Ide komunitas pena saya cetuskan pada Dian di Balai Budaya Sinduarjo di Jakal Yogyakarta. Ketika itu
saya dan Dian, berdua dari Purwokerto, memenuhi undangan Majalah Utusan. Dian adalah
mahasiswa Fak Hukum Unsoed ketika itu. Sementara saya gelandangan yang kadang menulis untuk
beberapa media. Kami diundang mengikuti pelatihan Jurnalisme Damai. Materi dari Rm Aloys Budi
Purnomo Pr, Pak Witdharmono dari Kompas, dan beberapa pembicara lain tentu saja menarik. Akan
tetapi sharing saya kali ini adalah soal komunitas pena.
“Kita bisa membuat komunitas itu di Purwokerto,” kata saya pada Dian kala itu.
Dalam kepala saya memang sudah terbayang, seperti apa komunitas belajar menulis itu akan
berdinamika. Dian mengamini. Sepulang dari Yogyakarta, kami bergerilya. Dua sasaran kami adalah,
teman-teman SMP dan SMA yang menurut Dian memiliki minat dalam hal menulis. Sebagai aktivis
Mudika dan sempat juga menjadi ketua mudika, Dian memiliki reverensi teman muda jauh lebih
banyak dari saya. Sasaran ke dua adalah Dewan Paroki yang punya perhatian dalam dunia menulis.
Kami datang dari rumah ke rumah. Menyampaikan undangan dan menyampaikan rencana
kegiatannya.
Sekitar 30-40 anak muda SMP-SMA dan mahasiswa ikut dalam pertemuan pertama. Kami difasilitasi
Paroki Katedral Kristus Raja Purwokerto. Maka dinamika Komunitas Pena dimulailah hari itu.
Ini jelas pertanyaan yang kebelet. Ingin segera tahu apa yang dibuat.
Oke, saya akan jawab. Sebelumnya saya akan cerita, bahwa sebelum 2003 itu saya sudah mulai
menulis untuk beberapa media. Majalah Hidup, majalah Utusan, majalah Familia (yang sekarang
sudah mati), dan beberapa majalah lain dalam intensitas yang tidak sebesar tiga majalah itu.
Termasuk majalah Intisari.
Semuanya dalam status sebagai penulis lepas. (Maka mengejutkan dan menjadi kehormatan besar
bagi saya ketika Utusan mengundang saya ikut dalam pelatihan yang mereka buat).
Dalam masa kegiatan menulis itu, saya tengok kanan dan kiri. Karena memang saya kuper dan
pergaulannya hanya di sekitar gereja, yang saya tengok kanan kiri ya anak-anak muda Katolik. Dan
saya merasa sendiri. Seorang diri saya bermain-main dengan pena dan kamera. Saya yang punya
bakat introvert kuat semakin merasa kesepian.
Kesepian itulah salah satu alasan mengapa saya lantas mengumpulkan teman-teman lain untuk
latihan bareng. Biar ada teman, begitulah.
Karena tidak punya pengalaman memberi pelatihan, lantas yang saya lakukan adalah, saya
memikirkan bagaimana proses saya belajar menulis. Dari situ kemudian saya membuat proses
“pelatihannya”. Kata PROSES menjadi penekanan. Juga dalam pelatihan-pelatihan yang saya siapkan
waktu-waktu selanjutnya, hingga sekarang pun.
Konkritnya demikian:
1. Imajinasi
Menulis, entah opini, fiksi, maupun jurnalistik tetap membutuhkan kemampuan imajinasi. Dalam
fiksi jelas. Imajinasi dibutuhkan untuk mendapatkan jalan cerita, tokoh cerita dst. Menulis opini juga
demikian. “Mempertemukan” fakta satu dengan fakta lain dan memikirkan dampak atau
konsekuensi lanjutnya, membutuhkan imajinasi. Menulis berita, terutama menulis berita kisah juga
membutuhkan imajinasi. Narasumber bisa bercerita panjang lebar. Imajinasi diperlukan ketika
penulis hendak membangun kembali kisahnya dalam bentuk teks.
Maka saya memikirkan PROSES macam apa agar teman-teman bisa memahami arti penting imajinasi
Dalam simulai ini, apakah papan absensi itu ada? Apakah bola itu ada? Ada tapi tidak ada. Tidak ada
tapi ada.
Begitulah PROSES mengajak teman-teman memahami imajinasi. Saya tidak (dan menghindari)
menggunakan metode ceramah yang memaparkan apa itu imajinasi, apa arti pentingnya dst.
Pemahaman hal terakhir ini atas dasar pengaruh prinsip pendidikan orang dewasa yang pernah saya
baca-baca dan ikuti.
Dari game atau simulasi itu lantas kepada teman-teman diajukan pertanyaan reflektif. Misalnya, apa
sebenarnya yang tadi kita lakukan? Apakah memang bola itu ada? Kalau tidak ada, mengapa tadi kita
mau menerima bola yang dilempar, dan melemparkan pada orang lain..?
Salah satu kalimat kunci yang menjadi penegasan adalah: segala sesuatu diciptakan dua kali.
Termasuk cerita atau tulisan. Pertama dalam angan-angan, kedua ketika hal itu diperjuangkan untuk
menjadi ada. (ini mengadopsi gagasan orang pintar tentang penciptaan; siapa hayooo?)
2. Ide
Hal kedua yang penting dalam menulis adalah soal ide atau gagasan. Saya menyadari, keluhan yang
sering terdengar dari seorang yang baru belajar menulis adalah soal ide atau gagasan. Darimana
gagasan bisa didapatkan? Apakah menunggu ilham?
Keyakinan saya adalah, ide atau gagasan bisa berasal dari mana saja.
Maka kemudian saya berpikir, PROSES macam apa yang bisa menyadarkan teman-teman bahwa
gagasan bisa berasal dari mana saja.
Saya mengajak teman-teman berdiri (waktu itu pertemuan berlangsung lesehan). Berdiri dilakukan
dalam satu baris/sap. Saya mengajak teman-teman bermain sesuai dengan instruksi yang akan saya
berikan. Saya berdiri di satu titik di antara barisan itu. Lantas saya katakan, dalam hitungan satu
sampai 10, silakan urutkan sesuai tinggi badan, ke depan saya semakin tinggi, ke belakang semakin
rendah.
Pada kesempatan kedua yang menjadi titik acuan adalah salah satu peserta. Instruksinya, ini soal
panjang pendek rambut. Ke depan semakin panjang, ke belakang semakin pendek…
Dan berlanjut dengan beberapa pengurutan lainnya seperti warna kulit (gelap-terang), tingkat
kekeritingan rambut; dan yang membuat heboh adalah, merasa paling ganteng/cantik dan paling
jelek.
Dari permainan itu kemudian diajukan pertanyaan reflektif. Misalnya, apa yang bisa ditulis terkait
dengan tinggi badan? Apa yang bisa ditulis terkait dengan rambut keriting? Apa yang bisa ditulis
terkait dengan kepercayaan diri merasa paling ganteng, atau ketidak yakinan atau malu-malu atas
klaim ganteng/jelek?
3. Menulis
Selepas game yang heboh itu, saatnya adalah menulis. Teman-teman dipersilakan menulis dari
berbagai topik atau permasalahan yang muncul dalam game tadi. Menulis apapun. Dalam bentuk
apapun. Bisa puisi, opini, cerita dst. Dalam awal-awal belajar menulis itu, meskipun saya lebih
banyak menulis berita dan berita kisah, untuk teman-teman saya lebih mendorong menulis dalam
bentuk yang mereka suka.
Maka dari gambaran itu ada beberapa hal yang pada pelatihan-pelatihan berikutnya selalu saya
pegang:
a. PROSES
Fasilitator/trainer harus berpikir keras membuat proses yang mengena untuk tiap-tiap topik materi
b. GEMBIRA
c. KETERLIBATAN
Pertemuan atau training tidak hanya satu arah, tetapi memberikan ruang keterlibatan peserta
bahkan hingga mereka menemukan sendiri nilai-nilai atau butir-butir (teknik) kepenulisan. Metode
ini juga tidak membuat teman-teman mudah bosan. Membangun citra, belajar menulis itu asik.
d. PRAKTEK MENULIS
Pelajaran utama dari training menulis adalah praktek menulis.
Demikianlah apa yang dibuat pada awal Komunitas Pena. Tentu saja dalam perkembangan
selanjutnya saya terus berpikir bagaiman pelatihan-pelatihan menulis menjadi semakin efektif,
menyenangkan, dan melibatkan.
Saya sendiri sekarang mengelola Majalah Cor Unum. Majalah rohani milik Keuskupan Purwokerto.
Aktivitas pendampingan menulis dijalankan menggunakan sarana majalah tersebut. Terakhir
misalnya, kami membuat festival menulis untuk anak-anak SD. Artikel yang masuk kemudian
diseleksi dan dimuat di majalah Cor Unum edisi Natal dengan tema, Ceritaku untuk Bayi Yesus.
Informasi lain yang sama juga tidak penting-penting amat adalah bahwa dalam usia 15 tahun ide
Komunitas Pena, saya menjadikan tahun ini sebagai tahun syukur dan berbagi. Salah satunya ya
berbagi pengalaman ini/di sini. Selain itu, saya siap berbagi lebih luas lagi, bukan hanya di
Purwokerto; untuk mendampingi proses belajar menulis.
Salam
Sutriyono
RANGKUMAN
1. mas Sutri tergerak untuk membangun gerakan kepenulisan seelah mengikuti pelatihan jurnalisme
damai 2003. Menulis bisa menjadi sarana bina damai.
2. kata-kata yang menarik dan kuat, mas Sutri membangun metodenya sendiri : Karena tidak punya
pengalaman memberi pelatihan, lantas yang saya lakukan adalah saya memikirkan bagaimana
proses saya belajar menulis. Dari situ kemudian saya membuat proses “pelatihannya”
3. Membangun imajinasi : berpantomim, bermain bola imajiner
4. mas Sutri tidak menggunakan metode ceramah yang memaparkan apa itu imajinasi, apa arti
pentingnya dan seterusnya. Ini atas dasar pengaruh prinsip pendidikan orang dewasa (andragogi)
5. Segala sesuatu diciptakan dua kali. Termasuk cerita atau tulisan. Pertama dalam angan-angan,
kedua ketika hal itu diperjuangkan untuk menjadi ada.
6. membangun ide : ide atau gagasan bisa berasal dari mana saja.
7. tantangannya : PROSES macam apa yang bisa menyadarkan teman-teman bahwa gagasan bisa
berasal dari mana saja ? Jawab mas Sutri : Dari permainan kemudian diajukan pertanyaan reflektif
8. saatnya menulis : menulis dari berbagai topik atau permasalahan yang muncul dalam game tadi.
Kunci dari mas Sutri : untuk teman-teman saya lebih mendorong menulis dalam bentuk yang mereka
suka.
9. beberapa hal yang selalu mas Sutri pegang:
a. PROSES (proses yang mengena)
b. GEMBIRA (menulis dibangun dalam suasana gembira)
c. KETERLIBATAN (tidak satu arah, ruang keterlibatan membuat mereka menemukan sendiri
nilai-nilai)
d. PRAKTEK MENULIS (pelajaran utama latihan menulis adalah praktek menulis)
TANYA JAWAB :
JAWAB :
Belajar menulis kiat sejak SD seingat saya. hehehe. Kesulitan menulis biasanya karena ada blok yang
menghalang. Cara praktis belajar menulis adalah dengan menulis bebas. Maksudnya, coba menulis
apapun yang muncul di kepala. Dalam hitungan misalnya tiga menit. Tulis dan tulis saja, nanti
perlahan-lahan akan terlatih. Dan jangan berpikir apakah tuilisan itu jelek atau baik, benar atau
salah. Soal pilihan kata nanti akan terbangun perlahan-lahan. Tentu Mas Angger yang juga suka
membaca akan juga punya peran dalam proses belajar menulis. Katanya, orang tidak bisa menulis
kalau tidak membaca. Gitu Mas Angger. Semoga bisa ditangkap ungkapan anak lereng Gunung
Slamet ini. Biasanya saya akan menyampaikan teori otak kanan otak kiri. Lalu membuat proses
teman-teman pelatihan menggelontorkan ide sebebas-bebasnya.
JAWAB :
Saya kemarin mendapat kiriman chat dari seorang teman dengan satu teman di sebuah majalah,
yang dulu juga bareng di Komunitas Pena. Teman di majalah itu merasa sudah tidak nyaman di
tempatnya kerja karena merasa tidak ada lagi nilai yang bisa diperjuangkan.
Tampaknya kebersamaan masa lalu yang menekankan proses belajar menulis dengan segala
idealismenya mengendap kuat dalam diri teman itu. Mungkin itu gambaran bagaimana pengaruh
proses bersama di komunitas dulu.
MAS ARI :
Proses menjadi pondasi yang kuat dalam komunitas.
CANDRA (YOGYA)
Mas saya suka baca, tapi agak sukar untuk menulis mengungkapkan perasaan melalui tulisan, pernah
ngeblog tapi sampai tengah jalan aja. Tulisannya juga sekenanya. Yang jadi pertanyaan: ingin belajar
menuangkan rasa, kegelisahan, di dalam tulisan, nah untuk yang benar-benar pemula, selain niat,
apa yang harus dilakukan ketika di tengah jalan semangat nulisnya naik turun? terima kasih.
JAWAB :
Semangat pasang surut menulis itu hal biasa Mas Candra.
Dulu saya menulis buku harian. Dari buku harian itu saya belajar JUJUR dengan apa yang saya
rasakan. Dan itu modal yang amat berharga dalam proses belajar menulis selanjutnya. Jadi, salah
satu cara ya menuangkan rasa apa saja. Nah, mungkin kadang kendalanya ada rasa enggan
menyusuri relung-relung rasa dalam batin, lantas mandeg di jalan.
Mgr Sunarka mengajari gini Mas Candra; duduklah, dan lihat apa yang ada di depan, lihat mobil
lewat, ditulis, lihat gadis lewat ditulis. Itu cara yang lain selain memasuki relung-relung hati-rasa.
Bisa juga menggunakan indera lain; pendengaran misalnya. Bisalah sesekali waktu duduk dan
mendengarkan apa saja yang mengusik telinga, lantas tuliskan. Atau penciuman; mencium aroma
parfum, tulis. Mencium bau tanah basah, ditulis. Kurang lebih gitu Mas Candra. Semoga bisa sedikit
menjawab.
RIA (SEMARANG)
Kebetulan saya juga suka menulis tetapi seringnya ketika sudah di tengah jalan tiba-tiba tidak ada
ide atau ide hilang bingung mau lanjut bagaimana. Itu solusinya bagaimana untuk mengatasi seperti
itu?
JAWAB :
Wah, ini harus menjawab pertanyaan penulis ya. Berat. Apakah ada Dilan di sini? Tergantung
tulisannya mestinya Mbak Ria. Tulisan apa yang Mbak Ria buat? Kalau buku, biasanya sudah dibagi
bab per bab, sub bab per sub bab dan seterusnya.. Kalau berita, melihat ulang data-data yang sudah
dipunyai. Ataukah fiksi?
Saya sedang tulis buku tentang Nusakambangan, tertunda agak lama.Ketika hendak menulis lagi, ya
memang harus melihat ulang dari awal; lantas meninjau ulang kerangka besarnya..
Pertama, menggagas keseluruhan tulisan secara utuh. (Imajinasi akhir tadi) Lantas menulisnya
tahap demi tahap. Ketika tertunda, memang harus kembali melihat gagasan keseluruhannya lagi
seperti apa. Baru masuk ke bagian yang macet tadi.
JAWAB:
Mas Antonio, barangkali ini membantu. Cari dan Temukan tulisan salah satu penulis nasional.
Misalnya Umar Khayam, Gunawan Mohammad. Baca artikel mereka sebanyaknya. Lantas coba tiru
bagaimana beliau nulis.
Memang perlu serius untuk fokus pada satu permasalahan dulu sampai tuntas tertuliskan. Kalau ada
ide atau keresahan lain, buat catatan dulu. Dan berjanji nanti akan dieksplore lebih mendalam.
JAWAB:
Terima kasih pertanyaannya Mbak Maria.
Kita tidak banyak tahu siapa yang membaca tulisan kita. Termasuk di blog. Tetapi ketika kita tekun
dan terus menulis suatu saat mungkin terkejut karena ada orang datang dan berkomentar; terima
kasih ya, tulisanmu menarik... dan seterusnya. Jadi ya terus saja menulis.
Soal gereja, kadang memang lambat.. hehehe. Saya pernah kelola web tingkat keuskupan, suatu kali
web rusak dan tidak bisa diambil data yang pernah saya tulis. Saya tidak paham kenapa itu terjadi.
Sekian artikel tenggelam dan lenyap entah kemana. Pengelola teknis web entah memang enggan
menyelamatkan data atau memang tidak memungkinkan saya tidak tahu.
Bagaimana mengajak umat menulis?
Kalau kami di Purwokerto, kebetulan ada majalah. Kami mendorong umat dewasa dan muda
menulis dari paroki masing-masing. Tapi ya tidak mudah. Satu paroki ada satu saja itu sudah hebat.
Dari 25 paroki, paling yang ada penulis cukup tetap sekitar 18an paroki. Kalau mau ya dibuat seperti
Komunitas Pena yang dulu kami buat.
Karena ini juga penting: menulis itu dunia diam. kadang kita tidak tahu bahwa sebenarnya ada
banyak orang punya kemampuan dan keinginan menulis, tetapi karena kerja menulis itu kerja diam,
baru akan tahu ketika mulai ditawari dan mulai ikut dan seterusnya.