Anda di halaman 1dari 110

ANALISIS FRAMING REPRESENTASI MAKNA RAMBU SOLO

MASYARAKAT TORAJA DALAM CERPEN FIKSI

OLEH :
SITI RAFIKA
E311 11 256

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015

ANALISIS FRAMING REPRESENTASI MAKNA RAMBU SOLO


MASYARAKAT TORAJA DALAM CERPEN FIKSI

OLEH :
SITI RAFIKA
E311 11 256

Skripsi Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


pada Jurusan Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015

ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI


Judul Skripsi

: Analisis Framing Representasi Makna Rambu Solo Masyarakat Toraja


dalam Cerpen Fiksi

Nama Mahasiswa

: Siti Rafika

Nomor Pokok

: E311 11 256
Makassar, 14 Mei 2015
Menyetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Tuti Bahfiarti, S.Sos., M.Si


NIP. 197306172006042001

Drs.Kahar, M.Hum
NIP. 195910101985031005

Mengetahui,
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin

Dr. Muhammad Farid. M.Si.


NIP : 196107161987021001

iii

HALAMAN PENGESAHAN TIM EVALUASI

Telah diterima oleh Tim Evaluasi Skripsi Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam
jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Public Relations pada hari Senin tanggal 1 Juni 2015.

Makassar, 1 Juni 2015

TIM EVALUASI

Ketua

: Dr. Muh. Nadjib, M.Ed, M.Lib.

(.)

Sekretaris

: Sitti Murniati Mukhtar, S.Sos, S.H.

(.)

Anggota

: 1. Drs. Kahar, M. Hum.

(.)

2. Dr. Tuti Bahfiarti, S.Sos, M.Si.

(.)

3. Alem Febri Sonni, S. Sos, M.Si.

(.)

iv

KATA PENGANTAR



Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Alhamdulillah, segala puja dan puji senantiasa tercurah pada Allah SWT.
sang pemilik alam semesta, sang pemberi nikmat, rahmat, dan hidayah kepada
segenap insan manusia. Sedetik waktu dan sehela napas adalah karunia tak
terhingga yang kita miliki. Semoga setiap napas yang terhembus dan detak
jantung hanya untuk bertasbih kepada Allah, sehingga yang kita lakukan hanya
untuk mengharap ridho dari-Nya. Shalawat dan salam juga tak lupa tercurahkan
kepada Nabiullah Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari dunia yang
gelap gulita menuju dunia yang terang benderang.
Skripsi ini saya persembahkan untuk orang tua yang telah membesarkan
saya dengan penuh kasih yang tiada henti melantunkan doa dalam sujud,
ayahanda Sutan Mansur dan Ibunda Hajeriah Abu, terima kasih atas segala doa
dan dukungan. Skripsi ini saya persembahkan pula untuk orang tua yang selalu
mendukung dan merestui setiap langkah walaupun tak bernaung di bawah atap
yang sama, ayahanda Hamri Abu dan Ibunda Mulyana. Persembahan skripsi ini
tiada setitik pun sepadan dengan perjuangan, kesabaran dan dukungan yang
diberikan selama ini.
Penyusunan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Karenanya, dengan kerendahan hati saya
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. H. Muhammad Farid,


M.Si.vbeserta Bapak Sekretaris Jurusan, Bapak Sudirman karnay S.Sos.,
M.Si. atas segala dukungannya.
2. Ibu Dr. Tuti Bahfiarti, S.Sos., M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Drs.
Kahar, M.Hum selaku pembimbing II, terima kasih atas bimbingan ibu
dan bapak sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan dengan baik.
3. Seluruh staff pengajar jurusan Ilmu Komunikasi Unhas yang telah tulus
dan ikhlas berbagi ilmu. Semoga ilmu yang telah tulus ikhlas tersampaikan
menjadi amal jariyah yang senantiasa membawa kemuliaan.
4. Ibu Ida, Pak Ridho, dan Pak Amrullah, Kak Ija, Ibu Lini, Pak Saleh
beserta segenap staff fakultas. Terima kasih atas bantuannya dalam
menyelesaikan berkas-berkas ujian saya.
5. Kakak-kakak dan adik-adik KOSMIK yang terlalu banyak untuk saya
sebutkan satu persatu namanya.
6. Teman-teman KKN Sebatik Gelombang 87 khususnya teman-teman posko
Kecamatan Sebatik Utara.
7. Indri, Igol, Bambang, Eka, Tasya, Mimay, deasy, dan teman-teman LDK
angkatan 27 SMA Negeri 5 Makassar yang selalu saja bisa mengalihkan
segala beban dengan canda, tawa atau hanya sekedar saling bercerita
mengenai masa lalu.
8. Sahabat yang selalu mendukung setiap langkah sejak menginjak bangku
SMA hingga saat ini, Dyan, Devy, Tasha, Indah, dan Diga. Persahabatan
kita memang tak selalu menyenangkan, terkadang ada benci atau marah

vi

karena

hal-hal

konyol

yang

membumbui

tapi

bukankah

lebih

menyenangkan seperti itu. Senang bisa mengenal kalian.


9. Kelompok belajar saya, May, Ams, dan Des. Terkadang tugas kuliah yang
begitu rumit membuat kita sering mendiskusikan tugas bersama-sama,
kadang juga tugas membuat kita sama-sama tak tahu harus berbuat apa.
10. Teman-teman seperjuangan dalam melengkapi berkas-berkas ujian meja
dan ujian proposal, Kak Liza, Marcel, Irna, Ikki, Unan, dan Choxi.
11. Ainun, Rahimah, Caca, Iin, Jabal, Wulan, Rini, dan kru Baruga lainnya
yang selalu saja meluangkan waktu untuk membantu saya dalam
menyelesaikan tanggung jawab saya. Semesta dan segala isinya yang telah
mendukung segala aktivitas dan perjuangan saya beserta orang-orang yang
tidak mampu saya sebutkan namanya satu persatu.

Makassar, Mei 2015

Siti Rafika

vii

ABSTRAK

SITI RAFIKA, E31111256. Analisis Framing Representasi Makna


Rambu solo Masyarakat Toraja dalam Cerpen Fiksi. (Dibimbing oleh Dr.
Tuti Bahfiarti, S.Sos., M.Si dan Drs. Kahar, M.Hum) Skripsi: Program S-1
Universitas Hasanuddin.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui cara pengarang
membingkai rambu solo dalam cerpen fiksi (2) Untuk mengetahui mengkategori
representasi makna rambu solo dalam cerpen fiksi.
Penelitian ini dilakukan selama bulan Februari hingga Mei 2015 dengan
mengangkat cerpen fiksi mengenai rambu solo sebagai objek penelitian. Tipe
penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik analisis
framing model Robert N. Entman. Data Primer diperoleh dari sumber data utama
berupa dialog dan narasi yang menggambarkan upacara adat rambu solo dalam
cerpen fiksi tersebut.. Data sekunder diperoleh dari bahan bacaan berupa jurnaljurnal, buku, artikel di internet, dan berbagai hasil penelitian terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pandang dan latar belakang
sangat memengaruhi seseorang dalam memahami suatu realitas sosial. Pada
cerpen fiksi yang menjadi objek penelitian ini, setiap pengarang memiliki cara
pandang yang berbeda mengenai rambu solo . Cara pandang inilah yang
memengaruhi para pengarang dalam menyampaikan nilai-nilai rambu solo
kepada pembacanya.

viii

DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................... iii
Halaman Penerimaan Tim Evaluasi ................................................................... iv
Kata Pengantar ................................................................................................... v
Abstrak ...............................................................................................................viii
Daftar Isi.............................................................................................................. ix
Daftar Tabel ....................................................................................................... xi
Daftar Gambar .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan masalah.................................................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 7
D. Kerangka Konseptual ............................................................................. 8
E. Definisi Operasional ............................................................................... 17
F. Metode Penelitian.................................................................................... 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Media Massa .......................................................................................... 23
B. Cerpen Sebagai Media Komunikasi ....................................................... 25
C. Media dan Konstruksi Makna ................................................................ 26
D. Realitas dan Konstruksi Sosial ............................................................... 29
E. Representasi ........................................................................................... 34
F. Analisis Framing .................................................................................... 35
G. Rambu Solo ............................................................................................ 38
BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

ix

A. Cerpen Rambu Solo Buat Indo ............................................................... 49


B. Cerpen Desis .......................................................................................... 50
C. Cerpen Ambe Masih Sakit ..................................................................... 50
D. Cerpen Tedong Helena ........................................................................... 51
E. Cerpen Tedong Bonga untuk Nenek ...................................................... 52
F. Cerpen Syair Duka ................................................................................. 53
G. Rambu Solo ........................................................................................... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Rambu Solo dalam Cerpen Fiksi ........................................ 61
B. Representasi Makna Rambu Solo dalam Cerpen Fiksi ......................... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................. 94
B. Saran ....................................................................................................... 94
Daftar Pustaka

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1.1 Elemen Framing Robert N. Entman ......................................................... 15


1.2 Deskripsi Singkat Objek Penelitian .......................................................... 20
2.1 Elemen Framing Robert N. Entman ......................................................... 37
4.1 Frame Rambu Solo pada Cerpen Rambu Solo Buat Indo ...................... 65
4.2 Frame Rambu Solo pada Cerpen Desis ................................................... 68
4.3 Frame Rambu Solo pada Cerpen Ambe Masih Sakit .............................. 72
4.4 Frame Rambu Solo pada Cerpen Tedong Helena .................................... 76
4.5 Frame Rambu Solo pada Cerpen Tedong Bonga Untuk Nenek .............. 80
4.6 Frame Rambu Solo pada Cerpen Syair Duka .......................................... 83
4.7 Tabel Perbandingan Frame dari Setiap Cerpen ........................................ 85
4.8 Tabel Perbandingan Representasi Cerpen ................................................ 91

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1.1 Kerangka Konseptual .................................................................................... 16


3.1 Tau-tau yang dijadikan personifikasi dari orang yang telah meninggal ..... 51
3.2 Erong tempat membaringkan tomakula ....................................................... 51
3.3 Para kerabat menarikan tarian Ma'badong................................................... 53

xii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara yang identik dengan kemajemukan
budaya sebagai alat pemersatu persatuan bangsa. Keberagaman latar belakang
suku, agama, dan budaya menjadikan kekayaan bangsa yang patut dilestarikan.
Kebudayaan bangsa merupakan kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budinya

manusia secara keseluruhan,

khususnya

masyarakat

Indonesia.

Kebudayaan tersebut menjadi ciri dan karakteristik tertentu dari masing-masing


daerah.
Budaya dijadikan sebagai pita kesadaran masyarakat yang tersimpan
secara kolektif oleh suatu kelompok masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap
salah dan benar, sesuatu yang baik dan buruk, dan sesuatu yang lebih berharga
dan kurang berharga. Budaya menjadi salah satu pilar utama dari sistem
masyarakat suatu daerah yang dipertahankan dan dilestarikan sebagai kekayaan
budaya. Hal ini sebagaimana pendapat Bungin (2012) bahwa budaya ditempatkan
sebagai suatu organisasi atau sistem makna yang diwariskan, dipelihara, dan
dikembangkan secara turun-temurun sesuai dengan tuntutan hidup yang dihadapi
(Bungin, 2012:7-8).
Manusia lahir dalam budaya yang lazimnya tidak pernah dipersoalkan lagi.
Pada dasarnya, budaya adalah cara hidup manusia sebagai respon atau tepatnya
adaptasi terhadap lingkungan hidup. Secara teoritis, masyarakat yang hidup dalam

suatu lingkungan fisik berbeda akan memiliki budaya yang berbeda pula
(Mulyana, 2008:33).
Menempatkan budaya sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan hidup
harus dipandang dari perspektif yang beragam, jika tidak budaya akan dipandang
sebagai suatu kombinasi antara bias budaya (berupa norma, nilai, dan
kepercayaan) dan preferensi pada tingkat perilaku, suatu gabungan segi-segi
bersifat kognitif dan segi-segi bersifat behavioral. Seringkali dalam kebiasaan
suatu daerah terdapat perilaku atau nilai-nilai yang dianggap tabu oleh masyarakat
umum tetapi wajar bagi masyarakat tersebut. Karenanya, untuk memahami
budaya suatu kelompok masyarakat diperlukan sebuah pemahaman atas nilai-nilai
atau perilaku yang berlaku pada budaya setiap daerah secara menyeluruh.
Pengetahuan masyarakat mengenai kebudayaan bangsa sendiri merupakan
salah satu langkah pelestarian. Selain melalui pendidikan formal yang dapat
ditemukan di sekolah-sekolah, upaya pelestarian budaya ini juga memanfaatkan
berbagai media, baik itu media cetak ataupun media elektronik. Pelestarian
budaya dilakukan dengan mendokumentasikannya dalam bentuk visual, audio,
audiovisual bahkan dibukukan dalam bentuk teks, novel, majalah, koran, cerita
pendek, dan sebagainya. Kehadiran berbagai media dalam pelestarian budaya
diterima oleh masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, dan tentu saja
dengan menggunakan penafsiran makna yang berbeda pula.
Media dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena
sejatinya mereka memiliki suatu hubungan yang saling mempengaruhi. Media
merupakan sarana yang digunakan untuk memproduksi, mendistribusikan, dan

menyampaikan informasi. Selain itu, media merupakan sarana yang digunakan


untuk menampilkan sebuah budaya melalui persepsi seseorang, entah itu dalam
bentuk karya sastra, audio, visual, maupun audio visual.
Media massa sebagai suatu industri yang menyampaikan pemaknaan
budaya secara massal, ditakutkan akan memberikan kerancuan budaya dalam
artian hilangnya batas-batas tegas yang menjadi pagar bagi identitas masingmasing budaya. Tentu saja hal ini yang harus diantisipasi dari arus budaya yang
keluar masuk dari dan ke suatu daerah.
Dunia yang semakin terintegrasi dengan tatanan-tatanan global bersamaan
dengan arus orang, barang, ide-ide, dan nilai yang semakin lancar dapat
berdampak pada semakin cairnya batas-batas budaya yang mengiringi
perkembangan zaman. Dengan masuknya berbagai budaya populer ke dalam
masyarakat, dikhawatirkan dapat mengikiskan kecintaan masyarakat akan
kebudayaan asli. Akibatnya, budaya dari suatu daerah akan mengalami perubahan
yang bisa jadi merupakan kemajuan, namun bisa pula menjadi pengikisan budaya.
Pujasari (2012: 31) menyatakan media dianggap turut memberi andil
dalam memoles kenyataan sosial. Seluruh penafsiran makna yang dilakukan oleh
setiap individu yang mengonsumsi informasi tersebut tidak terlepas dari hasil
interpretasi si pemilik, si penyebar, atau si pengelola informasi itu sendiri.
Perbedaan latar belakang, pengalaman, budaya, dan pengetahuan akan
berpengaruh pada cara si pemilik informasi dalam menyampaikan atau
mengonstruksi makna.

Informasi yang ditampilkan dalam media adalah informasi yang telah


diseleksi atau realitas tangan kedua (secondhand reality), biasanya tidak bisa atau
tidak sempat dicek kebenarannya (Yuniati, 2002: 85). Akhirnya terbentuk
persepsi tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan
media massa. Oleh karena itu, tidak jarang sebuah informasi dianggap sebagai
informasi yang telah dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian
masyarakat.
Cerita pendek atau yang sering disingkat cerpen merupakan suatu bentuk
prosa naratif fiktif. Cerita pendek menggambarkan sebuah situasi dengan singkat.
Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya bila dibandingkan
dengan karya-karya fiksi yang lebih panjang seperti novel. Cerita pendek
menggambarkan sebuah situasi dengan singkat dan sederhana sehingga cepat dan
mudah dipahami oleh pembaca atau khalayaknya.
Cerita pendek dapat dijadikan sebuah sarana untuk menceritakan sebuah
fenomena sosial yang terjadi di suatu lingkungan sosial. Melalui cerita pendek
pengarang menyampaikan fenomena tersebut dengan gaya penceritaan dan
pemilihan bahasa yang menarik perhatian khalayak untuk membacanya. Hal
mendasar bagi sebuah cerita adalah kecakapan bertutur dari awal sampai akhir
(Santana, 2002: 167). Pengarang membingkai fenomena tersebut sehingga
khalayak secara sadar atau tidak sadar tergiring dan mengikuti alur cerita yang
ditulisnya.
Menurut Gunawan Muhammad (Santana, 2002: 168) cerita pendek adalah
ibarat jogging selama 30 menit, pemaknaan yang disampaikan pengarang dibatasi

ruang dan cakupannya oleh halaman-halaman koran dan majalah. Berbeda dengan
novel yang begitu panjang dan mendetil. Oleh karena itu jendela informasi yang
dibuat oleh pengarang dikonstruk secara ringkas.
Salah satu tema budaya yang sering diangkat menjadi ide cerita dalam
sebuah cerpen adalah rambu solo. Rambu solomerupakan salah satu upacara
tradisional yang menjadi kekayaan budaya dalam lingkup masyarakat Tana
Toraja. Upacara ini mewajibkan keluarga almarhum untuk membuat sebuah pesta
sebagai tanda penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi. Upacara
ini telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga telah menjadi kewajiban tiaptiap masyarakat Tana Toraja (Anggreini, 2014: 15)
Upacara rambu solo dalam tradisi masyarakat Toraja mengandung nilainilai yang dilembagakan melalui cerita secara turun-temurun dan melalui
pelaksanaan upacara rambu solo tersebut. Datu menyebutkan terdapat enam nilai
yang terkandung dalam upacara rambu solo, yaitu keakraban, kerohanian, harga
diri, kebanggaan, kolektifitas, dan penghormatan (Datu, 2011: 49-55). Nilai-nilai
inilah yang membuat masyarakat Toraja tetap melestarikan upacara adat rambu
solo.
Para pengarang menceritakan rambu solo berdasarkan pengetahuan atau
pemahaman yang didapatkannya. Upacara kematian khas Toraja merupakan salah
satu upacara adat yang terkenal di Sulawesi Selatan hingga ke mancanegara.
pengarang menuliskan realitas yang diketahuinya mengenai rambu solo lalu
menginterpretasikannya dalam cerpen fiksi. Dalam pengemasan ide-ide mengenai

rambu solo ini,

para pengarang menanamkan dan menonjolkan nilai-nilai

tertentu yang dipahaminya untuk disajikan kepada para pembaca.


Bahasa yang digunakan berperan memberi makna pada objek-objek
material dan praktik sosial yang menjadi tampak bisa dipahami karena adanya
bahasa, dan proses produksi makna ini kemudian disebut dengan praktik-praktik
pemaknaan. Melalui bahasa (language), pengarang menarasikan pemahamannya
tentang sesuatu ke dalam alur kisah yang juga menyampaikan referen interaksinya
ke dalam simbol-simbol tertentu (Santana, 2002: 169).
Seperti halnya berita, pengarang membingkai realitas dan membangunnya
menjadi sebuah cerita fiksi. Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan studi
ilmiah dalam menemukan konstruksi pesan mengenai rambu solo melaui cerita
pendek fiksi sebagai objek penelitian. Bagaimana pengarang membingkai rambu
solo dalam sebuah cerita pendek sehingga membangun suatu representasi tertentu
ke dalam benak para pembaca. Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba untuk
mengkaji lebih jauh ke dalam bentuk penelitian skripsi komunikasi dengan judul :
Analisis Framing Representasi Makna Rambu solo Masyarakat Toraja
dalam Cerpen Fiksi
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana pengarang membingkai rambu solo dalam cerpen fiksi ?

2.

Bagaimana representasi makna rambu solo dalam cerpen fiksi ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
diatas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui cara pengarang membingkai rambu solo dalam cerpen
fiksi
2. Untuk mengetahui mengkategori representasi makna rambu solo dalam
cerpen fiksi
2. Kegunaan Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
pengembangan studi media dan kajian budaya khususnya mengenai cerita
pendek dalam merekonstruksi realitas.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyadarkan para
pengguna media, bahwa media tidak hanya sekadar menginformasikan
suatu hal tetapi juga mebingkai suatu realitas sehingga membangun
representasi tertentu, dalam hal ini melalui cerita pendek yang disuguhkan
oleh pengarang kepada khalayaknya.
3. Secara metodologis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
pengembangan kajian-kajian penelitian kualitatif, khususnya mengenai
media massa dan komunikasi antar budaya

D. Kerangka Konseptual
Realitas Sosial dan Konstruksi Sosial
Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi
sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu
tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata
sosial (Bungin, 2008: 11-12).
Manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan secara aktif dan kreatif
mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia
kognitifnya. Dalam proses sosial manusia secara individu dipandang sebagai
pencipta realitas sosial yang relatif bebas. Realitas yang didapatkannya
dikonstruksi kembali menjadi realitas yang baru.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran
bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh
pelaku sosial. Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia
sosialnya, bahwa individu menjadi panglima dalam dunia sosialnya yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu, bukanlah manusia korban fakta
sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan aktif
mengonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2008: 11-12).
Pada akhirnya realitas dipandang sebagai hasil ciptaan manusia melalui
konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dunia sosial yang

dimaksudkan seperti yang disebutkan oleh George Simmel (Bungin, 2008: 12)
bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut
kesan kita bahwa realitas itu ada dalam diri sendiri dan hukum yang
menguasainya. Realitas sosial itu ada dilihat dari subjektifitas ada itu sendiri
dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat
sebagai kedirian-nya, namun juga dilihat dari mana kedirian itu berada,
bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya dan bagaimana pula
lingkungannya menerimanya.
Berger (Eriyanto, 2005: 14) menyebutkan bahwa ada tiga tahapan realitas
sosial

dikonstruksi

yaitu

eksternalisasi,

objektivasi,

dan

internalisasi.

Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia,
baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Objektivasi, yaitu hasil yang telah
dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut.
Internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki
makna yang subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku
sosial itu menjadi sosial oleh Weber dikatakan kalau yang dimaksud subjektif
membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan
mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau
menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat
(Bungin, 2008: 12).

10

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran


individu, baik dari dalam maupun dari luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara
subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
Individu mengonstruksi realitas sosial, dan mengonstruksinya dalam dunia
realitas, kemudian memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu
lain dalam lingkungan sosialnya.
Media dan Konstruksi Makna
Konstruksi makna adalah sebuah proses saat individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensor mereka guna memberikan arti pada
lingkungan mereka melalui konstruksi kode-kode sosial, budaya, dan sejarah yang
spesifik. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,
dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam
konteks sosial. Hal ini dianggap revolusioner, karena hal itu berarti tanda
membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada
(Sobur, 2009: 87)
Hal ini pula yang memunculkan pendapat Paul Watson, salah seorang
pendiri Greenpeace, tentang perilaku media massa. Menurutnya, konsep
kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu
yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya kebenaran ditentukan
oleh media massa (Sobur, 2009: 87)
Konteks dari pemberitaan yang dimunculkan pada pemberitaan tidak
terlepas dari hasil konstruksi dari media itu sendiri. Sebuah peristiwa yang buruk

11

bisa menjadi sebuah pemberitaan yang biasa saja setelah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh media tersebut. Singkat kata, media mengonstruksi realitas yang
dimunculkan pada masyarakat dengan mengemas konteks pemberitaan secara
apik.
Penulisan sebuah wacana di media massa dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang berasal dari pengarang itu sendiri berdasarkan pengalaman, referensi,
lingkup pergaulan, dan lain-lain dan pada akhirnya akan mempengaruhi
konstruksi realitas. Isi media adalah hasil konstruksi realitas dari para pekerja
media dengan memanfaatkan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa
dipergunakan sebagai alat untuk merepresentasikan realitas untuk memberikan
pemaknaan tertentu terhadap realitas tersebut. Bahasa dijadikan alat yang
menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada
masyarakat.
Bahasa merupakan media yang menjadi perantara kita dalam memaknai
sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua
ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol
dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan
ide-ide kita tentang sesuatu (Ariyani, 2014: 11).
Larry L. Barker mengungkapkan ada tiga fungsi bahasa: penamaan
(naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi (Mulyana, 2010: 266267). Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek atau
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
komunikasi. Fungsi interaksi menurut Barker, menekankan gagasan dan emosi

12

yang dibagi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan
kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.
Setiap hari kita menerima informasi-informasi yang baru baik secara langsung
maupun tidak langsung sejak membuka mata

di pagi hari hingga kembali

memejamkan mata di malam hari. Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi
transmisi.
Oleh karena itu, saat ini sangat mudah ditemukan beberapa kelompok yang
memiliki kuasa atas media mampu mengendalikan konstruksi realitas yang akan
dicitrakan kepada masyarakat. Menurut De Fleur dan Ball Rokeach ada berbagai
cara media massa mempengaruhi makna dan bahasa ini antara lain:
mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna
dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna
baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa
(Sobur, 2009: 90).
Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi
budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena
menampilkan sebuah cara dalam memandang realita.
Teks dan Budaya
Teks dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat
hubungan yang unik antara teks dan budaya. Teks merupakan produksi dan
konstruk dari budaya sementara budaya juga merupakan konteks yang pada
akhirnya memberikan variasi makna dari teks yang diciptakan.

13

Thwaites menyatakan budaya sendiri dalam analisis tekstual merupakan


kumpulan

dari

praktik-praktik

sosial

dimana

makna-makna

diproduksi,

disirkulasi, dan dipertukarkan dalam masyarakat. Budaya pada akhirnya adalah


aspek sosial yang dipertimbangkan sebagai makna yang dapat berpengaruh pada
makna-makna yang ada (Ida, 2014: 60).
Thwaites melanjutkan teks adalah kombinasi dari tanda-tanda atau signs.
Tanda-tanda ini yang bermain dan memproduksi makna dalam suatu teks.
Tanda atau sign diartikan sebagai segala sesuatu yang menghasilkan makna.
Tanda tidak hanya komentar yang dibuat oleh seseorang yang mengolah tanda
menjadi bermakna, tetapi juga merupakan segala sesuatu yang ada. Dengan kata
lain, sebuah tanda menjadi representasi terhadap sesuatu sehingga menghasilkan
makna.
Setiap tanda atau sign adalah objek yang merujuk pada sesuatu
berdasarkan pada konteks atau pada budaya dimana tanda itu sendiri diproduksi
dan direproduksi. Oleh karena itu, sebuah tanda tidak jarang dimaknai secara
berbeda oleh individu atau lingkungan yang berbeda pula. Konteks budaya
bahkan historis menjadi penting untuk menghasilkan makna.
Analisis Framing
Analisis framing merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
cara media membingkai suatu realitas. Sobur mengatakan bahwa analisis framing
digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita(Kriyantono, 2010:
255). Cara pandang dan perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang

14

diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa
kemana berita tersebut.
Eriyanto (2005: 10) menyebutkan bahwa pada dasarnya framing adalah
metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara
bercerita yang dimaksudkan adalah dari sudut pandang mana media mengemas
sebuah realitas. Analisis framing digunakan untuk melihat bagaimana media
megonstruksi, memahami, membingkai dan memunculkan suatu realitas.
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang
suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus,
dengan

memberikan

penonjolan

terhadap

aspek-aspek

tertentu,

dengan

menggunakan istilah-istilah yang memiliki konotasi tertentu, dan dengan bantuan


foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Kriyantono, 2010:255)
Proses framing oleh media dilakukan dalam dua aspek yaitu pemilihan
fakta atau realitas dan cara media menuliskan fakta tersebut. Pengarang
menceritakan sebuah realitas dengan memilih realitas mana yang dipilih dan
realitas mana yang dibuang. Setelah realitas ditentukan, pengarang akan memilih
strategi wacana tertentu untuk memberikan penekanan atau penonjolan terhadap
realitas yang dipilih (Aprina, 2011: 16-29)
Pada penelitian ini, penulis mengunakan analisis framing model Robert N.
Entman. Entman (Eriyanto, 2005: 186) melihat framing dalam dua dimensi besar:
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau
isu. Seleksi isu merujuk pada pemilihan berbagai aspek dari suatu isu yang
dimunculkan. Dalam hal ini terkait nilai-nilai dari rambu solo dipilih pengarang

15

yang ditampilkan dalam cerpennya. Sementara penonjolan aspek tertentu


berkaitan dengan cara media menuliskan fakta. Ketika pengarang telah
menentukan nilai-nilai yang akan ditampilkan, pengarang memilih kata, gambar
atau ilustrasi dan menyusun kalimat hingga membangun citra tertentu terhadap
nilai yang akan ditampilkan kepada masyarakat.
Media menonjolkan suatu aspek dari isu tersebut dengan menyeleksi isu
tertentu dan meninggalkan isu yang lain. Media membangun dimensi tertentu
dengan menggunakan berbagai strategi wacana seperti penggunaan kata yang
berulang-ulang, pemakaian label tertentu untuk menggambarkan peristiwa
tertentu, asosiasi terhadap simbol budaya, dan lain-lain. Pada akhirnya media
menyajikan suatu realitas yang telah dikonstruksi dari perspektif tertentu kepada
khalayak.
Tabel 1.1. Elemen Framing Robert N. Entman:
Define problems
(Pendefinisian Masalah)

Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat?


Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes
(Memperkirakan Masalah
atau sumber masalah)

Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa


yang dianggap sebagai penyebab dari suatu
masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai
penyebab masalah?

Make moral judgement


(Membuat keputusan moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk


menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang
dipakai
untuk
melegitimasi
atau
mendelegitimasi suatu tindakan?

Treatment recommendation
(Menekankan Penyelesaian)

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk


mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang
ditawarkan dan harus diempuh untuk
mengatasi masalah?

Sumber: Eriyanto, 2005: 188-189

16

Keempat elemen framing tersebut dapat menjelaskan bagaimana sebuah


peristiwa dikonstruk oleh pengarang. Ketika menuliskan dan memaknai sebuah
realitas, pengarang akan menggunakan kerangka berpikir tertentu dalam proses
pembingkaian yang dilakukannya agar dapat meyakinkan pembaca bahwa sesuatu
yang dituliskannya adalah benar. Frame yang digunakan oleh pengarang akan
menentukan bagaimana rambu solo ini dipandang oleh masyarakat. Dari uraian
di atas, maka dapat disusun kerangka konseptual sebagai berikut:
Religius
Rambu solo
Buat Indo

Kerja Keras
Pengorbanan
Penghormatan

Desis
Religius
Religius
Ambe Masih
Sakit

Tolongmenolong

CERPEN
FIKSI

Tedong
Helena

Analisis Framing
Robert N. Entman

Pengorbanan

Religius

Define Problem
Diagnose Causes
Make Moral Judgement
Treatment
Recommendation

Pengorbanan
Religius

Tedong Bonga
Untuk Nenek

Pengorbanan

Rekonstruksi Rambu solo


dalam Cerpen

Keikhlasan
Religius
Syair Duka
Keikhlasan

Representasi Makna
Rambu solo dalam Cerpen

17

Gambar 1.1 : Kerangka Konseptual


E. Definisi Operasional
1. Cerita Pendek Fiksi
Merupakan suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek menggambarkan
sebuah situasi dengan singkat hasil rekayasa pengarang berdasarkan realitas
yang ada. Dalam penelitian ini jenis cerpen yang menjadi objek penelitian
adalah fiksi yang memiliki prestasi pada kompetisi tingkat nasional,
diterbitkan dalam kumpulan cerpen atau Harian Nasional
2. Kerja Keras
Merupakan

usaha

sanak

keluarga

untuk

mencari

rejeki

guna

menyelenggarakan rambu solo.


3. Penghormatan
Merupakan pemberian hormat atau bakti anggota keluarga terhadap jasad
yang akan dikuburkan baik melalui peran anggota keluarga dalam hal materi,
tenaga maupun pikiran.
4. Pengorbanan
Merupakan kerelaan seseorang akan sesuatu yang dimilikinya baik seperti
harta benda atau hewan kesayangannya sebagai bentuk dari sebuah
pengabdianya demi melaksanakan rambu solo.
5. Religius
Merupakan kepercayaan masyarakat Toraja yang bersumber dari keyakinan
yang telah diwariskan secara turun temurun.

18

6. Tolong-menolong
Merupakan budaya saling bantu yang tumbuh dikalangan masyarakat Toraja
dalam pelaaksanaan upacara adatrambu solo.
7. Keikhlasan
Merupakan kerelaan pihak keluarga dalam memberikan kontribusi dalam
pelaksanaan rambu solo tanpa mengharapkan imbalan apapun.
8. Rambu solo
Rambu solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan
untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia
menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur
mereka di sebuah tempat peristirahatan.
9. Framing
Framing

merupakan

menampilkan,

cara

mengemas

media
atau

atau

pengarang

mengonstruksi

suatu

dalam

menulis,

realitas

untuk

disampaikan kepada khalayak.


10. Define problem (pendefinisian masalah)
Menekankan pada cara seseorang memahami suatu peristiwa. Sebuah
peristiwa dapat dipahami secara berbeda hingga menghasilkan realitas yang
berbeda pula.
11. Diagnose causes (memperkirakan masalah)

19

Penyebab dapat diartikan sebagai apa (what) atau siapa(who) yang berperan
sebagai aktor dari suatu peristiwa. Bagaimana peristiwa dimaknai tentu saja
menentukan apa dan siapayang dianggap sebagai sumber masalah.
12. Make moral judgement (membuat pilihan moral)
Merupakan argumentasi yang digunakan untuk memperkuat definisi masalah
dan penyebab masalah yang telah ditentukan. Sebuah argumentasi dibutuhkan
untuk mendukung gagasan tersebut.
13. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)
Bertujuan untuk menilai apa yang dikehendaki pengarang. Cara atau solusi
yang ditawarkan oleh pengarang untuk menyelesaikan masalah yang
ditemukan.
14. Rekonstruksi
Rekonstruksi merupakan sebuah realitas yang telah diberikan pemaknaan
tertentu oleh pengarang. Realitas ini dibangun secara subjektif oleh
pengarang berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
15. Representasi
Representasi merupakan cara yang digunakan untuk memberikan makna
terhadap objek yang digambarkan. Representasi dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang digunakan untuk mewakili objek yang dimaksud.
16. Puya
Merupakan tempat bagi arwah yang meninggal akan bertransformasi menjadi
arwah gentayangan (bombo), arwah setingkat dewa (to membali puang), atau
arwah pelindung (Deata).

20

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Tipe Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif

kualitatif,

sebab

penulis

menggambarkan

bagaimana

rambu

solodikemas oleh pengarang.


2. Objek Penelitian dan Objek Analisis
Objek penelitian ini adalah cerpen fiksi yang memiliki prestasi pada
kompetisi tingkat nasional, diterbitkan dalam kumpulan cerpen atau Harian
Nasional. Adapun objek analisisnya adalah isi pesan yang dituangkan atau
dibingkai oleh pengarang dalam bentuk dialog dan narasi yang menggambarkan
rambu solodalam cerpen tersebut. Berikut deskripsi singkat mengenai objek
penelitian ini:
Tabel 1.2 Deskripsi Singkat Objek Penelitian
Judul

Pengarang

Ambe Masih
Sakit

Emil Amir

Desis

Yolla Miranda

Rambu solo
buat Indo

Ahmad Ijazi

Syair Duka

Denny Prabowo

Keterangan
Diterbitkan di Kompas, 4 Maret 2012
kemudian dibukukan dalam kumpulan
cerpen Kompas Laki-Laki pemanggul
Goni
Diterbitkan dalam kumpulan cerpen
Seutas Ganal
Pemenang lomba menulis cerpen
tingkat nasional pada Festival Sastra,
KMSI UGM 2014
Diterbitkan di Media Indonesia, 24
Maret 2013

21

Tedong Bonga
untuk Nenek

Sri Lestari

Tedong Helena

Denny Prabowo

Pemenang 2 Lomba Cerpen Femina


2010
Pemenang Creative Writing Institute
2006 dan dibukukan dalam kumpulan
cerpen Lok Tong

Sumber : Hasil Penelitian, 2015


3. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu :
Pra Penelitian
Pra penelitian dilaksanakan pada Januari-Februari 2015 dengan melakukan
penelusuran terhadap literatur-literatur terkait penelitian ini.
Penelitian
Penelitian dilanjutkan mulai bulan Februari 2015 hingga Mei 2015.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua aspek yakni:
a. Data Primer
Data diperoleh dari sumber data utama berupa dialog dan narasi yang
menggambarkan upacara adat rambu solo dalam cerpen fiksi.
b. Data sekunder
Pengumpulan data jenis ini dilakukan dengan menelusuri bahan bacaan
berupa jurnal-jurnal, buku, artikel di internet dan berbagai hasil penelitian terkait.
5. Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan teknik analisis framing.
Menurut Kriyantono (2012: 86), teknik analisis data mencakup dua hal, yaitu
analisis data dan interpretasi data.
5.1 Analisis Data

22

Merupakan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan oleh


penulismelalui perangkat metodologi tertentu, dalam hal ini penulis menganalisis
secara kualitatif dengan pendekatan analisis framing.

Dengan menggunakan

perangkat framing Robert N. Entman penulis dapat menemukan nilai yang dipilih
dan ditonjolkan oleh pengarang pada cerpennya.
5.2 Interpretasi Data
Kriyantono menjelaskan bahwa tahap ini merupakan tahap interpretasi
terhadap hasil analisis data. Pada tahap tersebut penulis mendiskusikan hasil
analisis data, melalui interpretasi terhadap analisis data, dengan menggunakan
kerangka konseptual yang semula ditetapkan. Penulis menginterpretasikan data
tersebut berdasarkan data yang telah diperoleh pada tahap analisis data. Pada
tahap inilah penulis menemukan reperesentasi makna yang dibangun oleh para
pengarang.

23

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Media Massa
Media massa merupakan suatu sumber informasi dalam kehidupan
moderen. Media massa biasa dianggap sebagai sumber informasi dan hiburan.
Effendy menyatakan bahwa media massa digunakan dalam komunikasi apabila
komunikasi berjumlah banyak dan bertempat tinggal jauh (Melanie, 2011: 9).
Media massa yang banyak digunakan saat ini adalah radio, televisi, majalah,
buku, dan sebagainya yang bersifat informatif, edukatif dan menghibur.
Keuntungan dari pemanfaatan media massa dalam penyebaran informasi
adalah mampu menyebarkan sebuah pesan secara serentak dan relatif lebih luas.
Menurut Cangara (2011: 128-129) media massa memiliki karakter sebagai
berikut:
1.

Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari


banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai
pada penyajian informasi

2.

Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang


memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima.
Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya
tidak dapat melakukan kontak langsung sehingga walaupun terjadi

24

reaksi atau umpan balik maka akan membutuhkan waktu jeda atau
tertunda.
3.

Meluas dan serempak. Kelebihan komunikasi massa dibandingkan


dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau
komunikan yang dicapai relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan
lebih dari itu, komunikan yang tersebut secara serempak pada waktu
yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula

4.

Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat


kabar, dan semacamnya.

5.

Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
dimana saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku
bangsa.

Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan


kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga
dalam pengertian pengembangan cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
Perkembangan teknologi media yang secara terus menerus mengikuti
perkembangan zaman semakin menekankan bahwa manusia semakin kreatif
menghasilkan, pula semakin masif menggunakan. Perkembangannya merupakam
bukti bahwa manusia dan media massa tidak bisa saling meninggalkan.
Secara singkat perkembangan media mengikuti empat era komunikasi
yaitu era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi, dan era media
komunikasi interaktif. Meski demikian, di tengah masifnya perkembangan media
massa, dunia menulis tidak pernah lekang oleh zaman. Terbukti dengan semakin

25

banyaknya media tulis yang hingga saat ini masih eksis di tengah-tengah
masyarakat.
B. Cerpen Sebagai Media Komunikasi
Sebuah naskah sastra pada umumnya ditulis dalam bentuk teks, karena
teks merupakan bagian yang utama. Sebuah teks merupakan perwujudan sebuah
struktur yang abstrak. Sebagai sebuah teks, karya sastra dipandang sebagai objek
final dan dapat ditafsirkan. Teks dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Terdapat hubungan yang unik antara teks dan budaya. Teks
merupakan produksi dan konstruk dari budaya sementara budaya juga merupakan
konteks yang pada akhirnya memberikan variasi makna dari teks yang diciptakan.
Esensi sebuah cerita pendek fiksi adalah cerita (story) atau sajian
peristiwa, pengalaman, imajinasi, dan sifat-sifat naratif yang disusun secara
ringkas (Kusniarti, 2010: 50). Cerpen merupakan bagian dari media konvensional,
karena media konvensional adalah salah satu media untuk memublikasikannya
selain blog dan buku. Artinya sebuah cerpen yang dimuat di media massa dapat
dikelompokkan sebagai proses komunikasi. Cerpen dapat dijadikan sebuah media
untuk mengungkapkan pemikiran serta ideologi yang dimiliki seseorang. Penulis
dapat dengan bebas mengekspresikan apa yang ada di dalam pemikirannya
melalui sebuah cerpen karena karya tersebut merupakan sebuah fiksi (Azwar,
2014: 23).
Walaupun

cerpen

adalah

karya

fiksi

tetapi

cerpen

seringkali

menggambarkan atau merefleksikan keadaan masyarakat, adat istiadat, dan


budaya. Para cerpenis juga seringkali mengungkapkan kritikannya terhadap

26

berbagai yang terjadi dalam masyarakat ataupun permasalahan yang terjadi


dengan adat istiadat dan pemerintahan melalui cerita yang ditulisnya. Sehingga
bukan sesuatu yang jarang terjadi ketika sebuah cerpen atau karya sastra dilarang
untuk diterbitkan dan diedarkan kepada masyarakat karena dikhawatirkan akan
mempengaruhi masyarakat dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pada
akhirnya cerpen akan membawa para pembaca sesuai pada apa yang dikehendaki
oleh pengarang.
Cerpen sebagai sebuah karya sastra, menyajikan pemikiranpemikiran
sebagai bagian dari hasil perenungan dan kepekaan seorang pengarang
(Nurhatika: 2014: 3-4). Pengarang merupakan warga masyarakat yang hidup dan
berinteraksi dengan masyarakatnya. Berbagai peristiwa yang terjadi merupakan
hasil interaksi pengarang dengan masyarakat. Selain aspek subyektif pengarang,
kondisi lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial turut
mempengaruhi proses penciptaan.
C. Media dan Kostruksi Makna
Konstruksi makna merupakan sebuah proses saat individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensor mereka guna memberikan arti pada
lingkungan mereka melalui konstruksi kode-kode sosial, budaya, dan sejarah yang
spesifik. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,
dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam
konteks sosial. Hal ini dianggap revolusioner, karena hal itu berarti tanda
membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada
(Sobur, 2009: 87)

27

Itu pula yang memunculkan pendapat Paul Watson, salah seorang pendiri
Greenpeace, tentang perilaku media massa. Menurutnya, konsep kebenaran yang
dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap
masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya kebenaran ditentukan oleh media
massa (Sobur, 2009: 87)
Konteks dari pemberitaan yang dimunculkan pada pemberitaan tidak
terlepas dari hasil konstruksi dari media itu sendiri. Sebuah peristiwa yang buruk
bisa menjadi sebuah pemberitaan yang biasa saja setelah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh media tersebut. Singkat kata, media mengonstruksi realitas yang akan
dimunculkan pada masyarakat dengan mengemas konteks pemberitaan secara
apik.
Bahasa merupakan media yang menjadi perantara kita dalam memaknai
sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua
ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol
dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan
ide-ide kita tentang sesuatu (Ariyani, 2014: 11).
Larry L. Barker mengungkapkan ada tiga fungsi bahasa: penamaan
(naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi (Mulyana, 2010: 266267). Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek atau
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
komunikasi. Fungsi interaksi menurut Barker, menekankan gagasan dan emosi
yang dibagi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan
kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.

28

Setiap hari kita menerima informasi-informasi yang baru baik secara langsung
maupun tidak langsung sejak membuka mata

di pagi hari hingga kembali

memejamkan mata di malam hari. Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi
transmisi.
Menurut De Fleur dan Ball Rokeach ada berbagai cara media massa
mempengaruhi makna dan bahasa ini antara lain: mengembangkan kata-kata baru
beserta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada;
mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; memantapkan
konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa (Sobur, 2009: 90).
Bungin (2011: 16) menjelaskan bahwa individu melakukan objektivasi
terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini
berlangsung tanpa harus saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi
melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat
melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial tanpa harus terjadi tatap
muka antar-individu dan pencipta produk sosial itu. Hal terpenting dalam
objektivasi adalah pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh
manusia (Bungin, 2011: 17).
Lebih jauh Bergerdan Luckman (Bungin, 2011: 17) menjelaskan bahwa
sebuah wilayah penandaan (signifikasi) dapat menjembatani wilayah-wilayah
kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol, dan modus linguistik
dengan apatransenden seperti itu dicapai, dapat dinamakan simbol. Dengan
demikian, bahasa memegang peran penting dalam objektivasi terhadap tandatanda.

29

Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi


budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena
menampilkan sebuah cara dalam memandang realita.
D. Realitas dan Konstruksi Sosial
Terkait realitas , setidaknya ada tiga teori terkenal yang mempunyai
pandangan yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori
konstruksi sosial (Muslich, 2008: 150). Teori fakta sosial beranggapan bahwa
tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan
sosialnya. Norma, struktur, dan institusi sosial menentukan individu manusia
dalam arti luas. Segala tindakan, pemikiran, penilaian, dan cara pandang terhadap
apa saja (termasuk peristiwa yang dihadapi) tidak lepas dari struktur sosialnya.
Jadi realitas dipandang sebagai sesuatu yangeksternal, objektif, dan ada. Ia
merupakan kenyataan yang dapat diperlakukansecara objektif karena realitas
bersifat tetap dan membentuk kehidupan individu dan masyarakat.
Sementara itu, teori definisi sosial beranggapan sebaliknya. Manusialah
yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi sosial
dibentuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Ia bebas membentuk dan
memaknakan realitas, bahkan menciptakannya. Sehingga realitas dipandang
sebagai kenyataan subjektif dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang
bergerak mengikuti dinamika makna subjektif individu.
Kedua teori tersebut dipandang sangat ekstrem dan sangat kasual. Teori
fakta sosial menafikkan eksistensi individu yang mempunyai pikiran rencana,
cita-cita, dan kehendak. Individu seolah menjadi kapas yang geraknya tergantung

30

pada angin sosial. Sebaliknya, teori definisi sosial sangat menonjolkan subjek
individu yang menafikkan struktur sosial. Padahal, sebagai mahluk sosial,
individu sangat membutuhkan perilaku sosial, seperti penghargaan, prestise, dan
kedudukan atau jabatan sosial.
Menyadari kelemahan kedua teori itu, muncullah teori konstruksi sosial.
Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman. Mereka
berpandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui proses internalisasi yang
mencerminkan realitas yang subjektif.
Berger (Eriyanto, 2005: 14) menyebutkan bahwa ada tiga tahapan realitas
sosial

dikonstruksi

yaitu

eksternalisasi,

objektivasi,

dan

internalisasi.

Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia,
baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Objektivasi, yaitu hasil yang telah
dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut.
Internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial.
Selain itu, salah satu teori terkenal yang membahas realitas sosial
sekaligus hubungannya dengan media adalah teori konstruksi sosial atas realitas
yang dikembangkan oleh Adoni dan Mane. Teori ini memusatkan pada proses
pembentukan realitas, yakni bagaimana realitas dibentuk oleh individu dan

31

bagaimana individu menginternalisasi realitas yang disajikan oleh media.


(http://www.ut.ac.id/html/suplemen/skom4314/isi_materi2_2.html).
Adoni dan Mane, membagi realitas dalam tiga bentuk. Pertama, realitas
objektif yang dilihat sebagai dunia yang objektif, diterima secara commonsense
sebagai fakta dan tidak diperlukan verifikasi untuk membuktikannya. Semua
realitas itu dipandang sebagai fakta yang diterima sebagai kebenaran dan dapat
dilihat misalnya umur, pendapatan, dan pendidikan.
Kedua, realitas simbolik diartikan sebagai bentuk ekspresi simbolik dari
realitas objektif, misalnya seni, sastra, dan isi media. Realitas ini menafsirkan dan
mengekspresikan dunia yang objektif dan menerjemahkannya ke dalam realitas
baru. Realitas ini tidak sama dengan realitas yang sebenarnya (realitas objektif)
karena telah melewati berbagai saringan dan predisposisi individual. Tayangan
berita dan iklan di televisi, surat kabar, dan majalah adalah contoh-contoh dari
realitas simbolik. Pada tahap ini, realitas yang terjadi di dunia nyata, diubah dan
dibentuk dalam kodifikasi dan simbol-simbol yang bisa diterima oleh khalayak.
Ketiga, realitas subjektif yaitu realitas yang hadir dalam benak dan
kesadaran individu. Realitas tersebut dapat berasal dari realitas objektif maupun
realitas simbolik, yang secara bersama-sama dapat memengaruhi realitas subjektif
seseorang sehingga setiap individu bisa jadi mempunyai penafsiran masingmasing atas sebuah realitas. Segala aspek yang terdapat dalam diri individu seperti
pengalaman dan latar belakang kehidupan mempunyai andil dalam membentuk
persepsi dan pemahaman individu atas realitas.

32

Jika pandangan Adoni dan Mane dikaitkan dengan teori Berger dan
Luckman, maka proses eksternalisasi terjadi dalam realitas simbolik, proses
internalisasi terjadi dalam realitas subjektif, di mana individu mengambil
pengetahuan, nilai-nilai dan etika yang disajikan dalam media maupun
lingkungannya ke dalam dasar pemahaman individu atas realitas. Selanjutnya,
Berger dan Luckman dalam Chrisanty (2012:32) memaparkan dua gagasan
sosiologi pengetahuan, yakni realitas danpengetahuan. Realitas adalah fakta
atau kenyataan yang ada dalam kehidupan bersosial yang memiliki sifat eksternal,
umum, dan memaksa terhadap kesadaran masing-masing individu. Entah diterima
atau ditolak, setuju atau tidak setuju, realitas itu akan selalu ada. Sedangkan
pengetahuan adalah realitas yang ada atau hadir didalam kesadaran tiap-tiap
individu.
Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi
sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu
tercaakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan
pranata sosial (Bungin, 2008: 11-12).
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan individu. Namun demikian, kebenaran suatu
realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2011: 11).

33

Lebih lanjut Peter dan Berger (Bungin, 2011: 14-15) memisahkan


pemahaman kenyataan dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas
yang terdapat dalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan (being)
yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan
didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan
memiliki karakter yang spesifik.
Bagi Berger (Eriyanto, 2005: 15-16), realitas itu tidak dibentuk secara
ilmiah, tidak pula diturunkan oleh Tuhan. Namun sebaliknya, ia dibentuk dan
dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural.
Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan
lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu
dengan konstruksinya masing.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki
makna yang subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku
sosial itu menjadi sosial oleh Weber dikatakan kalau yang dimaksud subjektif
membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan
mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau
menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat
(Bungin, 2008: 12).
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik dari dalam maupun dari luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara

34

subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
Individu mengonstruksi realitas sosial, dan mengonstruksinya dalam dunia
realitas, kemudian memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu
lain dalam lingkungan sosialnya.
E. Representasi
Representasi menurut David Croteau dan William Hoynes (Wulandari,
2013: 17), merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi
hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan
digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses
seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi,
ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda yang lain diabaikan.
Sementara Marcel Danesi (Wulandari, 2013: 17) mendefinisikan
representasi sebagai suatu proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan
secara fisik. Secara lebih tepat dapat didefinisikan sebagai penggunaan tandatanda (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang
diserap, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik.
Sedangkan menurut Sumardjo (Putra, 2012: 26) representasi adalah (1)
penggambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal,
(2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia, (3)
penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara
subjektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentu-bentuk ideal yang berada di
balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewatpandangan misti-filosofis
seniman.

35

Representasi adalah sebuah cara untuk memaknai apa yang diberikan pada
benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada
premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara
makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya
digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.
Hall (Yohanna, 2008: 13) menunjukkan bahwa sebuah imaji akan
mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan
berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall
menyebutkan representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai
setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah
kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi
adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.
Wulandari (2013: 16) menjelaskan bahwa representasi merupakan bentuk
konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Representasi dapat berwujud
kata, gambar, sekuen, cerita, yang mewakili ide, emosi, fakta,dan sebagainya.
Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara
kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau
sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda mewakili
sehingga kita tahu dan mempelajari realitas.
F. Analisis Framing
Analisis framing merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
cara media membingkai suatu realitas. Sobur mengatakan bahwa analisis framing
digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang

36

digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita(Kriyantono, 2010:


255). Cara pandang dan perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang
diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa
kemana berita tersebut.
Eriyanto (2005: 10) menyebutkan bahwa pada dasarnya framing adalah
metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara
bercerita yang dimaksudkan adalah dari sudut pandang mana media mengemas
sebuah realitas. Analisis framing digunakan untuk melihat bagaimana media
megonstruksi, memahami, membingkai dan memunculkan suatu realitas.
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang
suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus,
dengan

memberikan

penonjolan

terhadap

aspek-aspek

tertentu,

dengan

menggunakan istilah-istilah yang memiliki konotasi tertentu, dan dengan bantuan


foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Kriyantono, 2010:255)
Proses framing oleh media dilakukan dalam dua aspek yaitu pemilihan
fakta atau realitas dan cara media menuliskan fakta tersebut. Penulis menceritakan
sebuah realitas dengan memilih realitas mana yang dipilih dan realitas mana yang
dibuang. Setelah realitas ditentukan, penulis akan memilih strategi wacana
tertentu untuk memberikan penekanan atau penonjolan terhadap realitas yang
dipilih (Aprina, 2011: 16-29)
Pada penelitian ini, penulis mengunakan analisis framing model Robert N.
Entman. Entman (Eriyanto, 2005: 186) melihat framing dalam dua dimensi besar:
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau

37

isu. Seleksi isu merujuk pada pemilihan berbagai aspek dari suatu isu yang
dimunculkan. Sementara penonjolan aspek tertentu berkaitan dengan cara media
menuliskan fakta. Ketika aspek telah dipilih, media memilih kata, gambar atau
ilustrasi dan menyusun kalimat hingga membangun citra tertentu terhadap isu
yang akan ditampilkan kepada masyarakat.
Media menonjolkan suatu aspek dari isu tersebut dengan menyeleksi isu
tertentu dan meninggalkan isu yang lain. Media membangun dimensi tertentu
dengan menggunakan berbagai strategi wacana seperti penggunaan kata yang
berulang-ulang, pemakaian label tertentu untuk menggambarkan peristiwa
tertentu, asosiasi terhadap simbol budaya, dan lain-lain. Pada akhirnya media
menyajikan suatu realitas yang telah dikonstruksi dari perspektif tertentu kepada
khalayak
Tabel 2.1 Elemen Framing Robert N. Entman
Define problems
(Pendefinisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat?


Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes
(Memperkirakan masalah
atau sumber masalah)

Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa?


Apa yang dianggap sebagai penyebab dari
suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap
sebagai penyebab masalah?

Nilai moral apa yang disajikan untuk


Make moral judgement
menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang
(Membuat keputusan moral) dipakai
untuk
melegitimasi
atau
mendelegitimasi suatu tindakan?
Treatment recommendation
(Menekankan penyelesaian)
Sumber: Eriyanto, 2005: 188-189

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk


mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang
ditawarkan dan harus diempuh untuk
mengatasi masalah?

38

Keempat elemen framing tersebut dapat menjelaskan bagaimana sebuah


peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh pengarang. Ketika menuliskan dan
memaknai sebuah realitas, pengarang akan menggunakan kerangka berpikir
tertentu dalam proses pembingkaian yang dilakukannya agar dapat meyakinkan
pembaca bahwa sesuatu yang dituliskannya adalah benar. Frame yang digunakan
oleh pengarang akan menentukan bagaimana rambu solo ini dipandang oleh
masyarakat.
G. Rambu solo
Kepercayaan masyarakat Toraja mengenai prinsip totalitas menjadi dasar
untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sosio religius. Segala sesuatu di
dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan
secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam
keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupakan latar belakang saja. Ia tidak
mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia bertempat tinggal di langit,
berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam semesta serta
abadi. Ia adalah yang pertama di antara yang sederajat di antara dewa-dewa
lainnya (http://victorsumua.blogspot.com/2013/01/rambu-solo-dalam-keyakinanaluk-todolo.html).
Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak
terlepas dari nilai-nilai religius dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh
tatanan

sosial

budaya

Toraja

baik

dalam

dimensi

material

maupun

dimensispiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu dalam agama,
hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama,

39

dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku. Jadi seluruh tatanan kehidupan
masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena
tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat
hukuman

dalam

kehidupan

ini.

Hukuman

ini

dapat

dihapus

dengan

melakukan Massuru (penebusan dosa).


Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus yang
tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya kontinuitas
kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi ia
berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada dunia mistis. Filsafat ini
dinyatakan dalam ungkapan pabongianri te lino, pagussali-salian lolori kera
patondokan marendeng. Ungkapan ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya
tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan
alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini
mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup.
Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab
kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan
kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di
sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana. Cara
menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan
hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan
berlanjut di sana.
Tangdilintin T. L. (1981: 75), mengatakan bahwa kepercayaan tradisional
Aluk Todolo bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda

40

pitunna) dan aluk serba seratus(sanda saratu). Aluk sanda pitunna disebarkan
oleh Tangdilino dan merupakan sistem religi yang dipercayai oleh orang Toraja
sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama umat manusia dan karena itu ia
merupakan aluk yang tertua yang menyebar secara luas di Tana Toraja.
Sedangkan aluk sanda saratu datang kemudian dan disebarkan oleh puang
Tamborolangi dan hanya berkembang dalam daerah Tallu Lembangna (Makale,
Sangalla dan Mengkendek).
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun
sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen
Protestan dan agama Kristen Katholik, bahkan pada tahun 1970, agama ini sudah
dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk
Todolo adalah kepercayaan animisme tua yang dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu sehingga ia
merupakan kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik (Datu, 2011:
15).
Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah
upacara rambu solo. Ritual-ritual di sekitar upacara rambu solo bersumber dari
falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat
dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat
terwujud jika semua ritual-ritual yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun).
Salah satu wadah mewujudkan ritual tersebut adalah upacara rambu solo.
Kalau semua ritual itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang
selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup.

41

Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali puang, sehingga
arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga dan tersesat
menuju puya. Di puya inilah arwah yang meninggal akan bertransformasi menjadi
arwah gentayangan (bombo), arwah setingkat dewa (to membali puang), atau
arwah pelindung (Deata).
Dalam rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau
upacara rambu solo dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat
menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup
orang Toraja adalah hidup untuk mati, pada satu sisi tidak salah, apalagi jika
hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa
partisipasi. Namun pada sisi yang lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja
penuh

dengan

upacara-upacara

religius.

Pengorbanan

dalam rambu

solo mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir
(di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di
sini dan sebaliknya.
Fungsi pengorbanan dalam rambu solo adalah seperti ungkapan saya
memberi agar engkau memberi yang artinya dalam hubungan dengan dewa atau
arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar. Hal
ini nampak dengan jelas dalam upacara rambu solo Manene. Manene adalah
mengurus mayat yang sudah lama dikuburkan di dalamnya dipersembahkan
kerbau atau babi.
Pelaksanaan rambu solo yang begitu sakral disertai dengan berbagai nilainilai yang dikandungnya, antara lain:

42

A. Nilai-Nilai Religius
1. Kehidupan dan kematian sebagai suatu siklus
Pandangan tentang kehidupan dan kematian menurut agama suku Toraja
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dipahami sebagai suatu siklus.
Karena itu, baik kehidupan maupun kematian dipandang sebagai suatu
lingkaran dalam perjalanan hidup seseorang. Kehidupan akan dilanjutkan di
alam sana, yaitu tempat dimana kehidupan itu dimulai. Kematian bukanlah
akibat dosa, tetapi merupakan bentuk peralihan dari dunia empiris ke dunia
mistis transenden.
Agar peralihan itu dapat terlaksana dengan baik maka tuntutan ritual harus
dipenuhi. Dan ritual yang terpenting adalah upacara rambu solo. Pelaksanaan
upacara ini secara lengkap akan menyebabkan arwah seseorang dapat
memasuki puya (dunia arwah), untuk seterusnya menjadi membali puang
(menjadi dewa). Sebaliknya kalau upacaranya tidak lengkap atau sempurna,
maka arwah orang mati tidak akan membali puang, sehingga akan gentayangan
dan akan selalu datang menganggu keluarga dan orang lain. Arwah-arwah yang
sudah membali puang dan yang belum, menampakan diri dalam apa yang
disebut bombo sebagai menifestasi dari arwah orang mati yang sangat
ditakuti (khususnya yang belum lengkap ritual-ritualnya), karena medatangkan
malapetaka sekaligus dihormati karena mendatangkan berkat.
2. Hubungan antara kehidupan di dunia ini dan sesudah kematian.
Dalam keyakinan Aluk Todolo, dunia di sini dan dunia di sana mempunyai
hubungan timbal balik bahkan saling mempengaruhi. Realitas kehidupan ini

43

hanya sebenarnya saja, yang harus dihayati secara pragmatis dalam batas-batas
yang ditentukan oleh aluk sola pamali untuk menjamin kehidupan dalam
realitas alam atas. Dengan kata lain, realitas kehidupan orang Toraja berasal
dari alam mistis. Jadi baik hidup sebelum mati (realitas empiris) maupun hidup
sesduah mati (realitas mistis) diikat oleh lingkaran kehidupan.
Hubungan ini nyata dalam upacara-upacara ritual yang harus dipenuhi
untuk menjamin kehidupan di sana. Kalau upacaranya lengkap maka arwah
orang yang telah meninggal akan membali puang untuk seterusnya dan
membawa berkat bagi keluarga atau orang lain. Ini menujukkan bahwa dapattidaknya seseorang memasuki puya (dunia arwah) dan membali puang sangat
tergantung pada usaha manusia yang hidup di dunia ini.
3. Hubungan dengan arwah para leluhur
Karena dunia di sini dan dunia di sana saling mempengaruhi maka antara
arwah para leluhur dan keluarga yang masih hidup terdapat hubungan yang
saling mempengaruhi. Itulah sebabnya, sehingga orang yang masih hidup tetap
berkewajiban memlihara kuburan dan mayat dari leluhurnya. Perawatan itu
dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu dengan mengganti (membaharui)
bungkus mayat. Demikian juga usaha untuk membersihkan kuburan (banua
tangmerambu) atau memberikan suguhan berupa makanan, sirih, rokok, bunga
dan lain-lain. Melalui upaya demikian hubungan dengan arwah leluhur tetap
terpelihara. Disamping itu juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meminta
berkat kepada arwah leluhur. Keyakinan ini lazim dikenal dengan upacara
manene.

44

4. Aspek religius dari pemotongan hewan


Hewan yang dikorbankan dalam upacara Rambu solo diyakini sebagai
bekal seseorang untuk perjalannya memasuki dunia sana. Dengan demikian
bila orang yang telah meninggal diupacarakan dengan mengorbankan banyak
hewan, maka itu berarti bahwa ia juga memiliki banyak bekal untuk masuk
kedalam puya (alam arwah).
B. Nilai Kultural
1. Aspek Liang, Kubur, Lobang Pohon Kayu Besar (disilli)
Unsur-unsur ini dalam keyakinan Aluk Todolo dipahami sebagai pasangan
dari rumah Tongkonan. Oleh karena itu setiap tongkonan memiliki liang yang
manjadi milik dari kaum keluarga yang berasal dari tongkonan tersebut. Liang
dikenal dengan istilah banua tang marambu, maksudnya rumah tempat
orang-orang yang tidak lagi berurusan dengan makan minum (rumah orang
mati).
2. Saringan, Langi-Langi dan Tau-tau
Saringan (usungan berukir), langi-langi (rumah mini Toraja) dan tau-tau
(patung) merupakan atribut rambu solo yang menunjuk kepada kelas
(stratifikasi sosial) dari yang meniggal dunia. Dalam masyarakat Toraja hanya
kasta bangsawan yang boleh dibuatkan saringan, langi-langi dan tau-tau.
3. Sembangan Suke Baratu/Bulangan Londong
Untuk upacara rambu solo pada tingkatan rapasan sundun salah satu
kegiatan yang harus dilaksanakan ialah sembangan suke baratu/bulangan

45

londong (sabung ayam). Acara ini merupakan ritus pelengkap dari rambu
solo, sekaligus menujukkan status sosial yang tinggi dari seseorang.
4. Kesenian
Kesenian yang ditampilkan dalam rambu solo, khsusnya untuk golongan
bangsawan,

meliputi badong, dondi, retteng, marakka, katia dan

randing.

Jenis kesenian ini meruapakan sarana peng ekspresian suasana kedukaan yang
dialami karena kematian seseorang. Karena itu kesenian ini selalu berirama
sendu dan memilukan. Orang yang terlibat dalam kesenian ini merasakan
solidaritas yang mendalam dengan orang yang telah meninggal.
C. Nilai Sosial
1. Kekeluargaan
Apabila seorang meninggal dunia dalam kalangan suku Toraja, Upacara
pemakaman tidak hanya dihadapi oleh suami, istri dan anak-anaknya, tetapi
juga keluarga besar (rumpun keluarga) dari orang yang telah meninggal.
Seluruh keluarga meskipun tinggal ditempat yang jauh, berusaha untuk hadir
dan berpartisipasi dalam upacara rambu solo. Keluarga-keluarga ini secara
bersama menanggulangi biaya pelaksanaan upacara rambu solo. Bila ada
keluarga yang tidak mengambil bagian maka ia akan menanggung beban moral
yang mengakibatkan ia dapat tersisih dari komunitas keluarga. Juga keluarga
yang lain akan memberi penilaian yang negatif terhadapnya karena dianggap
tidak memiliki solidaritas keluarga.
Hal ini menujukkan dalam masyarakat Toraja sistem kekeluargaan dan
kekerabatan merupakan sasuatu hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui

46

upacara rambu solo hubungan kekerabatan disegarkan kembali, karena


upacara ini merupakan pertemuan kaum kerabat dengan semua handai tolan
dan semua kenalan biasa. Dikalangan orang toraja saudara sepupu sampai
tahap ke tujuh masih dianggap saudara dekat.
2. Stratifikasi sosial
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian
in dipelihara secara turun-temurun.
Meskipun demikian dalam masyrakat Toraja ada upacara penebusan
(pemulihan) bagi seorang bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin
dan menjadi hamba. Ia dapat saja memulihkan kedudukannya aluk sanda
saratu (serta seratus) yaitu melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan
serba seratus (kerbau seratus, babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi
dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan upacara rambu solo juga harus
didasarkan pada tana. Ini berarti tingkatan upacara untuk tana kua kua, tidak
boleh sama dengan upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun
seorang mampu dari segi ekonomi. Dengan demikian upacara rambu
solomencermikan martabat atau harga diri dari suatu keluarga khsusnya
golongan bangsawan. Dengan kata lain keberhasilan atau kemeriahan
penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan sekaligus
menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa sangat
malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaiman
layaknya

47

3. Persekutuan Teritorial
Upacara rambu solo tidak hanya melibatkan rumpun keluarga, tetapi juga
melibatkan masyarakat sekitar. Dalam masyarakat Toraja, ada bentuk-betuk
persekutuan sosial yang disebut saroan atau Kobbu. Persektuan ini tidak
saja didasarkan pada pertalian biasa, tetapi juga pada adanya kesadarn saling
membutuhkan serta kesadaran untuk berkorban demi kehidupan bersama. Hal
ini juga berlaku dalam urusan upacara rambu solo, dimana seluruh anggota
masyarakat secara sukarela terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan
pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari akhir sampai selesai. Disini terlihat
bahwa masyarakat Toraja sejak dulu menjungung tinggi rasa kekeluargaan dan
rasa kegotong-royongan. Selain masyarakat sekitar, juga keluarga dan kenalan
yang berasal dari luar kampung atau luar daerah juga berusah untuk hadir.
Sehingga upacara juga menjadi tempat pertemuan antara seluruh kenalan, baik
yang dekat maupun yang jauh.
D. Nilai-Nilai Ekonomi
Ditinjau dari segi ekonomi upacara rambu solo sepintas dapat dikatakan
sebagai usaha pemborosan biaya yang cukup banyak. Namun kalau dipahami
dari landasan keyakinan Aluk Todolo, maka upcara ini bagi keluarga bukanlah
pemborosan, tetapi terutama diyakini sebagai bekal bagi orang yang telah
meninggal untuk masuk ke puya. Dengan pengorbanan yang diberikan
diharapkan bahwa leluhurnya akan datang memberi berkat yang lebih baik/
banyak lagi. Oleh karena itu seseorang tidak segan-segan untuk berkorban bagi
orang yang meninggal.

48

Seluruh biaya dalam upacara ditanggung bersama oleh seluruh kaum


keluargadan kenalan. Dalam masyarakat Toraja dikenal: siendekan atau
siangkaran (saling mendukung), yang mengandung pengertian bahwa
bantuan dari kaum kerabat atau kenalan, terutama berupa kerbau, babi, dan
sebagainyaakan dikembalikan dalam suasana dan upacara yang serupa. Jadi
dalam pembiayaan upacara terjadi tolong menolong. Seseorang tidak akan
mudah memutuskan hubungannya begitu saja.

49

BAB III
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
A. Cerpen Rambu Solo Buat Indo
Cerpen karya Ahmad Ijazi H ini merupakan pemenang lomba menulis
cerpen pada Festival Sastra, KMSI UGM 2014. Cerpen ini menceritakan tentang
kehidupan Jasmine Tomarere setelah

kehilangan ibunya. Jasmine merupakan

seorang gadis asal Toraja. Ibunya yang telah meninggal masih dianggap sakit
hingga dilaksanakannya rambu solo untuk mengantarkan arwahnya ke puya.
Jasmine yang sehari-harinya berjualan lipa garussu harus memaksa tulang
punggungnya menjadi lebih kokoh dari biasanya demi rambu solo indonya.
Tidak hanya kematian ibunya yang membuat Jasmine merasa sepi, namun
kepergian kekasihnya, Marlo Sarunggallo merantau ke ibu kota memaksanya
untuk terbiasa dengan kesendiriannya.
Perselingkuhan yang dilakukan Ayahnya membuat rasa benci dan sakit
hati mengiringi kesepian Jasmine. Luka hati Jasmine menjadi semakin dalam
tatkala Ayahnya tega menjual kehormatannya kepada seorang lelaki hidung
belang hingga hamil.
Setelah lima tahun berada di perantauan akhirnya Marlo kembali ke
kampung

halamannya.Kegembiraan

Ibu

dan

adik-adiknya

menyambut

kedatangannya disusul kabar mengenai kekasihnya yang hamil yang kemudian


menceburkan dirinya ke Sungai Sadan. Ibu Marlo yang kini merawat Jasmine
yang telah kehilangan kewarasannya juga anak yang dilahirkannya menceritakan
semua yang terjadi padanya selama ditinggal merantau oleh kekasihnya itu.

50

B. Cerpen Desis
Cerpen ini merupakan sebuah karya dari Yolla Miranda yang kemudian
dibukukan dalam kumpulan cerpen Seutas Ganal. Cerpen ini mengisahkan tentang
kisah mengenai seorang istri yang menanti kepulangan suaminya. Patri, suaminya
yang masih menghilang saat mereka harus mengadakan rambu solo untuk
ibunya. Tanpa Patri, rambu solo tak bisa terlaksana.
Rumah-rumah kerabat dan perbukitan tak luput dari usaha pencariannya
untuk menemukan Patri. Disusurinya jalan setapak yang meliuk-liak diantara
pepohonan dan tanaman yang tumbuh liar di kiri kanannya sambil mengira-ngira
keadaan Patri saat ini. Selama pencariannya terdengar suara-suara misterius yang
membisik jiwanya. Hingga suatu hari seseoraang memanggilnya untuk membantu
membawa tubuh yang dipenuhi luka bekas cakar hewan buas.
Setelah menyelamatkan orang itu, Ia kembali mendengarkan suara
misterius itu lagi. Kali ini suara misterius itu mengungkapkan jati dirinya yang
sesungguhnya. Patri, suara misterius itu berasal darinya. Kini Ia mampu berbicara
dengan suami yang telah lama hilang. Saling berdesis dalam keheningan Ia
menceritakan mengenai keadaan ibunya. Hingga keheningan itu terpecah oleh
kabar yang dibawa Jansen bahwa tubuh ibunya menghilang.
C. Cerpen Ambe Masih Sakit
Cerpen Ambe Masih Sakit ini merupakan karya Emil Amir yang telah
diterbitkan pada harian Kompas, 4 Maret 2012 kemudian dibukukan dalam
kumpulan cerpen Kompas Laki-Laki Pemaggul Goni. Cerpen ini mengisahkan
tentang seorang anak asal Toraja yang sudah sepuluh tahun ditinggalkan oleh

51

Ambenya. Setiap hari Ia menjajakan ukir-ukiran dan tenunan Indonya kepada


turis asing yang berlalu lalang berharap suatu hari Ia mampu mengadakan rambu
solo untuk Ambenya. Demi mengumpulkan dalle untuk mengadakan rambu solo
Ambenya Ia harus merelakan wanita idamannya dipinang oleh pria lain.
Segala upaya Ia lakukan agar rambu solo dapat diselenggarakan
secepatnya. Seluruh sanak keluarga pun tak luput dikabarinya, berharap mereka
akan mengembalikan hutang moral sebelumnya. Masalah seolah terus
membayanginya. Rantedoping, anak dari istri pertama Ambe, tiba-tiba datang dan
mengusirnya dan Indo dari tongkonan yang menjadi satu-satunya harta mereka
sejak Ambe tebaring sakit dalam erongnya.
D. Cerpen Tedong Helena
Tedong Helena karya Denny Prabowo ini merupakan salah satu cerpen
yang menjadi nominator pada Creative Writing Institute 2006 yang kemudian
dibukukan pada kumpulan cerpen Lok Tong. Cerpen ini mengisahkan tentang
Helena

Rambulangi

yang

kembali

ke

kampung

halamannya

untuk

menyelenggarakan Rambu Solo Ambenya setelah delapan tahun berada di rantau.


Teringat lagi saat Ambe tidak menyetujui hubungannya dengan
Mappangewa. Janji Ambe pada Tato Dena untuk menikahkan Helena dengan
anaknya membuat hubungan mereka sangat sulit untuk mendapatkan restunya
hingga dengan terpaksa Ambe harus mengusirnya. Akhirnya, Mappangewa
membawa Helena untuk merantau ke Jakarta.
Untuk mendapatkan hasil yang besar dibutuhkan umpan yang besar. Lebih
dari setengah pengeluaran untuk rambu solo disumbang oleh Helena.

52

Tersungging sebuah senyuman dari bibir helena saat membayangkan petak-petak


sawah yang luasnya berhektar-hektar tak ternilai. Hidup tanpa sanak saudara
bersama suami dan anak-anaknya memaksa tulang-tulangnya untuk lebih tahan
banting untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Namun, rambu solo untuk
Ambenya memaksanya menjual sebagian besar hartanya.
Dalam keramaian rambu solo, mata Helena meihat Tato Denna
tersenyum ke arahnya. Terkenang dia pada pertemuan mereka saat baru saja tiba
di Rantepao. Perbincangan itu cukup menggelisahkan Helena. Keinginan Helena
untuk mendapatkan bagian terbesar dari warisan Ambenya membuatnya harus
mengorbankan sesuaatu yang berharga dihidupnya demi segumpal harapan yang
diberikan lelaki itu.
E. Cerpen Tedong Bonga Untuk Nenek
Cerpen karya Sri Lestari ini merupakan salah satu cerpen yang memeroleh
juara kedua lomba cerpen Femina pada tahun 2010. Cerpen ini mengisahkan
tentang Lai, seorang anak asal Toraja yang memelihara tedong bonga yang begiitu
bagus dan gemuk. Tak heran jika Lai begitu menyayangi tedong bonganya itu.
Suatu hari Lai dihadapkan dengan salah satu tradisi yang memaksanya
untuk mengorbankan tedong kesayangannya demi mengantarkan arwah neneknya
ke surga. Sang ibu pun merasa berat hati untuk menentukan pilihan, haruskah Ia
mengorbankan tedong kesayangan Lai dan menanggung kekecewaan dari anaknya
seumur hidup atau membiarkan tedong bonga tersebut menemani anaknya.
Lai bukannya tidak ingin merelakan tedong kesayangannya untuk rambu
solo neneknya. Lai menduga bahwa ibunya akan mengorbankan tedong

53

kesayangannya demi mendapatkan warisan paling banyak. Lai tidak ingin arwah
neneknya tersesat tidak sampai menuju puya karena ibunya tergoda oleh warisan.
Pada akhirnya Ibu Lai tetap mengorbankan tedong kesayangan Lai dan tak
mengambil warisan yang menjadi bagiannya.
F. Cerpen Syair Duka
Cerpen yang diterbitkan pada harian Media Indonesia, 24 Maret 2013 ini
mengisahkan tentang seorang anak asal Toraja yang berasal dari kalangan
Tomanurung yang kehilangan Ibunya. Sebagai keturunann Tomanurung sudah
menjadi kewajiban bagi keturunan untuk merayakan kematian. Bukan masalah
bagi keluarganya yang kaya raya dengan sawah berhektare-hektare yang
terhampar bersama pulahan kerbau di kandang.
Namun semuanya akan menjadi masalah jika semuanya telah habis demi
mengadakan rambu solo Ambenya. Hanya seekor tedong belang yang tersisa dan
beberapa babi pemberian sanak keluarga juga sebuah syair duka yang selalu
dilantunkannya bersama indo. Tak ada puya tanpa tedong bonga bagi seorang
Tomanurung, kepercayaan itulah yang membebaninya selama 360 hari sambil
mendengungkan syair duka yang biasanya mengiringi mabadong. Kini Ia terus
menari

dan

melantunkan

kedukaan

sambil

membayangkan

indo

yang

menunggangi kerbau menuju puya hingga kehilangan kewarasannyaq.


G. Rambu solo
Kebudayaan rambu solojuga dikenal sebagai Aluk Rampe Matampu.
Hal ini disebutkan oleh A.T. Marampa (Aloysius. dkk, 2012: 294-296) Jadi, jelas
bahwa Aluk Rampe Matampu dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam

54

(sore hari), dan bukan pada waktu pagi hari. Dalam acara rambu soloini,salah
satu hal yang sangat penting adalah upacara untuk pemakaman.

Gambar 3.1 Tau-tau Sebagai Personifikasi Orang yang Telah Meninggal


Sumber : http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1343478301/upacara-rambusolo
Tahapan-tahapan pelaksanaan upacara rambu solomerupakan suatu
peristiwa yang mengandung dimensi religi dansosial. Apa yang dimaksudkan
dalam pernyataan ini ialah dalam upacara rambu solohal tersebut tidak
terpisahkan dari nilai-nilai kepercayaan orang Toraja, secara khusus apa yang
disebut sebagaiAluk Todolo atau animisme. Selain itu, hal tersebut juga tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan masalah sosial, oleh karena itu didalam
melakukan upacara rambu solo harus memperhatikan strata sosial dari orang
yang meninggal tersebut. Tidak sama dengan budaya lain di Indonesia, budaya
rambu solodi Tana Toraja justru menunjukkan atau memperjelas identitas diri
dari pelakunya.

55

Gambar 3.2 Erong tempat membaringkan tomakula


Sumber : http://www.wijanarko.net/2012/02/londa-kuburan-goa-alam-yangmenyeramkan.html
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi
belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula (sakit). Ia tetap dilayani oleh
keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih
diberi makan, minum, rokok, sirih dan lain-lain. Menjelang upacara puncak
pemakamannya barulah ia dianggap sungguh-sungguh telah meninggal dunia.
Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara ia dibaringkan dengan arah utaraselatan dengan kepala menghadap ke selatan, sebelumnya ia dibaringkan ke arah
timur-barat dengan kepala sebelah barat. Selain itu, apabila seseorang meninggal
di luar daerah (luar negeri) atau suatu tempat yang tidak diketahui dilakukan
upacara mangrambu tampak beluak dan dipoyan angin.
Mangrambu Tampak Beluakberlaku bagi seseorang yang meninggal di luar
daerah dan jenasah tidak dapat dibawa pulang ke kampung halamannya.
Untuk itu keluarga hanya membawa pakaian, ujung rambut atau ujung kuku

56

si mati yang oleh aluk dianggap sama saja dengan si mati dan ia dapat
diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.
To Dipoyan Angin berlaku bagi seseorang yang jenasahnya tidak
diketemukan. Seluruh keluarganya pergi ke puncak bukit dengan membawa
sarung yang sebelahnya diikat untuk memukat angin. Kalau sarung itu
menggelembung, maka semua wanita yang hadir menangis karena diyakini
bahwa roh (jiwa) yang meninggal sudah berada dalam sarung itu. Sarung
itulah yang kemudian diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.

Gambar 3.3 Para kerabat menarikan tarian Ma'badong


Sumber : http://www.kaskus.co.id/thread/51129802db92487537000002/tanamatari-allo---tana-toraja/?ref=postlist-21&med=recommended_for_you
Upacara rambu solo adalah bagian dari aluk (lesoan aluk), sehingga
pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang
ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan
upacara rambu solo adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi
ke dalam empat kelompok:Tana Bulaan yaitu kasta bangsawan tinggi, Tana

57

Bassi yaitu golongan bangsawan menengah, Tana Karurung yaitu golongan


orang-orang merdeka, Tana Kua-kua yaitu golongan hamba atau budak (kaunan).
1. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana kua-kua)
Dipasilamun Tallo Manuk, yaitu upacara bagi anak yang meninggal waktu
lahir. Mayatnya dibungkus bersama sebutir telur ayam kemudian dikuburkan
pada hari itu juga disebelah utara lumbung atau disamping rumah. Ia
dikuburkan bersama urihnya, karena itu sering juga disebut dipasilamun
toninna.
Didedekan

Palungan/dikambuturan

Padang,

upacara

semacam

ini

diperuntukkan bagi orang dewasa yang tidak punya apa-apa dan keluarganya
tidak mampu. Keluarga yang ada hanya memukulkan tempat makanan babi
dan menghentakkan kaki ke tanah setelah itu mayat dikuburkan pada hari itu
juga.
Disilli yaitu bentuk upacara untuk anak-anak yang meninggal dunia yang
belum tumbuh giginya, juga untuk orang dewasa yang miskin. Ia dibuatkan
liang pada sebuah pohon besar sebagai kuburannya.
Dibai Tungga. Dalam tingkatan ini babi yang dipotong sekurang-kurangnya
satu ekor. Mayat dapat disemayamkan satu malam di rumah duka dan
keesokan harinya langsung dikubur.
Dibai Apa, yaitu tingkatan dimana babi yang dipotong antara 4-10 ekor.
Setelah selesai upacara di rumah duka, keesokan harinya langsung di kubur.
2. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana karurung)

58

Diisi yaitu untuk anak yang meninggal dunia pada waktu giginya belum
tumbuh, tetapi karena ia adalah keturunan bangsawan maka ia berhak diberi
korban seekor kerbau.

Dipasangbongi , biasa disebut juga ditedong tungga. Dalam upacara ini


dipotong seekor kerbau dan minimal 4 ekor babi. Pada tingkatan ini sudah
dilaksanakan badong (lagu kedukaan).

Matangke Patomali atau biasa juga disebut ditanduk bulaanyaitu tingkatan


bagi

seseorang

yang

sebenarnya

hanya

layak

untuk dipasangbongi (ditedong tungga), tetapi karena diberi keistimewaan


sehingga jumlah kerbau yang dipersembahkan dua ekor dan minimal 16
ekor babi. Dipatallung bongi (tiga malam). Dalam tingkatan ini jumlah
kerbau yang dipersembahkan 3-4 ekor dan minimal 16 ekor babi.
3. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana bassi)
Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang(persiapan
pesta besar) atau juga sering disebut didoya tedong. Untuk tingkatan ini masih ada
dua kategori, yaitu:

Dipaling bongi yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau
yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.

Dipapitung bongi. Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan


antara 7-9 ekor dan

minimal 22 ekor babi. Di daerah Tallu

Lembangna(Makale,Mengkendek, Sangalla) masih dikenal tingkatan yang


disebut dipapitung lompo dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan
babi minimal 32 ekor.

59

4. Untuk golongan bangsawan tinggi (tana bulaan) bentuk upacaranya


disebut dirapai. Dalam upacara ini mayat sudah dibuatkan tau-tau(patung)
sebagai

personifikasi

dari

orang

yang

telah

meninggal

dunia.

Upacara Dirapai masih dibagi dalam 5 tingkatan:

Dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9-12 ekor dan babi
minimal 32 ekor.

Rapasan Sundun (anak rapasan), yaitu tingkatan yang lebih tinggi dari dari
upacara dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong 24 ekor dan babi
minimal 32 ekor.

Rapasan di baba gandang. Pada tingkatan ini jumlah kerbau yang


dipotong 30 ekor dan babi minimal 32 ekor. Pada tingkatan ini khusus bagi
seorang pahlawan juga dipersembahkan satu orang yaitu salah seorang
budaknya atau yang diculik dari musuh (dibantai). Untuk masa sekarang
korban manusia tidak lagi dilaksanakan.
Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara rambu solodalam

masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat
menentukan bentuk dan tingkatan upacara rambu solo. Urutan-urutan ini
merupakan pola umum upacara rambu solo di seluruh wilayah adat Toraja. Pada
prinsipnya upacara rambu solo khususnya yang dirapai dapat dibagi dalam dua
bagian. Kedua bagian ini ialah upacara yang dilaksanakan di sekitar rumah
tongkonan

(dikenal

dengan

istilah dialuk

pia)

dan

yang

dilaksanakan

di rante (lapangan). Upacara yang dilaksanakan di rantetersebut biasa disebut


juga dialuk rante.

60

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan rumusan masalah pada BAB I, penelitian ini bertujuan
untuk menemukan cara pengarang membingkai realitas mengenai rambu solo
kedalam sebuah cerpen fiksi hingga merepresentasikan sebuah makna tertentu
mengenai rambu solo tersebut terhadap para pembacanya. Dan media merupakan
sarana antara pengarang dan pembaca dalam meyampaikan realitas yang
dibangunnya kepada para pembaca.
A. Pembingkaian Rambu Solo dalam Cerpen Fiksi
Dalam prakteknya, menurut Robert N. Entman (Eriyanto, 2002:186-189),
framing dilakukan media lewat dua hal: seleksi isu dan penekanan atau
penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Seleksi isu merujuk pada
pemilihan nilai menganai rambu solo oleh pengarang. Sementara penonjolan
aspek tertentu berkaitan dengan cara pengarang mengemas nilai tersebut. Ketika
nilai tersebut telah dipilih, pengarang memilih kata, gambar atau ilustrasi dan
menyusun kalimat hingga membangun citra tertentu terhadap rambu solo yang
ditampilkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, secara umum model analisis
framing yang dikemukakan oleh Entman mengandung empat perangkat
pembingkai yaitu:
1. Define problem (pendefinisian masalah)
Menekankan pada cara seseorang memahami suatu peristiwa. Sebuah peristiwa
dapat dipahami secara berbeda hingga menghasilkan realitas yang berbeda
pula.

61

2. Diagnose causes (memperkirakan masalah)


Penyebab di sini bisa diartikan sebagai apa (what)

atau siapa(who) yang

berperan sebagai aktor dari suatu peristiwa. Bagaimana peristiwa dimaknai


tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.
3. Make moral judgement (membuat pilihan moral)
Merupakan argumentasi yang digunakan untuk memperkuat definisi masalah
dan penyebab masalah yang telah ditentukan. Sebuah argumentasi dibutuhkan
untuk mendukung gagasan tersebut.
4. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)
Bertujuan untuk menilai apa yang dikehendaki penulis. Cara atau solusi yang
ditawarkan oleh si penulis untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan.
Berikut konstruksi pesan yang dibangun oleh pengarang pada cerpen yang
menjadi objek penelitian ini:
1. Cerpen Rambu Solo Buat Indo
Ahmad Ijazi H mengangkat rambu solo yang merupakan sebuah upacara
adat yang dijadikan tradisi turun temurun masyarakat Toraja dengan kepercayaan
upacara inilah yang akan mengantarkan arwah mereka yang telah meninggal
menuju puya atau nirwana. Pengarang merekayasa situasi yang dihadapi si tokoh
utama, Jasmine Tomerere dan kekasihnya, Marlo Sarunggalo berdasarkan realitas
yang ada.

62

Problem Identification. Penulis mengidentifikasi masalah yang terjadi


mengenai rambu solo dari sisi ekonomi sebagai konflik utama yang dihadapi
oleh Jasmine dan Marlo. Pengarang mengangkat masalah harga tedong bonga
yang mencapai ratusan juta hingga pelaksanaan tradisi upacara rambu solo yang
menghabiskan biaya yang begitu besar.
Tedong bonga harganya ratusan juta. Sementara untuk membeli seekor
kerbau saja kami tak mampu. (Jasmine)
Meninggalnya ambenya beberapa minggu yang lalu akibat diabetes
menahun telah cukup memberi jawaban. Lagi-lagi, karena terbentur
biaya, rambu solo. (Marlo)
Causal Interpretation. Penyebab dari masalah yang dihadapi oleh Jasmine
dan Marlo tidak lain adalah kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh
masyarakat toraja mengenai tedong bonga yang dikorbankan pada rambu solo
akan dijadikan kendaraan untuk mengantarkan arwah indonya menuju puya atau
nirwana.
Tetapi kata Ambe, Indo hendak terbang menuju puya. Dan Indo
membutuhkan tedong bonga sebagai kendaraan agar cepat sampai
menembus nirwana.
Moral Evaluation. Pengarang menilai rambu solo sebagai upacara adat
yang menghabiskan biaya yang begitu banyak dan butuh kerja keras dan
pengorbanan untuk mendapatkan dalle yang cukup untuk melaksanakannya.
Pengarang membangun penilaiannya mengenai rambu solo dari perjuangan dan
pengorbanan yang dilakukan para tokoh pada cerpen tersebut. Makna
pengorbanan dan kerja keras terdapat pada paragraf sebagai berikut:
Aku menangis. Tak perlu lagi kutanya alasannya pergi. Meninggalnya
ambenya beberapa minggu yang lalu akibat diabetes menahun telah cukup
memberi jawaban. Lagi-lagi, karena terbentur biaya, rambu solo.

63

Akibatnya, mau tidak mau, ia harus menunjukkan baktinya,


mencari dalle sebanyak mungkin, meski banyak hal yang terpaksa harus
ikut dikorbankan: perihal cinta dan kesetiaan. (Jasmine)
Kau harus tampil menarikan papangngan di hadapan bupati besok pagi.
Jangan sampai kau sakit! Ingat, kau harus mencari dalle sebanyak
mungkin buat rambu solo Indo! (Jasmine)
Selain itu, pengarang juga menunjukkan makna religius dari rambu
solo pada cerpen yang dibuatnya. Hal ini berkaitan dengan keyakinan
masyarakat Toraja yang begitu kental mengenai prosesi pemotongan tedong
bonga yang kelak dijadikan kendaraan bagi arwah agar tidak tersesat menuju
nirwana. Makna tersebut dapat kita temukan pada paragraf berikut:

Apakah Indo masih bisa disembuhkan dari sakitnya setelah makanan


beracun merenggut nyawanya setahun lalu? Aku ingin bercerita banyak
hal pada Indo. Tetapi kata Ambe, Indo hendak terbang menuju puya. Dan
Indo membutuhkan tedong bonga sebagai kendaraan agar cepat sampai
menembus nirwana. (Jasmine)
Tak adakah jalan lain selain rambu solo? Tedong bonga harganya ratusan
juta. Sementara untuk membeli seekor kerbau saja kami tak mampu. Jika
hanya mengandalkan hasil tenun lipa garussu, sampai ringkih tubuh
menganyam benang pada bilah-bilah belida, rambu solo untuk Indo tak
akan kunjung terlaksana.(Jasmine)
Treatment Recommendation. Pada cerpen ini, pengarang memberikan
jalan keluar yang berbeda bagi kedua tokoh yang harus menyelesaikan masalah
mereka. Marlo, demi melaksanakan rambu solo ambenya harus merantau dan
mencari rezeki ke Jakarta sementara Jasmine, oleh ambenya dikorbankan
kehormatannya.
Aku menangis. Tak perlu lagi kutanya alasannya pergi. Meninggalnya
ambenya beberapa minggu yang lalu akibat diabetes menahun telah cukup
memberi jawaban. Lagi-lagi, karena terbentur biaya, rambu solo.
Akibatnya, mau tidak mau, ia harus menunjukkan baktinya,

64

mencari dalle sebanyak mungkin, meski banyak hal yang terpaksa harus
ikut dikorbankan: perihal cinta dan kesetiaan. (Jasmine)
Kasihan sekali kau. Berharap mendapatkan uang yang banyak untuk
upacara rambu solo Indomu, sampai-sampai ambemu tega menjual
keperawananmu kepada lelaki hidung belang! perkataan perempuan itu
seperti petir. (Jasmine)
Tabel 4.1 Frame Rambu Solo pada Cerpen Rambu Solo Buat Indo

Problem Identification

Masalah ekonomi; tokoh dalam cerpen ini tak


mampu menyediakan tedong bonga yang
begitu mahal sementara Ia harus segera
melaksanakan rambu solo

Causal Interpretation

Rambu solo merupakan akar masalah yang


harus diselesaikan oleh Jasmine dan Marlo

Moral Evaluation

Kerja keras dan pengorbanan yang harus


dilakukan oleh Jasmine dan Marlo agar dapat
melaksanakan rambu solo

Marlo, demi melaksanakan rambu solo


ambenya harus merantau dan mencari rezeki
Treatment Recommendation
ke Jakarta sementara Jasmine, oleh ambenya
dikorbankan kehormatannya.
Sumber : Hasil Data Primer, 2015
Ahmad Ijazi mengemas rambu solo dengan mengangkat masalah
ekonomi sebagai konflik dasar yang harus diselesaikan oleh Jasmine dan Marlo.
Jasmine dan Marlo yang bersuku Toraja harus berusaha untuk melaksanakan
rambu solo agar arwah orang tua mereka tidak tersesat menuju nirwana. Seperti
yang kita ketahui tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat Toraja berdasarkan
aluk atau aturan yang menjadi akar dari seluruh tatanan budaya Toraja yang
mengandung nilai-nilai religius.
Penulis menilai, pengarang yang notabene berasal dari luar Sulawesi
tepatnya dari Riau membingkai nilai religius rambu solo dengan sangat baik.
Pengarang yang memiliki begitu banyak pengalaman dalam menulis mampu

65

memunculkan sisi lain rambu solo kepada pembaca. Pengarang membuat


Jasmine dan Marlo menemukan menemukan jalan keluar yang berbeda demi
melaksanakan rambu solo demi orang tua mereka. Pengarang membuat Marlo
harus meninggalkan Jasmine dan merantau ke Jakarta demi mencari rejeki yang
banyak agar rambu solo Ayahnya dapat terlaksana. Sementara Jasmine harus
merelakan kekasihnya merantau dan tetap berusaha mencari rejeki di Tana Toraja
dengan menjual lipa garussu. Pada bagian inilah pengarang menyisipkan kerja
keras dan pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat Toraja demi
melaksanakan rambu solo.
2. Cerpen Desis
Yolla Miranda mengangkat pelaksanaan upacara rambu solo sebagai bakti
dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya yang telah meninggal.
Ketika seseorang meninggal, anak atau keluarganya akan berusaha untuk
menguburkannya dengan sebaik-baiknya di tempat yang layak dan bagus. Tidak
hanya itu, pengarang juga menceritakan rambu solo sebagai bentuk kasih seorang
anak terhadap orang tuanya yang telah meninggal.
Problem Identification. Pada cerpen ini penulis mengidentifikasi rambu
solo sebagai bentuk penghormatan keluarga yang ditinggalkan terhadap yang
telah meninggal juga bentuk kasih sayang terhadap anggota keluarga yang
meninggal. Pengarang mengangkat masalah keluarga yang dihadapi oleh tokoh
utama yakni menantikan suaminya yang tak kunjung kembali pulang sementara
rambu solo untuk ibu mertuanya harus segera direncanakan.
Aku cukup tahu bagaimana adat istiadat di daerah ini meski aku termasuk
pendatang baru di rumpun Belolangi. Aku tak berhak menentukan dimana

66

beliau harus dikubur, kapan, dan bagaimana. Harus kau yang melakukan
itu semua, bukan aku.
Causal Interpretation. Masalah tersebut terjadi akibat Patri, suami si
tokoh utama menghilang, sementara upacara adat untuk ibunya harus
diselenggarakan.
Sudah 48 jam lebih, Patri tak jua kembali. Sebenarnya aku tahu bahwa
penantian seperti ini tak akan membuahkan hasil, ditambah bau bangkai
manusia yang terus menyeruak ke hidungku. Tegakah kau menunggu hingga
mAyatnya dirayapi cacing-cacing kecil?
Moral Evaluation. Pengarang memaknai rambu solo sebagai bentuk
usaha seorang anak dalam menunjukkan rasa hormat kepada orang tuanya yang
telah meninggal. Pengarang menonjolkan makna penghormatan tersebut dengan
membuat si tokoh utama berusaha menemukan suaminya agar mertuanya bisa
segera dimakamkan. Hal tersebut dapat kita temukan pada paragraf-paragraf
berikut:
Aku cukup tahu bagaimana adat istiadat di daerah ini meski aku termasuk
baru di rumpun Belolangi. Aku tak berhak menentukan dimana beliau
harus dikubur, kapan dan bagaimana. Harus kau yang melakukan itu
semua, bukan aku. Maka, aku harus menunggu kedatanganmu atau aku
harus mencari dan berkelana sekedar untuk mencarimu?
Di sini aku hanya bisa diam, Patri. Tanpa dirimu dan tanpa dia. Entah
kemana sajakah dirimu? Kucari sampai ke pelosok-pelosok Tana Toraja,
namun tak kudapati embusan napasmu.
Cukuplah kau bicara itu, Nen. Aku lelah mencarinya. Apa baiknya aku
menguburnya sendiri? Dan mengaku bahwa aku adalah anak almarhum?
tanyaku beruntun
Dengan berjalan kaki, kami awali pencarian ke rumah-rumah kerabat Patri.
Dari ujung ke ujung. Mungkin telah seluruhnya kami susuri, namun tak
satu pun tahu keberadaan Patri.
Hal lain yang tuangkan oleh pengarang ke dalam cerpennya adalah
mengenai kehidupan dunia dan akhirat. Pengarang mebuat si tokoh utama

67

mengalami mimpi yanng aneh dan mendengarkan suara yang tak tahu dari
mana asalnya. Sebuah nasehat dari suara yang tak bertuan. Ini mewakili
makna religius yang dituangkan oleh pengarang, seperti yang tergambarkaan
pada paragraf berikut:

Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab di
puya-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup
sesungguhnya.
Treatment Recommendation. Setelah membangun konflik yang begitu
pelik bagi si tokoh utama, pengarang memberikan jalan keluar yang tidak biasa
pada cerpen ini. Setelah mencari Patri, si tokoh utama mendapatkan kabar bahwa
jasad ibu mertuanya menghilang. Sementara Ia masih belum menemukan
suaminya itu.
Entah, aku yang tak tahu apakah kau benaribenar membunuhnya, atau kau
yang terbunuh. Tapi kurasa satu yang paling tepat, aku yang berpulang!
Napasku terhenti ketika Jansen berkata, Jasad ibunya menghilang. Di
rumahnya belatung-belatung telah mengerumuni.
Tabel 4.2 Frame Rambu Solo pada Cerpen Desis

Problem Identification

Masalah keluarga; Patri, suami dari tokoh


utama
menghilang.
Sementara
untuk
melaksanakan rambu solo kehadiran
keluarga merupakan hal yang sangat penting
sebab jika tidak mereka akan dianggap tidak
menghargai adat

Causal Interpretation

Masalah ini disebabkan karena Patri yang


masih menghilang sementara upacara adat
untuk ibunya harus diselenggarakan.

Moral Evaluation

Tokoh utama berusaha untuk menemukan


suaminya, Patri sebagai bentuk penghormatan
dan kasih sayang kepada mertuanya juga agar
rambu solo untuk mertuanya dapat segera
terlaksana.

68

Setelah mencari Patri kemana-mana akhirnya


Treatment Recommendation jasad ibunya menghilang bersama anaknya
yang tak pernah pulang.
Sumber : Hasil Data Primer, 2015
Penulis

menilai,

Yolla

Miranda

membingkai

nilai

religius

dan

penghormatan dari rambu solo ke dalam cerpennya. Meskipun saat menulis


cerpen ini Yolla Miranda masih duduk di bangku SMA kelas XII, namun Ia
mampu membangun cerita dengan cukup baik.
Pengarang

mengawali

cerita

dengan

membuat

si

tokoh

utama

mencemaskan suaminya, Patri yang tak kunjung pulang. Hal lain yang harus
dihadapi oleh si tokoh utama adalah mertuanya yang meninggal saat suaminya itu
masih menghilang. Inilah yang memicu masalah keluarga pada tokoh utama.
Pengarang menonjolkan perjuangan si tokoh utama untuk menemukan suaminya.
Dari sinilah penulis menilai pengarang menonjolkan hal ini untuk menunjukkan
rasa hormat si tokoh utama kepada mertuanya yang telah meninggal dengan
mencari suaminya yang menghilang. Seperti yang kita ketahui, selain sebagai
upacara adat, rambu solo bagi masyarakat Toraja merupakan salah satu cara
untuk berkumpul bersama kerabat khususnya sanak keluarga.
Selain menonjokan perjuangan si tokoh utama, pengarang juga
menyisipkan sebuah nasehat yang dikemas sedemikian rupa. Menurut penulis,
pengarang menyisipkan nasehat tersebut agar pembacanya tidak hanya
mendapatkan pengetahuan dari sisi perjuangan masyarakat Toraja saja, tapi juga
dari sisi religius mereka.

69

3. Cerpen Ambe Masih Sakit


Emil Amir mengambil rambu solo sebagai ide cerita yang dikembangkan
menjadi sebuah cerpen Ambe Masih Sakit. Pada cerpen ini, pengarang
menceritakan mengenai upacara rambu solo yang menghabiskan biaya yang
begitu besar. Tidak hanya itu, secara tidak langsung pengarang juga menjelaskan
mengenai nilai-nilai yang terkandung pada pelaksanaan rambu solo.
Problem Identification.Penulis mengidentifikasi masalah yang dibangun
oleh pengarang dari sisi ekonomi dan kehidupan keluarga dari tokoh yang
terdapat pada cerpen ini. Pengarang mengangkat masalah harga tedong bonga
yang begitu mahal sementara penghasilan Upta Liman saja tak cukup untuk
menyelenggarakan rambu solo yang layak untuk ambenya.
Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan
genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku
mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa
dibujuk.
Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. Tedong
bonga ratusan juta harganya. Kita mana sanggup.
Causal Interpretation. Penyebab dari masalah yang dihadapi oleh tokoh
utama adalah upacara rambu solo yang layak untuk ambenya yang merupakan
keturunan bangsawan tak kunjung terlaksana dikarenakan terhambat oleh masalah
biaya.
Sudah hampir sepuluh tahun Ambe terbaring di dalam erong, seolah
menanti upacara rambu solo yang tak kunjung dilaksanakan oleh sanak
keluarga.Sebab, tak ada dana atau belum dan jauh dari mencukupi walau
kami tengahmengupayakannya. Hingga hari ini..
Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta. Ia memanggil
namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya
kecewa, Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke puya, rambu

70

solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar
cepat sampai.
Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan.
Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu
menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi
martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat
karena ulahmu. Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah.
Moral Evaluation. Pengarang menilai rambu solo sebagi sebuah ritual
yang begitu sakral dan menjadi sebuah prioritas sehingga para anggota keluarga
harus menyelenggarakannya dengan layak agar arwah yang telah meninggal tidak
tersesat menuju nirwana. Tak jarang anggota keluarga harus mengorbankan
beberapa hal dalam hidupnya. Nilai religius dan pengorbanan ini dapat kita
temukan pada paragraf berikut ini:
Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung
belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini, lanjut Tato
Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang
kalian taruh?

Pada cerita ini pengarang juga menjelaskan mengenai kerja keras


yang harus dilakukan semasa hidup agar tidak menyusahkan pihak keluarga
dikemudian hari juga mengenai budaya saling bantu diantara masyarakat
toraja dalam pelaksanaan upacara rambu solo. Hal ini dapat kita lihat dalam
paragraf berikut:
Dulu Ambe pernah bilang padaku, hidup itu untuk mati. Dunia ini
tempat persinggahan dan mati adalah pintu ke puya, di kehidupan yang
sesungguhnya, jelasku punya maksud
Tidak hanya itu saja, pengarang uga menampilkan budaya saling
bantu yang dituangkan pada paragraf berikut:

71

Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus


lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti
kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal
dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan.
Kurangnya kalian usahakanlah.

Treatment Recommendation. Pada cerpen ini, tidak ada rambu solo yang
terselanggara. Sementara itu, solusi yang diberikan oleh penulis pada cerpen ini
adalah dengan menghubungi sanak saudara juga memanfaatkan program
pariwisata pemda setempat agar upacara rambu solo, dapat terlaksana.
Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus
lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti
kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal
dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan.
Kurangnya kalian usahakanlah.
Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa
mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal.
Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih
sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit.

Tabel 4.3 Frame Rambu Solo pada Cerpen Ambe Masih Sakit

Problem Identification

Masalah ekonomi; Upta Liman harus


mengadakan rambu solo untuk ambenya
yang telah sepuluh tahun berada dalam erong
sementara tabungan dan penghasilannya tak
cukup untuk mebiayai

Causal Interpretation

Upacara rambu solo yang layak untuk


ambenya yang merupakan keturunan
bangsawan
tak
kunjung
terlaksana
dikarenakan terhambat masalah biaya.

72

Moral Evaluation

Sebagai wujud rasa hormat dan kasih


sayang pihak keluarga, pelaksanaan rambu
solo dijadikan prioritas utama. Selain itu,
pengarang menceritakan mengenai kerja
keras yang dilakukan semasa hidup agar
kelak tidak menyusahkan pihak keluarga
yang ditinggalkan.

Treatment Recommendation

Menghubungi sanak keluarga juga


memanfaatkan program pariwisata pemda
setempat.

Sumber : Hasil Data Primer, 2015


Emil Amir mengangkat masalah ekonomi sebagai konflik dasar pada
cerpennya. Rambu solo yang membutuhkan biaya yang banyak membuat tokoh
utama harus menghadapi masalah lain. Hasil penjualan ukiran dan hasil tenun
indonya tidak cukup untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan. Belum lagi Ia harus
merelakan kekasihnya dipinang oleh pria lain. Akhirnya Ia harus mengorbankan
perasaannya demi rambu solo ambenya yang merupakan seorang keturunan
bangsawan.
Penulis menilai, pengarang ingin membuat pembacanya dapat melihat
rambu solo tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Pengarang menampilkan nilai
tolong-menolong dari rambu solo ke dalam cerpennya. Selain itu, pengarang juga
tak lupa menampilkan nilai religius dengan menampilkan betapa pentingnya aluk
pada pelaksanaan rambu solo apalagi bagi mereka yang merupakan keturunan
bangsawan.
Emil Amir merupakan seorang cerpenis yang sering mengangkat budaya
lokal pada karya-karyanya. Menurut penulis, latar belakang inilah yang membuat
pengarang mampu mengemas rambu solo dari sisi yang diketahui oleh
masyarakat umum hingga beberapa nilai yang terkandung pada tradisi tersebut.

73

4. Cerpen Tedong Helena


Denny Prabowo menjadikan rambu solo sebagai ide cerita yang kemudian
dikembangkan menjadi cerpen Tedong Helena. Cerpen ini mengisahkan
pengorbanan

Helena

demi

kembali

ke

kampung

halamannya

dan

menyelenggarakan rambu solo untuk ambenya. Pengorbanan yang dilakukannya


berlanjut hingga Ia sampai ke Toraja. Segala pengorbanannya itu tidak hanya
sebagai bentuk penghormatannya kepada arwah ambenya, tapi juga terselip harap
agar mendapatkan bagian terbesar dari peninggalan ambenya.
Problem Identification.Pada cerpen ini, penulis mengidentifikasi bahwa
pengarang mengembangkan ide cerita dan menonjolkan masalah ekonomi yang
dijadikan sebagai konflik yang harus dihadapi oleh tokoh utama, Helena.
Tapi rumah saja tak cukup. Anak mereka yang kedua sudah mulai masuk
sekolah. Pasti membutuhkan banyak biaya. Sepeda motor yang baru
lunas kreditnya sudah dijual. Tapi hasil penjualannya hanya cukup untuk
biaya pulang ke kampung halaman, membeli beberapa ekor babi. Helena
tak mungkin bermimpi mendapat bagian warisan terbanyak hanya
dengan menyumbang beberapa ekor babi saja.
Causal Interpretation. Penulis menilai yang menyebabkan Helena
terkendala masalah ekonomi pada cerpen ini disebabkan rambu solo untuk
ambenya yang akan segera dilaksanakan sementara di tanah rantau Ia pun
kesulitan secara ekonomi. Akhirnya, Ia harus menjual rumah yang dihuninya
dengan harapan akan mendapatkan bagian terbanyak dari peninggalan ambenya.
Helena teringat pada Mappangewa. Pada anak-anaknya. Pada rumahnya
yang terpaksa harus dijual demi membiayai upacara Rambu solo. Hasil
penjualan rumah itu hanya cukup untuk membeli dua ekor tedong bonga
ukuran sedang. Padahal Helena menginginkan bagian terbesar dari
warisan ayahnya. Helena seperti menemukan jalan keluar. Sekali lagi
lelaki itu melirik ke arah Helena. Sambil tersenyum. Sekali ini Helena
menanggapi senyum lelaki itu. Bahasa tubuh mereka saling bicara.

74

Bertahun-tahun hidup di perantauan, Helena tahu betul arti sebuah


pengorbanan. Dia berharap Rambu solo bisa menjadi pijakan awal.
Merubah roda nasibnya. Dia menginginkan kehidupan yang lebih baik
bagi keluarganya. Dan anak lelaki Tato Denna itu seolah memberi
segumpal harapan.
Moral Evaluation. Penulis menilai pengarang memaknai rambu solo
sebagai upacara adat yang menghabiskan banyak biaya. Demi menyelenggarakan
rambu solo yang layak para anggota keluarga harus mencari cara agar dapat
menyelenggarakannya. Salah satu cara adalah dengan mengorbankan harta benda
yang telah mereka kumpulkan demi menyelenggarakan rambu solo. Hal tersebut
tergambarkan pada paragraf berikut:
Helena teringat pada Mappangewa. Pada anak-anaknya. Pada rumahnya
yang terpaksa harus dijual demi membiayai upacara Rambu solo. Hasil
penjualan rumah itu hanya cukup untuk membeli dua ekor tedong bonga
ukuran sedang. Padahal Helena menginginkan bagian terbesar dari
warisan ayahnya. Helena seperti menemukan jalan keluar. Sekali lagi
lelaki itu melirik ke arah Helena. Sambil tersenyum. Sekali ini Helena
menanggapi senyum lelaki itu. Bahasa tubuh mereka saling bicara.
Bertahun-tahun hidup di perantauan, Helena tahu betul arti sebuah
pengorbanan. Dia berharap Rambu solo bisa menjadi pijakan awal.
Merubah roda nasibnya. Dia menginginkan kehidupan yang lebih baik
bagi keluarganya. Dan anak lelaki Tato Denna itu seolah memberi
segumpal harapan.
Selain mengenai pengorbanan dari pihak keluarga, pengarang juga
mengangkat aspek religius dan keskralan dari pelaksanaan rambu solo ke dalam
cerpennya. Hal ini dapat kita temukan pada narasi berikut:
Helena Rambulangi tersenyum. Memandang tedong bonga miliknya tertambat
pada simbuang batu peninggalan masa silam. Kerbau setengah albino itu
berjumlah lima. Sisanya kerbau biasa. Babi-babi miliknya masih menghuni
kandang. Semua akan dikorbankan. Untuk mengantarkan arwah Ambe tercinta
menuju puyo. Manusia hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat.
Sebab, di-puyo-lah negeri yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup
yang sesungguhnya.

75

Sebagai keturunan bangsawan tak bisa sembarangan menggelar upacara


pemakaman. Jika upacara tidak sesuai dengan aluk, roh mendiang tak bisa
mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
Treatment Recommendation. Pengarang memberikan sebuah akhir yang
mengejutkan pada para pembacanya. Pada akhirnya pengorbanan yang dilakukan
Helena membuatnya bisa menyelenggarakan rambu solo yang layak untuk
ambenya. Namun, Ia tidak mengetahui jika seluruh peternakan dan sawah
ambenya telah berpindah tangan.
Helena Rambulangi tersenyum. Memandang tedong bonga miliknya
tertambat pada simbuang batu peninggalan masa silam. Kerbau setengah
albino itu berjumlah lima. Sisanya kerbau biasa. Babi-babi miliknya
masih menghuni kandang. Semua akan dikorbankan. Untuk
mengantarkan arwah Ambe tercinta menuju puyo. Manusia hanyalah
pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di-puyo-lah negeri
yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Hingga detik berakhirnya ritual adu kerbau itu, Helena belum
mengetahui, jika seluruh sawah serta peternakan Ambe telah berpindah
tangan. Ketika Indo jatuh sakit, Ambe menggadaikan seluruh hartanya
kepada Tato Denna guna biaya pengobatan istrinya. Sisanya habis untuk
pelaksanaan ritual Rambu solo untuk mengantarkan arwah istrinya
menuju puyo. Sedang Helena masih menyisakan janji untuk beberapa
kali lagi bertemu dengan anak lelaki Tato Denna di sebuah tempat
paling rahasia. Begitulah cara Helena mendapatkan lima tedong bonga,
beberapa tedong biasa, serta beberapa ekor babi, dengan hanya memberi
setengah dari hasil penjualan rumahnya. Hidup memang butuh
pengorbanan. Bertahun-tahun tinggal di perantauan tanpa sanak keluarga,
Helena tahu betul arti kata itupengorbanan.
Tabel 4.4 Frame Rambu Solo pada Cerpen Tedong Helena

Problem Identification

Masalah ekonomi; Helena yang hidup di


perantauan harus menjual sebagian besar
hartanya demi rambu solo ambenya dan
berharap memperoleh warisan yang paling
banyak

76

Causal Interpretation

Hal ini dikarenakan rambu solo untuk


ambenya yang akan segera dilaksanakan
sementara di tanah rantau Ia pun kesulitan
secara ekonomi. Di sisi lain Ia
mengharapkan mendapatkan warisan yang
paling besar

Moral Evaluation

Demi pulang ke kampung halamannya,


Helena rela mengorbankan harta sebagian
besar harta yang dimilikinya dan usahanya
agar rambu solo untuk ambenya terlaksana
dengan layak.

Treatment Recommendation

Dengan mengorbankan sebagian besar


hartanya dan menjalin hubungan dengan
anak lelaki Tato Denna, Helena akhirnya
bisa melaksanakan rambu solo untuk
ambenya.

Sumber : Hasil Data Primer, 2015


Cerpen ini mengisahkan tentang pengorbanan yang dilakukan Helena demi
melaksanakan rambu solo ambenya. Ia harus menjual sebagian besar hartanya.
Di sisi lain Ia juga mengharapkan bagian terbanyak dari warisan ambenya.
Selain mengharapkan warisan, ambe Helena yang merupakan seorang
keturunan bangsawan membuatnya dan saudara-saudaranya harus menyediakan
persembahan yang sesuai dengan

aluk. Pengarang menampilkan pentingnya

hewan-hewan yang dikurbankan sebagai kendaraan bagi arwah yang telah


meninggal. Penulis menilai, pengarang yang notabene bersuku betawi mampu
mengemas nilai-nilai tersebut dan memberikan informasi baru bagi pembaca.
Hanya saja, pengarang mengemas rambu solo dengan menonjolkannya dengan
nada yang cenderung negatif.

77

5. Cerpen Tedong Bonga untuk Nenek


Denny Prabowo menjadikan rambu solo sebagai ide cerita untuk
cerpennya yang kemudian dikembangkan dengan menambahkan konflik
mengenai masalah ekonomi dan masalah keluarga yang dialami oleh tokoh utama.
Pengarang membawa Lai, tokoh utama, kepada pengorbanan yang harus dia
lakukan demi rambu solo neneknya.
Problem Identification.Pada cerpen ini penulis mengidentifikasi masalah
yang

dihadapi

oleh

para

tokoh

adalah

mengenai

masalah

ekonomi.

Penyelenggaraan rambu solo yang membutuhkan biaya yang besar sementara si


tokoh utama hidup dalam keterbatasan ekonomi bersama indonya.
Sampai kemudian hari itu datang. Nenek meninggal dan semua keluarga
sepakat mengadakan pesta kematian rambu solo setahun kemudian. Aku
melihat mama sangat kebingungan. Semua saudaranya kaya-raya dan
dengan mudah bisa membeli tedong di pasar meskipun tidak sekelas
tedong bonga. Tetapi, mama memang tidak memiliki uang sedikitpun
untuk membeli tedong atau babi korban. Aku tak sampai hati melihatnya
kebingungan.
Membayangkan mama mendapatkan bagian warisan terbesar dari tedong
bongaku, dadaku sesak. Mendadak ada kekuatan yang membuatku
bangkit dari pembaringan. Dengan langkah tertatih tatih aku menuju
lemari dan mengeluarkan sleuruh bajuku. Aku harus pergi!
Causal Interpretation. Masalah tersebut terjadi dikarenakan rambu solo
untuk nenek Lai akan segera dilaksanakan. Sementara ibunya tidak mampu
membeli tedong bonga dan tedong bonga kesayangan Lai menjadi satu-satunya
harapan mereka. Masalah lain timbul ketika Lai menduga jika ibunya
mengorbankan tedong kesayangan demi warisan neneknya.
Aku menatap mata mama yang menyorot teduh. Kata-kata sepupuku
yang nyinyir terngiang lagi di telingaku, mamamu ingin dapat warisan
paling banyak, karena itu dia mengorbankan tedong bonga

78

kesayanganmu. Kasihan sekali orang miskin seperti kalian, berharapharap warisan.


Mama mengorbankan tedong bongaku untuk mendapatkan warisan
paling besar dari nenek kan? Karena tedong bongaku paling mahal! Lai
tahu mama bosan hidup miskin. Tetapi kenapa mama harus
menggadaikan tedong bonga Lai?
Moral Evaluation. Penulis menilai pengarang memaknai rambu solo
sebagai pengorbanan yang harus dilakukan dengan tulus tanpa harus
mengharapkan warisan atau imbalan dari mereka yang telah meninggal. Pada
cerpen ini pengarang mengemas kesakralan rambu solo, pengorbanan yang
dilakukan tokoh utama dan makna ketulusan dalam paragraf berikut:
Lalu apa yang kusesali sekarang? Bukankah aku sendiri yang
mengorbankan bonga untuk upacara kematian nenek? Kenapa aku
menyalahkan mama? Aku hanya tidak ingin hati mama tergoda warisan
nenek sehingga langkah bonga tersesat tidak sampai ke puya. Dan
kenyataannya mama memang tergoda!
Treatment

Recommendation.

Pengarang

memberikan

akhir

yang

mengharukan pada cerpen ini. Ibu Lai memang mengorbankan tedong bonga
miliknya tapi ia tidak mengambil warisan tersebut demi menjaga perasaan
anaknya.
Warisan itu sudah dibagi-bagi. Mama memang mendapatkan warisan
paling banyak karena bonga harganya paling mahal. Tetapi mama tidak
mengambil warisan itu. Lebih baik mama tetap miskin daripada harus
kehilanganmu.
Aku terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Perasaan bersalah
merambati dadaku. Kulirik tas pakaian di tangan mama dan aku merasa
malu. Seumur hidupku, mama selalu memberikan cintanya padaku.
Selalu ingin membuatku bahagia. Tetapi aku telah menuduhnya
menginginkan warisan itu. Tidak tahan dengan rasa bersalah, aku berlari
menubruk mama.

79

Tabel 4.5 Frame Rambu Solo pada Cerpen Tedong Bonga Untuk
Nenek

Problem Identification

Masalah ekonomi; Lai dan ibunya harus


menyumbangkan hewan yang akan
dikorbankan pada rambu solo neneknya. Di
sisi lain, sehari-harinya mereka hidup dalam
kemiskinan.

Causal Interpretation

Ibu Lai tak mampu membeli tedong bonga


demi rambu solo neneknya. Dan harapan
terakhirnya
adalah
tedong
bonga
kesayangan Lai.Masalah lain timbul ketika
Lai menduga jika ibunya mengorbankan
tedong kesayangan demi warisan neneknya.

Moral Evaluation

Lai merasa pengorbanan yang dilakukan


ibunya harus didasarkan oleh keikhlasan
tanpa mengharapkan warisan neneknya.

Treatment Recommendation

Tedong bonga Lai tetap dikorbankan namun


ibunya tak mengambil warisan bagiannya
demi menjaga perasaan Lai.

Sumber : Hasil Data Primer, 2015


Sri Lestari, cerpenis asal Trenggalek ini membangun cerita mengenai
rambu solo dengan mengangkat masalah ekonomi sebagai pemicu dari masalah
keluarga yang dihadapi oleh Lai dan ibunya. Mereka hidup dalam kemisikinan
sementara rambu solo untuk neneknya harus segera diselenggarakan. Satusatunya harta mereka yang begitu berharga adalah tedong bonga kesayangan Lai.
Kemudian masalah keluarga yang dibangun oleh pengarang muncul saat
Lai menduga jika ibunya mengorbankan tedong kesayangannya hanya demi
warisan. Sementar Lai tulus mengorbankan tedong kesayangannya itu agar
neneknya tidak tersesat menuju nirwana.
Penulis menyimpulkan bahwa pengarang mengangkat rambu solo dengan
kesakralan dalam pelaksanaannya untuk menyampaikan opininya secara tersirat.

80

Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa rambu solo tidak hanya
sekedar memberikan umpan yang besar untuk mendapatkan tangkapan yang besar
pula. Namun rambu solo adalah mengenai pengorbanan yang harus didasarkan
pada ketulusan agar berbuah baik nantinya
6. Cerpen Syair Duka
Denny Prebowo mengankat rambu solo dan tarian mabadong sebagai ide
cerita yang kemudian dikembangkang menjadi sebuah cerpen. Masalah ekonomi
dijadikan konflik yang dihadapi oleh tokoh utama pada cerpen ini. Tokoh utama
harus menemukan solusi agar indonya tidak tersesat menuju nirwana.
Problem Identification.Penulis mengidentifikasi masalah yang dihadapi
oleh tokoh pada cerpen ini adalah mengenai masalah ekonomi. Seekor tedong
bonga yang dimilikinya dan babi-babi pemberian saudaranya tak cukup untuk
mengantarkan arwah indonya menuju puya. Penghasilannnya dari menjual ukiran
pahatannya tak cukup untuk membiayai rambu solo indonya.
Namun, 360 hari selepas kematianmu, hanya seekor kerbau belang
pemberianmu yang kumiliki. Apakah babi-babi pemberian sanak saudara
kita cukup untuk mengantarmu ke puya? Aku hanya anak muda yang tak
punya pekerjaan kecuali memahat tau-tau dan kerajinan lain. Telah
kubuatkan tau-tau terindah untukmu. Mereka pasti akan sulit
membedakannya dengan dirimu.
Ah, rasanya sia-sia kubuat tau-tau itu. Ia tak akan mampu mengantarmu
ke puya. Rasanya tak mungkin aku mendapatkan kerbau-kerbau itu. Apa
boleh buat, pekerjaanku memahat hanya cukup untuk membuatku tak
kelaparan.
Causal Interpretation. Masalah ini terjadi karena rambu solo untuk indo
dari tokoh utama harus segera dilaksanakan. Hanya tersisa satu tedong bonga
yang dimilikinya setelah yang lainnya dikorbankan demi rambu solo ambenya.

81

Selain itu, pelaksanaan rambu solo ini begitu penting bagi indonya yang
bergelar Tomanurung. Pada paragraf di bawah inilah pengarang menceritakan
mengenai kesakralan pelaksanaan rambu solo:
Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, aku hanya bisa duduk di
depan erong-mu. Berbicara kepadamu, seolah-olah nyawa masih
bersemayam dalam tubuh kakumu. Mereka belum mau menganggapmu
mati, sebelum aku merayakan pesta kematian untukmu. Pesta kematian
bagi perempuan bergelar puang keturunan Tomanurung.
Padahal, semua kerbau dan babi milik kita sudah habis seluruhnya untuk
merayakan pesta kematian Ambe. Hanya tedong itu, tedong bonga
pemberianmu, yang tersisa di dalam kandang kita.
Moral Evaluation. Penulis menilai pengarang melihat rambu solo sebagai
upacara adat yang begitu sakral dan menghabiskan begitu banyak biaya. Namun,
pengarang menyisipkan opininya dan menjelaskan mengenai perjalanan arwah
mereka yang telah mati tak harus diantarkan oleh tedong-tedong yang berharga
ratusan juta. Secara tersirat pengarang memberitahukan kepada pembaca kerelaan
pihak mereka yang telah ditinggalkan sudah cukup untuk mengantarkan arwah
yang telah meninggal menuju nirwana.
Pelihara dia baikbaik, wasiat Indok saat sakit tak lagi menemukan
obatnya.
Kau lebih membutuhkannya daripada aku.
Lalu dengan apa Indok ke puya? Tanyaku memeram kesedihan.
Dengan syairmu, kata Indok memaksakan untuk tersenyum, syair
yang selalu kita nyanyikan bersama pada tiap-tiap mabadong.
Treatment Recommendation. Pengarang mengakhiri cerpen ini dengan
membuat si tokoh utama putus asa. Penghasilannya sebagai pemahat sementara
rambu solo indonya yang harus dilaksanakan sesuai aluk membuatnya tak

82

mampu melakukan apa-apa lagi selain terus menari dan menyanyikan syair
kedukaan seperti yang diwasiatkan oleh indonya.
Kini, 360 hari selepas kematianmu, syair-syair itu mendengung-dengung
terusdi kepalaku. Tanpa kusadari, aku mulai menari sambil melafalkan
syairkedukaan di hadapanmu. Sendiri. Hanya seorang diri.
Sambilmembayangkandirimu berada dalam erong tempat Helena
Rambulangi disemayamkan.Mereka tak akan menyadarinya dan tak
pernah akan menyadarinya.
Aku terus menari dan bernyanyi melantunkan kedukaan. Bergerak ke
depandan ke belakang sendirian. Hingga dari jendela kamar yang
kubiarkandaunnya terbuka, nampak dirimu di atas sebuah kerbau belang
diiringiratusan kerbau yang bergerak dan terus bergerak ke langit. Ke
puya dipuya negeri para leluhur berdiam.
Tabel 4.6 Frame Rambu Solo pada Cerpen Syair Duka

Problem Identification

Masalah ekonomi; tokoh dalam cerpen ini tak


mampu menyediakan tedong bonga yang
begitu mahal untuk indonya yang berasal dari
golongan bangsawan. Penghasilannya dari
membuat tau-tau tak cukup untuk menutupi
biaya yang dibutuhkan

Causal Interpretation

Rambu solo untuk indo tokoh utama harus


segera dilaksanakan sementara seekor
tedong bonga dan ternak miliknya tak cukup
untuk melaksanakannya.

Moral Evaluation

Rambu solomerupakan upacara adat yang


begitu sakral dan membutuhkan biaya yang
banyak. Namun, yang terpenting adalah
kerelaan pihak keluarga yang ditinggalkan
oleh mereka yang telah meninggal.

Treatment Recommendation

Rambu solo yang tak kunjng terlaksana


membuat tokoh utama putus asa. Ia hanya
terus menari dan melantunkan syair
kedukaan.

Sumber : Hasil Data Primer, 2015


Seperti cerpen Tedong Helena, Denny Prabowo mengangkat pelaksanaan
rambu solo yang terikat oleh aturan adat. Pelaksanaan yang harus disesuaikan

83

dengan status sosial orang yang telah meninggal membuat keturunannya harus
berusaha untuk memenuhi aluk. Begitupula hal yang harus dihadapi oleh tokoh
utama. Seekor tedong bonga dan hasil penjualan tau-tau ukirannya tak cukup
untuk membiayai pelaksanaan rambu solo untuk mengantarkan arwah indonya.
Yang mampu Ia lakukan hanyalah menyanyikan syair kedukaan seperti yang
pernah dikatakan indonya.
Menurut penulis pengarang ingin menyampaikan kritik mengenai biaya
yang dihabiskan untuk pelaksanaan rambu solo. Biaya yang begitu besar
seringkali memberatkan keluarga yng telah ditinggalkan. Pengarang juga
menyampaikan jika kerelaan keluarga yang ditinggalkan sudah cukup untuk
mengantarkan arwah agar dapat mencapat nirwana. Tak perlu menghabiskan
biaya yang begitu besar.

Desis

Rambu Solo
Buat Indo

Cerpen

Causal Interpretation
Rambu solo merupakan akar
masalah yang harus
diselesaikan oleh Jasmine dan
Marlo

Masalah ini disebabkan karena


Patri yang masih menghilang
sementara upacara adat untuk
ibunya harus diselenggarakan.

Problem Identification

Masalah Ekonomi; si
tokoh utama tak mampu
menyediakan tedong
bonga yang begitu mahal
sementara Ia harus
segera melaksanakan
rambu solo

Masalah Keluarga; Patri,


suami dari tokoh utama
menghilang. Sementara
untuk melaksanakan
rambu solo kehadiran
keluarga merupakan hal
yang sangat penting
sebab jika tidak mereka
akan dianggap tidak
menghargai adat

Tokoh utama berusaha untuk


menemukan suaminya, Patri
sebagai bentuk penghormatan
dan kasih sayang kepada
mertuanya.

Marlo dan Jasmine harus


bekerja dan berusaha lebih giat
demi melaksanakan rambu
solo dan mengorbankan
beberapa hal termasuk
hubungan mereka

Moral Evaluation

Tabel 4.7 Tabel Perbandingan Frame dari Setiap Cerpen

Setelah mencari Patri kemanamana akhirnya jasad ibunya


menghilang bersama anaknya
yang tak pernah pulang.

Marlo, demi melaksanakan


rambu solo ambenya harus
merantau dan mencari rezeki ke
Jakarta sementara Jasmine, oleh
ambenya dikorbankan
kehormatannya.

Treatment Recommendation

84

Tedong Helena

Ambe
Masih Sakit

Upacara rambu solo yang


layak untuk ambenya yang
merupakan keturunan
bangsawan tak kunjung
terlaksana dikarenakan
terhambat masalah biaya.

Masalah ekonomi; Hal ini dikarenakan rambu solo


Helena yang hidup di untuk ambenya yang akan segera
perantauan harus
dilaksanakan sementara di tanah
menjual sebagian
rantau Ia pun kesulitan secara
besar hartanya demi ekonomi. Di sisi lain Ia
rambu solo ambenya mengharapkan mendapatkan
dan berharap
warisan yang paling besar
memperoleh warisan
yang paling banyak

Masalah ekonomi;
Upta Liman harus
mengadakan rambu
solo untuk
ambenya sementara
tabungan dan
penghasilannya tak
cukup untuk
mebiayai
pelaksanaan rambu
solo.

Menghubungi sanak keluarga


juga memanfaatkan program
pariwisata pemda setempat.

Demi pulang ke kampung


Dengan mengorbankan sebagian
halamannya, Helena rela
besar hartanya dan menjalin
mengorbankan harta sebagian
hubungan dengan anak lelaki
besar harta yang dimilikinya dan Tato Denna, Helena akhirnya
usahanya agar rambu solo untuk bisa melaksanakan rambu solo
ambenya terlaksana dengan
untuk ambenya.
layak.

Sebagai wujud rasa hormat dan


kasih sayang pihak keluarga,
pelaksanaan rambu solo
dijadikan prioritas utama.
Selain itu, pengarang
menceritakan mengenai kerja
keras yang dilakukan semasa
hidup agar kelak tidak
menyusahkan pihak keluarga
yang ditinggalkan.

85

Rambu solo merupakan upacara


adat yang begitu sakral dan
membutuhkan biaya yang
banyak. Namun, yang terpenting
adalah kerelaan pihak keluarga
yang ditinggalkan oleh mereka
yang telah meninggal.

Masalah ekonomi; Rambu solo untuk indo tokoh


tokoh dalam cerpen utama harus segera dilaksanakan
ini tak mampu
sementara seekor tedong bonga
menyediakan tedong dan ternak miliknya tak cukup
bonga yang begitu untuk melaksanakannya.
mahal untuk indonya
yang berasal dari
golongan bangsawan.
Penghasilannya dari
membuat tau-tau tak
cukup untuk
menutupi biaya yang
dibutuhkan

Sumber: Hasil Data Primer, 2015

Syair Duka

Tedong Bonga
untuk Nenek

Lai merasa pengorbanan yang


dilakukan ibunya harus
didasarkan oleh keikhlasan tanpa
mengharapkan warisan
neneknya.

Ibu Lai tak mampu membeli


tedong bonga demi rambu solo
neneknya. Dan harapan
terakhirnya adalah tedong bonga
kesayangan Lai. Masalah lain
timbul ketika Lai menduga jika
ibunya mengorbankan tedong
kesayangan demi warisan
neneknya.

Masalah ekonomi;
Lai dan ibunya harus
menyumbangkan
hewan yang akan
dikorbankan pada
rambu solo
neneknya. Di sisi
lain, sehari-harinya
mereka hidup dalam
kemiskinan.

Rambu solo yang tak kunjng


terlaksana membuat tokoh utama
putus asa. Ia hanya terus menari
dan melantunkan syair kedukaan.

Tedong bonga Lai tetap


dikorbankan namun ibunya tak
mengambil warisan bagiannya
demi menjaga perasaan Lai.

86

87

B. Representasi Makna Rambu Solo dalam Cerpen Fiksi


Setelah menemukan cara para pengarang mengonstruksi cerpen-cerpen
tersebut penulis dapat menemukan makna rambu solo yang direpresentasikan
kedalam cerpen-cerpen tersebut. Penulis melihat pengarang membangun sebuah
konstruksi tertentu kedalam cerpennya berdasarkan pemahaman mereka mengenai
rambu solo itu sendiri. Representasi yang dibangun pengarang baru bisa kita
dapatkan setelah menemukan tanda yang dipilih oleh pengarang.
Penulis menilai, para pengarang memiliki pemahaman yang berbeda-beda
mengenai rambu solo sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda-beda pula
kepada pembacanya. Berbagai pemaknaan ini dituangkan oleh para pengarang
pada setiap narasi dan dialog pada cerpennya.
Terdapat beberapa kesamaan dari beberapa cerpen yang menjadi objek
penelitian ini. Pertama, para pengarang sama-sama mengangkat masalah ekonomi
sebagai konflik dasar dari cerpen mereka yang memicu konflik-konflik lainnya.
Berdasarkan konflik-konflik inilah para pengarang menyisipkan pemaknaan
mengenai rambu solo secara tersirat maupun tersurat kepada pembaca.
Pengarang mengombinasikan tanda-tanda dalam teks sehingga merepresentasikan
makna tertentu kepada para pembacanya.
Masalah ekonomi yang dijadikan konflik dasar membuat tokoh-tokoh yang
diciptakan oleh pengarang harus berupaya untuk melaksanakan kewajiban mereka
yaitu menyelenggarakan rambu solo untuk mereka yang terbaring sakit dalam
erongnya. Dari upaya para tokoh inilah penulis menemukan berbagai pemaknaan
yang dituangkan oleh para pengarang.

88

Kedua, selain masalah ekonomi, konflik lain yang mereka ciptakan adalah
para tokoh sama-sama harus melaksanakan rambu solo untuk keluarga terdekat
mereka yaitu ayah, ibu atau nenek dari tokoh-tokoh tersebut. Menurut penulis,
para pengarang mengangkat masalah ini untuk menggambarkan bagaimana
pengorbanan dan bentuk kasih sayang masyarakat Toraja pada arwah yang telah
meninggal dengan melaksanakan rambu solo.
Ketiga, masalah berikutnya yang diangkat oleh para pengarang yaitu
mengenai nilai religius dari pelaksanaan rambu solo tersebut. Selain menjelaskan
mengenai kewajiban para keluarga untuk melaksanakan rambu solo, para
pengarang juga membahas mengenai pentingnya pelaksanaan rambu soloyang
sesuai dengan aluk atau aturan sebagai penghormatan kepada mereka yang telah
meninggal utamanya bagi yang bergelar bangsawan untuk mengantarkan arwah
mereka agar tidak tersesat menuju nirwana.
Selain menemukan persamaan-persamaan di atas, penulis juga menemukan
pemaknaan yang berbeda-beda yang diangkat oleh para pengarang, seperti kerja
keras, tolong-menolong dan keikhlasan. Pengarang melihat rambu solo sebagai
upacara adat yang menghabiskan biaya yang begitu banya. Inilah yang
memotivasi masyarakat Toraja untuk bekerja lebih giat demi mendapatkan rejeki
yang melimpah. Tidak hanya bagi mereka yang telah meninggal, tapi juga sebagai
persiapan agar kelak tidak menyusahkan keluarga yang ditinggalkan.
Selain itu, pelaksanaan rambu solo terikat status kebangsawanan keluarga
yang menyelenggarakannya sehingga pelaksanaannya harus disesuaikan dengan
peraturan adat. Jumlah tedong bonga dan hewan-hewan lain yang dikurbankan

89

tidak boleh menyalahi aturan adat tersebut. Tak jarang pihak keluarga saling
membantu agar aturan tersebut terpenuhi dan rambu solo dapat terselenggara.
Budaya saling bantu inilah yang menumbuhkan rasa berhutang budi kepada pihak
yang membantu penyelenggaraan rambu solo sehingga sehingga budaya ini
melekat begitu erat di lingkungan masyarakat Toraja. Dan rambu solo inilah
yang dijadikan sarana oleh masyarakat Toraja untuk menghimpun seluruh kerabat
untuk berkumpul demi penyelenggaraannya dan mempererat kekeluargaan
diantara mereka.
Pengarang juga menyisipkan pendapat pribadinya mengenai rambu solo.
Dalam cerpennya, pengarang menyampaikan secara tersirat kepada pembacanya
perjalanan arwah menuju nirwana tak harus menghabiskan biaya yang begitu
besar, cukup dengan keikhlasan pihak keluarga untuk melepaskan mereka yang
telah meninggal agar dapat tenang di alamnya.

Religius

Desis

Sebagai
menantu, tokoh
utama memiliki
keinginan besar
untuk segera
menguburkan
mertuanya.
Namun,
suaminya yang
menghilang
membuatnya
harus
menemukannya
terlebih dahulu.

Pengarang
mengangkat
kepercayaan
masyarakat
toraja mengenai
hewan yang
Rambu Solo dikorbankan
pada rambu
Buat Indo
solo akan
mengantarkan
arwah menuju
nirwana

Cerpen

Pengarang
membuat para
tokoh berusaha
untuk mencari
rejeki sebanyakbanyaknya
dengan membuat
Marlo merantau
menuju Ibu Kota
dan Jasmine,
selain menjual
lipa garussu Ia
juga menari
pada acara
tertentu

Pengarang
membuat para
tokoh berusaha
untuk mencari
rejeki sebanyakbanyaknya
dengan
membuat Marlo
merantau
menuju Ibu
Kota dan
Jasmine, selain
menjual lipa
garussu Ia juga
menari pada

Pengorbanan

Kerja Keras

Pengarang
menyisipkan
sebuah nasehat
pada cerpennya
mengenai
kehidupan dunia
yang sesaat dan
kehidupan
setelah mati
yang kekal

Penghormatan

Tabel 4.8 Perbandingan Representasi Cerpen

Tolong menolong

Keikhlasan

90

Tedong
Helena

Pengarang
menampilkan
dalam
pelaksanaan
rambu solo
terdapat aluk
yang mengatur
persembahan
yang harus
disediakan
berdasarkan
tingkat sosial
orang yang
meninggal.

Pengarang
mengangkat
kepercayaan
masyarakat toraja
mengenai hewan
yang dikorbankan
Ambe Masih pada rambu solo
akan menjadi
Sakit
kendaraan para
arwah agar tidak
tersesat menuju
nirwana

Helena harus
mengorbankan
sebagian besar
harta yang
dikumpulkannya
demi
melaksanakan
rambu solo
ambenya.

Upta Liman harus


menyurutkan
keinginannya
untuk menikah
sebelum rambu
solo tersebut
terlaksana

Pengarang
menyiratkan
pesan bahwa
masyarakat Toraja
memiliki budaya
tolong-menolong
dalam
pelaksanaan
rambu solo .
Bantuan yang
diberikan saat ini
kelak akan
kembali entah
dengan nilai yang
sama atau bahkan

91

Sumber: Hasil Penelitian Primer, 2015

Sebagai
keturunan
bangsawan,
pelaksanaan
rambu solo ibu
dari tokoh utama
tak boleh
dilaksanakan
Syair Duka secara
sembarangan,
terdapat aluk
yang harus
dipenuhi oleh
pihak keluarga
dan kerabat

Tedong
Bonga
untuk
Nenek

Melalui cerpennya
pengarang
menyampaikan
kepada pembaca
bahwa tanpa
keikhlasan dalm
memberikan
persembahan
arwah orang yang
telah meninggal
akan tersesat dan
tak akan sampai
ke nirwana.

Pengorbanan
dalam cerpen ini
dapat dilihat
pada saat Ibu Lai
tidak mengambil
warisan
bagiannya agar
anaknya tidak
meragukan
ketulusannya
saat
mengorbankan
tedong
kesayangan
anaknya itu.

Pengarang
secara tersirat
menyampaikan
bahwa tak perlu
mengeluarkan
begitu banyak
biaya agar
arwah tidak
tersesat menuju
alam baka.
Keikhlasan
pihak keluarga
sudah cukup
untuk
mengantarkan
arwah tersebut

Pengarang
menyampaikan
kepada pembaca
bahwa rambu
solo bukan
hanya mengenai
harga tedong
bonga yang
mahal, tapi juga
mengenai
ketulusan
keluarga dalam
menyelenggarak
an-nya

92

93

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah penjabaran di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Cara pandang, latar belakang dan pengetahuan pengarang sangat
memengaruhi pengarang dalam menafsirkan realitas sosial yang ada dan
mengonstruksinya menjadi realitas baru. Karena pengaruh-pengaruh
tersebut para pengarang membingkai realitas mengenai rambu solo
dengan caranya masing-masing. Pada penelitian ini, penulis melihat para
hampir semua pengarang dari cerpen yang menjadi objek penelitian ini
mengangkat masalah ekonomi yang dijadikan sebagai konflik yang
mendasari munculnya konflik-konflik lainnya. Dari sinilah penulis
menyisipkan nilai-nilai yang dipahami juga kritikan yang ditampilkan
secara tersurat maupun tersirat
2. Setiap pengarang ingin menyampaikan pesan dan nilai-nilai tertentu yang
disisipkan pada karya-karyanya kepada para pembacanya . Entah itu
bernada positif atau negatif, pengarang akan membangun sebuah
representasi tertentu dengan memanfaatkan nilai-nilai yang dipahaminya
berdasarkan realitas yang ada. Pada penelitian ini, hampir dari seluruh
cerpen yang menjadi objek penelitian ini menonjolkan rambu solo dari
sisi ekonomi dan nilai religiusnya, sehingga pembaca dapat dengan
mudahnya akan memahami rambu solo sebagai upacara adat yang
menghabiskan biaya yang begitu besar karena kesakralan dan aturan adat

94

yang harus dipenuhi. Nilai-nilai lainnya yang terdapat pada cerpen-cerpen


tersebut adalah mengenai kerja keras-tolong-menolong dan keikhlasan.
B. Saran
Melalui penelitian ini, penulis dengan segala kerendahan hati memberikan
saran kepada pembaca:
1. Sebuah karya sastra dibuat berdasarkan cara pengarang merekayasa sebuah
realitas baru. Tak jarang para pengarang menyampaikan kritik dan
pemahamannya

melalui

tulisan-tulisan

yang

dibuatnya.

Pembaca

diharapkan tidak hanya menikmati sebuah karya dari sisi yang paling
ditonjolkan oleh pengarang saja

tapi secara keseluruhan. Sebab,

pengarang tidak menyampaikan suatu pesan atau nilai-nilai tertentu secara


tersurat, namun juga secara tersirat.
2. Suatu karya bisa saja dikemas dengan nada positif ataupun negatif sesuai
dengan pemahaman atau kritikan yang ingin disampaikan oleh para
pengarang. Diharapkan para pembaca mampu menikmati sebuah karya
sastra sebagai selingan disaat senggang saja, namun juga mampu melihat
nilai-nilai yang disisipkan oleh para pengarang. Tidak hanya itu, pembaca
juga diharapkan agar tidak serta merta terpengaruh dari informasi yang
ditampilkan oleh media dan lebih cermat dalam menilai informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aloysius. Dkk. 2012. Dukacita (Grief) pada Orang Toraja yang Melaksanakan
Ritual Pemakaman Rambu Solo. Skripsi Tidak Diterbitan. Semarang:
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Anggraini, Shinta Budi Widianingrum. 2012. Rasisme dalam Film Fitna (Analisis
Semiotika Rasisme di dalam Film). Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Veteran
Anggreini, Pratiwi Sulo. 2014. Tampilan Pesan Diri Kelompok PaBadong dalam
Upacara Rambu Solo di Toraja Utara. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Anonim. 2013. Laki-Laki Pemanggul Goni. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Aprina, Visia Puspita Rini. Wacana Raja Perempan Kraton Yogyakarta (Analisis
Framing Pemberitaan Mengenai Wacana Raja Perempuan Kraton
Yogyakarta di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat Periode 1521 Mei 2010). Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Atmajaya
Ariyani, Isma. 2014. Representasi Nilai Siri Pada Sosok Zainuddin Dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Framing Novel). Skripsi
Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
Azwar. 2014. Perlawanan Sastra dalam Cerpen Koran Indonesia.
Dialektika. Vol.1/No.1: 21-46

Jurnal

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana


-----------. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
Chrisanty, Priscilla. 2012. Konstruksi Realitas Keotoriteran Presiden Soekarno
dalam Novel: Analisis Framing Teks Novel The Year of Living
Dangerously. Jurnal Komunikasi Indonesia. Vol.1. No. 1: 31-36
Datu, Marny B. 2011. Pelembagaan Nilai Upacara Rambu Solo di Sadan
Tobarana Kelurahan Malimbong Kecamatan Sadan Kabupaten Toraja

Utara. Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin.
Eriyanto. 2005. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Studi Pesan
Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Makara, Sosial
Humaniora.VOL. 8, No.1:21-32
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana
Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Kusniarti, Tuti. 2010. Teks Sastra Sebagai Media Komunikasi Antarbangsa
(Kajian Atas Novel Dari Fontenay Ke Magallianes Karya Nh. Dini).
Jurnal Bahasa dan Seni. Vol. 11, No.1: 49-55
Layuk, Agustina T. 2011. Makna Pesan Kada-Kada Tominaa dalam Acara
Rambu Solo dan Rambu Tuka di Tana Toraja
Melanie, Anindi Virda. 2011. Majalah Gogirl! Dan sikap remaja (Studi
Korelasional Pengaruh Rubrik Feature Majalah Gogirl! terhadap Sikap
Remaja Putri di SMA Swasta Harapan I Medan). Skripsi Tidak
Diterbitkan. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
Miranda, Yolla. 2010. Seutas Ganal. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET
Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
----------. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandunng:
Widya Padjajaran
----------. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Muslich, Masnur. 2008. Kekuasaan Media Massa. Bahasa dan Seni.Vol.36,
No.2: 150 158
Nurhatika, Eka Putri Septiana. 2014. Mitos Kunang-Kunang dalam Cerpen
Requiem Kunang-Kunang Karya Agus Noor: Analisis Semiotika.

Skripsi TidakDiterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas


Gadjah Mada
Pangarra, Robi. 2014. Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser
dan Relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo). Jurnal
Jaffray.Vol. 12, No. 2:291-316
Pujasari, Lucy Supratman.2012. Representasi Citra Perempuan di Media.
Observasi.Vol. 10, No.1:29-40
Putra, I Gede Gita Purnama Arsa. 2012. Representasi Multikulturalisme dalam
Trilogi novel Sembalun Rinjani Karya Djelantik santha. Bali: Program
Magister Konsentrasi Wacan Sastra Universitas Udayana
Rafiek. 2015. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo
Rayo, Misela. 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Rambu Solo
Berdasarkan Stratifikasi Sosial (Studi Kasus Kel. Ariang Kec. Makale
Kab. Tana Toraja). Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik
Santana, Septiawan K. 2002. Telaah Buku Self Professor Komunikasi di
Kumpulan Cerpen Islami. Mediator. Vol.3.No.2:167-177
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Syarif, Ahmad. 2013. Konstruksi Modernitas Dalam Album Radiohead (Analisis
Semiotika Pada Lirik Lagu Dan Artwork Album Ok Computer). Skripsi
Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
Tangdilintin, L. T.1981. Toraja dan Kebudayaannya, Yayasan Lepongan Bulan.
Tana Toraja
Vivi, Al Purwito Sari. 2012. Analisis Berita Headline Freeport di Harian
Kompas. Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Wulandari, Putri. 2013. Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi Kapal
Api (Analisis Semiotika Representasi Budaya Indonesia pada Iklan Kopi
Kapal Api Versi Secangkir Semangat Untuk Indonesia do televisi
Swasta). Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara
Yohanna. 2008. Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel

Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Skripsi Tidak Diterbitkan. Medan:


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Yuniati, Yenni. 2002. Pengaruh Berita di Surat Kabar Terhadap Persepsi
Mahasiswa terhadap Politik. Mediator. Vol. 3, No.1:79-95
Referensi lain:
http://flpdepok.blogspot.com/2010/05/tedong-helena.html diakses pada tanggal 17
Februari 2015 pukul 15.52
http://galericerpen-flp.blogspot.com/2011/01/tedong-bonga-untuk-nenek.html
diakses pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 17.26 Wita
https://lakonhidup.wordpress.com/2013/03/24/syair-duka/ diakses pada tanggal 17
Februari 2015 pada pukul 15.32 Wita
http://victorsumua.blogspot.com/2013/01/rambu-solo-dalam-keyakinan-aluktodolo.html diakses pada tanggal 27 April 2015 pukul 02.33 Wita
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/skom4314/isi_materi2_2.html diakses pada
tanggal 12 Maret 2015 pukul 00.20 Wita
http://yekurnia.blogspot.com/2014/05/rambu-solo-buat-indo.html
tanggal 17 Februari 2015 pada pukul 16.27

diakses

pada

http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1343478301/upacara-rambu-solo
diakses pada tanggal 18 Mei 2015 pukul 01.30
http://www.wijanarko.net/2012/02/londa-kuburan-goa-alam-yangmenyeramkan.html diakses pada tanggal 18 Mei 2015 pukul 01.30
http://www.kaskus.co.id/thread/51129802db92487537000002/tana-matari-allo--tana-toraja/?ref=postlist-21&med=recommended_for_you diakses pada
tanggal 18 Mei 2015 pukul 01.30

Anda mungkin juga menyukai