan melawan apa yang dianggap pemurtadan.
Diceritakan Raka, di tulisan itu vokalisnya diambil dari rumah sakit, ketika ada festival musik
metal dan azan berkumandang, mereka berhenti dan melakukan solat bersama. Semangat
metal dipakai untuk melawan metal. Meski begitu, Raka menyayangkan tidak adanya
gerakan yang serius melawan Islam konservatif.
Ferdhi memberi komentar bahwa musik ideologis jarang mengakar. Sejak 90-an punk sudah
dikonsumsi dan terus mengalami radikalisasi. Bagaimana akulturasi punk tidak terjadi, yang
Ferdhi tulis mencoba membahas kemunculan Punk Muslim sebagai akulturasi musik. “Aku
melihat dari perspektif ruang yang imajiner,” ucap Ferdhi yang salah satu risetnya dilakukan
di Surabaya menemui penggerak anarkis Kolektif Bunga.
Tulisan tentang musik metal lainnya datang dari Wiman R. Darajat yang membahas tentang
musik metal di Banyumas. Ada sebuah band bernama Agnostica yang mendapat asupan
wacana metal dari majalah dan kaset; tidak didapat secara ideologis dari sumber aslinya
seperti teman-teman di Jakarta. Agnostica mulai bernyanyi dari segi spiritualitas. Anggota
mulai masuk ke pesantren dan membuat komunitas penjara suci underground comnunity.
Pesantren jadi kantong black metal.
“Yang penting teknik mereka dalam bernegosiasi dalam masyarakat dan mereka gak mau
dibilang black metal oriental, tapi Art Generation of Simphonic and Estetica. Keren banget,
njrit,” ulas Raka seraya tertawa.
Menyoal dua artikel tentang metal ini, Irfan menambahkan bahwa tulisan yang dihadirkan
dimulai dari fenomena dan persoalan, sehingga tidak sok-sok’an akademis. Ketika ada dua
tulisan yang bertema sama semisal musik metal, tulisan tersebut dihadirkan dengan perspektif
yang berbeda.
Ada beberapa artikel menarik lain yang diceritakan Irfan. Seperti tulisan Ragil yang berbicara
tentang fenomena pencantuman no thanks to di album-album, yang menyangga beban
ideologis tertentu.
“Sebenarnya itu bunyi sebagai apa? Ada juga yang no thanks too ke koruptor, penjahat,
manipulator, dan semua yang tak menghargai ide, dari album Netral. Itu ada, tapi (di
masyarakat-red) gak didekati secara serius,” tambah editor asal Purwokerto itu.
Relasi Kuasa
Munculnya media baru seperti MP3 hingga Spotify juga mempengaruhi musik dan
menjadikan struktur pengamatan kian kacau. Raka menjelaskan, penikmatan musik era
sekarang menjadi berbeda. Musik tak dibedakan berdasarkan aliran, tapi berdasarkan mood,
Di lain sisi, subkulutur tidak dimulai dari bawah. Sebab banyak fenomena yang justru
mendapat support dari pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki kuasa, relasi, dan modal.
Raka mencontohkan, Iwan Fals jadi apa kalau tidak ada Setiawan Djodi; Rhoma Irama apa
jadinya jika ia bukan orang kaya; dulu Koes Plus ditangkap bukan karena musiknya, tapi
karena main di acara polisi. Ada pula gerakan-gerakan punk kok wangi? Punk kok pakai
mobil?
Menyangkut relasi kuasa, Irfan menjelaskan bagaimana awal perkembangan musik yang
disebut “keren” ada di kalangan kelas menengah, yang notabene mendapat akses lebih baik.
Bahayanya, hal itu membentuk gengsi, kelas, dan selera. Ia mencontohkan kenapa Rhoma
Irama seolah punya hak otoritatif atas dangdut? Kenapa Chrisye bisa mengatakan ini musik
baik dan lainnya tidak? Persoalan mendasar bagi Irfan adalah lebih ke relasi kuasa yang tak
setara.
“Saya berpikir mereka yang punya selera lebih tinggi memiliki rezim di sana. Sedang
membangun rezim kekerenan. Ada praktik itu.”
Bagi Raka sendiri, hal ini tergantung siasat di semua level. Setiap level perlawanan ada
siasatnya. Semisal dangdut, di Jakarta orang membicarakan dangdut secara serius atau
tertawa sambil joget (mengolok-olok) itu hal berbeda. Ada praktik identifikasi pasar, yang
penting ada pertukaran ilmu dan ide. Titik pentingnya adalah bagaimana masyarakat
menyiasati struktur.
Di Dili, Timor Leste, ada kelompok yang menghidupkan musik dengan pola-pola
neighborhood. Ada tempat bersejarah bernama museum pembebasan Timor Leste yang
didirikan untuk mengenang Operasi Seroja. Namun, museum itu berubah fungsi menjadi
galeri dan tempat seni bernama Arte Moris (berarti seni yang hidup).
Melihat fenomena itu, Irfan menekankan pentingnya dialog antar praktik setiap elemen
ekosistem musik. Soal produksi pengetahuan itu yang penting. “Menurutku gak relevan pakai
cara berpikir seharusnya. Kenapa seharusnya begini? Ini jalan yang tepat, bagaimana
memaknai ulang,” ujar vokalis Jalan Pulang tersebut
Link: https://lpmarena.com/2018/04/20/ulik-fenomena-minor-musik-dalam-masyarakat/
Hal inilah yang disampaikan Nanang Sunandar, direktur Institut Demokrasi dan
Kesejahteraan Sosial (Indeks) dalam Diskusi Forum Libertarian Yogyakarta dengan tema
Manifesto Kebebasan: Penguatan Demokrasi Kesejahteraan Masyarakat.
Forum diskusi yang digelar oleh Indeks, Lekfis, dan Nalar Politik di Kafe Basa Basi, Minggu
(25/03) tersebut banyak membahas mengenai filsafat libertarian dan kaitannya dengan
demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Libertarian berasal dari kata “liberty” yang berarti kemerdekaan, juga kebebasan.
Libertarianisme merupakan paham filsafat bebas, dari kepemilikan seseorang kepada siapa
yang dipilih. “Orang yang sangat percaya kebebasan, dia akan sangat menghormati
kebebasan orang lain,” kata Nanang.
Di konteks global, di Eropa libertarian itu kiri, tapi di Amerika libertarian itu kanan. Meski
begitu, libertarian tidak seperti anarkisme yang tidak mempercayai negara, tapi libertarian
memerlukan negara untuk memastikan orang lain tak melanggar kebebasan orang lain.
Sebab, seperti terjadi di Eropa Timur, hanya orang-orang yang memilki akses saja yang bisa
mendapatkan hak ijin segala hal. Yang lain hanya menerima dampak.
Menurut Minrahadi Lubis, salah satu peserta diskusi mengatakan, wacana kebebasan bukan
hal baru. Di awal-awal, bebas identik dengan tuhan, lalu dengan alam. Namun menurut tokoh
pemikir Thomas Hobbes, rasa aman berkontradiksi denga kebebasan. “Yang dibutuhkan
manusia adalah rasa aman, bukan kebebasan,” kata Lubis. Pun orang juga bebas untuk
memilih dirinya tidak bebas.
Di Indonesia sendiri memiliki standar kebebasan ganda. Untuk dirinya sendiri mengakui
bebas itu perlu, sedangkan untuk orang lain tunggu dahulu atau entar dulu. Menurut
penelitian dari Indeks, yang pro kebebasan sipil lebih besar daripada kebebasan ekonomi.
“Perlu perjuangan panjang,” ujar Nanang.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2018/03/26/libertarianisme-hilangkan-penghisapan/
Dimulai pada pukul 13.30 WIB, diskusi diisi oleh arsipis pendiri Warungarsip dan Newseum
Indonesia yaitu Muhidin M Dahlan. Dihadiri oleh peserta dari LPM universitas di Yogya
maupun luar Yogya.
Dalam diskusi ini Muhidin berbagi pengalaman mengenai dunia pengarsipan. Mulai dari kiat-
kiat merawat, mengumpulkan hingga mengolah. Menurut Muhidin, mencari arsip hanya
bagian kecil dari rangkaian kerja pengarsipan (hanya 30% dari proses). Yang penting dan
susah adalah bagaimana mengolahnya menjadi hal yang baru.
Muhidin memberi perbedaan antara praktik pengarsipan dan praktik membumikan arsip. Jika
praktik pengarsipan lebih pada .praktik mengumpulkan dokumen-dokumen. Sedang praktik
membumikan menyangkut bagaimana menghadirkan arisp kepada publik. Entah itu lewat
festival, pameran, acara penghargaan, presentasi arsip, sampai kegiatan arsip kampung. Atau
lewat layanan arsip berupa toko luring, toko daring, penerbitan, pendidikan, sampai
perpustakaan.
Secara sederhana, tindakan pengarsipan sendiri terdiri dari mencari, menyimpan, lalu
membagi. Di dalam perngarsipan terdapat lima semangat yang ditekankan Muhidin, yaitu:
pencarian, inovasi, kecermatan, keuletan, dan kreativitas. Sedangkan pondasi arsip ada
empat: infrastruktur, strategi dan monetisasi, promosi, dan manajemen.
Untuk dunia persma, menurut Muhidin suatu saat perlu adanya museum persma di Indonesia,
di Yogyakarta khususnya. Museum persma terbesar. Pola bisa melihat instansi-instansi arsip
yang telah ada. Seperti di Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Newseum di New York,
atau salah satu museum di Turki. Ia menyarankan setiap hari bias mendigitalkan data sehari
berpuluh sampai beratus halaman.
Yang paling penting juga adalah pembenahan revolusioner tentang ruang, Mengubah
sekretariat persma menjadi wisata baru. Karena itu penting untuk membuat sekretariat
bergairah dengan menghadirkan dinding-dinding dan penataan yang instagramable.
“ARENA bisa kalau keras kepala,” ujar Muhidin.
Menanggapi diskusi tersebut, Tsaqif Aladzin Imanullah selaku salah satu panitia acara ini
mengatakan, acara tersebut sebagai pembelajaran mengenai dunia arsip. Ia berharap dengan
adanya diskusi publik ini dapat menjadikan kita lebih menjaga dan menjadikan arsip sebagai
sarana pembelajaran di masa kini dan mendatang. “Banyak ilmu-ilmu yang biasa disepelekan
namun ternyata sangat berguna,” imbuhnya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2018/02/21/praktik-arsip-bukan-sekedar-memulung-dokumen/
Lpmarena.com – Pengertian dan keberadaan Seni Islam (Islamic Art) sering kali menuai
perdebatan. Seni ini dihuni oleh dua golongan besar, yakni mereka yang memiliki peran besar
dalam memproduksi konten kesenian Islam dan mereka yang tidak yakin dengan kesenian
Islam.
Hal inilah yang disampaikan Hasan Basri, aktivis Lesbumi dalam diskusi Islamic Art;
Wacana dan Praktik, Kini yang diselenggarakan oleh Sanggar Nuun. Diskusi dilaksanakan di
Ruang Teatrikal Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, Jumat (27/10). Acara ini merupakan
rangkaian peringatan ulang tahun Sanggarr Nuun yang ke-25 bertajuk “Kalayoga”.
Tokoh Islamic Art Zueb mengatakan seni Islam adalah seni yang dilakukan oleh masyarakat
Islam. Pada masyarakatnya, bukan keseniannya. Tokoh Islam lain Hamid Dabashi tahun 2013
menulis buku tipis berjudul Being a Muslim In The World. Dabashi menjelaskan ada
kontruksi (dalam konteks fiqh) pada masyarakat Islam.
Di Indonesia ketika tahun 60-an terjadi polarisasi ideologi kesenian yang diwakili oleh Lekra,
Manikebu, Lesbumi, dan PI. “Mereka punya manifesto tentang seni Islam. Salah satunya
kaligrafi. Lesbumi manifestonya cenderung lebih lebar,” ujar Basri.
Pembicara kedua, Fauzan Santa selaku pekerja seni yang datang dari Aceh menceritakan
tentang konsep-konsep kesenian yang ada di Aceh yang kental dengan nuansa ke-Islamannya.
Di sana, undang-undang Islam adalah undang-undang fiqh.
Yang terjadi di Aceh seperti ada pemutusan hubungan dengan sejarah silam. Pada awalnya,
pengaruh dari tarekat yang masuk kesana. Ada kekuatan aliran seni di sana, salah satunya
bergaya sufistik ala Hamzah Fansuri. Di Aceh pula terdapat tokoh masyarakat yang disebut
Tengku. Tengku dianggap sebagai pahlawan saat konsep vertikal (semisal dengan GAM
terjadi).
Berbicara Aceh, Basri menceritakan bahwa di Aceh ada seorang tokoh bernama Patih Hasan.
Tokoh tersebut memberi kriteria tentang seni arsitektur. Mengkritik paham-paham
kedaerahan (regionalisme) yang dibawa masing-masing seniman untuk mengunggulkan
daerahnya. “Aspek-aspek lokasi, daerah, geografi masih abstrak,” kata Basri.
Basri mengatakan bahwa perdebatan tentang seni Islam tidak usah dilanjutkan. Sebab
perdebatan tersebut juga punya ritme. Paling sering, perdebatan itu memunculkan
perbandingan asimetris, yang pada akhirnya mengkontruksi kebudayaan yang arahnya lebih
kepada kompetisi antar aliran seni.
Menurut Basri, masalah kesenian yang dihadapi saat ialah ini tak ada keinginan belajar.
“Kebanyakan seniman terlalu bertele-tele, mengandalkan bakat alam. Seolah tak mau
berumit-rumit,” katanya.
Maka yang terjadi adalah stagnasi. Ketika mencoba menafsir, mengkritik, mengarsip, jadi
canggung. Apalagi di tengah kondisi global yang mengalami penyempitan ruang dan waktu.
manusia masuk pada era globalisme.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/10/28/mempertanyakan-ulang-seni-islam/
Lpmarena.com– Suatu hari di Mesir Kuno, raja Fir’aun Tebh dan istrinya Meth gelisah
mendapati bayi mereka Pangeran Sem berkulit kelabu dan lunglai tanpa daya setelah ibu susu
menyusui putra mahkota tersebut. Kerajaan gempar dan semua tabib dikumpulkan untuk
menyembuhkan. Konflik berkembang setelah sebelumya Fir’aun Theb bermimpi tentang susu
yang ganjil.
Begitu cerita pembuka yang ditulis Rio Johan dalam novel terbarunya berjudul Ibu Susu. Rio
membuat Ibu Susu dengan riset yang serius, saat ia melakukan program residensi penulis
2016 dari Komite Buku Nasional selama dua bulan di Jerman.
“Ini dongeng, usaha orang-orang untuk mempertahankan kehidupan,” kata Rio dalam acara
ngobrol bareng Ibu Susu di Paper Plane Bookstore Gedongkuning, Selasa (24/10).
Mendatangkan pemantik sastrawan muda, Risda Nur Widia.
Risda mengatakan, tema yang Rio ambil cukup riskan, karena temanya jarang dibahas.
Pembaca digiring untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup (baik internal maupun
eksternal) guna memahaminya. “Saya imajinasikan akan membenturkannya dengan peristiwa
besar, tapi peristiwa besar hanya sebagai alur saja,” kata Risda.
Tema yang Rio pilih tak lepas dari masa kecilnya. Ia menyukai gaya-gaya kuno. Rio yang
mengaku berasal dari keluarga kelas menengah, masa kecil dan remajanya lebih sering
digunakan untuk bermain games, membaca komik, membaca mitologi, dan membaca karya-
karya fiksi ilmiah. “Saya baca Pram, Budi Darma tahun 2012. Saya gak sekhatam Risda.
Saya lebih nyari fiksi ilmiah,” ujarnya.
Rio banyak membaca fiksi-fiksi ilmiah dari Uni Soviet dan Polandia, khusunya saat masa
Perang Dingin. Di mana kedua negara ini saling bersaing teknologi untuk bisa ke ruang
angkasa. Para sastrawannya pun berlomba-lomba menulis tentang teknologi. Di Jepang fiksi
ilmiah juga banyak. Di Italia punya banyak cerita kriminal, karena dilatarbelakangi oleh
kondisi negara yang memiliki banyak mafia.
“20% nulis, 80% main-main dan jalan-jalan,” kata Rio sambil tertawa. Kegiatan menulis
buku tersebut Rio kerjakan di pagi hari. Ia mengaku bukan penulis malam yang suka
begadang. Ia lebih suka menulis pagi.
Risda berkomentar, di novel ini Rio banyak memakai kalimat panjang. Rio menjelaskan,
kalau melihat karangan Eropa seperti Inggris, penulis-penulisnya suka menulis kalimat
panjang. Semacam Ulysses karya James Joyce atau tulisan William Faulkner.
Menurut Rio, harusnya penulis yang menguasai bahasa, bukan bahasa yang menguasai
penulis. Sedangkan, fungsi bahasa disesuaikan dengan tujuan. Di Indonesia masih cenderung
memakai bahasa-bahasa jurnalis yang singkat, padat, dan jelas. “Jurnalis menjelaskan, beda
dengan sastra yang meribetkan,” katanya.
Terkait penggunaan data sejarah Mesir, Rio bersikap fleksibel. Risda juga mempertanyakan,
“Bagaimana mengolah data sejarah ke tulisan? Atau data itu malah dipermainkan?”. Rio
menjawab, “Penyakit fiksi sejarah kebanyakan data dan semua ingin dimasukkan. Nggak ada
yang disaring, dipilih. Kebanjiran data, yang saya ambil seperlunya aja.”
Rio memiliki pengalaman mengobrol dengan beberapa penerbit luar negeri. Menurut orang-
orang dari penerbit tersebut, di Indonesia sastranya adalah sastra dunia ketiga. Sastra yang
laku ialah sastra tentang politik dan itu mempersempit wacana-wacana sastra yang
berkembang. “Agak disayangkan,” ungkapnya.
Penulis segenerasi Rio seperti Norman Erikson Pasaribu dan Dea Anugrah lebih mengambil
bentuk gaya baru, seperti Norman terpengaruh dengan Henry Miller dan Dea yang
terpengaruh dengan gaya Etgar Keret. Dibantu pula oleh akses informasi yang sangat bagus.
Terkait gaya, Rio adalah tipe penulis yang tidak percaya dengan “workshop kepenulisan”.
Gaya menulis didapat dari proses semi sadar, yakni membaca. Ketika penulis membaca, ia
akan menemukan berbagai macam gaya tulisan yang disuka dan tidak disuka.
Lalu, otak akan memilah sendiri mana gaya yang cocok dari sekian banyak penulis, lalu gaya
itu membaur jadi satu dan membentuk gaya menulis itu sendiri. “Banyak baca aja sih
jawabannya,” ujar Rio.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/10/25/mengurai-ibu-susu-dalam-proses-kreatif-rio-johan/
Lpmarena.com – Novel etnografi berjudul Kidung Rindu di Tapal Batas karya Aguk Iwaran
Mn berkisah tentang kehidupan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Aguk memulai
penggarapan novel ini saat ia terlibat dalam tim pembangunan daerah tertinggal oleh
Kemeterian Desa bersama tim dari Universitas Gajah Mada (UGM). Program pembangunan
tersebut guna menyukseskan salah satu nawacita Jokowi. Mengubah pandangan daerah
tertinggal yang dianggap belakang rumah, menjadi halaman rumah.
“Membangun Indonesia dari pinggir,” kata Aguk dalam bedah bukunya tersebut, Selasa
(24/10), di Lobi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Suka. Bedah buku ini merupakan
rangkaian acara memperingati hari ulang tahun Sanggar Nuun ke-25 bertajuk “Kalayoga”
tanggal 28 Oktober nanti.
Aguk menggarap novel itu selama tiga bulan. Novel paling lama yang pernah ia buat,
dibandingkan ketika ia membuat novel-novel islami yang dibuatnya hanya dalam jangka
waktu satu sampai dua minggu. Ini tak lain karena akses menulis di perbatasan yang susah.
Kampanye pendidikan seperti program pemerintah salah satunya Indonesia Mengajar, bagi
Aguk tidak sampai ke yang paling pinggir. Program itu hanya sampai di tingkat kecamatan
dan kabupaten yang aksesnya masih lumayan baik.
Masalahnya lagi, untuk mencapai akses pendidikan yang memadai di Malaysia butuh
perjuangan yang besar. Orang-orang Indonesia sudah tidak diperbolehkan pergi ke Malaysia
secara ilegal. Titik pos perbatasan menjadi hal yang ditakuti, karena sering terjadi konflik di
sana. “Bentrok dengan TNI ternyata sering sekali, dan itu kisah nyata,” tutur Aguk.
Sastra Profetik
Novel Kidung Rindu di Tapal Batas menjadi bentuk kepedulian Aguk kepada masyarakat
pinggiran yang ia tuangkan lewat sastra. “Selera sastra kita tidak memihak pinggiran,” kritik
Aguk.
Banyak penghargaan dan perayaan sastra yang sarat politik di Indonesia. Aguk pernah
menjadi juri salah satu penghargaan sastra di Indonesia, tapi juri-juri di dalamnya pun
memiliki jago dan rekomendasinya sendiri, yang itu dekat dengan dia. “Saya tidak bangga
dengan penghargaan yang sifatnya politik.”
Baginya, sastra tidak berhenti dalam teks, sastra bukan sekedar alat imajinatif, tapi sastra
turut membangun keadaan sosial. Aguk menyebut ini sebagai sastra profetik. “Penulis satu
paket. Dia menulis dan berperilaku,” kata Aguk.
Sastrawan tidak diikuti karena bangga akan khayalannya sendiri. Mengatakan hal indah tapi
aslinya tidak indah. Yang dibutuhkan sastrawan adalah mempunyai (sedikit) iman,
melakukan kerja-kerja sosial, dan membela dari kelaliman. Penulis baginya adalah
kepanjangan tangan nabi.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/10/25/aguk-memihak-daerah-perbatasan-lewat-novel/
Berbeda dengan music writing yang cenderung subjektif, jurnalisme musik tetap memakai
kaidah jurnalistik dalam pembuatannya. Lingkup konten lebih aktual dan disesuaikan dengan
kebutuhan media. “Jurnalisme musik, kamu harus benar-benar update. Selalu lebih
menitikberatkan pada fakta,” ucap Soni.
Meski begitu, bagi Nuran, di dalam jurnalisme musik, musik tak harus baru. Sebab di Tirto
tempatnya bekerja, ia pernah mengulas musik-musik lama. Yang terpenting adalah si
wartawan bisa menangkap sisi-sisi manusiawi dari liputan yang ia garap. Semisal rock star
yang diduga sempurna memiliki kebiasaan manusiawi lainnya, semisal menjahit. “Kayak
rock star itu rapuh. Sisi yang lain. Sisi yang seneng-seneng saya kurang tertarik,” ujarnya.
“Intinya harus mau pusing dari awal,” tambahnya.
Kritik Musik
Menurut pemerhati musik Taufiq Rahman (Jakartabeat), ia menyatakan bahwa musik tidak
datang dari ruang kosong. Musik datang dari konteks sosial dan politik. Ia produk dari
intertekstualitas. Sayangnya, tak sedikit musik yang jauh dari konteks-konteks tersebut.
Ditambah lagi, Soni menilai, budaya kritik di Indonesia menyedihkan. “Kalau dibilang ‘kamu
kok berani ngritik? Emang kamu bisa bikin sebagus dia?’ udah, selesai,” sesal Soni. Padahal,
seseorang tak harus membuat hal serupa untuk menilai karya tersebut bagus apa tidak.
Namun, berdasarkan argumen yang kuat, kenapa ia mengatakan hal tersebut baik dan yang
lainnya tidak.
Penilaian suatu musik bagus atau tidaknya, akan merujuk pada pertanyaan bagaimana menilai
musik secara objektif. Menurut Soni, objektifitas adalah cara, bukan hasil. “Caranya kamu
harus benar-benar mendengarkan karya yang bersangkutan, tujuh sampai sepuluh hari. Baru
berani berpendapat,” katanya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/10/10/mengkaji-jurnalisme-musik/
Lpmarena.com- “Manusia normal ya baca buku!” begitu kata sastrawan Seno Gumira
Ajidarma saat menjadi pembicara talk show “Sastra dan Jurnalisme” dalam acara Kampung
Buku Jogja #3, Rabu (4/10), di Foodcourt UGM. Baginya, membaca menjadi disiplin yang
tak perlu disuruh-suruh lagi.
“Ada image baca buku itu susah, kalau susah itu tantangan,” ucap Seno. Menurutnya, yang
menarik dari kegiatan membaca adalah ketika bisa membongkar sesuatu. Bacaan tersusun
atas kebudayaan yang isinya adalah manusia. Membaca menghidupkan otak untuk lebih aktif
dalam menganalisis politik kebudayaan.
Membaca juga menjadi proses menjadikan manusia hidup. Banyak orang yang membuang
waktunya secara percuma. Seno menyarankan untuk menggunakan waktu terbuang-buang itu
dengan membaca dan membuat esai, paper, karya sastra, dan lain-lain. Proses pengendapan
dan penghayatan menjadi kunci. “Coba konsentrasi dengan pikiran terstruktur,” ucapnya.
Seno menambahkan, tantangan besar pada saat ini ialah potensi terserang kibul dan hoax. Di
sastra, seorang pengarang bisa menjadi tukang kibul yang sangat ahli lewat cerita-ceritanya.
Di jurnalisme, pembuat berita bisa menciptakan hoax bagi pembacanya.
“Sekarang bagaimana caranya melawan bohong, karena terlanjur tergenang,” kritik perintis
laman jurnalistik Panajournal tersebut. Selain hoax, saat ini orang tengah dilanda bahaya
berhala kesuksesan dan Seno mengajak untuk menghancurkan berhala-berhala itu.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/10/10/seno-hancurkan-berhala-kesuksesan/
Lpmarena.com – Setiap tahun, delapan juta ton sampah plastik mengotori lautan. Saat ini
ada sekitar 322 juta ton sampah plastik menumpuk di lautan yang sumbernya dari berbagai
negara di dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara nomor satu penyumbang
sampah plastik terbanyak. Disusul kemudian negara Malaysia, Filipina, Thailand, dan
Vietnam.
Penelitian terhadap sampah tersebut disampaikan oleh Judith Schelehe dari Freiburg
University dalam seminar bertajuk “Waste As An Environmental Disaster: Socio-Religious
Practices at The South Coast of Java”. Seminar digelar di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
(PSSAT) UGM Lantai II, Senin (25/09). Selain Judith, acara tersebut menghadirkan
pembicara lainnya, yakni Vissia Ita Yuliato dari UGM. Turut hadir pula aktivis-aktivis peduli
sampah dari Yogyakarta, seperti Gardu Action dan Bank Sampah Sehat Ceria.
Judith menjelaskan lewat penelitian yang dilakukannya bersama Vissia, dari 6500 sungai
besar dan 650.000 sungai kecil yang dimiliki Indonesia, sungai-sungai tersebut menjadi
gerbang yang subur masyarakat membuang sampah. Fakta mengejutkan lagi, sampah plastik
di lautan tersebut jika membuat pulau, pulau tersebut akan sebesar Pulau Sumatera dan Pulau
Kalimantan dijadikan satu.
Melihat fakta masalah sampah tersebut, Judith dan Vissia mencoba menjawab pertanyaan:
bagaimana hubungan antara lingkungan, dinamika sosial, dan praktik masyarakat terhadap
Ditambah lagi, Vissia menuturkan fakta yang didapatkannya dari Dinas Lingkungan Hidup
Bantul bahwa, dana yang dianggarkan pemerintah guna mengurusi sampah sangat sedikit. Itu
berdampak pada minimnya sarana dan prasarana. Di Bantul sendiri contohnya, setiap hari
500 ton sampah diproduksi, 300 ton diproses di Tempat Pembuangan Akhir Piyungan, dan
sisanya menumpuk.
“Dana dari kota sangat sedikit untuk mengelola sampah. Hanya empat sampai lima truk buat
500 ton itu,” katanya. Vissia juga membayangkan, andai di sekitar sungai ada tong sampah
besar. Pasti orang akan lebih memilih untuk membuang sampah di tong tersebut daripada di
sungai.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/09/26/jumlah-sampah-lautan-indonesia-mengkhawatirkan/
Festival Arsip IVAA tersebut mengambil tajuk “Kuasa Ingatan” yang akan berlangsung dari
tanggal 19 September – 1 Oktober 2017 di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Tajuk yang dipakai tersebut bermaksud memaparkan
kepada masyarakat, bahwa ingatan merupakan hasil dari suatu relasi kuasa lewat berbagai
aparatusnya.
Ingatan perlu dilihat secara kritis untuk menganalisa berbagai hal, khususnya dalam bidang
sejarah dan praktik kesenian di Indonesia. Ide tersebut diwujudkan IVAA dalam tiga sub
platform, yakni: “Estetika dan Retorika”, “Seni di Antara Negara dan Masyarakat”, dan
“Seni, Pasar dan Kekerabatan”.
Lisistrata Lusandiana selaku direktur Festival Arsip megatakan, pekerjaan yang terkait
dengan pengarsipan dan produksi pengetahuan bukanlah pekerjaan yang selesai dalam satu
malam. Pekerjaan tersebut membutuhkan nafas yang panjang.
“Harapan kami adalah secara nasional kita akan memiliki politik pengarsipan. Yang lebih
kontekstual dengan kondisi jaman dan kontekstual dengan kondisi masyarakat
pascakolonial,” kata Lisis, Selasa (19/09) di Hall PKKH.
Harapan tersebut ditanggapi positif oleh Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, dan
Kebudayaan Hilmar Farid saat memberikan sambutan pembukaan pameran. Hilmar mengajak
“Saya akan mengusahakan agar bisa masuk ke arsip nasional dan (masuk ke) arsip-arsip yang
ada di jajaran formal. Secara teknis kawan-kawan bisa berkoordinasi langsung. Undangan
terbuka,” ujarnya.
Hilmar juga menambahkan mengenai pentingnya arsip. Meskipun arsip adalah pekerjaan
sunyi, hasilnya betul-betul besar dalam memproduksi pengetahuan baru. Karenanya,
dibutukan pemuda yang bisa mengolah arsip dengan pandangan yang berbeda.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/09/24/festival-arsip-hadirkan-kuasa-ingatan/
Sejumlah bintang tamu dan artis hadir memeriahkan acara tersebut. Seperti: Bams Samsons,
Jikustik, Novita Sari, Bintang Radio Indonesia, Gadjah Mada Chamber Orchestra, dan
paduan suara mahasiswa UGM. Lagu kebangsaan kontinyu dinyanyikan oleh para bintang
tamu, dari awal konser hingga akhir konser. Selain itu juga ada orasi kebangsaan oleh Panut
Mulyono (Rektor UGM) dan M. Rohanudin (Direktur Utama RRI).
Dalam orasinya, Rohanudin menjabarkan tentang kondisi Indonesia yang memiliki beribu
pulau serta ratusan suku dan bahasa daerah. Secara geografis pula kata Rohanudin,
“Indonesia dipisahkan dan disatukan oleh laut.” Laut menjadi potensi besar dalam kemajuan
Indonesia. Pesan itu pula yang RRI coba sampaikan lewat Drama Dapunta, yang berkisah
tentang petualangan mengarungi lautan. Melihat besarnya kekayaan bahari yang dimiliki
Indonesia.
Berbeda dengan Rohanudin, Panut mengatakan, Indonesia secara geopolitik berada dalam
posisi strategis. Kestrategisan tersebut di satu sisi menguntungkan, di satu sisi juga
menimbulkan masalah. Sebagai dampak globalisasi, salah satu masalah yang dihadapi di
tataran dunia internasional ialah derasnya informasi yang tak sesuai fakta. Informasi tersebut
dikonsumsi dan secara pasti mengubah karakter masyarakat.
Di akhir orasi, mengutip filsuf Confucius, lebih jauh Panut menjelaskan, jika di suatu negara
ada mempunyai tiga hal, yakni senjata, makanan, dan manusia. Maka Sumber Daya Manusia
yang berkualitas menjadi elemen yang sangat penting untuk membuat negara maju,
dibandingkan dengan senjata dan makanan.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/09/24/rri-bangkitkan-jiwa-nasionalisme-mahasiswa-lewat-konser-
kebangsaan/
Lpmarena.com – Kegiatan menulis jurnal menjadi salah satu bagian dari Tri Darma
Perguruan Tinggi: penelitian, pendidikan, dan pengabdian. Jurnal bisa memberikan dampak
yang signifikan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sayangnya, Indonesia menempati peringkat yang rendah dilihat dari segi kuantitas maupun
kualitas menulis jurnal. Hal tersebut dijelaskan oleh Judith Schelehe dalam acara lokakarya
Writing for International Journals di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Lantai II
Gedung PAU Pascasarjana UGM, Senin (11/09). “Indonesia was very bad in international
ranking,” katanya.
Judith mengatakan, kebanyakan jurnal internasional yang ditulis oleh orang Indonesia
berkapasitas “quick and dirty” (cepat dan kotor). Cepat dalam arti pragmatis, jurnal
dihasilkan dalam proses ingin cepat selesai. Bahkan jurnal dibuat hanya sekedar untuk syarat
jabatan atau keperluan beasiswa. Kotor dalam arti tidak dibuat dalam standar tinggi dan tema
yang hadir tidak serius.
Menulis jurnal hingga memprosesnya sampai terbit membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Menurut Judith berkaca dari pengalamannya, paling cepat dibutuhkan waktu dua tahun
menunggu. Itupun belum ada kepastian apakah jurnal yang dikirim akan diterima. “How high
standard, and how long to publish serious journal,” ucap perempuan dari Universitas
Freiburg, Jerman tersebut.
Membaca kondisi jurnal saat ini, 79% penelitian sosial di universitas negeri digunakan untuk
menjawab permintaan yang berhubungan dengan kebijakan. Di lain sisi juga membahas
tentang tindakan neoliberalisasi yang terjadi di universitas untuk saat ini. Untuk
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/09/12/peringkat-rendah-jurnal-indonesia-di-kancah-internasional/
Lpmarena.com- Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit idealnya dibentuk untuk menjadi
forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
LKS Tripartit memberikan masukan, saran, dan fekomendasi terhadap kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan. Namun, LKS Tripartit di Daerah Istimewa Yogyakarta belum mampu
mewadahi hal tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh juru bicara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Irsad Ade Irawan, seusai sidang perdana gugatan
terhadap Gubernur terkait pembentukan LKS Tripartit DIY masa bakti 2017-2019. Perintah
pembentukan LKS Tripartit terbaru terlampir dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY
Nomor 29/kep/2017.
Irsad menjelaskan, yang menjadi kerugian DPD K.SPSI, pihaknya tidak cukup terwakili
secara operasional sesuai peraturan perundang-undangan, khususnya Permen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI No. 21 Tahun 2001.
Hal itu dibuktikan, ketika pihaknya memperlajari verifikasi yang dilakukan LKS Tripartit,
ada kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan. Seperti bermasalah di kualitas kerja dan
susunan kepengurusan. “Kualitasnya sangat buruk, karena sampai hari ini kami tidak melihat
adanya kebijakan ketenagakerjaan,” ujar Irsad, Kamis (7/9) di PTUN Yogyakarta .
Menurut penuturan dari anggota DPD K.SPSI yang masuk dalam susunan kepengurusan,
LKS Tripartit hanya sekedar membahas PHK paling banyak sepuluh orang, yang masalah ini
seharusnya bisa diselesaikan oleh serikat pekerja perusahaan. Ditambah pula, LKS Tripartit
tidak membicarakan hal-hal atau isu-isu yang signifikan dan strategis.
Masalah lainnya ada di struktur kepengurusan LKS Tripartit yang hanya dimonopoli oleh
serikat pekerja tertentu. Hal ini berdampak kurang terakomodirnya masalah-masalah yang
timbul dari kalangan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Di DPD K.SPSI yang merupakan
konfederasi yang memiliki anggota dengan jumlah besar di Yogyakarta, hanya diwakilkan
oleh dua orang yang masuk kepengurusan dan tidak masuk dalam badan pekerja.
“Kebanyakan LKS Tripartit hanya diisi oleh serikat-serikat pekerja yang jarang
berkomunikasi dengan serikat-serikat buruh lainnya.”
DPD K.SPSI pun jarang menerima undangan untuk terlibat dalam agenda-agenda diskusi
yang menyangkut nasib buruh dan masalah keistimewaan Yogyakarta pada khususnya.
Masalah keistimewaan tersebut Irsad jelaskan dalam tiga poin. Pertama, DIY merupakan
provinsi yang paling miskin se-Jawa, nomor tiga di Indonesia. Kedua, tingkat ketimpangan
Untuk ke depan, Irsad berharap majelis hakim mengabulkan gugatan yang telah diajukan ke
PTUN DIY tersebut. Untuk pemerintah, setelah dibatalkan, lebih membuka masalah-masalah
keterwakilan dan masalah-masalah demokrasi. Sehingga setiap elemen tripartit bisa
memberikan masukan, pendapat, dan saran kepada gubernur untuk mengatasi prestasi-
prestasi keistimewaan yang masih mengikat Jogja, seperti masalah kemiskinan dan
ketimpangan.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/09/10/kualitas-dan-susunan-kepengurusan-lks-tripartit-diy-rugikan-
buruh/
Lpmarena.com- Selir Sulandri merupakan sebuah cerita pendek karya I Made Iwan
Darmawan yang berkisah tentang tokoh Sulandri yang menjadi selir dari seorang raja di Bali.
Sulandri hidup dengan kemewahan di kerajaan, tapi jiwanya tidak merdeka. Hingga sebagai
wujud kesetiaan pada raja, Sulandri harus melemparkan tubuhnya di atas kobaran api
bersama raja, ketika raja meninggal (tradisi mesatia).
Konflik yang dialami Sulandri dari berbagai sisi dibahas secara mendalam dalam acara
diskusi sastra nasional di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM pada
Rabu (6/9). Mendatangkan dua pembicara yang bergelut di bidang sastra, yakni Linda
Christanty dan Iwan Saputra di Hall PKKH UGM.
Linda membandingkan cerpen Selir Sulandri dengan novel Gadis Pantai karya Pramoedya
Ananta Toer, yang mengkritik tentang kehidupan feodal Jawa dan segala laku-laku
penindasan yang dilakukan seorang raja pada perempuan. “Begitu berkuasanya kaum feodal,
meski dia sudah tidak ada, orang lain harus mengalami,” ujarnya.
Sulandri yang berasal dari kasta sudra dan harus menikah secara paksa saat umurnya masih
belasan, menurut Linda merupakan bentuk pemerkosaan. Kondisi itu sangat terasa di dalam
dialog Sulandri bersama burung merpati: “Benar aku sudah mati saat akil balik tiba. Masa
kanak-kanakku telah terbunuh saat darah mengalir di pahaku, bukan?”
Linda menarik kasus pemerkosaan menjadi masalah global yang juga dihadapi oleh negara-
negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Juga negara Islam seperti Pakistan, angka
pemerkosaan masih tinggi. Tak jarang, agama dan ayat suci dijadikan alat pembenaran.
“Teks-teks suci dijadikan alat legitimasi untuk menindas,” kritiknya.
Iwan Saputra menganggap posisi penulis laki-laki dalam membuat cerpen tentang perempuan
memiliki dua sisi. Pertama memang diniatkan sebagai kritik terhadap budaya patriarki, kedua
Di dalam Selir Sulandri, Iwan menggolongkan cerpen tersebut pada golongan pertama. Di
mana, penulis tak hanya melakukan kritik penindasan terhadap perempuan, tapi juga kritik
akan kasta-kasta yang terjadi di dalam masyarakat.
Savia, salah satu peserta diskusi berkomentar bahwa cerpen Selir Sulandri kental berbicara
perempuan sebagai korban. Menjadi selir memiliki konteks yang berkaitan dengan
seksualitas dan kekuasaan. “Sulandri simbol seksualitas raja. Kental banget seksualitas dan
kekuasaan,” katanya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/09/08/selir-sulandri-korban-feodal-yang-bernasib-sendu/
“Khusus KKN, kami merencanakan beberapa hal. Ada KKN Nusantara,” ujar Al Makin
dalam sambutan pelepasan KKN Angkatan 93 di Gedung Prof. Dr. Amin Abdullah (eks
Gedung Multipurpose), Senin (10/07).
Upaya itu LP2M wujudkan pelan-pelan di tahun 2017 ini. Di mana, lokasi KKN tidak hanya
bertempat di DIY bagian pelosok, tapi juga merambah ke kecamatan sekitar DIY. Kecamatan
tersebut seperti Magelang dan Klaten.
Menurut tuturan Al Makin, selain KKN Nusantara, KKN yang sifatnya internasional juga
menjadi impian LP2M, seperti KKN Internasional ke Thailand atau melakukan KKN dengan
menjalin kerja sama dengan universitas luar negeri. “Kita juga kerja sama dengan Universitas
Glasgow United Kingdom.”
Untuk itu, Al Makin mengajak peserta KKN untuk menjaga nama UIN Sunan Kalijaga, yang
dikenal masyarakat memiliki keunggulan dalam bidang agama. Ada dua hal yang Al Makin
tekankan, yakni mewarnai masyarakat dengan pembangunan fisik dan pembangunan
spiritual.
“Saya berharap kalian bawa oleh-oleh yang banyak. Anggap KKN adalah piknik,” katanya
dengan nada santai sambil menceritai pengalaman-pengalaman KKN. Menurut dia, jika
manusia kurang piknik berbahaya, sebab wawasan jadi sempit.[]
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/07/11/lp2m-rencanakan-kkn-nusantara-dan-kkn-internasional/
Lpmarena.com – Pukul sembilan pagi, Senin (10/07), ribuan mahasiswa memadati Gedung
Prof. Dr. Amin Abdullah (eks Gedung Multipurpose) dalam acara “Pelepasan Mahasiswa
KKN Semester Antara/Pendek T.A. 2016/2017 Angkatan Ke-93 Oleh Rekor UIN Sunan
Kalijaga”.
Abdul Mughitz ketua panitita KKN tahun ini melaporkan, KKN 93 dilaksanakan dalam satu
gelombang dari tanggal 10 Juli – 31 Agustus 2017. Diikutii oleh 3226 mahasiswa yang terdiri
dari 1401 putra dan 1825 putri. Mahasiswa-mahasiswi tersebut dibagi di 316 lokasi, 248 di
DIY dan sisanya di Jawa Tengah. Dipandu oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) yang
berjumlah 96 orang.
Sayangnya, dalam pelepasan KKN pagi itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi
tidak dapat menghadiri acara, karena ada kepentingan yang tidak disebutkan panitia.
Pelepasan digantikan dan disahkan oleh Sutrisno selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik
dan Pengembangan Lembaga. Dalam sambutannya, Sutrisno banyak memberikan pesan-
pesannya. Untuk bisa sukses di KKN, Sutrisno merumuskan itu dalam 3M.
Pertama, Mining, yang berarti bagaimana mahasiswa “memaknai” KKN sebagai visi hidup
dan visi UIN Sunan Kalijaga. Sutrisno memberi contoh membangun masjid, Jika program
kerja tersebut hanya dimaknai sekedar memperbaiki masjid saja, maknanya akan berhenti
hanya di situ. Namun, jika dimaknai lebih mendalam, artinya akan lain sekali.
Kedua, Mitra, bermakna bagaimana mahasiswa KKN mampu berkolaborasi dengan orang
lain. Mitra tersebut meliputi rekan kerja, DPL, masyarakat setempat, aparat desa, aparat
Pemerintah Daerah (Pemda), dan lain-lain. “Jadi mitra yang bagus, Gak bisa menempatkan
diri sebagai bos,” ujar Sutrisno.
Mengutip pendapat Thomas M. Young, Sutrisno menjelaskan, 20 tahun yang akan datang,
50% pekerjaan yang ada sekarang akan hilang, karena dilanda era destruksi. Sutrisno pun
bertanya: “Bagaimana menghadapi masyarakat yang begitu cepat?” Ia menjawab, harus
dikontekskan dengan kehidupan. Sehingga bisa mewarnai peradaban dan tahu jati diri.[]
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/07/11/pesan-sutrisno-kepada-kkn-angkatan-93/
Seminar yang diadakan oleh Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) tersebut berlangsung di Aula
Gedung DPD RI DIY, Senin (19/06). Selain Gatot, seminar dinarasumberi oleh Umi Akhiroh
(Hakim Ad Hoc Phi), Ariyanto Wibowo (Disnakertrans DIY), dan Irsad Ade Irawan
(Direktur PSM dan Wasekjend ABY).
Gatot melihat, kesejahteraan buruh ternyata tak bisa dicapai jika buruh hanya mengandalkan
upah. Hal di luar upah yang diterima buruh, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan,
sampai kebutuhan transportasi juga perlu untuk diperjuangkan. “Saya melihatnya, peluang
justru di luar upah yang bisa dimanfaatkan. Misal Rusunawa di Mangkubumi, ini terobosan,”
ungkapnya.
Lebih lanjut, adanya perbedaan sosial dan ekonomi antara pengusaha dan pekerja membuat
pemerintah harus menyesuaikan posisinya. Meski Gatot menyayangkan pengusaha dan
pekerja banyak timpangnya. Ketika kondisi yang tak seimbang ini terjadi, yang bisa
membantu adalah hukum. Pengusaha dan pekerja semestinya membuat perjanjian yang
dirembug bersama, Pendekatan yang dilakukan bukan sub-ordinat atas-bawah, tapi
kekeluargaan. Posisi pekerja adalah pemilik saham, sekecil apapun itu.
Irsad Ade lebih banyak menjelaskan data-data terkait kondisi perburuhan dan kesejahteraan
di Yogyakarta saat ini. Irsad mengkritik pola pikir yang menyatakan, “Buruh lebih banyak
menuntut, tapi tidak produktif.” Padahal menurut data dari Pusat Studi Masyarakat dan Badan
Pusat Statisik (BPS) menunjukkan level produktifitas buruh tinggi sekali. Malahan,
perusahaan menerapkan “Politik Dompet Tipis”.
Dari data BPS, per tahun peroduktifitas buruh senilai 17.500 Triliun, yang itu dibagi 50.508
buruh, dibagi lagi 12 bulan. “Setiap buruh di DIY dalam satu bulan menghasilkan 24, 854
juta, tapi UMK DIY 2017 membuat dompet jadi tipis,” kata Irsad sembari menunjukkan
UMK di seluruh kabupaten di DIY yang rata-rata sekitar 1,4 juta.
Lemahnya Pengawasan
Namun, di tengah perkembangan itu, kasus-kasus yang masuk di kantor pengupahan tersebut
juga banyak. Sayangnya itu hanya diawasi oleh pengawas kota yang menjadi satu di provinsi.
“Kita melakukan penyelidikan terhadap hal-hal yang normatif,” tuturnya.
Sayangnya, ketika dicek di lapangan, tidak sesuai dengan laporan. Pihak perusahaan telah
melakukan kewajibannya. Lalu dicarilah di mana letak kekurangannya? Di lapangan ternyata
ditemukan ada oknum-oknum yang mem-backup hubungan industrial. “Apa yang dilapor
ternyata disebabkan oleh oknum-oknum,” jelas Ariyanto.
Hal ini diamini oleh Umi Akhiroh bahwa masalah tersebut terjadi di seluruh Indonesia.
Perempuan yang juga pernah aktif di Ombudsman tersebut juga sering menangani kasus-
kasus perburuhan. Bahkan ketika melakukan pengawasan langsung, ada buruh yang
mengatakan padanya, “Ini mbak yang sering ambil amplop di perusahaan.”
Selain itu, kesejahteraan buruh juga terkendala dengan adanya upah-upah siluman yang
terlalu tinggi. Upah siluman itu diberikan pada berbagai pihak, semisal partai politik untuk
kebutuhan kampanye, polisi, dan pihak-pihak lainnya.
Serikat buruh yang menjadi elemen penting dalam memperjuangkan hak-haknya mulai
dilemahkan. Irsad menyoroti tentang jaminan kebebasan berserikat buruh yang terancam di
Yogyakarta.
Metode pemberangusannya berbagai macam. Ada yang lewat PHK, mutasi, skorsing, dan
lain-lain. Kasusnya ditunjukkan Irsad lewat perusahaan-perusahaan yang diinisialkan, seperti
pada PT C, PT SS, Hotel PM, dan lainnya.
Umi juga mengomentari, ada dua cara yang dilakukan perusahaan dalam melemahkan serikat
buruh. Yakni cara halus dengan memberikan jabatan, sehingga buruh tak bisa aktif di
serikatnya. Serta cara kasar dengan melakukan pemecatan/PHK.
Untuk itu, Umi menekankan pada serikat buruh untuk membaca kelebihan, kekurangan,
peluang, dan hambatan yang mungkin terjadi. “Ketika berjuang, kita harus analisis SWOT.
Lihat peta mana lawan kita dan kawan. Kalau nggak, kita akan terjebak di perjuangan,” ucap
perempuan yang juga pendiri ABY ini.
Melihat berbagai persoalan buruh yang telah dijelaskan, Irsad pun menawarkan beberapa
rekomendasi. Di antaranya: (1) adanya kebijakan Upah Minimum Sektoral/UMS, yang
didukung dengan pengadaan workshop UMS kepada seluruh serikat buruh, (2) implementasi
skala upah, (3) terkait pengawasan: membentuk komite pengawasan bersama, (4) terkait
perumahan: implementasi program perumahan pemerintah., (5) serta adanya perda
ketenagakerjaan yang mengatur informasi ketenagakerjaan dan perencanaan tenaga kerja,
perluasan kesempatan kerja, jaminan sosial, fasilitas kesejahteraan, intensif untuk perusahaan
dan buruh, pengawasan dan perlindungan, buruh kontrak dan outsourcing.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/06/23/tabir-gelap-kondisi-perburuhan-di-diy/
Kuheran di tengah perjalanan muncullah ketimpangan. Aku heran, aku heran, yang salah
dipertahankan. Aku heran, aku heran, yang benar disingkirikan. (Perahu Retak – Franky
Sahilatua)
Lpmarena.com- Setelah berhasil menggelar pentas “Tanwin #1: Ketika Nuun di Titik
Hening” tahun 2014 lalu, Sanggar Nuun Yogyakarta kembali menghadirkan pentas edisi
ramadhan 2017 bertema “Tanwin #2: Sebelum Bandang Datang”, Jumat (9/6). Memilih
tempat di Halaman Laboratorium Masjid UIN Sunan Kalijaga, pentas ini menyuguhkan lima
komposisi: Sebelum Bandang Datang, Amsal Perahu, Puisi Perahu, Mengejar Kejora, dan
Perahu Retak.
Mukhosis Noor selaku penulis naskah menjelaskan, Sebelum Bandang Datang terinspirasi
dari kisah Nabi Nuh ketika membuat perahu, karena Allah akan mendatangkan bandang yang
besar pada umat Nabi Nuh yang tidak taat kepada-Nya. Bandang tersebut tak pandang bulu,
menimpa siapa saja, Nuh mengajak umatnya untuk naik ke perahu tersebut agar selamat.
Bandang bisa berarti apa saja, tidak sempit pada makna banjir. Kata Mukhosis, apapun bisa
menjadi bandang dan bandang pasti akan datang. Manusia memiliki hak untuk bertahan.
Perahu diibaratkan adalah diri manusia, yang juga mempersiapkan banyak hal.
Penumpangnya banyak, ada hati, pikiran, jiwa, dan raga manusia. Manusia harus siap
sewaktu-waktu jika bandang datang. “Apa yang akan kita siapin sebelum bandang datang?
Kalau bandangnya air, kita butuh perahu,” kata Mukhosis.
Masalahnya menurut Mukhosis, ketika manusia tahu gejalanya, manusia banyak yang
menyerah duluan terhadap bandang tersebut. Sedikit-sedikit sudah pasrah dan kadang
berpikiran ‘wis mati wae (sudah mati saja)’. Paling tidak, manusia bisa bersikap seperti yang
dikutip Mukhosis dari pesan Sunan Kalijaga: anglaras ilining banyu, angeli ning ora keli
(manusia boleh mengalir seperti air, tapi jangan sampai terbawa arus).
Isti sendiri merangkum pesan pentas ini menjadi tiga kata: refleksi, perbaharui, menggapai
asa yang pasti. Tanwin #2 juga merupakan refleksi dari realitas Bulan Ramadhan saat ini.
Indonesia tengah mengalami wabah intoleran, radikalisme, dan fanatisme. Padahal ini di
Bulan Ramadhan, setelah Ramadahan Isti memastikan gesekan yang terjadi akan semakin
besar.
Untuk menyikapi hal yang demikian, bagi Isti harusnya masyarakat mengembalikan kembali
ke identitas ke-Indonesiaannya masing-masing. “Mengembalikan lagi, yang Jawa ya Jawa,
yang Lampung ya Lampung, tapi juga nggakngikut,” ujarnya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/06/12/sanggar-nuun-memaknai-bandang/
Lpmarena.com – Di panggung itu ada enam bilik kamar kecil. Berisi enam orang dengan
berbagai latar belakang. Mereka tengah melakukan pup sambil ngedumel tentang persoalan di
sekitar mereka. Lalu, di atasnya muncul orang-orang berpakaian jas menceracau mengenai
sejarah, politik, dan pemilihan umum di Indonesia sampai ke tanggal-tanggalnya.
Seperti itulah gambaran pembuka pentas teater surealis berjudul “Noise On 2019” oleh
Teater Soekamto Universitas Slamet Riyadi Surakarta (UNISRI), Kamis (18/5), di
Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Pentas tersebut adalah pentas terakhir dari road
show Teater Soekamto di tiga kota: Surakarta, Semarang, dan Yogyakarta.
Pentas ini menggambarkan tentang sebuah bangsa yang sedang sakit. Di mana generasi muda
yang menjadi bagian dalam pergerakan bangsa, malah dirancang ke dalam sistem-sistem
pembodohan dan proyek pembangunan.
Noise On 2019 merupakan naskah yang ditulis oleh Ahmad Anwar, yang juga bertindak
sebagai sutradara pementasan. “Sedang menyampaikan kondisi Indonesia yang tak ada lagi
perhatian,” ucap Aan panggilan akrab Ahmad Anwar dalam diskusi karya seusai pementasan.
Aan menyatakan, naskah Noise On 2019 berangkat dari basic teman-teman Teater Soekamto,
juga kondisi-kondisi yang terjadi di kampus. Di UNISRI, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
sering mendapat tekanan dan dianak tirikan oleh birokrasi kampus. Sampai-sampai anggota
UKM Teater Soekamto demo ke kampus. “Teater kok demo?” katanya sambil tertawa. Demo
Selain itu, Aan menilai, teman-teman Teater Soekamto yang ikut produksi cocok untuk
membawakan naskah nasionalisme. Ditambah karakter-karakter mereka yang memainkan
naskah ini berbeda. “Pas latihan, di kita ada latihan berpikir cepat. Rata-rata yang keluar dari
mulut mereka dialog perlawanan,” jelas Aan.
Di dalam tahap proses penggarap pentas selama 2,5 bulan, Hari Wahyu selaku pemain
mengatakan, di awal proses ia dan teman-temannya mencari referensi mengenai sejarah dan
sistem pemerintahan Indonesia sebelum merdeka, yang itu mengakibatkan rusaknya moral
anak bangsa. Wahyu juga dalam pendalaman peran, ia mendalami karakter anak punk yang
menolak kemapanan.
Sebagai penonton dan pegiat teater, Ali mengungkapkan analisanya terhadap pementasan
tersebut. Ali yang memposisikan dirinya sebagai penonton egois (penonton yang menuntut
apa yang dia dapatkan dari pementasan) menilai di fragmen awal, manusia dan toilet
merupakan hal yang kontradiktif.
Toilet melambangkan sisi paling pribadi dari manusia. Ketika orang berada di sana, ia tak
ingin diganggu, tapi ini diumumkan. Di toilet pula, yang paling ampas dan paling bau dari
kita, kita tidak merasa jijik. Seperti pada tai sendiri, manusia tidak jijik, tapi pada tai orang
lain dia jijik. “Sesuatu yang busuk dari kita, kita sangat suka dan gak jijik. Padahal di luar,
yang baik pun ada yang gak suka,” kata Ali.
Terkait nasionalisme, Ali merasa baru ngeh di adegan aktor yang menghitung sampai angka
17. 17 sebagai simbol dewasanya seseorang oleh negara, sebab dia bisa memilih. Juga di
adegan bayi besar yang bermain mainan anak-anak dan disusul bayi-bayi besar lainnya yang
saling rebutan makanan.
Selain kritik nasionalisme, Noise On 2019 juga merupakan kritik media. Ada adegan tentang
permainan game yang saling kisruh. Juga tayangan Masha and The Bear sebagai kritik
terhadap tontonan anak saat ini. Sejarah animasi Masha sendiri sangat mengenaskan. Aan
bercerita, ada anak bernama Masha yang pas pergi ke kebun binatang (di cerita yang lain
disebutkan Masha pergi ke sirkus, mitos tentang Masha masih menjadi perdebatan), ia
terlepas dari orang tuanya. Lalu, Masha masuk ke kandang beruang dan dilahap oleh beruang
itu.
Aan menambahi, pentas ini merupakan proyeksi kegelisahan akan kondisi Indonesia ke
depan. “Kami berharap yang nonton kembali melek dengan politik. Kita bisa kok mengkritisi
dengan cara ringan, seperti teater. Kita korban kebijakan. Kita tidak menutup kekritisannya,
terlebih pada Pilpres 2019,” ujar Aan. “Apapun, kami akan tetap melawan!” tutup Aan.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/05/29/noise-on-2019-kritik-terhadap-bangsa-yang-sakit/
Lpmarena.com – Oom Pasikom namanya. Memiliki ciri-ciri laki-laki bertopi khas pemain
golf dan berjas tambalan. Tokoh ini merupakan tokoh karikatural yang muncul di Harian
Kompas kala hari Sabtu. Lewat sosoknyalah, Gerardus Mayela Sudarta menggambarkan
ironi, satir, parodi, dan kritik terhadap fakta dan fenomena yang terjadi di Indonesia dari
masa ke masa, dari akhir Orde Lama, sepanjang Orde baru, hingaa di tahun 2017 ini
mencapai usia Oom Pasikom yang ke-50.
Sindhunata menilai laku itu lebih kepada pergulatan pribadi GM yang orisinil. Baginya,
karikaturis yang baik tak hanya menguasai jurnalisme, tapi juga seni. Ini GM Sudarta
tunjukkan melalui Oom Pasikom, ia begitu pas dalam menggambarkan seorang figur tertentu.
“Ini kehebatan GM Sudarta yang perlu kita pelajari. Tak hanya latihan saja, tapi juga
ekspresi yang pas.”
Trias lebih menekankan pada proses lahirnya karikatur Oom Pasikom. Trias dan GM Sudarta
sering berbincang dan diskusi bersama terkait masalah aktual hari ini. Meski sudah tak muda
lagi, di umur GM yang saat ini menginjak 71 tahun, GM sangat aktif bertanya pada yang
lebih muda. “Yang muda tak serendah hati GM. Sudah 50 tahun ikut Kompas. GM buat
sensor pada dirinya sendiri,” ujar Trias.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan GM pada Trias seperti: “Mas, yang rame apa? Isune
nopo nggih? Mas, wonten ide nopo nggih?” atau mengajak diskusi Trias “Mas, kula kathah
ide” dan mereka melakukan diskusi. Setelah diskusi, GM membuat karya karikaturnya dan
kebanyakan hasilnya membuat Trias terkejut. “Ketika muncul, jauh dari gambaran saya. Mas
GM selalu buat kejutan.”
Lebih lanjut, di zaman dulu, Sindhunata dan GM Sudarta berada dalam kekuasaan rezim
Orde Baru. Masa di mana seorang wartawan dan karikaturis dididik untuk menemukan
bahasa jurnalistik dan karikatur yang pas. Mereka bekerja dalam tekanan Orba yang luar
biasa dan dituntut untuk mengambil celah.
Berbeda dengan zaman sekarang yang menurut Sindhunata, manusia hidup dalam iklim
ketakutan yang apa-apa bisa salah. Bahasa kebebasan sekarang terlalu banyak, Lalu
radikalisme, sara, konflik primordial, dan golongan silent majority jauh lebih menakutkan
daripada didatangi tentara pas Orba. Ini menjadi tugas yang tidak mudah bagi seni,
bagaimana demokrasi menjamin bahwa kita berani. “Di balik kebebasan, ada ketakutan luar
biasa. Lawannya massa, politik, dan ideologi,” ujarnnya.
Redaktur: Wulan
Ilustrasi: https://kompas.id/baca/utama/2017/05/09/selamat-berutang-janji-pak
Link: https://lpmarena.com/2017/05/29/50-tahun-gm-sudarta-kawal-indonesia-lewat-karikatur-oom-
pasikom/
Lpmarena.com – “Kita harus menemukan pembaca yang tepat, bukan pembaca yang
banyak” begitu yang dikatakan oleh Taufik Hidayat dalam diskusi tentang masalah agraria
dan malam puncak Ekspresi Award di Gedung Student Center Lantai 3 UNY, Jumat (5/5).
Taufik yang juga mantan Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tersebut
mengharapkan kawan-kawan persma untuk terbiasa dengan liputan di luar, sehingga isu yang
di dalam pun secara otomatis akan lebih tanggap. Kalau di luar kampus mengangkat
kesejahteraan Rakyat, jika di dalam kampus kesejahteraan Mahasiswa. “Bagaimana teman-
teman mengarahkan kader-kader itu sejalan. Kita berangkat dari titik yang sama, masalah
kesejahteraan,” ujarnya.
Semisal ketika mengangkat isu agraria di luar kampus, bagaimana persma mampu
berhubungan dengan warga terdampak langsung. Kawan-kawan persma bisa melakukan itu
dengan terjun langsung bersama warga atau mengikuti suatu aliansi. Ketika telah terjun
langsung, tema-tema potensial yang penting untuk digarap akan datang berseliweran. “Intinya
teman-teman bisa lebih produktif. Main frame.”
Hal itu senada dengan yang diungkapkan Abdus Somad yang juga mantan Sekjen PPMI. Ia
menyatakan isu di dalam kampus sepengalamannya, ukuran keberhasilan persma di dalam
kampus belum ada.
Permasalahan ini bagi Somad diakibatkan oleh dua hal: persma kurang dalam menulis dan
hanya beberapa mahasiswa saja yang peduli. Misal soal UKT, yang peduli soal UKT
kalangan menengah ke atas. “Kita perlu tolak ukur, kebijakan bisa berubah kalau ada
radikalisasi massa,” katanya.
Ketika tulisan jadi pun sedikit bahkan tidak ada perubahan yang terjadi. “Terus ngangkat itu,
sampai ada perubahan,” ujar Somad. Masalah lain yang dialami persma bagi Somad, yaitu
adanya gesekan antara persma dan lembaga universitas. Ada pendikotomian dua hal itu yang
menyebabkan bisa pengetahuan dan bias persoalan.
“Terakhir, kawan-kawan di Yogyakarta aktifinlah forum PU, forum pimred, yang bisa dolah
seperti apa?” tutupnya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/05/07/isu-dalam-dan-isu-luar-kampus-harusnya-seimbang-dikawal-
persma/
Dari tanggal 5-11 Mei 2017, Kelompok Netrajapu menggelar pameran seni rupa bertajuk
“Artmosphere” di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Menghadirkan karya para seniman:
Agus Prasetyo; Albertho Wanma, Andy Firmanto, Bowo Purwadi, Eiwand Suryo, serta
Ignasius Dicky Takndare.
Tema Artmosphere diambil dengan semangat atmosfir yang ada di udara. Atmosfir tersebut
melindungi bumi dari panas matahari dan benda angkasa yang berbahaya. Artmosphere
dalam Netrajapu mencoba menghadirkan suatu iklim kolaborasi seni yang berbeda antara
budaya Jawa dan Papua dengan pemahaman satu sama lain. Di dalam karya pun Jawa dan
Papua tidak menjadi entitas yang terpisah.
“Lukisan adalah buah kebebasan kita berekspresi, dan ini diatur undang-undang,” kata Mikke
Susanto saat memberikan sambutan di pembukaan pameran di BBY, Kamis (4/5). Mikke
yang juga dosen ISI ini mengungkapkan, Jawa dan Papua merupakan perimbangan atas
kasus-kasus yang terjadi sekarang ini,
Semisal yang Mikke alami akhir-akhir ini, ada orang yang mengirim WA ke Mikke untuk
mengganti foto profil dengan Pancasila. Saking kritisnya masyarakat akan nasionalisme,
Eiwand Suryo dalam pembukaan mewakili Kelompok Netrajapu juga mengucapkan terima
kasih untuk dukungan rekan-rekan dan elemen-elemen pendukung seniman. “Ini kegelisahan
kami aja yang nanti bisa mix–culture untuk lebih bisa mengerti wacana berbagai tempat,”
ujar Eiwand singkat.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/05/07/netrajapu-kolaborasi-seni-rupa-jawa-papua/
Lpmarena.com – Persoalan mengenai kondisi sosial menjadi tema yang digarap oleh penulis
asal Tasikmalaya, Egi Azwul Fikri. Tema itu Egi wujudkan dalam karyanya “Olah Rasa”
yang diluncurkan dan dibedah di Yayasan Kampung Halaman, Wedomartani, Selasa (25/4).
Buku Olah Rasa terdiri dari sembilan cerpen, yakni: Kiri, Luka Seorang Guru Honorer,
Menara Berdiri Angkuh, Olah Rasa, Kasihan Ikannya Tenggelam, Titik Hakikat, Ksatria
Tupai, Hilang, dan Malikat Rapuh. Antologi ini dibuat Egi selama tiga tahun, dari tahun
2013-2016.
Vuvut Zery Haryanto, pembedah dari Kampung Halaman mengatakan, Olah Rasa merupakan
upaya membaca kondisi di sekitar kita. Dimulai dari cerita terkait hal-hal yang ada di dekat
kita, dalam upaya melatih kepekaan. “Buku ini jadi referensi bagaimana mengemas cerita
dari pengalaman terdekat,” katanya.
Egi secara eksplisit mengungkapkan keberpihakannya pada mereka yang ditindas (mereka
yang ter-dzalimi). Menurutnya, kebaikan dan kebaikan sudah beradu, dan yang wajib
Seperti terlihat dalam cerpen Luka Seorang Guru Honorer, yang terinspirasi dari temannya
yang juga seorang guru. Ada pula tentang pembangunan dalam cerpen berjudul Menara
Berdiri Angkuh. Di kasus itu, Egi pernah mengadvokasi massa dan melakukan penolakan
terhadap pendirian tower. “Persoalan masyarakat, pada awalnya nolak, tapi dikasi uang mau.
Itu juga masalah,” tuturnya.
Metode penulisannya lebih pada membuat ide besarnya dulu. Cerpen-cerpen Egi berangkat
dari imajinasi yang dimiliki setiap orang. Dia melihat imajinasi dari suatu proses. Imajinasi
diendapkan dan diolah menjadi karya ketika iangopi di warung kopi. Beberapa penulis yang
mempengaruhi Egi, di antaranya Ahmad Tohari, Chairil Anwar, Seno Gumira Ajidarma,
Acep Zamzam Noor, dan lain-lain.
Buku tersebut, selain berisi cerpen-cerpen, juga dihiasi dengan ilustrasi yang dibuat oleh
Novan Gharuk. Novan mengatakan, ketika membuat ilustrasi, ia membaca cerpen Egi satu
per satu. Lalu membuat gambar berdasarkan penangkapannya. “Aku pas bikin ilustrasi ini
agak ragu-ragu. Dia suka yang gak jelas,” katanya. “Yang menarik ketika membaca judul
Ksatria Tupai, seperti main game,” lanjutnya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/04/26/olah-rasa-padukan-kritik-sosial-dengan-cerita-sekitar-kita/
Rudiyah, perwakilan dari buruh gendong menyatakan, selama ini pekerjaannya belum diakui
oleh pemerintah. Malah pada suatu hari buruh gendong dituduh membuat pembeli merasa
tidak nyaman, karena mereka memberanikan diri untuk melakukan nego tentang upah.
“Selama ini si pembeli bila memberi upah semaunya sendiri, tidak ada yang berani menawar.
Waktu itu kami berani nego tapi malah kami dituduh sebagai buruh gendong yang membikin
pembeli tidak nyaman, dan si pembeli itu pindah ke pasar lain,” ujar perempuan yang telah
melakoni pekerjaan sebagai buruh gendong selama 25 tahun tersebut.
Setelah melakukan penyelidikan dan mencari tahu alasan pembeli pindah ke pasar lain,
ternyata si pembeli berkata, parkiran yang biasanya digunakan untuk jualan buruh gendong,
mobil pembeli merasa terganggu ketika akan parkir.
Tak berbeda jauh dengan Rudiyah, Waisa mewakili suara buruh rumahan menjelaskan arti
dari buruh rumahan yaitu seseorang yang mengambil pekerjaan dari seorang juragan, dibawa
pulang ke rumah, lalu dikerjakan dan dikembalikan lagi ke tempat juragan, dan mendapatkan
upah.
Yang lebih memprihatinkan lagi, buruh rumahan tidak mendapat fasilitas kerja dari seorang
juragan, tidak mendapatkan kesejahteraan, dan upah pun masih belum layak. “Saya sebagai
buruh rumahan penjahit tas, upah saya cuma 2000 rupiah saja. Selanjutnya, tidak
mendapatkan kontrak kerja dari juragan,” kata Waisa. Ia menambahkan, harapan dari kawan-
kawan buruh rumahan, masyarakat dan pemeriintah mendukung buruh rumahan untuk
mendapatkan perlindungan dan pengakuan hak atas kerja layak bagi buruh rumahan.
Mewakili profesi rumahan lainnya, Sarkini dari Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia
yang mayoritas adalah perempuan mengatakan, sampai saat ini ia dan kawan-kawannya
mengalami diskriminasi dan kekerasan di tempat kerja dan masyarakat.
Sarkini menuntut kepada pemerintah dan DPR untuk: memberikan perlindungan pada
perempuan baik di sektor formal maupun informal, mewujudkan dunia kerja yang tidak ada
kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, akhiri kekerasan terhadap PRT dan perempuan.
“10, 7 juta PRT tanpa perlindungan rentan eksploitasi perbudakkan. Bahas dan sahkan segera
RUU PPRT, ratifikasi konvensi ILO tentang kerja layak PRT. Tererakhir RUU penghapusan
kekerasan seksual,” tuntut Sarkini agar segera diwujudkan oleh pemerintah.
Menanggapi perjuangan kaum buruh perempuan tersebut, Guntur selaku aktivis yang
menyanyikan lagu-lagu kerakyatan menyatakan, perlawanan kaum perempuan sebenarnya
bukan hanya perlawanan terhadap perbedaan identitas, tetapi juga perlawanan terhadap
kekuasaan ekspolitasi. “Termasuk kekuasaan negara dan kekuasaan kapitalisme. Yang hari
ini mengkonstruk perempuan sebagai orang-orang pinggiran. Tapi nyatanya kaum
perempuan sendiri adalah ibunya sejarah. Kaum perempuanlah yang banyak menderita,”
ujarnya.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/03/09/pemerintah-tak-perhatikan-kesejahteraan-buruh-perempuan/
Pameran tersebut menampilkan karya dari 43 kartunis PAKYO lintas generasi (1980 – 1990
– 2000). Beragam tema, teknik, dan media dihadirkan selama sembilan hari, 11-19 Februari
2017, di Bentara Budaya Yogyakarta. Judul KARTUNISTIMEWA menandai harapan dari
PAKYO dalam menunjukkan keistimewaannya sebagai kartunis yang berproses dan
melakukan kerja-kerja kreatifnya di kota budaya, Yogyakarta.
Kus Indarto, kurator pameran mengatakan, jika berbicara mengenai kartun, kita akan bertemu
dengan kelucuan yang berkaitan dengan realitas sosial. Lebih jauh, di era digital seperti
sekarang, kartunis memiliki masalahnya sendiri. Media cetak yang menjadi tempat kartun
bertengger, kini makin hari media cetak semakin berkurang jumlahya. Ditambah media grafis
dari komputer yang di satu sisi bisa membantu, tapi di sisi lain menjadi tantangan.
Bagi Kus yang tak kalah penting adalah bagaimana kartunis sekarang melakukan sindikasi
karya yang bernilai global. Di Yogyakarta, kartunis telah banyak yang bekerja secara
kosmopolitan, yang bekerjanya di dalam negeri dan karyanya sampai ke luar negeri, dari
Amerika sampai Eropa. Tema-tema yang diangkat pun terselip pula tema-tema lokal.
“Menjadi alternatif lain dalam dunia sosial sampai agama,” kata Kus dalam pembukaan
pameran, Sabtu (11/2).
Sindhunata selaku perwakilan dari Bentara Budaya Yogyakarta menyatakan banyak kritik
yang dipaparkan para kartunis dalam KARTUISTIMEWA ini. Kartun merupakan media
yang impresif dalam menyampaikan pesan. Di dalam koran, tak seperti berita, kartun dengan
sekali melihat, orang bisa membaca banyak. “Kartun adalah sentilan terhadap realitas yang
ada,” ujarnya.
Sentilan-sentilan tersebut sangat beragam, dari masalah korupsi, pilkada, pendidikan, cinta,
nasionallisme, Jogja, hoax, dan lainnya. Tema korupsi, seperti yang terlihat dalam karya Alex
Pracoyo berjudul Tikus Gedhe Menang Kerahe, yang dimaknai Alex, “Koruptor yang punya
jabatan besar biasanya akan menang berperkara.” Ini selaras dengan kartun berjudul
Semangat KPK karya Gesigoran, yang mencoba mengatakan jika koruptor itu diibaratkan
tikus, yang dipotong KPK hanya buntut tikus saja, koruptornya bisa jalan kemana-mana.
Tema lain yang tak kalah dominan, yakni mengenai pilkada. Terlihat dalam kartun-kartun
berjudul: Bung Ayo Bung (Asita), Pilkada Budaya (Bambang Sriawan), Ular Tangga Berhati
Binangun (Herpri Kartun), Potret Diri (Hengky Irawan), Pemilih Ganda (Titiek Concat),
serta karya-karya tak berjudul (untitled) milik Gatot Eko Cahyono, Herry Wibowo,
Supriyanto.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/02/12/pakyo-menyentil-dan-melucukan-realitas-lewat-
kartun/
Sains dan teknologi sangat berperan menciptakan budaya damai, tapi di sisi lain bisa juga
merusak perdamaian. Ilmuwan menjadi faktor penentu, apakah akan menjadi manfaat atau
mudharat. “Sejauh mana sains berperan untuk perdamaian,” kata Sultan, Jumat (10/2), di
Grha Sabha Pramana UGM.
Diskusi internasional ini turut menghadirkan dua pembicara utama, yakni peraih nobel
kedokteran tahun 1993, Sir Richard J. Roberts, dan peraih nobel fisika tahun 1979, Sheldon
Lee Glashow. Acara dibagi menjadi dua sesi, sesi I oleh Sir Richard dan sesi II oleh Sheldon.
Di sesi I, Sir Richard Roberts memberikan kuliah bertema Why You Should Love Bacteria. Ia
menjelaskan, dimanapun manusia berada, dia tak bisa lepas dari bakteri. Bakteri hidup di
perut, di kulit, di rambut, di mulut, dan lainnya. Beberapa dari kita terbunuh karena bakteri
tersebut, sehingga menjadikannya musuh. Bakteri berbahaya tersebut semisal vibrio chlorae,
volvox, clostridium botulinum, rickettsia, treponema deticola, yersinia pestis, dan lainnya.
Di sisi lain, banyak bakteri yang sangat bermanfaat, seperti pada bakteri-bakteri prebiotik
yang terkandung dalam lactobacillus, bifidobacteria, helicobacter, dan lainnya. Masalahnya,
hanya sedikit ilmuwan yang mau mengkaji. “The bacteria is not necessary bad. We love
them,” kata Roberts. “They really protecting us,” lanjut biolog molekuler asal Inggris ini.
Di sesi II, Sheldon Lee Glashow memberikan kuliah bertema How Basic Science Drives
Technological Progress. Sheldon menjelaskan, suatu penemuan dapat diciptakan melalui dua
metode, yakni secara ‘sengaja’ dan secara ‘kecelakaan’. Sheldon menyebut pendekatan ini
sebagai Kantian approach vs Serendip approach.
Pendekatan ala Kantian dibuat berdasarkan rencana yang hati-hati dan matang, sedangkan
pendekatan Serendip dilakukan oleh mereka yang melihat dan mendengar alam. Membuka
pikiran, lalu menemukan sesuatu yang besar dari alam itu. Metode kedua ini lebih mengarah
pada penjelajahan, seperti yang pernah dilakukan oleh Columbus.
Dikotomi sains selanjutnya, dalam praktiknya sains dibagai menjadi dua. Sheldon
menyebutkan ada sains murni dan sains terapan. “Dedicated to social, commercial, or
military needs,” ujar perintis elektrodinamika kuantum dari Amerika Serikat ini.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/02/12/nobel-laureate-sains-untuk-perdamaian/
Analisa inilah yang digunakan Suzie Handajani (antropolog UGM) dalam diskusi umum
bertema “Terima Kasih Tuhan Kau Ciptakan Nabilah: Menelisik Relasi Musik dan
Audience”, yang diselenggarakan oleh LARAS-Studies of Music in Society bekerjasama
dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Selain Suzie, turut
hadir pula dua pembicara lainnya, yakni Zainal Arifin dan Yosua selaku fans dari JKT 48.
Acara diselenggarakan di PKKH UGM, Kamis (9/2).
Zainal menceritakan alasan kenapa dari sekian banyak girl band ia memilih JKT 48. Zainal
mengaku penasaran pada JKT 48 yang di panggung bermain dengan banyak orang
(keroyokan). Lalu Zainal mencari dan bergabung dengan komunitas JKT 48 di Jogja. Bahkan
di tahun 2013, ia berangkat ke Jakarta untuk bertemu langsung dengan idolanya.
Sampai sana, tepatnya di daerah Sudirman, di markas teater JKT 48, ternyata tidak sesuai
ekspektasi Zainal. Untuk bertemu saja harus melewati waiting list dari jam sepuluh pagi
hingga jam tujuh malam. Zainal setia menunggu hingga ia dibuat terksima dengan
penampilan JKT 48 yang saat itu membawakan 16 lagu. “Sebenarnya banyak lip sync-nya,
tapi kenapa tetap suka ya?” kata Zainal bertanya.
Pengalaman lain Zainal sebagai fans, untuk bisa ngobrol bersama dengan personil JKT 48,
pihak manajemen telah menyediakan bilik seluas 1×1 meter. Namun, pertemuan itu tidak
gratis, penggemar harus merogoh kocek sebesar 40 ribu dalam waktu 10 detik. Hal ini
dibenarkan Yosua. “Untuk ketemu juga unik, untuk jabat tangan aja harus bayar,” ujar
Yosua.
Di bilik tersebut, para fans bisa mencurahkan perasaannya/curhat. Yang terjadi kemudian,
forum tersebut bagi Suzie menjadi emotional territory. Apa yang dibicarakan merupakan hal-
hal yang sifatnya personal, atau tentang hal-hal keseharian. “Jangan-jangan yang dijual bukan
performance, tapi emosi,” kata Suzie skeptis.
Suzie juga mengibaratkan JKT 48 sebagai pemimpin negara yang diturut. Presidennya adalah
Nabilah (salah satu anggota JKT 48 yang populer) dan DPR-nya adalah anggota-anggota JKT
48 lainnya. Komunitas fans itu juga punya garuda pancasilanya sendiri, lagu kebangsaannya
sendiri, atau ritual upacaranya sendiri. Mereka menciptakan karakter mereka sendiri. Ketika
ada anggota JKT 48 yang keluar, itu diibaratkan sebagai pemekaran suatu wilayah dalam
negara. “Ada relasi kuasa yang bermain,” ujar Suzie. Bahkan di titik yang ekstrim, hubungan
antara musisi dan fans bisa menjadi hubungan antara Tuhan dan umatnya.
Redaktur : Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/02/12/menelisik-pola-laku-fans/
Belanda yang memiliki empat musim, kata Salehudin sangat mempengaruhi pola laku
beragama seseorang, khususnya Islam. Semisal tentang waktu sholat, di Belanda waktu
malam lebih panjang daripada siang, ini membuat umat muslim menyesuaikan waktunya.
Atau juga tentang cuaca, saat musim dingin, orang harus memakai baju berlapis-lapis,
bagaimana bersucinya juga kadang sulit. Apalagi ketika dibenturkan dengan modernitas
menggunakan toilet kering. “Kondisi membentuk orang bagaimana beragama,” kata pria
yang pernah mengikuti program residensi di Belanda ini .
Selain itu, Belanda yang merupakan negara sekuler membuat masyarakatnya berpikiran
modern. Salehudin membagi makna sekuler menjadi dua. Pertama, sekuler ala Amerika, yang
memisahkan antara agama dan negara, agar negara tak memakai agama sebagai alat politik.
Kedua, sekuler ala Eropa, di mana negara dan agama dipisah agar agama tak mempengaruhi
negara. Di negara sekuler, Tuhan yang jauh di atas sana ditransfer menjadi kekuatan bernama
state (negara).
Agama di neegara sekuler berperan mengisi ruang kosong. Jika tak ada ruang kosong, agama
tidak diperlukan lagi. Di mayoritas negara Eropa, karena semua hal sudah dapat diprediksi
oleh logika dan teknologi, maka orang Eropa cenderung tidak fanatik pada agama, bahkan
ada yang lebih memilih menjadi ateis. “Ketika semua sudah terprediksi, agama menjadi tidak
penting. Makanya Weber bilang kenapa agama itu perlu, karena ada ruang yang tidak
terprediksi,” ujarnya.
Ruang yang tak terprediksi itu semisal kematian, rizki, jodoh, dan konsep mengenai takdir
lainnya. Itu kenapa, Salehudin mencontohkan kasus di Indonesia, cara berdoa orang desa dan
orang kota berbeda. Orang desa berdoanya lebih lama, daripada orang kota. Makin tidak
terprediksi hidup, doanya semakin panjang. Berbeda ketika orang bisa memprediksi, doanya
semakin kecil.
Redaktur : Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/02/01/perspektif-negara-sekuler-memandang-agama/
Pinhole (lubang jarum) merupakan teknik fotografi yang cukup purba, ini sudah dikenal sejak
abad ke-11, ketika ilmuwan Islam Al Haitham membuat percobaan mengenai dasar mula
kamera dan membuat buku tentang teori optik. Kamera lubang jarum merupakan suatu
kamera yang dibuat dalam kotak tetutup dan diberi lubang. Di mana kotak tersebut akan
menghasilkan bayangan benda di luar kotak dalam wujud terbalik.
Pinhole memiliki variasi jumlah lubang. Ada yang satu, dua, sampai 32 lubang. Medianya
pun bermacam-mcam, dari kotak, kaleng, sampai bungkus rokok. Melubanginya sendiri
dengan perasaan. Menurut Ray di dalam fotografi, tidak ada yang tidak diseting, semua
diseting. Rumusnya adalah secukupnya, pun di lubang jarum.
Dalam pinhole, bukan fokus yang dihasilkan, tapi ketajaman. Di mana setiap jumlah lubang
menghasilkan ketajaman dan imajinasinya sendiri-sendiri. “Yang kita tuju bukan cara
memotret. Memotret dengan lubang jarum kita berimajinasi. Memunculkan bermacam
eksplorasi yang menghasilkan karya yang tak terduga,” ujar Ray yang juga menulis buku
berjudul Memotret dengan Kamera Lubang Jarum ini.
Kegagalan dalam lubang jarum menjadi bagian yang menarik. Jika ada yang gagal akan
dicari-cari letak kegagalannya. Di lubang jarum gagal itu seru. Yang gagal itu diperdebatkan.
Gagal bagi Ray dikarenakan kita belum menguasai, kita belum sampai ke sana. Itu mengapa
di KLJ ada semangat yang diutarakan lewat salam lima jari. Lima elemen tersebut mewakili,
jari pertama sebagai pemoto, kedua sang ahlinya, ketiga kamar gelap, keempat pembicara,
dan kelima organisatornya.
Dalam pengalamannya, pada tahun 2012 lalu, KLJ Indonesia telah mengadakan jelajah
lubang jarum 2012 bertema “Kisah Samudra”. Jelajah ini membahas mengenai literasi
budaya Indonesia yang berjaya ketika di samudra,tentang kekuasaan Indonesia di laut.
Bagaimana di masyarakat Indonesia tahu sejarahnya lewat foto-foto lubang jarum yang
dihasilkan.
Redaktur : Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/01/25/berimajinasi-dengan-lubang-jarum/
Lpmarena.com – “Istirahatlah Kata-Kata” menjadi film pembuka tahun 2017 yang banyak
menyita perhatian para aktivis. Sebab film tersebut mengangkat kembali isu-isu tentang Hak
Asasi Manusia, manusia-manusia yang sengaja ‘dihilangkan’ dalam sejarah, salah satunya
adalah Widji Thukul.
Merespon isu naiknya kembali perjuangan Widji Thukul, Kongres Politik Organisasi
Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP) Yogyakarta mengadakan diskusi umum bertema
“Widji Thukul dan Perjuangan Melawan Orde Baru”. Diskusi dilaksanakan di Angkringan
Jaran, Ring Road Utara No. 4 Sawit Sari Yogyakarta, Selasa (24/1). Menghadirkan pemantik
kawan seperjuangan Widji Thukul bernama Hamcrut.
Hamcrut mengenal Widji Thukul pada tahun 1989 ketika dirinya tengah berstatus sebagai
mahasiswa Filsafat UGM. Saat itu Hamcrut mengenal Wijdi Thukul sebagai sosok yang unik,
yang memiliki kesadaran lebih. Awal Hamcrut bertemu secara fisik, Widji Thukul adalah
orang yang memiliki tubuh kurus, jelek, dan dalam bahasa Jawa secara fisik wonge ra
mbejaji (orangnya tidak berharga). Meski begitu, wajahnya memiliki ciri khas sendiri yang
ketika bertemu langsung bisa ingat ini namanya Widji Thukul. “Wajahnya khas, karakternya
kuat.”
Thukul juga aktif di teater. Nama “Thukul” sendiri merupakan nama pemberian yang
didapatnya dari Teater Jagat Solo. Thukul menjadikan teater sebagai alat untuk
mengorganisir buruh dengan teater pembebasan yang ia hadirkan. Di sana Thukul berbicara
mengenai kesadaran kelas, penindasan, dan hak-hak dengan bahasa yang sederhana. Semisal
di teater ada yang berperan sebagai mandor/bos, kemudian Thukul memberikan analisa-
analisa. Salah satu keberhasilan Thukul, di akhir 1995 dia mampu mengorganisir pemogokan
ribuan buruh PT Sritex Surakarta, yang membuat dirinya nyaris buta karena kekerasan yang
dilakukan aparat.
Di zaman Orde Baru ketika kesadaran untuk selalu “waspada” harus ada dalam otak. Di film
Istirahatlah Kata-Kata digambarkan sosok Thukul yang irit kata-kata. Ini menurut Hamcrut
menjadi sesuatu yang wajar sebab di masa Orde Baru, kondisinya sedang diburu dan mau
dibunuh. Thukul juga memiliki strategi-strategi sendiri agar bisa lari. Salah satunya jika kita
sedang diburu, jangan pernah sendirian, cari keramaian agar ketika ditangkap ada saksi yang
melihat.
Tia peserta diskusi memberikan komentar, sosok Thukul merupakan panutan yang patut
ditiru perjuangannya. Thukul bisa membangkitkan semangat ketika semua orang lapar dan
tak punya uang. “Dia orang biasa, tapi mampu menjadi pemimpin kesadaran,” ujarnya.
Redaktur : Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/01/25/widji-thukul-yang-memimpin-kesadaran/
Lpmarena.com − Pulau Ketam, begitu namanya. Teletak di daerah pesisir dekat Kuala
Lumpur, sekitar 20 KM dari Pelabuhan Klang. Rumah-rumah di sana merupakan perumahan
apung. Rumah disangga kayu-kayu yang berdiri sepanjang 3 sampai 33 kaki dari dasar
perairan.
Di tempat ini tinggal penduduk yang mayoritas keturunan China. Penduduk sebagian besar
bekerja sebagai nelayan. Transportasi dari rumah ke rumah dihubungkan menggunakan
sekoci atau lewat jembatan kayu yang sempit. Tak ada motor, mobil, atau transportasi lain
yang memberakkan polusi, cukup dengan kaki dan sepeda.
Latar Pulau Ketam yang seperti itulah yang menjadi inspirasi kelahiran karya seni rupa dari
sembilan seniman asal Indonesia dalam pameran bertajuk “Jalan Dua Pekan”, yang diadakan
di Bentara Budaya Yogyakarta.
Sembilan perupa tersebut bernama Dona Prawita Arissuta, Eddy Sulistyo, Hardiana, I Made
Arya Palguna, Ipong Purnomo Sidhi, Januri, Katirin, Rommy, Soneo Santoso yang
melukiskan ide-ide dan kreativitasnya akan sisi-sisi lain dari Pulau Ketam dalam kanvas.
Karya-karya dalam ”Jalan Dua Pekan” lahir ketika sembilan perupa ini mengikuti Pulau
Ketam Internasional Art Fest 2016 lalu selama dua pekan. Bersama 120 seniman lain dari 19
negara. Tahun 2016 juga bertepatan dengan peringatan 152 tahun emigrasi penduduk dari
China ke pulau tersebut.
“Sangat menarik di sana, seperti dunia baru. Sangat alami, kita pakai sepeda cas, hidup di
atas air, berbaur dengan masyarakat, berkarya. Kita juga menghias rumah,” kata Katirin saat
diwawancara Lpmarena.com, Sabtu (21/01). Dalam pameran ini, Katirin menyumbangkan
tiga karya berjudul Mountain Slide Over, Hasil Tangkapan, dan Waiting. Tiga lukisan ini
dibuat Katirin menggunakan gaya ekspresionis.
Berbeda dengan Katirin, Eddy Sulistyo lewat karyanya berjudul Fish Couple
menggambarkan tentang dua ikan yang di tubuh ikan tersebut ada banyak wajah manusia,
yang tak lain adalah wajah-wajah seniman yang mengikuti Pulau Ketam Internasional Art
Fest 2016. Eddy mencoba melukiskan kolaborasi, antara alam dan manusia di kampung yang
letaknya di atas air tersebut. Baik hubungan secara vertikal maupun horizontal.
Menurut Eddy hidup di Pulau Ketam adalah sesimpel-simpelnya hidup. Di sana begitu
sederhana, untuk membeli kebutuhan harus naik sampan. Padahal mereka bisa membeli
mobil, tapi memiliki komitmen untuk memakai sampan dan sepeda. Masyarakat mencoba
menjaga lingkungan. “Sesuatu yang sederhana perlu diperjuangkan. Menjadi sederhana itu
nggak mudah. Perlu proses sendiri jadi lebih baik, tinggal dari tingkat pengalaman masing-
masing melihat keluar,” kata Eddy.
Pengunjung pameran Kamiran Suriyadi memberikan komentar pameran ini menjadi sebuah
refleksi hidup ketika para perupanya berada di Malaysia yang divisualisasikan kedalam karya
lukis. Itu jadi sejarah, terutama bagi perupa itu sendiri.
Secara keseluruhan pameran “Jalan Dua Pekan” banyak melukiskan tentang landscape Pulau
Ketam beserta kehidupan yang ada di sana. Dari nelayan, rumah penduduk, kepiting, hingga
sepeda. Ini terlihat dalam lukisan-lukisan berjudul Pulau Ketam, Ketam in My Mind, Fish
Eye, Fisherman,The Girl of Ketam, The Dancer, Survivor, Mudskeeper, The Dog of Ketam,
My Cycle, Bycicle in Ketam, dan lain-lainnya. Pameran ini akan berlangsung dari tanggal 20
– 25 Januari 2017, pukul 09.00-21.00 WIB.
Redaktur: Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/01/23/melukis-kesedehanaan-pulau-ketam/
Buku kumpulan cerpen “Elegi” tersebut berisi 13 cerpen ditambah enam fragmen, yang
terdiri dari: Pantai Cermin, Ketaksaan, Penulis Fiksi, Putusan Ely, Tanda, Kompilasi
Kehilangan, Rindu, Keberangkatan, Ziarah, 22 Jam, Si Malakama, Pulau Arwah, Forum
Keluarga, Perigi Buta, Rekan Bicara, Hidup Kita Selepas Elegi, Semiliar Perbedaan, Cerita
Penunda Rutinitas, dan Perpisahan. Cerpen-cerpen ini dibuat Michel dari tahun 2009-2014,
dan sebagian besar telah diterbitkan di media massa cetak dan media daring.
Tema yang Michel angkat dalam Elegi bertemakan tentang kemalangan, kepergian, dan
kematian. Semisal dalam dalam salah satu cerpen dalam Elegi, ide pembuatan cerpen
terinspirasi dari teman Michel yang memasang status tentang kematian. Michel juga memiliki
kenangan yang dalam tentang salah seorang teman satu organisasinya di kampus yang
memiliki guncangan jiwa dan peminum obat anti depresan. Teman Michel tersebut sangat
cerdas, liberal, tapi hidupnya berakhir mengenaskan. Menjemput ajal dengan mati dipukuli.
“Latar belakang cerpen ini sangat menyita psikologiku,” kata Michel yang juga penulis novel
Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (2013) dan A Copy of My
Mind (2016) ini.
Berbeda dengan Puthut, Septi Ws mengatakan Elegi bagi Michel seperti alternatif
penyembuhan yang sifatnya therapitic. “Itu bagian dari Michel untuk menyembuhkan yang
tak tersembuhkan,” tuturnya. Septi juga berharap Michel dapat menulis dengan tema yang
lain. “Saya pengen dia nulis hal lain,” ujarnya.
Redaktur : Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/01/23/elegi-duka-cita-kemalangan-dan-kematian/
Lpmarena.com −Sabtu (21/01), sekitar seratusan hadirin yang sebagian besar merupakan
masyarakat sipil, memadati lantai dasar kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta dalam acara
diskusi dan launching buku berjudul “Paradigma Baru PTUN: Respon Peradilan Administrasi
Terhadap Demokratisasi” karya Irvan Mawardi. Agenda tersebut turut menghadirkan ketua
Mahkamah Konstitusi 2008-2013 Mahfud MD, dosen hukum UMY Iwan Satriawan, dan
Irvan selaku penulis buku. Acara diselenggarakan berkat kerjasama antara Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah dan Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana UMY.
Misi dari penulisan buku tersebut, seperti yang dikatakan Irvan, ia ingin wacana mengenai
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi public discourse di kalangan masyarakat,
tentang bagaimana PTUN mampu didialogkan. Ruang PTUN yang seharusnya dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk kritik dan edukasi belum banyak dimanfaatkan. “Pengadilan ini
berbeda dengan yang lain. Yang diuji adalah hak masyarakat ketika dikaitkan dengan
demokrasi. Ada ruang terbuka untuk kritik dan evaluasi,” kata Irvan.
PTUN sendiri merupakan lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung yang lahir sejak
tahun 1985. PTUN berperan menegakkan keadilan, khususnya dalam kasus sengketa yang
berurusan dengan tata usaha negara. Kasus yang masuk di PTUN selama setahun di Indonesia
hanya berjumlah 1000 sampai 2000-an, dan kasus terbesar yang masuk PTUN, 90% perkara
Kebanyakan kasus yang masuk, mayoritas adalah individu, bukan masyarakat. Padahal,
kasus-kasus semacam di Rembang atau Kulon Progo yang berkaitan dengan lingkungan dan
agraria bisa diuji ulang hukumnya di PTUN. “Bagaimana PTUN mengadili bukan hanya
mengadili kepentingan individual semata, tetapi juga masyarakat, seperti di Rembang dan
lainnya,” ujar Irvan.
Juga tentang bagaimana masyarakat memiliki kesadaran mendapat keadilan dari perkara
yang berpotensi merugikan masyarakat bersama. Semisal ada kasus, ketika masyarakat
melapor, pemerintah diberi jangka waktu tertentu untuk merespon atau mengeksekusi, tapi
pemerintah malah bersikap diam dan diamnya pemerintah tidak diatur undang-undang,
berarti tuntutan masyarakat dikabulkan.
Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan yang memiliki tradisi law civil society yang baik.
Semisal dalam kasus perburuhan. Jika ada demo buruh di Korea Selatan, gerakanya sangat
kuat, dan bisa melawan. Irwan mengganggap peran masyarakat sipil terhadap hukum masih
lemah. Masyarakat masih menganggap jika kekuasaan pemerintah adalah segalanya, padahal
tidak. “Negara kekuasaannya limited, bukan esesif. Dia bisa gunain semua (hukunya-red)
untuk membungkam. Korbannya siapa? Civil society, masyarakat,” tutur Irwan.
Mahfud MD menjabarkan, saat ini demokrasi kita sedang dalam tahap memperbaiki
paradigma baru PTUN. “PTUN cuma diberi ruang sedikit dan itu tak bisa dilakukan. Dan gak
ada yang dieksekusi,” kata Mahfud. Setelah keluarnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang
administrasi pemerintah, PTUN kembali diberi tempat, meski terbatas. Tantangan besar
PTUN hari ini bagi Mahfud ialah PTUN tak ada lembaga eksekutorialnya. “Tak ada yang
eksekusi, materialnya oke, tapi legal structure masih buruk,” tutup Mahfud.
Redaktur : Wulan
Link: https://lpmarena.com/2017/01/22/mendialogkan-ptun-bagi-masyarakat-sipil/
Indonesia dihimpit tiga lempeng tektonik. Letak geografis ini menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara yang rawan bencana dan marak terjadi bencana, khususnya bencana yang
diakibatkan oleh letusan gunung berapi. Karenanya masyarakat dihimbau untuk siaga dalam
menghadapi bahaya berserta risiko yang terjadi. Made membedakan pemakaian diksi dari
bahaya dan risiko. Jika bahaya memiliki potensi untuk merusak, sedangkan risiko berpotensi
merugikan. Risiko ditentukan oleh hazard, vulnerability, dan capacity. “Bencana muncul
ketika bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan,” ucap Made.
Lebih lanjut, Made menjelaskan gunung api distribusinya tidak acak, tapi membentuk pola
tertentu. Tipe gunung api ada tiga, dari tipe A, tipe B, dan tipe C. Ukuran dari erupsi vulkanik
gunung berapi dinyatakan dengan Volcanic Explosivity Index (VEI). Ukurannya dari 1-8,
semakin besar VEI, ledakannya semakin besar. “Potensi bahaya gunung api bergantung pada
tingkat letusan, jenis produk letusan, dan sebaran produk letusan,” katanya.
Agus lebih menekankan pembicaraannya pada topik yang lebih khusus, mengenai Gunung
Merapi di Yogyakarta. Letusan Gunung Merapi di tahun 2010 merupakan salah satu siklus
letusan besar sekitar 100 tahunan. Letusan besar Merapi juga pernah terjadi pada tahun 1768,
1822, 1849, 1931, dan yang terakhir pada tahun 2010 lalu.
Pemantauan gunung berapi dilakukan dari bawah sampai atmosfer, lewat peta kawasan rawan
bencana gunung berapi. Di pemantauan Gunung Merapi terdiri dari pemantauan baik secara
visual, seismik, deformasi, dan curah hujan. Yang dilakukan meliputi kegiatan monitoring,
pemetaan, sosialisasi, dan respon cepat. “Pemantauan Gunung Merapi dilakukan secara
komprehensif. Gunung Merapi sampai saat ini merupakan gunung api dengan tingkat risiko
yang tinggi. Perlu mendapat perhatian dan pengelolaan yang serius melibatkan semua pihak
terkait,” ucap Agus.
Link: https://lpmarena.com/2016/12/08/sadar-bencana-dan-mitigasi-gunung-berapi/
Lpmarena.com, Kematian mantan presiden Kuba Fidel Castro, 26 November 2016 lalu
membawa masyarakat dunia kembali mengenang jejak-jejak hidup, pemikiran, dan
perjuangannya. Pun peringatan itu ada di Indonesia, salah satunya oleh Klub Administrasi
Administrasi Publik UGM yang menggelar diskusi bertemakan “Kematian Fidel Castro dan
Masa Depan Revolusi Sosialis Kuba” di Pojok Lobby MAP UGM, Gedung Fisipol Unit 2,
Selasa (6/12). Diskusi menghadirkan dosen Fisipol UGM, Ayu Diasti Rahmawati.
Bagi Ayu, jika orang membicarkan tentang Castro ada kecerendungan untuk menjadi
Castrosentrik. Padahal Castro tipe pemimpin yang tidak suka dengan ide-ide penokohan. Itu
dibuktikan di negara Kuba jarang kita temukan tempat-tempat fasilitas umum, semisal nama
jalan dan bandara yang menggunakan nama orang. “Salah satu hal yang jarang disorot,
kepemimpinan Castro anti penokohan,” kata Ayu.
Di masa kepemimpinan Castro, partisipasi rakyat kepada publik sangat besar. Castro
menggunakan organisasi untuk memobilisir rakyat. Relevansinya ketika basisnya organisasi,
Castro dengan sadar bilang tidak ada artinya berbicara revolusi, tapi masyarakat tidak
menghendaki. “Bagaimana kita untuk selalu melakukan revolusi. Ada revolusi dalam
revolusi,” ujar Ayu.
Castro sadar jika revolusi yang baik dilandasi dengan kesadaran kelas. Lewat ini, Castro
menawarkan sosialisme pada Kuba. Ini dilakukan melalui proses kebijakan Castro yang
mempertegas partisipasi publik. Castro selalu ingin membangun masyarakat yang partisipatif.
Sehingga lahirlah banyak organisasi di Kuba, dari petani, buruh, hingga dokter. Castro
kemudian menjadi tokoh yang menggagas revolusi partisipatoris dan kolektifikasi kehidupan
Revolusi Kuba 1959 tentu berbeda dengan Revolusi Kuba abad 21. Yang mesti diperhatikan
sekarang adalah mengetahui peta politik negara tetangga dan melihat negara di luar Kuba
berperan. Seperti Amerika Serikat yang selalu ingin memberikan intervensi pada Kuba dan
Amerika Latin lainnya.
Saat ini, ketika Amerika Serikat dan negara Amerika Latin, seperti Argentina, Chile, Brasil
ramai-ramai memilih pemimpin golongan kanan (seperti AS sekarang dengan Trump-nya),
salah satu hal menarik, masyarakat biasa mulai bisa berpikir apa yang harus mereka lakukan.
“Kita harus berhenti menyamakan konteks zaman kita dengan konteks zaman Castro,” ujar
Ayu.
Link: https://lpmarena.com/2016/12/07/castro-dan-politik-membentuk-rakyat-yang-partisipatoris/
Lpmarena.com, Sastra menjadi jalan alternatif yang digunakan seseorang untuk mengkritisi
segenap kenyataan yang ada. Namun, sastra seringkali berpusat pada keunggulan atau narasi
yang mengunggulkan “Sang Individu”. Individu dijadikan sebagai sumber dan sebagai solusi.
Konsep individualisme dalam sastra inilah yang coba dibongkar dan dikritik oleh Richard
Fox, pengajar Institut für Ethnologie at Ruprecht-Karls Universität Heidelberg Jerman,
sekaligus peneliti kajian budaya-budaya teks material di Asia Tenggara dalam acara diskusi
Sastra Sebagai Kritik: Susah dan Kesusahan (Struktural).
Ada alternatif individu yang Richard kritik, kaitannya dengan modernisme. Modernisme
merupakan proyek “enlighment” Eropa untuk mengkritisi tradisionalisme. Tradisi baru dari
individualisme yang Richard tawarkan adalah bahwa individu sebagai agen yang progresif
dan beda.
Ketua PKKH UGM, sekaligus guru besar pascasarjana UGM Faruk Tripoli menegaskan,
Richard membandingkan dua kritik. Pertama, kritik ‘modern’ ke ‘tradisi’ yang berperan
sebagai status quo. Kedua, kritik ‘tradisi’ ke ‘modern’ sebagai sesuatu yang progresif dan
memproduksi penindas.
“Tradisi adalah belenggu. Kalau kita tak membedakan, akan jadi sesuatu yang inheren,” ucap
Faruk di Pusat Kebudayan Hardja Soemantri (PKKH) UGM, Senin (5/12). “Yang kacau
dibutuhkan sistem, tapi bukan pengacau. Setiap kekuasaan menciptakan other-nya,”
tambahnya.
Jep peserta diskusi mengatakan, ekonomi membawa peran yang besar dalam corak
individualisme bersastra. Saat ini kita ada dalam satu jerat yang sama, yakni kapitalisme.
Link: https://lpmarena.com/2016/12/06/meninjau-ulang-kesastraan-bercorak-individual/
Lpmarena.com, Film “Jakarta Unfair” merupakan film yang disutradarai oleh Dhuha
Ramadani. Bercerita tentang nasib warga pasca penggusuran yang terjadi di titik-titik
pinggiran kota Jakarta. Beberapa titik meliputi warga Bukit Duri Jakarta Selatan, warga
Kampung Akuarium Pasar Ikan Jakarta Utara, warga Kalijodo, warga bantaran SUngai
Ciliwung, dan lain-lain. Dari data yang ditayangkan, di tahun 2015 ada 113 lokasi yang
digusur, dan di tahun 2016 target lokasi mencapai 325 titik.
“Mereka digambarkan seperti tikus, dikejar-kejar, diusir. Proses mindahin manusia gak
gampang. Proses pembangunan tak memperlihatkan aspek antropologi,” kata Bachtiar Dwi
Kurniawan, selaku sekretaris majelis pemberdayaan masyarakat Pimpinan Pusat
Muhammadiyah yang menjadi pemateri dalam acara Nobar Film Jakarta Unfair yang
diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sleman, yang bekerja sama dengan
Social Movement Institute (SMI). Acara dilaksanakan di Balai Posyandu Ambar Melati II,
Ambarukmo, Gowok, Sabtu (03/12).
Film produksi Watch Doc tersebut, selain memperlihatkan penggusuran, juga menceritakan
relokasi yang dilakukan Pemkot Jakarta ke rumah susun. Memang secara ketertataan
memenuhi, tapi secara ekonomi tidak. Pasalnya, pemindahan relokasi ke rumah susun tidak
diimbangi dengan pemindahan pendapatan. Di lokasi yang baru, warga korban penggusuran
Bachtiar mengatakan pembangunan mental dan jiwa dari masyarakat Indonesia lebih penting,
daripada pembagunan fisik. Membangun etos, jiwa, karakter, mental merupakan proses
panjang yang mestinya dilakukan pemerintah. “Prioritas pembangunan Jokowi beda dengan
revolusi mental, presiden malah bangun fisik,” ujar Bachtiar merujuk pada amanat yang
disampaikan lagu Indonesia Raya dalam lirik ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’.Ia
melanjutkan, ada kerangka makro yang dijadikan prinsip dalam membangun. Pertama
keadilan, kedua berkelanjutan, dan ketiga berwawasan lingkungan.
Meski titik episentrum masalah ada di Jakarta, ketika diobrolkan di Jogjakarta tak lantas
kehilangan kontekstualnya. Jakarta dan Jogja memang berbeda, Di Jogja ada upaya kritik ber-
genre sejenis, seperti Festival Seni Mencari Haryadi dan Jogja Ora Didol. “Film itu mengajak
Anda berperan,” kata Bachtiar
Link: https://lpmarena.com/2016/12/05/jakarta-unfair-penggusuran-matikan-penghidupan-warga/
Tokoh utama itu bernama Cinta. Perempuan yang bekerja sebagai diva plus penyanyi bar
dan memiliki masa lalu yang nakal. Nakal tak lain diperoleh melalui konstruk sosial
masyarakat akan perempuan.
Lpmarena.com, Film berjudul Hush yang disutradarai oleh Djenar Maesa Ayu merupakan
film fiksi dokumenter yang bercerita tentang sosok perempuan berkarakter merdeka bernama
Cinta. Cinta sangat mencintai kebebasan, dia menemukan arti hidupnya lewat pengembaraan
yang panjang dari Bali, ke Jakarta hingga ke Gili Trawangan Lombok.
Dengan tubuh penuh tato, perokok dan peminum berat, Cinta menceritakan kisahnya dengan
sangat enteng menggunakan Bahasa Inggris tentang pengalaman seksualnya pertama kali,
kisah aborsinya, bagaimana dia dipenjara, atau bagaimana dia menjalin persahabatan dan
dikhianati pria yang dia cintai. Juga kisah tentang keluarganya, tentang ibunya yang telah
mengalami berkali-kali pernikahan, sampai label buruk dari masyarakat tentang dirinya, dan
yang lebih luas lagi label yang terikat pada perempuan.
“Cinta membolehkan tubuhnya untuk menyampaikan pesan. Dan Cinta membiarkan itu. Ini
orang brave sekali,” ujar Djenar Maesa Ayu dalam diskusi film Hush di Gedung Empire XXI
Yogyakarta, Jumat (2/12). Pemutaran film ini juga dalam rangka agenda 11th Jogja-Netpac
Asian Film Festival bertajuk Islandscape.
Djenar yang sering mengangkat tema-tema tentang perempuan, lewat Hush mencoba
mengkritik tentang isu-isu yang selalu meletakkan perempuan sebagai korban. Dia mencoba
menyuarakan perempuan yang terbungkam (speak the silence). “Kita semua adalah korban
Cinta Ramlan selaku pemain utama juga menegaskan bahwa Hush mencoba membongkar
stigmatisasi terhadap perempuaan. Meski fiksi, kisah Cinta dalam Hush banyak dialami oleh
siapapun. “This is real stories,” kata Cinta.
Link: https://lpmarena.com/2016/12/02/cinta-speaks-her-silence-in-hush/
Pada Kamis (17/11), di Ruang Gong Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH)
UGM, Sesrwungan #1, mendatangkan komunitas Budda Maitreya dan komunitas Narayana
Smrti Ashram untuk menampilkan pertunjukan dan disusul diskusi bersama di panggung
utama PKKH. Diskusi mendatangkan Suryanto dari Narayana Smrti Ashram dan Pandita
Lusia Anggraeni dari Budha Maitreya, yang dipandu oleh Hairus Salim sebagai moderator.
Dalam kesempatan ini, Suryanto berbicara tentang banyak hal mengenai Hindu juga smrti
ashram berserta ajarannya. Salah satunya, Suryanto bercerita mengenai catur warna yang
dikenal sebagai kasta, yang di dunia saat ini artinya sangat berbeda dari aslinya. Kasta
Jika diibaratkan tubuh, Brahmana berperan sebagai kepala, Ksatria sebagai tangan, Waisya
sebagai perut, dan Sudra sebagai kaki. Dalam konsep realitas, kita dapat menemukan kasta
semisal Brahmana dalam bidang pekerjaan seperti guru, ulama, atau pendeta. Ksatria dalam
pekerjaan melindungi negara, semisal polisi atau densus. Waisya ada pada orang-orang yang
bekerja sebagai petani dan pedagang. Sudra berperan sebagai penopang, semisal para buruh.
Jadi, kasta di sini lebih kepada karakter atau bakti seseorang. Ini tercermin dalam dharma
atau sifat kekal dalam sesuatu yang itu tak bisa dielak, seperti rasa pedas dalam cabai.
“Kapanpun Dharma merosot, Aku (tuhan dalam kepercayaan Hindu-red) akan datang,” ucap
Suryanto. Ia menambahkan, dharma paling dasar dalam keseharian seperti empat prinsip
yang dimiliki Smrti Ashram, yakni: tidak makan daging dan telur, tidak mencuri, tidak
minum teh dan kopi, serta tidak melakukan zina.
Komunitas kedua, yakni Buddha Maitreya yang merupakan komunitas orang-orang yang
beragama Budha, yang berdiri di Yogyakarta sejak tahun 1969, tepatnya di Vihara Bodhicita.
Di dalam Buddha Maitreya ada tiga kebaktian, pagi, siang, dan malam. Doktrin utama
Maitreya adalah kasih. Kasih yang tercermin dalam kehidupan kita, kasih yang tidak
membeda-bedakan. “Ketika ada orang kita sentuh dengan kasih, dia akan jadi pengasih
juga,” kata Lusia. Ia menambahkan Budhha Maitreya ingin mewujudkan keluarga yang
harmonis. Dunia yang harmonis adalah dunia yang satu keluarga.
Dalam kitab Tripitaka, Buddha Maitreya merupakan Buddha masa depan. Ia membawa kasih
yang universal bagi pada umat manusia. “Dipukul tak melawan, dimarah tak membalas”
merupakan sifat pribadi Budha Maitreya yang tertinggi. Di dalam vihara ini juga menekankan
nilai-nilai moral. Salah satu yang terpenting adalah bakti. “Ketika anak bisa berbakti pada
orang tua, dia juga bisa berbakti pada negara,” ujar Lusia.
Ajaran moral lainnya yakni tertuang dalam ajaran Sebutir Nasi, Sejuta Keringat. Lagu ini
mengajarkan tentang bagaimana seseorang menghargai sumber daya yanga ada. “Bayangkan
satu orang Indonesia tiap makan menyisakkan satu butir nasi, jika ada 125 juta penduduk
akan ada 127 juta butir nasi. Itu sudah berapa ton beras?” tanya Lusia.
Link: https://lpmarena.com/2016/11/18/wang-sinawang-membangun-tirai-bukan-tembok/
Lpmarena.com, Rabu (16/11), Lingkar Studi Filsafat (LSF) Cogito meluncurkan Jurnal
COGITO Vol. 3 No. 2 di Ruang Sidang Persatuan LT. 5 Gedung Notonagoro Fakultas
Filsafat UGM. Peluncuran ini mendatangkan Muhammad Al-Fayyadl selaku pembedah dan
tiga pembicara yang juga menulis di jurnal COGITO edisi terbaru ini.
Tiga pembicara tersebut adalah Ajeng Nabila Putriningrum yang menulis “Fenomena dalam
Filsafat Analitik Awal”, Taufiqurrahman dengan tulisannya “Metafisika-Puitika Martin
Heidegger”, dan Fitriadi K. dengan karyanya “Kalkulus Individual: Logika Mereologi dan
Konsep Infiniti”.
Fayyadl mengatakan, benang merah dari tiga tulisan yang ditulis oleh Ajeng, Taufiq, dan
Fitriadi tersebut membahas mengenai relasi. “Mana yang lebih fundamental, substansi atau
relasi? Kalau Aristoteles pada substansi, tapi sejak Edmund Husserl relasilah yang
fundamental. Relasi yang membentuk substansi,” kata Fayyadl.
Filsuf Husserl membedakan antara makna dan ungkapan. Makna diperoleh melalui
pemaknaan yang tergambar dalam thought (pikiran). Tiap orang punya gagasan yang berbeda
mengenai thought ini. Thought merupakan ranah ketiga yang memperantarai realita dan
pikiran, bagaimana relasinya.
Fayyadl mengkarakterisasi, relasi tidak dipahami sebagai sesuatu yang pasif. Dia
menyebutnya sebagai ‘relasi yang relasional’. Relasi memiliki sifat membangun sesuatu dan
membuka sesuatu. Lewat perkembangan sejarah, sampai pada filsuf Heidegger, ia
Salah satu metode analisis lain yang menggabarkan relasi, ada dalam logika mereologi. Sifat
dalam relasi mereologi, yang bagian menciptakan keseluruhan. Mereologi menentukan mana
yang sama, mana yang berbeda. “Bagaimana hal yang bagian dalam keseluruhan bisa keluar
dan menciptakan hal yang baru,” ucap Fayyadl.
Mereologi secara praktis penting untuk menghindari ilusi kesatuan yang homogen. Semisal,
dalam studi kasus saat ini, ada orang mengatakan, “umat Islam menolak Ahok.” Dalam
konsep mereologi, perlu ditanyakan lagi siapakah umat? Islam? Menolak? dan Ahok? itu
sendiri menggunakan teknik dekomposisi, memecah menjadi bagian-bagian kecil.
Link: https://lpmarena.com/2016/11/17/lsf-cogito-luncurkan-jurnal-baru/
Lpmarena.com, Tak lama pasca meninggalnya aktivis HAM, Munir Said Thalib, presiden
Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Anehnya, pada 25
Oktober 2016, Selasa kemarin, dikabarkan jika dokumen-dokumen TPF Munir hilang.
Sontak ini menjadi perhatian yang serius bagi aktivis dan penegak HAM di Indonesia. Sosok
Munir dianggap sebagai oase pemenuhan HAM yang telah banyak mendampingi rakyat
Indonesia, seperti Kasus 98, Tanjung Priuk, dan Semanggi.
“Mereka yang tak punya akses hukum dibantu. Membuat orang bergerak seperti dia. Dia
sangat kritis dan punya atensi usaha, tapi dihentikan gerak dan langkahnya,” kata Kiki Nur
dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam acara
diskusi dan pemutaran film tentang Munir, Jumat (28/10), di Ruang Teatrikal Perpustakaan
UIN Sunan Kalijaga.
“Kenapa dia dibunuhnya di pesawat? Itu bisa jadi orang-orang yang melakukan itu punya
akses besar di negara atau Garuda. Butuh kerjasama dengan banyak pihak. Dia perlu nimbus
akses yang besar,” ucap Kiki.
Dokumen di TPF sendiri di dalamnya terdapat nama-nama yang belum diperiksa. Salah
satunya mantan ketua BIN, Hendripriyono yang dekat dengan presiden Jokowi. Orang-orang
yang disebut dalam TPF namanya belum diadili.
“Ini bukan tentang Mbak Suci yang istrinya Munir, ini tentang masyarakat. Jelas-jelas dalam
kasus Munir adalah operasi intelejen. Ini dilakukan dengan teratur. Banyak perencanaan-
perencanaan yang terukur. Munir adalah korban intelejen negara, tapi belum ada pejabat
negara yang diadili,” ucap Melki.
Seperti yang dikatakan Kiki, Melki menganggap Pollycarpus bukan tokoh utama. Faktanya
banyak yang kebal terhadap hukum, militer, dan pejabat negara yang seperti mendapatkan
imunitas, sangat penting sekali negara diaudit. “Kita berani melawan kelaliman. Ini sesuatu
yang miris, banyak bukti tapi tidak pernah tersetuh aktornya. Orang-orang ini tak pernah
diseret ke jeruji besi,” tambahnya.
Untuk itu acara ini sebgai salah satu usaha menuntut presiden agar segera mengumumkan
laporan TPF Munir. “Bukan Munirnya, tapi apa yang kita perjuangankan. Munir pasti ingin
kita menyelesaikan semua. Kita harus bebal menuntut, kalau pemerintah bebal menutupi,”
jelas Kiki.
Link: https://lpmarena.com/2016/10/30/desak-presiden-bongkar-hasil-tpf-munir/
Lpmarena.com, Islamic of Southeast Asian Islam (ISAIs) menggelar acara pemutaran dan
diskusi film berjudul “Jalan Dakwah Pesantren” di Teatrikal Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga, Kamis (27/10). Film berdurasi 37 menit tersebut merupakan film dokumenter yang
menceritakan tentang sejarah dan potret kehidupan pesanrten dari banyak sisi.
Pesantren sudah ada sebelum merdeka. Dalam sejarahnya, kyai dan santri ikut membesarkan
NKRI. Konsep ini sebagai dampak dari resolusi jihad yang ditawarkan Kyai Hasyim Asyari.
Bahwa setiap orang itu harus berangkat mengusir penjajah, memberi semangat patriotisme
yang luar biasa lewat basis struktural yang ada.
Latar belakang film, seperti yang dijelaskan Hamzah Zahal selaku produser film, berawal dari
Hari Santri. Presiden Jokowi mengajukan sepuluh pesantren terpenting dalam
memperebutkan kemerdekaan dan mengusir kolonial. Lalu Hamzah tertarik membuat film
tersebut. “Ingin memunculkan pengembangan Islam secara langsung. Selama ini saya kira
belum banyak pesantren yang dimunculkan dalam citra visual yang rapi,” jelas Hamzah.
Hal ini diamini oleh Yuda Kurniawan, sutradara film. Selama sepuluh bulan, ia dan krunya
menampilkan perwakilan dari sekitar 12 Pondok Pesantren yang ada di Jawa, di antaranya
Pondok Pesantren (PP) Lasem, PP Krapyak, PP Kaliopak, PP Tambak Beras Jombang, dan
Di nusantara sendiri model pendidikan pra pesantren ada empat. Pertama, padepokan yang
merupakan model pendidikan agama Kapitayan (penganut animisme/dinamisme). Kedua,
dukuh, model pendidikan agama Hindu. Ketiga, asrama, model pendidikan agama Budha.
Keempat, peguron, model pendidikan Kahayangan. Lalu, Sunan Ampel, ia membangun
dukuh, tapi dukuh ini berbeda dengan dukuh orang Hindu.
Dalam dukuh ini, orang belajar kitab suci (sastra), orang yang mempelajarinya disebut sastri
dan meluas menjadi cantrik (santri) dan munculah tempat bersantri yang disebut pesantren.
Pesantren adalah komunitas kecil yang dipimpin oleh kyai. Pesantren menjadi lambang
pendidikan yang muncul dari pergerakan dan sedikitnya tempat menempuh pendidikan.
Tiap pesantren mempunyai kekhasan sendiri, baik yang coraknya tradisional, salafi, formal,
sampai yang modern. Basis pesantren selain mempelajari ilmu agama (tauhid, fiqih, hadis,
nahwu, dan lain-lain), juga belajar keilmuan dasar. Nilai-nilai spiritual pesantren jadi perekat.
Pesantren membangun rasa, tidak hanya rasio. Tidak hanya sekedar mencari ijazah, tapi juga
keberkahan ilmu.
“Pesantren itu berbaur dengan masyarakat, karena berasal dari masyarakat. Basisnya
masyarakat, kalau jauh dari masyarakat, maka bergeser dari tujuan awal,” kata Agus Moh.
Najib, dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga saat memberi sambutan.
Meski film ini dibuat dengan fotografis dan scene-scene yang indah, pembedah film Hairus
Salim dari LKiS memberikan kritik. Pertama, film tidak fokus sebab banyak sudut pandang
pesantren yang dipakai, dari hubugannya dengan kemerdekaan, sosial, budaya, dan lainnya.
Kedua, pesantren yang ditampilakan semuanya dari Jawa, tidak ada yang dari Kalimantan,
Sulawesi, dan tempat lain di luar Jawa. Ketiga, film belum merepresentasikan pesantren
secara mendalam, sebab hanya beberapa orang saja yang merepresentasikan dirinya. “Tidak
ada pengamat, alumni, santri yang ngomong, mungkin takut. 12 orang yang ngomong kyai
semua, ya baik semua. Ngomongin representasi kata kuncinya adalah represifitas,” kata
Hairus.
Link: https://lpmarena.com/2016/10/29/pesantren-sebagai-ranah-dakwah-kritis/
Lpmarena.com, Beraneka macam instalasi seni sore itu memenuhi halaman Taman Budaya
Yogyakarta (TBY). Karya intaslasi dan lukisan dibuat dari beragam media, dari batok-batok
kelapa, tong, kaleng roti, ban bekas, alat elektronik tak terpakai, hingga sampah-sampah
plastik. Judul-judulnya pun tak kalah aneka, dari Merkusuar Bahasa, Animal Last Week,
Empty Gift, Sabda Cora, dan lain-lain. Beragam bentuk dan kreativitas tersebut
dipersembahkan oleh 580 seniman beragam generasi dalam pameran Nandur Srawung #3.
Ketua Dinas Kebudayaan Yogyakarta Umar Priyono merasa sore itu memang nuansa TBY
seperti mendapat pencerahan dan suasana baru. Sesuai tema Nandur Srawung yang dalam
bahasa Indonesia berarti ‘menanam pergaulan’, Umar dalam pembukaan pameran
mengungkapkan para seniman dan masyarakat bisa sayeg rukun, saling srawung antar
sesama.
Umar juga mengajak masyarakat memanfaatkan Nandur Srawung sebagai sarana belajar.
Dari 580 peserta , Umar mencontohkan yang ikut ada yang dari difabel. Terdapat pula satu
peserta yang usianya 80 tahun bernama Bu Min, yang menasehati Umar, “Pak Umar kalau
mau sehat, melukislah.”
Bagi Umar dengan memanfaatkan potensi perupa yang ada di Yogyakarta, event seperti ini
tak hanya memiliki efek ekonomi, tapi juga memberikan efek secara personal. “Berkesenian
memberi efek kesehatan pada kita,” ujarnya, Minggu (16/10).
Link: https://lpmarena.com/2016/10/17/nandur-srawung-3-memberi-efek-kesehatan/
Berbeda dengan pameran-pameran seni rupa lainnya yang sering terjadi di Bentara Budaya
Yogyakarta, menurut Sindhunata, Remahili memiliki ciri khusus yang sangat terasa
Papuanya. Dari nada, irama, dan corak yang ditawarkan memiliki warna yang lain yang tak
terbayangkan di Jogja. “Rasa dan kedalamannya lain. Kita bisa mendengar bagaimana anak
Papua menciptakan kisahnya. Bukan ratapan politik, tapi seni,” ucap pria yang kerap
dipanggil Romo Sindhu ini dalam pembukaan pameran, Sabtu (15/10).
Kemanusiaan ini pun turut didukung dengan pernyataan Andrew Lumban Gaol dari Anti-
Tank. Bagi Andrew Orang Papua saat ini sangat tertutup dari media, sebagai imbas dari
kebijakan Jokowi lewat militer-militernya. Apa yang dilakukan Bertho dan Dicky menjadi
alternatif yang menyuarakan kondisi Papua secara jujur, tapi tak cenderung cerewet—
berbeda dengan orang non Papua yang sangat cerewet. “Baru kali ini ada pameran orang
Papua. Karyanya powerful. Berbicara sangat jujur. Banyak hal yang menjadi dosa kolektif
atas orang Papua,” kata Andrew.
Lebih jauh, Romo Sindhu berpesan Remahili diapresiasi sebagai bentuk kebudayaan. Ada
kedekatan yang sangat manusiawi yang bisa merefleksikan lebih jauh mengenai kondisi di
Papua. Tentang solidaritas dan keprihatinan yang rakyat Papua rasakan dan orang dari
wilayah lain tak mengetahuinya. “Kita akan melihat tangis, jeritan, dan harapan mereka,”
katanya.
Pesan dari Romo Sindhu ini selaras dengan apa yang diceritakan Dicky. Pameran ini
mengingatkan kita bahwa tiap orang punya waktu, kesempatan Remahili. Bukan tentang
bagaimana orang meratapi keterpurukannya, tapi bagaimana orang tersebut bangkit.
“Satu hal yang ingin saya sampaikan, ketika ada orang bilang ‘kae lho ada wong Papua
berantem’, saya ingin orang lain bilang ‘kae lho nonton orang Papua pameran’,” kata Dicky
menceritakan stigma orang Jogja atas Papua saat ngangkring di kawasan Bantul.
Agendanya pula pameran ini akan diselenggarakan dari tanggal tanggal 15-23 Oktober 2016 .
Jam buka 13.00-21.00 WIB, di ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta.
Link: https://lpmarena.com/2016/10/17/sisi-kemanusiaan-papua-lewat-remahili/
Lpmarena.com, Forum Umar Kayam PKKH UGM menggelar diskusi bertema “Merawat
Keberagaman yang Berkeadilan” di ruang timur PKKH UGM pada Rabu (12/10).
Menghadirkan Elga J Sarapung selaku direktur Institut Dialog Antar-iman/DIAN Interfidei.
Elsa membagi wilayah beragama menjadi dua. Pertama, forum internum yang berhubungan
dengan internal agama, seperti orang beribadah, yang merupakan wilayah privat yang tak
perlu diganggu. Kedua, forum eksternum yang berhubungan dengan di luar agama, yang pada
bagian ini sangat rentan dengan timbulnya masalah, karena berurusan dengan agama lain.
Forum eksternum semisal tentang radikalisme dan fundamentalisme agama yang sering
ditujukan pada Islam. Sebenarnya, gejala ini ada pula di agama lain, semisal Kristen
kaitannya dengan agama Saksi Yehuwa, yang oleh kelompok-kelompok Kristen dianggap
bukan Kristen. “Beda tipis dengan Syiah, yang dikatakan bukan Islam yang benar,” kata Elsa.
Stereotip-stereotip keberagaman iman lalu coba diminimalisir dengan dialog. Dalam DIAN
Interfidei contohnya, Elsa menggelar sesi “Udar Prasangka” antar iman. Ini dilakukan agar
satu antar lain tidak takut bicara tentang prasangkanya terhadap iman yang lain. Di mana di
sana Elsa menghadirkan para ahli agama untuk meluruskan prasangka.
Saat ini agama lebih banyak berurusan dengan instutisional. Masyarakat terjebak beragama
dalam tataran kuantitas, bukan kualitas. Seperti gereja dan masjid makin besar, tapi yang
masuk sedikit. Atau fenomena buku agama banyak, tapi pengalaman berinteraksi kurang.
Apa makna itu hubungan antar iman kurang dilakukan. Ini mengakibatkan orang lain tidak
memiliki filter yang kuat sehingga kecurigaan mudah masuk.
“Kita jangan membangun tembok. Kita bangun jembatan, caranya dengan kerjasama. Kalau
tidak isnya hanya kecurigaan. Dialog jangan mengharapkan yang bagus-bagus terjadi. Dialog
berhasil jika orang mampu mendengar orang lain mengenali dirinya,” tutur perempuan yang
juga pengurus Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi di Jakarta dan pemerhati usaha-
usaha Papua Tanah Damai ini.
Menurut Riki peserta diskusi, dalam satu agama saja bisa heterogen dan terkotak-kotak.
Diperlukan interaksi dan toleransi yang kemudian membangun etika hidup bersama dalam
masyarakat plural. “Iman bisa mengalami pendewasaan,” ucap Riki.
Link: https://lpmarena.com/2016/10/14/udar-prasangka-keberagaman-lewat-dialog/
Lpmarena.com, Yogyakarta yang terkenal sebagai kota kebudayaan, menurut Setyawan Sali
dari Dinas Kebudayaan DIY memiliki lima keistimewaan. Pertama, gubernur dan wakil
gubernur tidak dipilih oleh masyarakat, tapi oleh Sultan dan Pakualaman, dan masa
jabatannya tidak dibatasi. Kedua, pertanahan Yogyakarta dibagi menjadi tiga: tanah negara,
tanah rakyat, dan tanah Sultan Ground. Ketiga, tata ruang Yogyakarta ketika Kerajaan
Mataram mempengaruhi tata ruang Jogja saat ini. Keempat, organisasi pemerintah
Yogyakarta berbeda dengan daerah yang lain. Kelima, kebudayaan Yogyakarta sendiri yang
istimewa.
“Tak seperti daerah yang lain, Jogja punya aturan sendiri,” ucap Setyawan dalam seminar
kebudayaan bertema “Memperkuat Peran Pemerintah Daerah dalam Mendorong Kemajuan
Budaya dan Kesenian Lokal di Pentas Dunia” di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga,
Rabu (12/10).
Meski begitu, kebudayaan yang merupakan seluruh aktivitas manusia, baik dunia dan isinya
saat ini mengarah pada patologi sosial dan hilangnya budaya, yang digantikan oleh teknologi.
Kuatnya kapitalisme mengakibatkan degradasi kebudayaan yang serius. Inilah yang
diungkapkan oleh Muhammad Abdul Aziz, pembicara kedua dalam seminar.
Pernyataan Abdul diperkuat dengan penjelasan dari pembicara lainnya Moh. Soehadha,
selaku dosen antropologi UIN Sunan Kalijaga. Soehadha membagi sifat kebudayaan dibagi
menjadi dua, culture transformation yang mengubah rupa dan culture change yang
Dalam UUD 1945 pasal 32 telah diutarakan peran pemerintah dalam kebudayaan. Seperti hak
kebudayaan, kearifan lokal, kelestarian alam dan lingkungan hidup, dan jati diri bangsa.
Abdul mencontohkan implementasi ini lewat seorang tokoh dari Bantul bernama Wahyudi
Anggoro Hadi, yang membangun kebudayaan di Yogyakarta lewat Kampung Dolanan,
Panggung Lestari, sampai swadesa. “Kita butuh ratusan ribu penghubung. Butuh jutaan
kemasan,” tutur Abdul.
Link: https://lpmarena.com/2016/10/13/kebudayaan-yogyakarta-di-tengah-tumor-budaya/
Lpmarena.com, Bedah buku karya Awien SJT berjudul “Matahari Kecil dari Tanah
Minahasa” digelar di Teatrikal Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Suka, Rabu
(05/10). Hadir sebagai pembicara Ahmad Muttaqin selaku pakar pemikiran Islam dan dosen
UIN Sunan Kalijaga dan penulis novel Awien SJT, yang dimoderatori oleh esais
Almunauwar Bin Rusli.
Novel ini mengungkap sisi-sisi gerakan Islam lokal, khususnya penyebaran Islam di
Minahasa. Ini tak lepas dari peran tokoh, seperti Kyai Mojo, Al Jufri, sampai Muhammad
Abduh. Salah satu tempat yang menjadi sorotan adalah Kampung Jawa Tondano, di mana
kampung tersebut masyrakatnya berketurunan Jawa dan banyak yang beragama Islam.
Lebih lanjut, penyebaran agama saat ini bagi Awien tidak hanya pada ranah perang wacana,
tapi juga melalui simbol. Sedangkan di Indonesia simbol yang dominan adalah simbol barat.
“Di Manado ada patung Yesus terbesar kedua setelah Brazil, simbol ini disampaikan lewat
novel,” kata penulis yang juga mahasiswa pascasarjana UMY ini.
Meski lokal, bagi Mutaqqin novel tersebut juga memotret problem yang lebih luas, salah
satunya tentang konflik politik lokal yang dibawa Awien. “Ini novel sejarah. Yang menjadi
Novel tersebut juga mengulas tentang tokoh bernama Zaki yang memiiliki karakter yang
cerdas, beragama kuat, dan inspiratif. Tokoh ini meski saat menjadi mahasiswa aktif di
gerakan dan mempunyai jejak akademik bagus, tapi ia tak silau dengan kota dan mau kembali
membangun desa. Di desa, Zaki membangun masyarakat dengan kegiatan-kegiatan kreatif.
“Dalam Sosiologi Agama, perubahan sosial tidak dimulai dari mayoritas, tapi kelompok kecil
kreatif yang konsisten dan mempunyai visi,” ujar Muttaqin.
Awien menambahkan novel kedua yang ditulisnya ini dipengaruhi oleh novel-novel karya
Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, serta Dan Brown. Selain dari penulis-penulis
tersebut, Awien memilih dan meriset apa-apa saja untuk menyelesaikan novelnya ini, baik
dari pengetahuan ataupun pengalaman. “Tidak semua yang terjadi ditulis, dan tidak semua
yang ditulis terjadi,” tuturnya.
Link: https://lpmarena.com/2016/10/06/awien-ceritakan-perkembangan-islam-di-minahasa-lewat-
novel/
Lpmarena.com, Metafora Padma merupakan buku antologi cerpen karya Bernard Batubara.
Karya ini dipersembahkan Benz (panggilan akrab Bernard) untuk masa kecilnya saat tinggal
di Desa Anjungan, Kalimantan Barat sekitar tahun 1997. Secara keseluruhan bercerita
tentang konflik sosial masyarakat, yakni pertikaian antar suku.
Cerpen Metafora Padma sendiri berkisah tentang seorang wanita bergaun putih bernama
Padma yang datang ke suatu pesta. Padma mabuk dan bercerita tentang manusia-manusia
yang terlentang, tertelungkup, dan tergeletak di jalan. Lalu ada tokoh lain yang bercakap
dengan Padma. Cerita Padma mengingatkan tokoh pada masa lalunya, pada kampung
halamannya, dan pada ibunya. Ibu yang dengan kasih sayang menceritakan pada tokoh
tentang tentang bunga lotus (sinonim padma/teratai) dan makna-maknanya.
“Ini cerpen yang saya tulis tahun 2015. Pemicunya dari bunga lotus, bunga yang ditanam ibu
saya,” kata Benz dalam diskusi sastra yang memperbincangkan tentang “Metafora Padma” di
Hall PKKH UGM, Selasa (27/09). Diskusi turut menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu
Puthut EA (sastrawan) dan Muhammad Qadafi (mahasiswa pascasarjana ilmu sastra UGM).
Menurut Benz, banyak hal yang terjadi di desanya saat ia kecil. Ada tentara dan markasnya
yang tinggal dan beroperasi mengamankan daerah Benz tersebut. “Tentara bahasanya
‘mengamankan’, ternyata ada kerusuhan. Justru subjek yang paling disasar adalah subjek
tentara. Orang dianggap negatif, hanya karena dia dari suku tertentu,” ujar Benz. Ia
menambahkan seburuk apapun masa lalu, sastrawan tak harus memanfaatkan keburukkan itu.
Link: https://lpmarena.com/2016/09/30/metafora-padma-suku-yang-bertikai-dan-cerita-masa-kecil/
Dalam kereta tanpa kepala itu kepala-kepala saling terantuk kantuk, siku saling bertemu.
Celoteh anak-anak bertegur seru melebur deru. Seorang ibu bergayut cemberut di wajahnya
yang kusut. (Prameks I, Slamet Riyadi Sabrawi)
Lpmarena.com, Puisi Prameks I di atas merupakan salah satu puisi dari enam puisi karya
Slamet Riyadi Sabrawi yang dibahas dalam diskusi sastra PKKH UGM. Hadir sebagai
pembahas sastrawan Bernard Batubara (Bara) dan mahasiswa Ilmu Sastra UGM, Yudo Suryo
H. Diskusi dilaksanakan di ruang timur PKKH UGM, Kamis (28/07).
Yudo menganggap enam puisi karya Slamet, yakni: Di Atas Ketinggian 20.000 Kaki Tangan
Sepi; Jalan Kramat VII Di Dua Kantor Redaksi; Menuju Senyap; Prameks I; Sajak Peragu;
dan Sapi, Kuda dan Seekor Puisi sebagai sebuah catatan. Yudo mencoba menangkap makna
dari kata-kata sederhana yang digunakan Slamet. “Memang terkesan pribadi, tetapi kedekatan
orang lain bisa merasakan yang sama. Ada semangat yang sama dan dibangkitkan melalui
puisi-puisi itu,” katanya.
Lebih dalam lagi enam puisi Slamet tersebut akan mendapatkan kebaruan maknanya ketika
dikaitkan dengan karya lain atau peristiwa lain yang lebih besar. Yudo memisalkan peristiwa
‘98 yang menjadi titik tolak, di mana peristiwa tersebut dapat dikembangkan menjadi karya
sastra yang lain. “Karya tidak hanya dinikmati secara estetik, tetapi juga ada fungsi yang
lain,” ucapnya.
Bagi Bara, kesan pertama puisi-puisi Slamet Riyadi Sabrawi penuh dengan rima. “Rimanya
penuh. Penyairnya seperti senang memanggungkan puisi, karena yang penuh rima enak
dibaca, dipanggungkan. Kalau dideklamasikan pas,” kata penulis buku Angsa-Angsa
Ketapang ini.
Ada dua kriteria yang Bara pakai dalam membaca suatu karya, khususnya puisi. “Pertama,
apakah saya menyukai puisi itu? Kedua, apakah puisi itu bagus?” tanyanya. Suka dan bagus
memiliki definisi yang berbeda.
Suka lebih bersifat subjektif. Meski dengan kata-kata basi yang dirangkai dengan majas-
majas yang tidak kreatif, seseorang bisa menyukai jenis puisi tersebut karena puisi itu
bersentuhan dengan batin seseorang. Sedangkan bagus lebih objektif, berkaitan dengan
makna, juga teori-teori sastra. Puisi yang bagus bagi Bara tidak akan pernah selesai dimaknai.
“Penulis punya tendensi spesifik. Kamu boleh buang puisi yang orang lain anggap bagus,”
ujarnya.
Contoh puisi Slamet yang berhasil membuat Bara suka adalah puisi berjudul Prameks I.
Bercerita tentang seseorang yang berada di dalam kereta Prambanan Ekspress. Puisi tersebut
membangkitkan memori Bara akan kisah cintanya dengan seorang perempuan saat pertama
kalinya ia naik kereta Prameks. Yang mana sekarang perempuan tersebut telah menikah dan
memiliki anak, tapi bukan dengan Bara. “Ada suasana nyata, saya bacanya suatu potret.
Kenapa berkesan? Karena berhasil menyentuh saya di level personal,” Bara berkisah.
Puisi bagus bagi Bara sangat mungkin dihasilkan pembacaan berbeda-beda pada setiap orang.
Makna baru akan muncul dikali berikutnya ketika kita menyukai puisi. Pemaknaan terhadap
sesuatu pun berbeda-beda sesuai dengan pengalaman, pikiran, dan tendensi seseorang.
“Puisi kayak rumah. Pengen di ruang tamu boleh, di dapur boleh, di toilet boleh. Puisi yang
jelek, ketika orag baca akan masuk di ruang yang sama,” jelasnya.
Link: https://lpmarena.com/2016/07/29/membaca-kesan-enam-puisi-slamet-riyadi/
Lpmarena.com, Pada hari Minggu (24/07) sore, sekumpulan pecinta buku dari Klub Baca
Yogyakarta duduk membentuk elips di salah satu Kafe di daerah Sagan, Indiecology. Mereka
berkumpul untuk deklamasi puisi sekaligus berdiskusi tentang buku karya M. Aan Mansyur
berjudul Tidak Ada New York Hari Ini. Buku tersebut berisikan 31 puisi Aan yang juga
diselingi karya-karya fotografi karya Mo Riza.
Tiga puisi di dalam antologi tersebut digunakan oleh sutradara Riri Riza untuk mengisi film
Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2). Aan mewakili Rangga yang menuliskan puisi bernaskan
cinta dan New York untuk Cinta. Dua sejoli ini dalam kisahnya telah berpisah selama 14
tahun, kemudian bertemu lagi.
Meski puisi cinta kebanyakan dibuat dengan bahasa yang menyek-menyek sampai puitis, bagi
Suryawan WP, penulis novel yang ikut membacakan puisi Aan tersebut menyatakan bahwa
Aan tak menuntut terlalu keras untuk menjadi penyair. Baginya puisi adalah museum yang
lengah.
Salah satu puisi yang dibahas berjudul Akhirnya Kau Hilang, bagi Surya bercerita tentang
kehilangan, tapi sesuatu yang hilang itu justru bereksistensi di mana-mana. “Seseorang yang
hilang, sebenarnya telah ada di mana-mana. Rangga suka galau, tapi galau yang ikhlas,” ujar
penulis novel Hari Tak Selamanya Malam ini.
Puisi yang dibacakan selain dua puisi di atas, di antaranya: Pukul 4 Pagi, Batas, Ketika Ada
yang Bertanya Tentang Cinta, Kemiskinan Bahasa, Di Dekat Jendela Pesawat Terbang,
Pertanyaan Tentang Rindu, Aku Senang Memikirkanmu, dan lain-lainnya.
Link: https://lpmarena.com/2016/07/28/galau-yang-ikhlas-dalam-tidak-ada-new-york-hari-ini/
Lpmarena.com, Sawang Sinawang, forum selapan malam Jumat Kliwon menggelar diskusi
edisi perdananya bertema “Sinau Nguwongke Wong” (Belajar Memanusiakan Manusia) di
Mbelinger Codai, Jl. Kebun Raya 43 Jogja, Kamis (23/06/2016). Menghadirkan Zuhridha
Siregar, pegiat sosial di Yogyakarta.
Diskusi sawang sinawang ini diawali dengan perkenalan masing-masing peserta yang hadir
satu per satu, sehingga tercipta suasana hangat saling kenal mengenal. Kemudian disusul
dengan cerita dari Rut, begitu panggilan akrab Zuhridha. Orang Medan yang merantau ke
Yogyakarta dan ketika masih menjadi mahasiswa sudah melakukan kepedulian riil-nya
terhadap orang gila.
“Di Jogja yang sedemikian luas, hanya sedikit yang waras. Kebanyakan kita sebenarnya
orang gila, yang ketika bertemu dengan orang gila tidak ada interesting, sehingga kita selalu
butuh dikasihani. Bu Rut dukunnya orang gila,” kata Sugito Ha Es, pemandu diskusi.
Seringkali kita menganggap, orang yang punya kekurangan itu tidak berguna, bagi Rut tidak.
“Tahun 2004 saya ketemu orang gila, saya sapa, saya mandikan, saya ajak nyanyi, dan dia
merasa diperhatikan, dia merasa dihargai,” kata Rut.
Cerita lain yang tak kalah menyentuh yakni kisah anak ibu kos (di mana Rut kos) memiliki
anak laki-laki gila. Anak ibu kos yang gila tersebut sering ada di jalan, tapi tidak diurusi
orang tuanya. Lalu Rut membawa anak tersebut pulang ke kos, Rut merawatnya. “Ibunya
Di lain waktu juga ketika Rut berjualan di alun-alun utara (altar) Yogyakarta, ada orang gila
yang sering meminta minuman padanya. Rut memberikan minuman dagangannya asalkan
orang gila tersebut mau menghitung jumlah bus yang ada di altar. “Lama-lama dia pintar
berhitung,” kata Rut. “Kita belajar menghargai orang. Oh ya, punya kelebihan,” tambahnya.
Untuk melakukan pedekatan terhadap orang gila. Secara ringkas Rut memberikan tiga hal
yang menjadi kekuatan. Yakni: doa, kasih sayang, dan berikan yang terbaik. “Doa itu
kekuatan. Kita jangan takut dulu. Berikanlah yang baik, jangan berikan sisa,” kata Rut. Bagi
Rut, ada satu kebahagiaan ketika dapat membantu orang. Satu prisnipnya, yaitu tidak ada kata
putus asa.
Saat ini meski dengan keterbatasan finansial, Rut juga peduli terhadap gelandangan dan anak-
anak jalanan. Hingga tercipta pendirian Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB) oleh para
relawan. Rumah belajar ini mendidik anak-anak yang terlantar, baik oleh keluarga atau
lingkungan.
“Bukan mimpi saya, tapi mimpi bersama. Kita lakukan dengan rendah hati. Marilah
membangun Indonesia dari bawah, dari anak-anaknya,” kata Rut ketika ditanya tentang
mimpinya. Yang menjadi keunikan juga, Rut ketika diskusi ini dilaksanakan dengan malu
mengatakan bahwa dirinya gemetar berbicara di depan. Menurut penuturan Sugito, ketika
banyak orang yang berebut publikasi di internet atau di mana pun, Rut tidak mau dirinya
dipublikasikan, ia menolak ketika ada yang ingin membuat profilnya.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/28/memanusiakan-orang-gila/
“malam telah tanak, sampai kepulan ke berapa lagikah kita akan mengemas mimpi, memilin
kenangan-kenangan yang patah, juga merapalkan doa-doa yang sumbang? tidakkah kau
belajar pada pohonan yang mengacungkan alif ke langit, lalu mengekalkan lam ke akar-
akarnya dan setiap jengkal batang, lalu semesta mendengungkan mim lewat daun-daun yang
jatuh satu-satu menciumi pipi tanah”
Lpmarena.com, Penggalan puisi di atas merupakan puisi karya penyair kelahiran Brebes,
Dimas Indiana Senja berjudul Nujum. Lima puisi Dimas berjudul Nokturno 1; Nokturno 3;
Lengkung; Nujum; dan Kudus dibahas dalam diskusi sastra PKKH UGM bertema
“Nokturno”. Diskusi dilaksanakan di Hall PKKH UGM, Kamis (23/06/2016). Menghadirkan
penulisnya langsung dan dua pembahas.
Sastrawan Slamet Riyadi Sabrawi (pembahas I), mendedah tiga puisi Dimas. Dalam puisi
Nokturno 1 tema sunyi yang dibawa Dimas, di Nujum bagaimana Dimas dengan ringan bicara
Ali-Lam-Mim, dan di puisi Lengkung tentang masalah transenden, ini terkait kepengarangan
Dimas sebagai seorang santri. “Kelebihan Dimas adalah bagaimana mengolah ini menjadi
berbagai macam imaji,” kata Slamet.
Ada dua penyair yang berpengaruh dalam kepenyairan Dimas menurut Jalu Norva Ila Putra
pembahas II, yakni Abdul Wachid B. S. dan Arif Hidayat. Ini ditunjukkan dari gaya
penceritaan yang romantis. Jalu menambahkan, dalam lima puisi yang didiskusikan entah
sengaja atau tidak, selalu diawali dengan penggambaran terhadap waktu. “Malam jadi
dominasi. Selain waktu, kondisi juga digambarkan dengan detail,” ucap Jalu.
“Nujum” dalam Islam dianggap sebagai perbuatan yang kurang islami. Namun bagi peserta
diskusi bernama Rolland mengartikannya berbeda. “Saya pernah berasrama, tapi di Katolik.
Konsep nujum berarti sesuatu yang memberi inspirasi atau nasihat. Ketika saya baca puisi
Nujum, saya tidak menemukan sesuatu yang meginspirasi atau nasihat. Malah ini kayak orang
curhat,” kata Rolland.
Menanggapi Rolland, Dimas menjelaskan Nujum dibuat ketika malam tahun baru di Bukit
Bintang. Nujum lebih berarti perbintangan, ilmu falaq. “Banyak hal yang ingin saya
sampaikan. Saya menyampaikan sindiran di tahun baru, berapa perawan lagi yang akan
tanggal?” ungkap Dimas reflektif.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/28/tadarus-nokturno-dimas-indiana-senja/
Jumat (17/06/2016), pembacaan dan diskusi bersama OOB digelar oleh Klub Baca Buku
Jogja di Mooi Kitchen, Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta. Menghadirkan Joni Ariadinata
(sastrawan dan redaktur Majalah Horizon) dan pegiat sastra, Prapti Alpandi. Metode
pembacaannya sendiri dilakukan secara bergantian oleh peserta diskusi.
OOB terdiri dari tujuh cerpen, yakni Laki-Laki Tua Tanpa Nama; Joshua Karabish;
Keluarga M; Orez; Yorrick; Ny. Elberhart; dan Charles Lebourne. Salah satu cerita yang
dibaca berjudul Charles Lebourne. Menceritakan tentang seorang anak yang menemukan
ayah kandung yang dulunya jahat dan tak bertanggungjawab pada ibunya. Si anak balas
dendam dengan mendekati si ayah, memuji-muji ayahnya, hingga diketahui kelemahan si
ayah yang punya penyakit dan bisa kambuh karena sakarin. Si anak dengan sengaja
menambahkan sakarin dan dikonsumsi ayahnya. Akhirnya, kisah ini ditutup dengan hal yang
tak terduga. “Tengilnya, setiap hari dia sabar untuk balas dendam. Lalu ayahnya sakit, anak
menyesal sampai membawa ayahnya kemana-mana. Itulah sisi manusia,” ujar Joni.
Bagi Joni, narasi Budi Darma di OOB sudah keji di awal penceritaan. Nyaris secara garis
besar keseluruhan cerpen dalam OOB diceritakan dengan sudut pandang “aku” yang
Bagi Prapti, OOB sangat mengusik kesadaran dan masih relevan bagi generasi sekarang.
“Saya diajak kontemplasi. Kita sering berprasangka dan yang kita prasangkakan itu yang
terjadi. Entah lewat diri sendiri atau orang lain,” kata Prapti mendedah salah satu pesan yang
disampaikan OOB.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/21/orang-orang-bloomington-wajah-ganda-karakter-manusia/
Lpmarena.com, Suatu karya yang lahir selalu mempunyai dua kemungkinan, disimpan atau
dipamerkan. Orang menghabiskan waktu untuk mencari, membentuk, bereksperimen dengan
semua kemungkinan demi menghasilkan apa yang dinamakan karya. Proses inilah yang
ditarik oleh enam seniman: Budi Kustarto, Dewa Ngakan Ardana, Iskandar Fauzy, Kokok P.
Sancoko, M. Irfan, dan Wilman Syahnur dalam pameran seni rupa bertajuk “Pamerkan
Saja!”.
Pameran yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta dari tanggal 14-22 Juni 2016 tersebut
seperti yang dikatakan Sindhunata, mencoba menembus segala macam rasa takut dengan
mengkomunikasikan sebuah karya kepada publik.
“Judul pameran ini menaraik; Pamerkan Saja! Kita selalu enggan berkarya. Takut ini, takut
itu, kuatir. Tapi bagi saya seni itu nekat. Bagaimana pun kreatifitas sekecil apapun harus
dikomunikasikan, pamerkan saja,” ujar pria yang juga kerap dipanggil Romo Sindhu dalam
pembukaan pameran, Selasa (14/06/2016).
Romo Sidhu menjelaskan perupa umumnya tak punya kata-kata untuk menggambarkan
karyanya. Pameran begitu kaya dan sedikit seniman yang mampu mengembangkan dalam
kata-kata. “Harus mencoba merasakan apa yang di balik perupa,” ujarnya.
“Yang saya rasakan juga dari lukisan Budi, dari dalam kuda begitu banyak hal-hal yang
mengkhawatirkan. Suatu kerinduan akan kehijauan, sebuah bangunan yang begitu rusak,”
ucapnya.
Ada pula karya di mana ada lukisan yang di depan lukisan tersebut ada patung Cut Nyak
Dien yang datang seperti melompat. Seperti keluar meregang dari lukisan ke tubuh patung.
Hal ini bagi Romo Sindhu menggambarkan bagaimana seni rupa bisa menciptakan dinamika.
Semua sejarah ada pada dinamikanya. “Membawa suatu kesunyian yang luar biasa. Dalam
kesunyian orang bisa terbang,” kata penulis senior Kompasdan majalah Basis ini.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/15/berkarya-pamerkan-saja/
Lpmarena.com, Sebanyak 2.615 calon mahasiswa baru tahun akademik 2016/2017 UIN
Sunan Kalijaga mengikuti tes tertulis Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Negeri (UM-PTKIN). Tes tulis dilaksanakan di Kampus UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda
Adisutjipto selama dua hari, 14-15 Juni 2016. Dari pukul 07.00-11.00 WIB.
Materi yang diujikan secara umum tergantung jurusan yang diambil. Ada IPA, IPS, atau IPC,
ditambah ujian tentang Tes Potensi Akademik dan keislaman. Salah seorang orang tua yang
mengantar anaknya mengikuti UM-PTKIN adalah Utami dari Magetan. Ia berangkat dari jam
dua dini hari mengantar putrinya bernama Amira untuk mengikuti UM-PTKIN dengan
pilihan jurusan Ekonomi Syariah dan Manajemen Dakwah. “Tes sampai besok, dua hari.
Besok Amir IPS,” kata Utami.
Selain itu, peserta ujian asal Kebumen bernama Siti Nurhayati pun menjelaskan awalnya
dirinya mendaftar online dan membayar biaya tes sejumlah Rp 150.000,00. Lalu hari ini ia
mengikuti UM-PTKIN dan menunggu pengumuman yang akan keluar pada 18 Juli 2016.
Berbeda dengan Siti, Novita Dian Pangestu, Selasa (14/6/2016) melakukan verifikasi data
Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN-
PTKIN). “SPAN kayak SNMPTN, dapat undangan. Gak ada biaya pendaftaran dan pakai
rapot,” kata Novita yang dari jalur tersebut telah diterima di jurusan Pengembangan
Masyrakat Islam (PMI). Dari data yang dilansir dari web resmi uin-suka.ac.id sendiri, jumlah
peserta verifikasi SPAN-PTKIN ada 1.050 mahasiswa.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/14/uin-suka-dipadati-3-665-peserta-um-ptkin-dan-span-ptkin/
Lpmarena.com, Akhir-akhir ini Indonesia rentan akan tindak kekerasan seksual, khususnya
yang terjadi pada anak-anak. Bahkan di media ada peringatan khusus tentang “Darurat
Kekerasan Seksual”, terlebih setelah mencuatnya kasus YY. Adriano Rusfi, praktisi psikologi
nasional dalam Dialog Islam short course dengan tema “Mengurai Benang Kusut Kekerasan
Seksual pada Anak” mengatakan harus adanya tindakan prevensi sebelum kejahatan seksual
itu terjadi.
Setidaknya ada empat tindakan preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan
seksual menurut Adriano yang ia tuturkan di ruang utama Laboratorium Agama Masjid UIN
Sunan Kalijaga, Sabtu (11/6/2016).
Pertama, membangun ego. Adriano memberi definisi yang sangat berbeda terkait ego dengan
sifat egois atau tindakan egoisme. Ego lebih pada naluri manusia akan kediriannya, kaitannya
dengan memperjuangkan hak-hak dasar. “Bangsa ini egonya lemah. Struktur egonya lemah.
Aku-nya lemah. Biarkan dia (anak) memperjuangkan haknya, dia harus punya ego yang
kuat,” kata Adriano.
Kedua, mempersiapkan anak akan kekerasan itu sendiri. Artinya adanya pemahaman pada
anak bahwa hidup semakin hari semakin keras. Budaya sering memanjakan anak,
membuatnya tidak mandiri sehingga ia kesulitan menghadapi kenyataan. “Anak diajak
berjuang. Jangan sering dilindungi,” ucap Adriano yang juga dosen ITB ini.
Ketiga, kasus seksual jangan banyak di-expose. Media memegang peranan penting dalam
persoalan ini. Sifat anak yang lebih cepat lupa harusnya tidak sering dibangkitkan dengan
penayangan-penayangan di media berulang kali, karena bagi Adriano ini justru akan
menambah luka.
Terkait tema ini, Muqowim, prkatisi pendidikan Fakultas Tarbiyah UIN Suka berkomentar
agar masyarakat lebih kritis lagi menerima berbagai banjiran informasi, khususnya yang
menyangkut kekerasan seksual. Sebab, apa yang masuk adalah apa yang keluar. “Pendidikan
kita semakin menguat(ir)kan. Hakikat sesuatu itu netral, yang tidak netral itu perspektif.
Pisau itu netral, tapi di tangan pembunuh atau di tangan chef, menjadi tidak netral,” tuturnya
menganalogikan.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/12/prevensi-kekerasan-seksual-pada-anak/
Lpmarena.com, Berawal dari salah satu wisma di Kaliurang, Forum Komunikasi (Forkom)
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN Sunan Kalijaga berdiri sejak 1 September 2003.
Forkom dibentuk dengan tujuan antara lain merealisasikan prinsip kerjasama, wahana
menghimpun gerakan kolektif-progresif, dan pengembangan UKM itu sendiri. “Forkom
terbentuk karena adanya keluh kesah atas rendahnya hubungan emosional dan minimnya
komunikasi UKM,” ujar Anwar ketua Forkom 2015-2016.
Pada hari Jumat, 10 Juni 2016, segenap keluarga besar 17 UKM berkumpul dan duduk
bersama di panggung utama Student Center mengadakan pesta demokrasi calon ketua baru.
Hal ini mengingat telah berakhirnya satu kepengurusan Anwar.
Setelah pembacaan LPJ, terpilih empat bakal calon ketua, yakni Kiki dan Hanna dari UKM
Studi Pengembangan Bahasa Asing (SPBA), Aziz dari UKM Olahraga, dan Muhammad
Abdul Rouf dari UKM LPM Arena. Setelah menyampaikan sedikit sambutan, diadakan
voting dari peserta yang hadir. Hasil voting diperoleh: 8 memilih Aziz, 39 memilih Rouf, 14
Untuk ke depan Forkom memiliki tujuan sendiri yang telah dipetakan. “Forkom siap
dijadikan media ke depan UKM untuk bersama,” ujar Rouf. Lalu acara ditutup dengan buka
bersama 17 UKM.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/12/forkom-ukm-pilih-ketua-baru-periode-2016-2017/
Sebagai dikursus, teologi pembebasan bukan hal yang baru, dari tahun 70-an intelektual
Islam Indonesia sudah akrab dengan ajaran yang dibawa oleh uskup Peru, Gustavo Gutierrez
ini. Hingga di tahun 90-an muncul buku berjudul Teologi Pembebasan.
Roy menjelaskan bahwa pada hakikatnya agama adalah membebaskan. Jika agama tidak
membebaskan bukan agama. Secara historis-sosiologis agama lahir dari rakyat, tidak ada satu
pun agama yang lahir dari istana. “Banyak kemiskinan dan kemalagan hidup. Agama lahir
dari rakyat,” kata Roy.
Meskipun demikian diskursus agama di Indonesia bersifat ahistoris. Di Indonesia ada dua
golongan besar yang berperan dalam perkembangan agama: pertama intelektual, kedua
rohaniawan yang sebagian besar dua golongan ini berjarak dengan rakyat dan memunggungi
massa. Diskursusnya masih belum benar-benar berpijak pada yang dihadapi umat. “Saya rasa
membaca agama secara material historis belum ada. Kalau pun ada belum kontekstual,” ucap
Roy.
Kontekstual di sini berarti banyak kegiatan sekarang membuat kegiatan yang tak ada
hubungannya dengan kemampuan umat. Misal, DAI di TV lebih tampil sebagai lelucon
daripada pemberi solusi umat. Sedikitnya tindakan material seperti ada gerakan membangun
masjid/gereja untuk kaum papa.
Bagi Banawiratma pembebasan dan melawan tidak identik dengan kekerasan. Banaritwa
menawarkan konsep agenda politik minimalis. Di mana jangan memikirkan kebaikan dulu,
lihat akibatnya dulu. “Agama itu mistik dan politik, dan sekarang agama lepas dari keduanya
dan menjadi aturan-aturan,” kata Banawiratma.
Link: https://lpmarena.com/2016/06/12/agama-perlu-dibaca-secara-material-historis/
Lpmarena.com, “Menulis seharga dengan nyawa atau kebebasan seseorang,” begitulah yang
dikatakan oleh Hafidz Muftisany dalam seminar bertajuk Harmonisasi Fisika dengan
Keterampilan Writerpreneur. Acara diselenggarakan oleh Hima-PS Fisika, Sabtu (14/5) di
Gedung Teatrikal Saintek UIN Sunan Kalijaga.
Hafidz yang juga berprofesi sebagai wartawan dan redaktur Republika ini menerangkan,
ketika Perang Badar di zaman rasulullah, saat itu Islam menang. Tawanan perang akan
dibebaskan asalkan mengajarkan menulis. Itu sebabnya menulis sangat berharga bagi
kebebasan seseorang, bahkan nyawanya.
Pengalaman awal menulis seperti yang dicontohkan Hafidz dimulai saat masih kecil.
Misalnya saat menulis diary, yang ketika tulisan dulu itu dibaca lagi maka akan menimbulkan
tawa. “Bukti tulisan berkembang, ketika kita baca tulisan kita lima atau sepuluh tahun lagi
pasti tertawa,” ujar Hafidz dengan diselingi humor. “Apa yang kita tulis adalah apa yang kita
baca. Baca apapun,” tambahnya.
Setidaknya ada empat alasan kenapa harus menulis seperti yang dipaparkan Hafidz. Pertama,
selain membaca kita diperintahkan untuk mencatat, seperti yang tertuang dalam surat Al-
Alaq: 4. Kedua, sebagai strategi dakwah rasulullah mengembangkan dakwah Islam. Ketiga,
menulis meninggalkan sejarah. Keempat, menulis sebagai sarana kemandirian.
Dari manfaat dan melihat energi yang dihasilkan dari menulis, Asih Melati selaku dosen
Fisika UIN Sunan Kalijaga menuturkan di toko buku, karya-karya banyak diproduksi oleh
Link: https://lpmarena.com/2016/05/17/menulis-seharga-dengan-kebebasan/
“Pers mahasiswa banyak diintimidasi oleh kepolisian, tentara. Di beberapa data yang saya
baca dari kasus itu yang paling banyak tentang intimidasi,” kata Somad di Parkiran Timur
UIN Sunan Kalijaga, Jumat (13/5).
Kasus Lentera misalnya, dari kasus tersebut belanjut tak hanya soal majalah yang dibredel,
tetapi juga kasus itu telah masuk ke kejaksaan atau meja hijau. Ini berawal dari Berita Acara
Pemreiksaan (BAP) kepolisian terhadap tiga orang dari Lentera. “Aktivis persma di Lentera
terancam hidupnya di pengadilan. Saat kita menghubungi kejaksaan yang menangani kasus
mereka, kejaksaan bilangnya mungkin akan dipanggil lagi,” ungkap Somad, tapi hingga saat
ini kasus tersebut masih meggantung.
Somad menjelaskan di kasus lain, kawan persma di Ternate, Maluku dituding tentara,
dianggap menyebarkan isu ideologi tertentu. Ditambah lagi kekerasan tidak hanya terjadi
secara struktural, tapi juga mulai mengarah ke fisik, seperti aktivis persma ditangkap dan
Bagi Somad, sekarang ini baik birokrasi kampus maupun institusi pemerintah telah banyak
menyerang persma karena persma cukup ditakuti. Saat ini dan akan datang persma akan
mengalai represifitas, karena persma selalu rasa ingin tahunya sangat tinggi dan ingin
melakukan perubahan. “Dari sana bekal keberanian dan semangat juang mereka menjadi
momok yang cukup mengerikan bagi kampus dan institusi pemerintahan,” kata pemuda yang
juga aktif di LPM Poros UAD ini. Di mana di persnya sendiri bergejolak tentang pembekuan
dan pembredelan.
Bagus Dwi Danto, musisi yang aktif menyuarakan lagu-lagu kritis dalam kesempatan
launching Marjinal juga meggatakan bahwa teman-teman persma lebih objektif dalam
meilhat persoalan, berbeda dengan arus media utama yang tidak seberani persma. Danto pun
ikut prihatin atas pembredelan Poros UAD. Kampus yang harusnya tempat bersemainya
pikiran kritis, malah mengalami tindakan represif kampus. “Kita harus ngomong karena
banyak yang harus dibicarakan. Semua punya tanggung jawab ikut berkontribusi dengan apa
yang kita bisa. Pena dan tulisan jadi alat yang baik untuk perubahan sosial,” ujar Danto.
Untuk itu Somad memiliki harapan pada kawan-kawan persma untuk bersatu dan semakin
berjejaring. “Kita menyadari bahwa tindakan intoleransi semakin marak. Semangat untuk
bersolidaritas sangat dibutuhkan untuk saat ini dan masa depan. Ketika ada kasus tidak
dikerjakan sendiri,” tutup Somad.
Link: https://lpmarena.com/2016/05/17/persma-darurat-kekerasan/
“Seperti bulan, manusia memiliki dua sisi, gelap dan terang. Di mana kemunafikan, angkara,
dan kenistaan bagai penyakit yang menjalar dalam setiap sel tubuh, teridap, dan sulit
disembuhkan. Bagaimanakah bila sisi yang gelap itu diselimuti mendung?” (Bulan
Mendung)
Seperti inilah sepenggal sinopsis dari pertunjukkan teater berjudul “Bulan Mendung”
sutradara Edita Purwa dan naskah karya Indah Hijrina. Pertunjukkan kedua dari pentas
laboratory 2 repertoar setelah pertunjukkan Asmaradahanaoleh Komunitas Luweng yang
dihelat di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (7/5).
Pertunjukkan yang berlangsung sejak pukul 20.11 WIB dengan durasi pentas sekitar satu jam
ini merupakan proyek garapan anggota baru Komunitas Luweng. Aktornya terdiri dari: Sinar,
Ongki, Indah, Sinta, Ida, Angel, Fika, Kiki, Poppy, dan Dita. Dengan Penata musik Romi dan
Thomas. Proses penggarapan Bulan Mendung memakan waktu dua bulan.
Bulan Mendung diangkat dari cerita wayang dalam kisah Baratayudha. Di mana Edita Purwa
selaku sutradara menceritakan kisah ini berawal dari perselisihan antara Puntadewa dan
Duryudana memperebutkan Drupadi (istri Putadewa). “Itu memang ada di dalam wayang,
lalu kami ambil dalam kisah teater ini dengan garapan surealis,” kata Purwa.
Bulan Mendung menceritakan tentang human trafficking atau penjualan manusia. Dalam
pentas digambarkan bagaimana Puntadewa kalap dan kalah oleh permainan judi di kantor
Duryudana. Puntadewa mengorbankan tak hanya uang dan sertifikat tanah, tapi juga istrinya
sendiri, Drupadi. “Pesan yang ingin disampaikan adalah sifat manusia yang sebenarnya itu
Purwa melihat human trafficking di era sekarang semakin mengkhawatirkan, bahkan ada
yang human trafficking manusia tak hanya dijual, tapi juga diperkosa dan dikeluarkan organ
ginjalnya. Ditambah perjudian manusia semakin biasa di jaman sekarang. “Memang saya
mendengarnya langsung dari teman saya. Ini saya tergelincir untuk mengejek orang-orang
agar peka dengan lingkungan sekitar,” ujarnya.
Link: https://lpmarena.com/2016/05/08/kritik-human-trafficking-dalam-bulan-mendung/
Lpmarena.com, Cahaya warna lampu bohlam perlahan memperlihatkan dua tokoh wayang,
Togog dan Mbilung dalam panggung berornamen serba hitam. “Orang menghalalkan
beragam cara untuk mendapatkan pujaan hatinya,” kata Mbilung yang disambut bingung oleh
Togog. Dua wayang ini pun bercengkerama tentang kisah asmara anak muda sekarang dan
memutuskan untuk pergi dari dunia wayang ke dunia manusia masa depan.
[lampu padam]
Cahaya lampu perlahan menerangi dua orang wanita tengah asyik duduk di sebuah kursi
panjang yang berada di tengah panggung. Datang tokoh utama bernama Sinta mengenakan
kerudung merah menghampiri salah satu dari dua wanita yang duduk tadi, lalu Sinta dan
temannya itu pergi. Tinggal satu perempuan bernama Rini, datang tokoh lainnya: gadis
berpakaian kodok, perempuan bergaya metal, dan Angga. Keempat tokoh ini bergosip
tentang Sinta, mereka berbicara yang tidak-tidak tentang Sinta yang tak lain mantan kekasih
Angga. Gosip teredakan ketika datang lelaki berpakaian hem hijau tua bernama Damar—
yang mencintai Sinta.
Kisah “Asmaradahana” terinspirasi dari cerita asmara guru Kris Cahyono ketika SMA. Kisah
tersebut lalu coba diangkat oleh Kris menjadi kisah teater dengan tak meninggalkan unsur
pewayangan yang menjadi ciri khas dari Komunitas Luweng yang tiap pentas membawa
budaya Jawa khususnya wayang.
“Asmaradahana itu diambil dari kisah cinta yang menggebu-gebu akan tetapi cinta itu tidak
terbalas. Sementara orang yang sedang dirundung asmara menghalalakan segala cara untuk
mendapatkan orang yang diinginkan,” kata Kris saat ditemui ARENA seusai pementasan.
Untuk membumbui cerita tersebut agar menarik, Kris menghadirkan Togog dan Mbilung.
Dalam pewayangan Togog dan Mbilung setara dengan punakawan: Semar, Petruk, Gareng,
dan Bagong. Empat punakawan ini sering diangkat dalam pewayangaan, sehingga Kris
mengambil yang jarang diangkat seperti Togog dan Mbilung saya coba angkat di sini.
Mereka dari masa lalu dari dunia wayang datang ke masa depan untuk melihat
Asmaradahana.
Selain dari konsep pewayangan, Asmaradaha sendiri Kris mengambil konsep dari Q. S. Al.
Isra: 32. “Wa laa taqrabuz zinaaa, janganlah kamu mendekati zina. Makna yang dapat kita
ambil dari Asmaradahana cinta itu menjaga bukan merusak, ketika kamu merusak itu
namanya nafsu,” tutur Kris.
Selain sebagai hiburan bagi penikmat seni khususnya teater, pertunjukan Asmaradahana ini
juga sebagai pentas laboratory anggota Komunitas Luweng yang baru. Aktornya terdiri dari:
Sahara, Wildan, Viki, Echa, Riska, Imana, Caca, Yus, dan Abdur. Penataan musik oleh
Amara, Makin, asfi, Bayu, dan Roni juga tetap mempertahankan gamelan Jawa. Proses
penggarapannya sendiri seperti yang dikatakan Kris memakan waktu sekitar satu bulan dua
minggu.
Link: https://lpmarena.com/2016/05/08/asmaradahana-sebuah-konsepsi-cinta/
Lpmarena.com, Tepat tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh di seluruh dunia. Massa
buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dan Aliansi Rakyat Pekerja
(ARP) melakukan long march dari Tugu Yogyakarta, Jalan Malioboro, hingga puncaknya di
Titik Nol KM Yogyakarta. Minggu (1/5), tahun ini massa memperjuangkan hak-hak
kesejahteraan buruh dan hak-hak memperjuangkan demokrasi.
Terkait kesejahteraan, bagi Fery Taufik Ridwan dari Social Movement Institute (SMI) buruh
saat ini masih belum hidup layak, bahkan digaji di bawah UMR. “Mengenai status kerja,
mengena PHK, hanya ditanggapi sepihak. Lalu di mana posisi pemerintah? Mereka
mendukung kapitalisme. Kita bicara demokarasi secara politik dan ekonomi,” kata Fery.
Hal ini senada dengan yang disampaikan massa aksi lainnya, Tengku Harja Irvan. Menurut
Tengku buruh dijadikan sebagai keunggulan komparatif dalam persaingan jasa kontrak global
dan regional. Itu kenapa upah buruh sekarang rendah. Buruh telah menjadi objek kapitalisme,
itu terbukti di podium demokrasi yang ada di Indonesia.
“Problem demokrasi kita, PP 78 yang membatasi upah buruh yang tak lebih dari 10%.
Persoalan-persoalan yang masih banyak, sudah saatnya kita giat mengorganisir, besok akan
terus berjuang dalam pintu-pintu politik,” kata Tengku.
Perjuangan dalam hak-hak demokrasi ini juga dikritik oleh Sofyan Hidayat, massa aksi dari
Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi (PMD). Buruh tidak mampu memperjuangkan
persoalannya, karena dikuasai partai elite poitik. “Memperjuangkan hak yang dirampas
Sofyan memperingatkan agar pesartuan buruh jangan sampai ditunggai kaum elit. Baik elit
dari borjuasi nasional maupun internasional. Baginya, persatuan buruh harus lahir dari rahim
buruh itu sendiri. Bersama melawan kapitalisme nasional dan kapitaliseme internasional.
“Hati-hati dengan persatuan kaum buruh. Bukan saja hanya sebatas berpendapat, tapi
menetukan arah perjuangan persatuan itu sendiri,” lanjut Sofyan.
Dalam kesempatan ini pula sebagai wujud peryataan sikap berdemokrasi, Tengku Harja Irvan
mewakili massa mendeklaraikan ormas buruh dan rakyat Indonesia. Yang berbunyi,
“Deklarasi: Atas nama Tuhan Yang Maha Esa, kami buruh Indonesia, buruh mahasiswa,
kaum muda, kaum perempuan, rakyat kecil Indonesia dengan ini mendeklarasikan
organisasi massa dengan nama Rumah Rakyat Indonesia. Ormas ini didirikan untuk
memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Hal-hal yang
mengenai kebutuhan umum, kursi-kursi, dan kebutuhan lainnya. Akan disahkan dengan cara
yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Link: https://lpmarena.com/2016/05/02/buruh-bukan-alat-elit-bukan-objek-kapitalisme/
Lpmarena.com, Berawal dari perkumpulan rutin tiap hari Rabu sore di Laboratorium
Fakultas Saintek UIN Suka, perkumpulan kesenian ini bernama Slowrock Grup. Jumat (29/4)
Slowrock Grup mengadakan pentas Saintek In Harmony 2 di Gedung Teatrikal Fakultas
Saintek. Pentas ini menampilkan berbagai kalangan kesenian, dari mahasiswa, dosen, dan
karyawan yang ada di UIN Suka, khususnya Fakultas Saintek.
Menengok sejarah, menurut pemaparan ketua panitita Ahmad Kurniawan (Iwan) dulunya
Slowrock Grup pernah mengadakan Saintek In Harmony 1. Pentas itu terjadi ketika musim
demo di UIN Suka sedang ramai-ramainya. “Dulu kenapa ada Saintek In Harmony 1? Ketika
musim demo itu lho. Di kampus sangat memanas,” tutur Iwan.
Untuk tahun 2016 ini, Iwan menjelaskan Saintek In Harmony 2 diadakan dengan latar
belakang mahasiswa-mahasiswa Fakultas Saintek khususnya yang disibukkan oleh laporan-
laporan. “Orang-orang saintek itu kebanyakan isinya laporan-laporan, praktikum-praktikum,
dan kuliah. Kenapa ada Saintek In Harmony 2, agar pemikirannya itu seimbang,” katanya.
Mahasiswa Biologi angkatan 2012 tersebut menjelaskan, karena efek dari praktikum
mahasiswa tidak tidur dan tidak bisa bermain. “Efek dari praktikum stres-nya itu minta
ampun teman-teman itu. Stres itu berpengaruhnya ke semuanya,” tutur Iwan.
Konsep acara pentas lebih ke suasana harmoni. Pentasnya meliputi penampilan kesenian,
seperti band (Saintek Musik, Paper Cut Band, Slowrock Band), dance (Longla Dancer,
Twenty Dancer, Grup Tari Kipas), dan musikalisasi puisi (Sajak Kolong Kampus).
Lailani F. Azzam gitaris dari Saintek Musik mengaku antusias mahasiswa Saintek
khususnya, terhadap kesenian cukup besar. “Acaranya seru. Serunya, ini kan Saintek
Harmony 2, dan ini melebihi ekspektasi, kita gak nyangka penontonnya sebanyak ini,” ucap
mahasiswa Teknik Industri 2013 tersebut, yang bersama bandnya menyanyikan lagu Seluruh
Nafas ini, Perahu ertas, Malam Biru, Rude.
https://lpmarena.com/2016/04/30/seimbangkan-stres-praktikum-dengan-seni/
Lpmarena.com, Di sebuah galeri seni, dua aktor bernama Min (Wahyu Mukti Asri) dan
Plus (Neneng Hanifah Maryam) tengah bercakap-cakap menekuni proses kreatif mereka. Min
tengah asyik menggosok batu kecil di tangannya, sedangkan Plus mondar-mandi berpikir dan
berceloteh pada Min. Plus kebingungan dengan tanah liat di depannya itu mau dijadikan apa.
Plus tengah mencari sesuatu yang baru.
Adegan yang mengajak penonton berpikir ini merupakan bagian dari pertunjukkan terakhir
Pentas Tiga Bayangan Teater Eska berjudul “Neosamting: Blues Tanpa Minor Harmonik” di
Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, 2 April 2016. Pentas reportoar ini menjadi
penutup yang merangkum dua pentas sebelumnya Jamais Vu dan Persoalan Hidup dan
Beberapa Pertanyaan Payah.
Naskah Neosamting (Blues Tanpa Minor Harmonik) ditulis oleh sutradaranya langsung,
Muhamad Saleh. Naskah dibuat Saleh dalam waktu dua minggu. Terinspirasi dari hobinya
menonton film, salah satunya film Da Vinci, juga terinspirasi dari tetralogi Pramoedya
Ananta Toer. “Terinspirasi dari Pram dan Utuy juga. Aku kan nulisnya dari bentuk, berpikir
bentuknya, trus ini kata-kata yang cocok apa ya? Baru aku carikan dialognya,” ujar Saleh.
Naskah ini bercerita tentang tokoh Plus dan Min yang memiliki sifat berlawanan. Plus sangat
berambisi menemukan hal yang baru dalam karyanya. Berhari-hari, bertahun-tahun,
waktunya hanya habis untuk berpikir demi menemukan kebaruan. Hingga ia tak
menghasilkan apa-apa. Sedangkan Min, ia terus bekerja dan menghasilkan karya meski itu
tidak baru. “Sebenarnya Plus ini cuma berpikir, berpikir, berpikir terus untuk menemukan
yang baru. Kalau yang Min, ya continueaja mengerjakan yang ia tekuni,” kata Saleh.
Kalau dikerucutkan ke seni, Saleh menjelaskan dalam seni rupa semua bentuk sudah banyak.
Kalau ditujukan ke musik, semua aliran musik sudah ada. Bahkan yang tidak pakai kunci pun
ada. “Mau buat bentuk kayak apa lagi? Yang baru itu seperti apasih? Sebenarnya cuma
kombinasi-kombinasi yang ada di bumi,” tutur Saleh.
Yang dilakukan Plus, ia tidak mau mengikuti jejak orang lain, ia ingin suatu perbedaan.
Seperti yang dikatakan Min pada Plus: “Sebab kamu diam”, yang dimaksud diam bagi Saleh
bukan diam tidak berpikir atau tidak berimajinasi atau tidak melakukan sesuatu hal. Imajinasi
diam inilah yang dikritik oleh Min.
“Manusia mempunyai imajinasi, tapi nggak imajinasi yang kayak gini,” ucap Wahyu, pemain
Min. Imajinasi yang dimaksud Wahyu adalah menekuni sesuatu hal yang ia bisa, sehingga
menggali dan menghasilkan apa yang dia mau.
Hal yang ingin disampaikan Saleh, ia berujar dalam lakon ini orang bisa mengartikan dua hal.
Pertama, yang baru itu memang tidak ada. Kedua, tentang ajakan untuk tidak mandeg. “Apa
sih yang baru di muka bumi? tidak ada. Trus untuk orang yang benar-benar konsisten
melakukan sesuatu hal, ia akan menghasilkan,” tutur sutradara asal Sumenep, Madura ini.
Di adegan penutup, kesia-siaan Plus yang tak mengasilkan apapun, ditutup dengan adegan
surealis saat Plus berdiri mematung di tembok galeri dan Min melaburi tubuh Plus dengan
cat. Plus tak bergerak, lalu pasrah. Sebagai simbol, Plus telah menghabiskan waktunya
dengan sia-sia.
https://lpmarena.com/2016/04/03/sebab-kamu-diam/
Aku terjebak di sini. Lingkaran waktu yang terus berulang… Semua sama… Tak ada beda…
(Vel dalam Jamais Vu)
Adegan diawali di sebuah latar taman dengan sebuah bangku dan sebuah pohon ranggas yang
di bawahnya tidur meringkuk seorang pria surealis bernama Vel (Ahmad Kurniawan). Dua
teman karib bernama Nep (Nevy Pelawati Agustina) dan Nos (Annisa Ayu Latifah) sibuk
bercakap tentang mimpi dan fakta. Tentang penyair, film, dan lainnya. Vel membatu
mendengarkan mereka.
Jamais Vu berawal dari sebuah berita di Prancis, ada seseorang yang punya kelainan psikis
seperti Vel. Jamais Vu merupakan kebalikan dari déjà vu. Jika déjà vu berarti pernah merasa
berada di suatu tempat yang emosinya sama, sehingga menganggap peristiwanya sama, di
Jamais Vu peristiwanya terus berulang tapi menimbulkan perasaan lain. Seperti dalam
peristiwa makan, setiap hari manusia makan. Entah di rumah, di sekolah, atau di manapun.
Keterulangan ini layaknya mitologi Sisifus. “Kita serasa itu sebuah keadaan yang berbeda.
Yang berulang itu tidak selalu membosankan,” kata Zadine.
Zadine membuat naskahnya berawal dari kegelisahan ingin melakukan apa? Dari rutinitas
sanggar yang kuliah, bermain, bantingan, makan, usai melihat sebuah film,
disambung Waiting for Godot, dirampungkannya dalam semalam naskah Jamais Vu.
Bagi Solihul Akmalia, aktor teater dari Sanggar Nuun merasa ditipu oleh pentas Jamais Vu.
“Saya ingin mengungkapkan kekecewaan yang menarik. Saya nonton Jamais Vu, saya baca
sinopsisnya. Kok malah kelainan psikologis. Kelainan itu lebih bermakna psikologis, saya
merasa ditipu,” ujar mahasiswi yang biasa dipanggil Madam ini. Ia menambahkan, dalam
sinopsis mengambil sudut pandang si Vel.
Berbeda dengan Madam, penonton lainnya, Fitri menjelaskan, dalam bahasa Prancis, Jamais
Vu artinya tidak pernah melihat. “Jamais Vu terutama yang cowok (Vel), seperti masuk
rohnya. Saya menikmati perannya,” kata Fitri yang dulunya pernah aktif di Teater Genta ini.
Meski pentas diulang sebanyak tiga kali, semacam teror, pentas ini menyuguhkan
pertunjukkan seperti yang dijabarkan sutradara, bahwa di tengah kehidupan yang tak henti-
hentinya berulang, manusia harus sampai pada kesadarannya akan hal yang berarti. Karena
tak ada hal yang berarti, tak ada hal yang menarik, tak ada yang membahagiakan, hanya
penantian abadi. Semacam yang dikatakan Vel, “Tidak ada yang lebih hidup selain
mengulang”.
https://lpmarena.com/2016/04/03/teror-pengulangan/
Widi Pangestu, ketua panitia menjelaskan tema pameran berawal dari pertanyaan sederhana:
apa yang membedakan alam sadar dan alam bawah sadar? Widi menjawab alam sadar
berkaitan dengan rasio dan realita, sedangkan alam bawah sadar berkaitan dengan intuisi.
“Maksute, pengalaman-pengalaman kita dari kita kecil sampai dewasa itu kan punya dampak
ke alam sadar dan bawah sadar kita. Akhirnya, kita kayak ada campuran dalam memandang
sesuatu,” tutur Widi, Minggu (27/3).
Lebih lanjut, Widi berujar di Indonesia alam bawah sadar cenderung dikesampingkan, baik
dari budaya dan pola pikir yang ada di luar. Padahal sudah menjadi konsep umum jika alam
bawah sadar bisa berdampak penting bagi individu juga masyarakat. “Apapun itu untuk alam
bawah sadar yang bisa diartikan intuisi, pandangan-pandangan, pengalaman-pengalaman
akhirnya membuat seseorang seperti sekarang,” tuturnya.
Dari tema tersebut, per seniman memiliki kebebasan menafsirkan, sehingga permasalahnan-
permasalahan yang diangkat per karya pun berbeda. “Seenggaknya mengkritisi. Walaupun
dengan karya visual yang bisa diartikan secara bebas. Orang bisa menganggapi dengan
pengalaman-pengalaman, karena pengalaman orang berbeda,” kata Widi.
Proyeksi
Dalam karyanya yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta itu, Widi menyajikan karya
berjudul So Much Malignance You Can’t See. Karya yang dibuat di atas media charcoal and
spray paint on paper ini menampakkan seorang pemuda berdiri memakai pakaian serba hitam
dan menutup kedua matanya dengan tangan. Lalu ada hiasan besi runcing ala life style punk
(spike) yang menjadi simbol pemberontakan.
Maksud yang ingin Widi sampaikan, di Indonesia banyak kebencian yang tidak pernah
dilihat. Alam sadar dan alam bawah sadar Widi merespon keadaan sosial yang terjadi
sekarang, di mana orang terlalu banyak phobia terhadap sesuatu hal.
“Maksute, dari pengalaman-pengalaman, orang banyak phobia terhadap sesuatu. Karena itu
banyak orang tertutup. Banyak orang yang tak mau melihat realitas. Apalagi kalau hal-hal itu
ke society, ada yang namanya blind society,” ujar mahasiswa asal Bandung ini dengan logat
Sundanya yang khas.
Blind society di sini dicontohkan Widi salah satunya ada dalam praktik-praktik sosial
beragama. Banyak agama-agama yang memberikan dogma-dogma, tetapi banyak orang pula
yang mengartikan dogma tersebut tidak sesuai dengan maksud awalnya (dari pemimpin).
Berbeda dengan Widi, perupa lain Andi Waskita mengabadikan pengalamannya lewat
lukisan berjudul Lepas, Lepas, Lepas. Andi menjadikan pengalaman-pengalaman masa
lalunya dari keluarga, lingkungan, dan pengalaman lain hingga membentuk dirinya sekarang
sebagai konsep berkarya.
“Lagian dulu itu pengalaman-pengalaman yang terjadi pada masa lalu akan merasuk ke alam
bawah sadar dan kita bisa seperti sekarang itu kenapa? Pasti orang banyak bertanya kan,” ujar
pemuda kelahiran Bojonegoro ini.
Kostum kerja kantoran dalam lukisan diambil Andi karena ketika manusia memiliki
keinginan, manusia tidak bisa benar-benar murni berkeinginan seperti itu. Pasti ada harapan-
harapan dari orang lain yang menuntut manusia menjadi seperti keinginan orang lain. Seperti
yang dialami Andi, orang tuanya yang background-nya bukan dari kalangan seni menuntut
Andi menjadi seorang pekerja yang di masyarakat diakui sebagai pekerjaan. “Aku sendiri
punya keinginan, meskipun mereka punya harapan yang mengekang,” ujarnya. Pesan
sederhananya ialah be your self.
Selain karya Widi dan Andi di atas, ada judul-judul karya lainnya, yakni: Bebas Terjun;
Angin Segar; Gema; Dialog Lirih Kasih dan Cinta; History of Ancient Human; Growing
Anxiety; Hot Pressured; To Serve, Been Serve; Nothing Like A Nice Dose of Self-Hate; Fuck
Off!!! Bastrads; Small Like Dogmatic/Habits Believe; Come & Join; Untitled; Substitution of
Love; Sweet, Lovely Sins; Abstract Composition on a Flag Form, Play for Everything, Fresh
Meat With Garnish; dan I Will.
https://lpmarena.com/2016/03/27/idiosyncratic-antara-sadar-dan-tidak-sadar/
Di ultah Mapalaska yang ke-35, Nanang selaku perwakilan dari Keluarga Alumni Mapalaska
(Kapalaska) mengatakan jika diumpamakan manusia, 35 tahun merupakan usia di mana
produktifitas mulai menurun. Namun bagi organisasi, maka semakin tua, semakin
berpengalaman.
Sejak kelahirannya di tahun 1981, umur 35 tahun membawa keunikan yang bagi Nanang
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di mana jika ingin mempertahankan tradisi yang
lama sudah tak bisa. “Kondisi beda. Tiga puluh lima tahun semakin matang, semakin dewasa,
dan bisa menata diri,” katanya.
Penataan diri diwujudkan dengan pengabdian pada masyarakat. “Sederhananya ada keinginan
Mapalaska bisa bermanfaat untuk umum. Setidaknya ke luar, bukan ke dalam. Apa yang bisa
dilakukan dan berefek untuk masyarakat,” ujar Nanang.
Pengabdian masyarakat ini ditanggapi oleh Dedi Kistoyo ketua Mapalaska, sebagai dorongan
bagi pengurus dan anggota. Hal ini selaras dengan tema ultah ke-35: Tumbuh dengan Akar,
Maju dengan Langkah.
Pengabdian masyarakat seperti bakti sosial, penanaman pohon, atau kegiatan yang
melibatkan masyarakat lainnya bisa ditingkatkan lagi. “Sebagai motivasi bagi pengurus agar
melakukan agenda-agenda yang bermanfaat bagi masyarakat,” kata Dedi.
https://lpmarena.com/2016/02/29/nanang-mapalaska-ke-luar-bukan-ke-dalam/
Lpmarena.com, Ekspedisi Leuser merupakan salah satu agenda besar dari Mahasiswa
Pecinta Alam Sunan Kalijaga (Mapalaska) yang usai dilakukan sejak bulan November 2015
lalu. Talkshow mengenai pendakian tersebut dilaksanakan Mapalaska di Teatrikal Fakultas
Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Jumat (26/2). Talkshow membicarakan mengenai proses,
manajemen, dan hasil selama ekspedisi oleh tim atlet selaku pelaku ekspedisi.
Pendakian Gunung Leuser sendiri dilaksanakan selama 14 hari dengan persiapan fisik selama
dua bulan. Selain latihan fisik juga ada gladi resik pra pendakian selama enam hari di Gunung
Slamet. Di Gunung Slamet tim ekspedisi mengambil jalur Baturaden yang jalurnya lama,
tidak lewat jalur Bambangan yang satu hari bisa sampai ke puncak.
Di sini tim eskpedisi belajar memaksimalkan kondisi makanan dan lain-lain. “Di sana
(Gunung Slamet—red) ekosistem dan hutannya hampir mirip Leuser, tapi beda jauh. Di
Leuser itu tiap hari hujan. Beda di Slamet, kalau hujan ya gerimis,” kata Abdullah
Ramadhan, leader ekspedisi dalam acara talkshow.
Dalam menganalisis ekosistem di Gunung Leuser sendiri, metode yang digunakan Mapalaska
adalah analisis dengan melihat ketinggian dan dominasi vegetasi yang ada. “Jadi kita jalan
sambil mengamati sekitar kita. Dari pos A ke pos B, vegetasi yang mendominasi apa,” ujar
Ulfa Marcelina, tim atlet bagian penelitian ekspedisi.
Redaktur: Swastiningrum
Link: https://lpmarena.com/2016/02/29/menengok-manajemen-ekspedisi-leuser-mapalaska/
Lpmarena.com, Ahmad Syubbanuddin Alwy dikenal sebagai seorang aktivis dan penyair.
Memperingati seratus hari wafatnya penyair asal Cirebon tersebut, Teater Eska, Keluarga
Besar Teater Eska (KBTE), dan Komunitas Mari Membaca Puisi Indonesia (MMPI)
menggelar tahlil puisi “In Memoriam Ahmad Syubbanuddin Alwy”.
Bagi sastrawan Iman Budi Santoso mengenang Ahmad berarti mengenang cara membuat
puisi, mengenang proses kreatif almarhum. Ahmad dalam mencipta, secara kontruksi,
kebahasaan, dan tema bisa melakukan dengan baik.
“Saya menyaksikan proses kreatif Ahmad yang aneh saat dia nulis puisi. Yang menarik
Ahmad selalu buat puisi melalui konsep,” kata Iman di PKKH UGM, Minggu (21/2).
Kabarnya proses kreatif Ahmad ini, sastrawan Kuntowijoyo juga melakukan hal yang sama.
Bersama sastrawan Hamdy Salad, di masa dulu Ahmad juga aktif di Forum Pengadilan Puisi
Yogyakarta. Yang mengadili puisi-puisi penyair pada masa itu seperti puisi Iman Budi
Santoso, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan lain-lain.
Bagi sahabat terdekatnya Ahmad adalah anomali. Ia dikenal jahil, humoris, kritis, dan sering
menjadi provokator yang menjengkelkan. Dosen dan budayawan Faruk Tripoli pun
mengenang, dahulu Ahmad Syubbanuddin Alwy sebagai orang yang suka bicara. Setiap
datang ke Jogja Ahmad sering bicara pada Faruk: Mas, aku mau sekolah lagi mas. Keinginan
Iman juga menceritakan secara fisik memang Ahmad tidak sehat. Di suatu malam ketika
Ahmad berkunjung ke rumah Iman, menjelang pamit pulang Ahmad ke belakang. Iman
melihat ceceran darah lewat celana Ahmad. Meski telah meninggal, Iman menceritakan,
Studio Pertunjukkan Sastra (SPS) membuat buku yang mengangkat biografi sastrawan yang
telah almarhum. Dari banyaknya sastrawan, nama Ahmad Syubbanuddin Alwy tercantum.
“Dicatat dan tidak dicatat, engkau tetap sastwawan,” kata Iman.
https://lpmarena.com/2016/02/23/mengenang-ahmad-mengenang-membuat-puisi/
Lpmarena.com, Jurnalisme narasi menjadi semacam antitesa dari berita pendek yang
berkembang pada saat ini. Jurnalisme narasi kadang juga disebut jurnalisme sastra, di mana ia
menuturkan fakta dengan teknik fiksi. Ini yang disampaikan Nezar Patria, Pemimpin Redaksi
The Jakarta Post Online sekaligus anggota Dewan Pers dalam Diskusi “Masa Depan
Jurnalisme Naratif”.
Di tengah hiruk pikuk informasi online yang ada, bagi Nezar ia percaya pembaca butuh
tulisan bergizi, di sini jurnalisme narasi menjadi semacam kerinduan orang akan jeda. Jeda
untuk menganalisis secara mendalam. “Kita butuh jeda mencerna apa yang terjadi. Di sini
tempat jurnalisme narasi,” kata Nezar, Sabtu (13/2) di Auditorium IFI – Lembaga Indonesia
Prancis (LIP), Yogyakarta.
Di online kebangkitan jurnalisme narasi diawali dengan laporan panjang dari New York
Times berjudul Snow Fall The Avalanche at Tunnel Creek karya John Branch tahun 2012
yang juga memenangkan peghargaan Pulitzer Award. Di Indonesia jurnalisme narasi di
online bisa ditemukan misal dalam portal Pindai, Pantau, Panajournal, dan lain-lain.
Bagi wartawan Andreas Harsono yang juga aktif di Yayasan Pantau dan peneliti Human
Right Watch jurnalisme narasi sifatnya mahal, pelan, sulit, dan makan waktu. Waktu yang
dibutuhkan untuk membuat jurnalisme narasi tidaklah sebentar. Andreas bercerita satu tulisan
panjang membuatnya butuh waktu seminggu, bahkan ada yang setahun satu tulisan atau dua
https://lpmarena.com/2016/02/15/jurnalisme-narasi-online-alternatif-yang-berjeda/
Lpmarena.com, Di masa digital seperti sekarang, ada 300 juta smartphone di seluruh
Indonesia, dengan kemampuan android yang cukup baik. 60% pengguna internet usia 17-45
tahun dan mereka dimanjakan dengan gadget yang luar biasa. Perkembangan ini selaras
dengan banyaknya ribuan media online muncul.
Data tersebut disampaikan oleh Nezar Patria, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Online
sekaligus anggota Dewan Pers saat berbicara mengenai Media Online dan Jurnalisme
Naratif. Diskusi ini diadakan oleh Pindai di Auditorium IFI – Lembaga Indonesia Prancis
Yogyakarta, Sabtu (13/2).
Nezar bertutur siklus baru perputaran berita masuk ke dalam hiruk pikuk informasi yang
berputar. Perputaran terjadi dari TV, media cetak, dan terutama terjadi di media sosial yang
perkembangannya dari tahun 2015, pengguna fesbuk mencapai 79 juta, twitter 50 juta, path 5
juta. “Indonesia menjadi semacam republik media sosial,” kata Nezar.
Masalah yang dialami oleh media online sekarang di antaranya kecepatan yang
mengorbankan akurasi, dangkal, pendek, kurang orisinal, bahasa kurang tertata, juga
verifikasi yang lemah. Dari masalah ini data dari Dewan Pers menunjukkan angka
pelanggaran kode etik jurnalistik dari tahun ke tahun meningkat. Pengaduan pelanggaran
media online di tahun 2015 ada 95 kasus.
Nezar mencontohkan kasus pelanggaran misal pada peristiwa Tolikora. Sumbangan media
pada konflik dirasa tinggi. Pada peristiwa Tolikora beberapa kesalahan yang diungkapkan
oleh Nezar diantaranya: mengorbankan durasi demi kecepatan, beritakan dulu baru ralat, dan
provokatif. “Kalau Tolikara nggak ada verifikasi lebih jernih, kejadiannya luar biasa,”
ucapnya.
https://lpmarena.com/2016/02/14/nezar-kesalahan-media-online-kita/
Tema Holopis Kuntul Baris merupakan penggambaran sifat gotong royong yang ditunjukan
oleh burung kuntul ketika mereka terbang. Semangat kebersamaan inilah yang diambil
sebagai dasar para pegrafis muda berkarya. Itulah yang dikabarkan Ricky Anggi Mahardika,
ketua panitia di pameran yang berlangsung pada 2-11 Februari 2016 di Bentara Budaya
Yogyakarta di Jl. Suroto 2 Kotabaru.
“Kalau formasi terbangnya burung kuntul itu bentuk V. Dia secara gantian membuat formasi
terbang tetap utuh, jadi terbangnya gantian. Depannya, belakangnya gantian itu kayak
melambangkan sebuah kerja bersama, kerja bekelompok,” kata Ricky, Kamis (4/1).
Ada 30-an karya yang dipertunjukkan yang dituangkan dalam beragam media lukis, baik
konvensional dan non-konvensional. Perupanya berasal dari ISI Yogyakarta, ISI Solo, dan
Universitas Negeri Surkarta yang mengambil jurusan grafis angkatan 2013. Perupa ini
Di antara karya tersebut ada yang berjudul Kritis, Sadarkan Diri, Saat Gotong Royong Hanya
Wacana, Kesederhanaan, Sawang Sinawang, AKA, The Difference of Perspective, The
Lovers, Mockup, Shock, Euphoria I-III, Speed and Acceleration, Save Turtle, Tribute to
Lemmy, 1 Like = 1 Pray, dan lain-lainnya.
If Love Is Religion
Ricky sendiri dalam karyanya yang berjudul If Love is Religion yang mencoba mengatakan
dalam sebuah agama kebanyakan manusia justru mengejar-ejar surga. Dibenturkan dengan
konsep cinta, bagi Ricky cinta itu kompleks. Kalau manusia melihat dengan cinta, manusia
bisa merangkul semua, manusia bisa menyatukan semuanya.
“Esensi Tuhan itu malah dikesampingkan oleh manusia-manusia sekarang. Jika cinta itu
benar-benar agama justru kita tak akan memperdebatkan apa itu tentang agama, apa itu itu
tentang Tuhan,” kata mahasiswa ISI Yogyakarta ini.
Ricky mengaku karyanya tersebut terinspirasi dari petikan lagu Radiohead yang dinyanyikan
oleh Thom Yorke. Di mana dalam petikan itu menceritakan manusia merajai manusia itu
sendiri. “Jadi bagaimana Thom Yorke itu memberikan kejutan-kejutan. Trus dari karya itu
aku bisa nyampeikan, menggali kegelisahan dalam keinginan diri sendiri,” ujarnya.
Berbeda dengan Ricky, Sarah Arifin dengan karyanya yang berjudul One Day On Super Far
Star mengaku ide karyanya terinspirasi dari seorang illustrator yang menciptakan karakter
Wally. Di mana dalam karya tersebut Sarah membayangkan kehidupan yang ada di ruang
Salah satu pengunjung pameran Sohibul Hidayat mengatakan mendapat inspirasi saat melihat
pameran ini. “Saya mendapat wawasan baru, dipahami per foto dan per karya. Mendapat
spirit karya-karya. Idenya seperti ini,” tuturnya.
Lebih lanjut, pameran ini mencoba mengajak agar kritis dalam masyarakat. Membentuk kerja
sama yang kokoh yang utuh. Membentuk masyarakat untuk saling bergotong royong, jangan
sampai lelah, jangan sampai bosan. “Lebih kritis lagi. Kita gunakan perasaan apa yang kita
miliki, atau memancing audience untuk ikut merasakan kegelisahan sendiri terhadap
manusia-manusia lainnya,” kata Ricky.
https://lpmarena.com/2016/02/05/menggurat-seri-dalam-kebersamaan-holopis-kuntul-baris/
Jam masih menunjukkan pukul 05.24. Matahari belum juga muncul. Empat anak kelas VI,
IV, I SD dan TK terlihat bermain balap-balapan menggunakan sepeda pagi itu. Mereka
tertawa, saling memanggil, saling mengejar dengan lincah. Mereka tak menghiraukan para
pejalan kaki yang juga ikut beraktivitas jogging di lapangan sprint Stadion Mandala Krida
Yogyakarta. Seorang ibu berpakaian warna cokelat serasi dengan warna kerudungnya dan
seorang bapak berkaos putih serasi dengan warna celananya tampak mengawasi empat anak
itu sambil ikut berputar-putar memakai sepeda onthel.
Seperti itulah potret keseharian suami-istri Andri Setyawan dan Dewi Widyastuti berserta
empat buah hatinya mengawali hari dengan bersepeda. Keluarga harmonis yang tinggal di
Semaki Gede, Umbul Harjo ini memprogramkan sepeda sehat sebelum bekerja atau pergi ke
sekolah. “Diprogramkan habis subuh bersepeda. Biar anak-anak sehat. Pengennya tiap hari,
tapi kadang realisasinya lihat situasi kondisi,” kata Dewi saat ditemui ARENA, Rabu (27/1).
Perempuan yang juga berprofesi sebagai guru ini menceritakan, ia menyukai sepeda karena
keluarganya juga menyukai sepeda, terlebih Andri, suaminya. “Dia kan penjelajah naik
sepeda. Ya dulu pas SMA itu ke Wonosobo, Purworejo, Jogja naik sepeda,” kenang Dewi
bernostalgia. Andri tersenyum-senyum dan berceletuk, “Karena awalnya suaminya cinta
sepeda, makanya suka sepeda.” Mendengar ini Dewi pun ikut tertawa.
Sepeda yang masuk dalam alat transportasi tertua ini menjadi kendaraan alternatif di zaman
modern seperti sekarang. Keberadaannya yang kini telah menjadi minoritas mendapat
nasibnya sendiri. Pemerintah Kota Jogja telah mengkonsepkan beberapa program yang sudah
dijalankan bagi pesepeda. Golkari Made Yulianto, Ketua Bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Dinas Perhubungan Yogjakarta berujar di Pemkot memiliki program “Sego Segawe” yang
merupakan akronim dari kalimat Jawa: sepeda dinggo sekolah lan mergawe (sepeda untuk
sekolah dan bekerja).
Dalam perkembangannya, Pemkot juga memelihara ruang tunggu sepeda. Ruang tunggu ini
berintegrasi dengan Trans Jogja agar berkesinambungan. Di shelter atau halte Trans Jogja
dipasangi tempat parkir sepeda. Ada yang warna putih, kuning, ada yang diberi atap.“Itu
untuk memfasilitasi mereka agar merasa aman. Kemudian dikunci, kemudian naik Trans
Jogja ke kantor,” ulas Golkari.
Selain jalur, ada juga beberapa petunjuk arah terkait dengan jalur alternatif sepeda. Petunjuk
jalan tersebut diletakkan di depan gang-gang agar pesepeda bisa memotong jaraknya.
“Dari segi keamanan dan kenyamanan untuk sepeda memang masih memprihatinkan, karena
semua masih menjadi satu. Makanya kita hanya bisa untuk meminimalkan. Karena untuk
menambah, saya sulit membayangkan melakukan pelebaran jalan itu bagaimana,” kata
Golkari.
Selain itu, masalah parkir liar juga menjadi soal tersendiri. Jalur yang mestinya digunakan
untuk sepeda digunakan untuk motor atau mobil berhenti di situ dan sepedanya tak bisa
lewat. Padahal jika mengacu Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 tahun
2009, semua tepi jalan umum tidak diperbolehkan untuk parkir, kecuali tempat-tempat yang
diperbolehkan dengan rambu-rambu. Tandanya bisa telihat dengan palang “P” biru, bukan
“P” merah lalu disilang.
“Ada parkir gitu kan parkir liar namanya. Penegakkan hukum di sini penting. Cuma memang
kami di Dishub tidak dapat berbuat terlalu banyak, karena mejadi ranah kepolisian,” ucap
Golkari.
Suara Komunitas
Di Jogja, ada begitu banyak komunitas sepeda. Di antaranya, perkumpulan sepeda onthel,
sepeda BMX, sepeda fixie, sepeda siput, dan lain-lainnya. Bahkan setiap hari Jumat di akhir
bulan ada komunitas sepeda se-Jogja mengadakan temu bersama di kawasan Stadion
Kridosono. Komunitas besar ini menyebut mereka dengan nama Jogja Last Friday Ride.
Salah satu komunitas sepeda yang ARENA temui adalah komunitas Yogyakarta Low Rider
Indonesia (YLRI). Komunitas yang berdiri sejak 5 Mei 2014 ini telah memiliki anggota
sekitar 60-an orang. Komunitas tersebut memiliki kustom original dengan motto low speed-
high face. Muhammad Ardi selaku ketua komunitas YLRI mengapresiasi salah satu program
dari pemerintah yang bernama Car Free Day, di mana setiap hari Minggu di kawasan tertentu
bebas kendaraan bermotor, hanya pesepeda dan pejalan kaki.
“Di sini Minggu lalu ditutup jalannya buat pesepeda dan pejalan kaki, sekarang malah gak
ada,” kata Ardi saat diwawancari di kawasan 0 Km, Minggu (17/1).
Bagi Ardi, parkir masih menjadi kendala. Di tempat-tempat tertentu sangat susah sekali
mendapat tempat untuk parkir sepeda, kebanyakan parkir motor. “Parkirnya agak kurang.
Kebanyakan parkirnya motor, sepeda malah gak ada ruang buat parkir. Kalau di Malioboro
susah banget buat parkir sepeda,” ucap Ardi yang juga bersama komunitas sepedanya pernah
mengadakan sepedaan bareng ke Pantai Parangtritis, Pantai Baron sampai Candi Ijo.
Masalah parkir juga diresahkan oleh Andri Setyawan. “Jalur sepeda kadang untuk parkir,”
kata pria yang juga tergabung dalam Paguyuban Onthel Jogjakarta (Pojok).
Wacana Pemkot
Di Tahun 2016 ini Dinas Perhubungan merencanakan pemindahan parkir sepeda motor
Malioboro ke Taman Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali yang sudah dibuat tiga lantai.
“Parkir motor, mobil di sana. Malioboro dibuat semi pedestrian. Ke sanagak usah khawatir
kesempret motor. Sepeda masih boleh, karena bukan motor,” ucap Golkari.
Langkah ke depan dari Pemkot Jogja agar pesepeda mejadi lebih nyaman, akan dibuat lampu
pengaturan khusus untuk pesepeda. Lampu ini nantinya dijadikan satu dengan rambu lalu
lintas. Pada saat lampu hijau, nanti yang menyala duluan itu yang untuk sepeda, “Jadi sepeda
nyala hijau, sementara yang motor masih merah. Sekian detik kemudian baru yang kendaraan
motor nyala hijau,” ujar Golkari. Rencana ini dibuat Pemkot dengan maksud melihat agar
sepeda bisa berjalan dahulu, dari sisi kesehatan lebih terjamin.
Rencananya juga ke depannya nanti Dinas Perhubungan mengupayakan ada semacam sepeda
gratis yang boleh digunakan oleh masyarakat di sepanjang Malioboro, seperti yang saat ini
diterapkan di UGM.
Bagi Dewi Widyastuti, kesadaran di masyarakat memang belum tinggi dalam bersepeda.
Padahal menghemat energi, menghemat biaya. Serba cepat inginnya.“Fasilitasnya memang
sudah disediakan, meski belum optimal. Meski memang yang mau bersepeda itu masih jarang
atau masih suka naik motor,” kata Dewi.
Sedangkan bagi Golkari menurutnya fasilitas yang disediakan Pemkot bagi pesepeda sudah
memenuhi, malah baginya sebenarnya masih banyak fasilitas yang disediakan belum
digunakan secara maksmimal. Seperti di ruang tunggu, kalau dilihat dan dicermati masih
banyak yang belum ditempati.
“Kalau menurut kami sudah cukup. Tinggal bagaimana masyarakat memanfaatkannya. Perlu
peran serta semua masyarakat, tidak bisa kemudian ini dibebankan di pundak pemerintah
tanpa partisipasi masyarakat. Tak akan bisa jalan,” ujarnya. Golkari berharap agar masyarakat
memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang telah dibangun, sehingga bila nanti masyarakat
meminta fasilitas yang lain Pemkot siap melayani.
https://lpmarena.com/2016/01/31/merawat-sepeda-di-semesta-jogja/
Lugas Subarkah, redaktur online Arena menjelakan kondisi sekarang sudah mengalami
perubahan yang ekstrim dari pola komunikan, yang berubah dari cetak ke online. “Jadi
ceritanya peluncuran web menanggapi perubahan gaya atau model media sekarang. Bisa
dibilang kita menemukan jalurnya bisa bersama merawatnya memperbaiki banyak yang
kurang,” kata Lugas.
Di Arena sendiri dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mulai terusik oleh regulasi yang
dibuat kampus. Seperti banyak pemangkasan media (khususnya dana) UKM hampir ¾-nya
dipangkas. Kemudian Arena terus berpikir bagaimana berkarya dan mengawal apa saja yang
terjadi di kampus.
Orientasi tulisan online yang cenderung pendek, sekarang sudah banyak bermunculan online
yang menampilkan gaya tulisan panjang yang banyak menggambarkan substansi, pun Arena.
Untuk rubrik andalan, Arena menawarkan liputan khusus (lipsus) yang membahas isu-isu
kontemporer di Jogja. “Kita mencoba jurnalisme yang mengawal isu-isu di sekitar kampus
dengan model tulisan mendalam, atau in-depth. Ada juga kancah,” jelas Lugas
Peralihan paradigma digital ini, Andi Robandi selaku redaktur SLiLiT Arena yang ranah
produksinya masih di cetak pun memberikan tanggapan. “Saya sama sedihnya dengan Bre
Peluncuran website Arena ini juga dihadiri teman-teman dari persma-persma yang ada di
UIN Suka, di Jogja dan sekitarnya. Di antaranya dari LPM Rhetor, LPM Ekspresi, Balairung,
LPM Dinamika Salatiga.
https://lpmarena.com/2016/01/11/kado-ultah-41-arena-luncurkan-website-lpmarena-com/
Lpmarena.com, Lahir di Yogyakarta pada 10 Januari 1975 silam, Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) Arena kemudian melintas ruang dan waktu hingga sekarang masuk di tepat usianya
ke-41. Usai guyuran hujan pada Minggu (10/1), tasyukuran pemotongan tumpeng malam itu
pukul 21.44 WIB oleh Pemimpin Umum LPM Arena, Sabiq Ghidafian Hafidz menjadi
simbol perayaan ultah Arena.
“Yang paling dekat sama ultah adalah rutinitas, pengulangan-pengulangan kayak macam itu,”
kata Sabiq dalam sambutannya di ultah Arena ke-41 yang bertempat di Parkiran Terpadu
Tarbiyah UIN Suka.
Sabiq mengatakan agar ultah tidak sekedar menjadi pengulangan abadi maka Arena harus
mampu lepas dari sistem rutinitas itu sendiri. Selama anak pers masih mengikuti rutinitas,
akan terjadi kematian dan kemandegan dinamika.
“Agar pengulangan abadi ini lepas, mungkin dengan adanya kematian akan sirna. Kematian
di sini artinya lain, kalau sekedar ngikuti rutinitas regulasi persma, ke SC nulis, ya kayak gitu
aja,” kritik Sabiq.
Untuk itu Sabiq mengharapkan agar anak persma khususnya anggota Arena, mampu
memunculkan anomali atau keanehan baru. “Anomali dari perubahan akan munculin gairah
sendiri. Amor Fati aja dalam mengarungi ini semua,” tutur mahasiswa filsafat ini filosofis.
Amor Fati merujuk pada ucapan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche yang berarti cinta pada
takdir. Menerima takdir bukan sebagai kepasrahan, tapi sebagai gairah tak terbatas menjalani
hidup. Pendeknya hidupkan hidup!
https://lpmarena.com/2016/01/11/sabiq-bilang-arena-ciptakan-anomali/
Lpmarena.com, Puya ke Puya merupakan novel karya penulis muda Faisal Oddang yang
mendapatkan juara IV dari Dewan Kesenian Jakarta 2014. Riset novelnya sediri satu tahun.
Bercerita tentang kebudayaan di tanah Toraja umumnya. Meski dirinya bukan orang Toraja,
Faisal bercerita untuk membuat novel ini ia bolak-balik Toraja-Makasar selama 9-10 jam.
Menggunakan narasi empat narator, novel ini juga bercerita tentang cinta dan kematian.
“Saya bahas kenapa orang Toraja dikuburkan di tempat tinggi? Karena dekat dengan surga.
Saya berkarya tak jauh dari Toraja,” kata Faisal dalam diskusi novelnya tersebut di
Dongengkopi & Indiebok, Gorongan Caturtunggal, Minggu (20/12).
Kata sastrawan sekaligus pembedah Bernard Batubara ketika membaca Puya ke Puya pada
sepuluh halaman pertama bersikeras memperjuangkan tanah untuk ayahnya sendiri. Titik
yang mestinya digali dalam ialah perasaan tokoh utama yang dilematis dengan berbagai cara.
Kedilematisan itu dijabarkan Faisal kala mengenang masa kanak-kanaknya yang juga
menjadi inspirasi dalam novelnya. “Sejak kecil ayah saya berkata: pohon punya nyawa. Coba
dahannya patahkan, akan keluar darah,” kata Faisal metaforis.
Menurut Bara, ia melihat banyak tulisan Faisal yang punya kesadaran menyeluruh tentang
isi-isu-teknik. “Ada usaha Faisal menyampaikan isu adat dan lokalitas. Faisal punya satu
Meski begitu, terang Bara ketika penulis berusaha mengangkat budaya, penulis terjebak
dalam sudut pandang pemaksaan. Satu etnis disorot jauh tapi tak mencoba masuk ke
dalamnya. Cuma objek penelitian. Salah satu gejala satu gejala pendekatan eksotisme itu
ketika berjejalan istilah lokal untuk menunjukan itu lokal.
Lokalitas memang merupakan isu seksi, tapi bagi Bara tidak seksi lagi ketika penulis tidak
mencoba masuk ke dalam. “Lokalitas tak hanya tataran bahasa dan bentuk, tapi lebih dari
itu,” kata Bara.
Puya Ke Puya menurut Bara merupakan tulisan lokalitas yang baik, karena penulis dalam
menyampaikan dalam bahasa tidak mabuk dalam lokalitasnya. “Kita berharap Faisal
nyampein sisi-sisi di Sulawesi dengan cara menulis yang menyenangkan,” ucap Bara.
https://lpmarena.com/2015/12/21/sastra-lokalitas-dalam-puya-ke-puya/
Membahas pendidikan tak bisa dikaji secara sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Khairul Amri
dari LPM Arena bahwa ada unsur lain yang mempengaruhi pendidikan seperti ekonomi dan
sistem politik. “Pendidikan sentralistik sangat kental di lapangan. Ide alternatif sulit mencuat
ke permukaan. Untuk meruntuhkannya tak bisa sendiri,” ujar Amri.
Berbeda dengan Amri, menurut Opik anggota KMPD, pendidikan sekarang semakin hari
semakin eksklusif. Pilihannya ada dua: tenggelam atau menunggangi gelombang. “Perlu ada
suatu pemetaan agar persoalan lebih jelas. Kita susun bersama agar tak kaku,” kata Opik yang
juga memiliki ide ingin menyebarkan mimpi buruk agar membuat orang sadar.
Kondisi eksklusif diperparah dengan kecurigaan besar pada orang lain. “Kita selalu curiga, di
internal saja saling curiga. Semoga forum ini nggak seperti itu,” ujar Makin, anggota KMPD.
Hal ini diamini oleh Opik, “kita pecah hanya soal sepele, nggak mutu, tapi riil.”
Bagi Makin juga, pendidikan alternatif tak sekedar diskusi. Seseorang menjadi guru untuk
orang yang belum tahu tentang sesuatu. Terkadang apa yang dibicarakan tak menemukan titik
temu, lalu terjerumus ke hal gelap.
https://lpmarena.com/2015/12/12/konsolidasi-mengkritik-pendidikan-yang-eksklusif/
Lpmarena.com, Dua puluh enam tahun sudah KMPD mewarnai gerakan mahasiswa di UIN
Suka dan Yogyakarta. Sejak berdirinya KMPD tanggal 10 Desember 1989, pada Kamis
(10/12) KMPD mengadakan syukuran ke-26 di pendopo LKiS, Sorowajan. Sebagai respon
atas lesunya semangat gerakan yang ada di Yogyakarta, UIN Suka khususnya milad kali ini
mengambil tema: Konsolidasi Lintas Generasi untuk Mengembalikan Spirit Gerakan.
“Sebagai kegelisahan atas kurangnya spirit pemuda jaman sekarang, guna memberi semangat
baru,” ujar Vita, ketua panitia dalam sambutannya.
Selain itu, milad kali ini KMPD ingin mempersatukan kawan-kawan gerakan di Yogyakarta
seperti yang dikatakan kepala suku KMPD, Rian Budiarto. “Moment ini bisa penting atau
tidak, bisa bernilai kalau teman-teman memberi nilai. Intinya ingin kembali menyolidkan
teman-teman dari lintas generasi, lintas ruang dan waktu,” kata Rian.
Dalam kesempatan ini turut hadir tamu-tamu undangan, seperti Front Perjuangan Pemuda
Indonesia (FPPI) berserta basis-basisnya di Yogyakarta, perwakilan Paguyuban Pedagang
Kaki Lima (PKL) UIN Suka, LPM Arena, LeKFiS, Solider, Barisan Perempuan (Baper), dan
lain-lain.
Pemimpin Umum LPM Arena, Sabiq Ghidafian Hafidz juga turut memberikan sambutannya,
KMPD kiranya bisa menjadi katalisator untuk membahas persoalan bersama. “Akhir-akhir
Tak ketinggalan Anis Nur Nadhiroh perwakilan dari Baper juga berujar untuk ke depan
KMPD tambah revolusioner. “KMPD selamat ke-26, semoga bisa revolusioner dan hidup
perempuan!” kata Anis.
https://lpmarena.com/2015/12/12/konsolidasi-gerakan-di-milad-kmpd-ke-26/
Lpmarena.com, Jam 20.30 WIB, hawa dingin usai rintik hujan seorang penyair muda dari
UIN Suka, Nurul Ilmi El Banna membacakan puisinya berjudul Kematian Tuhan di DC Milk
Caffe and Bar Nologaten, Minggu (29/11). Puisi ini sebagai kritik atas masyarakat dan
mahasiswa yang perlahan membunuh Tuhannya sendiri dengan teknologi.
Ilmi bersama sastrawan muda lain dari berbagai kampus di Jogja (UGM,UNY, UPY, UST,
UAD) membacakan karya mereka dalam bincang-bincang sastra edisi 122 yang diadakan
oleh Studi Pertunjukan Sastra (SPS).
Mengambil tema “Sastra, Kampus, dan Kafe” acara ini dihadiri oleh beberapa pembicara
yakni Aly D. Musyrifa (sastrwan), Drajat T. Jatmiko (direktur Ngopi Nyastro), Ardy
Suryantoko (dari kelompok sastra Jejak Imaji).
Melihat fenomena Jogja yang dipenuhi kafe dan tempat nogkrong, Aly menjelaskan kafe
menjadi tempat alternatif dalam bersastra. “Esensi kita berkafe di situ, terjadi perbincangan
dan proses kreatif,” katanya. Ia mencontohkan Kafe Blackstone di Papringan menjadi salah
satu referensi yang bagus.
Lebih lanjut Aly menjelaskan Indonesia tak punya tradisi literer yang kuat. Masih ada
percampuran antra sastra lisan semisal dongeng dan buku-buku sastra yang ada. Aly yang
pernah tinggal Kanada juga mencontohkan perayaan karya sastra lebih apresiatif di luar
negeri. “Di Amerika ada kafe yang khusus untuk pembaca. Menu-menunya pun karya
sastra,” ujar Aly.
Dan ketika kampus tak memberi ruang untuk mengembangkan sastra, usaha yang bisa
dilakukan adalah membuat kelompok sastra sendiri. Seperti yang diceritakan Ardy dari Jejak
Imaji UAD. “Jejak Imaji merupakan usaha lepas dari kampus, ketika kampus tak memberi
tempat. Tak cuma menulis, tapi juga menjelajahi sastra,” tuturnya.
https://lpmarena.com/2015/11/30/tak-diberi-ruang-bersastra-di-kampus-kafe-jadi-pilihan/
Sosialisasi ini menghadirkan pengajar muda IM angkatan VII dan VIII, yakni Ajeng dan
Catur (yang pernah mengajar di Bima, NTB), Bagas dan Ais (yang pernah mengajar di
pelosok Banjarmasin), Mimi (yang pernah bertugas di Rote Tengah, NTT), dan Nurul Ikhsan
Saleh (yang pernah mengajar di Majene, Sulawesi Barat dan daerah Lampung).
Dalam kesempatan sosialisasi IM ini diwakili oleh Nurul Ihsan Saleh, pria asal Sumenep
yang telah dua kali mengikuti IM. Ia menjelaskan IM lahir karena ingin mengisi kekosongan
guru di daerah pelosok Indonesia. Mengirimkan guru selama satu tahun sebagai penggerak
para siswa SD dan masyarakat.
“Tak hanya guru, tapi juga inspirator. Siap sedia 24 jam. Anak desa sering ke rumah kami
dan tidur di rumah kami,” katanya meceritakan pengalaman mengajarnya.
Di daerah pelosok sendiri masalah pendidikan tak hanya soal sarana prasarana, tetapi yang
paling penting adalah Sumber Daya Manusia, khususnya guru. “Untuk memajukan
pendidikan tidak hanya soal membangun sekolah baru, tetapi juga menghadirkan guru-guru
terbaik,” tutur Nurul.
IM sendiri memiliki tiga misi yaitu: menciptakan dampak berkelanjutan, membangun jejaring
pemimpin muda, dan mendorong tumbuhnya gerakan sosial pendidikan di Indonesia.
“Menciptakan pemimpin yang grassroots understanding,” tambah Nurul.
https://lpmarena.com/2015/11/14/indonesia-mengajar-siapkan-guru-untuk-pelosok/
Merespon mengenai perjalanan seorang mualaf dan perlakuan hidup yang dihadapi mualaf,
Abidah ciptakan novel “Bait-bait Multazam”.
“Tema besarnya tentang mualaf. Ini menyangkut tentang kepercayaan. Tentang anak muda
yang begitu yatim di setiap sisinya,” kata Abidah dalam acara diskusi novelnya tersebut di
Teatrikal Perpustakaan UIN Suka yang juga menghadirkan pembedah Farid Mustofa, dosen
Filsafat UGM. Diskusi ini juga merupakan parallel event dari ulang tahun Teater Eska ke-35.
Mengambil latar tempat Timur Tengah seperti Damaskus, Jeddah, Madinah, dan lainnya kata
Abidah Bait-bait Multazam dibuat dengan tujuan bagaimana pemikiran dalam novel itu bisa
merevolusi pada sesuatu yang lebih baik dan mencerahkan. Selain itu sebagai kritik terhadap
tokoh muslim di Indonesia dalam memperlakukan mualaf.
“Saya merasa malu dengan apa yang dilakukan dengan tokoh muslim kita. Ketika seseorang
jadi mualaf, gak ada apresiasi,” ujar perempuan yang juga penulis buku Perempuan
Berkalung Sorban ini. Lebih lanjut Abidah berharap novelnya bisa memberikan kesadaran
lebih untuk keimanan pembaca.
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 179
Menurut Farid menjabarkan gagasanWill James, orang beragama ada dua jenis. Pertama
beragama karena ritual saja. Di mana seseorang beragama tapi tak menggetarkan apapun.
Kedua wise born, orang yang beragama karena benar-benar butuh Tuhan sehingga ia seperti
dilahirkan kembali.
Untuk mencapai wise born, banyak cara yang bisa dilakukan dan dalam prosesnya
mengalami guncangan-guncangan. Proses tersebut bisa dalam agama yang sama misal Islam
ke Islam, atau ke lain agama misal Kristen ke Islam, dan lainnya. ”Menghamba bukan karena
takut, tapi karena hijab,” tutur Farid enigmatis.
https://lpmarena.com/2015/11/14/kisah-mualaf-dalam-bait-bait-multazam/
Lpmarena.com, Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon merupakan cerpen karya Eko
Triono yang dimuat di Kompas, 28 April 2013. Selasa (27/10), diskusi cerpen tersebut
diadakan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM.
“Saya tak tahu kenapa pohon mangga, rambutan, hidup berdampingan memiliki akar sendiri
dan sama-sama menghasilkan buah. Mereka tidak bertengkar dan hidup berdampingan
dengan damai. Saya ingin tahu agamanya apa?” kata Eko.
Menurut Moh. Atiqurrahman (mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM), pembedah cerpen,
singkatnya, cerpen ini berkisah tentang seorang wanita janda yang bercerai dengan suaminya
dikarenakan perbedaan agama. Yang menjadi masalah anak sewata mayangnya diasuh oleh
suami si janda yang kemudian si janda bertemu pacar lamanya dalam bus, dan terlibatlah
mereka dengan percakapan-percakapan filosofis.
Jika cerpen biasanya ada pembuka dan penutup, cerpen Eko ini tidak patuh. Model seperti ini
tampak pada cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam yang lebih
berfokus pada cerita.
Mengambil pisau analisa Levebre, Atiqurrahman menjelaskan dalam waktu terdapat evolusi,
keunikannya sendiri. “Ada moment di tiap waktu. Pemilihan momentum adalah kerumitan
yang telah atau nanti terjadi,” kata Atiqurrahman. “Untuk membangun suasana, Eko memilih
kata-kata yang bersayap dan wah. Efek sampingnya banyak yang kewalahan memahami
ceritanya,” tambahnya.
Menanggapi ini Eko Triono berkata bahwa bagi penulis kreatif, penulis tidak membuat
karyanya sama dengan teori.
Ada tiga hal yang membedakan cerpen ini dengan cerpen yang lainnya bagi Edi Iyubenu
sastrawan sekaligus pembedah cerpen. Pertama, ide. Eko memakai psikologi imajinasi Sartre.
Kedua, gaya bercerita/bertutur yang tidak biasa. Ketiga, Gaya bahasa. “Saya ingin Eko
mengembangkan karakter yang ada di cerpen Agama Pohon-pohon. Bukan nyari yang baru,
tapi menulis sesuatu yang berkarakter tentang hal itu,” kata Edi. (Isma Swastiningrum)
https://lpmarena.com/2015/10/29/bedah-cerpen-eko-triono-bertanya-agama-pohon/
Tema dari ulang tahun ke-23 Sanggar Nuun tahun ini adalah Enigma Sebuah Bahtera.
“Enigma adalah teka-teki. Di Sanggar Nuun banyak teka-teki yang belum terpecahkan,” kata
Sohibul Hidayat, ketua Sanggar Nuun.
Ia menambahkan, syukuran ini selain menjadi arena silang saling srawung bagi segenap yang
hadir juga wadah pemecahan enigma. Enigma berawal dari kegelisahan bersama warga
Sanggar Nuun selama berproses. Salah satu prosesnya, selama delapan bulan sudah Sanggar
Nuun melakukan Pesantren Sastra IV. Ini merupakan salah satu enigma dalam membaca,
menulis, dan berbicara. Di mana masalah komunikasi menjadi titik tolaknya. “Berbicara
nantinya lebih bisa menikmati, karena sekarang kebanyakan berbicara dengan gadget,”
tambah Sohibul.
Bagi Huda, warga Sanggar Nuun mengungkapkan enigma berarti bahwa Sanggar Nuun di
usianya yang ke-23 tidak kehabisan teka-teki. Terus menggali dan menjadi sumur tanpa dasar
dalam berkarya. “Sanggar Nuun menghargai proses, bukan pentas. Intinya, berani melakukan
sesuatu yang berbau kreatifitas,” katanya.
Keberanian dalam kreatifitas berenigma ini diamini M. Badrul Munif dan Misbachul Munir,
warga sanggar. “Tetap merah yang benar merah,” ujar Munif. “Tetep mbalela,” ujar Munir.
(Isma Swastiningrum)
https://lpmarena.com/2015/10/28/enigma-23-tahun-sanggar-nuun/
Mengembalikan fungsi hutan dalam tradisi rakyat setempat menjadi alternatif dalam
kerusakan hutan yang diakibatkan oleh korporasi-korporasi kapital.
Lpmarena.com, Indonesia yang katanya memiliki hutan terbanyak ketiga dunia, menurut
Ahmad Maryudi, dosen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM adalah salah. Ada lima
negara lain yang hutannya memberi sumbangan besar, yakni: Amerika Serikat, Kanada,
Brazil, Rusia, dan China. Bumi sendiri kata Yudi (panggilan Ahmad) setiap tahunnya
kehilangan hutan seluas 13 juta hektar.
“Bagaimana destruktifnya di Borneo. Mesin bisnis yang luar biasa,” ucap Yudi selaku
pembicara dalam seminar bertajuk Mengelola Alam Secara Bijaksana Melalui Pengelolaan
Hutan, Praktik Kesenian, dan Tradisi Setempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Selasa (22/10).
Yudi menjelaskan satu kesalahan fatal dari Undang-undang Kehutanan ada dalam
ketidaktepatan mengkategorikan hutan. Ada hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan
lindung. “Hutan ya hutan. Untuk menjaga ekosistem. Kalau hutannya produksi ya dibabat,”
kata Yudi.
Andalkan Rakyat
Pengalaman nyata mengenai pengelolaan hutan datang dari Ahmad Hidayat, alumnus
kehutanan UGM yang sudah melakukan pengembaraan hutan 10 tahun di Papua, 11 tahun di
Karimun Jawa, dan saat ini sudah 6 tahun bekerja di Taman Nasional Gunung Ciremai.
Menurutnya pengelolaan hutan tak bisa mengandalkan garda pemerintah. Pun tak bisa dijaga
secara fisik.
“Yang sedang diusung Taman Nasional Gunung Ciremai dikembalikan ke kedaulatan rakyat.
Di tiap desa punya unggulan wisata masing-masing yang dikelola masyarakatnya sendiri,”
kata Ahmad.
Ide ini sejalan dengan hubungan hutan dengan seni dan budaya lokal setempat dalam upaya
konservasi hutan. Bagi Sitras Anjilin, pembicara dari kalangan seniman menututurkan seperti
halnya berkesenian, tak ada istilah melestarikan, tapi melakukan. Hutan bukan dilestarikan,
tapi dilakukan. Hutan tak cuma dijaga, tapi dikembangakan.
“Perhutani ngeluhgak bisa dapat kayu bakar,” sindir Sitras yang juga pemimpin Padepokan
Tjipta Boedaja Magelang. “Kalau orang semakin cerdas, semakin menyadari, semakin tahu,
semakin ada kesadaran,” tambahnya. (Isma Swastiningrum)
https://lpmarena.com/2015/10/23/mengembalikan-hutan-dalam-kedaulatan-rakyat/
Selama 35 tahun perjalanannya, Teater Eska telah menciptakan ruang alternatif baru bagi
seni Islam progesif.
Labibah Zain selaku pembina Teater Eska dalam sambutannya mengatakan bahwa 35 tahun
bukan masa yang mudah untuk dilalui begitu saja. Teater Eska sudah saatnya unjuk gigi
tentang apa yang dilakukan Teater Eska selama 35 tahun, terlebih yang menyangkut
kekhasan yang dimiliki Teater Eska. “Pertama yang perlu diingat lagi, Teater Eska punya
branding seni Islam. Apa yang membedakan Teater Eska dengan teater yang lain ada di seni
Islam,” kata Labibah.
Hal ini sejalan dengan orientasi Teater Eska yakni: humanisasi, yaitu menggali dan
mewujudkan seni Islam secara progresif, serta memberikan alternatif bentuk kesenian
(teater, sastra, dan musik) di tengah masyarakat.
Diamini oleh Aly D. Musrifa anggota KBTE sekaligus penyair yang menuturkan perjalanan
Teater Eska selama 35 tahun mempunyai sumbangan signifikan bagi dunia kesenian Islam.
Dalam hal berproses, Aly mengutip penyair Acep Zamzan Noor, “ketika kita berproses,
tekuni secara serius dan total. Kalau tidak, tidak akan sampai pada hikmah,” ucapnya.
Pencerminan proses tampak pada anggota baru KBTE, Shohifur Ridho Illahi yang masuk
Teater Eska tahun 2007 dan hingga sekarang masih ikut menjadi panitia ulang tahun. Selama
penggemblengannya di Teater Eska telah banyak cerita yang ia dapatkan. “Di ultah ini ingin
nglihat lagi 35 tahun yang lalu,” ujar Ridho.
Selain Ridho, ada pula Amin perwakilan dari KBTE yang cukup lama berproses di Teater
Eska. “Selamat ulang tahun untuk Teater Eska yang ke-35. Semoga di ulang tahun ke-35
benar-benar produktif, kreatif,” kata Amin. (Isma Swastiningrum)
https://lpmarena.com/2015/10/20/35-tahun-teater-eska-ciptakan-seni-islam-progresif/
Dendam dan amarahku datang dari masa lalu / Menjelma dongeng kanak-kanak di tempat
tidurmu kelak / Ratusan ribu hari aku terkepung sunyi / Menanggung rindu yang kupikul
sendiri.
Lpmarena.com, Bait puisi di atas adalah cuplikan dari puisi karya Nissa Rengganis berjudul
Hikayat Dewi Rengganis. Puisi tersebut merupakan salah satu puisi dalam buku puisi karya
Nissa berjudul Manuskrip Sepi yang dibuat dari tahun 2009-2015. Beberapa antologi puisi
dalam buku tersebut didiskusikan dalam diskusi sastra Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjaseomantri (PKKH) UGM, Rabu (26/8) malam.
Diskusi yang berlangsung di Ruang Gong PKKH UGM ini menghadirkan dua pembahas,
Hasta Indriyana (Sastrawan) dan Khairiyah Eka Januaristi (mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB
UGM).
Dalam analisisnya Hasta mengatakan setiap penyair berpihak dan Nissa memilih kesepian.
“Dia melihat yang tidak ideal bagi manusia. Dia memilih material negatif seperti pedih,
sunyi, menguliti,” kata Hasta.
Nissa memberikan alasan kenapa yang dipilih sepi dan sedih. “Bicara tentang sepi, sepi
membuka ruang di kepala yang penuh dengan kompleksitas. Sepi yang bergemuruh. Sepi
bagi saya adalah kecemasan yang berulang untuk membungkus tragedi,” ujar Nissa.
Risti sendiri lebih memfokuskan diri membahas dua puisi Nissa khususnya yang membahas
tentang perempuan, yakni dalam puisi Perempuan-perempuan Plaza De Mayo dan Ketakutan
Suatu Malam: Jugun Ianfu. “Trauma terjadi ketika perempuan ditarik, diperkosa di camp,
bahkan suara hujan tak mengalahkan suara mereka,” ujar Risti.
Link: https://lpmarena.com/2015/08/27/sepi-dan-perempuan-dalam-puisi-nissa-rengganis/
Dalam acara ramah tamah bersama jurnalis di Aula Gedung Kabupaten Katingan, Ahmad
Yantenglie bupati Katingan mengatakan bahwa keunggulan pulau Borneo tidak lain adalah
hutan.
“Karena hutan menjadi brand dan kebutuhan masyarakat dunia, maka perlu adanya upaya-
upaya pelestarian yang menimbulkan nilai-nilai ekonomis,” kata Ahmad, Jumat (7/8).
Katingan menurut Ahmad mempunyai anugrah luar biasa, karena di kabupaten ini terdapat
bukit tertinggi di Kalimantan yakni Bukit Baka Bukit Raya 2278 mdpl. Kabupaten ini juga
sangat konsisten dalam perawatan lingkungan. Setidaknya ada dua buah tempat konservasi,
satu taman nasional, dan kawasan hutan lingkungan.
“Katingan 88% kawasan hutan, 10% kawasan pemukiman dan perusahaan, dan 2% pelepasan
kebun.Ruang gerak masyarakat masih di sini,” papar Ahmad, untuk itu upaya pelestarian
terhadap hutan tersebut ia harap tidak hanya menjadi jargon.
Untuk tujuan yang disampaikan oleh Ahmad tersebut, itu kenapa pesertanya adalah para
jurnalis. Jurnalis diharapkan mampu melakukan langkah produktif dan menjadi pintu
membangkitkan potensi Katingan. Seperti yang diharapkan Fajrur Roji, ketua panitia.
“Agenda menuju Katingan hijau semoga berjalan dengan baik. Selamat datang teman-teman,
rekan-rekan, dari berbagai organisasi dan media untuk kabupaten Katingan menjadi paru-
paru dunia,” tutur Fajrur. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/08/08/katingan-lestarikan-hutan-lewat-tangan-jurnalis/
Lpmarena.com, “Runtah” merupakan cerpen karya Ramadya Akmal yang berkisah tentang
kedurhakaan tiga orang anak pada ibunya yang meninggal. Ketiga anak yang hidup di tempat
modern yang tak mau mengurusi mayat ibunya yang hidupnya di pinggiran kali.
“Runtah mendeskripsikan dua cara berpikir manusia terhadap dua hal yang berbeda,” kata
Ramadya dalam acara diskusi sastra di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM,
Kamis (29/7) malam. Latar cerpen Runtah kata Ramadya terinspirasi dari Sungai Citanduy.
Dalam diskusi ini menghadirkan dua pembedah, yakni sastrawan Nissa Rengganis dan Arif
Furqan, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra UGM.
Dari paparan Nissa, Runtah dalam bahasa Sunda berarti sampah, busuk, kotor. “Runtah bisa
diisi dengan banyak tafsir,” jelas Nissa. Menurutnya apa yang diceritakan di Runtah adalah
fiksi yang kita temui sehari-hari. Khususnya kritik terhadap perangi anak Nini Runtah. “Yang
nyata dan fiksi nyaris tak ada celah. Kisah Danarto tahun 80-an yang absurd, sekarang bisa.
Mereka (anak-anak Nini Runtah) sangat materialistis. Memeriksa leher apa ada kalungnya?
Bagaimana anak rela memutilasi ibunya,” tambah penulis asal Cirebon ini.
Arif menambahkan narator dalam cerpen ini orientalis, meski tidak sepenuhnya. Ada bagian-
bagian di mana penulis mengungkapkan kritiknya terhadap kolonial melalui anak-anak Nini
Runtah. “Cerpen ini ngambil konflik utama kembali ke kampung halaman. Bagaimana yang
kolonial bertemu dengan yang tradisional. Anak-anak yang mewarisi kolonial yang kejam
pada ibu sendiri,” kata Arif. Kolonialisme di sini memetakan dan membangun kontrol akan
ruang.
Yang menjadi titik tekan Arif pada dialektika pembenturan anak yang memiliki mentalitas
kolonial dengan semua komedernannya dan kampung halaman dengan tradisi dan daya
magisnya.
“Namun segala usaha menimbulkan jejak, pemakaman ibu jatuh ke anaknya dan ketika
membawa jenazah ke peradaban terjadi hal-hal yang tak diinginkan, seperti dalam tahayul,
tubuhnya untuk pesugihan,” jelas Arif. Ini menunjukan usaha perubahan identitas (rewriting
space / identity) selalu meninggalkan kebocoran jejak dan kepercayaan-kepercayaan masa
lalu dan dalam hal ini cerpen ini bermain.
Kritik Nissa pada cerpen ini, di cerpen ini tokoh Runtah minim pendeskripsian. Ia seperti
datang dari lorong yang gelap. Dan tiga anaknya sendiri mengalami kemiskinan pikiran.
“Siapa yang lebih miskin? Anak atau orang tua? Ini persoalan hari ini. Orang yang tidak
menghargai kematian, tidak bisa menghargai hidup,” kutip Nissa dari film The Last Samurai.
Dari tanggapan Ramadya sendiri terhadap dua pembedah, cerpen ini tidak berbicara tentang
keterpinggiran, kemiskinan, atau kekumuhan. “Keberpihakan saya jelas. Tiga anak ini saya
pecundangi, menghadirkan mereka sebanyak mungkin untuk itu,” kata Ramadya.
Seperti yang Ramadya katakan di awal, penulis yang menjadi pemenang unggulan lomba
penulisan novel DKJ 2010 ini mengatakan Runtah merupakan perbedaan dua sudut padang,
determinan antara anak dan ibu.
“Runtah identitasnya jelas, meski tidak ada simbol. Seperti tokoh Ursula dalam novel Gabriel
Garcia Marquez yang nggak mati-mati sampai tujuh turunan. Dia mewakili sesuatu yang
magis meski minim pendeskripsian,” ujarnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/07/31/runtah-fragmen-kedurhakaan-anak/
Laksamana Cheng Ho berasal dari Yunnan, Tiongkok, lahir tahun 1371. Ia keturunan Arab
yang tumbuh di sebuah keluarga muslim yang taat beribadah. Leluhur Cheng Ho pernah
menjabat sebagai pejabat dan ketika usianya baru belasan, Cheng Ho ikut perang melawan
Mongolia di masa Dinasti Ming. Saat itu di Dinasti Ming sendiri terjadi kudeta dengan
mengangkat Yongle sebagai kaisar. Tahun 1433, Cheng Ho menerima titah dari Yongle
untuk melakukan ekspedisi.
“Cheng Ho melakukan tujuh kali ekspedisi sekitar 50.000 kilometer jauhnya hingga
Samudera Hindia, Laut Merah, Arab, bagian timur Afrika, Somalia, Kenya,” kata Fan Jinmin
dalam bahasa Tiongkok dan diterjemahkan oleh seorang penerjemah ke dalam Bahasa
Indonesia..
Menurut paparan Fan Jinmin, tiap ekspedisinya Cheng Ho selalu ke Indonesia. Ekspedisi
pertama Cheng Ho ke Palembang dengan membawa pasukan lebih dari lima ribu personil.
Pasukan ini merupakan pasukan pertahanan, bukan peperangan karena Cheng Ho tidak
menjajah atau melakukan perampasan daerah.
Ada beragam alasan, mengapa Cheng Ho melakukan ekspedisi. Fan Jinmin menjelaskan
beberapa alasan tersebut, di antaranya: menunjukan kekuatan Dinasti Ming, perdagangan,
pertukaran budaya, kerjasama antar negara, membuat persekutuan Islam, untuk melawan
Mongolia, dan usaha membasmi perompak Jepang di perairan Tiongkok.
Sumbangan terpenting dari ekspedisi Cheng Ho ini menurut Fan Jinmin adalah pada sejarah
maritim dunia. Di mana saat abad ke 15 terjadi penemuan peta, semua jalur ekspedisi barat
setelah Cheng Ho jadi lembaran baru maritim. “Sumbangan untuk maritim Tiongkok besar,
pada Dinasti Han sudah dimulai. Perlu teknik navigasi dan kemampuan yang lebih tinggi,”
papar Fan Jinmin.
Selain itu pembicara kedua, Xia Weizhong menjelaskan tentang bukti arkeolog dari ekspedisi
Cheng Ho. Di Indonesia sendiri misalnya bangunan Sam Po Kong di Semarang, juga
Tiongkok sendiri khususnya di Nanjing. “Nanjing tempat tinggal kaum muslim yang sangat
besar. Perkiraan ada tujuh puluh ribu muslim. Di Nanjing ada masjid muslim yang megah,
Masjid Jingjue,” kata Weizhong.
Link: https://lpmarena.com/2015/07/31/jejak-jejak-cheng-ho/
Lpmarena.com, Penulis, budayawan, dan seniman asal Madura, D. Zawawi Imron (70)
percaya bahwa keindahan lahir dari hati yang bersih. Hal tersebut disampaikan Zawawi
dalam acara orasi kebudayaan dalam pembukaan pameran seni rupa “MATJA: Seni Wali-
wali Nusantara” di Jogja Nasional Museum, Selasa (27/7).
Dalam orasinya Zawawi mengungkapkan bahwa kesenian itu penting karena Tuhan
menyukai keindahan. Manusia diberi onderdil, diberi perkakas untuk melihat keindahan yang
ada di sekitarnya. ”Dalam tradisi pesantren, keindahan dibagi dua, keindahan kepala juga
keindahan mata batin. Kita diberi otak untuk berpikir. Intinya, bagaimana orang menghayati
keindahan,” kata penulis kumpulan sajak Bulan Tertusuk Ilalang ini.
Menurutnya, hati yang bersih merupakan hati yang kalau menurut Sunan Drajat adalah hati
yang rumongso (merasa). “Hati yang bersih itu tidak punya waktu untuk iri dan bermusuhan
pada orang lain. Hati yang bersih merupakan sumber energi positif yang bisa melahirkan
bermacam-macam keindahan, kedamaian,” ucap pria yang juga menjadi Anggota Dewan
Pengasuh Pesantren Ilmu Giri Yogyakarta ini.
Tambah Zawawi, hati yang bersih menjadi tempat yang sangat indah untuk ditempati. Dari
hati yang bersih, akal akan digunakan untuk melihat yang jernih. “Akal sehat kalau
diaktifkan, aku mendamaikan aku yang lain. Kemudian aku-aku-aku yang lain berdamai
dengan aku-aku-aku yang lain yang terbentuk adalah ‘kita’. Kalau kata Sutardji tertusuk
padamu, berdarah padaku,” tuturnya puitis.
Zawawi menyebut ‘kita’ sebagai keindahan kolektif, keindahan bersama, seperti yang
dikatakan seorang penyair yang Zawawi kutip: janganlah terjadi hujan di ladangku, kalau
tidak untuk semesta. Semua berhak akan keindahan-Nya.
Terkait keindahan juga, menurut penyair yang pernah menerima penghargaan The S. E. A.
Write Award ini mengatakan, “Keindahan yang substansial tidak hanya ada pada mawar
indah dan kita bahagia akan itu. Tapi juga seekor katak yang tercebur dalam selokan.
Keindahan bagi seorang yang indah mata batinnya, karena ada pelajaran Tuhan yang tak
lepas.” (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/07/28/d-zawawi-imron-keindahan-lahir-dari-hati-yang-bersih/
Pameran pembukaan diadakan di Jogja Nasional Museum, Senin (27/7) malam dengan
menghadirkan para aktivis NU dan para seniman. Pameran lukisan yang melibatkan 50
perupa ini akan dilaksanakan selama empat hari, 27-30 Juli 2015.
Islam Nusantara sendiri menurut Agus Sunyoto, tokoh NU, memiliki arti Islam hasil
interaksi, kontektualisasi, indigenisasi, vernakularisasi antara Islam yang berasal dari
berbagai negeri di dunia dengan realitas sosial, budaya, sastra, pendidikan, dan pengetahuan
yang sudah ada di Indonesia.
Salah satu dari tradisi Islam Nusantara khususnya seni rupa, tidak selalu didominasi oleh
budaya arabisme yang identik dengan kaligrafi. Islam Nusantara punya tradisi yang khas,
salah satunya yang bisa diilhami dari gerakan asimilasi warisan Wali Songo. Dan Matja
sendiri merupakan turunan pertama Al Quran: iqra’ (bacalah).
“Mengapa Matja? Kita perlu melakukan pembacaan ulang. Matja tidak sekedar membaca,
tapi juga menafsir. Islam seseorang terkait dengan apresiasi seninya,” ucap A. Anzieb selaku
kurator pameran.
Selain itu, Hasan Basri, ketua pameran mengatakan, NU dalam pameran ini tidak sekedar
menempatkan kesenian sebagai alat dakwah. “NU bukan sekedar organisasi kemasyarakatan,
tetapi juga pemangku kebudayaan. Tidak hanya memaksakan kehendak sendiri, tapi juga
bekerja bersama,” kata Hasan. Menurutnya juga, melengkapi Anzieb, kesenian merupakan
tolak ukur kematangan ruhani dan spiritualitas masyarakat. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/07/28/islam-nusantara-dalam-matja/
Menurut laporan tahunan dari Wahid Institute sendiri tentang kasus intoleransi sepanjang
tahun 2014, di Yogyakarta telah terjadi 21 kasus. Dan di Gunung Kidul khususnya
menempati peringkat nomor satu kasus intoleransi. “Ada kasus di tiga gereja, Goa Maria,
penolakan peralihan keagamaan,” kata Agnes, wanita yang lebih suka memakai diksi
kebhinekaan daripada toleransi ini.
Hairus Salim banyak berbicara tentang pentingnya kita membicarakan toleransi yang
sebagian besar orang menganggap isu ini isunya orang menengah. Hairus beranggapan kasus
beragama kaitannya toleransi adalah urusan kita semua yang sensitif yang paling gampang
disulut.
“Kasus Sumber Daya Alam tak banyak mengundang, tapi beda urusan dengan agama. Misal
Quran diinjak-injak, nggak ada sehari pasti mengundang solidaritas yang cepat munculnya,
terlalu gampang meluas,” jelas Hairus.
Hal ini turut diamini peserta diskusi Shohifur Ridho Illahi yang beranggapan bahwa frase
toleransi dan isu beragama terjadinya di kelas menengah yang menjadi sesuatu yang
diperjuangkan. Namun saat ini isu itu hanya hidup di kaos-kaos, banner, spanduk, pamflet,
dan seminar. “Film toleransi hidup di banner-banner dan pamflet banget dan itu tidak keren,”
ungkapnya.
Menyikapi hal ini Agnes berharap mahasiswa mampu melihat lebih kritis apa yang terjadi di
sekeliling mereka lalu memberikan kontribusi yang dapat diberikan. “Mahasiswa mampu
menjadi jembatan menciptakan perdamaian. Persoalan ini tak hanya menjadi persoalan
kelompok beragama, tetapi juga persoalan kita semua,” tutur Agnes. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/07/01/toleransi-tak-sekedar-isu-kelas-menengah/
Lpmarena.com, Novelis Andrea Hirata berkeyakinan bahwa menulis itu seperti sidik jari.
Yang ketika dibaca satu paragrafnya bisa ditentukan siapa penulisnya.
“Saya percaya menulis tak bisa diajarkan, karena yang ada dalam diri Anda itulah harta karun
yang paling bernilai dalam diri Anda,” katanya dalam acara Obrolan Pembaca Ayah, novel
terbaru Andrea di perpusatakaan pusat lantai II UGM, Senin (15/6).
Bagi Andrea, sastra seperti main bola. Dimana orang dengan mudah memberi kometar, tetapi
ilmunya sedikit yang tahu. “Ilmu nulis banyak. Be spectical with that. Sebenarnya kita dapat
ekor-ekornya saja. Belajarlah dari orang benar. Jangan mudah percaya penulis siapapun
sekalipun mulut saya. Trust yourself,” tuturnya.
Sebelum sukses seperti sekarang dahulunya Andrea juga mengalami masa-masa sulit dalam
menulis. “Saya memiliki novel yang tidak saya terbitkan sebanyak 15 buah. Untuk saya
belajar. Nikmati prosesnya, risetnya,” aku pria asal Belitong ini.
Ia juga membeberkan rahasia kenapa bukunya banyak yang laris, tidak lain karena cerita-
cerita Andrea dialami banyak orang. “Kenapa penjualan tinggi? Bukan karena saya jenius,
karena saya nulis kisah-kisah yang dialami banyak orang,” kata Andrea.
“Kalau ingin jadi penulis define dulu. Kalau sudah men-define misal jadi novelis, define lagi
ada di surealis, story teller atau religi? Soalnya ilmunya berderak bagai sungai,” ujar pria
yang karya-karyanya diterbitkan dalam 34 bahasa ini.
Di kesempatan sebelumnya juga selama kunjungannya di Jogja dalam acara meet and greet
Andrea Hirata di Toga Mas Kota Baru, Minggu (14/6), Andrea menuturkan ia menganut tiga
filosofi dalam menulis. Pertama, belajar terus menulis dengan baik. Kedua, Andrea akan
menunjukkan darimana dan bagaimana ia berasal. Ketiga, Andrea akan memperlihatkan apa
yang ia capai.
Meskipun begitu, dari banyak urainnya Andrea lebih menekankan untuk memulai semua
dengan kebaikan. Merendahkan diri di depan Tuhan untuk kebeningan hati. “Jadi penulis
yang baik itu begini: menjadi orang yang baik lebih penting daripada menjadi penulis yang
baik,” ucapnya mantap. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/06/16/filosofi-menulis-andrea-hirata/
Andrea Hirata dalam acara Obrolan Pembaca novel “Ayah” di Perpustakaan Pusat UGM (foto: Amin
Sahri).
Lpmarena.com, Tahun 2015, novelis Andrea Hirata meluncurkan novel barunya berjudul
Ayah. Senin (15/6) Andrea Hirata bersama harian Media Indonesia mengadakan Obrolan
Pembaca Ayah di Perpustakaan Pusat lantai II UGM.
Novel yang bercerita tentang ayah kepada anaknya Zorro ini secara umum berkisah tentang
kasih sayang ayah pada anaknya secara luas. Salah satu tujuan Andrea menulis novel ini
adalah agar pembaca ingat dengan ayah di kampung. “Ini bukan soal ayah kawan-kawan, tapi
soal kita,” kata Andrea.
Bagi Andrea menulis adalah meletakkan ide dalam sebuah konteks dan meletakkan konteks
itu dalam perspektif. Ia mencontohkan dalam novel Ayah, ada riset tentang maskulinitas dan
budaya Melayu. “Anda tidak bisa meletakkan konteks itu tanpa riset. Tidak sekedar
ngumpulin data, tapi ada metode atau tekniknya,” ujar Andrea.
Andrea menjelaskan novel merupakan produk dari fiksi. Ada bagian nyata yang dibesarkan.
Setiap orang memiliki rasa cemburu dan mimpi yang bisa digali. Meski begitu Andrea
memusatkan perhatian menulisnya pada dampak yang tulisan itu berikan, pun dalam novel
Ayah.
“Saya selalu berfokus pada manfaatnya. Saya milih karya saya punya dampak. Fiction is real
power. Jadi discourse di luar sana,” tuturnya.
Dampak nyata yang berhasil Andrea torehkan misalnya berkat Laskar Pelangi wisatawan
yang datang ke Belitong mengalami pelonjakan sebesar 1800%, pun dalam pendapatan asli
daerah juga mengalami peningkatan. Dari sana Andrea berkesimpulan fiksi dapat memberi
kekuatan yang nyata. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/06/16/tentang-ayah-tentang-kita/
“Dalam membangun karir punya tujuan yang jelas agar nggak bolak-balik,” kata Hary dalam
acara “Dialog Bersama HT” di Bale Ayu, Rabu (10/6) yang dihadiri para mahasiswa,
blogger, komunitas kreatif, dan santri.
Jika tujuan sudah mentap, Hary lalu melanjutkan tinggal menerapkan dua hal berikutnya.
“Apapun yang kita lakukan yang itu menjadi tujuan kita, lakukan yang terbaik dan
berkualitas. Bukan sekedar banyak atau sekedar selesai,” kata Hary, ia percaya kualitas
membawa karir seseorang lebih baik. Kualitas juga tak hanya berhubungan dengan materi.
Di masa sekarang juga di mana teknologi berkembang cepat, Hary berujar faktor kecepatan
sangat penting. Ia memberi contoh kisah sukses pendiri fesbuk, Mark Zuckerberg yang cepat
mengembangkan fesbuk. “Speed, cepat! Awal tahun 2000 yang dipakai friendster, Mark
mencontoh friendster dan cepat memperbaiki kualitasnya,” ujar pengusaha serba bisa asal
Surabaya ini.
Pria yang sudah 26 tahun berkecimpung di dunia bisnis ini juga menegaskan yang menjadi
tantangan terberat menjadi pengusaha adalah konsistensi.
“Tantangan hidup, tantangan bisnis itu bagaimana kita bisa konsisten, caranya dengan fokus
pada tujuan kita. Sukses tergantung bagaimana kita mengakhirinya, bukan mengawalinya,”
ucapnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/06/11/tiga-tips-menjadi-pengusaha-dari-hary-tanoesoedibjo/
Karya Dian Mayang Sari berjudul “Hope” dalam JAW 2015 (sumber: www.jogartjournal.net)
Lpmarena.com, 45 karya seni hadir dalam acara Jogja Art Weeks (JAW) Artwork Showcase
2015. Berbagai bentuk seni dari visual, music and sound, performance, social experiment,
dan bentuk-bentuk seni lainnya akan ditampilkan di Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri (PKKH) UGM dari tanggal 9-27 Juni 2015.
“Di sini jadi tempat kita semua berproses, berkarya, saling bertegur sapa. Menjadi satu titik di
mana siapa pun bisa bertemu dan menghasilkan sesuatu bagi Indonesia, bagi kemanusiaan,”
kata Faruk HT, budayawan sekaligus ketua PKKH dalam sambutannya di malam pembukaan
JAW 2015, Selasa (9/6).
Selain itu, Budi Santoso Wignyosukarto selaku wakil rektor bidang Sumber Daya Manusia
dan Aset UGM berujar jika acara ini merupakan upaya agar dunia kampus tidak steril dari
seni. “Saya menemukan oase baru. Seni yang bisa dilihat dari sudut yang lain yaitu
pengetahuan. Sebagai tempat interface bertemunya seni,” ucapnya.
Tahun ini sendiri JAW 2015 mengambil tema keterbukaan dimana para senimannya
membuka diri akan proses kreatif mereka. Selain terbuka, Yan Parhas, ketua panitia dalam
pers rilisnya menuturkan karya seni yang digelar merupakan karya yang mempunyai
keunikan tersendiri.
“Karya-karya seni yang digelar merupakan karya yang dihasilkan dari sebuah proses
workshop yang diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan baik seniman maupun non
seniman,” tegas Yan.
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 203
Yan juga menulis diharapkan JAW 2015 ini dapat mengembangkan semangat kreatif,
keberanian berpikir dan bertindak di ruang mainstream, keluwesan dalam membangun
jaringan, dan membangun kesadaran atas ekspektasi publik. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/06/10/jogja-artweeks-2015-kampus-tidak-boleh-steril-dari-seni/
Lpmarena.com, Kantor admisi menjadi pusat sistem penerimaan mahasiswa baru UIN Suka
dari jalur SNMPTN, SBMPTN, Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi
Keagamaan Negeri (SPAN-PTKIN), dan UM-PTKIN. Dari kantor admisi bisa menjadi
tempat informasi penerimaan mahasiswa baru, salah satunya mengenai animo siswa yang
mendaftar UIN Suka yang tahun ini mengalami peningkatan.
“Animo sejak lama besar dan sudah ada peningkatan, karena prestasi UIN,” kata Mulin
petugas admisi saat ditemui ARENAdi kantor admisi, Selasa (9/6).
Mulin menegaskan dalam SNMPTN sendiri di antara perguruan tinggi Islam di Indonesia,
UIN menempati peringkat kedua, satu tingkat di bawah UIN Jakarta. “Sekarang mengalami
peningkatan nomor dua se-Indonesia, walaupun hanya 19 prodi,” ujar Mulin. Ia
menambahkan UIN Suka berhasil menggeser UIN Bandung yang memilki pilihan jurusan
lebih banyak, yakni 44 jurusan.
Kepercayaan terhadap UIN Suka salah satunya datang dari Indrasto, warga Bantul yang
mengantar anaknya mengikuti tes SBMPTN. Ia bercerita jika anaknya Septi Fianti juga
memilih mendaftar di UIN Suka. Dua jurusan yang dipilih di UIN Suka, yaitu Biologi dan
Kimia.
“Mudah-mudahan diterima di sini. Supaya anak itu ingin punya prinsip melanjutkan sekolah
yang tinggi,” harapnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/06/10/animo-masuk-uin-suka-meningkat/
Lpmarena.com, Ada kelalaian-kelalaian yang harusnya tidak terjadi yang dialami beberapa
peserta ujian selama pelaksanaan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) yang usai dilaksanakan Selasa (10/6). Hal ini bisa ditemukan di pos-pos
informasi SBMPTN. UIN Suka yang menjadi Panitia Lokal 46 DIY telah menempatkan
panitia-panitia SBMPTN di pos-pos tertentu, di tingkat universitas maupun di fakultas.
Jakra, panitia SBMPTN yang berjaga di pos keamanan yang tempatnya ada di bagian security
depan laboratorium agama UIN Suka mengungkapkan tentang pengalaman-pengalamannya
selama berjaga. “Banyak kelalaian peserta. Kayak salah tempat tes, harusnya di UNY tesnya
di sini. Selain UNY, ada lagi harusnya tesnya di UGM salah di sini. Dia nangis-nangis,” kata
Jakra.
Selain itu kelalaian yang lain seperti ada lima peserta yang tidak membawa Surat Kelulusan
Hasil Ujian (SKHU), lima orang ini akhirnya diantar ke panitia pusat. “Nggak boleh ikut
ujian, tapi akhirnya dilobi dan boleh masuk,” ucap Jakra.
Yang lain lagi seperti verifikasi SNMPTN, ada peserta yang salah verifikasi. Harusnya
verifikasi tanggal 9 Mei malah datang 9 Juni pas SBMPTN. “ Di sini dia nangis-nangis, piye
meneh? Sistem verifikasi kanonline,” kata Jakra. “Trus akhirnya anak itu ke rektorat dan
rektorat nyuruh dia daftar regular,” tambah Jakra.
Jakra sendiri melihat peserta SBMPTN tahun ini banyak yang enak-enak. Pasalnya banyak
yang diantar orang tuanya. Dulu saja Jakra bercerita dari Padang dia sendirian. “Enak ya
diantar ortu, saya dulu kayak orang ilang. Ngisi sendiri, tes sendiri, bingung-bingung
sendiri,” celoteh mahasiswa jurursan Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Suka sekaligus aktivis
UKM Pramuka ini.
“Ada lagi tuh yang manja, dia nanya lokasi. Masak baru beberapa meter jalan udah balik lagi.
Padahal udah dikasih denah juga,” ujarnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/06/10/beberapa-peserta-sbmptn-lalai/
“Ekologi dan seni, kalau disingkat koloni. Koloni terinspirasi bagaimana semut membangun
kehidupan dan membentuk lingkungannya,” ucap Cepot, direktur WALHI Yogyakarta.
Pentas ini juga sebagai bentuk respon atas keserakahan tambang yang merusak lingkungan.
Menurut Cepot setiap orang punya konstribusi dan potensi terhadap lingkungan.
“Pembangunan di Yogyakarta bisa dilihat, dengan pesatnya terjadi betonisasi. Ada
keterkaitannya dengan di Rembang, Pati, Tuban, dan Gresik yang menguras batu karst,”
tuturnya.
Jika ekologi dilihat dari kacamata seni, Wing Sentot Irawan, seniman, budayawan, dan musisi
yang tinggal di Lombok ini berujar bahwa berbicara ekologi berbicara diri kita sendiri.
“Ekologi itu saya. Nilai pemahaman ekologi itu ada seninya. Bicara merapi ya di sini ini,
merapi ya tetap merapi. Bukan persoalan di sana, tapi di sini ini,” ucap Sentot sambil
menunjuk dirinya sendiri.
Persepsi orang terhadap kondisi sosial menurut Sentot responnya tergantung pada kadar
kesanggupannya. Maka, bagi Sentot pendidikan sangatlah penting, pendidikan di sini
diartikan Sentot secara luas.
Tentang pengelolaan, Sentot menambahkan, “setiap orang harus mengelola dirinya. Dikelola
itu dianyam. Pendidikan itu tak menciptakan apa-apa, kalian yang menciptakan.”
Meski begitu, masalah ekologi tidak hanya ada pada diri dan pendidikan. Ada faktor lain
yang lebih menghegemoni misalnya politik. Seperti yang dikatakan Cepot bahwa
problematika utama Sumber Daya Alam adalah penguasa Sumber Daya Alam adalah juga
seorang penguasa politik. “Negara absen saat masalah tambang, proses intimidasi dan
ancaman yang terjadi,” kata Cepot.
Dalam rangkaian acara Art and Ecology ini selain dimeriahkan oleh Teater Eska dan Wing
Sentot Irawan, juga dimeriahkan oleh Sanggar Nuun, Agoni, Sisir Tanah, dan Tuna Nada
Mapalaska. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/30/menyadari-diri-menyadari-ekologi/
Lpmarena.com, Putra musisi jazz senior Benny Likumahuwa, Barry Likumahuwa dalam
acara workshop Movie Day Out LA Indie Movie di Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta,
Rabu (27/5) menceritakan tentang pengalamannya dalam film scoring—pembuatan musik
untuk film.
Scoring film menurutnya dibangun atas keselarasan adegan. “Apapun yang dibikin di scoring
itu in line dan tidak mengambil fokus. Dia ngasi suasana, ngerti mana yang minor dan
mayor,” tutur Barry.
Selama workshop, Barry tekun memberikan contoh-contoh musik pada peserta, salah satunya
dalam film Si Doel Anak Sekolahan. Di film ini menurut Barry scoring-nya asyik. Nada yang
sederhana bisa dibuat untuk bermacam-macam suasana. Dari adegan marahan, romantis,
hingga adegan si Doel kepergok.
“Si Doel Anak Sekolahan saya suka scoring-nya, punya tema yang dipakai terus menerus.
Segala sesuatu yang simple tapi bisa dimaksimalin pasti asyik,” kata Barry. Ia menambahkan
di luar negeri sendiri mengambil harmoni yang sederhana dan tidak bisa tertebak. Dan alat
musik drum menurutnya bisa membuat suasana menjadi tak tertebak. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/barry-likumahuwa-harmoni-sederhana-bisa-dibawa-kemana-
mana/
Mr. Kocom (gundul berjaket biru) tengah menerangkan tentang make-up effect (foto: twitter.com)
Lpmarena.com, Ahli make-up effect, Sarwo Edi atau yang dalam dunia perfilman dikenal
dengan nama Mr. Kocom mengaku mempelajari keahliannya secara otodidak dari teman-
teman dan lingkungan. Hal tersebut disampaikan Kocom dalam acara workshop Movie Day
Out LA Indie Movie di Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta, Rabu (27/5).
“Tinggal improve-nya aja. Kemarin pas film Sang Kiai, kita bikin propestiknya. Kita ada
bentuk, nggak cuma mannequin,” ujarnya.
Kocom sendiri juga ahli dalam membuat property layar lebar. Seperti membuat imitasi candi,
botol untuk adegan kelahi, bayi yang mirip asli, dan lain-lain. “Kita kan kru sandal jepit. Mau
keadaan sempit tetap kuat,” candanya mengakhiri presentasi. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/mr-kocom-belajar-make-up-effect-secara-otodidak/
Dalam perkembangannya dan obsesinya, film memasukan unsur waktu dalam fotografi. Hal
tersebut disampaikan Monod dalam acara workshop Movie Day Out LA Indie Movie di
Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta, Rabu (27/5).
Monod memakai metafora jika seorang sastrawan yang penting adalah kata-kata, maka untuk
sinematografer bentuk, cahaya adalah kata-kata. Cahaya bisa mengungkapkan perasaan
secara mendalam. “Dynamic lighting that make shape dimension,” jelas Monod.
Menurutnya sinematografer mempunyai ruang untuk berbagi tempat antara ruang dan waktu.
Sinematografer juga harus punya wawasan seorang editor. “Punya shot-shot mewujudkan
cerita. Lihat hubungan yang dekat antara sinematrografer dan editor,” kata sinematografer
film Bulan Tertusuk Ilalang (1885), Daun di Atas Bantal (1998), Jamilah dan Presiden
(2009) ini.
Dalam workshop tersebut, Monod juga menampilkan beberapa film nir suara untuk
menjelaskan tentang DOP. Film tidak sekedar mengandalkan kata-kata, tetapi juga
memaksimalkan visual yang di dalamnya ada cara bertutur dan bercerita.
“Bahasa film terjadi ketika film itu selesai. Film punya daerah yang luas, tak cuma sinetron.
Kita punya potensi tutur cerita yang unik, merangsang bentuk-bentuk bahasanya,” katanya.
Monod menganjurkan untuk mencari jalan yang tak dipakai orang lain untuk menemukan
benua sendiri. “Kita identik dalam kosmos, pandai menangkap rangsangan artistik,” ujarnya
menutup presentasi. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/monodzky-pemaksimalan-visual/
Lpmarena.com, Kusen Donny Hermansyah (41) seorang editor film, pembuat film
dokumenter dan ekperimental berkesadaran bahwa masalah editing tak cuma monopoli
editor, tetapi juga pembuat film secara menyeluruh.
“Semua harus paham konsepsi dasar editing,” kata Donny dalam acara workshop Movie Day
Out LA Indie Movie di Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta, Rabu (27/5).
Dia bercerita editing dalam film tidak hanya an sich, tidak cuma mengatur hubungan antar
shot A dan shot B atau tidak sekedar motong dan mengatur gambar. “Ia punya tingkat
kesulitan tertentu karena banyak aspek yang dipertimbangkan. Tugasnya membuat shot yang
prima dan baik,” ucap pria yang juga menjadi dosen Dasar Seni Film di Institut Kesenian
Jakarta ini.
Dalam workshop ini Donny mengenalkan aspek-aspek yang harus dilatih dalam meng-edit
film, yakni dimensi grafis, dimensi ritmis, dimensi ruang, dimensi spatial, dimensi temporal,
dan sebagainya.
“Film mampu menciptakan ruang baru di benak penonton dan menciptakan secara
keseluruhan,” kata Donny saat berbicara mengenai dimensi ruang khususnya elemen visual.
“Teman-teman harus punya kesadaran continuity editing,” tambahnya.
Donny juga menceritakan hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam editing film antara lain
kaidah 180 derajat, eyeline match, shot/reverse shot, screen direction, dan lain-lain. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/kusen-donny-shot-yang-prima-dan-baik/
Lpmarena.com, Artis dan kompeser lagu, Titi Rajo Bintang merasa bahwa berakting dan
mendalami sebuah peran itu tidak hanya seperti orang menempel baju. Baginya, aktor yang
baik adalah aktor yang tidak sekedar menempel, tetapi juga masuk menjiwai karakter.
“Jadi tidak cuma ditempel, tapi dimasukkan si A seperti apa? Makanannya apa?
Nongkrongnya dimana? Bagaimana sifatnya?” kata Titi dalam acara workshop Movie Day
Out LA Indie Movie di Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta, Rabu (27/5).
“Kebanyakan aktor yang instan-instan aja. Lihat aja di layar, kosong. Percuma kalau punya
produser, director, tapi nggak punya aktor keren,” ucap pemenang Piala Citra kategori aktris
terbaik di FFI 2009 dalam film Mereka Bilang Saya Monyet ini.
Untuk mendukung pemeranan sendiri, Titi juga bercerita tentang acting coach yang melatih
si aktor. “Director harus satu kepala dengan acting coach. Harus acting jangan malu-malu,
kalau nggak punya gift, bekerjanya harus luar biasa,” ujar Titi.
Titi juga menjelaskan bahwa aktor harus sadar kamera, jika dalam perfilman dikenal dengan
Director of Photography (DOP). Kamera suka tulang-tulang tegas. “Aktor harus sensitif
sama DOP. Aktor harus banci kamera. Kesadaran sebagai aktor penting,” ungkapnya. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/titi-rajo-bintang-aktor-tak-cuma-tempel-baju/
Lpmarena.com, Sutradara film Anggy Umbara (34) percaya bahwa film berkualitas itu
elemen terpentingnya adalah quality dan networking. Setiap orang memiliki kemampuan
membuat film dan dua hal ini saling berhubungan erat. Hal tersebut disampaikan Anggy
dalam acara workshop Movie Day Out LA Indie Movie di Mandala Bhakti Wanitatama
Yogyakarta, Rabu (27/5).
“Film harus berkualitas dulu baru punya networking. Semua orang bisa bikin film, tapi tidak
semuanya berkualitas,” ucap sutradara film Comic 8: casino King, Mama Cake, dan CJR The
Movies ini. Membuat film itu mampu menceritakan semua detail yang terjadi, tetapi tetap
“make it simple”.
Dia bercerita elemen film yang berkualitas itu ada lima, yaitu story, director, cast, production
value, dan promotion. Film yang berkualitas harus mempunyai cerita yang kuat yang
diwujudkan oleh sutradara melalui pemain-pemain yang berkarakter dan wajib ada nilai yang
ingin disampaikan.
“Production value kalau nggak ada di film lo, film lo bakal kacangan. Lo harus kuasai
teknikal dulu, teori, baru praktik,” ucap pria kelahiran 21 Oktober ini. Pembuat film harus
mempunyai tanggung jawab atas kesediaan waktu yang diberikan penonton untuk menonton
film tersebut.
“Never try too hard to make difference, but be the differences,” pesan Anggy mengakhiri
presentasinya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/anggy-umbara-think-the-unthinktable/
Lpmarena.com, Film yang bagus lahir dari cerita yang bagus, begitu kata Emerita Sembiring
Gurukinayan (48) penulis script film beberapa FTV juga layar lebar dan penulis novel.
Perempuan asal Medan ini memberi perbedaan pada peserta tentang beda penulisan script
dan tulisan-tulisan yang lain semisal novel.
“Buat script itu straight, to the point. Menggambarkan jangan terlalu detail kayak bikin
novel. Ada interior-eksterior, ada point of view, voice over/VO, dan bikin scene plot,” tutur
Ita, panggilan Emerita dalam acara workshop Movie Day Out LA Indie Movie di Mandala
Bhakti Wanitatama Yogyakarta, Rabu (27/5).
Ia juga mengingatkan pada peserta untuk berhati-hati ketika membuat dialog yang terlalu
panjang. Hal itu disebabkan karena selain merepotkan pemain juga membuka ruang
improvisasi, begitu improve makna asli bisa tereduksi, ia tak sekedar memuncratkan ludah.
“Buatlah adegan yang berbeda. Itu yang membuat film Anda berwarna. Menggambarkan
kesedihan tak harus nangis. Di wilayah seni tinggalkan yang baku-baku. Keteraturan
menghukum saya seumur-umur,” kata perempuan yang pernah kursus penulisan naskah film
di Leidse Ondderwijsinsteliingten (LOI) Belanda ini.
Dalam menjaring ide menurut Ita bisa dimulai dari hal-hal kecil. “Ide gampang ketika dilatih.
saya nyoba ngambil dari kesharian,” ucapnya. Dari pengalamannya, Ita sering mendapatkan
ide dari lagu, majalah wanita yang bagian ruang curhat ibu-ibu, atau majalah pria, sampai
nonton gosip. FTV yang ditulis script-nya oleh Ita yang lahir dari sumber-sumber tersebut
adalah Cinta Anak Kos, Konglomerat Kok Melarat, dan lain-lain.
Ita juga berpesan jika menulis script jangan agar terlihat keren, karena jika seperti itu hanya
dapat satu, dua, tiga lembar. “Bikin script karena tahu ilmunya dan suka. Kita kuasai
ilmunya,” katanya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/29/emerita-nulis-script-film-itu-beda/
Dari kiri, Sungging Raga dan Royyan Julian didampingi moderator membedah cerpen Asef (foto:
Dwi Rahariyoso).
95Terbakarlah amarah sebagian besar orang-orang di kaumnya ketika sebagian lain mulai
menuhankan Anak Lelaki Maria. 96Amarah adalah sesaat yang menyesatkan. 97Dan mereka
menjadikan yang sesaat itu terus-menerus hingga menyalakan api di tangan mereka.
(Kutipan cerpen Wahyu Kesebelas yang Diturunkan Kepada Tatimmah karyaAsef Saeful
Anwar)
Mirip seperti kanon dalam agama-agama samawi, cerpen ini berkisah tentang Maria yang
hamil karena wahyu dari Tuhan. Maria memiliki tunangan bernama Sef yang sangat setia
pada Maria dan menemani Maria hingga bayi tersebut lahir. Pada fragmen “Berguru pada
Binatang” setelah bayi ajaib itu lahir, ia berbicara tentang kisah-kisah yang ada dalam kitab
suci. Seperti kisah lelaki yang mengubur saudaranya setelah melihat gagak menggali dan
memasukkan jasad sesamanya ke tanah; lelaki yang ditegur semut karena tak berperilaku
santun; lelaki yang diajari bertaubat oleh seekor paus; lelaki yang mengikuti ikan berenang
untuk belajar bersabar; lelaki yang disuapi remah-remah roti oleh seekor burung untuk tetap
hidup; lelaki yang dipayungi seekor ular saat bersemadi, juga tentang kisah Namas dan
orang-orang di bahtera. Kisah berlanjut hingga anak laki-laki Maria ini besar, hingga kisah
terbakarnya Maria seperti pada kisah Nabi Ibrahim.
“Merujuk pada konteks iman, persoalan besar adalah iman. Ini transformasi dari Al Kitab dan
Al Quran. Narasi banyak terinspirasi dari Al Quran,” kata Royyan. Hal ini diamini oleh Asef
yang bercerita konvensi penulisan cerpen ini terilhami dari kisah-kisah Al Quran.
“Sederhana, cuma bayangin Sef yang bersaing dengan Tuhan. Tiba-tiba saya hidup di jaman
nabi dan saya berubah jadi perempuan. Saya wujudkan perasaan itu pada masa itu,” kata
Asef.
“Maria perantara Yosef beriman pada Tuhan. Di sini unsur cinta sangat penting sebagai
perantara manusia dan Tuhan. Beriman tanpa perantara tidak bisa. Ada perantaranya
misalnya nabi, kitab suci, dan lain-lain,” ucap Royyan.
Namun, pendapat ini disanggah oleh peserta diskusi yang juga dosen sastra FIB UGM, Faruk
Tripoli. Menurut Faruk Tuhan tak bisa dimediasi, karena mediator itu tidak independen.
Ketidaknetralan tersebut seperti pada kasus paman Nabi Muhammad yang meskipun merawat
Nabi, tetapi apakah Muhammad yang juga seorang mediator itu bisa membuat pamannya
beriman pada Allah?
“Orang Islam lebih tersinggung ketika ada orang mengkritik Muhammad daripada mengkritik
Tuhan. Ternyata Nabi dikultuskan. Tidak mungkin Tuhan dimediasi, mediasi tidak netral.
Tuhan dirampok oleh Muhammad,” kata Faruk.
Sungging Raga sendiri berkomentar penulis cerpen ini banyak bereksperimen dalam bait,
tema, gaya bahasa, sampai pada teknik. “Cerpen ini bereksperimen pada yang sudah ada,
seperti wahyu. Wahyu itu sesuatu yang serius, bukan fiksi,” kata Sungging. Ia menambahkan
cerpen ini bisa dibaca dalam dua bentuk, wahyu dan fiksi. Bentuk wahyu karena
penulisannya mirip terjemahan Al Quran, tetapi sedikit dimodifikasi. Sebagai fiksi bisa
dilihat dari tokoh Sef yang percaya saja pada Maria, tokoh lelaki setia, meski penulis tidak
menerangkan Sef beriman pada siapa.
“Ia lupa bahwa beriman ia punya konsekuensi. Yang ada cuma pamer mukjizat, definisi
beriman masih kurang, kayak nyaksiin akrobat,” kritik Sungging. Yang menarik bagi
Sungging, penulisnya pandai mengambil konflik-konflik yang berhubungan meskipun
banyak bagian yang tidak berfungsi juga, misalnya dalam fragmen tentang selibat. “Padahal
cerpen itu puzzle, gambarnya satu dan setiap bagian ada fungsinya. Kalau seperti ini kita bisa
berhenti di mana saja,” kata pria yang pernah duduk di jurusan matematika UGM ini. Bagi
Sungging juga cerpen lebih ke “bagaimana” kita menceritakannya, bukan “apa” yang
diceritakannya.
Kritik untuk cerpen ini juga datang dari salah satu peserta diskusi bernama Vera Naga.
Menurutnya cerpen ini membuat rumit sejarah. “Kalau dia (penulis) ortodoks, dia tak
mempermainkan ayat. Pembaca pasif hanya menerima. Dari segi bahasa enak, mirip puisi,
unik. Kalau sejarah akan menghancurkan, terlebih sejarah agama,” katanya. Vega sendiri
prihatin dengan kondisi prosa dan sastrawan Indonesia yang takut dengan kontroversi.
Katanya, hampir tidak ada yang baru di prosa.
Pesan cerpen sendiri, sebagaimana Royyan kutip dari Ben Okri bilang bahwa agama yang
tidak menyapa yang lain adalah agama bekas. Islam misalnya, menurut Royyan ia tidak
menjadi bekas dan bisa dikatakan Islam sejati jika ia memberi makan pada yang lapar dan
membuat damai orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Dalam agama Yesus
Link: https://lpmarena.com/2015/05/26/mukjizat-yang-turun-untuk-maria/
Seorang pengunjung tengah memperhatikan foto dalam pameran “Mahameru” (sumber foto:
jalanjogja.com).
Lpmarena.com, Pada zaman Mataram Hindu sekitar tahun 1006 terjadi peristiwa sejarah,
yaitu letusan dahsyat Gunung Merapi yang dinamakan kejadian Maha Pralaya. Korban yang
ditimbulkan sangat banyak, tidak hanya manusia tetapi juga hewan ternak, rumah, bangunan
suci, candi, dan lainnya.
Dalam rangka mengenang Maha Pralaya, Bentara Budaya Yogyakarta yang terletak di Jl.
Suroto 2 Kotabaru dari tanggal 19-30 Mei 2015 mengadakan pameran foto “Mahameru” yang
memamerkan foto-foto letusan gunung berapi, artefak candi yang terkubur oleh lava Gunung
Merapi, juga foto kuno tentang penemuan situs candi.
Mahameru dalam pameran foto ini tidak dikhususkan pada salah satu gunung tertentu saja
(Gunung Semeru), mahameru sendiri memiliki arti gunung yang agung yaitu salah satu dari
banyak nama untuk menghormati gunung api yang masih aktif. Di zaman Mataram Hindu,
mahameru merupakan kahyangan tempat Dewa tinggal dan rakyat di sekitarnya
mempersembahkan sesaji sebagai simbol penghormatan.
“Pameran ini untuk mengingatkan orang-orang bahwa dari dulu gunung api banyak dan
setiap orang berbeda pendapat memaknai gunung berapi. Ada yang bilang gunung itu
Ren Hart salah satu pengunjung mengaku sebagai orang awam bingung dengan judul
pameran Mahameru. ”Overall, kalau ini tadinya Mahameru rada bingung kok malah
merapinya? Mahameru identik dengan Semeru,” kata Ren.
Penikmat pameran lain bernama Sabrina mengatakan acara menarik untuk menambah
pengetahuan. “Saya merasa ini bagus, kayak bentuk kawah-kawah beda-beda. Nambah ilmu
gunung itu kayak gini,” ujarnya. Sabrina hanya menyayangkan pendeskripsiannya alurnya
kurang. “Mungkin sebagai penjelasan awal, harusnya ada prolog, mungkin ada ceritanya,”
tambah mahasiswi lulusan arsitektur UGM ini.
Lebih lanjut, sebagai pengiring pameran ini pengunjung juga diharapkan untuk melakukan
MERTI GUNUNG yang intinya mendoakan para korban Maha Pralaya. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/26/pameran-mahameru-simbol-dahsyatnya-bencana-maha-
pralaya/
Ita Sembiring sedang foto bersama dalam acara kelas “Creative Thinking” (foto dari akun
@akberjogja).
Menurut Ita, komponen terpenting dari hal kreatif adalah ide. Orang kreatif tidak meragukan
idenya. “Ide tak muncul begitu saja dari dalam otak, melainkan hasil interaksi dengan
lingkungan fisik dan sosial. Perbanyaklah bergaul di kalangan orang-orang yang punya minta
beda dengan Anda,” kata Ita.
Bagi Ita, berpikir kreatif itu sederhana: berpikir beda di antara orang-orang lugu. Orang
kreatif tidak boleh meremehkan hal apapun, sesepele apapun. “Pintar saja tidak cukup dan
bodoh saja tidak berdosa. Banyak jalan menuju Roma, yang penting kamu tahu jalan,”
tuturnya.
Menurut Ita yang menjadikan kita tidak menjadi kreatif adalah karena sudah puas dengan apa
yang telah didapatkan. Faktor lainnya yaitu tidak pernah keluar dari rutinitas, kemalasan
mental, terpaku pada masalah, dan birokrasi.
Penulis belasan novel ini juga mengingatkan ide kreatif itu sebaiknya ditulis. “Jangan percaya
diri kita bisa mengingat semua ide. Aku masih punya catatan-catatan kecil,” ungkapnya. Ia
bahkan mengaku beberapa novel yang Ita tulis idenya bersumber dari catatan kecil tentang
mantan, hidup, dan lain-lain.
Link: https://lpmarena.com/2015/05/26/ita-sembiring-kreatif-itu-menjadi-beda-di-antara-orang-orang-
lugu/
Film pertama, Halo Agen Samar-samar menceritakan tentang seorang penulis blog yang gila
karena tulisannya dijual oleh kekasihnya yang terhimpit masalah keuangan dan keluarga.
Lalu si penulis blog tersebut bunuh diri. “Pesannya untuk menghargai karya orang lain.
Setiap karya itu ada nyawanya,” ucap Muhammad Ridwan, sutradara film saat acara diskusi
karya.
Film kedua, Rena Asih berkisah tentang seorang tokoh Damar yang tinggal di pedesaan
daerah pegunungan di Malang. Damar sangat pintar, ia yatim yang hidup dengan ibu dan
seorang kakak. Kehidupan mereka sangat miskin. Damar terlilit kasus penunggakan
pembayaran SPP sekolah. Dari kisah kekurangan inilah, Damar seperti arti namanya yang
berarti lampu atau penerang menjadi cahaya bagi sang ibu.
Film ini juga merupakan drama musikal yang memasukan budaya-budaya tradisional seperti
macapat. Bahkan dialog yang dipakai seluruhnya menggunakan Bahasa Jawa. “Berangkat
dari generasi 90-an kangen drama musikal. Kita coba nostalgia. Saya orang Malang nyoba
musik yang dari kultur saya sendiri. Kesenian yang ada di tanah Jawa kita pakai konsep
besar,” kata Lingga Galih Permadi, sutradara Rena Asih. Lingga berujar penggarapannya
sendiri sekitar 1,5 tahun.
Film ketiga, Gula-gula Usiamerupakan film yang menceritakan tentang kisah sepasang
manula yang mengalami masa mudanya lagi. Seorang wanita tua yang hidup sendiri, ia sering
mereparasi alat-alatnya yang rusak ke tempat reparasi seorang kakek tua. Karena seringnya
berlangganan, timbullah rasa cinta.
Selain itu, Jahid penikmat film dari jurusan Filsafat berkomentar bahwa tiga film ini
mewakili tiga aliran besar filsafat. “Halo Agen Samar-samar aliran Platonik yang sok-sok
idealis. Kedua, Aristoteles. Ketiga, agak kekinian, posmodern,” tuturnya. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/25/mei-menonton-jcm-tampilkan-tiga-film/
“Tahun ini, Bango memiliki misi besar untuk mendorong kecintaan dan kebanggaan
masyarakat luas terhadap ragam kekayaan warisan kuliner nusantara,” tutur Nuning
Wahyuningsih, senior brand manager Bango dalam siaran persnya.
Meski masakan yang dihadirkan beragam, ada kisah menarik yang diceritakan oleh seorang
guru dari SD Kebun Gunung Purworejo yang bernama Sarno. Ia datang jauh dari kotanya
untuk melihat secara langsug acara ini. Ia juga bercerita bahwa dua jajanan kuliner khas
Purworejo, yaitu Kue Clorot dan Kue Lompong didaftarkan dalam festival ini, tetapi belum
lolos.
“Kue Clorot dari beras ketan, gula Jawa, yang dibungkus janur. Kalau Kue Lompong sama
kayak Kue Clorot tapi isinya kacang ijo dan dibungkus daun pisang,” celotehnya. Tak hanya
itu, ia juga bercerita tentang kuliner lain asal daerahnya semisal Dawet Ireng.
Resti seorang penggiat kuliner lain dari Bandung juga mengaku penasaran mengunjungi
festival ini. “Kulinernya beragam. Indonesia punya banyak rempah yang bisa untuk
dimanfaatkan,” ucapnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/19/festival-jajanan-bango-2015-hadirkan-jajanan-kuliner-
nusantara/
Aksi doa bersama dalam solidaritas “Tribute to our sisters” (foto dari akun @indrawb).
Lpmarena.com, Beberapa pekan lalu, kasus meninggalnya dua mahasiswi perempuan karena
kasus seksual di Yogyakarta mengundang empati berbagai pihak khususnya dari aktivis-
aktivis perempuan. Merespon hal itu Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), One Billion
Rising Yogyakarta, Perempuan Mahardika, dan beberapa LSM menggelar malam solidaritas
#jogjailangroso (Jogja Kehilangan Rasa) bertajuk “Tribute to our sisters” di Nol Kilometer,
Minggu (10/5) malam pukul 19.00-21.30 WIB.
Jogja Ilang Roso merujuk pada slogan Jogja Berhati Nyaman yang sekarang sudah tergerus
dengan rasa tak acuh masyarakatnya. “Menyasar pada hilangnya kemanusiaan dan
kepeduliaan di Yogyakarta,” kata Ika Ayu, aktivis JPY sekaligus koordinator solidaritas saat
diwawancarai. Ika menginginkan agar orang-rang yang ada di Jogja tidak hanya diam dalam
melihat fenomena ini. “Jangan diam kawan-kawan, jangan diam!” ujarnya semangat.
Salah satu dari kerabat korban kekerasan seksual yang meninggal baru-baru ini bernama
Ilham juga menunjukkan duka yang mendalam. Dalam orasinya, pria paruh baya ini
mengungkapkan seluruh emosinya dengan nada tinggi hingga membuat orang-orang yang
menontonnya saling diam memperhatikan. Ia mengatakan bahwa kata-kata sudah hilang
artinya dan konsep-konsep sudah lebur.
“Kami pihak pertama keluarga menuntut mengusut secepat-cepatnya! Aksi solidaritas ini tak
ada artinya. Akan berarti pada Anda kalau yang mengalami adalah keluarga Anda
semuanya!” tumpahnya berkaca-kaca. “Kami tak hanya butuh solidaritas, usut kasus ini
sampai tuntas!” tambahnya. Ilham juga meminta pada pemerintah daerah korban berasal dan
IKPMD tidak hanya jadi boneka dalam kasus ini.
Sementara itu, bila Yab mengungkapkan solidaritasnya lewat syair kritiknya berjudul Sajak
Pembuka, Bagus Dwi Danto (Sisisr Tanah) yang juga menjadi salah satu pengisi acara
membawakan puisinya tentang perempuan. Danto datang dari depan panggung, berdiri tegak
di depan mik, tanpa gitar, hanya dirinya saja. Dia menutup mata dan meresapi tiap kata yang
muncul dari mulutnya. Puncaknya ketika Danto berteriak dengan jantan mewakili laki-laki:
“Jadi hukumlah aku jika aku laki-laki tanpa hormat itu! Tapi teruslah hidup, terus berbagi.
Kita hadapi sama-sama tapi tetap hidup……… Jadi hukumlah aku jika aku laki-laki! Jangan
takut, terus melawan. Jangan takut melawan!”
Solidaritas diakhiri dengan doa bersama di pusat jalan Nol Kilometer membentuk lingkaran
dan penyalaan lilin untuk semua korban kekerasan seksual. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/11/tribute-to-our-sisters-perempuan-jangan-takut-melawan/
Lpmarena.com, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Pekerja Nasional (SPN),
Serikat Pekerja Mandiri (SPM) yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY)
menggelar jalan sehat dalam memperingati Hari Buruh, Jumat, 1 Mei 2015 di halaman
gedung DPRD DIY.
Eko Ari Wibowo selaku salah satu event organizer (EO) pelaksana kegiatan mengatakan
perayaan Hari Buruh berbicara mengenai pilihan taktis melihat buruh sekarang. Kegiatan
jalan sehat ini meurut Eko tak beda jauh dengan para buruh yang demo di jalan yang masing-
masing organisasi buruh menyuarakan aspirasinya.
“Konsep acara seperti lebih mirip modifikasi demo. Sama-sama media aspirasi. Menghindari
yang anarkis, bentuk acaranya seperti jalan sehat, sambutan, dan pembagian doorprize,” ucap
Eko.
Melihat kondisi buruh Jogja sendiri menurut Eko tak banyak berubah. Di mana ia
menceritakan ketika UUD Keistimewaan DIY menjadi tolak ukur Komponen Hidup Layak
Eko juga menyinggung tentang masalah kenaikan variabel gaji yang rendah. Di Bantul tahun
lalu kenaikan upah hanya tiga puluh ribu. Ini tidak signifikan jika dibandingkan kenaikan
BBM yang membuat inflasi.
“Kalau lihat dinamika buruh Jogja itu menyedihkan. Ketika upah tak sinkron, daya beli turun.
Asumsinya buruh tak bisa memenuhi kebutuhan,” tandasnya..
Kegiatan ini juga diikuti oleh instansi pemerintah yang lain, seperti Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Dalam jangka pendek, tuntutan
buruh yang utama adalah ingin memperjuangakan jaminan pensiun. Ada pun delapan
tuntutan yang disampaikan ABY, yaitu:
1. Jalankan jaminan pensiun per 1 Juli dengan manfaat 75% dari upah terakhir.
2. Hapuskan sistem outsourcing.
3. Tolak kebijakan upah murah.
4. Laksanakan upah minimum sektoral di DIY.
5. Revisi KHL dari 60 item menjadi 86 item.
6. Sahkan RUU PRT.
7. Turunkan harga BBM gas dan sembako.
8. Bangun perumahan murah untuk buruh.
9. Lawan pemberangusan serikat pekerja.
(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/01/jalan-sehat-bentuk-protes-lain-aliansi-buruh-yogyakarta/
Lpmarena.com, Puisi tersebut adalah salah satu petikan puisi yang ada dalam buku Lima
Gambar di Langit-langit Kamar karya Nersalya Renata. Sebanyak 55 puisi telah megawetkan
Nersalya dalam hidup melalui tulisannya. Kumpulan puisi yang dibuat dari sejak tahun 2002-
2013 ini merupakan hasil pengendapan Nersa akan hidup dan ingatannya.
Seperti yang disampaikan Nersa dalam peluncuran dan diskusi buku Lima Gambar di Langit-
langit Kamar, Kamis (30/4), di pendopo LKiS Sorowajan, penyair asal Lampung ini
mengatakan bahwa latar belakang menulis buku ini adalah ingatan.
“Apa yang kita bawa adalah ingatan. Puisi saya juga ingatan. Penyair bertitik tolak pada
ingatan, karena semua orang punya ingatan. Tiba-tiba ingatan hadir di samping kita, mereka
hadir dan minta dituliskan. Penyair memberi harga pada hal yang remeh temeh dan
menyentuh,” ucapnya.
Puisi bagi Nersa diibaratkan seperti ada seseorang yang terus bicara dengan kita. Kita seperti
spon yang selalu menyerap. Meski begitu, saat berbicara mengenai proses kreatifnya ia juga
bercerita bukan tipe orang yang nulis spontan, ke laut nulis laut. “Saya perlu mengendap
lama. Saya mengalami writer block, musuh kita dalam nulis adalah diri kita,” kata Nersa.
Penyair Hasta Indriyana, selaku pembedah buku berujar berhasil menemukan lima gambar
yang ditulis Nersa dalam buku itu.
Pertama, gambar tentang kelamin. Banyak kata yang menjuput kelamin, tapi tidak vulgar.
Ada yang disinggung secara halus, seperti yang tertuang dalam puisi Stetoskop Plastik yang
dalam salah satu baitnya berbunyi: mengapa kelaminku tak sama dengan kelaminmu?
Kedua, tentang perempuan. Yang menarik menurut Hasta, Nersa tidak membahasakan tema
itu secara heroik. Pilihan frasa yang digunakan serupa dekonstruksi yang perempuan itu
disanjung, sekaligus dilemparkan. Seperti yang terlihat dalam puisi berjudul Rumah, bait
“Ada disharmoni, perempuan yang bisa diubah-ubah. Harus mau dipagari, dipaku, diam,
menyakitkan. Padahal bait pertama disanjung lalu dihempaskan begitu saja. Bahasa yang
betul-betul dipertimbangkan,” kata Hasta.
Ketiga, tentang anak-anak. Sebuah sudut pandang yang kata Hasta dipakai Nersa untuk
menulis puisinya. “Yang dia pakai sudut pandang anak-anak. Tidak banyak penulis yang
berhasil memakai sudut pandang ini. Mbak Nersa sederhana tapi menghantam,” ujar Hasta.
Hal tersebut diamini oleh suami Nersa, Zen Hae yang turut hadir dalam diskusi buku. “Puisi
Echa (Nersa-red) ada ketegangan antara dunia kanak-kanak dan perempuan dewasa,” kata
penulis yang juga bergiat di komunitas Salihara Jakarta ini.
Keempat, tentang Tuhan. Beberapa puisi Nersa membicarakan sesuatu yang tak terjamah.
Seperti di puisi paling awal berhudul Lingkaran baitnya: doa-doa/dosa-dosa/berputar seperti
lingkaran air/apa kau tidak bosan. Selain Lingkaran, ada puisi lain yang bertema Tuhan
seperti di judul Izrail, Surah, dan lain-lain yang bagi Hasta meninggalkan sekian makna yang
panjang.
Kelima, tentang masa lalu yang ada di keluarganya. Masa lalu menjadi sumber ide.
Suasananya seperti digambarkan menyenangkan, tetapi sekaligus terjadi disharmoni dan
kekacauan. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/05/01/potret-lima-gambar/
Kelas yang diikuti oleh sekitar sepuluh orang anggota LPM ARENA ini masing-masing
peserta memberikan pendapatnya mengenai pengertian bahasa jurnalistik. Ada yang
menyebut bahasa jurnalistik itu bahasa yang memiliki kriteria, seperti lugas, tegas, tidak
bersayap, aktual, popular, dan singkat.
Dalam menentukan bahasa jurnalistik ada dua hal penting yang harus dibedakan, yakni
bahasa ucap dan bahasa tulis. “Jika tidak bisa membedakan, tulisannya akan berkesan opini,”
tutur Maman.
Menurut Maman bahasa jurnalistik tak jauh dari bahasa Indonesia dan struktur SPOK.
Contohnya seperti kalimat yang dilontarkan oleh anggota LPM ARENA, Faksi Fahlevi dalam
kalimat “Saya pergi ke pasar membeli rokok”. Kalimat ini setelah dilakukan analisis bersama
merupakan bahasa tutur. Itu bisa dilihat dari strukturnya yang tidak efektif: SPKPO.
Alasan kedua, kalimat Faksi tersebut ditinjau dari sisi komunikasi kalimat. “Posisimu sebagai
apa? Apakah kalimat itu berupa jawaban, pengetahuan, atau sekedar ngomong. Ini terkait
taste, rasa,” ujar Maman. Rasa sendiri, Maman berujar apakah struktur kalimatnya bisa
dihindari? Apa kalimat itu enak dirasakan? Setelah melakukan kesepakatan bersama, kalimat
tersebut bisa diubah menjadi kalimat jurnalistik menjadi “Saya membeli rokok di pasar”.
Salah satu karya yang diulas malam itu adalah berita dari Rifai Asyhari berjudul Pemutaran
Senyap: Saat Mahasiswa Menegakkan Demokrasi yang dimuat di SLiLit ARENA Edisi April
2015. Dalam tulisan Rifai ada beberapa kritikan yang diulas terlebih dari sudut pandang
“Tidak hanya penggunaan kata, tapi juga maknanya. Judul upayakan jangan debatable,
gunakan kontradiksi dan ketegangan. Aktraktiflah membuat judul,” kata Maman.
Selain judul, Maman menambahkan mengenai kutipan berita. Kutipan intinya pandai
memilah dan memilihnya, ia sebagai penguat. “Kuncinya jangan sampai kutipan itu
pengulangan, melainkan penegasan,” ucapnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/04/23/maman-bahasa-jurnalistik-itu-sebuah-rasa/
Sanggar Nuun dalam Festival Bahasa dan Budaya UKM SPBA, Minggu (19/4).
Lpmarena.com, Minggu (19/4) malam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Studi dan
Pengembangan Bahasa Asing (SPBA) UIN Sunan Kalijaga merayakan malam puncak
Festival Bahasa dan Budaya (FBB). “With language we connect with culture we grow”
menjadi tema kedua FBB yang diadakan di Panggung Demokrasi.
Bahasa tidak lepas dari budaya, SPBA mencoba meningkatkan peran bahasa dan budaya
tersebut dalam tali silaturahmi FBB. “Mempererat tali silaturahmi, keluarga besar, dan
menambah kreativitas dan link,” ucap Nur Fauziah Hasibuan, ketua UKM SPBA. Hal
tersebut diamini Fatimah Zahro Mudmainah selaku ketua panitia FBB. Dengan bahasa kita
berkomunikasi ataupun bersilaturahmi dan dengan budaya kita tumbuh.
“Mampu lebih mengembangkan bahasa di kalangan peserta, mahasiswa, dan juga kita
tumbuh dengan budaya. Diharapkan mampu tetap menjaga kebudayaan lokal khususnya,”
ungkap Fatimah mahasiswi yang juga duduk di jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Berbagai perlombaan juga telah digelar, antara lain lomba desain grafis se-UIN Suka, lomba
menyanyi bahasa Prancis se-Jogja, lomba drama bahasa Arab dan baca puisi bahasa Arab se-
Jawa, dan lomba debat bahasa Inggris se-Indonesia.
Beberapa UKM pengisi acara antara lain, yaitu Sanggar Nuun, Adab Dance Community
(ADC), dan pemenang perlombaan drama bahasa Arab. Sanggar Nuun adalah salah satu
pengisi acara dalam pentas malam ini. “Bahasa tanpa budaya tak ada apa-apanya,” oceh
Ilham sebagai pengantar penampilan Sanggar Nuun.
Link: https://lpmarena.com/2015/04/20/menyambungkan-bahasa-dan-budaya-dalam-fbb-spba/
Lpmarena.com, Concerto XII PSM Gita Savana bertajuk “SUNSETGIO” digelar di gedung
lt. 1 convention hall UIN Sunan Kalijaga, Jumat (17/4). Konser ini sebagai konser
pengukuhan anggota baru PSM Gita Savana yang berjumlah 47 orang.
“Ini konser pembelajaran teman-teman anggota baru, teman-teman resmi menjadi anggota
kalau dia udah concerto,” kata Fadhila Tsania wakil ketua PSM Gita Savana sekaligus stage
manager pementasan.
Mengenai Sunsetgio sendiri, tema ini ingin membahas tentang senja. Senja yang
menghadirkan ketenangan, keagungan Tuhan, dan cerita kehidupan. “Awalnya judulnya
nggak itu, di tengah perjalanan tercanang dengan tema senja. Ingin nampilin sesuatu yang
hangat,” tambah Fadhila. Proses sampai ke pementasan sendiri berlangsung selama lima
bulan, dari Desember 2014 – April 2015.
Doni Damara salah satu anggota baru mengaku plong setelah pementasan. “Plong sekali, ini
puncak perjuangan. Saya hampir dikeluarkan dari PSM,” ujar Doni yang juga duduk di
jurusan Sastra Inggris UIN Suka ini. Sunsetgio menurutnya sebagai simbol pencarian setelah
melewati berbagai rintangan. “Awalnya untuk menyambut malam hari yang di dalamnya
tergambar indah. Menyambut keindahan sebelum datangnya malam,” tambahnya.
Selain penampilan dari PSM Gita Savana, hadir pula sebagai bintang tamu UKM Musik UIN
Walisongo Semarang. “Kita dapat undangan. Ini bukan pertama kali, kita memainkan tiga
lagu Since First I Saw Your Face, Doa Anak Negeri, dan Padang Bulan,” ucap Bagus
Romadhon, koordinator UKM Musik UIN Walisongo.
Link: https://lpmarena.com/2015/04/19/sunsetgio-konser-kesyahduan-senja/
Rekayasa Cinta: Dangmatio yang sedang menyembuhkan putri, di belakangnya berdiri tiga iblis.
Lpmarena.com, Berangkat dari kegelisahan akan rekayasa, Anak Muda Bicara Teater
(AMBT) dan Institute Tingang Borneo Teater (ITB Teater) menghadirkan pertunjukan
Rekayasa Cinta, sebuah naskah yang diadapatasi dari karya filsuf Nicolo Machiavelli
berjudul “Ketika Iblis Menikahi Seorang Perempuan”.
Seorang iblis dari neraka yang berpakaian superhero bernama Ramutu mengeluh pada
seorang iblis kemayu bernama Minus. Dua iblis ini berdebat tentang kondisi yang ada di
neraka. Salah satunya sedikit menyinggung gender karena banyak laki-laki dalam neraka
diakibatkan karena ulah perempuan.
Lalu datanglah ratu neraka bernama Lucifer bersama pengawalnya Bagor. Lucifer membuat
kebijakan radikal, ia mengutus Bagor, Ramutu, dan Minus turun ke bumi. Merasakan
kehidupan disana.
Ya, sepotong adegan ini mengawali kisah teater beraliran pop dalam rangkaian program
silaturahmi budaya yang diinisiasi oleh AMBT. Para aktor yang bermunculan di panggung
gelanggang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jumat (27/3), akhirnya mengurai kisah
perjalanan iblis dari neraka untuk hidup di bumi.
Setelah tiga iblis itu turun ke bumi, Bagor yang mengubah namanya menjadi Bambang
menikah bersama wanita tunasusila bernama Hernia yang materialistis. Dua iblis lainnya,
Ramutu dan Minus menjadi budak/pembantu Hernia. Di adegan Hernia dan Bambang inilah
rekayasa diperlihatkan. Bambang rela melakukan korupsi untuk istrinya agar dia bisa
membeli mobil dan sepatu mewah berakik.
Adegan lalu berpindah pada rumah seorang kaya bernama bos Bowo. Meski kaya ia memiliki
anak gila yang kesurupan bernama Putri. Dangmatio yang telah mendapatkan pekerjaan
sebagai dukun mendapat tugas untuk menyembuhkan Putri. Sayangnya, Dangmantio tak bisa
menyembuhkan Putri yang saat itu Putri dirasuki iblis Bagor. Dalam rumah bos Bowo para
aktor berdialektika.
Cinta tak bisa direkayasa, karena cinta kejujuran. Begitu yang dikatakan Abimanyu
Prasastia Perdana selaku sutradara Rekayasa Cinta. Kenapa Abi memilih Rekayasa Cinta?
Karena ia melihat semua hal telah merekayasa.
“Lebih jauh tujuannya ke kecintaan untuk negara. Semua pihak hampir semua merekayasa,
seperti negara yang melakukan rekayasa dan mengaku tujuannya untuk rakyat,” kata Abi.
Dari aktor pemainnya sendiri, Abdul Khafidz Amrullah yang berperan sebagai Bagor
(Bambang) berujar hal serupa dengan Abi bahwa banyak hal di sekitar kita ini direkayasa,
apa pun bentuknya. “Kayak tadi pas adegan setan. Mereka menyelamatkan dirinya masing-
masing, mengaku cinta tapi rekayasa. Iblis representasi manusia sekarang,” ujar Abdul, yang
juga salah satu pendiri ITB Teater Palangkaraya ini.
Selain itu pentas ini juga berbau tentang wacana kekinian seperti fenomena batu akik,
konsumerisasi, dan budaya gadget. Seperti adegan saat Dangmatio dan bos Bowo memainkan
properti gadget-nya, Abi berpendapat jika manusia sekarang lebih menyembah gadget
daripada menyembah Tuhan. “Al-Qur’an kalah dengan gadget, kebanyakan nyembahgadget
daripada Tuhan. Memandang remeh agama, miris,” keluhnya.
Tak serupa dengan proses teater pementasan lainnya. Pentas Rekayasa Cinta ini prosesnya
ditempuh melalui jalan LDR, Long Distance Relationship. Dimana saat itu Abi yang dari
Jawa (Jogja, AMBT) mengajak teateran dengan teman-teman di Kalimantan (Palangkaraya),
ITB Teater.
“Voice note-an via BBM, dari Palangkaraya datang kesini (jogja) bareng-bareng. Prosesnya
sekitar dua bulan,” kata Abdul.
Selain tujuan pentas sendiri, Abdul menambahkan tujuan lain yang ditekankan oleh sutradara
adalah silaturahmi budaya. Bagaimana AMBT dan ITB Teater bersilaturahmi budaya dengan
Teater Eska UIN Suka, atau pentas kedua nanti bekerja sama dengan Teater Pecut di daerah
Kuningan Jawa Barat.
Keunikan yang dihasilkan dari LDR ini, pentas yang mengusung genre pop, dimana sesuatu
yang jarang ditampilakan, ditampilkan. Keunikan itu terlihat pada pergantian setting. Dimana
ketika pergantian setting, pentas teater pada umumnya memilih untuk blackout (mematikan
lampu), pentas Rekayasa Cinta malah memperlihatkan secara terang-terangan orang-orang di
balik layar itu dengan diiringi lagu, pencahayaan, dan gerak yang sepantasnya.
Apresiasi datang dari Solihul Akmalia selaku penonton yang berpendapat pentas ini tidak
seperti pentas teater pada umumnya. Hanya saja, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Suka yang juga bergiat di Sanggar Nuun ini memberikan kritik ada adegan yang
membosankan, lama, dan bertele. Ia juga kebingungan dengan lighting-nya (pencahayaan),
juga alurnya sendiri. “Saya heran. Iblis yang mengganggu manusia, tapi kenapa iblis malah
bingung?” tanyanya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/03/28/rekayasa-cinta-dialektika-iblis-manusia-saling-rekayasa/
Lpmarena.com, Tahun 1877 Thomas Alfa Edison meneliti tentang alat musik box yang
sekarang dikenal sebagai gramophone. Alat ini digerakkan oleh silinder begerigi yang ketika
bersentuhan dengan sisir baja akan berdenting menghasilkan suara. Dari sini lahirlah juga
yang dinamakan piringan. Namun, seiring perkembangan zaman, alat musik ini sudah langka,
diganti dengan USB, CD, atau pun CD.
Sebagai wujud dari mengenang alat musik gramophone, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY)
yang bekerja sama dengan komunitas Patmaditya (Pelestari Audio Lama dan Radio Tabung
Yogyakarta) mengadakan pameran gramophone “Corong Bernyanyi”, berlangsung dari 17-
26 Maret di BBY.
“Tujuan acara ini untuk mengenalkan gramophone, dan ajang para kolektornya untuk saling
tukar pikiran,” kata Age selaku panitia acara, Minggu (22/3). Age menambahkan ada sekitar
15 kolektor yang ikut serta dalam pameran ini.
Salah satu kolektor yang hadir dalam pemeran itu adalah Endro Nugroho. Pria paruh baya ini
mengawali kecintaanya pada gramophone sejak tahun 90-an juga ditambah orangtuanya dulu
juga memiliki alat itu. “Orangtua punya, kita hunting sampai Wonosobo demi mencari.
Meski dapat mesin rusak, capeknya hilang,” kata pria yang memiliki koleksi piringan hitam
lagu Indonesia dan barat berjumlah ratusan ini.
Gramophone bagi Endro memiliki filosofinya sendiri. Baginya sangat susah untuk
mengungkapkan tentang arti gramophone, menurutnya gramophone unik dan tetap sangat
indah dan bagus. “Tidak ada lagu yang indah selain lagu dari piringan hitam,” ujarnya.
Selain gramophone juga ditampilkan berbagai musik box yang lain seperti graphophone,
grammofono, phonograph, sampai turntable. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/03/22/corong-bernyanyi-gramophone/
Farid saat bincang-bincang Rasa(h) Kuliah di Student Hall USD, Jumat (20/3).
Farid menceritakan tentang pengalaman dan kenagannya selama kuliah. Baginya banyak hal
yang bisa didapat dari kampus, dari kelas lintas kampus, juga dari kelas-kelas yang dalam
bahasa Farid kelas organik fakultas lain. “Saya adalah yang dibentuk kampus saya,” ujar
alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) ini.
“Kuliah bukan untuk mencari kerja, tapi mencari bekal ilmu dan kelebihan. Dan kamu
menciptakan ekonomi disana,”kata Farid. Ia juga menanyakan tentang apa yang menjadi
sumbangsih mahasiswa untuk hidupnya, “Toh yang kamu hadapi adalah hidup. Lalu apa
yang kamu berikan untuk hidup kamu?” tanyanya menggelitik.
Berbicara mengenai kuliah, menurut peserta bernama Indro yang hadir dalam acara itu
mengungkapkan jika kehidupan di luar kuliah itu bisa untuk bereksperimen. Namun saat
diskusi bersama, ia mempertanyakan pada Farid jika di ISI budaya untuk bereksperimen
mudah, lalu bagaimana dengan lingkungan yang berbeda (tidak mendukung)?
Bagi Farid, ISI tidak menjadi alasan. Awalnya berangkat dari kesepakatan, yakni bukan
menularkan obrolan tapi permasalahan. Dari permasalahan yang sama tersebut akan tercipta
ruang baru. “Bertemulah dengan orang yang mempunyai permasalahan yang sama. Bikin
ruang baru. Apapun yang baik akan menular cepat, tumbuh, dan bertahan,” ucapnya.
Link: https://lpmarena.com/2015/03/20/kuliah-ladang-untuk-eksperimen/
Lpmarena.com, Setelah sukses menghadirkan pentas Sayang Ada Orang Lain, di pentas
kedua, Sabtu (14/3), Teater Eska dalam agenda studi pentas XX menghadirkan pementasan
Awal dan Mira di gelanggang mahasiswa UIN Suka.
Sebuah lagu tradisional bernuansa khas Sunda menjadi pembuka. Setting latar sebuah warung
kecil yang dihuni oleh seorang ibu dan anaknya bernama Mira tampak berdiri cantik di
tengah panggung. Seorang pria bernama Awal, dia orang kaya yang mencintai Mira, tetapi
Mira selalu menolaknya.
Di sisi lain, di luar sana banyak orang yang juga merebutkan hati Mira. Seperti dua pemuda
preman yang mengejar-ngejarnya, pun mereka ditolak Mira. Dua pemuda ini bersaing dengan
Awal, pun juga dibenturkan dengan kakek tua yang meskipun telah berumur masih tak
sungkan menggoda Mira. Sebenarnya juga kakek tua tahu jika Mira mencintai Awal.
Chaos memperebutkan hati Mira terjadi. Awal tak kenal lelah mengejar Mira. Hingga suatu
hari datang seorang wartawan dan seorang fotografer ingin mengangkat profil Mira dalam
majalah mereka. Awal mendebat wartawan ini. Sampai akhirnya setelah wartawan pergi,
tercipta dialog yang intim antara Awal dan Mira. Mereka saling mengucapkan apa yang
mereka rasakan, hingga ucapan Mira membuat Awal kalap dan mengobrak-abrik warung
tersebut.
Terkuaklah sebuah kenyataan pahit jika Mira dalam kecantikannya dia memiliki kaki yang
buntung. Dirinya menjadi korban perang. Saat Mira menunjukkan kekurangannya, Mira
mengaku jika ia sesungguhnya juga mencintai Awal. Lalu, pementasan diakhiri dengan
Proses pementasan yang memakan waktu proses sekitar dua bulan ini ingin menguak tentang
tiga ideologi besar yang berkembang pada zaman itu (sekitar tahun 1949) yaitu nasionalis,
agamis, dan komunis. Hal tersebut diungkapkan sutradara pementasan, Jauhara Nadvi
Azzadine.
“Gambaran komunis diwakili preman yang selalu ngoceh akan perjuangannya. Mereka tidak
menerima kemerdekaannya sendiri,” ucapnya. Zadine menambahkan naskah ini juga
menyodorkan tentang wacana teologi, seperti pak tua yang mewakili gologan agamis.
Wartawan sendiri digambarkan mewakili golongan nasionalis.
“Antara komunis, agamis, dan nasionalis berperang dengan ideologi Awal yang lepas tanpa
punya pegangan. Orang-orang yang dikatakan badut, orang yang tak ada ideologinya. Mereka
terjebak dengan ideologinya yang ideal, hingga kenyataannya Mira tak seperti yang dia
inginkan,” kata Zadine lagi.
Habiburrahman selaku aktor yang memerankan tokoh Awal atas naskah karya Utuy T.
Sontani ini, ada beberapa hal yang ingin disampaikan Utuy, yaitu respon Utuy atas
peperangan yang terjadi di Indonesia dan dunia tahun 1949. Mengambil latar ’51 tahun paska
perang, memperlihatkan orang-orang yang mengalami traumatik saat peperangan.
“Lewat memori kebertubuhan aktor seperti Awal dan Mira, sebuah representasi trauma dan
mereka terjebak dalam psikologinya,” ujar Habib dalam sarasehan pentas seusai pementasan.
Habib sendiri khawatir jika di zaman sekarang, generasi tanpa pendirian seperti Awallah
yang kebanyakan muncul. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/03/16/awal-dan-mira-sentilan-atas-ideologi-nasakom/
Tim PCMI Yogyakarta dalam acara voluntary day 2015. (Doc. PCMI Yogyakarta).
“Acara voluntary day, hari kerelawanan, mewadahi komunitas sosial untuk mengenalkan
komunitasnya pada masyarakat umum dan pada pemuda,” katanya.
Acara yang tahun lalu dilakukan di Museum Vredeburg ini menghadirkan beberapa kegiatan
seperti talkshow, pameran fotografi, charity (yang berupa penyumbangan buku dan pakaian
bekas), dan stand sebelas komunitas sosial.
“Kita ingin masyarakat lebih tahu komunitas sosial di Yogyakarta. Kita ingin memberi
motivasi,” ujar mahasiswa jurusan Bahasa Korea UGM, yang juga alumni PCMI yang pernah
mengikuti pertukaran pelajar di Kanada ini.
Seperti pada standBook For Mountain (BFM), sebuah komunitas cinta buku dan
pengumpulan buku yang bermula dari progam KKN UGM di daerah Rinjani tahun 2010.
“Sebuah komunitas buku, bergerak di project bikin perpus. Rata-rata anggotanya para
traveler, penyuka buku dan anak,” ucap Irene anggota BFM. Ia juga mengucapkan jargon
dari BFM sendiri ‘we love kids, we love books, we adore Indonesia’.
Berbeda dari BFM, komunitas Bule Mengajar merupakan komunitas yang bergerak di dunia
pendidikan dengan kegiatannya sendiri mendatangkan wisatawan mancanegara untuk sharing
Selain dua komunitas tersebut ada sembilan komunitas lagi yang berpartisipasi dalam acara
ini seperti Green Peace yang bergerak di bidang lingkungan, juga ada Earth Hour Jogja,
Youth Finance Indonesia, Museum Anak Kolong Tangga, Young On Top Indonesia
Yogyakarta, Kelas Inspirasi Yogyakarta, Jogja Menyala, Akademi Berbagi Jogja, danJogja
MER-C. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/03/15/membangun-jiwa-kerelawanan-dalam-charity-day-2015/
Dari kiri: Haji Salim, Suminta, Hamid, dan Udin sedang cek-cok mengenai Mini. (Doc. Alimah)
Lpmarena.com, Sebuah pementasan tak bisa lepas dari konteks zaman yang terjadi pada saat
itu. Seperti yang ditampilakan Teater Eska dalam studi pentas XX yang mengambil lakon
“Sayang Ada Orang Lain” karya Utuy T. Sontani. Pentas berdurasi sekitar 1,5 jam ini
berlangsung di Gelanggang Mahasiswa UIN Suka, Jumat (13/3) malam.
Mengambil latar budaya Sunda, pentas dimulai dari adegan suami istri yang hidupnya miskin.
Saking miskinnya tukang minyak hingga pedagang sayur sering menagih suami istri ini.
Mereka ingin mengubah keadaan hidup. Teman Suminta bernama Hamid datang memberi
tawaran untuk hidup Suminta dan Mini.
Di sisi lain muncul tokoh bernama Haji Salim yang berkata pada Suminta jika istrinya Mini
telah berselingkuh dengan Hamid. Suminta pun naik darah, ia menginterogasi Mini mengenai
ucapan Haji Salim yang dianggapnya orang yang bisa dipercaya itu.
Mini mengelak, ia tak merasa berselingkuh dengan Hamid. Konflik terjadi, Suminta, Haji
Salim, dan Hamid yang saat itu datang bersama temannya Udin bertengkar di rumah Suminta
saling mencari pembenaran. Hingga satu per satu tokoh pergi, Suminta pergi, dan
menyisakan Mini sendiri.
Lailul Ilham selaku sutradara mengatakan jika naskah ini berbicara tentang wacana
kebenaran. “Ada satu hal yang diprioritaskan. Bahwa kebenaran tidak dibawa dari satu hal
saja, kebenaran dibawa orang lain,” katanya.
“Naskah dibuat pada tahun 1956 waktu itukan kalau dilihat dari segi polittik, si Mini itu
menggambarkan Indonesia, Minta itu Soekarno, Hamid itu Soeharto,” ujarnya. Ia juga
menambahkan naskah ini juga bercerita tentang posisi seniman pada masa itu. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/03/14/kritik-perpolitikan-dalam-pentas-sayang-ada-orang-lain/
Tidak peduli betapa sulit rintangan menghadang. Bagaimanapun hukuman dijatuhkan. Aku
adalah tuan bagi nasibku. Aku adalah kapten bagi jiwaku. -Invictus, Willian Ernest Henley
Invictus sendiri memiliki makna tak terkalahkan. Puisinya sendiri memuat gagasan tentang
manusia yang memiliki kontrol atas hidupnya sendiri seberat apapun beban yang dideritanya.
Sedangkan film Invictus bercerita tentang Piala Dunia rugby tahun 1995, dimana saat itu
Nelson Mandela menjabat sebagai presiden Afrika Selatan. Sebuah puisi yang membuat
Mandela kuat hidup 30 tahun di dalam sel penjara yang ia tularkan pada tim rugby negaranya
tersebut.
Ahmad Jamaludin pemimpin umum LPM ARENA menanggapi mengenai wacana Invictus
dengan teori tiga aforisma roh perjalanan yang terdiri dari unta, singa, dan bayi. Terkait puisi
Henley, Jamal melihat secara keseluruhan masih dalam tahap singa karena menolak sesuatu
yang di luar dirinya.
“Akankah bayi itu jadi tuan dan kapten bagi jiwanya? Bisa iya, bisa tidak. Semoga bayi yang
dianggap murni bisa mengada di pertunjukkan yang teman-teman gagas,” ucap Jamal.
Lalu dari tema Invictus ini dihadirkan bermacam pertunjukkan dan pengisi, meliputi:
pembacaan puisi, tarian, musik, dan dongeng oleh para anggota LPM ARENA.
Dhedhe Lotus, bendahara LPM Arena membacakan puisinya sendiri berjudul “Pulang Ke
Rumah”. Dimana dalam puisi tersebut Lotus menceritakan tentang ARENA dan kehidupan di
zaman sekarang yang mirip spons, makna tersingkirkan.
“Yang disubsidi lupa kalau dia harus bayar itu. Kalau gak mampu uang, tenaga, kalau gak
bayar tubuhnya yang dibayar ketika di neraka,” canda Opik, sapaan Ahmad.
Opik juga bercerita tentang perahu. Dimana zaman sekarang manusia saling jegal satu sama
lain. Saling mencari pelampung dan cemas sekali. Masing-masing buru-buru bagaimana
dapat pelampung agar bisa selamat. “Puisinya Gus Mus. Manusia sekarang selalu harap
cemas, gak pernah pasrah,” lanjutnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/03/01/invictus-malam-sastra-iv-lpm-arena/
Nusantara raya adalah gugusan pulau, berbagai suku bangsa. Dari berbagai keberagaman
itu nusantara tetap satu.
Lpmarena.com, Seorang pria muda nyaris tak berpakaian memainkan gitar secara berdiri di
tengah panggung. Pria itu meyanyikan lagu Indonesia Raya. Lampu mati, muncullah pria
yang menjadi perwakilan Gadjah Mada dengan sumpahnya menyatukan nusantara. Disusul
empat orang pasukan sebuah kerajaan muncul dari arah belakang penonton, mereka berjalan
membawa lembing menuju tengah panggung. Disana mereka melakukan tarian. Lalu
muncullah para aktor yang mewakili tiga suku di Indonesia: Batak, Jawa, dan Sunda.
Percekcokan terjadi.
Pertunjukkan teater bertema kebangsaan ini coba dihadirkan oleh Teater Tjerobong Paberik
(TJP) Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung dalam pemetasannya berjudul “Nusantara
Raya” naskah Haris Hamzah, Jumat (27/2) malam di stage Tedjokumumo UNY.
Naskah berawal dari salah satu anggota TJP yang gelisah dengan adanya pemilihan umum.
Imbasnya dari anggota TJP yang terdiri dari banyak suku dan punya harapan yang sama,
bahwa di kepemimpinan selanjutnya ada sosok seperti Gadjah Mada yang bisa menyatukan
nusantara, lahirlah naskah Nusantara Raya ini.
“Untuk awalnya yang ingin kami angkat isunya rasis. Sampai sekarang itu masih banyak
yang namanya perang suku. Awal mulanya dari maslah sepele. Kita ambil benang merah dari
pemikiran teman-teman (TJP). Naskah aslinya pake bahasa daerah masing-masing,” kata
Kumar selaku sutradara. Isu yang ingin disampaikan tentang kepemimpinan untuk Indonesia
raya.
“Tentang Sunda yang membicarakan sejarah leluhurnya dulu. Saya merasa sedang diajak
bicara empat mata. Satu membawa kujang, satu keris,” ucap Rendra. Meski begitu Rendra
memberi masukan kalau pementasan ini rawan, karena teksnya yang bicara soal konflik
Jawa-Sunda sampai Batak tidak sinkron dengan tema besar yang diangkat tentang persatuan.
(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/28/nusantara-raya-dalam-panggung/
Lpmarena.com, Desainer grafis senior koran harian nasional KOMPAS Lim Bun Chai
menceritakan tentang perkembangan infografik KOMPAS. Bersama dengan Sumbo
Tinarbuko (dosen Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta) dan Laretna T. Adhisakti
(dosen arsitek UGM) talkshow mengenai kumpulan Infografik KOMPAS “INDONESIA
DALAM INFOGRAFIK” dibahas. Acara ini merupakan rangkain dari acara pemeran
infografik dengan tema serupa.
“Dulu (membuatnya) pakai tangan, di-blat. Sekarang di era satelit, digital pakai komputer,”
ujar Lim menceritakan prosesnya di Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis (26/2) malam. Lim
bertutur saat pengunjung berjalan berkeliling melihat pameran, pengunjung tak hanya melihat
karya KOMPAS tetapi pikiran pengunjung diajak untuk menembus ruang dan waktu.
Infografik merupakan visualisasi informasi dalam bentuk gambar (grafis). Ciri dari infografik
ialah membuat orang tertarik, mudah dicerna, dan menggambarkan suasana informasi.
Sumbo mengatakan desainer infografik diposisikan sebagai peneliti sosial karena berbasis
riset. “Infografik bertutur apapun secara ringkas, theatre of mind orang yang lihat
berimajinasi,” ucap Sumbo.
Juga pelestarian pustaka ada dua macam yang dikembangkan, yakni pelestarian alam dan
budaya. Seperti yang diungkapkan Sita (sapaan Laretna) bahwa semua tempat harusnya bisa
dibuat infografiknya. Mengajak yang lain menceritakan tempatnya masing-masing. “Sebelum
melakukan intervensi budaya, gambar menjadi hal yang sangat penting. Bangunan bukan
bangunan yang mati tapi juga hidup,” ucap Sita.
Sumbo menejelaskan lagi bahwa dalam membuat infografik sendiri data harus jelas.
Melakukan intrepetasi sosial. “Kita menciptakan kenakalan visual yang menarik. Lay out
yang tidak terkesan formal, ilustrasi yang tidak monoton. Menentang arus, tidak mengikuti
arus,” ujar dosen yang juga berharap pelajaran mengenai desain dimasukkan dalam
kurikulum.
Tri Agus selaku pengunjung berpendapat bahwa infografik merupakan salah satu strategi
KOMPAS di era sekarang. “Dengan gambar yang indah, mampu menggerogoti ceruk koran di
Jogja sendiri,” komentarnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/27/kompas-lestarikan-budaya-dalam-infografik/
Salah saru karya infografik yang dihadirkan dalam pameran Indonesia dalam Infografik.
“Pameran Infografik KOMPAS” merupakan sebuah pameran yang diadakan KOMPAS untuk
memperkenalkan mengenai infografik ini. Acara yang berlangsung di Bentara Budaya
Yogyakarta ini diadakan oleh harian KOMPAS dari tanggal 26 Februari – 4 Maret 2015.
Sebelumnya, peluncuran buku Indonesia dalam Infografik juga telah diluncurkan KOMPAS
pada bulan Agustus 2014 lalu.
Infografik menyederhanakan isi berita secara padat dalam bentuk visualisasi. Pemimpin
redaksi KOMPAS, Rikard Bagun dalam testimoninya mengatakan dengan penyajian berita
secara infografik, pembaca dengan cepat dapat menangkap gambaran jelas tentang berita
yang disampaikan.
Infografik dalam pameran ini seperti yang dijelaskan oleh Novan Nugrahadi selaku teknisi
infografik KOMPAS sekaligus panitia acara menjelaskan bahwa KOMPAS banyak
mengangkat tentang tema budaya, bangunan sejarah, lingkungan, teknologi, dan semua
kekayaan Indonesia. “Yang ingin disampaikan masyarakat menerima kekayaan Indonesia
melalui infografiknya,” kata Novan.
Link: https://lpmarena.com/2015/02/27/infografik-sebuah-visualisasi-berita/
Irwan Bajang saat membacakan cerpennya “Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan” di PKKH
UGM. (Foto: Wahjudi Djaja).
Lpmarena.com, Kisah mengenai tumbangnya seorang diktator yang dalam hal ini diwakili
presiden di zaman Orde Baru coba ditulisakan oleh Irwan Bajang. Cerpennya yang berjudul
Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan menjadi sebuah kritik yang dituangkan dalam
sastra atas kekuasaan yang mana kekuasaan tersebut memberi tekanan untuk tidak bersedih
dan harus bahagia.
“Cerpen ini seperti berpikir antara sedih dan bahagia,” kata Raedu Basha, selaku pembedah
dalam acara diskusi sastra cerpen Irwan Bajang ini di Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Rabu (25/2). Sastrawan Madura ini menjelaskan dengan
tumbangnya seorang diktator, peristiwa ini bagian dari sebuah sastra. Ia tidak lahir dari
kekosongan jiwa.
Hary Sulistyo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) selaku pembedah dua menjelaskan
cerpen ini sebagai kritik atas pemerintah yang melanggengkan kekuasaan dengan dominasi.
“Pemimpin pada arah yang dikuasai menentang kesedihan. Bagaimana memulai pemikiran
saat di-nina bobokan,” katanya.
Dasarnya Hary menganggap setiap pengarang adalah pembaca, baik lingkungan atau bacaan
lain. Bagaimana dari sastrawan memberi perubahan. Bagaimana ketika negara hadir
melakukan resistansi, sastrawan bisa hadir, kritis, dan idealis. “Para sastrawan mengambil
bagian, maka akan menjadi kata,” tambah Hary.
Di acara penutup, penulis cerpen sendiri menceritakan ide menulis cerpen ini bermula di
bulan Mei 2014. Dimana di bulan tersebut dahulu Soeharto mengundurkan diri. Irwan
mengambil snapshot atas peristiwa tersebut. Irwan ingin menyampaikan gonjang-ganjing
tersebut, memandangnya dari sudut pandang sastra. “Bagaimanapun karya nggak bisa muncul
dari ruang kosong. Proses menangkap fenomena itu yang susah,” ujarnya. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/26/cerpen-untuk-pemimpin-diktator/
Seperti elang kami melayang. Seperti air kami mengalir. Seperti matahari kami berputar.
Seperti gunung kami merenung. (Mimpi Anak Pulau – Abidah El Khalieqy)
Lpmarena.com, Ini kisah tentang seorang anak yatim miskin yang hidup di daerah pesisir
laut. Anak ini melalui banyak lika-liku kehidupan. Saat dewasa, dengan tekad dan
keberaniannya anak bernama Gani merantau ke Yogyakarta. Lalu ia kembali ke kampung
halaman, menghidupkan para nelayan, dan membangun kotanya hingga menjadi seorang
pemimpin disana.
Dramatic reading mengenai kisah Gani, anak pulau tersebut dibawakan oleh Forum Mari
Membaca Puisi Indonesia dan Teater Eska dalam acara pembuka launching novel Mimpi
Anak Pulau karya Abidah El Khalieqy. Novel yang berbentuk biografi novel ini Abidah buat
sekitar dua tahun.
“Novel ini ditulis murni pretensi kebudayaan. Saya ingin membalik arus. Sastra Indonesia
punya referensi awal yakni biografi novel,” kata Abidah saat memberi prolog mengenai
bukunya di gedung convention hall UIN Suka, Sabtu (21/2).
Gani Lasa sendiri selaku tokoh nyata yang diceritakan Abidah mengatakan sejarah penulisan
novel ini. Bermula saat reuni alumni dan berbicara tentang pengalaman. “Saya dulu Tafsir
Hadis (IAIN Suka-red), saya bercerita tentang kapal yang tak ada hubungannya dengan
kuliah. Ketemu Abidah, cerita ini perjalanan panjang saya, sulit dibayangkan anak yang
renang di pesisir sekarang jadi pimpinan,” ujar Kepala Biro Protokol Kantor Otorita Batam
ini, sebuah proyek mandataris nasional yang bertujuan menjadikan Batam sebagai pusat
ekonomi di Indonesia wilayah barat.
Saat kelas lima SD, Gani kecil bertekad bahwa ia akan maju jika ia sekolah. Meski dalam
perjalanannya ia diremehkan orang. Novel ini juga merupakan bentuk pengabdian Gani dan
rangkaian mimpi yang dirajut pertemanan. Alasan utama Gani meminta Abidah menulis
“Ini sebagai inspirasi, banyak sekali saya temui, padahal mampu tapi tak mau menyekolahkan
anak. Ini bukan konsumsi politik,” kata pria yang juga perintis SMP Islam di Batam ini, yang
muridya telah mampu menjadi guru untuk sekolahnya sendiri. Sebagimana harapannya, putra
daerah tak sekedar menoton kotanya sendiri dibangun, tetapi juga ikut berpartisipasi aktif
membangun kota.
Pembedah novel dan peneliti, Al Makin mengungkapkan bahwa novel ini sebuah frame
budaya Indonesia (khususnya Batam) dari masa ke masa. Nuansa kebudayaan yang sangat
penting diangkat. “Kita sering tertuju di Indonesia, khususnya Jakarta. Berkutat pada orang-
orang istana, padahal Indonesia banyak sekali. Kalau pelan-pelan nggali itu akan punya peran
lain di daerah dan saya kira bagus sekali,” ujar alumnus Filsafat, Universitas Heidelberg,
Jerman ini. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/22/anak-pulau-yang-membangun-kota/
Lpmarena.com, LABeL (Laboratorium Religi dan Budaya Lokal) merupakan tempat diskusi
dan pengkajian budaya lokal. Agama lokal, ekspresi lokal, dan budaya lokal merupakan titik
fokus dari LAbeL sendiri. Di bawah naungan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
(FUSPI), LABeL yang sudah berdiri sejak tahun 2005 ini telah menghasilkan riset, tesis,
seminar, workshop, dan tulisan serta kegitan yang bernuansa kelokalan.
Tepat satu dekade LABeL yang jatuh pada Rabu, 18 Februari 2015, sebagai refleksi atas
perjalanannya perayaan syukuran digelar di ruang smart room lt. 2 FUSPI. Ahmad Rafiq
selaku pemimpin LABeL berbangga hati bahwa kini usia LABeL tak terasa telah sepuluh
tahun. Diskusi rutin yang digelar LABeL telah melahirkan tesis dan disertasi. “LABeL tanpa
disadari dari diskusi rutin telah melahirkan disertasi, tesis. Akhirnya ekspresi lokal beragama
tak lepas dari ruang global,” tuturnya.
Anggota LABeL, Fahruddin Faiz menceritakan nostalgianya saat LABeL berdiri. “Sepuluh
tahun yang lalu,jadi ingat teman-teman begitu bergairah ketika LABeL lahir. Yang paling
berkesan meski LABeL hidup dan jalan saja, setiap kali masuk seneng. Meski dengan segala
keterbatasannya,” celotehnya. Dosen yang mengajar di jurusan Filsafat UIN Suka ini juga
berharap akan ada karya fenomenal yang dilahirkan LABeL, seperti membuat ensiklopedi
lokal Islam atau membuat website khusus yang isinya budaya-budaya lokal. Menuju cita-cita:
bagaimana kalau ditanya khazanah nusatara jawabannya ada di LABeL.
Salah satu orang yang mendapat perhatian saat syukuran siang itu adalah Muryana.
Perempuan ini merupakan aktor di balik suksesnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
LABeL. Muryana konsisten memberi SMS, mengingatkan bacaan buku, dan aktif
menyiapkan acara yang diadakan LABeL.
“Bahagia yang terucap. LABeL adalah hidup saya, hidup teman-teman, dengan spirit itu
membuat LABeL bermanfaat untuk orang lain. Terima kasih teman-teman yang tak bosan-
bosan menerima teror saya. Semoga tidak puas sampai disini, bagaimana lebih bermanfaat
lagi,” kata Muryana dengan mata berkaca-kaca.
Wacana Lokalitas
Menurut Faiz, budaya lokal sebenarnya sangat menjual, bahwa isu lokal itu menarik pangsa
pasar. Masih banyak wilayah Indonesia yang bisa dieksplor. Itu terbukti dengan buku Faiz
yang mengulas lebudayaan lokal telah cetak ulang sebelas kali. “Jangan salah, lokal itu
menjual. Definisi lokal tak harus kuno,” tuturnya.
Lokalitas tak berdiri sendiri, ia berhubungan dengan orang lain. Seperti salah satu anggota
muda LABeL bernama Reza, ia sangat senang ada tempat berdialektika tentang lokalitas.
“Saya mendapatkan pengalaman lokalitas dan etnisitas. Kedepannya memperluas
pemahaman itu dengan lokalitas-lokalitas yang lain,” tekadnya.
Link: https://lpmarena.com/2015/02/19/satu-dekade-label-hidupkan-budaya-lokal/
Lpmarena.com, Nakal, jahil, dan serampangan merupakan beberapa sifat anak muda yang
terwakilkan dalam sebuah pameran Choir of Mischief sebagai respon atas sejarah. Pameran
ini menghadirkan kepingan peristiwa sejarah kala kecil, teks-teks kutipan, dan narasi-narasi
yang dikemas secara jenaka, usil, dan sedikit kurang ajar oleh komunitas Ketjilbergerak yang
berkolaborasi dengan Bonggal Hutagalung.
“Sekarang banyak orang yang menokohkan diri. Karya ini bukan hanya kolaboratif, tapi juga
anonim. Ada karya dimana ditampilkan boneka-boneka, robot yang merupakan hero ketika
Anda kecil. Saat anak-anak kita bermain dengan itu semua dan itulah kepahlawanan,”
komentar Sindhunata (tokoh pemikir dan penulis) saat membuka pameran di Jogja
Contemporary kawasan Jogja Nasional Museum, Minggu (15/2) malam. Menurutnya juga,
orang sekarang begitu sembrono menyebut pahlawan hanya sekedar tokoh-tokoh founding
father.
Ada sekitar tujuh karya yang ditampilkan dalam pameran ini. Setiap karya membawa
pesannya sendiri terhadap bagian-bagian dari sejarah. Kurator pameran, Chabib Duta
Hapsoro mengatakan pameran ini merupakan sebuah kolaborasi yang ingin merespon sejarah
Di antara kutipan yang menarik tersebut misalnya dari Soekarno, “Kalau pria mau kuat, harus
banyak makan taoge, jangan minum bir.” Atau dari Tan Malaka, “Benda adalah satu rantai,
satu karma yang merantai hidup kita.” Sindhunata sendiri mengartikan kata Soekarno sebagai
sebuah perkecambahan hidup dan ucapan dari Tan Malaka berarti bahwa benda itu paling
jujur menjalani karmanya.
Seni sebagai media pendidikan coba dihadirkan melalui perbedaan karakter antara
Ketjilbergerak yang identik dengan idiom seni rupa jalanan dan Bonggal yang memiliki ciri
khas soliter yang lahir dari dunia sosial ke personal.
“Pameran ini adalah hasil uji coba kami bikin karya. Nyoba-nyoba barang, pakainya apa,
bisanya apa. Saya basiknya keramik, tapi nggak ingin terkungkung dalam satu media,” ujar
Bonggal. Juga Ketjilbergerak menempatkan publik sebagai aktor kebudayaan—tidak hanya
sekedar tema, sedangkan Bonggal mewujudkan eskapisme atas hiruk pikuk dan ketimpangan
sehari-hari.
Acara pembukaan pameran ini juga turut dimeriahkan oleh penampilan dari sebuah band
indie asal Jogja, Summer In Vienna juga Sisir Tanah. Durasi pameran sendiri juga lumayan
panjang dari tanggal 15-5 Maret 2015, serta di tanggal 24 Februari akan dilaksanakan diskusi
karya pukul 16.00 WIB di tempat pameran. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/17/pameran-choir-of-the-mischief-merespon-sejarah-secara-
nakal/
“Pokoknya soal Rahwana aku punya pembelaan,” ucap Sujiwo Tejo dalam acara Ngopi
Bareng Sujiwo Tejo: “Nglaras Roso Jumbuhake Kahanan dan Kupas Buku Rahvayana 2,
Ada yang Tiada”, di kafe Identitas Planet Bookstore Pengok, Minggu (15/2).
Selain berbicara tentang bukunya, pria yang biasa dipanggil Mbah Tejo ini juga berdiskusi
bersama peserta tentang keagamaan dan cinta.
Mbah Tejo memberi tafsiran mengenai ayat ihdinas shiratol mustaqim, menurutya arti dari
ayat itu bukan tunjukkan aku jalan yang lurus, tetapi tunjukkan padaku asalku, yang
membuatku. “Kalau aku mahasiswa pertanian, maka tunjukkan darimana aku berasal dari
pertanian itu. Capailah Tuhan darimana kalian berasal,” tuturnya. Dalam dunia universitas
sendiri, fakultas-fakultas bukanlah sebuah kamar, tetapi gerbang. “Jadi, gerbang apapun yang
kamu lewati, kamu akan melihat Tuhan,” tambahnya.
Berbicara cinta, Mbah Tejo mengutip pertanyaan yang dilontarkan Rahwana: Tuhan, kalau
cintaku pada Sinta terlarang, kenapa kau bangun mega cinta itu di hatiku?
Mbah Tejo menganggap, tidak ada yang lebih mulia dari cinta. Cinta adalah sebuah martabat,
dan menikah itu nasib, mencintai itu takdir. “Kamu bisa menikah dengan siapa saja, tapi
kamu tak bisa menentukan cintamu untuk siapa,” ujarnya dalam, dan acara ditutup dengan
akustikan lagu berjudul Jancuk. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/16/rahwana-yang-romantis-dan-konsep-cinta-sujiwo-tejo/
Lpmarena.com, Sebuah panggung aneh coba dihadirkan oleh Teater Eska UIN Suka dalam
pementasannya yang berjudul “Issue” di acara Apresiasi Seni Internal dan Apresiasi Seni
Eksternal XVI Sanggar 28 Terkam, IST Akprind Yogyakarta, Sabtu (14/2) malam. Pentas
yang seharusnya dilakukan di atas panggung utama, gangster dari Teater Eska memilih untuk
memakai lesehan dari penonton sebagai panggung. Tempat penonton dikosongkan dan
penonton membentuk lingkaran.
Lampu blackout (padam), seorang pria berambut gondrong muncul membawa lampu neon
putih di sebelah utara dan selatan panggung. Lalu muncul secara berurutan pria berambut
gondrong memakai baju kodok biru, ber-make up wajah putih datang membawa meja
setrikaan dan sound kecil. Lalu pria itu pergi, dan datang kembali membawa kecapi dan
memainkannya.
Di sisi lain, dua orang pria memakai helm diikat perutnya dengan satu tali, mereka saling
berjalan saling berlawanan dan memukul-mukul sebuah kursi. Lalu juga seorang pria lain
berpakaian gamis garis warna coklat, berwajah putih, memakai kupluk warna senada baju
tampak merespon lampu warna-warni yang datang, memasangnya dan mencoba
berkomunikasi dengan dua pria berhelm.
Pria gamis itu lalu menyuruh penonton untuk mengeluarkan ponselnya masing-masing. Pria
itu menyuruh penonton untuk menyalakan ring tone, “silahkan berfoto—kalau perlu
menggunakan blitz,” perintahnya. Auditorium Akprind menjadi sangat semarak dan berisik,
suara tawa bergema dari penonton. Dan suara musik kecapi terdengar dari permainan pria
berpakaian kodok.
Issue merupakan suatu percobaan, penjelajahan atas ide percobaan. “Basis penciptaan kita
isu-isu yang berkembang di kita. Setiap isu kita diskusikan secara matang. Kita basisnya juga
riset. Kemungkinan-kemungkinan atas semua ini kemudian kita gali dengan teori-teori,” ucap
Shohifur Ridho Illahi selaku directorIssue.
Ghoz TE yang juga salah satu aktor Issue menceritakan jika pementasan kali ini berdasarkan
pada teks teman-teman sendiri. Teman-temannya membuat teks dari pelajaran proses yang di
dalamnya ada negosiasi-negosiasi. “Sebelum ke pertunjukkan negosiasi-negosiasi itu kita
coba obrolkan kemungkinan yang terjadi, tentunya kerelaan artistik yang jadi pertimbangan
utama,” kata Ghoz.
Wahid selaku penonton memandang bahwa apa yang ditampilkan Teater Eska merupakan
respon akan dunia sekarang. “Ada ruang-ruang yang memang untuk menanggapi masa yang
sekarang,” ujar aktor yang juga menjadi anggota di Kebelet Teater ini.
Pentas Issue yang mengkritik tentang isu-isu modern sekarang ini tampak bertolak belakang
dengan konsep pementasan lain yang tradisional. Pementasan ini berjudul “Sintren”. Para
pelakunya adalah siswa-siswa dari SMA NU Seni Rupa Indramayu.
Link: https://lpmarena.com/2015/02/15/issue-dan-kisah-sintren/
Lpmarena.com, Apresiasi Seni Internal (ASI) dan Apresiasi Seni Eksternal (ASE)
merupakan ajang tahunan seni yang rutin diselenggarakan oleh Sanggar 28 Terkam, IST
Akprind Yogyakarta. Di tahun 2015, ASE dan ASI yang keenam belas mengambil tema
“Unting Amput”. Acara ini diselenggarakan selama tiga hari, 12-14 Februari di auditorium
IST Akprind.
Konsep Unting Amput sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, unting yang berarti ikatan dan
amput yang berarti selaras; keselarasan. “Pengen semua selaras, guyup, dan antar kelompok
seni terjalin rasa ikatan. Acara ini sendiri sebagai tempat silturahmi, di Jogja sendiri bisa
dibilang kelompok seni jarang kumpul bareng membuat panggung,” ucap Ucup selaku
pemimpin produksi (pimpro) Unting Amput.
Di akhir pementasan juga ada sarasehan yang menjadi tempat apresiasi dan tukar pikiran
kegelisahan. Ucup sendiri menceritakan kegelisahannya mengenai kondisi teater sekarang.
“Untuk teater sekarang, teman-teman kurang berani dan ketakutan dalam melakukan sebuah
pementasan. Acara ini sebagai salah satu upaya eksplorasi,” paparnya. Ia juga berharap acara
ini bisa membangun hubungan komunitas yang lebih besar, tetapi tidak terlalu terpatok
Rangkaian acaranya sendiri terdiri dari teater, monolog, performing art, musikalisasi puisi,
akustik, dan lain-lain. Kelompok kesenian yang berpartisipasi, ada dari Sanggar 28 Terkam
sendiri, Teater Eska, Teater Sangkala, Teater Misbah, Teater Delik, Ngopinyastro, dan lain-
lain. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/15/unting-amput-asi-dan-ase-xvi-sanggar-28-terkam/
Lpmarena.com, Sebanyak 110-an mahasiswa antusias memadati pelatihan dan tes TOEFL
yang diadakan oleh UKM Studi dan Pengembangan Bahasa Asing (SPBA) di ruang teatrikal
pusat bahasa, Sabtu (14/2). Selain memberi materi kepada peserta tentang TOEFL juga
pengadaan tes dan pembahasan soal TOEFL.
Pelatihan TOEFL ini di tahun-tahun sebelumnya, awalnya hanya untuk internal SPBA
sendiri, tetapi di tahun ini pelatihan TOEFL diadakan untuk umum. Saat ditemui ARENA,
ketua panitia acara, Mujibburrahman mengungkapkan minimnya kegiatan bertema
kebahasaan di UIN Suka menjadikan acara ini sebagai wadah bagaimana mahasiswa sadar
jika bahasa itu penting. “Wadah untuk mengekspresikan bahasa yang belum maksimal. Acara
kebahasaan dari pusat bahasa (UIN) tidak intens dan setengah-setengah. SPBA sebagai
dedikasi untuk UIN, mencoba memberi wadah pelatihan akan pentingnya bahasa,” ucap
mahasiswa jurusan Al Ahwal- A Syahsiyyah semester VI ini.
Munawir juga menambahkan jika dalam belajar bahasa itu konsisten. “Berbahasa itu harus
langgeng, continue. Bahasa itu kebiasaan, bukan cuma di level hafalan, tapi juga aplikasi,”
kata pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini.
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 269
Pelatihan ini juga diselingi motivasi dari Waskito, alumni SPBA yang sekarang bekerja di
sebuah institusi Australia. Salah satunya Waskito berujar jika ingin sekolah ke luar negeri
kunci pentingnya, janganlah mengejar programnya, tapi kejarlah kemampuan dahulu.
“Jangan cari programnya, be good in your passion. Baguslah di kemampuan kita dahulu,”
tutur pria yang juga pernah pergi ke negara Ghana, Yordania, dan Filipina ini. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/15/wadah-berbahasa-minim-spba-adakan-tes-toefl/
Lpmarena.com, Di abad 21 ini teknologi semakin maju dan banyak hal rumit yang dicoba
untuk disederhanakan. Melalui karyanya, Kucing Hitam (komunitas mahasiswa Seni Rupa
ISI 2013) mengadakan pameran lukisan bertajuk “Dunia yang Dilipat” sebagai kritik atas
modernisasi. Bertempat di Taman Budaya Yogyakarta, acara ini akan diselenggarakan selama
tiga hari, 7-10 Februari 2015.
Ketua panitia Siam Candra Artista menjelaskan tujuan diadakan pameran ini untuk
menggugah masyarakat tentang apa yang terjadi di dunia. Tidak semua aspek modernisasi
melahirkan kemajuan, ada yang bertolak belakang.
“Kita rencanakan ini udah lama. Kita mengkritisi tentang pelipatan dunia, dunia sekarang
yang serba cepat, tepat. Kita itu kayak nggak bisa menikmati dunia, kita nggakngrasa tiap
hari itu ada matahari terbit, yang ada kerja, kerja, kerja lagi,” tutur Siam.
Pencetus tajuk pameran Dunia yang Dilipat sendiri adalah teman Siam, Rama Dian Putri.
Berangkat dari buku Yasraf Amir Piliang yang judulnya sama (Dunia yang Dilipat) Dian
memakai buku Yasraf ini sebagai analogi yang tepat pada garis besar masalah. Dimensi yang
ingin diangkat adalah konsep “melipat” dunia yang menjadi instan. Jika diibratkan dunia itu
kertas, kertas itu dilipat terus. Konsekuensinya kertas akan menjadi kecil dan ada unsur
pemaksaan disana.
Ada sekitar 50-an karya ditampilkan. Karya Siam sendiri yang berjudul “Life Like a Game
#2 (Abandoned Smile)” mengisahkan tentang kehidupan joker. Bermula dari cerita tentang
kartu remi, pada jaman dulu joker bekerja sebagai penghibur yang dia cacat secara fisik. Dia
selalu diasingkan dari yang sempurna. Lalu joker ini dilatih menjadi pelawak. Meski begitu,
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 271
dalam permainan kartu remi sendiri, joker tidak digunakan. “Dalam kehidupan juga begitu,
meski sudah melawak tapi ditinggalkan. Itu kehidupan joker, ia kayak dimusuhi,” ujar Siam.
Eny Susilowati selaku pengunjung berpendapat jika pameran ini menarik dan kreatif, serta
menceritakan tentang orang-orang yang lupa dengan proses. “Kreatif, cuma kalau aku kasi
komentar, relevansi tema dan karya sudah nyambung. Tapi aku agak kecewa dengan judul
lukisan yang kurang predictable, harusnya judul lukisan lebih sesuai,” kata mahasiswa
jurusan Filsafat UGM ini. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/08/kritik-dunia-yang-semakin-terlipat/
Lpmarena.com, Memasuki tahun ajaran baru semester IV, LPM Arena mengadakan acara
“Nge-teh Bareng” di gelanggang mahasiswa UIN Suka, Senin (2/2) malam. Acara yang
dikonsep secara santai ini menghadirkan anggota-anggota ARENA dari angkatan 2010-2014.
Diadakan dalam rangka mendekatkan kembali para anggota pasca liburan dan ngobrol santai
terkait keorganisasian ARENA.
Meski dalam agenda mahasiswa dikatakan libur, ARENA tak pernah libur, seperti yang
dikatakan Ahmad Jamaluddin, pemimpin umum LPM ARENA dalam sambutannya,
“ARENA nggak ada ada libur, tapi sekolah libur ya gakpapa. Konsepnya nge-teh, juga
diadakan game dengan dibagi kelompok multi angkatan.”
Hadir juga selaku angkatan dimensioner, Folly Akbar, ia mengatakan bahwa di ARENA ada
yang namanya produk dan intensitas ARENA menghasilkan produk itu wajib (meski dalam
keadaan libur). “Saya selaku pengamat ARENA melihat harus ada strategi khusus agar tidak
mempengaruhi produksi ARENA sendiri. Produk itu harus dijaga terus,” ucap mantan
redaktur online ARENA 2013/2014 ini.
Folly juga menambahkan, jika mahasiswa liburan dua minggu, anggota ARENA harus rela
berkorban untuk libur hanya lima hari atau seminggu. “Acara ini menjadi moment atau batu
loncatan meningkatkan produksi ARENA. Ayolah mulai lagi seperti diskusi, rapat redaksi,
dan lain-lain,” tuturnya.
Usai sambutan lalu anggota ARENA yang hadir dibagi menjadi lima kelompok untuk
membahas isu yang sedang hangat di kampus UIN Suka. Terkumpullah lima isu yang
dipresentasikan dan didiskusikan, yakni dua isu tentang Pemilwa, isu fakultas FEBI yang
menuntut IP > 3,0 (jika kurang harus membuat surat pernyataan, isu penghapusan DPP di
tahun ini, dan isu kuliah yang dibatasi lima tahun. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/03/arena-adakan-nge-teh-bareng/
Pengisi stan dari berbagai Perguruan Tinggi yang telah bergabung dalam CCE 2015 (Doc. Cepu
Campus Expo)
Lpmarena.com, Hujan yang mengguyur kota Cepu, Sabtu (31/1) tidak menghalangi para
pelajar untuk menghadiri Cepu Campus Expo (CCE) 2015. Acara tahunan yang diadakan
oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Cepu (FKMC) ini telah berlangsung yang ke-empat
kalinya (sejak tahun 2012). Tahun ini diadakan di gedung wisuda STEM Akamigas Cepu,
bertajuk “Sinergi Bersama Wujudkan Cita Kader Bangsa” yang diadakan selama dua hari 31
Januari-1 Februari.
Salah satu pendiri awal CCE 2012, Sandhi Ading Wasana, menceritakan sejarah awal
pembentukan CCE ini berawal saat Sandhi duduk di kelas III SMA. Ia ingin mencari
informasi tentang perguruan tinggi, tapi senior-senior mahasiswa di Cepu tidak ada yang
memfasilitasi. Saat itu expo campus hanya ada di Blora. Akhirnya terpaksalah Sandhi kesana
melewati hutan jati hingga kehujanan ke pelosok Blora.
“Kalau CCE sendiri itu emang berawal dari kejengkelanku yang tak tularkan ke orang-orang.
Aku bingung, seandainya kasih motivasi satu dua anak aja gampang, gimana kalau itu
dilakukan di level kota dan tercetuslah ide CCE itu,” cerita Sandhi sekaligus mantan ketua
CCE 2012.
Atas dukungan dari senior di ITS yang dulu menjadi kakak kelas Sandhi di SMA 1 Cepu,
mahasiswa yang duduk di Teknik Informatika ITS ini menceritakan waktu itu dana awal 0
rupiah. Pak camat hanya mendukung, akhirnya dengan terpaksa setiap pembukaan stan saat
itu Sandhi memasang tarif Rp 50.000,00.
“Waktu itu terumpul 13 stan, jadi uangnya 650 ribu. Yah, akhirnya terselenggaralah CCE
2012 dengan alakadarnya. Kalau nggak ada orang-orang yang membantu saat itu, CCE
Ketua panitia CCE 2015, Krisna Eka Kurniawan juga menceritakan acara ini adalah bentuk
kegelisahan dari survei terhadap pelajar lulusan Cepu yang melanjutkan kuliah masih sedikit.
Sehingga dibuatlah wadah CCE sebagai tempat berbagi info dan pengalaman kepada pelajar
(khususnya yang duduk di kelas XII) mengenai dunia perkuliahan.
“Ingin memfasilitasi dan mensosialisasikan tentang dunia perkuliahan, juga sebagai peran
aktif kita sebagai mahasiswa demi membangun pendidikan yang bermanfaat,” ucap Krisna
saat diwawancari ARENA di tengah kesibukannya mengkondisikan acara.
18 Universitas
Sebanyak 18 stan berbagai universitas yang terdiri dari: UI, UGM, ITS, UA, UNY, UNNES,
UNS, Undip, UB, UPN “Veteran” Yogyakarta, IST Akprind, Polines Semarang, Untag,
UMS, UNM, Udinus, STTR Cepu juga tuan rumah STEM-Akamigas hadir meramaikan acara
ini. Setiap stan dari berbagai universitas menghias stannya sendiri semenarik mungkin untuk
membuat para pengunjung datang.
Meski yang ikut tahun ini sebanyak 18 stan, panitia juga menambahkan satu stan cadangan.
“Total 18 kampus, tapi kami juga menyediakan satu stan tamu jika ada sekolah yang jauh hari
belum mendaftarkan diri dan kita menyediakan tempat,” terang Krisna.
Mahasiswa jurusan Teknik Mesin UNS angkatan 2013 ini juga berharap acara ini bisa
memberi kebermanfaatan semua pihak khususnya pelajar Cepu untuk memiliki semangat
dalam melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Juga agar acara ini lebih sukses lagi
kedepannya, tidak hanya kualitas dan kuantitas tapi juga dampaknya pada para pelajar.
Selain pameran perguruan tinggi, kegitan lain dari CCE adalah talkshow beasiswa dan
motivasi, tryout SBMPTN dan pembahasannya, juga seminar dari Sapto Mulyono dari
Ganesha Operation. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/02/02/cepu-campus-expo-kejengkelan-yang-tersalurkan/
Lpmarena.com, “Menilai laku dari diri yang didekonstruksi” merupakan sebuah refleksi dari
jejak rekam LPM ARENA empat dekade (1975-2015). Bertempat di gelanggang mahasiswa
UIN Suka, Sabtu malam (10/1) acara perayaan 40 tahun ARENA digelar dengan
menghadirkan para bintang tamu serta anggota/alumni LPM ARENA.
Acara dibuka dengan penampilan akustik dari Harik Giyarian, lalu dilanjutkan dengan
penayangan film dokumenter tentang ARENA dan sambutan-sambutan. “Acara ini sebagai
kebersamaan dalam kesederhanaan. Terima kasih untuk semua yang hadir,” kata
Haryaningrum Kurnia selaku ketua acara.
Lalu pemotongan tumpeng dilakukan oleh pemimpin umum LPM ARENA, Ahmad
Jamaluddin. “Teman-teman ARENA banyak-banyaklah belajar,” ucap Jamal dalam
sambutannya.
Memasuki acara inti, sarasehan yang mengulas tentang ARENA dilakukan dengan
narasumbernya perwakilan alumni ARENA per dekade, yakni: Addi Idhom, Fakih, dan
Majidun.
Tak dipungkiri, pers merupakan sebuah arsip yang merekam jejak-jejak sejarah yang terjadi
pada masanya, termasuk lembaga pers ARENA. Dari produk-produk yang dihasilkan
“Dari majalah, perkembangan yang terjadi di IAIN bisa dilihat dengan baik sekali. Semua
didokumentasikan dan dianalisis,” tutur Addi, alumnus ARENA tahun masuk 2003.
Berbeda dengan Addi yang menjadikan 40 tahun ARENA sebagai sebuah artefak perekam
sejarah, Fakih alumnus ARENA tahun masuk 1997 bercerita jika sifat khas dari ARENA
adalah melawan. “Apapun harus dilawan,” tuturnya bersemangat. “Kalau Addi bilang
40tahun jadi artefak, saya bilang 40 tahun jadi nabi,” ucap Fakih lagi.
Dulu pada masa Orba, majalah ARENA di bawah LPM keberadaan pers saat itu menjadi
refleksi setelah Soeharto diturunkan. “Saat Soeharto turun dan rektorat menyuruh
mahasiswanya kembali ke kampus. Dijawab oleh ARENA masa itu ‘kita tak akan berhenti
melakukan perlawanan’. ARENA titik refleksi, mentality itu yang tak boleh hilang,”
celotehnya.
ARENA juga pernah dipanggil menteri penerangan pada masa itu terkait pemberitaan tentang
Soeharto yang berimbas pada pembredelan ARENA. Lalu untuk mendapatkan dukungan,
kampus juga pernah di-alteco.
Nostalgia
Dulu saat ARENA terbit pertama kali tahun 1975, bentuknya kecil seperti buku. Tahun 1988
di zaman Imam Aziz, bentuknya seperti majalah. 5000-7000 majalah dijual dan habis, kru
ARENA digaji. Ada 32 distributor termasuk di IAIN Jakarta, Surabaya, UII, Balairung, dan
kampus yang lain.
“Dulu tak bisa membedakan ARENA dan TEMPO. Itu yang berbeda dari sekarang. Dulu, tak
ada yang tak tahu ARENA,” ucap Majidun, salah satu pendiri awal ARENA. Ia merasa miris
karena di film dokumenter yang ditayangkan di awal acara ada mahasiswa UIN yang tak
mengenal ARENA.
Tahun 1993, ARENA kembali berpikir alternatif dengan membuat SLiLit. Mulanya dari 12
halaman berlanjut ke 24 hingga 50-an halaman. Di zaman itu anak yang ikut ARENA harus
bisa menulis. Seminggu wajib menyetor lima tulisan. Bentuknya terserah, bisa berita, opini,
atau puisi. Tulisan dari anak-anak ARENA pun banyak terbit di media massa.
“Aneh kalau masuk ARENA nggak bisa nulis. Saya tidak tahu, zaman sekarang penulis di
koran nggak ada yang dari ARENA, belum menemukan ‘penulis adalah pengelola majalah
LPM ARENA UIN Suka’,” kata Majidun.
Ia juga bercerita, dulu di antara 160 orang yang mendaftar ARENA yang diterima magang
hanya 21 orang dan hanya 12 yang diterima.
Semangat lain yang dimiliki ARENA di masa dulu adalah berani nekat. “Dulu itu lebih
berani nekat. Nggak ada kertas, ngambil ke TU. Jika tak mau memberi, kabag saya tulis di
koran. Saya dan teman-teman tak takut di-DO, nginep di Korem juga biasa,” cerita Majidun.
Pemikir
Addi sendiri berharap di momentum seperti sekarang bukan sekedar peringatan. Selain aktif
berpikir juga semakin aktif membuat karya. Hidup ARENA! (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2015/01/12/40-tahun-lpm-arena-sebuah-laku-perlawanan/
Lpmarena.com, Seorang pria berpakaian hitam menari dengan gemulai dengan selendang di
lehernya. Lalu dari arah samping, beberapa sinden menyanyikan lagu Cublak-cublak Suwung
disusul Kuda Lumping, dan Walang Kekek.
Makam ini sering dilayat orang untuk mengharapkan berkah. Di depan makam itu mereka
berbicara tentang kritik sosial terhadap pembangunan pabrik di tempat mereka yang
mayoritas dihuni oleh para buruh dan kaum pinggiran.
Begitulah sekilas pembukaan lakon pentas teater berjudul “LENG” karya Bambang Widoyo
SP. Naskah drama modern berbahasa Jawa ini selama kurang lebih dua jam mengisi
keheningan ruang utama Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Senin
(8/12) malam. Pementasan ini diselenggarakan oleh Teater Lungid Surakarta bekerja sama
dengan PKKH.
Lakon ini berkisah tentang orang-orang cilik yang menggantungkan hidupnya pada kuburan
keramat Kiai Bakal. Juga potret pengangguran, penggusuran tanah, pelacuran, hingga proses
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 279
kapitalisme. Dimana derita orang cilik disini dibenturkan dengan keinginan kaum pemodal
bernama Juragan (sang pemilik pabrik). Juragan selalu paranoid dengan warga setempat.
Pentas ini juga semacam pusaran yang berbicara tentang kemanusiaan. “Kita bicara soal
perikemanusiaan. Bagimana pabrik itu kalau tidak hati-hati bisa menjadi bumerang, hanya
berpihak pada orang-orang tertentu,” ucap Djarot Budidarsono selaku sutradara pertunjukan
saat diwawancari ARENA usai pertunjukkan.
Proses latihannya sendiri berlangsung selama setengah tahun. Lalu, kenapa Djarot memilih
naskah Leng? Ia berujar setting dari Leng sangat menarik. “Atmosfer setting-nya luar biasa.
Bagaimana sebuah kotak putih di atas panggung bisa bicara tentang banyak hal. Dari ia
tertutup hingga terbuka, sangat dinamis.”
Di lakon ini juga, Djarot ingin menekankan tentang manusia, moral, dan kondisi kita yang
semakin bebas terhadap bunyi apa pun karena kecanggihan teknologi. “Bicara soal orang
yang sekarang makin mudah mencaci. Ini salah satu misi kita bicara soal moral dan
menghargai sesama. Bagaimana orang memandang, bukan hanya masalah materi,” kata aktor
yang juga pernah mengadakan riset tari di Central National de Dance Contemporaine
(CNDC) l’Esquisse, Angers, Prancis tahun 2003 ini.
Hal tersebut turut diamini Faruk Tripoli, sastrawan sekaligus guru besar ilmu budaya UGM,
“acara ini membawa kita untuk kembali mengingat dahulu betapa sulit mengucapkan
sesuatu,” ucap Faruk dalam sambutannya.
Sayangnya, meski Djarot melakukan upaya regenerasi terhadap naskah berbahasa Jawa,
sebagian penonton tidak sepenuhnya mengerti isi yang disampaikan cerita karena terkendala
bahasa. “Bukan orang sini. Bahasanya kurang ngerti, nggak ngerti alurnya, tapi cukup
menikmati,” tutur seorang penonton, Rahayu Williyanti mahasiswi Hubungan Internasional
UMY. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/12/09/pentas-leng-potret-kaum-pinggiran-melawan-pemilik-modal/
Lpmarena.com, Dalam dunia pewayangan, ada salah satu tokoh wayang bernama
Badranaya. Tokoh ini merupakan pengasuh para ksatria di lakon Mahabarata dan
Ramayanana. Secara etimologis, badra berarti bulan dan naya berarti watak. Jika diartikan,
badranaya adalah manifestasi dari watak bulan. Tokoh ini dijadikan sumber inspirasi Ical
Yulianto dalam menuliskan puisinya berjudul sama, Badrayana.
Secara lebih khusus, watak bulan terejawentahkan dalam sosok manusia bernama ibu. “Ibu
adalah khalifah, seperti halnya bulan yang meminjam cahaya dari matahari. Ibu pun
demikian, meski ia kekurangan, tapi dengan kekurangan itu dia mencari kekuatan. Lalu
menyatu dengan kita dan mengurangi kekurangan kita,” kata Ical saat ditemui ARENA usai
acara malam grand final lomba puisi dan baca puisi radio pro II RRI Yogyakarta.
Acara yang digelar di Plaza Ambarukmo, Sabtu (22/11) ini, Ical berhasil mendapatkan juara
pertama setelah meyakinkan tiga dewan juri, para penyair, yaitu: Bernadette, Indrianto Koto,
dan Ginandjar Wilujeng.
Ginandjar selaku dewan juri mengatakan, puisi merupakan ungkapan hati, pikiran, kritik
sosial. Untuk itu kriteria juara dipilih berdasarkan isi teks dan pembawaan di atas panggung.
“Yang menjadi pertimbangan adalah kekuatan teks, teknik, dan pembawaan di panggung.
Tadi keseluruhan teknik sudah kuat, tapi pembawaan belum keluar,” ucap penyair yang
mengidolakan Pramodeya Ananta Toer ini.
Lebih lanjut Badranaya sendiri merupakan manifestasi bahwasannya orang hidup di dunia
bisa seperti Badranaya yang mempunyai sifat seperti air dan api. “Air bisa beradaptasi di
lingkungan mana saja. Yang akhirnya dilepaskan ke samudera. Api pun demikian, memberi
penerangan,” kata Ical.
Puisi bagi Ical adalah penjabaran rasa. Dimana kita menjabarkan apa yang orang lain rasakan,
yang diri sendiri rasakan. Ia memulai latar belakang sastrawanya melalui sastra tradisi.
“Sastra tradisi, pendalangan, sastra Jawa. Dulu kita mengenal penyair-penyair seperti Chairil
Anwar sebagai tokoh pembaharuan. Padahal sebelum itu ada sastra wayang dan permainan
Jawa,” ucap mahasiswa yang juga duduk di jurusan Seni Tari semester III UNY ini.
“Kidungnya dambaan malam” merupakan kalimat yang disuka oleh Ical dalam larik puisi
miliknya. Ia menjabarkan larik tersebut sebagai kritik sosial terhadap orang tua sekarang.
Kidung yang bermakna nyanyian-yanyian, syair, dan puisi ini besinonim dengan kata Jawa,
kudang yang berarti megudang (mendoakan) anak.
“Orang tua jaman dulu itu tiap malam sebelum tidur selalu mengkidungkan doa terhadap
anaknya, tapi sekarang tradisi itu sudah tidak pernah. Padahal apapun yang orang tua katakan
ke kita, itu akan meresap ke hati, dan itu sebagai pembuka rahmat Tuhan,” cerita Ical.
Selain Ical, rona bahagia lain juga terpancar di raut wajah Amin Sahri. Puisinya berjudul
Gerimis berhasil medapatkan juara II. “Senang, nggaknyangka. Mulanya nggak ingin dapat
macam-macam,” tutur Amin
Puisi Amin berkisah tentang pengalaman asmara Amin terhadap gadis yang ia sebut sebagai
gadis berparas embun. “Terinspirasi dari kisah nyata. Aku teringat akan perempuan itu. Ada
rasa rindu, ada rasa pilu, ada rasa suka sama dia, tapi orangnya biasa saja,” celoteh Amin saat
menceritakan tentang isi puisinya.
Bagi Amin sendiri, puisi adalah sebagai medium berbuat baik, puisi adalah doa, bahasa hati,
bahasa perasaan, dan bahasa imajinasi. “Puisi itu doa, kalau orang dengar dia akan
mengamini doa kita,” ucap Amin sembari tersenyum. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/11/23/puisi-sebagai-medium-berbuat-baik/
Lpmarena.com, Gotong royong merupakan salah satu tradisi Indonesia. Memaknai ‘gotong
royong’ dalam konteks saat ini khususnya bagi pemuda telah terjadi perubahan makna.
Seperti yang diungkapkan budayawan, Ons Untoro dalam Sarasehan Peringatan Hari Sumpah
Pemuda Ke-86, Minggu (9/10), di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta.
“Yang menjadi persoalan kita di konteks gotong royong yang dilakukan oleh pemuda yang
terbiasa dengan alat digital, bentuk gotong royongnya lain,” ucap Ons.
Sarasehan yang diselenggarakan oleh Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ini
mengusung tema “Semangat Gotong Royong Dalam Rangka Kebhinekaan”. Selain untuk
memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober lalu, juga untuk menyambut Hari Pahlawan.
Selain Ons Untoro, sarasehan ini mendatangkan dua pembicara lain, yakni, Widihasto
Wasana Putra (ketua Sekber Keistimewaan Yogyakarta) juga Irvan Tengku Harja (ketua
FPPI).
Gorong royong zaman dahulu berbeda dengan sekarang. Jika dahulu semangat perjuangan
gotong royong itu terbuka, tetapi sekarang cenderung jika tujuan tidak terpenuhi akan marah.
Ons mempertanyakan ketika melakukan gotong royong itu berangkat dari ketulusan atau
motif? “Ketika memaknai gotong royong, satu hal yang penting bagi saya adalah ketulusan,”
tuturnya.
Manusia Privat
Pemuda dari masa ke masa membawa kontribusinya masing-masing. Pada tahun 1928
misalnya, jong-jong (pemuda-pemuda) nusantara memunculkan visi dan imajinasi yang luar
biasa dalam sumpah pemuda. Di era digital ini, semangat jaman dahulu mulai terganti dengan
era globalisasi–digitalisasi.
Menurut Tengku, pasca runtuhnya Orde Baru, masyarakat mulai kebablasan. “Saya memakai
gagasan Hannah Arendt. Dia bilang, tidak ada masyarakat ideal, tapi adanya masyarakat
massa,” ucap aktivis yang juga duduk di Fisipol UMY ini.
Melihat realitas itu, Tengku mengatakan akan pentingnya sebuah ruang publik. Ruang yang
digunakan untuk berkumpul, bergotong-royong, berkesadaran, berkarya, dan menghasilkan
nilai baru. “Gotong royong bisa dimulai dari kesadaran melampaui ruang privatnya dengan
membentuk ruang publik,” tambah Tengku.
Sikap Pemuda
Cara berpikir reflektif merupakan salah satu sikap yang menurut Ons harus dimiliki pemuda.
Dan juga rasa tersinggungan yang ada di pemuda dan masyarakat harus dikelola. Misalkan
saja saat marah-marah.
“Ngamuk boleh, asal untuk dirinya sendiri dan tidak menganggu orang lain. Ngamuk-nya
diekspresikan utnuk kegiatan positif,” kata Ons.
Ia mencontohkan kalau suka melukis, saat marah melukislah. Kalau suka puisi, jika marah
menulislah puisi sebanyak-banyaknya.
Hasto juga membagi pemikirannya tentang apa-apa yang harus pemuda miliki di era sekarang
ini. Ada lima poin penting yang ditawarkan Hasto:
Pendeknya, Hasto berpesan agar pemuda mempunyai sifat entengan (ringan tangan). “Jadilah
anak muda yang entengan dan punya pola pikir inklusif, terbuka, untuk bersama-sama
membangun kebersamaan,” kata Hasto.
Sebagai penutup sarasehan, Hasto membacakan puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul
Wahai Pemuda Mana Telurmu, yang bait pembukanya berbunyi: Apa gunanya
merdeka/Kalau tak bertelur/Apa guna bebas/Kalau tak menetas?/(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/11/10/gotong-royong-di-era-digitalisasi-dan-privatisasi/
Ikun SK tengah membacakan cerpennya Olenka dan Sukab di diskusi sastra PKKH UGM (29/10).
Ia telah mencuri Olenka. Mendandaninya; menjadi penari telanjang. Mungkin ia pula yang
membunuhnya setelah suatu malam ia jatuh cinta.
Lpmarena.com, Ini adalah kutipan pembukaan cerpen berjudul Olenka dan Sukab karya
Ikun Sri Kuncoro. Cerpen ini merupakan hasil kolase dari cerpen-cerpen karya tiga
sastrawan, yakni Budi Darma, Umar Kayam, dan Seno Gumira Ajidarma (SGA). Yang diolah
oleh Ikun menjadi satu karya utuh miliknya.
Diskusi sastra membedah cerpen Olenka dan Sukab ini digelar di hall Pusat Kebudayaan
Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Rabu malam (29/10). Datang sebagai pembedah,
Gunawan Maryanto (sastrawan) dan Arif Kurniar Rakhman (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB
UGM).
Wacana yang diusung cerpen ini adalah tentang poskolonialisme. Secara implisit berkisah
tentang cerminan orang barat dan timur yang saling berinteraksi dalam laku tokoh Olenka
(representasi orang Barat) dan Sukab (representasi orang timur).
Struktur orang barat dan timur berbeda. Menurut Arif, ada cerminan yang menarik tentang
orang timur yang bisa mencuri orang barat. “Ikun memposisikan di cerpen ini orang timur
sangat inferior. Contohnya, ada kalimat tak ada orang timur yang lukisannya pantas dipalsu.
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 286
Di konteks lain, ketika Sukab menumpahi si Jane, dia luar biasa. Ini upaya membalik timur
sama superiornya dengan barat,” tutur Arif.
Gunawan Maryanto berpendapat dari awal cerpen ini merupakan pembacaan ulang akan
cerpen. “Saya terkenang Olenkanya Budi Darma. Sukab, saya teringat Seno. Ada kerajinan
dari penulis menggabungkan ini. Lalu apa yang yang ingin dihadirkan dari tokoh itu? Ikun
membangun dunia apa?” tanya Gunawan. Ia mencontohkan dalam kisah seperti Ramayana,
Mahabarata, Mahadewa juga semacam kolase tentang epos cinta yang besar.
Pengarang adalah agen dari realitas. Ia menyasar pada sesuatu dan mengunkgapkannya
dengan berbagai macam cara. “Saya tidak lebih tahu dari pembaca. Jika cerpen berkembang
ke berbagai arah, itu nasib dari cerpen itu. Apa maunya penulis disini ada dua garis tegas.
Pertama, sebagai penulis ia punya keinginan. Kedua, sebagai teks ia juga punya keinginan
sendiri yang ditentukan oleh pembaca,” kata Ikun saat penutupan diskusi. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/10/30/olenka-dan-sukab-sebuah-kolase-refleksi-barat-dan-timur/
Lpmarena.com, Jagongan perdamaian lintas agama bertajuk “Saatnya Kaum Muda Bersatu
Menjaga Perdamaian Indonesia” digelar di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman,
Selasa malam (28/10). Acara yang diadakan oleh Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Cinta
Damai (APMCD) bekerja sama dengan Lembaga Analisis Wacana (Lawan) diselenggarakan
dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Menghadirkan tiga pembicara: Alissa
Wahid (psikolog/putri Gusdur), Pendeta Indrianto dari GKJ, dan Betriq Kindy Arrazy
(panitia acara sekaligus pengurus APMCD).
Pemuda
Dari kacamata Alissa anak muda adalah simbol perlawanan. Perubahan besar datangnya dari
pemuda. “Anak muda adalah pelawan kemapanan. Ia tak mau terjebak dalam hal yang itu-itu
saja. Ia kritis. Anak muda adalah kesatria. Energi perubahan,” kata Alissa.
Makna sumpah pemuda sendiri bagi Kindy merupakan manifestasi pikiran para pemuda.
“Orang-orang muda yang dulu disebut pahlawan, pengkhianat, mereka mengalami
pergolakan pemikiran yang progresif,” kata Kindy. Ia mencontohkan seorang tokoh bernama
Kartosoewirjo. Meski dirinya berbeda dengan Soekarno, kedua orang ini masih tetap
berdialektika dengan sehat.
Dari Pendeta Indrianto sendiri mengajak pemuda untuk melawan sikap apatis. “Melawan
ketidakpedulian. Melawan aksi budaya kekerasan,” ucap Indrianto bersemangat.
Perdamaian
Kindy menjelaskan tentang dua PR utama menyangkut perdamaian. Ada dua faktor yang
mempengaruhi, yaitu internal dan eksternal. Internal menyangkut egosentrisme identitas
masing-masing etnis. Eksternal menyangkut masalah modernisasi, globalisasi. “Pemuda
berada di titik nyaman teknologi dan fasilitas. Pemuda menjadi autis dan acuh akan kondisi
sosial,” tutur Kindy dengan nada khawatir.
Sedangkan menurut Alissa, perdamaian tidak akan terjadi jika keadilan tidak ada.
“Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi,” ujarnya. Ia mencontohkan, jika Jakarta dan Papua
pembangunannya tidak adil, perdamaian akan sulit dicapai.
Mengutip perkataan Gusdur, “yang sama jangan dibeda-bedakan. Yang beda jangan disama-
samakan.” Alissa menggulirkan wacana tentang toleransi dan kearifan lokal. Menurutnya,
kearifan lokal di Indonesia yang begitu banyak harus digali dan tidak sekedar mencomot
modernitas. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/10/30/apmcd-peringati-sumpah-pemuda-dengan-jagongan-
perdamaian/
ESTA merupakan organisasi taekwondo yang berpusat di Yogyakarta. Dirintis oleh Master
Yoyok dan Master Ganis (Master adalah sebutan untuk pemegang sabuk tertinggi). Acara ini
dimaksudkan untuk menyemarakkan hari ulang tahun Yogyakarta ke-358 dan mencari bibit-
bibit unggul atlet taekwondo.
“Latar belakang acara yaitu untuk mencari bibit-bibit unggul juga forum silaturahmi atlet
untuk kemajuan taekwondo Indonesia,” ujar Yudhistira Arif selaku vice secretary turnamen.
Yudhistira berharap acara ini meningkatkan potensi taekwondo, karena melihat prestasi
taekwondo Indonesia menurut Yudihistira di acara seperti Sea Games dan Asian Games,
taekwondo Indonesia kosong. “Nantinya dalam pertandingan, rekrutmen atlet yang ingin
bertanding itu dipilih yang pas. Tidak sekedar nunjuk orang,”ucapYudhistira.
Bunga Diva, salah seorang peserta yang mendapatkan juara satu kategori cadet (tingkat
sebelum junior) under 37 tampak begitu bahagia mengalungkan medali di lehernya. Ia
bercerita jika yang menjadi motivasinya adalah keluarga. “Dapat dukungan dari orang tua.
Mengajari saya belajar lebih baik. Yang dari luar negeri yang main juga bagus-bagus,”
ungkap remaja kelas I SMP dari Surabaya ini. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/10/10/ajang-mencari-bibit-unggul-atlet-taekwondo/
Dalam pembukaan KCF, Rektor UIN Suka, Musya Asy’ari berpesan agar UKM bisa
berkembang maju untuk perkembangan mahasiswa yang lebih baik. Itu dilakukan melalui
perubahan. “Semua UKM melakukan perubahan fundamental secara substil,” ucap Musya.
Tahun 2014 ini, tema yang diusung KCF adalah Nandur Kreasi ing Pakerti. “Kita ngambil
tema itu karena kita pengennya menanamkan kreatifitas dalam acara ini. Kreatif itu kan
tertanam di dalam budi pekerti,” kata Nopa Purwanti, ketua panitia KCF. Nopa
menambahkan KCF ini tidak hanya untuk yang punya kreasi saja, tetapi yang tidak punya
juga ditampung dan dilatih bersama. Yang diundang tidak hanya UKM di UIN tapi juga
komunitas-komunitas yang ada di UIN atau luar UIN.
Konsep KCF tahun ini sebenarnya mirip pesta rakyat. Hal itu disampaikan M. Haidar Ali
selaku ketua Forkom. “Konsep tahun ini pesta rakyat. Pengen ngeksisin teman-teman UKM.
Ayo rame-rame, kita srawung sesama UKM lagi,” tuturnya. Ia berpendapat UKM sekarang
jauh lebih kompak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Lebih jauh Haidar mengajak para mahasiswa untuk tidak hanya sekedar kuliah. “Kalau
sebatas kuliah, saya rasa kurang untuk berkecimpung di masyarakat. Ayo, silahkan
bergabung dengan kami (UKM), tempatnya anak-anak kreatif di UIN Suka,” ucap Haidar.
Tak jauh berbeda dengan Haidar, Nopa berharap teman-teman mahasiswa tidak hanya kuliah
pulang. “UKM kadang kurang diperhatikan sama mahasiswa. Sekarang orientasinya lebih
mengarah ke kerja. Kita memaksimalkan KCF ini biar mahasiswa itu nggak cuma kuliah
pulang kuliah pulang, tapi punya kegiatan yang sesuai dengan keinginan mereka,” ujar
mahasiswa ilmu komunikasi ini pada ARENA.
Selain itu, Haidar berharap, pertama, di acara KCF 2014 ini mahasiswa semakin banyak yang
ikut bergabung dengan UKM. Kedua, teman-teman UKM bisa bersatu. Ketiga, menunjukkan
pada birokrasi kalau UKM itu baik untuk berproses. “UKM itu tempat berproses yang bagus.
Sehingga fasilitas-fasilitas dan ijin-ijin mohonlah dipermudah. Anak-anak UKM saya yakin
tidak ada yang pikirannya komersil. Tujuannya untuk berkreatifitas,” celoteh Haidar.
Rangkaian acara KCF 2014 sendiri akan diisi dengan banyak kegiatan. Diantaranya kirab
budaya, UKM expo, UKM show, art performance, musik, bazar, game, seminar, pameran,
dan lain-lain.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/09/25/ukm-perlu-lakukan-perubahan-fundamental/
Aksi damai yang diikuti pemuda dan mahasiswa lintas iman dan etnis, Senin (22/09).
Sekitar pukul 12.30 WIB, para pemuda yang terdiri dari mahasiswa UIN Suka, UGM, UII,
UKDW, serta komunitas lintas agama juga etnis bersatu menyuarakan perdamaian. Suara
damai dilakukan dalam bentuk spanduk, orasi, puisi, selebaran, juga tanda tangan
perdamaian.
Akhir-akhir ini masyarakat dijejali isu-isu kekerasan, informasi yang sifatnya destruktif,
merusak yang kemudian bentuk kegelisahan akan isu ini dimanifestasikan dalam bentuk
kegiatan dan aliansi damai. Hal tersebut diungkapkan Betriq Kindy Arrazy, koordianator
umum aksi APMCD. “Aliansi ini bertujuan untuk memproklamasikan perdamaian pada
khalayak. Saya rasa tidak semua masyarakat tahu hari perdamaian tanggal berapa?
Perdamaian adalah visi-misi dunia. Jadi semua harus memiliki kesadaran yang sama
mencetuskan perdamian ini,” ujar dia.
Ngarjito, koordinator lapangan (korlap) bertutur, aksi ini tidak hanya dilakukan di Jogja,
tetapi juga kota lainnya. “Acara ini untuk memperingati hari damai secara internasional.
Aliansi tidak hanya di Jogja, ada lima kota lain salah satunya di Jogja,” katanya.
Seperti teman-teman dari Papua yang hidup di Yogyakarta sendiri, mereka masih kesulitan
dalam mencari tempat tinggal. Tak hanya itu, diskriminasi identitas seperti menyebut mereka
hitamlah dan lain-lain juga terjadi. “Itu seharunya tidak terjadi di kota multikulturalisme ini,”
kata Betriq. Ia juga menyinggung tentang sentimen agama yang menjadi titik konsen
APMCD yang sebagian besar terdiri dari komunitas lintas iman.
“Harusnya masyarakat juga bisa memberikan gambaran Yogyakarta masih layak nggak?
Kalau mereka berani (memberi gambaran) seperti itu, saya rasa itu adalah bentuk representasi
masyarakat kritis. Masyarakat yang tidak terhegemoni oleh slogan-slogan,” ungkap Betriq
pada ARENA.
Setali tiga uang dengan Betriq, Ngarjito berpendapat jika perdamaian di Jogja semakin krisis
dan pudar. Ia mencontohkan dari kasus Florence. Bagaimana Florence menghujat masyarakat
Jogja dan bagaimana orang Jogja sendiri menghadapi Florence. “Contohnya kasus Florence.
Itu membuktikan bahwa perdamaian mulai pupus. Perdamaian dimulai dari diri sendiri.
Mulailah berdamai dari diri kita,” ucap mahasiswa yang juga duduk di jurusan Perbandingan
Agama UIN Suka ini.
Aksi damai yang bertema Menghilangkan Prasangka, Mewujudkan Perdamaian ini juga
menyatakan sikap yang diwujudkan dalam ikrar damai. Draft dari ikrar ini dibuat oleh Betriq
lalu dievaluasi, dikoreksi, dan dimodifikasi oleh tim pengonsep ikrar yang diwakili oleh
masing-masing komunitas yang tergabung dalam APMCD.
1. Perbedaan adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus dirayakan dan dihormati.
2. Perdamaian dimulai dari diri sendiri.
3. Menghilangkan prasangka adalah awal dari mewujudkan perdamaian.
4. Perdamaian adalah kondisi yang bebas dari situasi kekerasan dan diskriminasi.
(Isma Swastiningrum)
lpmarena.com, Dewan Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) UIN Suka
mengadakan diskusi publik dengan tema Yogyakarta: Kota Kebudayaan, Pendidikan, dan
Pergerakan. Acara yang diselenggarakan di Teatrikal fakultas Saintek, Sabtu pagi (20/9) ini
menghadirkan dua pembicara, Eko Prasetyo (Direktur Social Movement Institute/SMI) dan
Melki Hartomi A.S. (pengurus Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa/IKPM Bengkulu
Yogyakarta sekaligus aktivis SMI).
Melki berujar tentang pentingnya peran komunitas daerah. Di Yogyakarta sendiri hal itu
penting untuk membangun kesadaran intelektual dan meminimalisir konflik antar ras dan
etnis. “Asrama daerah mahasiswa bisa menjadi lumbung bagaimana pelestarian daerah kita
dijaga. Sebagai lumbung pendidikan, kebudayaan, dan alternatif pergerakan,” kata Melki.
Kasus pembunuhan Cebongan juga kasus Florence yang terjadi di Yogyakarta menggelitik
banyak orang. Eko sendiri mengkritisi tentang banyaknya masalah yang dihadapi
Yogyakarta, seperti meluasnya pembangunan hotel, munculnya iklan-iklan yang merajai
hampir semua jalanan (yang tentunya merusak keindahan kota), makin padatnya penduduk
dengan skala 1000 manusia per kilometer, tingginya angka kesenjangan masyarakat
industrialisasi pendidikan, dan pola hidup konsumtif. Melihat fenomena di atas, Eko
menekankan betapa pentingnya peran mahasiswa. “Ciptakan prakarsa-prakarsa baru.
Mahasiswa harus bisa menghidupkan kota!” ucap Eko.
Melihat Yogyakarta sekarang, Nur Hayati berujar diskusi publik ini juga mengingatkan peran
Yogyakarta sebagai kota bermacam julukan, khususnya kota kebudayaan tanpa vandalisme,
pendidikan yang berkarakter, dan pergerakan tanpa kepentingan golongan. “Harapannya
Link: https://lpmarena.com/2014/09/20/menghidupkan-peran-kota-yogyakarta/
lpmarena.com,Di bawah pohon beringin yang rindang di Depan Gedung Multi Purpose
(19/9), Konser “Untuk Rakyat” persembahan Teater Eska dan LPM Arena diadakan.Hadir
sebagai pengisi acara Rimba ARENA, Roesly Khaeza, Selendang Sulaiman, Seni Perlawanan
Oentok Rakyat (Spoer), Shohifur Rodho Ilahi, Sisir Tanah, Sabiq Ghidafian, Harik Giyarian,
dan Rusli Baihaqi
Usai magrib, pembuka acara, Hartanto Ardi Saputro (Rimba ARENA) mulai bercerita.
Tentang sebuah warung bernama warung Mak’e yang terletak di pojok timur perempatan
Abu Bakar Ali. Tempat transit berbagai macam kelas masyarakat dari wisatawan, tukang
becak, pemulung, pengamen, hingga pekerja seks komersial. Selama tiga hari Rimba
mengikuti dan ikut berbaur dengan salah satu pemulung yang hidup di jalanan Jogja itu.
“Pukul tiga pagi, pemulung Jogja sudah mulai bergerak berdasarkan rutenya masing-masing.
Hingga jam sembilan malam dengan durasi kerja 18 jam mereka kuat,” tutur Rimba yang
juga pernah ikut para pemulung itu tidur di bawah jembatan Lempuyangan ini. Cerita
berlanjut ke bagaimana kehidupan mereka, watak mereka, perselisihan antar permulung, dan
banyak lainnya yang ia rangkum dalam tulisannya berjudul Bocah-bocah Mayeng.
Berbeda dengan Rimba, Roesly Khaeza mantan pimred LPM Humaniush mengatakan kawan
aktifis dan pejabat pemerintahan sekarang naif dan bullshit. Mereka bekerja hanya untuk
golongan. “Persoalan tentang rakyat sering digembosi. Pemerintah adalah rakyat itu sendiri,”
kata Roesly, ia menambahkan jika saat ini banyak orang yang mengalami kerancuan
epistemologi berpikir. “Otensitas mahasiswa dipertanyakan. Jahit otensitas kita sebagai
mahasiswa, jangan mau diperbudak senior, karena yang pertama masuk neraka adalah
senior,” ujar Roesly provokatif dan ia lebih memihak pada nurani.
Selendang Sulaiman sebagai antitesa dari Roesly mengatakan jika yang salah bukan
pemerintah, tapi kita (rakyat). “Yang salah adalah kita sebagai rakyat, aktifis, reporter yang
Keberpihakan pada rakyat dalam bentuk yang lain diungkapkan juga dalam monolog dari
Habiburahman. Dengan property sebuah cermin dan buku, Habib bermonolg. Bahasa
tubuhnya berkisah tentang seorang pemuda yang ingin meremas tawa dari dasar sakit. “Aku
memilih kebahagiaan yang merusak. Cinta adalah sesuatu yang omong kosong, (tapi) hidup
adalah lawan dari cinta,” ucap Habib puitis.
Titik kritik “Kita dididik untuk memihak yang mana?” diungkpkan pula dalam nyanyian dan
gitaran dari Sisir Tanah, Seni Perlawanan Oentok Rakyat (Spoer), Harik Giyarian, Sabiq
Ghidafian. Juga pembacaan puisi selain dari Selendang Sulaimana, ada Shohifur Rodho Ilahi,
dan Rusli Baihaqi. Pertunjukan seni lukis dari Maya, serta semacam stand up comedy kritis
dari Bikhu Miftah Farid Paulus. Jika Harik berkata, “memihak yang mana terserah, asal
sadar.” Lalu Anda memihak yang mana?(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/09/20/refleksi-pertunjukkan-untuk-rakyat/
lpmarena.com, Unit Kegiatan Mahasiswa Koperasi Mahasiswa (Kopma) UIN Suka adakan
acara student fair bertema “Jogjaku Menyambutmu”. Acara yang diadakan di Gedung
MultyPurposeini menghadirkan 22 stand yang menjual beraneka ragam kebutuhan
mahasiswa. Berlangsung selama empat hari dari 16-19 September dengan beragam kegiatan
seperti talkshow, parade band, dan stand up comedy.
”Sekarang udah mulai semester baru dan banyak mahasiswa baru (maba) yang kebanyakan
dari luar kota. Acara ini membantu maba yang bingung mencari kebutuhan barang-barang
agar gampang mereka temukan disini. Kayak kasur, bantal, baju, tas. Juga menghibur
mahasiswa disini dan memberikan talkshow inspiratif,” ucap Aprilia Dwi Cahyani selaku
panitia acara mengungkapkan latar belakang diadakan student fair.
Selain itu Aprilia menambahkan, acara ini diadakan juga dengan tujuan memperkenalkan
Kopma kepada mahasiswa. “Mungkin orang-orang berpikir koperasi itu kayak tempat simpan
pinjam. Tidak hanya itu, disini kita juga belajar bisnis, wirausaha, bukan hanya tentang
simpanan wajib atau simpanan pokok,” tutur Aprilia yang juga duduk sebagai mahasiswi
KeuanganIslam semester 3. “Nanti juga ada talkshow inspiratif hari Rabu (18/9) dengan
narasumbernya bapak Ahmad Soleh. Beliau ini tunarungu yang berhasil meraih gelar doktor.
Jika bapak ini bisa kenapa kita tidak?” tambah Aprilia.
Siti Zamroh salah satu peserta yang mendirikan stand di student fair ini mengungkapkan jika
minat pengunjung untuk datang dan beli masih kurang. “Biaya masuk harusnya digratiskan,
karena empat ribu untuk mahasiswa itu lumayan mahal, apalagi ini diprioritaskan untuk
Salah satu pengunjung, Umi Salamah berpendapat jika dalam acara ini ia banyak
mendapatkan ilmu. “Acaranya seru, banyak ilmu yang didapat seperti tutorial hijab, make up,
dan acara talkshow. Lumayan ramai juga, harusnya publikasi lebih ditambahkan lagi,”
ungkap mahasiswi jurusan Manajemen Dakwah semester 5seraya memberikan
masukan.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/09/18/ukm-kopma-uin-suka-sambut-maba-dengan-student-fair/
lpmarena.com,Senat Mahasiswa UIN Suka bekerja sama dengan penerbit Glosaria Media
mengadakan peluncuran dan bedah buku Maha Cinta karya Aguk Irawan Mn. Acara yang
diselenggarakan di Convention HallUIN Suka, Selasa (16/9) ini menghadirkan tiga
narasumber, Ahmad Tohari (penulis Ronggeng Dukuh Paruh), Kuswaidi Syafi’e (sastrawan),
juga penulis buku langsung.
Novel ini berkisah tentang cinta sufistik yang menceritakan tentang tokoh bernama Imran
dengan perempuan yang dicintainya, yaitu Marwa. Namun, cinta Imran kandas karena Marwa
menikah dengan lelaki lain bernama Maman. Di sudut yang lain ada Laila yang setia
menunggu Imran. “Cinta bisa menukar malapetaka. Dalam cinta nikmat adalah sengsara,
sengsara adalah nikmat. Ini bukan cinta ingusan, tapi sufistik yang mengalahkan alam
semesta. Disini Imran punya cinta luar biasa. Imran boleh fana, tetapi cintanya tetap
membahana,” ucap Kuswaidi. Ia juga menambahkan bahwa penulis novel itu seperti Tuhan.
Ada aktor, suasana, kisah yang dibangun. Ia tak ubahnya Tuhan kecil yang menciptakan
dunianya sendiri.
Ahmad Tohari sendiri sebelum memberikan penilaiannya, ia bertanya kepada hadirin, “Apa
itu cinta?” Gadis yang duduk di bangku depan menjawab,“Cinta adalah sesuatu yang
membuat saya bahagia.” Tidak ada definisi yang tepat tentang apa itu cinta, Tohari lalu
berkisah tentang sedikit kisah cintanya di masa lalu. Dengan cinta ia membuat cerpen, puisi,
dan karya yang lain (untuk seseorang yang dicintainya).
Dalam pemakaian diksi “cinta” sendiri, Tohari dalam sebuah novelnya yang berjumlah
sekitar 400 halaman, ia takut menulis kata cinta. Saking agungnya kata tersebut, novel
tersebut nir kata cinta. “Motivasi terciptanya alam semesta adalah cinta. Jika ada yang
berkata ‘aku cinta kamu’ itu gombal, yang benar adalah ‘aku birahi pada kamu’,” tutur
Tohari. Ia juga menyayangkan karena diksi cinta dengan mudah diumbar di lagu-lagu pop
dan kafe-kafe.
Penulis novel sendiri berujar jika novel ini terinspirasi dari kisah nyata seorang gurunya.
Aguk juga menitikkan air mata saat membaca sebuah ayat yang menerangkan jika seseorang
yang cintanya langgeng maka ia akan mati syahid. “Novel ini lahir dari kegilaan. Cinta
adalah rangkuman dari asmaul husna, (sedih) betapa murahnya mengumbar cinta dalam buku
saya,” celoteh Aguk dengan nada menyesal.
Fajar, wartawan dari Republika mengkritik jika judul dan cover terlalu nge-pop. “Judul dan
cover terlambat sepuluh tahun. Judul tentang cinta-cinta sudah booming di tahun 2005.
Sangat disayangkan jika isinya bagus tapi sampulnya ngepop,” kritik Fajar.(Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/09/18/makna-cinta-dalam-novel-maha-cinta/
lpmarena.com,Pemilu 2014 telah usai, penguasa baru akan datang dengan semua kelebihan
dan kekurangan. Dalam rangka menyambut semangat pembaruan kekuasaan baru, Social
Movement Institute (SMI) bekerja sama dengan Senat Mahasiswa UIN Suka (Sema-U) dan
Tribun Forum mengadakan diskusi publik dengan tema Menatap Masa Depan Sebuah Rezim,
Sabtu pagi (30/8). Acara dilaksanakan di Gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Suka dan
menghadirkan pembicara Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) selaku tokoh nasional dan Eko
Prasetyo dari SMI.
Untuk rezim ke depan, Gus Sholah menginginkan adanya kepastian hukum di Indonesia.
“Kalau masalah hukum diselesaikan, otomatis ekonomi tumbuh. Jika ekonomi tumbuh maka
akan tumbuh masyarakat produktif. Dari itu kepastian hukum diperlukan,” kata Gus Sholah.
Ia mencontohkan tentang kasus anak Hatta Rajasa yang memberi indikasi tumpulnya hukum.
Hukum kalah oleh uang, kekuasaan, dan tekanan massa.
Mengenai masalah budaya hukum sendiri.Gus Sholah mencontohkan, saat Anda naik motor
jam dua belas malam dan rambu lalu lintas berwarna merah, apa yang Anda lakukan?
Berhenti atau melaju? “Ada yang lebih tinggi daripada hukum, yaitu etika,” tambahnya.
Lalu tentang masalah pendidikan yang dikritik dari pendidikan di Indonesia menurut Gus
Sholah adalah tentang banyaknya sekolah swasta yang terabaikan, kesejahteraan guru, mutu
guru, dan kurangnya pemerataan pendidikan. Ia juga menyinggung tentang dualisme
pendidikan di Indonesia. “Lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pesantren. Terjadi
dualisme, pesantren yang ikut kementerian agama dan pendidikan umum yang masuk
Kemendikbud. Seolah salah satu dianaktirikan. Kita harus memahami dualisme tersebut dan
mempertemukannya,” ucap Gus Sholah yang juga pengasuh di Ponpes Tebuireng ini.
“Pergantian rezim baru memakan energi dan tenaga. Jokowi-JK telah ditetapkan KPU
sebagai yang terpilih. Bagimana rezim baru ini memberi tanggapan?” ungkap Romel
Masykuri, ketua Sema-U saat memberi sambutan. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/08/31/setumpuk-masalah-untuk-rezim-baru/
Salah satu petisi dalam lukisan di pameran seni rupa tentang hutan.
Latar belakang pameran ini bermula dari keberhasilan masyarakat desa Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah dalam pengelolaan bersama hutan negara. “Membagi ketertarikan
kitalah akan keberhasilan pengelolaan hutan di desa Ngadisono hingga sampai menaikkan
kesejahteraan masyarakat setempat,” kata Ope’e Wardany, penanggung jawab acara.
Ope’e menjelaskan jika karya seni rupa adalah cabang seni yang berisi bahasa estetika.
Ketika berbicara dengan bahasa seni, orang tidak sekedar bicara karena orang yang
menangkapnya macam-macam. “Orang punya perspektif dan intrepetasi yang luas. Dalam
bahasa seni rupa, ada penyerapan fenomena. Ada sisi mengolah,” ungkap Ope’e.
Dalam riset di desa Ngadisono sasaran yang ditembak adalah hutan negara. Perhutani sebagai
birokrat ‘pemilik hutan’ tidak membolehkan mengelola langsung. Namun, pada tahun 2001,
masyrakat dan Perhutani turut serta menyuburkan hutan bersama. Ope’e menyebutnya
sebagai kesedaran turut serta. Dulu desa Ngadisono didominsi hutan pinus saja, tapi sekarang
tidak. Ada tanaman jenis lain, baik tanaman pangan maupun tanaman hutan. Hasilnya
digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Dari tingkat pendidikan hingga menaikkan
ekonomi masyarakat.
Pameran ini juga merupakan semangat yang baik untuk menjaga lingkungan. “Mengabarkan
bahwa disini ada isu-isu lingkungan. Ada gerakan untuk bernegosiasi mengelola hutan,” ujar
Bagus Dwi Danto, vokalis Sisir Tanah selaku pengisi acara. Ia juga bilang hutan di Indonesia
ini bobrok. “Sudah jadi rahasia umum. Indonesia kaya dengan hutan. Banyak hutan dalam
tanda kutip ‘lepas’,” katanya.
Dari itu, Ope’e berharap pameran ini mendapatkan aspirasi dari masyarakat untuk bersama-
sama menyelamatkan hutan. “Sekarang sudah banyak gerakan lestarikan hutan. Aku pikir
hutan berkualitas sangat bergantung dengan orag sekitar. Ketika turut merasa memiliki,
pengelolaan akan lebih baik,” ujarnya.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/08/25/menyelamatkan-hutan-yang-bobrok-melalui-kritik-kanvas/
Penampilan UKM Menwa dalam sosialisasi di depan pangdem. (foto : Lugas Subarkah)
lpmarena.com, Absennya sosialisasi Unit Kegiatan Mahasiswa tahun (UKM) 2013 lalu juga
kisruh yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya membuat acara tahun 2014 ini mengalami
perbaikan. Setelah acara pembukaan dari rektor UIN Suka, Musa Asy’arie, Kamis (21/08).
Maba mengikuti rangkaian acara berikutnya, yaitu sosialisasi UKM.
Tahun ini, sosialisasi UKM terbagi menjadi dua tempat, indoor (gedung multi purpose) dan
outdoor (depan pangdem/panggung demokrasi). Acara ini berlangsung dari 08.00-15.30
WIB.
Ketua Forum Komunikasi (Forkom) UKM, M. Haidar Ali mengungkapkan bahwa yang
membedakan sosialisasi UKM tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah kepanitiaan.
Teman-teman panitia OPAK maupun pihak Dema tidak boleh ada yang masuk sosialisasi
kecuali orang-orang tertentu yang sudah disepakati teman-teman UKM, yakni masing-masing
dua dari panitia OPAK fakultas, universitas, dan Dema. “Sebenarnya konsep itu tetap sama,
cuma kita yang pertama pelaksanaan dari teman UKM sendiri. Kedua, acaranya agak
diwahkan. Acara di MP dan pangdem besok ini benar-benar bagaimana teman-teman maba
itu tertarik dengan UKM,” ucap Haidar (21/08).
Ami Prabowo selaku koordinator keamanan panitia sosialisasi UKM mengatakan bahwa
sosialisasi tahun ini lebih baik dari tahun sebelum-sebelumnya. “Sosialisasi UKM tahun ini
lebih baik. Pertama, kondusif, kalau yang dulu-dulu baru setengah perjalanan bentrok. Kedua,
kerjasama antar UKM dengan panitia fakultas, universitas, dan UKM lebih terjamin. Tingkat
kepercayaan tinggi,” jelas Ami yang juga menjadi anggota provost I UKM Menwa.
Berbeda dengan Menwa, UKM Gita Savana yang menjadi pembuka sosialisasi UKM di
dalam MP menampilkan koor lagu When You Believe. Dibti Witiningtyas Rahayu selaku
senior di PSM Gita Savana lebih menyukai sosialisasi tahun ini karena lebih tenang dan tidak
ada provokasi. “Lebih enak karena dikuasai teman UKM, tidak ada campur tangan panitia
fakultas dan universitas. Ini menguntungkan UKM dan maba. Dulu kakak senior ngompor-
ngompori dibilang acting, nggak usah ditonton, tapi yang tahun ini nggak ada,” ujar Dibti.
Meski pelaksanaannya lancar, Defi Astuti Hidayanti, maba jurusan Manajemen Pendidikan
Islam bercerita jika sosialisasi UKM tidak begitu jelas. “Keramaian, berisik, banyak yang
ngomong, dan di bawah ramai. Anak-anak banyak nengok HP. Mike juga kurang keras,”
keluh Defi.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/08/22/kembalinya-ukm-di-opak/
Musya Asy’arie membunyikan gong tanda pembukaan OPAK 2014, Kamis (21/08). foto: Abdul Majid
Lpmaren.com,Suara derap kaki mahasiswa baru (maba) menggetarkan tanah UIN Suka
(21/8). Aksesoris beraneka rupa dan bermacam warna dari biru, kuning, merah, ungu
mewarnai hari pertama Orientasi Pengenalan Akademik dan Mahasiswa (OPAK).
Di panggung demokrasi (pangdem) lagu Indonesia Raya dan Darah Juang dikumandangkan
pukul 07.00 WIB, diikuti dengan pembacaan sumpah mahasiswa. Seorang panitia Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berdiri di atas pangdem memprovokasi dengan ucapan:
Jangan berdiam diri di dalam kampus. Jangan berdiam diri di dalam kelas.
Sekitar 3.301 maba lalu memasuki gedung multi purpose (MP) untuk mengikuti acara
pembukaan dari rektor. Rektor UIN Suka, Musa Asy’arie memberikan wejangan-wejangan
untuk generasi UIN Suka angkatan 2014 ini. Musa berpesan pada maba, jika ingin sekolah
sampai ke tingkat S2 dan S3, IPK harus tinggi. “Belajar cepat, IP tinggi, dan bermanfaat.
Untuk bisa menjadi orang bermanfaat ada dua kuncinya. Pertama ilmu pengetahuan. Kedua
akhlakul karimah,” ucap Musya dalam pembukaan. Ia juga berpesan, untuk bisa bertahan di
UIN Suka yang multikultural, maba harus berpandangan terbuka dan dinamis.
Selain dari rektor, ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U), Syaefuddin
Ahrom Al Ayyubi (Ucok) dalam sambutannya mengatakan jika maba yang duduk di MP
adalah orang-orang terpilih dan kuliah bukan satu-satunya jalan mencapai kesuksesan.
“Kalian adalah orang-orang terpilih untuk belajar di kampus UIN Sunan Kalijaga. Kampus
paling murah sedunia dan akhirat. Kuliah buka satu-satunya jalan untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Tapi diri kalian sendirilah yang akan menentukan nasib kalian sendiri,”
kata Ucok.
Ketua OPAK universitas, Ahmad Syauqi sendiri memberikan sambutan bahwa Indonesia
dibangun atas perbedaan. Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila terbukti mampu menyatukan
perbedaan dengan berkumpulnya maba di MP. “Mahasiswa bukan menciptakan kelas-kelas
baru, akan tetapi bisa bermanfaat bagi sesama,” tukas Syauqi.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/08/21/pembukaan-opak-2014-maba-diminta-bereksperimentasi-
seradikal-mungkin/
Minyak menelan rumah kami, lebih hangus dari api, abunya mengental jadi noda hitam,
membesar dan melebar, estuari sunyi dalam remang mahakelam, angin menarikan asap di
rawa hitam, perdu kian liar di langit panjang, merimbuni kaki kami, lambung beradu batu…
Lpmarena.com,Ini adalah cuplikan puisi berjudul “Estuari” karya F. Aziz Manna yang
dibacakan penulisnya di acara Diskusi Sastra PKKH UGM #EdisiKhusus (13/8). Acara yang
digelar di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM ini menghadirkan tiga
penyair dan pembaca puisi Joko Pinurbo (Yogyakarta), Ahmad Yulden Erwin (Lampung),
dan F. Aziz Manna (Sidoarjo) juga Retno Darsi Iswandari, kritikus sastra dan pembahas.
Ahmad Yulden membacakan karya puisinya berjudul Hantu-hantu Halaman Rumah dan
Perawi. Lalu disusul Joko Pinurbo (Jokpin) yang membacakan seri puisi suratnya: Surat
Cukur, Surat Batu, Surat Kopi, Surat Kau, dan Surat Pulang. Terakhir, Aziz Manna selaku
penyair paling muda membawakan tiga puisinya: Angin Berhembus, Salju Hitam, dan
Estuari.
Diskusi dimulai oleh Retno yang memilih membahas karya Jokpin terlebih dahulu. Retno
mengatakan seri puisi surat Jokpin ini memiliki kecerendungan untuk saling memasuki,
misalnya antara fiktif dan faktual. Juga repetisi yang sering muncul. Misal, ada bagian-bagian
tertentu dalam Surat Batu yang muncul di cerpen Jalan Asu yang dimuat di Kompas Minggu
(10/8), dan itu terjadi di puisi dan karya Jokpin yang lain.
Dimas Indiana Senja, peserta diskusi berkomentar meski repetisi tapi tidak membuat
pembaca bosan. “Ada repetisi itu biasanya membosankan, tapi di Jokpin tidak. Ini membuat
Dalam karya Ahmad Yulden Erwin, Retno membahas jika Perawi adalah orang yang
menceritakan atau menyampaikan, seperti pada hadis-hadis Bukhori; Muslim. “Puisi Pak
Yulden ini menggambarkan citra peradaban. Kelihaian memindai objek dan metafor tidak
sembarang dipilih,” ucap Retno. Puisi-puisi Yulden bertemakan sejarah yang belum usai,
seperti dalam puisi berjudul Hantu-hantu Halaman Rumah yang coba menggali ingatan kita
tentang mayat-mayat PKI.
Berbeda dengan dua penyair di atas, Aziz Manna mencoba menggambarkan luka yang
ditelanjangi dengan detail dalam puisinya. “Kita melihat arsitektur luka yang begitu
menyakitkan. Khusunya tentang tema lumpur Lapindo yang nggak selesai-selesai,” tukas
Retno.
Berbicara sastra, tidak bisa lepas dari sejarah. Sastra mengganggu ingatan agar kita tidak
lupa. Sastra itu menyentuh hati. “Sastrawan membuat jarak menjadi dekat. Teknik bisa
bermacam-macam, tapi substansi (menyentuh) itu yang perlu diraih. Merampas jantung
Anda. Merebut hati Anda hingga Anda bergetar,” kata Ahmad Yulden Erwin. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/08/18/kelut-puisi-tiga-penyair/
Lukisan berjudul “Peace of Mind” karya Deddy PAW dalam pameran Ibu Pertiwi.
Lebih lanjut Rismilliana menjelaskan judulpameran lebih memilih “Ibu Pertiwi” daripada
“Indonesia” karena jika “Indonesia”itu hanya sebatas label. “Indonesia itu label aja, tapi
kalau Ibu Pertiwi itu lebih sampai ke dalam. Lagunya kankulihat ibu pertiwi, sedang
bersusah hati air matanya berlinang… Sekarang yang disedihkan ibu pertiwi itu apa sih? Itu
kemarin yang dimunculkan sama Romo Sindhu ketika membuka pameran ini,” jelas
Rismilliana.
Lima seniman menyuguhkan karya dengan ciri khas masing-masing. Deddy PAW dalam
setiap karyanya menghadirkan sosok Buddha yang mengajarkan tentang persatuan dan
kedamaian. Deddy dengan apel enigmatis-nya lebih banyak bermain akan teka-teki,
kemiteriusan, simbol, tanya, juga mitos apa yang tersembunyi dalam buah apel. Seperti yang
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 314
tecantum dalam kisah-kisah Adam-Hawa, Injil, Fatimah Az Zahra, mitologi Yunani, dan lain-
lain. Apel sebagai simbol keabadian, cinta, kekuatan, kesempurnaan, kecantikan, kesehatan,
dan sebagainya.
Meski Deddy muslim, ketika ditanya kenapa Buddha? Ia menjawab karena Buddha
merupakan tokoh teladan universal bagi semua agama. “Kebetulan saya rumahnya kan dekat
dengan candi Borobudur saya ingin memperkenalkan contoh manusia teladan yang dekat
dengan saya. Bukan tentang agamanya, tetapi tentang ajaran-ajaran baik. Buddha itu ya
agamawan, ya Nabi, ya orang bijak,” tambah seniman yang juga pernah menjadi wartawan
seni di Harian Media Indonesia selama 16 tahun ini kepada ARENA (11/8).
Saat memasuki pintu pameran, pengunjung disuguhi dua patung orang tradisional karya
Wahyu Santosa. Patung setinggi 2,7 meter ini memperlihatkan potret kesenian tradisional
Indonesia yang diberi judul Kuda Lumping dan Kendang.
Tak kalah menarik ada karya lukisan surealis Anggar Prasetya dengan semangat refleksi
politik dan kepemimpinan Indonesia. Seperti dalam lukisannya yang berjudul DT XXXV, DT
XXXVII (Atasan yang Terperangkap, DT XXXIX (Peti),dan Grafiti Tanpa Makna. Juga karya-
karya lukisan Made Wiradana yang menggambarkan metamorfosa hewan, kondisi, atau
keadaan sosial. Seperti dalam lukisan Made yang berjudul Horse dan Nyanyian Pagi.
Menarik untuk dipertanyakan lagi: “Setelah merdeka lalu apa?”. Atau jangan-jangan benar
apa yang dikatakan Dr. Hatta: Sebelum merdeka kita banyak cita-cita, setelah merdeka kita
kehilangan rupa.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/08/13/renungan-untuk-hari-kemerdekaan/
Panggung yang dibagi menjadi tiga ini dari arah kanan panggung muncul sesosok manusia
berambut panjang berpakaian putih yang menyimbolkan kebaikan. Lalu dari arah kiri
panggung seorang manusia bertopeng seram sebagai simbol kedurjanaan. Juga di belakang
panggug terciptalah sebuah siluet yang memperlihatkan orang menulis dengan penanya, yang
dari tulisannya itu muncul sesosok manusia yang bangkit dari sebuah lembaran yang penulis
tuliskan dengan penanya. Penonton seperti dibawa ke dalam sebuah dunia mistis.
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (Al-Qalam:1). Nun merupakan sebuah
teka-teki, tidak ada yang tahu dengan pasti apa sebenarnya arti dari Nun sendiri. Ada
beberapa penafsir yang mengatakan Nun adalah ikan paus, Nun itu sebuah perahu, sebuah
kendi, atau sebuah tempat tinta yang berisi pena. “Nun itu melengkung dengan titik di tengah,
seakan-akan itu seperti tempat tinta dengan pena di tengah. Ada juga yang mengatakan Nun
itu adalah insan manusia, apa yang dituliskan adalah apa yang dijalani,” ucap Jauhara Nadvi
Az-zadine, lurah Teater Eska.
Apresiasi datang dari M. Badrul Munif (Mumun) selaku lurah dari Sanggar Nuun. Dalam
diskusi evaluasi karya ia menanyakan benang merah apa yang dibawa Teater Eska tentang
banyaknya penafsiran tentang surat Al-Qalam di tengah kebudayaan saat ini yang carut
marut. Saat manusia berjalan dengan ideologi mereka sendiri-sendiri. “Sudah dipancing
banyak tafsiran tentang surat Al-Qalam. Namun, tagline atau benang merah apa yang Teater
Eska dapatkan sehingga dalam menyampaikan itu bisa terbaca, dalam artian dekat dengan
realita sekarang?” Tanya Mumun. Az-Zadine pun menjawab yang ingin Teater Eska
sampaikan adalah tentang pena, tinta, dan lembaran. “Tagline-nya itu tiga, pena, tinta, dan
Apresiasi lain datang dari penonton bernama Banu. Ia menyayangkan jika pertunjukkan ini
terlalu maskulin dan tidak ada sisi feminisnya, sedangkan Tuhan itu ada sisi maskulin dan sisi
feminis. “Seharusnya ada yang berakting perempuan atau setidaknya menampilkan sesuatu
itu equality (seimbang—red),” kata mahasiswi jurusan filsafat dari Universitas Paramadina
ini. (Isma Swastiningrum)
lpmarena.com,Sabtu malam (5/7), Sanggar Nuun mengadakan pentas musik puisi yang
diadakan di Halaman Laboratorium Agama UIN Suka. “Musik Puisi Tanwin (Ketika Nuun di
Titik Hening)” menjadi tema persembahan Sanggar Nuun dalam menyambut ramadhan bil
jamiah 1435 H.
Pentas ini menghadirkan enam pertunjukan yang terdiri dari satu musik puisi yaitu Gurbar
Munya; tiga komposisi musik yaitu Gurbar Munya, Ketika Hening Menjelma, dan
Romantika Awan; dan dua lagu yaitu Cermin dan Rindu Rasul. Sebagian besar, musik yang
ditampilkan, digarap dan disusun sendiri oleh awak-awak Sanggar Nuun, kecuali Rindu
Rasul karya Gito Rollis.
Tema Tanwin di sini mempunyai filosofi bahwa ketika tanwin bertemu huruf hijaiyah akan
menimbulkan bunyi (juga makna) yang bermacam-macam. Misalnya ketika tanwin bertemu
dengan ya’, nuun, mim, dan wawuakan dibaca idghom bighunnah, ada juga idhar, ikhfa, dan
lain-lain. “Tanwin kan suara bunyi nuun mati, dan ketika itu bertemu huruf-huruf hijaiyah,
tanwin bisa jadi apa saja. Bisa dengung, jelas, kadang bisa menghilang. Filosofi itu
diejawentahkan dalam komposisi, kadang bisa Arab, Padang, ataupun Jawa,” kata Zulfan
Arif, anggota Sanggar Nuun. Ia juga berujar pemaknaan dalam pertunjukkan ini diserahkan
pada penonton.
Maksud ‘hening’ berarti perjalanan spiritual. Ketika hening menjelma, di sunyi belantara, di
keberisikan jalan, dimanapun. Hening mungkin juga kita cari dalam putaran tasbih, dalam
perjalanan, atau dalam keriuhan. Lalu, dimana ujung dari sunyi ini? Dimana ujung dari
hening ini? Sanggar Nuun pun bersyair: “Pejamkan mata dan terbanglah”.
Elsa Finda R. selaku penonton berpendapat jika ia terhibur dengan kolaborasi musik tradisi
dan modern yang dihadirkan Sanggar Nuun. “Menemuan nuansa musik baru, nggak cuma
pop aja. Dari temanya sendiri menurut saya, tanwin itukan dobel, mungkin pendobelan antara
musik tradisional dan modern. Pendobelan puisi dan musik. Pendobelan kecintaan akan
Tuhan, nabi, dan lain-lain,” tutur mahasiswi jurusan Ilmu Hukum semester II ini. (Isma
Swastiningrum)
Link https://lpmarena.com/2014/07/06/tanwin-dalam-musik-puisi-sanggar-nuun/
Seorang pengunjung tengah melihat-lihat pameran Teks dan Foto “Sekitar Kemerdekaan” di Bentara
Budaya Yogyakarta.
Itu adalah salah satu kutipan Bung Karno yang terpajang dalam Pameran teks dan foto
“Sekitar Kemerdekaan” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, 24 Juni-2 Juli
2014.Pengunjung diajak masuk pada suasana perjuangan tempo doeloe bahkan dari pintu
masuk ruang pameran. Alunan musik keroncong dan kemerdekaan terdengar sayup-sayup di
dalam ruangan yang dindingnya berisi puluhan foto dan teks “Sekitar Kemerdekaan”. Teks
dan foto itu berasal dari beberapa penenerbitan sekitar tahun 1944-1946, diantaranya dari
Harian Merdeka dan majalah Jawa Baru atau Java Bode.
Ika Yuni Astuti selaku pengunjung mengatakan jika sebagai generasi muda kewajiban kita
adalah mengisi kemerdekaan. “Mengutip apa yang disampaikan oleh panglima besar Jenderal
Soedirman. Perjuangan kemerdekaan telah usai, sekarang saatnya bagaimana kita mengisi
kemerdekaan ini,” katanya. Berbeda dengan Ika, Ki Aryomerasa malu karena belum bisa
Foto dan teks disajikan juga dimaksudkan dalam upaya mengingatkan kembali tentang
perjuangan bangsa Indonesia dahulu dalam mencapai kemerdekaan. Jajahan bangsa Eropa
(Belanda-red) yang begitu kental membuka mata kita untuk jangan berhenti mewarnai
budaya Indonesia dengan budaya sendiri. Seperti semangat yang digelontorkan oleh
pengunjung bernama Tommy Purnama yang bersedia menjadi penerus para pahlawan.
“Soekarno akulah penerusmu! Indonesia adalah perjuanganku!,” ungkapnya.
Acarayang digelar dalam rangka memperingati kemerdekaan RI ke-69 yang jatuh 17 Agustus
2014 itu juga memasang sebuah kutipan berbunyi,“Kita sedang membuat sedjarah. Sedjarah
itoe baroe permoelaannja, baroe bab I. Bab II akan kita boeat. Dapat kita toelis dengan
warna merah atau poetih”oleh Tan Malaka. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/06/29/mengingat-kembali-perjuangan-para-pahlawan/
Apabila aku bosan main catur, itu artinya aku bosan hidup.permainan catur adalah
tantangan bagi ketajaman otak dan kekuatan sikap jiwa manusia : sebagaimana taktik cinta,
taktik perang, politik dan lain sebagainya.
Uniknya, pentas yang berasal dari latar dan budaya barat ini dikisahkan dengan model
Melayu. Ini terlihat dari latar, dialek aktor, dan kostum. Berkisah tentang seorang bangsawan
bernama Datuk yang ingin dibunuh oleh seseorang yang dendam terhadap Datuk karena
sikapnya yang menindas terhadap orang kecil. Namun karena kecerdikan si Datuk, seseorang
yang ingin membunuh ini malah dibuat bingung oleh Datuk. Hingga akhirnya yang terbunuh
bukanlah Datuk tetapi seseorang yang ingin membunuh Datuk.
Dalam pentas ini, wacana yang ingin disampaikan adalah mengenai strata sosialyang mana
kelas rendah di masyarakat begitu mudah dibohongi dan dibuat bingung. “Berbicara tentang
tingkatan dan perbedaan strata, juga persoalan lahan. Dimana dalam kasus seperti itu
diperlukan siasat dan strategi untuk menyelesaikan. Dibutuhkan pemikiran cepat dan tepat,”
ujar Ica yang menganalogikan dengan permainan catur.
Hal berbeda disampaikan oleh Fendi, salah seorang penonton. Menurutnya, pentas ini ‘gagal’
ketika mau memberikan tawaran yang baru. “Sudah terlalu banyak yang menghadirkan hal
seperti itu. Cuma yang bikin menarik, segi bahasa. Jarang bahasa lain yang kita mainkan,
seperti bahasa Jawa, Melayu, Arab,” ucap Fendi. Ia juga mengkritik tentang musik yang
mengiringi, “Saat musik dimainkan sendiri itu nikmat, tapi nggak pas sama aktor,” ujarnya.
Sementara itu, mbah Tohir(aktor teater sepuh) memberikan pesan kepada tim produksi
sendiri untuk jangan berhenti sampai disini. “Yang penting satu, harus dikasi awalan dan
akhiran. Karena kebanyakan kalau tekun kehilangan ketekunan. Sadar kehilangan
kesadaran,” tuturnya.(Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul F.
Link: https://lpmarena.com/2014/06/22/catur-dalam-bingkai-teater/
Dari kiri: Dewi, Mira, dan pembawa acara tengah memberikan talkshow.
Novel yang dikerjakan Mira kurang lebih satu bulan ini terinspirasi ketika ia mengikuti KKN
di daerah Jepara, tepatnya di Karimunjawa. Selama dua bulan Mira KKN di sana, ia
memperhatikan masyarakat, kondisi sosial dan kebudayaan yang ada. Berawal dari catatan
harian lalu dibuatlah novel dan diikutsertakan lomba novel remaja Grasindo yaitu PSA#2
(Publisher Searching for Authors 2), dan Mira masuk nominasi.Novel ini selain berkisah
tentang bagaimana Senja(tokoh utama pria) ingin mengejar Bintang (tokoh utama wanita)
juga sebagai sarana menyalurkan kegelisahan tentang pengajar di Indonesia.
“Menurut saya ini perlu adanya kritik tentang tenaga pengajar disana (Karimunjawa-red).
Sebagai seorang pengajar ketika mereka memilih sebagai seorang pengajar harusnya mereka
memiliki rasa tanggung jawab, respon atas kerja yang mereka pilih,” cerita Mira.Ia pun
gelisah dan bertanya apa ia harus demo atau melakukan petisi kepada pemerintah, tetapi
akhirnya ia memilih alternatif lain. “Karena saya anak Sastra Indonesia, saya punya bekal
pengetahuan untuk belajar dan menulis. Ya sudah, saya harus menulis. Dan itulah sarana saya
untuk menunjukkan bahwa saya juga punya kritik tentang pengajar,” tambah gadis kelahiran
1992 ini.
“Ada pelajaran tentang bagaimana Bintang ini suka mengajar. Jadi ada passion, ada ketulusan
dari anak-anak muda ini di tempat-tempat terpencil dan itu yang didapatkan Senja dari
Bintang, dan itu yang membuat Senja jatuh cinta pada Bintang. Jadi bukan alasan menyek-
menyek, walaupun mungkin plotnya terkesan datar,” tutur Dewi memberikan komentar.
Penerbitan novel ini bisa menjadi inspirasi mahasiswa-mahasiswa lain yang akan melakukan
KKN. Dari kisah sehari-hari yang dialami di tempat KKN bisa dinarasikan dan
dideskripsikan menjadi sebuah karya abadi berupabuku. Tidak hanya KKN lalu pulang.
(Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul F.
Link: https://lpmarena.com/2014/06/20/novel-yang-lahir-dari-kkn/
Sesi foto Saptohadi bersama warga RW 12 kelurahan Demangan dalam acara Deklarasi Kawasan
Bebas Narkoba, (15/6).
lpmarena.com,Keunikan bukan menjadi monopoli grup band tertentu saja. Namun pecandu
penyalahgunaan narkoba juga unik. Hal itu diungkapkan oleh Saptohadi, ketua Badan
Narkotika Nasional (BNN) kota Yogyakarta dalam acara Deklarasi Kawasan Bebas Narkoba
Warga RW-12 Kelurahan Demangan Kecamatan Gondokusuman (15/6).
Ia menjelaskan pentingnya sosialisasi tidak hanya di ruangan, tetapi juga di luar ruangan.
BNN melakukan terobosan yang berbeda tentang sosialisasi. Sosialisasi lewat banner,
pamflet, serta apa pun yang berbau testimoni BNN tidak lagi mengembangkannya. Karena itu
malah semakin membuat orang penasaran untuk mencoba narkoba. Alih-alih menghindarkan
malah menjerumuskan. “Dari yang pernah kecanduan, ditanya kenal narkoba darimana?
Katanya dari sosialisasi, dari pameran BNN,” kata Sapto prihatin.
Metode penghindaran narkoba ada tiga, yaitu pencegahan, pemberdayaan masyarakat, dan
pemberantasan. Upaya pencegahan dimulai dari yang tubuhnya sehat dan imunnya kebal
untuk sadar jangan menyentuh narkoba. Upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui
kampanye. Dan upaya pemberantasan, untuk para pengedar, sindikat, serta bandar ditangkap
dan diadili. “Kita kan ada yang namanya UUD narkotika. Disana pasti ada tindak pencucian
uang. Jika sindikat hanya dihukum saja tetapi asetnya masih itu tidak akan putus,” papar
Sapto saat diwawancarai ARENA usai memberikan sambutan.
Menurut penelitian, 100% pecandu adalah perokok dan 90%-nya peminum. “Rokok adalah
benih-benih yang menjadikan orang sebagai pecandu,” ujar Sapto. Ia menjelaskan 2,2% rata-
Pecandu narkoba bisa dideteksi lewat rambut, liur, hingga DNA. Meski hal itu dicoba untuk
dimanipulasi lewat minum air kelapa muda sampai yang paling ekstrim minum autan, BNN
tidak bisa dibohongi. “Kita ada IPWL, Institusi Penerima Wajib Lapor. Jadi program untuk
pecandu agar lebih baik mereka direhabilitasi daripada dipenjara,” tukasnya. Dan institusi di
Jogja yang bisa dirujuk antara lain Rumah Sakit Jogja dan puskesmas Umbulharjo. Saptohadi
sendiri berujar jika ada orang yang tahu kasus narkoba tapi tidak melaporkan termasuk
pidana.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/06/15/saptohadi-deklarasikan-kawasan-bebas-narkoba/
lpmarena.com, Jumat malam (13/6), alunan musik dari Pecel Pincuk membuka pagelaran
Kalijaga Awards 2014. Sebuah ajang apresiasi sineas (orang yang ahli tentang cara dan
teknik pembuatan film) muda Indonesia yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Jamaah Cinema Mahasiswa (JCM). Bertempat di Gedung MultiPurpose UIN Suka,
tahun ini Kalijaga Awards mengusung tema Wisata Sinema Yogyakarta.
Ketua panitia, S. Arif mengatakan ajang ini adalah ajang adu kreatifitas di bidang film.
Sebanyak 104 film dilombakan. “Jogja tidak hanya kaya dengan wisata, tapi juga kaya
dengan film dan sineas yang berbakat dan hebat. Jogja kota sinema!” ucapnya bersemangat.
Kalijaga Awards tersinspirasi dari sosok Sunan Kalijaga yang multi talenta. Ia tidak hanya
meyebarkan Islam, tetapi juga budaya dan kesenian. “Sunan Kalijaga sebagaimana nama UIN
tentunya harus mau menggali, mempelajari, ngruri-nguri kebudayaan Sunan Kalijaga,” kata
Wakil Rektor (WR) III, Maksudin dalam sambutannya. Ia juga mengajak kita untuk
meneladani karakter Sunan Kalijaga yang lilo (ikhlas), narimo (qonaah), temen (amanah),
serta sabar.
Malam itu juga ditayangankan tiga film karya terbaru JCM, yaitu film yang berjudul
“Kamboja”, “Mancing”, dan “Tuhan di atas Lift”. Aulia F. selaku pembina JCM
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 327
mengingatkan jika kreativitas bisa hadir darimanapun, tidak terbatas ruang, waktu, apalagi
alat. “Dengan berkarya eksistensi kita di dunia ini bisa terwujud,” ujarnya.
Ada empat penghargaan yang diperebutkankan dalam Kalijaga Awards, yakni ide cerita
terbaik, sinematografi terbaik, sutradara terbaik, dan film terbaik. Untuk ide cerita terbaik
pemenangnya adalah film berjudul “Sepasang Mata Bola” (kategori pelajar), “Paralellin”
(kategori umum), dan “Grinning Revenger” (kategori bioskop kalijaga). Untuk sinematografi
terbaik pemenangnya “Histeria Linda” (kategori pelajar), “Kutunggu Kau di Meja Makan
(kategori umum), dan “Deadline” (kategori bioskop kalijaga). Untuk sutradara terbaik,
kategori pelajar diberikan pada M. Fahmi dalam filmnya “Lilin Kecil”, kategori umum
diberikan pada Orizon dalam filmnya “Pingitan”, dan kategori bioskop kalijaga jatuh pada
Baim Ramadhan dalam filmnya “Naengan”. Puncaknya, film terbaik dianugerahkan pada
film berjudul “Rena Asih” garapan mahasiswa Institut Seni Indonesia. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/06/14/4043/
Figur Boneka Goni sebagai visualisasi Legacies of Power karya Samsul Arifin.
lpmarena.com, Sabtu malam (7/6), lautan manusia memadati halaman depan Taman Budaya
Yogyakarta (TBY). Mereka berdatangan untuk melihat pembukaan “Art Jog 14”. Ini adalah
seni rupa kontemporer internasional yang mewadahi para seniman lokal dan internasional
untuk menciptakan dan mengapresiasi karya seni rupa berkelas dan berkualitas. Malam itu
pengunjung disuguhkan musik rock dari sisi kanan panggung, sebagai tanda dimulainya
pembukaan acara tersebut.
Di halaman TBY sendiri terdapat replika gedung istana negara yang berisi boneka-boneka
dari kain goni dengan beragam wajah, bentuk, dan karakter.“Art Jog 14” yang dulu bagian
dari Jogja Art Fairtelah dijadwalkan berlangsung dari 7-22 Juni 2014.
“Tema ArtJog tahun ini legacies of power, karya dari 103 seniman lokal dan internasional,”
kata Satriagama Rakantaseta selaku Direktur ArtJog dalam sambutannya. Ia juga mengatakan
acara ini ajang penting di arena seni rupa kontemper Indonesia, karena di Indonesia banyak
sekali bakat dan potensi artistik dengan ide-ide sosial yang dituangkan dalam berbagai
medium.
Legacies of Power, pemantik kesadaran situasi politik Indonesia sendiri yang sebentar lagi
mengadakan pemilihan presiden. Pun mengajak untuk kritis dalam pelaksaan demokrasi di
Indonesia dari masa ke masa dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Warisan yang
ditinggalkan tiap rezim akan memberikan dampak bagi penerus sesudahnya dan disana publik
(pengunjung) diajak belajar dari masa lalu itu untuk kemajuan Indonesia ke depan melalui
visualisasi tangan-tangan kreatif seniman.
“Art Jog 14” menyuguhkan tiga pertunjukkan utama. Pertama, commission work, dengan
Samsul Arifin sebagai commission artist tahun ini. Ia menyulap muka gedung TBY dengan
boneka-boneka goni yang di dalamnya tersirat banyak simbol. Kedua, special precentation,
yang merupakan karya seniman internasional yang tahun ini berasal dari Jepang dan
Selain itu juga ada Young Artist Award, penghargaan untuk seniman muda yang karyanya
terbaik. “Merespon sisi politik di Indonesia. Banyak yang belum terungkap. Tahu, tapi belum
meng-explore. Banyak yang belum tergali,” tutur Olga Rindang Amesti juara ketiga Young
Artist Award yang nantinya akan menerima dana pengembangan dan program residensi di
Starke Foundation, Jerman.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/06/08/pembukaan-art-jog-14-legacies-of-power/
lpmarena.com, Ada mitos yang mengatakan bahwa gempa bumi terjadi karena ada ular naga
yang menggeliat, padahal menurut ilmu Sains berbeda. Banyak masyarakat Indonesia yang
masih terpengaruh dengan hal mistis. Melihat fenomena itu HMI komisariat fakultas Sains
dan Teknologi mengadakan bedah buku, “Gempa Bumi dalam Perspektif Sains Fisika dan
Religiusitas Masyarakat di Teatrikal Perpustakaan UIN Suka (7/6) sekaligus memperingati 8
tahun gempa bumi Yogyakarta yang terjadi 27 Mei 2006.
Secara sains, gempa bumi yang sering terjadi di Yogyakarta sendiri disebabkan pergerakan
lempeng-lempeng tekntonik Indo-Australia dan Eurasia. Kedua lempeng ini saling bertemu
pada suatu sesar (patahan) dan terjadi pengumpulan energi terus menerus. Saat batu pada
lempengan tidak kuat lagi menahan gerakan tersebut akan terjadi pelepasan mendadak ke
permukaan bumi, sehingga terjadilah gempa bumi.
Negara Indonesia rawan sekali dengan bencana. Namun, masyarakat Indonesia sendiri tidak
lepas dari hal mistis dalam mengartikan bencana. Masroer selaku penulis menjelaskan jika di
Yogyakarta sendiri kebudayaan lokal dan mitologi masih kuat. “Buku ini memadukan
paradigama sains yang positivistik yang kebenarannya bisa disentuh dan diamati dengan
paradigma keagamaan yang dogmatik dan interpretatif,” kata Masroer yang juga dosen
Sosiologi Agama UIN Suka.
Masroer juga menjelakan saat melakukan observasi lapangan, masyarakat yang diwawancarai
perihal gempa bumi, kebanyakan didapat jawaban berbau mitos daripada sains. “Hanya
orang-orang tertentu saja yang menjawab dengan logika (sains—red) seperti relawan,
mahasiswa, dan pejabat pemerintahan,” tambah Masroer.
Lalu M. Fathan salah satu pembicara, menjelaskan tentang fenomena-fenomena aneh yang
terjadi di Yogyakarta sendiri belum bisa diuji dengan sains. Masyarakat (Islam) Indonesia
sendiri ada tiga, abangan, santri, dan priyayi. “Idealnya bisa memadukan teknologi dan
kearifan lokal,” tutur Fathan dosen di UIN dan UII ini.
Hal berbeda diungkapkan Norma Sidiq Rusdianto yang juga pembicara. Menurutnya,
penanganan bencana seperti gempa bumi dapat diantisipasi melalui bangunan pondasi yang
kuat. terutama di kawasan yang rawan gempa bumi. “Kalau ada bencana jangan dialokasikan
ke hal negatif atau dianggap sebagai hukuman,” ujarnya. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/06/07/mempelajari-gempa-bumi-dengan-sains/
Aneka jajanan pasar yang disajikan di stand khusus untuk dicicipi pengunjung, Rabu (4/06).
Acara yang digelar dari 4-5 Juni 2014 ini menyajikan berbagai macam jajanan tradisional
khas Jogja.Acara ini diikuti oleh wargayang menjadi perwakilan 14 kecamatan di
Yogyakarta. Perwakilan dari 14 kecamatan ini difasilitasi stand untuk memperkenalkan dan
menjual jajanan pasar yang telah dibuat. Lalu, beberapa sampel jajanan diberikan kepada
panitia untuk dicicipi oleh para pengunjung secara gratis di stand yang telah disediakan
khusus.
R.R. Titik Sulastri, Sekretaris Daerah Pemkot Jogja hadir menggantikan bapak walikota
Yogyakarta (Haryadi Suyuti) menyampaikan sambutan dan membacakan pidato tertulis dari
bapak walikota. Dalam isi pidatonya, ia mengatakan bahwa makanan tradisional tidak boleh
dilupakan, kita diajak bersama-sama melestarikan nilai budaya Yogyakarta. Ia juga
mengatakan dalam jika kuliner merupakan salah satu daya tarik turis, “Harus diakui bahwa
pesona kuliner adalah salah satu senjata ampuh untuk membuat wisatawan berlama-lama ada
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 332
di kota Yogyakarta”. Selain itu perkembangan jajanan pasar sendiri tidak boleh diabaikan,
“Kita tidak boleh hanya mengandalkan makanan tradisional yang sudah ada.Melainkan
senantiasa mengembangkan keragaman kuliner, bahan makanan, keterampilan, dan teknologi
mengolah serta cara penyajian atau kemasan,” tambahnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memiliki banyak makanan khas. Namun, hal itu
digempur dengan banyaknya jajanan modern yang serba instan. “Ini upaya agar jajanan pasar
yang kurang dikenal menjadi tenar lagi. Sebenarnya juga lebih enak jajanan pasar daripada
makanan modern kayak chiki dan sekarang kita dikepung makanan modern itu,” ucap Dina
selaku panitia. Selain itu juga jajanan pasar lebih sehat dan aman dikonsumsi karena tidak
mengandung pengawet.
Selain festival jajanan pasar sendiri, ada agenda-agenda lain yang diselenggarakan panitia,
seperti demo masak jajanan pasar, lomba makan jajanan pasar, lomba mewarnai gambar oleh
siswa TK, dan hiburan kesenian serta musik.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/06/04/mengenal-jajanan-pasar-khas-yogyakarta/
Pementasan Teater Camuss membawakan cerita perjalanan dan pencarian bahasa, (27/5).
lpmarena.com,Seorang aktor tiba-tiba menyeruak dari sisi penonton dan masuk ke dalam
pangggung. Ia mengenakan baju berlapis. Dan perlahan ia lepas baju rangkap lima itu satu
per satu. Hingga menyisakan celana hitam dari pusar sampai bawah lutut dengan dada
terbuka. Ia bersolilokui, perjalanan dimulai.
Ini adalah cuplikan dari monolog berjudul “Perjalanan” yang dibawakan oleh Teater Camuss
Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) Jakarta, Selasa malam (27/5). Acara yang digelar di
depan gedung multy purpose UIN Suka ini mengahadirkan dua monolog surealis sekaligus,
yaitu “Perjalanan” dan “Mencari Bahasa”. Tour monolog Teater Camuss ini telah
dipentaskan di tiga kota dan Yogyakarta adalah kota terakhir yang disambangi setelah
Surabaya dan Bali. Pentas ini menurut Rio selaku lurah (ketua Teater Camuss) dihadirkan
untuk melihat respon masyarakat awam tentang teater.
Monolog pertama, Perjalanan. Setelah aktor usai menanggalkan baju rangkapnya dan hanya
memakai celana, ia bertanya-tanya, lalu sebuah LCD yang berisi tayangan biologi tentang
penciptaan manusia dari sperma menjadi telur dan bayi hadir. Suara lantunan ayat Al Quran
melantun dari video tersebut. Diakhiri dengan suara adzan dan sholat. Terinspirasi dari Q.S.
Al-Mu’minun: 12-16 lakon ini berkisah tentang perjalanan hidup manusia yang
divisualisasikan dengan tubuh. Diceritakannya proses pencarian sesorang tentang kehidupan.
“Proses (kehidupan) itu yang mau kita tangkap, dari lahir, dewasa, dan mati. Jika kita
muslim, maka akan kembali pada Tuhannya seperti yang digambarkan dengan adegan
sholat,” ucap Soekro, sang aktor sekaligus sutradara monolog pertama ini.
Setelah monolog selesai dipentasnya, dibukalah sesi diskusi. Rian, salah satu penonton
berkomentar mengenai monolog pertama. “Ini mempertunjukkan kegalauan identitas,
pencarian identitas dari person, pegiat teater, dan orang Indonesia sendiri. Adegan pertama,
saat memakai baju banyak penafsiran saya (baju-baju) itu adalah atribut. Dari jas, dasi,
Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma | Isma Swastiningrum | 334
dilepas, kita person bukan sebagai kita, tapi sebagai atribut. Atribut-atribut itu dilepas satu
per satu untuk kembali ke sebenarnya,” kata Rian, yang juga anggota Gorong-gorong
Institute (GGI) memberikan komentar. Sedangkan menurut Misbachul Munir dari Sanggar
Nuun berpendapat jika, “Manusia adalah makhluk yang temporal. Kesadaran yang membawa
kita berpikir asal mula,” tuturnya.
Pertanyaan lain muncul dari Doli. “Jika yang beragama kembalinya ke Tuhan, lalu yang ateis
kembali kemana?”. Soekro menjawab jika ateis itu dasarnya punya Tuhan, itu dipengaruhi
pendidikan, lingkungan, pergaulan. Dari sudut pementasan tadi, Tuhan ateis bisa tahta, harta,
barang/benda dan lain-lain. “Pertanyaannya, siapa Tuhannya ateis? Saya tidak tahu,” ucap
Soekro. Hal ini pun ditanggapi oleh Elex Suwek dari FOSTER (Forum Sinau Teater), “Ateis
itukan tidak mengakui Tuhan, tapi sebenarnya dia mengakui Tuhan. Kalau dia tidak
mengakui keberadaan Tuhan, kenapa dia menolak Tuhan?” tanyanya filosofis.
Monolog kedua tentang pencarian bahasa. Di awal cerita, seorang aktor membawa kursi ke
atas panggung. Lalu ia bertanya-tanya pada diri sendiri dan berjalan-jalan ke arah penonton
sambil berinteraksi dengan mereka. Dari Jakarta tidak ketemu-ketemu. Dari Surabaya, Bali,
Jogja, sudah 32 stasiun dilalui tapi tak menemukan bahasa. “Masuk ke gorong-gorong, ke
lorog-lorong. Bahasa yang mengalun-alun hilang. Woles, selow, itu apa?” Tanya aktor pada
penonton. Pentas diakhiri saat aktor duduk di kursi, kemudian datang dua orang, satu
membawa gergaji, satunya lagi kapak untuk memotong kaki kursi yang diduduki aktor.
Terinspirasi dari pengalaman sang aktor sendiri yang bernama Manted. Ia bercerita setelah
lama sekali tidak ke daerah asalnya di Bandung, ia pergi ke Bandung. Di halte ia bertemu
dengan orang Sunda asli. Namun ia resah akan lunturnya bahasa Sunda dan bertanya,
“Kenapa di Sunda kok malah kayak di Jakarta? Saya di Bandung kok begini? Saya rindu
bahasa (Sunda) yang mengayun-ayun”. Saat pulang ke Jakarta Manted merasa malah makin
parah bahasanya. Makin aneh-aneh bahasanya dari tingkat SD, SMP, SMA sampai yang
ubanan bahasanya LoGue.
“Sopan santun hilang. Bahasa budaya hilang perlahan, dikorelasikan dengan bahasa yang
keluar sekarang,” ucap Manted. Lalu, kenapa simbolnya kursi? Manted menjelaskan jika
kursi menggambarkan pendidikan dan gergaji menggambarkan ketimpangan. “Belajar tidak
harus bayar dan memakai pakaian rapi dan wah. Dengan hal biasa aja kita bisa belajar,” ucap
Manted. Untuk menimbulkan kesadaran akan lunturnya bahasa sendiri, Manted menjelaskan
hal itu dimulai sejak dini. “Dampak dari rumah sangat penting sekali untuk tetap menjaga
bahasa yang baik. Kita punya anak, latih menggunakan bahasa yang baik dan sopan pada
orang tua. Pemerintah pun mulai meniadakan bahasa Inggris yang diajarkan sejak SD sebagai
proses mempertahankan bahasa,” kata Manted yang juga menyutradari monolognya sendiri.
Misbachul Munir menambahkan, kita harus meniru China yang sadar bahasa mereka dijajah
(pihak barat) dengan membatasi bahasa-bahasa asing yang masuk ke China. “Sadar akan
bahasa Indonesia yang dimiskinkan keadaan, tidak sekedar berhenti di tataran normatif,
penggunaan EYD dan huruf saja,” ucapnya.(Isma Swastiningrum)
https://lpmarena.com/2014/05/28/citra-perjalanan-hidup-manusia-dan-pencarian-bahasa/
lpmarena.com,Di dusun Jomblang Lor, Gunung Kidul hiduplah seorang janda(rondo). Suatu
hari ada seorang pemuda mampir ke rumah janda tersebut untuk meminta air dan berwudhu,
namun rondo itu berkata jika di rumahnya tidak ada air. Berucaplah si pemuda jika di
belakang rumahnya ada sumber air. Sang rondo pun mendatangi belakang rumah dan
terkejutlah ia saat mendapati sumber air. Akhirnya, rondo itu tahu bahwa pemuda itu adalah
Sunan Kalijaga. Sekarang, sumber air itu dikenal dengan nama Luweng Dano Tirto.
Itulah salah satu cuplikan cerita rakyat dari stand bernomor urut 1 yang mewarnai acara
Pameran Literasi dan Budaya 2014 yang bertempat di depan Convention Hall UIN Sunan
Kalijaga (23/5). Selain penghuni stand menampilkan simulasi dan bercerita langsung kepada
pengunjung, juga mereka berpakaian ala tokoh yang mereka simulasikan.
Acara yang diselenggarakan kali ketiga oleh Program Studi (Prodi) Ilmu Perpustakaan S1 dan
D3 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Suka ini mengangkat folklore atau cerita rakyat
sebagai tema besar. Tujuan acara itu untuk mendokumentasikan budaya lokal serta
menggerakkan literasi sehingga dapat mendekatkan Ilmu Perpustakaan kepada masyarakat.
“Acara ini merupakan upaya dari Ilmu Perpustakaan untuk mendokumentasikan yang belum
terdokumentasikan,” ucap Putera Mustika ,Ketua Panitia acara saat ditemui ARENA usai
Talk Show “School Libraries: Indonesia and North American’s Perpectives”.
“Indonesia punya banyak banget kebudayaan, tapi belum banyak orang yang tahu dan belum
ter-expose, dan budaya itu sangat mahal itu ingin kita angkat dan kita jaga, ” tutur Putera. Ia
juga menambahkan budaya lokal merupakan warisan, ketika tidak diketahui orang lain dan
Sedangkan Fitri Eka yang menjaga stand nomor 4 tentang Jayaprana berkisah tentang budaya
nusantara sekarang kalah dengan anime-anime dari luar negeri seperti Doraemon, Sin Chan,
dan Naruto. Pameran ini berusaha mengangkat yang belum mem-booming dan belum banyak
tahu menjadi tahu. “Setelah pameran ini harapannya banyak mereka yang tertarik untuk
mencari tahu lebih lanjut dengan membaca buku,” ujar Fitri.
Ada sepuluh cerita rakyat yang dihadirkan, dan itu melalui proses penggalian informasi
melalui buku dan internet, juga observasi ke tempatnya langsung. Sepuluh cerita itu yaitu:
Cerita Rakyat Karang Bolong, Legenda Ratu Kalinyamat, Luweng Danatirta, Cing
Cinggoling Legenda Kedung Dawang, Asal-usul Desa Kepurun dan Kecamatan Manis
Renggo, Puteri Tujuh, Legenda Sekar Langit, Jaya Prana dan Layon Sari, Hikayat Gunung
Tidar, Putri Mandalika.
Selain stand-stand prodi Ilmu Perpustakaan ada juga datang dari forum pustaka keliling
DIY seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Adil dan TBM Mata Aksara dengan konsep
motor pintar yang penuh dengan buku-buku (perpustakaan keliling). “Semua dimulai dari diri
sendiri. Analoginya, apa yang terjadi saat batu kita lepas dalam air? Dari yang lingkarannya
kecil akan mengembang menjadi besar. Akhirnya mendukung yang lebih luas,” ucap
Badrudin HAMF atau yang kerap disapa Mbah Bad ini selaku tim kreatif dari TBM Mata
Aksara saat ditanya tentang kesadaran budaya dan literasi.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/05/25/mengenalkan-cerita-rakyat-sebagai-budaya-lokal/
Salah satu karya mahasiswa dalam pameran industri yang terbuatdari tutup botol bekas, (14/05).
Lpmarena.com,Beragam karya dan kerajinan daur ulang dari sampah dan barang-barang
bekas terpampang dalamPameran Karya Teknik Industri 2014 di Lantai 1Fakultas Sains dan
Teknologi (14/5). Acara itu diadakan oleh mahasiswa jurusan Teknik Industri UIN Suka.
Ikfi Maulana, ketua panitia mengatakan acara yang bertepatan dengan hari industri ini selain
untuk menciptakan karya-karya baru, juga mengetuk kesadaran kita untuk peduli dengan
lingkungan khususnya dari bahan-bahan yang tidak terpakai dan limbah indutri. “Ajang
mengaplikasikan teori-teori yang sudah didapati agar lebih mengena, juga bagaimana
menumbuhkan agar peduli dengan lingkungan.Karena kita sering sekali melalaikan sampah
yang dibuang dan bagaimana mengolah limbah,” ucap Ikfi Maulana kepada ARENA.
Lebih lanjut Ikfi mengatakan jika pengolahan limbah sudah tidak bersahabat dengan
lingkungan. “Sekarang untuk beberapa masih ada yang peduli, tapi untuk beberapa
perusahaan pengolahan limbah tidak sebanding dengan yang dikeluarkan,” tambahnya. Ia
menekankan untuk menggerakkan pola sampah dengan benar yang biasa disingkat 3R
(Reduce, Reuse, Recycle). “Perusahaan tidak sekedar mendapatkan pengakuan dari
pemerintah (tentang pengolahan limbah-red) tetapi perusahaan tersebut menjiwai dan
menerapkan hal tersebut dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya tuntutan professional,” ulas
mahasiswa semester VI tersebut.
Sementara itu, Huliatul Jannah selaku pengunjung pameran berpendapat jika masalah sampah
itu rumit. “Rumit, nggak bisa lepas dari sampah. Bisa dikurangi dengan memanfaatkan
barang bekas dan bisa dibuat kerajinan tangan, sekarang botol-botol dari bahan plastik bisa
dibuat kerajinan tangan,” tutur mahasiswa Pendidikan Matematika semester VIII itu.
Hal tak jauh berbeda diutarakan Uswa, mahasiswa Pendidikan Fisika, “Sampah itu didaur
ulang. Harusnya, kalau bisa dibeda-bedain antara sampah kering dan sampah basah,”
ujarnyaketika ditemui di tengah pameran. Ia juga menganjurkan pada teman-temannya untuk
Ikfi menuturkan harapan, setelah diadakan acara ini teman-teman jadi termotivasi untuk
mengolah sampah mulai dari hal kecil. Upaya-upaya yang bisa dilakukan itu hemat kertas,
menanam pohon, memakai botol minuman sendiri, membawa tas belanja sendiri, naik
angkot, bersepeda, jangan nyampah, dan kegiatan 3R. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/05/14/pameran-industri-ajang-kreasi-limbah/
lpmarena.com, Pagi itu, jalan sekitar alun-alun selatan kota Yogyakarta macet total. Orang-
orang berbondong-bondong ingin memasuki alun-alun. Salah satu dari mereka menyarankan
untuk kembali saja. Namun, pendapat yang disampaikan oleh seorang ibu itu tidak
menyurutkan orang-orang di kanan kirinya untuk mundur. Tepat di tengah alun-alun selatan
terdapat panggung yang begitu hidup di bawah komando Master of Ceremony (MC). Di
depannya, ribuan orang dari berbagai kalangan merayap. Mereka datang untuk mengikuti
Wall’s ice cream day (hari es krim), (11/04).
Hari es krim yang pertama diadakan di Indonesia ini berlangsung dengan serentetan agenda.
Sekitar jam 8:30 pagi, barisan anak dari Naga Barongsai “Isakuiki” mempersembahkan
kebolehannya memainkan barongsai. Setelah selesai, dilanjutkan sambutan oleh Prabu
Kusumo, adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Hari ini kebahagiaan kita semua untuk
merasakan nikmatnya es krim,” ucap Prabu, dalam sambutan. Menurut Prabu Kusumo,
banyak pikiran dan pekerjaan jika bisa makan es krim bersama keluarga maka akan jadi lebih
tenang. Lalu acara dilanjutkan peresmian identitas baru dari Wall’s yaitu “Taste Joy” dan
peniupan terompet sebagai tanda dimulainya pembagian ribuan es krim gratis kepada peserta.
Ifti, salah satu pengunjung dan penyuka es krim mengungkapkan. “Aku suka es krim. Enak,
manis, dan bisa bikin adem pikiran,” kata Ifti, pengunjung sekaligus mahasiswa dari
Universitas PGRI Yogyakarta. Sedang Melia dari Gunung Kidul berpendapat lain, “Menurut
aku es krim itu candu, bikin seneng. Makanya banyak yang suka. Jadi obat juga buat anak
kecil yang nangis,” ucapnya sembari tertawa.
Wall’s Ice Cream Day ini adalah kali pertama dan di gelar serentak di 8 kota di Indonesia.
Momentum pembagian es krim ini mendapatkan penghargaan dari rekor MURI sebagai
“Pembagian Es Krim Gratis dengan jumlah dan di kota terbanyak”. Elfi Emilia selaku
customer& Trade Marketing manager Wall’s PT Unilever Indonesia Tbk mengatakan jika di
kehidupan yang serba modern seperti sekarang ini kita dikelilingi dengan banyaknya tugas,
tekanan, dan jawal kerja. Oleh karenanya masyarakat membutuhkan ruang dan waktu untuk
sejenak menemukan kebahagiaan sederhana di setiap harinya. “Wall’s percaya es krim selalu
mendapat tempat istimewa di hati setiap orang karena rasa lezat serta sensasi dingin es krim
terbukti dapat memberikan perasaan menyenangkan yang dapat menciptakan kebahagiaan
bagi banyak orang di segala usia,” tutur Elfi seperti yang dikutip dalam selebaran siaran pers
release Wall’s.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Unilever sendiri tahun 2010 di Institute of Psychiatry,
London, dibuktikan fakta bahwa perasaan bahagia akan muncul ketika sesorang
mengkonsumsi es krim, ada zat-zat yang merangsang area kenikmatan atau kebahagiaan
dalam otak. Acara ini juga menyertakan berbagai hiburan seperti parade hawker es krim
Wall’s, parade komunitas sepeda, hiburan dari artis ibukota, dan stand-stand Wall’s yang bisa
digunakan sebagai tempat berekspresi. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/05/11/es-krim-dan-perasaan-bahagia/
Meski telah meninggal 15 tahun yang lalu, tapi pemikiran Romo Mangun yang cerdas dan
unik merupakan warisan spiritual yang berharga.
Setelah film yang menceritakan mozaik hidup tokoh multitalenta itu usai, tampillah
pertunjukkan pembukaan acara dari Wayang Milehnium Wae dengan gabungan pertunjukan
musik, gamelan, tari, pembacaan puisi, pantomim, wayang, dan drama. Pentas kolaborasi ini
berjudul “Mlarat Ning Ningrat (Miskin Tapi Ningrat)”, sebagai simbol sikap belas kasih dan
cerdas menghargai hidup. Miskin tapi dia kaya, bukan miskin murahan.
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau kerap disapa Romo Mangun lahir di Ambarawa, 6 Mei
1929. Ia meninggal pada tanggal 10 Februari 1999 saat memberikan simposium tentang peran
buku dalam menciptakan pendidikan baru, ia menutup mata dalam pelukan sahabatnya
Mohamad Sobary.
Romo Mangun merupakan simbol perjuangan lintas batas. Ia seorang arsitek lulusan Jerman
dan Imam (Pasteur) Keuskupan Agung Semarang yang multidimensional. Targetnya menjadi
pasteur bukan untuk bertambahnya umat katolik, tapi ada visi yang lebih besar, yaitu
nguwongke wong (memanusiakan manusia), dengan membiarkan manusia hidup dalam
kemanusiaan mereka.
Pemikirannya ada dalam banyak bidang, dari tentang kemanusiaan, budaya, pendidikan, dan
negara. Melalui karyanya, Romo Mangun menempatkan keberpihakannya pada mereka yang
miskin dan tertindas. Ia memberi hati yang tulus dan menuai perhatian banyak orang. Baik
dukungan ataupun ancaman menyadarkan kita pada generasi yang hanya bisa nggrundel
untuk memiliki solidaritas berbagi. Itu tercermin dalam wejangan Romo Mangun, “Ojo
Napak tilas keberpihakan Romo Manugn pada rakyat kecil terukir dalam perjuangnnya
memperjuangkan hak-hak rakyat yang lahannya terkena proyek waduk Kedungombo pada
masa rezim Soeharto. Tak hanya itu, Ia juga mengadvokasi masyraakat miskin di bantaran
Kali Code agar tidak digusur, sekaligus memberdayakan masyrakat Kali Code. Romo
Mangun juga mendirikan sekolah (SD Kanisius Mangunan) yang lebih diarahkan pada
pengalaman, proses pembebasan, proses kreatif, dan emasipasi. Dalam tanda petik, pola
sekolah yang dibangun Romo mangun adalah ‘Melawan Pendidikan Formal” yang anak-anak
hidup dalam dunia naratif. Materi-materi abstrak dan harus dihafal, ini merupakan
militerisme pendidikan.
Romo Sidhunata yang merupakan sahabat Romo Magun sekaligus tuan rumah acara
menyampaikan kenangan-kenangan pemikiran Romo Mangun saat ia meng-edit tulisan
Romo Mangun. Di sana Romo Mangun berbicara bahwa sastra yang berpamor adalah sastra
yang pamornya tumbuh dari dalam. Iktiar yang timbul dari rasa. Susastra yang berciri filsafat
dan historis, bahkan ia terlibat dalam politik (sastra historis politis), tetapi itu tereduksi
dengan menyempitnya dunia politik yang hanya dimaknai dengan kekuasaan
(Machiavellian). Masyarakat dilanda pragmatisme yang jauh dari otentik dalam bersastra.
Hanya suka yang pop dan dangkal, mudah bosan, gebyar dan glamor, mudah puas dengan hal
yang semu.
Romo Mangun berpedoman pada pendapat Thomas Aquinas yang mengatakan bahwa
kebenaran dan keindahan tak bisa dipisahkan. Mengatakan kebenaran saja tidak cukup, harus
memancarkan keindahan, dan individu yang bertanggung jawab adalah sumber kreativitas.
”Berpikir berani ber-oposisi,” ucap Romo Sindhunata.
Hal inspiratif lain datang dari sambutan Imam Priyono (Wakil Walikota Yogyakarta). Ia
bercerita tentang seorang anak penjaga ramalan. Pada tahun 1983 ia lulus SMA, tetapi karena
miskin ia tidak bisa kuliah. Anak ini bertemu dengan Y.B. Mangunwijaya, ia mendapat
bantuan dan ‘menerima piring’ sang Romo, tahun 1986 anak itu akhirnya bisa kuliah. “Dan
anak tersebut adalah saya yang sekarang menjadi Wakil Walikota Yogyakarta,” kata Imam
membuat terkejut hadirin yang datang, disambut dengan gegap tepuk tangan.
Acara peringatan 15tahun wafatnya Romo Mangun ini akan digelar dari tanggal 6-11 Mei di
Bentara Budaya Yogyakarta, yang diisi dengan berbagai agenda, seperti pameran seni rupa
“Pager Piring”, seminar pendidikan, sarasehan budaya, dan workshop seni rupa anak.
Ya, burung manyar itu telah terbang dan tak bisa memanggilnya kembali. (Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/05/07/menjelajah-pemikiran-romo-mangun/
lpmarena.com, Jika perairan kotor, manusia bisa mengatakan itu “kotor” dari indikator
penglihatannya. Namun ada satu predator yang amat sensitif terhadap polusi air, yang
menjadi indikator lingkungan perairan kita. Spesies itu bernama Capung. Beraneka macam
foto odonata beragam pose terpampang di lantai satu Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek)
UIN Sunan kalijaga dalam acara pameran Fotografi Capung. Acara ini diselenggarakan oleh
Biolaska prodi Biologi UIN, Indonesia Dragonfly Society (IDS), Water Forum, dan Jambore
Capung Indonesia, Jumat (2/4).
“Sungai itu tercemar atau tidak bisa dilihat dari hewan di sekitarnya. Orang lain bisa melihat
dari indikator Capung. Jika Capung itu banyak, maka daerah (sungai) itu bersih,” ucap Sigit
Yudi Nugroho, ketua panitia acara.
Tujuan lain acara ini untuk mengenalkan masyarakat dan mahasiswa tentang Capung, agar
mereka bisa merubah perilaku-perilaku yang mencemari sungai. Juga kampanye jika Capung
itu penting.
Seperti diketahui, Capung melakukan reproduksi di air, dan ia kadang mencari makanan
berupa nyamuk dan serangga di daratan. Itu mengakibatkan Capung berperan dalam
memberantas nyamuk dan mengurangi populasi nyamuk. “Nimfa (larva Capung) bisa
memakan jentik-jentik nyamuk. Jadi kalau ada capung jentik-jentik bisa mati,” Sigit
menambahkan.
Di Sungai Gajah Wong sendiri contohnya, secara kasat mata Sigit menilai sungai Gajah
Wong sudah sangat tercemar. Banyak sampah pembangunan di bantaran sungai merusak
lingkungan dan habitat capung itu sendiri. “Dari kegiatan ini kami berharap minimal Sungai
Gajah Wong bisa dirawat. Dari IDS sendiri mengatakan nggak usah mikirin buat
mengembangbiakkan capung di sungai, tapi yang penting adalah nggak usah buang sampah
di sungai. Karena jika sungai bersih, maka capung akan ada,” tutur Azzam panitia seksi
humas.
Sementara Friska Wahyu yang juga pengunjung berpendapat jika ia tidak mengetahui tentang
peran capung, “Capung itu binatang serangga yang bisa terbang,” ujarnya. Aapun Halimah
mempunyai pendapat lain, ia berpandangan Capung itu bisa membantu penyerbukan bunga
dan sebagai pemandangan, “Capung itu hewan artropoda, bertelurnya di sungai dan ia
mencari tempat yang jernih,” ucap mahasiswa Pendidikan Fisika semester 8 ini saat ditemui
ARENA di lobi Fakultas Saintek.
Acara ini dibuat juga untuk menyelamatkan spesies-spesies Capung yang langka dan hampir
punah. Hal ini direfleksikan dengan berbagai kegiatan yang dilakukan Biolaska dan IDS
seperti bersih-bersih sungai, kampanye, pameran, dan penelitian tentang Capung yang digelar
hingga Minggu (5/5) mendatang. Untuk rangkaian acaranya sendiri, hari Jumat (2/5)
pameran. Sabtu (3/5) workshop tentang Capung di ruang Tatrikal Saintek, dan Minggu (5/4)
praktek lapangan (hunting) data tentang capung. Siapapun bisa ikut dengan membayar biaya
pendaftaran sebesar Rp.25.000 dan kumpul jam 7 pagi di depan Poliklinik UIN Suka.
Link: https://lpmarena.com/2014/05/02/sungai-bersih-capung-pun-beranak-pinak/
Lpmarena.com, Bazaar entepreneurship bertajuk “Jogja Suka Preneur” digelar di Gedung Multy Purpose
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (14/04). “Acara ini untuk menumbuhkan para pengusaha baru dan
mengembangkan wirausaha mahasiswa. Juga agar para mahasiswa UIN bisa bersaing dengan mahasiswa
di luar UIN dan masyarakat,“ ucap Imam Nabawi selaku panitia acara.
Acara yang dibuka gratis untuk umum ini berlangsung sejak tanggal 14-16 April 2014. Acara
yang diselenggarakan oleh HMJ-Manejemen Dakwah ini dilaksanakan dalam rangka
program kerja divisi ekonomi HMJ-MD. Diikuti oleh mahasiswa UIN Suka, mahasiswa
umum, dan masyarakat.
Siang tadi telah digelar talkshow entrepreneur bertema “Hypnosis for selling”, lomba mading
tiga dimensi SMA se-DIY, dan acara stand up comedy UIN Suka. Di hari Rabu (16/04) besok
akan menampilkan pentas seni UKM UIN Suka Yogyakarta, pentas seni etnis mahasiswa se-
DIY, demo fashion Jogja, dan lomba fashionshow se-DIY. Malamnya, akan diadakan malam
inagurasi dengan menghadirkan angklung jogja dan pengumuman pemenang lomba mading
serta fashion show.
Acara yang berlangsung selama tiga hari itu disayangkan oleh Dina mahasiswa Sains dan Teknologi
karena kurangnya sosialisasi. selain itu juga, harga yang ditawarkan disana terlalu mahal untuk kalangan
mahasiswa UIN. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/04/15/jogja-suka-preneur-ajang-para-pengusaha-muda/
Sampul buku “Dari Representasi Simbolik Menuju Representasi Substantif ” karya Abdur Rozaki dkk.
Secara umum DPD belum berfungsi. Terjadi kemerosotan, kesulitan memfungsikan diri. Dan adanya
distorsi peran DPD.
Lpmarena.com, Hal itu dipaparkan Arie Sujito, peneliti IRE (Institute for Research and
Empowerment) dan sosiolog UGM dalam acara peluncuran dan bedah buku berjudul “Dari
Representasi Simbolik Menuju Representasi Substantif (Potret Representasi Konstituensi dan
Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Daerah)” karya Abdur Rozaki, dkk. Hadir
pula sebagai pembicara, Sunaji Zamroni dan Titok Hariyanto (peneliti IRE). Acara tersebut
berlagsung di Kedai Nusantara Nologaten, Jumat malam (28/3).
Lebih lanjut Arie mengulas sejarah terbentuknya DPD. Secara umum DPD dianggap lahir
sebagai alat pemenuhan, seperti halnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). DPD gagal
dan terjebak dalam isu parsial. Misalnya, Jogja punya masalah apa? Jika representasi
(masalah ini) gagal jadi isu nasional, yang bertanggung jawab adalah DPD. Terkait distorsi,
DPD harus mempunyai pembeda khususnya dengan lembaga DPR, “Harus ada distinction
dengan DPR,” ujar Arie Sujito.
Sementara Titok menjelaskan, banyak sarana komunikasi dengan masyarakat tidak begitu
diperhatikan oleh DPD “Banyak saluran komunikasi, setidaknya ada tiga. Pertama, tatap
muka. Kedua, dalam bentuk seminar. Ketiga, media. Namun, lama-kelamaan nggak diolah,
banyaknya media malah membuat sedikit yang diketahui,” papar Titok.
DPD juga dinilai kurang serius dalam menjalankan tugasnya. “Jam 08.30 kami datang ke
(sekretariat) DPD itu belum buka, terus kita pulang. Dan kembali jam 13.30, tapi kok sudah
tutup,” lanjut Titok
Acara bedah buku yang dihadiri mahasiswa, awak pers dan beberapa pejabat pemerintahan
itu akhirnya diakhiri dengan penampilan musik dangdut. (Isma Swastiningrum)
Nampak pengunjung sedang melihat foto karya mahasiswa yang di pasang di Lantai I
fakultas Saintek, (19/03).
Siti Soffatul Munawarroh selaku panitia mengungkapkan, “Acara ini bertujuan untuk
mewadahi aspirasi teman terutama untuk teman yang suka fotografi dan memajukan prodi
Biologi. Dan pengen tahu bagaimana sih biodeversitas (baca: keberagaman) di UIN sendiri”.
Hal senada diungkapkan oleh pengunjung lain, Mahfirah Ekasari. “Bagus, tapi kurang rapi,”
ujar mahasiswa Pendidikan Biologi semester II ini, “Mungkin dibikin lebih ramai dan greget.
Jadi pengunjungnya nggak cuma jalan melihat sekilas, orangnya bisa mampir,“ tambahnya
mengusulkan.
Pemenang dari pameran lomba fotografi ini akan diumumkan pada hari Jumat sebelum acara
penutupan, nanti berbarengan dengan seminar biodeversitas, diskusi mahasiswa biologi antar
kampus. Selain pameran fotografi, seminar dan diskusi, diadakan pula futsal persahabatan,
olimpiade biologi 2014 tingkat SMA/MA sederajat, biologi expo, dan talkshow.(Isma
Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/03/19/lomba-dan-pameran-bio-fotografi-digelar-di-pekan-
raya-biologi-2014/
lpmarena.com, Sabtu (15/03), bertempat di Teatrikal Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Suka acara bedah buku Anak-anak Revolusi digelar. Hadir dalam acara tersebut Budiman
Sudjatmiko (Penulis buku Anak-anak Revolusi), Eko Prasetyo (Social Movement Institut)
dan Abdur Rozaki (selaku peneliti IRE/aktivis 98) sebagai pembicara.
Dalam acara yang dimulai jam 13.00 WIB ini, Budiman mengatakan, dirinya benci terhadap
politikus. Menurutnya, banyak politikus yang hanya memiliki kekuasaan namun miskin ide
untuk menjadikan Indonesia lebih baik.“Banyak politikus yang hanya berkuasa, rencana ke
depannya gak ada. Saya benci politikus.” Ia menjelaskan bahwa untuk mengubah Indonesia,
seseorang tidak harus menjadi politikus, namun bisa menjadi manusia politik. “Kalo ingin
rubah Indonesia jangan jadi politikus tapi jadi manusia politik,” lanjut Budiman.
Dalam bukunya, Budiman mengatakan ada lima syarat untuk menjadi manusia politik.
Pertama, punya ide. Manusia politik harus punya ide 100 tahun lagi Indonesia mau jadi apa?
Kedua, Punya empati. Manusia politik sering berinteraksi dengan publik (masyarakat).
Ketiga, Punya tradisi berorganisasi/berpartai. Kalau Anda mahasiswa, berorganisasilah.
Kalau Anda buruh, berserikat buruhlah. Keempat, Punya hasrat berkuasa. Karena berkuasa
itu penting, manusia politik harus berani bersikap. Kelima, Punya kemampuan retorika, baik
tulisan mau pun tulisan, yang baik dari segi substansi, indah dalam segi bentuk.
Di sisi lain, Eko Prasetyo menilai buku ini adalah kristalisasi dari masa kecil penulis yang
luar biasa dan pengalaman-pengalaman organisasi penulis saat mahasiswa yang tumbuh
subur. Bagaimana suasana ideologi saat itu membentuk Budiman di lingkungan yang
dinamikanya tinggi dengan pertaruhan intelektual yang kaya. “Buku ini memberikan peta
bagaimana membangun perlawanan, Sekarang dinamika nggak muncul, gerakan saat ini
sunyi. Agendanya, diskusi, pelantikan, diskusi lagi, pelantikan lagi. Persoalannya sekarang
akan kemanakah menjawab kegelisahan itu?” ujar Eko.
Berbeda dengan Eko, Abdur Rozaki mengkritisi tentang sekat-sekat yang dibentuk oleh
kampus dan aktivis sendiri. “IAIN, UII, UGM, dulu tidak ada tembok pemisah. Siapa
mahasiswa IAIN, UII, UGM. Mereka disatukan kegelisahan yang sama. Tapi sekarang, sekat
tidak hanya dari rezim kampus tetapi juga aktivis mahasiswanya sendiri. Ini bahaya.”
ucapnya. Ia menambahkan jika aktivis adalah orang-orang yang bisa mengorganisasi rakyat,
“Jangan mengaku aktivis kalau belum bisa mengorganisasi rakyat”. Kemudian acara berakhir
pada jam 15.30 WIB dengan dibacakannya puisi W.S Rendra, Sajak Sebatang Lisong oleh
Selendang Sulaiman. (Isma Swastiningrum dan Rifa’i Asyhari)
Link: https://lpmarena.com/2014/03/15/budiman-sudjatmiko-indonesia-butuh-manusia-
politik-bukan-politikus/
Puncak acara yang berisi orasi kebangsaan berlangsung malam nanti, Sabtu (08/03).
lpmarena.com, Dalam rangka memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada
tanggal 8 Maret, Komunitas Perempuan Syariah dan Hukum (KAPASH) PMII Ashram
Bangsa mengadakan acara bertemakan Women To Be Creative (Progresifitas perempuan
dalam menjawab tantangan globalisasi) di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (8/3).
Acara ini berisi berbagai kegiatan mulai dari bazaar, lomba, hingga orasi kebangsaan.
Salah seorang panitia, Nia mengatakan jika acara ini bertujuan untuk membuktikan jika
perempuan bisa melakukan banyak hal,dan tidak lemah. “Memotivasi perempuan, bahwa
perempuan itu tidak seperti yang dikatakan selama ini, lemah dan lain-lain. Tetapi untuk
membuktikan bahwa perempuan itu juga bisa,” ujar Nia yang juga mahasiswa jurusan
Keuangan Islam semester 6.
Acara yang dibuka untuk umum ini berlangsung dari jam 08.00 hingga 22.00 WIB. Ada
banyak kegiatan yang diselenggarakan panitia. Pagi tadi, acara diisi dengan lomba akustik
dan KAPASH Expo (bazaar). Adapun puncaknya nanti malam akan digelar orasi kebangsaan
yang menhadirkan para aktivis perempuan, diantaranya: Luluk Nur Hamidah (caleg DPR RI
PKB) dan Hj. Zunatul Mahruhah, S.H. (Fatayat Sleman dan caleg DPR RI PPP).
Selain itu, acara ini juga menampilakan Sendra Tari KAPASH: “Aku, Kamu, Dia dan Mereka
Perempuan”, hadroh, serta paduan suara Napash Gayatri Selendang Sulaiman.
Link: https://lpmarena.com/2014/03/08/kapash-peringati-hari-perempuan-internasional-
dengan-berbagai-acara/
Senada dengan Lailis, Anik Naftuhah juga menilai bahwa kebanyakan mukena di masjid
kurang layak pakai. “Kadang banyak yang nggak layak pakai, bau, sobek, dan kesuciannya
nggak terjamin,” terang mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat semester II itu.
Hal yang tak jauh berbeda juga diungkapkan Siti Maftuhah, mahasiswa jurusan Bahasa dan
Sastra Arab (BSA) semester II. “Kurang teratur, kelamaan dipakai, kurang dicuci dan
terawat,” ucapnya saat ditemui di masjid UIN Sunan Kalijaga. Ia juga menyayangkan tentang
kurangnya kepedulian mahasiswa merawat mukena. “Kesadaran mahasiswanya juga. Dilipat
yang rapi, nggak cuma ditaruh.”
Menanggapi hal tersebut, Juwono selaku cleaning service masjid UIN mengatakan takmir
masjid yang mengurusi terkait hal tersebut. “Ada pihak-pihak yang ditugasi mencuci oleh
takmir, kira-kira 2 minggu sekali dicuci.” Kondisi mukena yang hampir sama juga terlihat di
tempat sholat gedung Student Center (SC). Nurul Fajariah dari UKM Al Mizan menuturkan,
“Mukena kurang bersih, bau, sobek, dan kadang pas mau makenggak ada. Kalau bisa setiap
dua minggu sekali dicuci, yang kurang layak jangan dipakai, dan jumlahnya diperbanyak.”
Saat dikonfirmasi ke Ketua SC, Gunadi mengatakan, “Selama ini tidak ada yang diberi
tanggung jawab untuk mencuci mukena di SC. Kalau karpet memang kita. Mahasiswa ikut
tanggung jawab karena itu tempat ibadahnya. Siapa yang peduli, itu yang mencuci.” Musini,
petugas kebersihan SC juga berpesan kepada mahasiswi yang selesai memakai mukena SC
untuk merapikan, “Setidak-tidaknya dilempit lagi.”
Di lain pihak, Lik Widodo selaku petugas keamanan SC memberi saran, “Mungkin bisa
dibuat takmir SC, atau tiap UKM itu punya program untuk merawat mushola SC dan isinya.
UKM kan punya divisi FORKOM, bangunlah kepedulian.”
Setelah ARENA selesai mewawancarai Gunadi pada Kamis (20/02) sore, karpet di mushola
SC langsung ditangani oleh Bagian Rumah Rangga untuk dibersihkan. (Isma
Swastiningrum)
Editor : Ulfatul F.
Pintu gerbang depan fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam yang ditutup.
Mahasisiwa yang berjalan kaki ingin pintu itu dibuka sedikit untuk menghemat waktu.
lpmarena.com, Mahasiswa pejalan kaki yang tinggal di daerah Papringan, Gowok, dan sekitar jalan Solo
mengeluhkan keberadaan pintu gerbang depan fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUSPI) yang
selalu tertutup. Beberapa mahasiswa yang mengeluh adalah mahasiswa fakultas Dakwah dan Komunikasi
serta mahasiswa FUSPI.
Hasryani Mahmud, mahasiswa Aqidah dan Filsafat yang mengeluhkan tentang hal itu.
“Waktu yang efektif jadi terbuang cuma untuk muter. Kalau ini dibuka, lebih mempersingkat
waktu,“ tutur mahasiswa semester 8 yang kos di sekitar Jalan Solo ini. “Pengguna motor pun
sebenarnya ingin gerbang ini dibuka,” tambahnya.
Hal senada diungkapakan oleh Toyibahtul Mar’ah. “Waktu jadi terbuang-buang, apalagi pas
buru-buru,” ungkap mahasiswa jurusan Manajemen Dakwah (MD) semester VI yang kos di
daerah Papringan ini.
Lebih lanjut ia mengungkapkan keinginannya untuk gerbang tersebut dibuka. “Dibuka sedikit
biar bisa dilewati pejalan kaki. Seperti di depan Pascasarjana.”
Naim Abror, mahasiswa Perbandingan Agama (PA) semester II juga mengeluhkan hal itu.
“Kalau lewat gerbang sana itu (gerbang depan Multy purpose, red) kejauhan. Emang sih
Saat dikonfirmasi ke Kepala Sub Bagian (kasubag) Keamanan dan Ketertiban, Heri Siswanto
menjelaskan jika pintu gerbang itu sudah berpuluh tahun ditutup. Bahkan sejak gedung
universitas yang baru dibangun. Pintu itu digunakan hanya untuk keadaan darurat seperti
kebakaran. Alasan lain tidak dibukanya gerbang itu karena maraknya kemacetan lalu lintas
serta kasus pencurian.
“Kalau pintu itu dibuka, jalur lalu lintas yang dari kiri itu pasti mengganggu, belum lagi kalau
ada pencurian. Orang bisa lebih cepat lewat gerbang itu, soalnya di gerbang itu tidak ada pos
keamanannya, beda dengan pascasarjana yang dekat dengan pos keamanan,” terangnya.
Heri Siswanto kemudian berpesan kepada mahasiswa, “Mahasiswa maunya tidak ada aturan.
Maunya kalau ke kampus naik motor, parkir se-enaknya, terus langsung duduk kuliah.
Diisilah kantong-kantong parkir di UIN ini”. (Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul F
Link: https://lpmarena.com/2014/02/21/mahasiswa-minta-gerbang-fakultas-ushuluddin-
dibuka/
lpmarena.com, Bedah buku “Tradisi Akademik Perguruan Tinggi” karya Akhmad Minhaji
berlangsung di gedung Teatrikal Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, Minggu pagi (9/2). Hadir
selaku pembedah sekaligus penulis buku, Akhmad Minhaji.
Menurutnya, buku ini mencoba menjelaskan dan mengupas berbagai persoalan akademik
yang ada di Perguruan Tinggi. Seperti tradisi akademik yang harus dimulai sejak dini, tiga hal
penting dalam mengelola lembaga pendidikan (Knowledge, Skill, Integrity/commitment),
peran aktif lembaga dalam menciptakan siswa dan mahasiswa yang unggul, serta bagaimana
berfikir global bagi akademisi.
“Orientasinya pada jeneng (nama) bukan pada jenang (honor). Saatnya berpikir nasional,
bukan lagi tingkat Sapen. Mulai melangkah secara global dan Internasional,” ungkap pria
yang kini menjabat Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Suka.
Pria asal Madura tersebut juga menyinggung tentang pentingnya belajar bahasa asing, filsafat
dan sejarah. “Bahasa ibarat jendela, kalau dia bisa satu bahasa, dia punya satu jendela, dua
bahasa, dua jendela, dan seterusnya. Kedua, belajar filsafat, dengan mempelajari filsafat
orang akan mencari sampai akar-akarnya. Ketiga, belajar sejarah, dengan sejarah orang akan
tahu kenapa ia berhasil dan gagal,” ujarnya.
Selain bedah buku, juga dilaksanakan acara pelantikan pengurus Himpunan Mahasiswaa
Islam Komisariat Fakultas Saintek UIN Suka periode 2013-2014 dengan Nurhafid
Firmansyah sebagai ketua umumnya.(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/02/09/empat-cara-menumbuhkan-tradisi-akademik-ala-
minhaji/
Fadhlan Adham Hasyim menyampaikan materi tentang sehat dan hebat dengan ruqyah
syar’iyyah. “Al Qur’an adalah obat semua penyalit psikis dan fisik, di dunia dan akhirat.
Rasulullah saja dahulu pernah di-ruqyah oleh malaikat Jibril dan istrinya Aisyah RA. Namun,
banyak orang yang tidak percaya dengan terapi Al Qur’an ini karena tidak berdasar pada
penelitian ilmiah,” ungkap Zaidul Akbar.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa suara manusia membawa irama rohani yang khas dan
dijadikan sebagai penyembuh. Selain melalui ayat Al Qur’an yang dibacakan kepada orang
yang sakit, metode terapi ruqyah sendiri bisa lewat air, sentuhan, dan metode holistik yang
modern.
Sangiran dalam seminar tersebut menyampaikan materi diet dan langsing secara Islami. “Dari
empat orang Indonesia sekarang ini, satu diantaranya menderita obesitas,” tutur Sangiran.
Kemudian ia menceritakan kisah pribadinya yang dahulu memiliki berat badan 97 kg dalam
lima bulan berubah menjadi 72 kg.
Sementara Khamidinal yang memiliki latar belakang dosen kimia UIN Suka lebih banyak
membahas tentang bahan kimia pada makanan. “Bahan kimia itu muncul pada produk-produk
berupa pemanis, pengawet, penyedap, pupuk, dan polusi. Tempat akumulasinya ada di darah,
ginjal, bawah kulit, lambung, dan hati. Dan akan dikeluarkan melalui keringat, buang air
besar, buang air kecil, muntah, ingusan, bekam, dan metode detoksifikasi lainnya,” jelasnya
pada peserta seminar.
Zaidul Akbar, menyampaikan materi di sesi terakhir. “Seumur hidup, Rasulullah hanya sakit
dua kali, karena beliau sangat memperhatikan apa yang ia makan. Manusia diciptakan Allah
dari tanah yang sifatnya menyerap, beda dengan air yang melarutan. Kondisi ini memberikan
beberapa keuntungan, jika manusia teracun, ia tidak tiba-tiba mati, atau saat tubuh manusia
terkontaminasi dengan makanan-makanan sampah dampak yang ditimbulkan tidak serta
merta, tetapi akan terakumulasi di kemudian hari,” tukasnya. (Isma swastiningrum)
Editor : Ulfatul F.
Link: https://lpmarena.com/2014/02/08/mencontoh-gaya-hidup-sehat-rasulullah/
“Saya harap ARENA bisa terus mengawal Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik,
kuncinya terus berkarya,” ungkap Pemimpin Umum LPM ARENA, Taufiqurrahman pada
malam puncak perayaan hari ulang tahun ARENA yang ke-39.
lpmarena.com, Sabtu (11/1), LPM ARENA menggelar malam puncak perayaan hari ulang
tahun yang ke-39 di gelanggang Teater Eska UIN Sunan Kalijaga. Acara tersebut
dimeriahkan berbagai pentas musik dan sastra dari berbagai komunitas di UIN, seperti Az-
zahra, Teater Eska, PSM Gita Savana, Gorong-Gorong Institute, Patani dan Malapaska. Turut
hadir berbagai aktivis pers mahasiswa dan organisasi mahasiswa yang ada di Yogyakarta
dalam acara tersebut.
Sementara Abdur Rozaki selaku pembina LPM ARENA dalam sambutanya berharap LPM
ARENA mampu mengkampanyekan jiwa-jiwa kepemimpinan selagi masih muda. “Menjadi
leader, bukan dealer,” tutur Rozaki.
Adapun Hairussalim selaku perwakilan dari alumni LPM ARENA, mengingatkan kembali
posisi LPM ARENA sebagai pionir dari kancah pemikiran alternatif. “Lambang dari Arena
sendiri adalah Sokrates, tapi kalau dilihat-lihat seperti orang lagi BAB. Kalau gagal jadi anak
Arena ke toilet aja,” kata Hairussalim
Dalam acara tersebut juga diselingi lounching majalah ARENA 2013 dan buku berjudul
“Mahasiswa dan Politik Praktis”. Buku tersebut merupakan kumpulan naskah lomba essai
yang diadakan LPM ARENA, dimana Aji, Cecep dan Rusli keluar sebagai juara1 sampai 3.
(Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2014/01/12/menginjak-usia-39-tahun-arena-akan-terus-
mengawal-perubahan/
lpmarena.com, Civitas akademik Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) UIN Sunan
Kalijaga menggelar Science and mathematics education expo 2013 bertemakan “Kreativitas
Media, Wujud Calon Guru Profesional” di lantai dasar fakultas (19-20/12). Peserta expo ini
mahasiswa semester V jurusan Pendidikan Kimia, Pendidikan Biologi, Pendidikan
Matematika dan Pendidikan Fisika fakultas Saintek.
Event ini bermula dari mata kuliah Media Pembelajaran di berbagai jurusan pendidikan di
Fakultas Saintek. Tujuannya untuk mempermudah penyampaian materi dari guru kepada
murid.
Fransiska Kurnia Natalia, mahasiswa semester V jurusan Pendidikan Fisika sekaligus peserta
expo menyambut baik kegiatan ini. “Melelahkan, tapi bagus. Ini menunjukkan kepada para
dosen dan mahasiswa mengenai media-media pembelajaran. Oh ternyata mahasiswanya
kreatif,” kata Fransiska.
Dalam expo ini, Fransiska dan kelompoknya menampilakan media pembelajaran yang diberi
judul “Multiboard”. Alat ini dibuat dengan peralatan yang sederhana dan murah. Fungsinya
digunakan untuk menjelakan materi vector dan trigonometri.
Selain multiboard ada belasan media pembelajaran yang ditampilkan, diantaranya simulasi
erupsi gunung merapi dan hukum Archimedes. (Isma Swastiningrum)
Link: https://lpmarena.com/2013/12/19/mahasiswa-saintek-adu-kreativitas-media-
pembelajaran/
Acara ini dibuka pada 2 Desember pukul 19.00 WIB, bertempat di Teatrikal Ushuluddin.
Rangkaian acara pada 3 Desember adalah Sartre & De Behaviour Cup. Pertandingan Spartan
futsal antar angkatan bersenjata (red. Mahasiswa angkatan FUSPI) mahasiswa jurusan
Filsafat Agama (FA) baik putra maupun putri.
Pada 4-5 Desember: Pretel Novel dan Puisi. Mengupas novel “Tangan Lelaki” karya Tenri
(mahasiswa FA 2012) dan buku puisi “Masegit” karya Shohifur Ridho Illahi (mahasiswa FA
2010) di Smart Room FUSPI pukul 09.00-11.00 WIB.
Link: https://lpmarena.com/2013/12/03/filsafat-agama-adakan-hura-hura-filosof/
Penampilan Firman ketika menceritakan kisah hidupnya kepada para peserta seminar di Convention
Hall, (17/11).
Lpmarena.com,Witing tresno jalaran soko telo (Cinta tumbuh karena ketela) adalah
gambaran motto hidup yang cocok bagi Firmansyah Budi Prasetyo. Nara sumber dalam
seminar bertema “Menumbuh Kembangkan Jiwa Kewirausahaan pada Generasi Muda”
dalam rangkaian acara Entrepreneurship Fair 2013 oleh fakultas Sains dan Teknologi,
(17/11). Bertempat di Gedung Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Pemilik brand “Cokro
Telo Cake” ini mengungkapkan kisah dukanya menjadi seorang pengusaha.
“Langkah awal selalu melelahkan,” tutur Firman (sapaan Firmansyah). Mulailah dengan apa
yang kita cintai. Itu bisa dilihat dari budi pekerti dan body pekerti. Dicontohkan dia sendiri,
Firman memiliki body yang tambun, ia suka makan, maka ia berbisnis makanan. Ia memulai
bisnisnya dari percetakan dan warung internet (warnet) yang semuanya gagal. Hingga
akhirnya iamemilih tela sebagai bisnisnya.
Langkah awal tidak selalu mulus. Dimulai dari memanfaatkan gerobak almarhum Ibunya,
Firman mencoba berjualan. Kuliah hukum tidak mengajarinya bagaimana menggoreng yang
benar atau bagaimana cara membungkus kemasan yang menarik. Ia belajar dengan konsep
“Trial and Error” untuk mendapatkan komposisi yang enak, baik penampilan maupun rasa.
Awalnya produk yang dihasilkan gagal dan tidak diminati konsumen, setelah belajar dan
belajar dari pengalaman Firman menemukan racikan dari resepnya sendiri, hingga sekarang
cokro telo racikannya laris di pasaran.
Modal untuk memulai usaha ini dahulu hanya Rp 3000,-. Firman mengungkapkan modal
tidak hanya uang. Modal pertama yang terpenting adalah diri sendiri, jual (nilai) diri sendiri.
Kedua, keahlian. Ketiga, networking (red, Jaringan). Keempat, kreatifitas. Juga didukung
dengan trust (red, kepercayaan) dan dekat dengan media (sesuatu yang unik disukai media).
Selain Cokro Telo Cake, ada banyak produk yang dihasilkan dari bisnisman Firman ini,
diantarnya Tela Krezz dan berbagai produk olahan coklat. Mimpi Firman, ia ingin tela setara
dan mendunia. “Tela is me,” pungkas Firman. (Isma Swastiningrum)
https://lpmarena.com/2013/11/18/dibalik-kesuksesan-firman/
Seminar dan workshop metodologi penelitian di Program studi Fisika fakultas Sains dan Teknologi.
Lpmarena.com, Rabu (13/11) acara seminar dan workshop bertajuk “Metodologi Penelitian
Fisika” digelar di teatrikal fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga. Acara yang
berlangsung pukul 09.30-12.00 WIB ini menghadirkan dua pembicara, Agus Eko Prastyo
pakar pembuat proposal dari UGM dan Frida Agung Rakhmadi, Ketua Progran Studi (Prodi)
Fisika. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat mahasiswa prodi Fisika melakukan
budaya penelitian yang nantinya akan membawa dirinya menjadi manusia lebih beriman,
beramal, dan bermanfaat.
Menurut Agus, syarat proposal yang baik itu ada tiga. Pertama, sistematis (sesuai dengan
pola-pola tertentu). Kedua, terencana (tentang langkah-langkah pelaksanaan, lengkap dengan
jadwal pengumpul data, analisa, hingga pelaporan). Ketiga, mengikuti konsep ilmiah dengan
mengikuti kaidah penulisan ilmiah.
Komponen proposal penelitian menurut Agus ada 12. Judul, latar belakang, perumusan
masalah, batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, hipotesis,
metode penelitian, jadwal pelaksanaan, daftar pustaka, dan lampiran.
Kaitan antara penelitian dengan agama (Islam) menurut Frida Agung Rakhmadi, terdapat
empat model integrasi-interkoneksi, yaitu komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan
verifikasi. (Isma Swastiningrum)
Link:https://lpmarena.com/2013/11/13/prodi-fisika-adakan-workshop-metodologi-penelitian/