Anda di halaman 1dari 10

KULIAH ONLINE GRUP WA OMK/MUDIKA INDONESIA

Hari : Jumat, 23 Februari 2018


Jam : 19.00 WIB/20.00 WIT/21.00 WIT
Tema: Bagaimana membangun komunitas penulis muda “Komunitas Pena”
Pemateri : mas Sutriyono Robert (Purwokerto)

Selamat malam teman-teman,


Kita mau kulon lagi nih. sudah tahu kan kulon ? Kuliah online, tempat kita belajar rame-rame tentang
segala sesuatu yang bisa memperkaya wawasan kita sebagai Katolik muda. Nah, malam ini kita mau
berkulon ria bersama kakak kita, mas Robertus Surtiyono, mentor kepenulisan dari Keuskupan
Purwokerto. Nah Kulon kita kali ini akan mengambil tema Bagaimana membangun komunitas
penulis muda, Komunitas PENA.
Sebelum mas Sutri berbagi kepada kita, jelas penting dong buat kita untuk mengenal beliau lebih
mendalam. Nah, kenalan dulu yuk dengan tamu istimewa kita.
Nama beliau mas Robertus Bellarminus Sutriyono. Beliau ini adalah pegiat kepenulisan dari kota
mendhoan, Purwokerto. Bagi teman-teman yang cukup akrab dengan keuskupan Purwokerto, pasti
pernah mendengar nama beliau disebut-sebut. Iya, beliau ini sangat gencar melakukan pelatihan
kepada teman-teman muda Katolik. Banyak para jurnalis muda yang lahir dari tangan dingin beliau.
Beliau sangat dikenal dengan komunitas Pena besutan beliau. Berkali-kali saya mendengar cerita
pribadi dari anak didik mas Sutri, bagaimana beliau dengan sabar mendidik adik-adik di Purwokerto
dan sekitarnya untuk menulis, menulis dan terus menulis. Mas Sutri ini sangat sering mengisi
pelatihan menulis di berbagai sekolah di Keuskupan Purwokerto.
Mas Sutri juga aktif di Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Purwokerto. Tahun lalu (2017) beliau
sibuk menjadi ketua Pekan Komunikasi Sosial Nasional di Purwokerto. Beliau juga aktif di Cor Unum,
majalah keuskupan Purwokerto.
Bagaimana (saya) Memulai Komunitas Pena
Oleh Robertus Sutriyono
https://matakata2017.wordpress.com/2018/02/21/bagaimana-saya-memulai-komunitas-pena/

Sebuah upaya berbagi

Ide komunitas pena saya cetuskan pada Dian di Balai Budaya Sinduarjo di Jakal Yogyakarta. Ketika itu
saya dan Dian, berdua dari Purwokerto, memenuhi undangan Majalah Utusan. Dian adalah
mahasiswa Fak Hukum Unsoed ketika itu. Sementara saya gelandangan yang kadang menulis untuk
beberapa media. Kami diundang mengikuti pelatihan Jurnalisme Damai. Materi dari Rm Aloys Budi
Purnomo Pr, Pak Witdharmono dari Kompas, dan beberapa pembicara lain tentu saja menarik. Akan
tetapi sharing saya kali ini adalah soal komunitas pena.

“Kita bisa membuat komunitas itu di Purwokerto,” kata saya pada Dian kala itu.

Dalam kepala saya memang sudah terbayang, seperti apa komunitas belajar menulis itu akan
berdinamika. Dian mengamini. Sepulang dari Yogyakarta, kami bergerilya. Dua sasaran kami adalah,
teman-teman SMP dan SMA yang menurut Dian memiliki minat dalam hal menulis. Sebagai aktivis
Mudika dan sempat juga menjadi ketua mudika, Dian memiliki reverensi teman muda jauh lebih
banyak dari saya. Sasaran ke dua adalah Dewan Paroki yang punya perhatian dalam dunia menulis.
Kami datang dari rumah ke rumah. Menyampaikan undangan dan menyampaikan rencana
kegiatannya.

Sekitar 30-40 anak muda SMP-SMA dan mahasiswa ikut dalam pertemuan pertama. Kami difasilitasi
Paroki Katedral Kristus Raja Purwokerto. Maka dinamika Komunitas Pena dimulailah hari itu.

Apa hubungan Komunitas Pena dengan pelatihan Jurnalisme Damai di Yogyakarta?


Secara langsung tidak ada. Pelatihan itu berisi pelatihan jurnalistik. Bagaimana jurnalis menulis di
tengah konflik. Sementara Komunitas Pena ya forum di Purwokerto yang lantas menjadi ruang
belajar menulis bersama. Konteksnya memang anak muda Katolik di Purwokerto. Jadi pelatihan di
Jogja itu menjadi semacam sarang untuk bertelurnya ide yang lantas dibawa pulang Purwokerto.

Apa yang dilakukan dalam pertemuan pertama itu?

Ini jelas pertanyaan yang kebelet. Ingin segera tahu apa yang dibuat.
Oke, saya akan jawab. Sebelumnya saya akan cerita, bahwa sebelum 2003 itu saya sudah mulai
menulis untuk beberapa media. Majalah Hidup, majalah Utusan, majalah Familia (yang sekarang
sudah mati), dan beberapa majalah lain dalam intensitas yang tidak sebesar tiga majalah itu.
Termasuk majalah Intisari.

Semuanya dalam status sebagai penulis lepas. (Maka mengejutkan dan menjadi kehormatan besar
bagi saya ketika Utusan mengundang saya ikut dalam pelatihan yang mereka buat).
Dalam masa kegiatan menulis itu, saya tengok kanan dan kiri. Karena memang saya kuper dan
pergaulannya hanya di sekitar gereja, yang saya tengok kanan kiri ya anak-anak muda Katolik. Dan
saya merasa sendiri. Seorang diri saya bermain-main dengan pena dan kamera. Saya yang punya
bakat introvert kuat semakin merasa kesepian.

Kesepian itulah salah satu alasan mengapa saya lantas mengumpulkan teman-teman lain untuk
latihan bareng. Biar ada teman, begitulah.

Karena tidak punya pengalaman memberi pelatihan, lantas yang saya lakukan adalah, saya
memikirkan bagaimana proses saya belajar menulis. Dari situ kemudian saya membuat proses
“pelatihannya”. Kata PROSES menjadi penekanan. Juga dalam pelatihan-pelatihan yang saya siapkan
waktu-waktu selanjutnya, hingga sekarang pun.

Konkritnya demikian:

1. Imajinasi

Menulis, entah opini, fiksi, maupun jurnalistik tetap membutuhkan kemampuan imajinasi. Dalam
fiksi jelas. Imajinasi dibutuhkan untuk mendapatkan jalan cerita, tokoh cerita dst. Menulis opini juga
demikian. “Mempertemukan” fakta satu dengan fakta lain dan memikirkan dampak atau
konsekuensi lanjutnya, membutuhkan imajinasi. Menulis berita, terutama menulis berita kisah juga
membutuhkan imajinasi. Narasumber bisa bercerita panjang lebar. Imajinasi diperlukan ketika
penulis hendak membangun kembali kisahnya dalam bentuk teks.
Maka saya memikirkan PROSES macam apa agar teman-teman bisa memahami arti penting imajinasi

Demikianlah yang kemudian saya lakukan:

 Saya memperagakan pantomim di depan teman-teman. Saya mengambil sebuah papan


(imajinatif) dari tas. Di atas papan ada kertas (imajinatif). Lantas saya mengambil balpoint dari
kantong baju (imajinatif); dan mulai menulis nama dan tanda tangan di papan imajinatif itu.
Sesudah itu, saya memberikan papan itu ke teman peserta pertemuan di depan saya. Ia
melakukan hal yang kurang lebih sama. Menuliskan nama dan membubuhkan tanda tangan.
Ia lantas memberikan kepada teman di sebelahnya. Begitu seterusnya.
 Saya mengambil sebuah bola di pojok ruang. Memantul-mantulkan bola itu, lantas
melemparkan pada salah satu anak. Teman yang dapat bola (imajinatif) saya itu lantas
melemparkan bola itu ke teman lain.. dst.

Dalam simulai ini, apakah papan absensi itu ada? Apakah bola itu ada? Ada tapi tidak ada. Tidak ada
tapi ada.

Begitulah PROSES mengajak teman-teman memahami imajinasi. Saya tidak (dan menghindari)
menggunakan metode ceramah yang memaparkan apa itu imajinasi, apa arti pentingnya dst.
Pemahaman hal terakhir ini atas dasar pengaruh prinsip pendidikan orang dewasa yang pernah saya
baca-baca dan ikuti.

Dari game atau simulasi itu lantas kepada teman-teman diajukan pertanyaan reflektif. Misalnya, apa
sebenarnya yang tadi kita lakukan? Apakah memang bola itu ada? Kalau tidak ada, mengapa tadi kita
mau menerima bola yang dilempar, dan melemparkan pada orang lain..?

Salah satu kalimat kunci yang menjadi penegasan adalah: segala sesuatu diciptakan dua kali.
Termasuk cerita atau tulisan. Pertama dalam angan-angan, kedua ketika hal itu diperjuangkan untuk
menjadi ada. (ini mengadopsi gagasan orang pintar tentang penciptaan; siapa hayooo?)

2. Ide

Hal kedua yang penting dalam menulis adalah soal ide atau gagasan. Saya menyadari, keluhan yang
sering terdengar dari seorang yang baru belajar menulis adalah soal ide atau gagasan. Darimana
gagasan bisa didapatkan? Apakah menunggu ilham?

Keyakinan saya adalah, ide atau gagasan bisa berasal dari mana saja.

Maka kemudian saya berpikir, PROSES macam apa yang bisa menyadarkan teman-teman bahwa
gagasan bisa berasal dari mana saja.

Demikianlah yang kemudian saya laukan:

Saya mengajak teman-teman berdiri (waktu itu pertemuan berlangsung lesehan). Berdiri dilakukan
dalam satu baris/sap. Saya mengajak teman-teman bermain sesuai dengan instruksi yang akan saya
berikan. Saya berdiri di satu titik di antara barisan itu. Lantas saya katakan, dalam hitungan satu
sampai 10, silakan urutkan sesuai tinggi badan, ke depan saya semakin tinggi, ke belakang semakin
rendah.

Maka riuhlah teman-teman mengurutkan tinggi badan.

Pada kesempatan kedua yang menjadi titik acuan adalah salah satu peserta. Instruksinya, ini soal
panjang pendek rambut. Ke depan semakin panjang, ke belakang semakin pendek…

Dan berlanjut dengan beberapa pengurutan lainnya seperti warna kulit (gelap-terang), tingkat
kekeritingan rambut; dan yang membuat heboh adalah, merasa paling ganteng/cantik dan paling
jelek.

Dari permainan itu kemudian diajukan pertanyaan reflektif. Misalnya, apa yang bisa ditulis terkait
dengan tinggi badan? Apa yang bisa ditulis terkait dengan rambut keriting? Apa yang bisa ditulis
terkait dengan kepercayaan diri merasa paling ganteng, atau ketidak yakinan atau malu-malu atas
klaim ganteng/jelek?

Begitulah, ide bisa berasal dari apapun, atau dari manapun.

3. Menulis

Selepas game yang heboh itu, saatnya adalah menulis. Teman-teman dipersilakan menulis dari
berbagai topik atau permasalahan yang muncul dalam game tadi. Menulis apapun. Dalam bentuk
apapun. Bisa puisi, opini, cerita dst. Dalam awal-awal belajar menulis itu, meskipun saya lebih
banyak menulis berita dan berita kisah, untuk teman-teman saya lebih mendorong menulis dalam
bentuk yang mereka suka.

Maka dari gambaran itu ada beberapa hal yang pada pelatihan-pelatihan berikutnya selalu saya
pegang:

a. PROSES

Fasilitator/trainer harus berpikir keras membuat proses yang mengena untuk tiap-tiap topik materi

b. GEMBIRA

Proses belajar menulis dibangun dalam suasana gembira

c. KETERLIBATAN

Pertemuan atau training tidak hanya satu arah, tetapi memberikan ruang keterlibatan peserta
bahkan hingga mereka menemukan sendiri nilai-nilai atau butir-butir (teknik) kepenulisan. Metode
ini juga tidak membuat teman-teman mudah bosan. Membangun citra, belajar menulis itu asik.

d. PRAKTEK MENULIS
Pelajaran utama dari training menulis adalah praktek menulis.

Demikianlah apa yang dibuat pada awal Komunitas Pena. Tentu saja dalam perkembangan
selanjutnya saya terus berpikir bagaiman pelatihan-pelatihan menulis menjadi semakin efektif,
menyenangkan, dan melibatkan.

Sebagai informasi tambahan yang mungkin tidak penting-penting amat menjawab


pertanyaan, sekarang “alumni” Komunitas Pena ada di mana?
Tidak semua teman-teman yang pernah ikut dalam Komunitas Pena lantas menjadi penulis. Akan
tetapi beberapa teman sangat serius menggeluti dunia menulis. Beberapa nama misalnya; Lukas Awi
Tristanto (Redaktur Pelaksana Majalah Inspirasi Semarang, yang juga aktivis dialog lintas agama dan
penulis buku tentang lingkungan hidup), Yohanes Prayogo (Redaktur Pelaksana Majalah Hidup
Jakarta, juga menulis buku tentang Kardinal), Maria Pertiwi (pernah menjadi wartawan di Hidup), CF
Putri (mengelola medsos Akademi Maritim Nusantara).

Saya sendiri sekarang mengelola Majalah Cor Unum. Majalah rohani milik Keuskupan Purwokerto.
Aktivitas pendampingan menulis dijalankan menggunakan sarana majalah tersebut. Terakhir
misalnya, kami membuat festival menulis untuk anak-anak SD. Artikel yang masuk kemudian
diseleksi dan dimuat di majalah Cor Unum edisi Natal dengan tema, Ceritaku untuk Bayi Yesus.

Informasi lain yang sama juga tidak penting-penting amat adalah bahwa dalam usia 15 tahun ide
Komunitas Pena, saya menjadikan tahun ini sebagai tahun syukur dan berbagi. Salah satunya ya
berbagi pengalaman ini/di sini. Selain itu, saya siap berbagi lebih luas lagi, bukan hanya di
Purwokerto; untuk mendampingi proses belajar menulis.

Salam

Sutriyono
RANGKUMAN

1. mas Sutri tergerak untuk membangun gerakan kepenulisan seelah mengikuti pelatihan jurnalisme
damai 2003. Menulis bisa menjadi sarana bina damai.
2. kata-kata yang menarik dan kuat, mas Sutri membangun metodenya sendiri : Karena tidak punya
pengalaman memberi pelatihan, lantas yang saya lakukan adalah saya memikirkan bagaimana
proses saya belajar menulis. Dari situ kemudian saya membuat proses “pelatihannya”
3. Membangun imajinasi : berpantomim, bermain bola imajiner
4. mas Sutri tidak menggunakan metode ceramah yang memaparkan apa itu imajinasi, apa arti
pentingnya dan seterusnya. Ini atas dasar pengaruh prinsip pendidikan orang dewasa (andragogi)
5. Segala sesuatu diciptakan dua kali. Termasuk cerita atau tulisan. Pertama dalam angan-angan,
kedua ketika hal itu diperjuangkan untuk menjadi ada.
6. membangun ide : ide atau gagasan bisa berasal dari mana saja.
7. tantangannya : PROSES macam apa yang bisa menyadarkan teman-teman bahwa gagasan bisa
berasal dari mana saja ? Jawab mas Sutri : Dari permainan kemudian diajukan pertanyaan reflektif
8. saatnya menulis : menulis dari berbagai topik atau permasalahan yang muncul dalam game tadi.
Kunci dari mas Sutri : untuk teman-teman saya lebih mendorong menulis dalam bentuk yang mereka
suka.
9. beberapa hal yang selalu mas Sutri pegang:
a. PROSES (proses yang mengena)
b. GEMBIRA (menulis dibangun dalam suasana gembira)
c. KETERLIBATAN (tidak satu arah, ruang keterlibatan membuat mereka menemukan sendiri
nilai-nilai)
d. PRAKTEK MENULIS (pelajaran utama latihan menulis adalah praktek menulis)
TANYA JAWAB :

MAS ANGGER (KLATEN)


Terimakasih. Saya termasuk orang yang tidak terlalu suka menulis, karena memang saya tidak pinter
dalam memilih dan merangkai kata- kata yang bagus dalam tulisan. Bagaimana cara memilih dan
merangkai kata- kata yang bagus untuk sebuah tulisan yang enak dibaca ? Mohon pencerahannya ?

JAWAB :
Belajar menulis kiat sejak SD seingat saya. hehehe. Kesulitan menulis biasanya karena ada blok yang
menghalang. Cara praktis belajar menulis adalah dengan menulis bebas. Maksudnya, coba menulis
apapun yang muncul di kepala. Dalam hitungan misalnya tiga menit. Tulis dan tulis saja, nanti
perlahan-lahan akan terlatih. Dan jangan berpikir apakah tuilisan itu jelek atau baik, benar atau
salah. Soal pilihan kata nanti akan terbangun perlahan-lahan. Tentu Mas Angger yang juga suka
membaca akan juga punya peran dalam proses belajar menulis. Katanya, orang tidak bisa menulis
kalau tidak membaca. Gitu Mas Angger. Semoga bisa ditangkap ungkapan anak lereng Gunung
Slamet ini. Biasanya saya akan menyampaikan teori otak kanan otak kiri. Lalu membuat proses
teman-teman pelatihan menggelontorkan ide sebebas-bebasnya.

MAS ARI SETYO (PURBALINGGA)


Tanya: Sejauh mana efek atau pengaruh nyata bekal yang diberikan atau didapatkan dalam proses
dan berlatih menulis untuk kiprah para alumni ? Dampaknya dalam pekerjaan atau sisi hidup lainnya
yang terkait dengan dunia tulis menulis?

JAWAB :
Saya kemarin mendapat kiriman chat dari seorang teman dengan satu teman di sebuah majalah,
yang dulu juga bareng di Komunitas Pena. Teman di majalah itu merasa sudah tidak nyaman di
tempatnya kerja karena merasa tidak ada lagi nilai yang bisa diperjuangkan.
Tampaknya kebersamaan masa lalu yang menekankan proses belajar menulis dengan segala
idealismenya mengendap kuat dalam diri teman itu. Mungkin itu gambaran bagaimana pengaruh
proses bersama di komunitas dulu.

MAS ARI :
Proses menjadi pondasi yang kuat dalam komunitas.

CANDRA (YOGYA)
Mas saya suka baca, tapi agak sukar untuk menulis mengungkapkan perasaan melalui tulisan, pernah
ngeblog tapi sampai tengah jalan aja. Tulisannya juga sekenanya. Yang jadi pertanyaan: ingin belajar
menuangkan rasa, kegelisahan, di dalam tulisan, nah untuk yang benar-benar pemula, selain niat,
apa yang harus dilakukan ketika di tengah jalan semangat nulisnya naik turun? terima kasih.

JAWAB :
Semangat pasang surut menulis itu hal biasa Mas Candra.
Dulu saya menulis buku harian. Dari buku harian itu saya belajar JUJUR dengan apa yang saya
rasakan. Dan itu modal yang amat berharga dalam proses belajar menulis selanjutnya. Jadi, salah
satu cara ya menuangkan rasa apa saja. Nah, mungkin kadang kendalanya ada rasa enggan
menyusuri relung-relung rasa dalam batin, lantas mandeg di jalan.
Mgr Sunarka mengajari gini Mas Candra; duduklah, dan lihat apa yang ada di depan, lihat mobil
lewat, ditulis, lihat gadis lewat ditulis. Itu cara yang lain selain memasuki relung-relung hati-rasa.
Bisa juga menggunakan indera lain; pendengaran misalnya. Bisalah sesekali waktu duduk dan
mendengarkan apa saja yang mengusik telinga, lantas tuliskan. Atau penciuman; mencium aroma
parfum, tulis. Mencium bau tanah basah, ditulis. Kurang lebih gitu Mas Candra. Semoga bisa sedikit
menjawab.

RIA (SEMARANG)
Kebetulan saya juga suka menulis tetapi seringnya ketika sudah di tengah jalan tiba-tiba tidak ada
ide atau ide hilang bingung mau lanjut bagaimana. Itu solusinya bagaimana untuk mengatasi seperti
itu?

JAWAB :
Wah, ini harus menjawab pertanyaan penulis ya. Berat. Apakah ada Dilan di sini? Tergantung
tulisannya mestinya Mbak Ria. Tulisan apa yang Mbak Ria buat? Kalau buku, biasanya sudah dibagi
bab per bab, sub bab per sub bab dan seterusnya.. Kalau berita, melihat ulang data-data yang sudah
dipunyai. Ataukah fiksi?
Saya sedang tulis buku tentang Nusakambangan, tertunda agak lama.Ketika hendak menulis lagi, ya
memang harus melihat ulang dari awal; lantas meninjau ulang kerangka besarnya..
Pertama, menggagas keseluruhan tulisan secara utuh. (Imajinasi akhir tadi) Lantas menulisnya
tahap demi tahap. Ketika tertunda, memang harus kembali melihat gagasan keseluruhannya lagi
seperti apa. Baru masuk ke bagian yang macet tadi.

ANTONIO HELTRA (MALANG)


Begini, saya belum terbiasa menulis, tetapi punya banyak keresahan tentang hal-hal di sekitar. Nah
Saya menuliskannya kadang melompat-lompat dan cuma poin-poin. Sering jadi cuma
mengumpulkan poin poin tulisan, tetapi sulit banget merangkai jadi tulisan yang runtut. Untuk
menggabungkan supaya bisa jadi runut apakah ada tips nya? Supaya bisa jadi baik tulisannya.

JAWAB:
Mas Antonio, barangkali ini membantu. Cari dan Temukan tulisan salah satu penulis nasional.
Misalnya Umar Khayam, Gunawan Mohammad. Baca artikel mereka sebanyaknya. Lantas coba tiru
bagaimana beliau nulis.
Memang perlu serius untuk fokus pada satu permasalahan dulu sampai tuntas tertuliskan. Kalau ada
ide atau keresahan lain, buat catatan dulu. Dan berjanji nanti akan dieksplore lebih mendalam.

ARIS RETNANTO (JAKARTA)


Salam '''Ora ngapak ora kepenak'''. Tanya mas, pada saat proses menulis, terutama saat menulis
berita, terkadang justru mengalir ke wilayah opini atau bahkan menjadi investigatif. Nah jebakan-
jebakan macam ini membuat tulisan menjadi tidak seobyektif seperti yang semestinya disajikan.
Mohon tips jitunya mas.
JAWAB :
Mas, saya pernah merasakan hal yang sama. Godaan terbesar aktivis yang menulis berita adalah
ikut beropini. Nah, mungkin mindset yang perlu ditata ulang. Menulis berita bukan berarti tidak ada
opini penulis. Ketika jurnalis memilih sudut pandang, memilih narasumber, memilih pertanyaan ke
narasumber, itu sudah upaya memasang opini. Jadi opini jurnalis ya dalam disiplin pemilihan
berbagai hal tadi.
Lanjut. Tetapi ketika saya bisa menempatkan diri sebagai jurnalis sepenuhnya, lantas nyaman juga.
Apa yang ingin kita omongkan atas permasalahan yang meresahkan kita, ya biar narasumber kita
yang omong. Kurang lebih demikian.

MARIA EVIANA (LAHAT)


Saya kirim pertanyaan sekarang ya. Mumpung sela. Saya suka nulis, yang fiksi, yang artikel, yang
tentang gereja juga ada. Yang mau saya tanyakan, kalau paroki tidak mempunyai wadah untuk
tulisan tulisan umatnya, sebaiknya duwadahkan apa selain blog? Karena tidak semua warga suka
baca blog.
Bagaimana cara ngajak warga gereja untuk menulis? Makasih.

JAWAB:
Terima kasih pertanyaannya Mbak Maria.
Kita tidak banyak tahu siapa yang membaca tulisan kita. Termasuk di blog. Tetapi ketika kita tekun
dan terus menulis suatu saat mungkin terkejut karena ada orang datang dan berkomentar; terima
kasih ya, tulisanmu menarik... dan seterusnya. Jadi ya terus saja menulis.
Soal gereja, kadang memang lambat.. hehehe. Saya pernah kelola web tingkat keuskupan, suatu kali
web rusak dan tidak bisa diambil data yang pernah saya tulis. Saya tidak paham kenapa itu terjadi.
Sekian artikel tenggelam dan lenyap entah kemana. Pengelola teknis web entah memang enggan
menyelamatkan data atau memang tidak memungkinkan saya tidak tahu.
Bagaimana mengajak umat menulis?
Kalau kami di Purwokerto, kebetulan ada majalah. Kami mendorong umat dewasa dan muda
menulis dari paroki masing-masing. Tapi ya tidak mudah. Satu paroki ada satu saja itu sudah hebat.
Dari 25 paroki, paling yang ada penulis cukup tetap sekitar 18an paroki. Kalau mau ya dibuat seperti
Komunitas Pena yang dulu kami buat.
Karena ini juga penting: menulis itu dunia diam. kadang kita tidak tahu bahwa sebenarnya ada
banyak orang punya kemampuan dan keinginan menulis, tetapi karena kerja menulis itu kerja diam,
baru akan tahu ketika mulai ditawari dan mulai ikut dan seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai