OLEH :
SITI RAFIKA
E311 11 256
OLEH :
SITI RAFIKA
E311 11 256
ii
Nama Mahasiswa
: Siti Rafika
Nomor Pokok
: E311 11 256
Makassar, 14 Mei 2015
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs.Kahar, M.Hum
NIP. 195910101985031005
Mengetahui,
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
iii
Telah diterima oleh Tim Evaluasi Skripsi Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam
jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Public Relations pada hari Senin tanggal 1 Juni 2015.
TIM EVALUASI
Ketua
(.)
Sekretaris
(.)
Anggota
(.)
(.)
(.)
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Alhamdulillah, segala puja dan puji senantiasa tercurah pada Allah SWT.
sang pemilik alam semesta, sang pemberi nikmat, rahmat, dan hidayah kepada
segenap insan manusia. Sedetik waktu dan sehela napas adalah karunia tak
terhingga yang kita miliki. Semoga setiap napas yang terhembus dan detak
jantung hanya untuk bertasbih kepada Allah, sehingga yang kita lakukan hanya
untuk mengharap ridho dari-Nya. Shalawat dan salam juga tak lupa tercurahkan
kepada Nabiullah Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari dunia yang
gelap gulita menuju dunia yang terang benderang.
Skripsi ini saya persembahkan untuk orang tua yang telah membesarkan
saya dengan penuh kasih yang tiada henti melantunkan doa dalam sujud,
ayahanda Sutan Mansur dan Ibunda Hajeriah Abu, terima kasih atas segala doa
dan dukungan. Skripsi ini saya persembahkan pula untuk orang tua yang selalu
mendukung dan merestui setiap langkah walaupun tak bernaung di bawah atap
yang sama, ayahanda Hamri Abu dan Ibunda Mulyana. Persembahan skripsi ini
tiada setitik pun sepadan dengan perjuangan, kesabaran dan dukungan yang
diberikan selama ini.
Penyusunan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Karenanya, dengan kerendahan hati saya
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
vi
karena
hal-hal
konyol
yang
membumbui
tapi
bukankah
lebih
Siti Rafika
vii
ABSTRAK
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................... iii
Halaman Penerimaan Tim Evaluasi ................................................................... iv
Kata Pengantar ................................................................................................... v
Abstrak ...............................................................................................................viii
Daftar Isi.............................................................................................................. ix
Daftar Tabel ....................................................................................................... xi
Daftar Gambar .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan masalah.................................................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 7
D. Kerangka Konseptual ............................................................................. 8
E. Definisi Operasional ............................................................................... 17
F. Metode Penelitian.................................................................................... 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Media Massa .......................................................................................... 23
B. Cerpen Sebagai Media Komunikasi ....................................................... 25
C. Media dan Konstruksi Makna ................................................................ 26
D. Realitas dan Konstruksi Sosial ............................................................... 29
E. Representasi ........................................................................................... 34
F. Analisis Framing .................................................................................... 35
G. Rambu Solo ............................................................................................ 38
BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara yang identik dengan kemajemukan
budaya sebagai alat pemersatu persatuan bangsa. Keberagaman latar belakang
suku, agama, dan budaya menjadikan kekayaan bangsa yang patut dilestarikan.
Kebudayaan bangsa merupakan kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budinya
khususnya
masyarakat
Indonesia.
suatu lingkungan fisik berbeda akan memiliki budaya yang berbeda pula
(Mulyana, 2008:33).
Menempatkan budaya sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan hidup
harus dipandang dari perspektif yang beragam, jika tidak budaya akan dipandang
sebagai suatu kombinasi antara bias budaya (berupa norma, nilai, dan
kepercayaan) dan preferensi pada tingkat perilaku, suatu gabungan segi-segi
bersifat kognitif dan segi-segi bersifat behavioral. Seringkali dalam kebiasaan
suatu daerah terdapat perilaku atau nilai-nilai yang dianggap tabu oleh masyarakat
umum tetapi wajar bagi masyarakat tersebut. Karenanya, untuk memahami
budaya suatu kelompok masyarakat diperlukan sebuah pemahaman atas nilai-nilai
atau perilaku yang berlaku pada budaya setiap daerah secara menyeluruh.
Pengetahuan masyarakat mengenai kebudayaan bangsa sendiri merupakan
salah satu langkah pelestarian. Selain melalui pendidikan formal yang dapat
ditemukan di sekolah-sekolah, upaya pelestarian budaya ini juga memanfaatkan
berbagai media, baik itu media cetak ataupun media elektronik. Pelestarian
budaya dilakukan dengan mendokumentasikannya dalam bentuk visual, audio,
audiovisual bahkan dibukukan dalam bentuk teks, novel, majalah, koran, cerita
pendek, dan sebagainya. Kehadiran berbagai media dalam pelestarian budaya
diterima oleh masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, dan tentu saja
dengan menggunakan penafsiran makna yang berbeda pula.
Media dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena
sejatinya mereka memiliki suatu hubungan yang saling mempengaruhi. Media
merupakan sarana yang digunakan untuk memproduksi, mendistribusikan, dan
ruang dan cakupannya oleh halaman-halaman koran dan majalah. Berbeda dengan
novel yang begitu panjang dan mendetil. Oleh karena itu jendela informasi yang
dibuat oleh pengarang dikonstruk secara ringkas.
Salah satu tema budaya yang sering diangkat menjadi ide cerita dalam
sebuah cerpen adalah rambu solo. Rambu solomerupakan salah satu upacara
tradisional yang menjadi kekayaan budaya dalam lingkup masyarakat Tana
Toraja. Upacara ini mewajibkan keluarga almarhum untuk membuat sebuah pesta
sebagai tanda penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi. Upacara
ini telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga telah menjadi kewajiban tiaptiap masyarakat Tana Toraja (Anggreini, 2014: 15)
Upacara rambu solo dalam tradisi masyarakat Toraja mengandung nilainilai yang dilembagakan melalui cerita secara turun-temurun dan melalui
pelaksanaan upacara rambu solo tersebut. Datu menyebutkan terdapat enam nilai
yang terkandung dalam upacara rambu solo, yaitu keakraban, kerohanian, harga
diri, kebanggaan, kolektifitas, dan penghormatan (Datu, 2011: 49-55). Nilai-nilai
inilah yang membuat masyarakat Toraja tetap melestarikan upacara adat rambu
solo.
Para pengarang menceritakan rambu solo berdasarkan pengetahuan atau
pemahaman yang didapatkannya. Upacara kematian khas Toraja merupakan salah
satu upacara adat yang terkenal di Sulawesi Selatan hingga ke mancanegara.
pengarang menuliskan realitas yang diketahuinya mengenai rambu solo lalu
menginterpretasikannya dalam cerpen fiksi. Dalam pengemasan ide-ide mengenai
2.
D. Kerangka Konseptual
Realitas Sosial dan Konstruksi Sosial
Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi
sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu
tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata
sosial (Bungin, 2008: 11-12).
Manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan secara aktif dan kreatif
mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia
kognitifnya. Dalam proses sosial manusia secara individu dipandang sebagai
pencipta realitas sosial yang relatif bebas. Realitas yang didapatkannya
dikonstruksi kembali menjadi realitas yang baru.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran
bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh
pelaku sosial. Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia
sosialnya, bahwa individu menjadi panglima dalam dunia sosialnya yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu, bukanlah manusia korban fakta
sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan aktif
mengonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2008: 11-12).
Pada akhirnya realitas dipandang sebagai hasil ciptaan manusia melalui
konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dunia sosial yang
dimaksudkan seperti yang disebutkan oleh George Simmel (Bungin, 2008: 12)
bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut
kesan kita bahwa realitas itu ada dalam diri sendiri dan hukum yang
menguasainya. Realitas sosial itu ada dilihat dari subjektifitas ada itu sendiri
dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat
sebagai kedirian-nya, namun juga dilihat dari mana kedirian itu berada,
bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya dan bagaimana pula
lingkungannya menerimanya.
Berger (Eriyanto, 2005: 14) menyebutkan bahwa ada tiga tahapan realitas
sosial
dikonstruksi
yaitu
eksternalisasi,
objektivasi,
dan
internalisasi.
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia,
baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Objektivasi, yaitu hasil yang telah
dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut.
Internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki
makna yang subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku
sosial itu menjadi sosial oleh Weber dikatakan kalau yang dimaksud subjektif
membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan
mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau
menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat
(Bungin, 2008: 12).
10
11
bisa menjadi sebuah pemberitaan yang biasa saja setelah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh media tersebut. Singkat kata, media mengonstruksi realitas yang
dimunculkan pada masyarakat dengan mengemas konteks pemberitaan secara
apik.
Penulisan sebuah wacana di media massa dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang berasal dari pengarang itu sendiri berdasarkan pengalaman, referensi,
lingkup pergaulan, dan lain-lain dan pada akhirnya akan mempengaruhi
konstruksi realitas. Isi media adalah hasil konstruksi realitas dari para pekerja
media dengan memanfaatkan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa
dipergunakan sebagai alat untuk merepresentasikan realitas untuk memberikan
pemaknaan tertentu terhadap realitas tersebut. Bahasa dijadikan alat yang
menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada
masyarakat.
Bahasa merupakan media yang menjadi perantara kita dalam memaknai
sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua
ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol
dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan
ide-ide kita tentang sesuatu (Ariyani, 2014: 11).
Larry L. Barker mengungkapkan ada tiga fungsi bahasa: penamaan
(naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi (Mulyana, 2010: 266267). Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek atau
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
komunikasi. Fungsi interaksi menurut Barker, menekankan gagasan dan emosi
12
yang dibagi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan
kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.
Setiap hari kita menerima informasi-informasi yang baru baik secara langsung
maupun tidak langsung sejak membuka mata
memejamkan mata di malam hari. Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi
transmisi.
Oleh karena itu, saat ini sangat mudah ditemukan beberapa kelompok yang
memiliki kuasa atas media mampu mengendalikan konstruksi realitas yang akan
dicitrakan kepada masyarakat. Menurut De Fleur dan Ball Rokeach ada berbagai
cara media massa mempengaruhi makna dan bahasa ini antara lain:
mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna
dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna
baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa
(Sobur, 2009: 90).
Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi
budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena
menampilkan sebuah cara dalam memandang realita.
Teks dan Budaya
Teks dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat
hubungan yang unik antara teks dan budaya. Teks merupakan produksi dan
konstruk dari budaya sementara budaya juga merupakan konteks yang pada
akhirnya memberikan variasi makna dari teks yang diciptakan.
13
dari
praktik-praktik
sosial
dimana
makna-makna
diproduksi,
14
diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa
kemana berita tersebut.
Eriyanto (2005: 10) menyebutkan bahwa pada dasarnya framing adalah
metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara
bercerita yang dimaksudkan adalah dari sudut pandang mana media mengemas
sebuah realitas. Analisis framing digunakan untuk melihat bagaimana media
megonstruksi, memahami, membingkai dan memunculkan suatu realitas.
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang
suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus,
dengan
memberikan
penonjolan
terhadap
aspek-aspek
tertentu,
dengan
15
Diagnose causes
(Memperkirakan Masalah
atau sumber masalah)
Treatment recommendation
(Menekankan Penyelesaian)
16
Kerja Keras
Pengorbanan
Penghormatan
Desis
Religius
Religius
Ambe Masih
Sakit
Tolongmenolong
CERPEN
FIKSI
Tedong
Helena
Analisis Framing
Robert N. Entman
Pengorbanan
Religius
Define Problem
Diagnose Causes
Make Moral Judgement
Treatment
Recommendation
Pengorbanan
Religius
Tedong Bonga
Untuk Nenek
Pengorbanan
Keikhlasan
Religius
Syair Duka
Keikhlasan
Representasi Makna
Rambu solo dalam Cerpen
17
usaha
sanak
keluarga
untuk
mencari
rejeki
guna
18
6. Tolong-menolong
Merupakan budaya saling bantu yang tumbuh dikalangan masyarakat Toraja
dalam pelaaksanaan upacara adatrambu solo.
7. Keikhlasan
Merupakan kerelaan pihak keluarga dalam memberikan kontribusi dalam
pelaksanaan rambu solo tanpa mengharapkan imbalan apapun.
8. Rambu solo
Rambu solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan
untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia
menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur
mereka di sebuah tempat peristirahatan.
9. Framing
Framing
merupakan
menampilkan,
cara
mengemas
media
atau
atau
pengarang
mengonstruksi
suatu
dalam
menulis,
realitas
untuk
19
Penyebab dapat diartikan sebagai apa (what) atau siapa(who) yang berperan
sebagai aktor dari suatu peristiwa. Bagaimana peristiwa dimaknai tentu saja
menentukan apa dan siapayang dianggap sebagai sumber masalah.
12. Make moral judgement (membuat pilihan moral)
Merupakan argumentasi yang digunakan untuk memperkuat definisi masalah
dan penyebab masalah yang telah ditentukan. Sebuah argumentasi dibutuhkan
untuk mendukung gagasan tersebut.
13. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)
Bertujuan untuk menilai apa yang dikehendaki pengarang. Cara atau solusi
yang ditawarkan oleh pengarang untuk menyelesaikan masalah yang
ditemukan.
14. Rekonstruksi
Rekonstruksi merupakan sebuah realitas yang telah diberikan pemaknaan
tertentu oleh pengarang. Realitas ini dibangun secara subjektif oleh
pengarang berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
15. Representasi
Representasi merupakan cara yang digunakan untuk memberikan makna
terhadap objek yang digambarkan. Representasi dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang digunakan untuk mewakili objek yang dimaksud.
16. Puya
Merupakan tempat bagi arwah yang meninggal akan bertransformasi menjadi
arwah gentayangan (bombo), arwah setingkat dewa (to membali puang), atau
arwah pelindung (Deata).
20
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Tipe Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif
kualitatif,
sebab
penulis
menggambarkan
bagaimana
rambu
Pengarang
Ambe Masih
Sakit
Emil Amir
Desis
Yolla Miranda
Rambu solo
buat Indo
Ahmad Ijazi
Syair Duka
Denny Prabowo
Keterangan
Diterbitkan di Kompas, 4 Maret 2012
kemudian dibukukan dalam kumpulan
cerpen Kompas Laki-Laki pemanggul
Goni
Diterbitkan dalam kumpulan cerpen
Seutas Ganal
Pemenang lomba menulis cerpen
tingkat nasional pada Festival Sastra,
KMSI UGM 2014
Diterbitkan di Media Indonesia, 24
Maret 2013
21
Tedong Bonga
untuk Nenek
Sri Lestari
Tedong Helena
Denny Prabowo
22
Dengan menggunakan
perangkat framing Robert N. Entman penulis dapat menemukan nilai yang dipilih
dan ditonjolkan oleh pengarang pada cerpennya.
5.2 Interpretasi Data
Kriyantono menjelaskan bahwa tahap ini merupakan tahap interpretasi
terhadap hasil analisis data. Pada tahap tersebut penulis mendiskusikan hasil
analisis data, melalui interpretasi terhadap analisis data, dengan menggunakan
kerangka konseptual yang semula ditetapkan. Penulis menginterpretasikan data
tersebut berdasarkan data yang telah diperoleh pada tahap analisis data. Pada
tahap inilah penulis menemukan reperesentasi makna yang dibangun oleh para
pengarang.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Media Massa
Media massa merupakan suatu sumber informasi dalam kehidupan
moderen. Media massa biasa dianggap sebagai sumber informasi dan hiburan.
Effendy menyatakan bahwa media massa digunakan dalam komunikasi apabila
komunikasi berjumlah banyak dan bertempat tinggal jauh (Melanie, 2011: 9).
Media massa yang banyak digunakan saat ini adalah radio, televisi, majalah,
buku, dan sebagainya yang bersifat informatif, edukatif dan menghibur.
Keuntungan dari pemanfaatan media massa dalam penyebaran informasi
adalah mampu menyebarkan sebuah pesan secara serentak dan relatif lebih luas.
Menurut Cangara (2011: 128-129) media massa memiliki karakter sebagai
berikut:
1.
2.
24
reaksi atau umpan balik maka akan membutuhkan waktu jeda atau
tertunda.
3.
4.
5.
Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
dimana saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku
bangsa.
25
banyaknya media tulis yang hingga saat ini masih eksis di tengah-tengah
masyarakat.
B. Cerpen Sebagai Media Komunikasi
Sebuah naskah sastra pada umumnya ditulis dalam bentuk teks, karena
teks merupakan bagian yang utama. Sebuah teks merupakan perwujudan sebuah
struktur yang abstrak. Sebagai sebuah teks, karya sastra dipandang sebagai objek
final dan dapat ditafsirkan. Teks dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Terdapat hubungan yang unik antara teks dan budaya. Teks
merupakan produksi dan konstruk dari budaya sementara budaya juga merupakan
konteks yang pada akhirnya memberikan variasi makna dari teks yang diciptakan.
Esensi sebuah cerita pendek fiksi adalah cerita (story) atau sajian
peristiwa, pengalaman, imajinasi, dan sifat-sifat naratif yang disusun secara
ringkas (Kusniarti, 2010: 50). Cerpen merupakan bagian dari media konvensional,
karena media konvensional adalah salah satu media untuk memublikasikannya
selain blog dan buku. Artinya sebuah cerpen yang dimuat di media massa dapat
dikelompokkan sebagai proses komunikasi. Cerpen dapat dijadikan sebuah media
untuk mengungkapkan pemikiran serta ideologi yang dimiliki seseorang. Penulis
dapat dengan bebas mengekspresikan apa yang ada di dalam pemikirannya
melalui sebuah cerpen karena karya tersebut merupakan sebuah fiksi (Azwar,
2014: 23).
Walaupun
cerpen
adalah
karya
fiksi
tetapi
cerpen
seringkali
26
27
Itu pula yang memunculkan pendapat Paul Watson, salah seorang pendiri
Greenpeace, tentang perilaku media massa. Menurutnya, konsep kebenaran yang
dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap
masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya kebenaran ditentukan oleh media
massa (Sobur, 2009: 87)
Konteks dari pemberitaan yang dimunculkan pada pemberitaan tidak
terlepas dari hasil konstruksi dari media itu sendiri. Sebuah peristiwa yang buruk
bisa menjadi sebuah pemberitaan yang biasa saja setelah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh media tersebut. Singkat kata, media mengonstruksi realitas yang akan
dimunculkan pada masyarakat dengan mengemas konteks pemberitaan secara
apik.
Bahasa merupakan media yang menjadi perantara kita dalam memaknai
sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua
ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol
dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan
ide-ide kita tentang sesuatu (Ariyani, 2014: 11).
Larry L. Barker mengungkapkan ada tiga fungsi bahasa: penamaan
(naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi (Mulyana, 2010: 266267). Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek atau
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
komunikasi. Fungsi interaksi menurut Barker, menekankan gagasan dan emosi
yang dibagi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan
kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.
28
Setiap hari kita menerima informasi-informasi yang baru baik secara langsung
maupun tidak langsung sejak membuka mata
memejamkan mata di malam hari. Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi
transmisi.
Menurut De Fleur dan Ball Rokeach ada berbagai cara media massa
mempengaruhi makna dan bahasa ini antara lain: mengembangkan kata-kata baru
beserta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada;
mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; memantapkan
konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa (Sobur, 2009: 90).
Bungin (2011: 16) menjelaskan bahwa individu melakukan objektivasi
terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini
berlangsung tanpa harus saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi
melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat
melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial tanpa harus terjadi tatap
muka antar-individu dan pencipta produk sosial itu. Hal terpenting dalam
objektivasi adalah pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh
manusia (Bungin, 2011: 17).
Lebih jauh Bergerdan Luckman (Bungin, 2011: 17) menjelaskan bahwa
sebuah wilayah penandaan (signifikasi) dapat menjembatani wilayah-wilayah
kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol, dan modus linguistik
dengan apatransenden seperti itu dicapai, dapat dinamakan simbol. Dengan
demikian, bahasa memegang peran penting dalam objektivasi terhadap tandatanda.
29
30
pada angin sosial. Sebaliknya, teori definisi sosial sangat menonjolkan subjek
individu yang menafikkan struktur sosial. Padahal, sebagai mahluk sosial,
individu sangat membutuhkan perilaku sosial, seperti penghargaan, prestise, dan
kedudukan atau jabatan sosial.
Menyadari kelemahan kedua teori itu, muncullah teori konstruksi sosial.
Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman. Mereka
berpandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui proses internalisasi yang
mencerminkan realitas yang subjektif.
Berger (Eriyanto, 2005: 14) menyebutkan bahwa ada tiga tahapan realitas
sosial
dikonstruksi
yaitu
eksternalisasi,
objektivasi,
dan
internalisasi.
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia,
baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Objektivasi, yaitu hasil yang telah
dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut.
Internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial.
Selain itu, salah satu teori terkenal yang membahas realitas sosial
sekaligus hubungannya dengan media adalah teori konstruksi sosial atas realitas
yang dikembangkan oleh Adoni dan Mane. Teori ini memusatkan pada proses
pembentukan realitas, yakni bagaimana realitas dibentuk oleh individu dan
31
32
Jika pandangan Adoni dan Mane dikaitkan dengan teori Berger dan
Luckman, maka proses eksternalisasi terjadi dalam realitas simbolik, proses
internalisasi terjadi dalam realitas subjektif, di mana individu mengambil
pengetahuan, nilai-nilai dan etika yang disajikan dalam media maupun
lingkungannya ke dalam dasar pemahaman individu atas realitas. Selanjutnya,
Berger dan Luckman dalam Chrisanty (2012:32) memaparkan dua gagasan
sosiologi pengetahuan, yakni realitas danpengetahuan. Realitas adalah fakta
atau kenyataan yang ada dalam kehidupan bersosial yang memiliki sifat eksternal,
umum, dan memaksa terhadap kesadaran masing-masing individu. Entah diterima
atau ditolak, setuju atau tidak setuju, realitas itu akan selalu ada. Sedangkan
pengetahuan adalah realitas yang ada atau hadir didalam kesadaran tiap-tiap
individu.
Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi
sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu
tercaakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan
pranata sosial (Bungin, 2008: 11-12).
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan individu. Namun demikian, kebenaran suatu
realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2011: 11).
33
34
subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
Individu mengonstruksi realitas sosial, dan mengonstruksinya dalam dunia
realitas, kemudian memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu
lain dalam lingkungan sosialnya.
E. Representasi
Representasi menurut David Croteau dan William Hoynes (Wulandari,
2013: 17), merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi
hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan
digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses
seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi,
ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda yang lain diabaikan.
Sementara Marcel Danesi (Wulandari, 2013: 17) mendefinisikan
representasi sebagai suatu proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan
secara fisik. Secara lebih tepat dapat didefinisikan sebagai penggunaan tandatanda (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang
diserap, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik.
Sedangkan menurut Sumardjo (Putra, 2012: 26) representasi adalah (1)
penggambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal,
(2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia, (3)
penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara
subjektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentu-bentuk ideal yang berada di
balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewatpandangan misti-filosofis
seniman.
35
Representasi adalah sebuah cara untuk memaknai apa yang diberikan pada
benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada
premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara
makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya
digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.
Hall (Yohanna, 2008: 13) menunjukkan bahwa sebuah imaji akan
mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan
berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall
menyebutkan representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai
setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah
kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi
adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.
Wulandari (2013: 16) menjelaskan bahwa representasi merupakan bentuk
konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Representasi dapat berwujud
kata, gambar, sekuen, cerita, yang mewakili ide, emosi, fakta,dan sebagainya.
Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara
kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau
sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda mewakili
sehingga kita tahu dan mempelajari realitas.
F. Analisis Framing
Analisis framing merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
cara media membingkai suatu realitas. Sobur mengatakan bahwa analisis framing
digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
36
memberikan
penonjolan
terhadap
aspek-aspek
tertentu,
dengan
37
isu. Seleksi isu merujuk pada pemilihan berbagai aspek dari suatu isu yang
dimunculkan. Sementara penonjolan aspek tertentu berkaitan dengan cara media
menuliskan fakta. Ketika aspek telah dipilih, media memilih kata, gambar atau
ilustrasi dan menyusun kalimat hingga membangun citra tertentu terhadap isu
yang akan ditampilkan kepada masyarakat.
Media menonjolkan suatu aspek dari isu tersebut dengan menyeleksi isu
tertentu dan meninggalkan isu yang lain. Media membangun dimensi tertentu
dengan menggunakan berbagai strategi wacana seperti penggunaan kata yang
berulang-ulang, pemakaian label tertentu untuk menggambarkan peristiwa
tertentu, asosiasi terhadap simbol budaya, dan lain-lain. Pada akhirnya media
menyajikan suatu realitas yang telah dikonstruksi dari perspektif tertentu kepada
khalayak
Tabel 2.1 Elemen Framing Robert N. Entman
Define problems
(Pendefinisian masalah)
Diagnose causes
(Memperkirakan masalah
atau sumber masalah)
38
sosial
budaya
Toraja
baik
dalam
dimensi
material
maupun
dimensispiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu dalam agama,
hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama,
39
dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku. Jadi seluruh tatanan kehidupan
masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena
tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat
hukuman
dalam
kehidupan
ini.
Hukuman
ini
dapat
dihapus
dengan
40
pitunna) dan aluk serba seratus(sanda saratu). Aluk sanda pitunna disebarkan
oleh Tangdilino dan merupakan sistem religi yang dipercayai oleh orang Toraja
sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama umat manusia dan karena itu ia
merupakan aluk yang tertua yang menyebar secara luas di Tana Toraja.
Sedangkan aluk sanda saratu datang kemudian dan disebarkan oleh puang
Tamborolangi dan hanya berkembang dalam daerah Tallu Lembangna (Makale,
Sangalla dan Mengkendek).
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun
sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen
Protestan dan agama Kristen Katholik, bahkan pada tahun 1970, agama ini sudah
dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk
Todolo adalah kepercayaan animisme tua yang dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu sehingga ia
merupakan kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik (Datu, 2011:
15).
Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah
upacara rambu solo. Ritual-ritual di sekitar upacara rambu solo bersumber dari
falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat
dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat
terwujud jika semua ritual-ritual yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun).
Salah satu wadah mewujudkan ritual tersebut adalah upacara rambu solo.
Kalau semua ritual itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang
selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup.
41
Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali puang, sehingga
arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga dan tersesat
menuju puya. Di puya inilah arwah yang meninggal akan bertransformasi menjadi
arwah gentayangan (bombo), arwah setingkat dewa (to membali puang), atau
arwah pelindung (Deata).
Dalam rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau
upacara rambu solo dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat
menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup
orang Toraja adalah hidup untuk mati, pada satu sisi tidak salah, apalagi jika
hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa
partisipasi. Namun pada sisi yang lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja
penuh
dengan
upacara-upacara
religius.
Pengorbanan
dalam rambu
solo mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir
(di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di
sini dan sebaliknya.
Fungsi pengorbanan dalam rambu solo adalah seperti ungkapan saya
memberi agar engkau memberi yang artinya dalam hubungan dengan dewa atau
arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar. Hal
ini nampak dengan jelas dalam upacara rambu solo Manene. Manene adalah
mengurus mayat yang sudah lama dikuburkan di dalamnya dipersembahkan
kerbau atau babi.
Pelaksanaan rambu solo yang begitu sakral disertai dengan berbagai nilainilai yang dikandungnya, antara lain:
42
A. Nilai-Nilai Religius
1. Kehidupan dan kematian sebagai suatu siklus
Pandangan tentang kehidupan dan kematian menurut agama suku Toraja
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dipahami sebagai suatu siklus.
Karena itu, baik kehidupan maupun kematian dipandang sebagai suatu
lingkaran dalam perjalanan hidup seseorang. Kehidupan akan dilanjutkan di
alam sana, yaitu tempat dimana kehidupan itu dimulai. Kematian bukanlah
akibat dosa, tetapi merupakan bentuk peralihan dari dunia empiris ke dunia
mistis transenden.
Agar peralihan itu dapat terlaksana dengan baik maka tuntutan ritual harus
dipenuhi. Dan ritual yang terpenting adalah upacara rambu solo. Pelaksanaan
upacara ini secara lengkap akan menyebabkan arwah seseorang dapat
memasuki puya (dunia arwah), untuk seterusnya menjadi membali puang
(menjadi dewa). Sebaliknya kalau upacaranya tidak lengkap atau sempurna,
maka arwah orang mati tidak akan membali puang, sehingga akan gentayangan
dan akan selalu datang menganggu keluarga dan orang lain. Arwah-arwah yang
sudah membali puang dan yang belum, menampakan diri dalam apa yang
disebut bombo sebagai menifestasi dari arwah orang mati yang sangat
ditakuti (khususnya yang belum lengkap ritual-ritualnya), karena medatangkan
malapetaka sekaligus dihormati karena mendatangkan berkat.
2. Hubungan antara kehidupan di dunia ini dan sesudah kematian.
Dalam keyakinan Aluk Todolo, dunia di sini dan dunia di sana mempunyai
hubungan timbal balik bahkan saling mempengaruhi. Realitas kehidupan ini
43
hanya sebenarnya saja, yang harus dihayati secara pragmatis dalam batas-batas
yang ditentukan oleh aluk sola pamali untuk menjamin kehidupan dalam
realitas alam atas. Dengan kata lain, realitas kehidupan orang Toraja berasal
dari alam mistis. Jadi baik hidup sebelum mati (realitas empiris) maupun hidup
sesduah mati (realitas mistis) diikat oleh lingkaran kehidupan.
Hubungan ini nyata dalam upacara-upacara ritual yang harus dipenuhi
untuk menjamin kehidupan di sana. Kalau upacaranya lengkap maka arwah
orang yang telah meninggal akan membali puang untuk seterusnya dan
membawa berkat bagi keluarga atau orang lain. Ini menujukkan bahwa dapattidaknya seseorang memasuki puya (dunia arwah) dan membali puang sangat
tergantung pada usaha manusia yang hidup di dunia ini.
3. Hubungan dengan arwah para leluhur
Karena dunia di sini dan dunia di sana saling mempengaruhi maka antara
arwah para leluhur dan keluarga yang masih hidup terdapat hubungan yang
saling mempengaruhi. Itulah sebabnya, sehingga orang yang masih hidup tetap
berkewajiban memlihara kuburan dan mayat dari leluhurnya. Perawatan itu
dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu dengan mengganti (membaharui)
bungkus mayat. Demikian juga usaha untuk membersihkan kuburan (banua
tangmerambu) atau memberikan suguhan berupa makanan, sirih, rokok, bunga
dan lain-lain. Melalui upaya demikian hubungan dengan arwah leluhur tetap
terpelihara. Disamping itu juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meminta
berkat kepada arwah leluhur. Keyakinan ini lazim dikenal dengan upacara
manene.
44
45
londong (sabung ayam). Acara ini merupakan ritus pelengkap dari rambu
solo, sekaligus menujukkan status sosial yang tinggi dari seseorang.
4. Kesenian
Kesenian yang ditampilkan dalam rambu solo, khsusnya untuk golongan
bangsawan,
randing.
Jenis kesenian ini meruapakan sarana peng ekspresian suasana kedukaan yang
dialami karena kematian seseorang. Karena itu kesenian ini selalu berirama
sendu dan memilukan. Orang yang terlibat dalam kesenian ini merasakan
solidaritas yang mendalam dengan orang yang telah meninggal.
C. Nilai Sosial
1. Kekeluargaan
Apabila seorang meninggal dunia dalam kalangan suku Toraja, Upacara
pemakaman tidak hanya dihadapi oleh suami, istri dan anak-anaknya, tetapi
juga keluarga besar (rumpun keluarga) dari orang yang telah meninggal.
Seluruh keluarga meskipun tinggal ditempat yang jauh, berusaha untuk hadir
dan berpartisipasi dalam upacara rambu solo. Keluarga-keluarga ini secara
bersama menanggulangi biaya pelaksanaan upacara rambu solo. Bila ada
keluarga yang tidak mengambil bagian maka ia akan menanggung beban moral
yang mengakibatkan ia dapat tersisih dari komunitas keluarga. Juga keluarga
yang lain akan memberi penilaian yang negatif terhadapnya karena dianggap
tidak memiliki solidaritas keluarga.
Hal ini menujukkan dalam masyarakat Toraja sistem kekeluargaan dan
kekerabatan merupakan sasuatu hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui
46
47
3. Persekutuan Teritorial
Upacara rambu solo tidak hanya melibatkan rumpun keluarga, tetapi juga
melibatkan masyarakat sekitar. Dalam masyarakat Toraja, ada bentuk-betuk
persekutuan sosial yang disebut saroan atau Kobbu. Persektuan ini tidak
saja didasarkan pada pertalian biasa, tetapi juga pada adanya kesadarn saling
membutuhkan serta kesadaran untuk berkorban demi kehidupan bersama. Hal
ini juga berlaku dalam urusan upacara rambu solo, dimana seluruh anggota
masyarakat secara sukarela terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan
pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari akhir sampai selesai. Disini terlihat
bahwa masyarakat Toraja sejak dulu menjungung tinggi rasa kekeluargaan dan
rasa kegotong-royongan. Selain masyarakat sekitar, juga keluarga dan kenalan
yang berasal dari luar kampung atau luar daerah juga berusah untuk hadir.
Sehingga upacara juga menjadi tempat pertemuan antara seluruh kenalan, baik
yang dekat maupun yang jauh.
D. Nilai-Nilai Ekonomi
Ditinjau dari segi ekonomi upacara rambu solo sepintas dapat dikatakan
sebagai usaha pemborosan biaya yang cukup banyak. Namun kalau dipahami
dari landasan keyakinan Aluk Todolo, maka upcara ini bagi keluarga bukanlah
pemborosan, tetapi terutama diyakini sebagai bekal bagi orang yang telah
meninggal untuk masuk ke puya. Dengan pengorbanan yang diberikan
diharapkan bahwa leluhurnya akan datang memberi berkat yang lebih baik/
banyak lagi. Oleh karena itu seseorang tidak segan-segan untuk berkorban bagi
orang yang meninggal.
48
49
BAB III
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
A. Cerpen Rambu Solo Buat Indo
Cerpen karya Ahmad Ijazi H ini merupakan pemenang lomba menulis
cerpen pada Festival Sastra, KMSI UGM 2014. Cerpen ini menceritakan tentang
kehidupan Jasmine Tomarere setelah
seorang gadis asal Toraja. Ibunya yang telah meninggal masih dianggap sakit
hingga dilaksanakannya rambu solo untuk mengantarkan arwahnya ke puya.
Jasmine yang sehari-harinya berjualan lipa garussu harus memaksa tulang
punggungnya menjadi lebih kokoh dari biasanya demi rambu solo indonya.
Tidak hanya kematian ibunya yang membuat Jasmine merasa sepi, namun
kepergian kekasihnya, Marlo Sarunggallo merantau ke ibu kota memaksanya
untuk terbiasa dengan kesendiriannya.
Perselingkuhan yang dilakukan Ayahnya membuat rasa benci dan sakit
hati mengiringi kesepian Jasmine. Luka hati Jasmine menjadi semakin dalam
tatkala Ayahnya tega menjual kehormatannya kepada seorang lelaki hidung
belang hingga hamil.
Setelah lima tahun berada di perantauan akhirnya Marlo kembali ke
kampung
halamannya.Kegembiraan
Ibu
dan
adik-adiknya
menyambut
50
B. Cerpen Desis
Cerpen ini merupakan sebuah karya dari Yolla Miranda yang kemudian
dibukukan dalam kumpulan cerpen Seutas Ganal. Cerpen ini mengisahkan tentang
kisah mengenai seorang istri yang menanti kepulangan suaminya. Patri, suaminya
yang masih menghilang saat mereka harus mengadakan rambu solo untuk
ibunya. Tanpa Patri, rambu solo tak bisa terlaksana.
Rumah-rumah kerabat dan perbukitan tak luput dari usaha pencariannya
untuk menemukan Patri. Disusurinya jalan setapak yang meliuk-liak diantara
pepohonan dan tanaman yang tumbuh liar di kiri kanannya sambil mengira-ngira
keadaan Patri saat ini. Selama pencariannya terdengar suara-suara misterius yang
membisik jiwanya. Hingga suatu hari seseoraang memanggilnya untuk membantu
membawa tubuh yang dipenuhi luka bekas cakar hewan buas.
Setelah menyelamatkan orang itu, Ia kembali mendengarkan suara
misterius itu lagi. Kali ini suara misterius itu mengungkapkan jati dirinya yang
sesungguhnya. Patri, suara misterius itu berasal darinya. Kini Ia mampu berbicara
dengan suami yang telah lama hilang. Saling berdesis dalam keheningan Ia
menceritakan mengenai keadaan ibunya. Hingga keheningan itu terpecah oleh
kabar yang dibawa Jansen bahwa tubuh ibunya menghilang.
C. Cerpen Ambe Masih Sakit
Cerpen Ambe Masih Sakit ini merupakan karya Emil Amir yang telah
diterbitkan pada harian Kompas, 4 Maret 2012 kemudian dibukukan dalam
kumpulan cerpen Kompas Laki-Laki Pemaggul Goni. Cerpen ini mengisahkan
tentang seorang anak asal Toraja yang sudah sepuluh tahun ditinggalkan oleh
51
Rambulangi
yang
kembali
ke
kampung
halamannya
untuk
52
53
kesayangannya demi mendapatkan warisan paling banyak. Lai tidak ingin arwah
neneknya tersesat tidak sampai menuju puya karena ibunya tergoda oleh warisan.
Pada akhirnya Ibu Lai tetap mengorbankan tedong kesayangan Lai dan tak
mengambil warisan yang menjadi bagiannya.
F. Cerpen Syair Duka
Cerpen yang diterbitkan pada harian Media Indonesia, 24 Maret 2013 ini
mengisahkan tentang seorang anak asal Toraja yang berasal dari kalangan
Tomanurung yang kehilangan Ibunya. Sebagai keturunann Tomanurung sudah
menjadi kewajiban bagi keturunan untuk merayakan kematian. Bukan masalah
bagi keluarganya yang kaya raya dengan sawah berhektare-hektare yang
terhampar bersama pulahan kerbau di kandang.
Namun semuanya akan menjadi masalah jika semuanya telah habis demi
mengadakan rambu solo Ambenya. Hanya seekor tedong belang yang tersisa dan
beberapa babi pemberian sanak keluarga juga sebuah syair duka yang selalu
dilantunkannya bersama indo. Tak ada puya tanpa tedong bonga bagi seorang
Tomanurung, kepercayaan itulah yang membebaninya selama 360 hari sambil
mendengungkan syair duka yang biasanya mengiringi mabadong. Kini Ia terus
menari
dan
melantunkan
kedukaan
sambil
membayangkan
indo
yang
54
(sore hari), dan bukan pada waktu pagi hari. Dalam acara rambu soloini,salah
satu hal yang sangat penting adalah upacara untuk pemakaman.
55
56
si mati yang oleh aluk dianggap sama saja dengan si mati dan ia dapat
diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.
To Dipoyan Angin berlaku bagi seseorang yang jenasahnya tidak
diketemukan. Seluruh keluarganya pergi ke puncak bukit dengan membawa
sarung yang sebelahnya diikat untuk memukat angin. Kalau sarung itu
menggelembung, maka semua wanita yang hadir menangis karena diyakini
bahwa roh (jiwa) yang meninggal sudah berada dalam sarung itu. Sarung
itulah yang kemudian diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.
57
Palungan/dikambuturan
Padang,
upacara
semacam
ini
diperuntukkan bagi orang dewasa yang tidak punya apa-apa dan keluarganya
tidak mampu. Keluarga yang ada hanya memukulkan tempat makanan babi
dan menghentakkan kaki ke tanah setelah itu mayat dikuburkan pada hari itu
juga.
Disilli yaitu bentuk upacara untuk anak-anak yang meninggal dunia yang
belum tumbuh giginya, juga untuk orang dewasa yang miskin. Ia dibuatkan
liang pada sebuah pohon besar sebagai kuburannya.
Dibai Tungga. Dalam tingkatan ini babi yang dipotong sekurang-kurangnya
satu ekor. Mayat dapat disemayamkan satu malam di rumah duka dan
keesokan harinya langsung dikubur.
Dibai Apa, yaitu tingkatan dimana babi yang dipotong antara 4-10 ekor.
Setelah selesai upacara di rumah duka, keesokan harinya langsung di kubur.
2. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana karurung)
58
Diisi yaitu untuk anak yang meninggal dunia pada waktu giginya belum
tumbuh, tetapi karena ia adalah keturunan bangsawan maka ia berhak diberi
korban seekor kerbau.
seseorang
yang
sebenarnya
hanya
layak
Dipaling bongi yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau
yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.
59
personifikasi
dari
orang
yang
telah
meninggal
dunia.
Dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9-12 ekor dan babi
minimal 32 ekor.
Rapasan Sundun (anak rapasan), yaitu tingkatan yang lebih tinggi dari dari
upacara dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong 24 ekor dan babi
minimal 32 ekor.
masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat
menentukan bentuk dan tingkatan upacara rambu solo. Urutan-urutan ini
merupakan pola umum upacara rambu solo di seluruh wilayah adat Toraja. Pada
prinsipnya upacara rambu solo khususnya yang dirapai dapat dibagi dalam dua
bagian. Kedua bagian ini ialah upacara yang dilaksanakan di sekitar rumah
tongkonan
(dikenal
dengan
istilah dialuk
pia)
dan
yang
dilaksanakan
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan rumusan masalah pada BAB I, penelitian ini bertujuan
untuk menemukan cara pengarang membingkai realitas mengenai rambu solo
kedalam sebuah cerpen fiksi hingga merepresentasikan sebuah makna tertentu
mengenai rambu solo tersebut terhadap para pembacanya. Dan media merupakan
sarana antara pengarang dan pembaca dalam meyampaikan realitas yang
dibangunnya kepada para pembaca.
A. Pembingkaian Rambu Solo dalam Cerpen Fiksi
Dalam prakteknya, menurut Robert N. Entman (Eriyanto, 2002:186-189),
framing dilakukan media lewat dua hal: seleksi isu dan penekanan atau
penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Seleksi isu merujuk pada
pemilihan nilai menganai rambu solo oleh pengarang. Sementara penonjolan
aspek tertentu berkaitan dengan cara pengarang mengemas nilai tersebut. Ketika
nilai tersebut telah dipilih, pengarang memilih kata, gambar atau ilustrasi dan
menyusun kalimat hingga membangun citra tertentu terhadap rambu solo yang
ditampilkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, secara umum model analisis
framing yang dikemukakan oleh Entman mengandung empat perangkat
pembingkai yaitu:
1. Define problem (pendefinisian masalah)
Menekankan pada cara seseorang memahami suatu peristiwa. Sebuah peristiwa
dapat dipahami secara berbeda hingga menghasilkan realitas yang berbeda
pula.
61
62
63
64
mencari dalle sebanyak mungkin, meski banyak hal yang terpaksa harus
ikut dikorbankan: perihal cinta dan kesetiaan. (Jasmine)
Kasihan sekali kau. Berharap mendapatkan uang yang banyak untuk
upacara rambu solo Indomu, sampai-sampai ambemu tega menjual
keperawananmu kepada lelaki hidung belang! perkataan perempuan itu
seperti petir. (Jasmine)
Tabel 4.1 Frame Rambu Solo pada Cerpen Rambu Solo Buat Indo
Problem Identification
Causal Interpretation
Moral Evaluation
65
66
beliau harus dikubur, kapan, dan bagaimana. Harus kau yang melakukan
itu semua, bukan aku.
Causal Interpretation. Masalah tersebut terjadi akibat Patri, suami si
tokoh utama menghilang, sementara upacara adat untuk ibunya harus
diselenggarakan.
Sudah 48 jam lebih, Patri tak jua kembali. Sebenarnya aku tahu bahwa
penantian seperti ini tak akan membuahkan hasil, ditambah bau bangkai
manusia yang terus menyeruak ke hidungku. Tegakah kau menunggu hingga
mAyatnya dirayapi cacing-cacing kecil?
Moral Evaluation. Pengarang memaknai rambu solo sebagai bentuk
usaha seorang anak dalam menunjukkan rasa hormat kepada orang tuanya yang
telah meninggal. Pengarang menonjolkan makna penghormatan tersebut dengan
membuat si tokoh utama berusaha menemukan suaminya agar mertuanya bisa
segera dimakamkan. Hal tersebut dapat kita temukan pada paragraf-paragraf
berikut:
Aku cukup tahu bagaimana adat istiadat di daerah ini meski aku termasuk
baru di rumpun Belolangi. Aku tak berhak menentukan dimana beliau
harus dikubur, kapan dan bagaimana. Harus kau yang melakukan itu
semua, bukan aku. Maka, aku harus menunggu kedatanganmu atau aku
harus mencari dan berkelana sekedar untuk mencarimu?
Di sini aku hanya bisa diam, Patri. Tanpa dirimu dan tanpa dia. Entah
kemana sajakah dirimu? Kucari sampai ke pelosok-pelosok Tana Toraja,
namun tak kudapati embusan napasmu.
Cukuplah kau bicara itu, Nen. Aku lelah mencarinya. Apa baiknya aku
menguburnya sendiri? Dan mengaku bahwa aku adalah anak almarhum?
tanyaku beruntun
Dengan berjalan kaki, kami awali pencarian ke rumah-rumah kerabat Patri.
Dari ujung ke ujung. Mungkin telah seluruhnya kami susuri, namun tak
satu pun tahu keberadaan Patri.
Hal lain yang tuangkan oleh pengarang ke dalam cerpennya adalah
mengenai kehidupan dunia dan akhirat. Pengarang mebuat si tokoh utama
67
mengalami mimpi yanng aneh dan mendengarkan suara yang tak tahu dari
mana asalnya. Sebuah nasehat dari suara yang tak bertuan. Ini mewakili
makna religius yang dituangkan oleh pengarang, seperti yang tergambarkaan
pada paragraf berikut:
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab di
puya-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup
sesungguhnya.
Treatment Recommendation. Setelah membangun konflik yang begitu
pelik bagi si tokoh utama, pengarang memberikan jalan keluar yang tidak biasa
pada cerpen ini. Setelah mencari Patri, si tokoh utama mendapatkan kabar bahwa
jasad ibu mertuanya menghilang. Sementara Ia masih belum menemukan
suaminya itu.
Entah, aku yang tak tahu apakah kau benaribenar membunuhnya, atau kau
yang terbunuh. Tapi kurasa satu yang paling tepat, aku yang berpulang!
Napasku terhenti ketika Jansen berkata, Jasad ibunya menghilang. Di
rumahnya belatung-belatung telah mengerumuni.
Tabel 4.2 Frame Rambu Solo pada Cerpen Desis
Problem Identification
Causal Interpretation
Moral Evaluation
68
menilai,
Yolla
Miranda
membingkai
nilai
religius
dan
mengawali
cerita
dengan
membuat
si
tokoh
utama
mencemaskan suaminya, Patri yang tak kunjung pulang. Hal lain yang harus
dihadapi oleh si tokoh utama adalah mertuanya yang meninggal saat suaminya itu
masih menghilang. Inilah yang memicu masalah keluarga pada tokoh utama.
Pengarang menonjolkan perjuangan si tokoh utama untuk menemukan suaminya.
Dari sinilah penulis menilai pengarang menonjolkan hal ini untuk menunjukkan
rasa hormat si tokoh utama kepada mertuanya yang telah meninggal dengan
mencari suaminya yang menghilang. Seperti yang kita ketahui, selain sebagai
upacara adat, rambu solo bagi masyarakat Toraja merupakan salah satu cara
untuk berkumpul bersama kerabat khususnya sanak keluarga.
Selain menonjokan perjuangan si tokoh utama, pengarang juga
menyisipkan sebuah nasehat yang dikemas sedemikian rupa. Menurut penulis,
pengarang menyisipkan nasehat tersebut agar pembacanya tidak hanya
mendapatkan pengetahuan dari sisi perjuangan masyarakat Toraja saja, tapi juga
dari sisi religius mereka.
69
70
solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar
cepat sampai.
Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan.
Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu
menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi
martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat
karena ulahmu. Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah.
Moral Evaluation. Pengarang menilai rambu solo sebagi sebuah ritual
yang begitu sakral dan menjadi sebuah prioritas sehingga para anggota keluarga
harus menyelenggarakannya dengan layak agar arwah yang telah meninggal tidak
tersesat menuju nirwana. Tak jarang anggota keluarga harus mengorbankan
beberapa hal dalam hidupnya. Nilai religius dan pengorbanan ini dapat kita
temukan pada paragraf berikut ini:
Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung
belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini, lanjut Tato
Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang
kalian taruh?
71
Treatment Recommendation. Pada cerpen ini, tidak ada rambu solo yang
terselanggara. Sementara itu, solusi yang diberikan oleh penulis pada cerpen ini
adalah dengan menghubungi sanak saudara juga memanfaatkan program
pariwisata pemda setempat agar upacara rambu solo, dapat terlaksana.
Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus
lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti
kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal
dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan.
Kurangnya kalian usahakanlah.
Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa
mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal.
Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih
sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit.
Tabel 4.3 Frame Rambu Solo pada Cerpen Ambe Masih Sakit
Problem Identification
Causal Interpretation
72
Moral Evaluation
Treatment Recommendation
73
Helena
demi
kembali
ke
kampung
halamannya
dan
74
75
Problem Identification
76
Causal Interpretation
Moral Evaluation
Treatment Recommendation
77
dihadapi
oleh
para
tokoh
adalah
mengenai
masalah
ekonomi.
78
Recommendation.
Pengarang
memberikan
akhir
yang
mengharukan pada cerpen ini. Ibu Lai memang mengorbankan tedong bonga
miliknya tapi ia tidak mengambil warisan tersebut demi menjaga perasaan
anaknya.
Warisan itu sudah dibagi-bagi. Mama memang mendapatkan warisan
paling banyak karena bonga harganya paling mahal. Tetapi mama tidak
mengambil warisan itu. Lebih baik mama tetap miskin daripada harus
kehilanganmu.
Aku terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Perasaan bersalah
merambati dadaku. Kulirik tas pakaian di tangan mama dan aku merasa
malu. Seumur hidupku, mama selalu memberikan cintanya padaku.
Selalu ingin membuatku bahagia. Tetapi aku telah menuduhnya
menginginkan warisan itu. Tidak tahan dengan rasa bersalah, aku berlari
menubruk mama.
79
Tabel 4.5 Frame Rambu Solo pada Cerpen Tedong Bonga Untuk
Nenek
Problem Identification
Causal Interpretation
Moral Evaluation
Treatment Recommendation
80
Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa rambu solo tidak hanya
sekedar memberikan umpan yang besar untuk mendapatkan tangkapan yang besar
pula. Namun rambu solo adalah mengenai pengorbanan yang harus didasarkan
pada ketulusan agar berbuah baik nantinya
6. Cerpen Syair Duka
Denny Prebowo mengankat rambu solo dan tarian mabadong sebagai ide
cerita yang kemudian dikembangkang menjadi sebuah cerpen. Masalah ekonomi
dijadikan konflik yang dihadapi oleh tokoh utama pada cerpen ini. Tokoh utama
harus menemukan solusi agar indonya tidak tersesat menuju nirwana.
Problem Identification.Penulis mengidentifikasi masalah yang dihadapi
oleh tokoh pada cerpen ini adalah mengenai masalah ekonomi. Seekor tedong
bonga yang dimilikinya dan babi-babi pemberian saudaranya tak cukup untuk
mengantarkan arwah indonya menuju puya. Penghasilannnya dari menjual ukiran
pahatannya tak cukup untuk membiayai rambu solo indonya.
Namun, 360 hari selepas kematianmu, hanya seekor kerbau belang
pemberianmu yang kumiliki. Apakah babi-babi pemberian sanak saudara
kita cukup untuk mengantarmu ke puya? Aku hanya anak muda yang tak
punya pekerjaan kecuali memahat tau-tau dan kerajinan lain. Telah
kubuatkan tau-tau terindah untukmu. Mereka pasti akan sulit
membedakannya dengan dirimu.
Ah, rasanya sia-sia kubuat tau-tau itu. Ia tak akan mampu mengantarmu
ke puya. Rasanya tak mungkin aku mendapatkan kerbau-kerbau itu. Apa
boleh buat, pekerjaanku memahat hanya cukup untuk membuatku tak
kelaparan.
Causal Interpretation. Masalah ini terjadi karena rambu solo untuk indo
dari tokoh utama harus segera dilaksanakan. Hanya tersisa satu tedong bonga
yang dimilikinya setelah yang lainnya dikorbankan demi rambu solo ambenya.
81
Selain itu, pelaksanaan rambu solo ini begitu penting bagi indonya yang
bergelar Tomanurung. Pada paragraf di bawah inilah pengarang menceritakan
mengenai kesakralan pelaksanaan rambu solo:
Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, aku hanya bisa duduk di
depan erong-mu. Berbicara kepadamu, seolah-olah nyawa masih
bersemayam dalam tubuh kakumu. Mereka belum mau menganggapmu
mati, sebelum aku merayakan pesta kematian untukmu. Pesta kematian
bagi perempuan bergelar puang keturunan Tomanurung.
Padahal, semua kerbau dan babi milik kita sudah habis seluruhnya untuk
merayakan pesta kematian Ambe. Hanya tedong itu, tedong bonga
pemberianmu, yang tersisa di dalam kandang kita.
Moral Evaluation. Penulis menilai pengarang melihat rambu solo sebagai
upacara adat yang begitu sakral dan menghabiskan begitu banyak biaya. Namun,
pengarang menyisipkan opininya dan menjelaskan mengenai perjalanan arwah
mereka yang telah mati tak harus diantarkan oleh tedong-tedong yang berharga
ratusan juta. Secara tersirat pengarang memberitahukan kepada pembaca kerelaan
pihak mereka yang telah ditinggalkan sudah cukup untuk mengantarkan arwah
yang telah meninggal menuju nirwana.
Pelihara dia baikbaik, wasiat Indok saat sakit tak lagi menemukan
obatnya.
Kau lebih membutuhkannya daripada aku.
Lalu dengan apa Indok ke puya? Tanyaku memeram kesedihan.
Dengan syairmu, kata Indok memaksakan untuk tersenyum, syair
yang selalu kita nyanyikan bersama pada tiap-tiap mabadong.
Treatment Recommendation. Pengarang mengakhiri cerpen ini dengan
membuat si tokoh utama putus asa. Penghasilannya sebagai pemahat sementara
rambu solo indonya yang harus dilaksanakan sesuai aluk membuatnya tak
82
mampu melakukan apa-apa lagi selain terus menari dan menyanyikan syair
kedukaan seperti yang diwasiatkan oleh indonya.
Kini, 360 hari selepas kematianmu, syair-syair itu mendengung-dengung
terusdi kepalaku. Tanpa kusadari, aku mulai menari sambil melafalkan
syairkedukaan di hadapanmu. Sendiri. Hanya seorang diri.
Sambilmembayangkandirimu berada dalam erong tempat Helena
Rambulangi disemayamkan.Mereka tak akan menyadarinya dan tak
pernah akan menyadarinya.
Aku terus menari dan bernyanyi melantunkan kedukaan. Bergerak ke
depandan ke belakang sendirian. Hingga dari jendela kamar yang
kubiarkandaunnya terbuka, nampak dirimu di atas sebuah kerbau belang
diiringiratusan kerbau yang bergerak dan terus bergerak ke langit. Ke
puya dipuya negeri para leluhur berdiam.
Tabel 4.6 Frame Rambu Solo pada Cerpen Syair Duka
Problem Identification
Causal Interpretation
Moral Evaluation
Treatment Recommendation
83
dengan status sosial orang yang telah meninggal membuat keturunannya harus
berusaha untuk memenuhi aluk. Begitupula hal yang harus dihadapi oleh tokoh
utama. Seekor tedong bonga dan hasil penjualan tau-tau ukirannya tak cukup
untuk membiayai pelaksanaan rambu solo untuk mengantarkan arwah indonya.
Yang mampu Ia lakukan hanyalah menyanyikan syair kedukaan seperti yang
pernah dikatakan indonya.
Menurut penulis pengarang ingin menyampaikan kritik mengenai biaya
yang dihabiskan untuk pelaksanaan rambu solo. Biaya yang begitu besar
seringkali memberatkan keluarga yng telah ditinggalkan. Pengarang juga
menyampaikan jika kerelaan keluarga yang ditinggalkan sudah cukup untuk
mengantarkan arwah agar dapat mencapat nirwana. Tak perlu menghabiskan
biaya yang begitu besar.
Desis
Rambu Solo
Buat Indo
Cerpen
Causal Interpretation
Rambu solo merupakan akar
masalah yang harus
diselesaikan oleh Jasmine dan
Marlo
Problem Identification
Masalah Ekonomi; si
tokoh utama tak mampu
menyediakan tedong
bonga yang begitu mahal
sementara Ia harus
segera melaksanakan
rambu solo
Moral Evaluation
Treatment Recommendation
84
Tedong Helena
Ambe
Masih Sakit
Masalah ekonomi;
Upta Liman harus
mengadakan rambu
solo untuk
ambenya sementara
tabungan dan
penghasilannya tak
cukup untuk
mebiayai
pelaksanaan rambu
solo.
85
Syair Duka
Tedong Bonga
untuk Nenek
Masalah ekonomi;
Lai dan ibunya harus
menyumbangkan
hewan yang akan
dikorbankan pada
rambu solo
neneknya. Di sisi
lain, sehari-harinya
mereka hidup dalam
kemiskinan.
86
87
88
Kedua, selain masalah ekonomi, konflik lain yang mereka ciptakan adalah
para tokoh sama-sama harus melaksanakan rambu solo untuk keluarga terdekat
mereka yaitu ayah, ibu atau nenek dari tokoh-tokoh tersebut. Menurut penulis,
para pengarang mengangkat masalah ini untuk menggambarkan bagaimana
pengorbanan dan bentuk kasih sayang masyarakat Toraja pada arwah yang telah
meninggal dengan melaksanakan rambu solo.
Ketiga, masalah berikutnya yang diangkat oleh para pengarang yaitu
mengenai nilai religius dari pelaksanaan rambu solo tersebut. Selain menjelaskan
mengenai kewajiban para keluarga untuk melaksanakan rambu solo, para
pengarang juga membahas mengenai pentingnya pelaksanaan rambu soloyang
sesuai dengan aluk atau aturan sebagai penghormatan kepada mereka yang telah
meninggal utamanya bagi yang bergelar bangsawan untuk mengantarkan arwah
mereka agar tidak tersesat menuju nirwana.
Selain menemukan persamaan-persamaan di atas, penulis juga menemukan
pemaknaan yang berbeda-beda yang diangkat oleh para pengarang, seperti kerja
keras, tolong-menolong dan keikhlasan. Pengarang melihat rambu solo sebagai
upacara adat yang menghabiskan biaya yang begitu banya. Inilah yang
memotivasi masyarakat Toraja untuk bekerja lebih giat demi mendapatkan rejeki
yang melimpah. Tidak hanya bagi mereka yang telah meninggal, tapi juga sebagai
persiapan agar kelak tidak menyusahkan keluarga yang ditinggalkan.
Selain itu, pelaksanaan rambu solo terikat status kebangsawanan keluarga
yang menyelenggarakannya sehingga pelaksanaannya harus disesuaikan dengan
peraturan adat. Jumlah tedong bonga dan hewan-hewan lain yang dikurbankan
89
tidak boleh menyalahi aturan adat tersebut. Tak jarang pihak keluarga saling
membantu agar aturan tersebut terpenuhi dan rambu solo dapat terselenggara.
Budaya saling bantu inilah yang menumbuhkan rasa berhutang budi kepada pihak
yang membantu penyelenggaraan rambu solo sehingga sehingga budaya ini
melekat begitu erat di lingkungan masyarakat Toraja. Dan rambu solo inilah
yang dijadikan sarana oleh masyarakat Toraja untuk menghimpun seluruh kerabat
untuk berkumpul demi penyelenggaraannya dan mempererat kekeluargaan
diantara mereka.
Pengarang juga menyisipkan pendapat pribadinya mengenai rambu solo.
Dalam cerpennya, pengarang menyampaikan secara tersirat kepada pembacanya
perjalanan arwah menuju nirwana tak harus menghabiskan biaya yang begitu
besar, cukup dengan keikhlasan pihak keluarga untuk melepaskan mereka yang
telah meninggal agar dapat tenang di alamnya.
Religius
Desis
Sebagai
menantu, tokoh
utama memiliki
keinginan besar
untuk segera
menguburkan
mertuanya.
Namun,
suaminya yang
menghilang
membuatnya
harus
menemukannya
terlebih dahulu.
Pengarang
mengangkat
kepercayaan
masyarakat
toraja mengenai
hewan yang
Rambu Solo dikorbankan
pada rambu
Buat Indo
solo akan
mengantarkan
arwah menuju
nirwana
Cerpen
Pengarang
membuat para
tokoh berusaha
untuk mencari
rejeki sebanyakbanyaknya
dengan membuat
Marlo merantau
menuju Ibu Kota
dan Jasmine,
selain menjual
lipa garussu Ia
juga menari
pada acara
tertentu
Pengarang
membuat para
tokoh berusaha
untuk mencari
rejeki sebanyakbanyaknya
dengan
membuat Marlo
merantau
menuju Ibu
Kota dan
Jasmine, selain
menjual lipa
garussu Ia juga
menari pada
Pengorbanan
Kerja Keras
Pengarang
menyisipkan
sebuah nasehat
pada cerpennya
mengenai
kehidupan dunia
yang sesaat dan
kehidupan
setelah mati
yang kekal
Penghormatan
Tolong menolong
Keikhlasan
90
Tedong
Helena
Pengarang
menampilkan
dalam
pelaksanaan
rambu solo
terdapat aluk
yang mengatur
persembahan
yang harus
disediakan
berdasarkan
tingkat sosial
orang yang
meninggal.
Pengarang
mengangkat
kepercayaan
masyarakat toraja
mengenai hewan
yang dikorbankan
Ambe Masih pada rambu solo
akan menjadi
Sakit
kendaraan para
arwah agar tidak
tersesat menuju
nirwana
Helena harus
mengorbankan
sebagian besar
harta yang
dikumpulkannya
demi
melaksanakan
rambu solo
ambenya.
Pengarang
menyiratkan
pesan bahwa
masyarakat Toraja
memiliki budaya
tolong-menolong
dalam
pelaksanaan
rambu solo .
Bantuan yang
diberikan saat ini
kelak akan
kembali entah
dengan nilai yang
sama atau bahkan
91
Sebagai
keturunan
bangsawan,
pelaksanaan
rambu solo ibu
dari tokoh utama
tak boleh
dilaksanakan
Syair Duka secara
sembarangan,
terdapat aluk
yang harus
dipenuhi oleh
pihak keluarga
dan kerabat
Tedong
Bonga
untuk
Nenek
Melalui cerpennya
pengarang
menyampaikan
kepada pembaca
bahwa tanpa
keikhlasan dalm
memberikan
persembahan
arwah orang yang
telah meninggal
akan tersesat dan
tak akan sampai
ke nirwana.
Pengorbanan
dalam cerpen ini
dapat dilihat
pada saat Ibu Lai
tidak mengambil
warisan
bagiannya agar
anaknya tidak
meragukan
ketulusannya
saat
mengorbankan
tedong
kesayangan
anaknya itu.
Pengarang
secara tersirat
menyampaikan
bahwa tak perlu
mengeluarkan
begitu banyak
biaya agar
arwah tidak
tersesat menuju
alam baka.
Keikhlasan
pihak keluarga
sudah cukup
untuk
mengantarkan
arwah tersebut
Pengarang
menyampaikan
kepada pembaca
bahwa rambu
solo bukan
hanya mengenai
harga tedong
bonga yang
mahal, tapi juga
mengenai
ketulusan
keluarga dalam
menyelenggarak
an-nya
92
93
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah penjabaran di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Cara pandang, latar belakang dan pengetahuan pengarang sangat
memengaruhi pengarang dalam menafsirkan realitas sosial yang ada dan
mengonstruksinya menjadi realitas baru. Karena pengaruh-pengaruh
tersebut para pengarang membingkai realitas mengenai rambu solo
dengan caranya masing-masing. Pada penelitian ini, penulis melihat para
hampir semua pengarang dari cerpen yang menjadi objek penelitian ini
mengangkat masalah ekonomi yang dijadikan sebagai konflik yang
mendasari munculnya konflik-konflik lainnya. Dari sinilah penulis
menyisipkan nilai-nilai yang dipahami juga kritikan yang ditampilkan
secara tersurat maupun tersirat
2. Setiap pengarang ingin menyampaikan pesan dan nilai-nilai tertentu yang
disisipkan pada karya-karyanya kepada para pembacanya . Entah itu
bernada positif atau negatif, pengarang akan membangun sebuah
representasi tertentu dengan memanfaatkan nilai-nilai yang dipahaminya
berdasarkan realitas yang ada. Pada penelitian ini, hampir dari seluruh
cerpen yang menjadi objek penelitian ini menonjolkan rambu solo dari
sisi ekonomi dan nilai religiusnya, sehingga pembaca dapat dengan
mudahnya akan memahami rambu solo sebagai upacara adat yang
menghabiskan biaya yang begitu besar karena kesakralan dan aturan adat
94
melalui
tulisan-tulisan
yang
dibuatnya.
Pembaca
diharapkan tidak hanya menikmati sebuah karya dari sisi yang paling
ditonjolkan oleh pengarang saja
DAFTAR PUSTAKA
Aloysius. Dkk. 2012. Dukacita (Grief) pada Orang Toraja yang Melaksanakan
Ritual Pemakaman Rambu Solo. Skripsi Tidak Diterbitan. Semarang:
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Anggraini, Shinta Budi Widianingrum. 2012. Rasisme dalam Film Fitna (Analisis
Semiotika Rasisme di dalam Film). Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Veteran
Anggreini, Pratiwi Sulo. 2014. Tampilan Pesan Diri Kelompok PaBadong dalam
Upacara Rambu Solo di Toraja Utara. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Anonim. 2013. Laki-Laki Pemanggul Goni. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Aprina, Visia Puspita Rini. Wacana Raja Perempan Kraton Yogyakarta (Analisis
Framing Pemberitaan Mengenai Wacana Raja Perempuan Kraton
Yogyakarta di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat Periode 1521 Mei 2010). Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Atmajaya
Ariyani, Isma. 2014. Representasi Nilai Siri Pada Sosok Zainuddin Dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Framing Novel). Skripsi
Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
Azwar. 2014. Perlawanan Sastra dalam Cerpen Koran Indonesia.
Dialektika. Vol.1/No.1: 21-46
Jurnal
Utara. Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin.
Eriyanto. 2005. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Studi Pesan
Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Makara, Sosial
Humaniora.VOL. 8, No.1:21-32
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana
Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Kusniarti, Tuti. 2010. Teks Sastra Sebagai Media Komunikasi Antarbangsa
(Kajian Atas Novel Dari Fontenay Ke Magallianes Karya Nh. Dini).
Jurnal Bahasa dan Seni. Vol. 11, No.1: 49-55
Layuk, Agustina T. 2011. Makna Pesan Kada-Kada Tominaa dalam Acara
Rambu Solo dan Rambu Tuka di Tana Toraja
Melanie, Anindi Virda. 2011. Majalah Gogirl! Dan sikap remaja (Studi
Korelasional Pengaruh Rubrik Feature Majalah Gogirl! terhadap Sikap
Remaja Putri di SMA Swasta Harapan I Medan). Skripsi Tidak
Diterbitkan. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
Miranda, Yolla. 2010. Seutas Ganal. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET
Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
----------. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandunng:
Widya Padjajaran
----------. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Muslich, Masnur. 2008. Kekuasaan Media Massa. Bahasa dan Seni.Vol.36,
No.2: 150 158
Nurhatika, Eka Putri Septiana. 2014. Mitos Kunang-Kunang dalam Cerpen
Requiem Kunang-Kunang Karya Agus Noor: Analisis Semiotika.
diakses
pada
http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1343478301/upacara-rambu-solo
diakses pada tanggal 18 Mei 2015 pukul 01.30
http://www.wijanarko.net/2012/02/londa-kuburan-goa-alam-yangmenyeramkan.html diakses pada tanggal 18 Mei 2015 pukul 01.30
http://www.kaskus.co.id/thread/51129802db92487537000002/tana-matari-allo--tana-toraja/?ref=postlist-21&med=recommended_for_you diakses pada
tanggal 18 Mei 2015 pukul 01.30