Anda di halaman 1dari 23

CATATAN NGOBROL-NGOBROL DI FORUM TEATER

KAMPUS SURABAYA
disusun oleh :

Arung wardhana Elhafifie

Sumiyani yang berinisiasi dalam Parade Teater Kampus Surabaya 2020 di bulan
Juni yang akan mendatang; membuka acara, yang kemudian disambung dengan Nilam,
sebagai ketua pelaksana, dan dilanjutkan dengan obrolan ngalur ngidul yang dipandu
oleh Tio sebagai moderator.
TIO
 Kita butuh kader yang militan—kita juga kurang pewacanaan, lalu bagaimana
menjalankan teater dalam kampus. Inspirasi bisa dilihat dari lingkungannya masing-
masing—kemudian kita melakukan proses berpikir, yang dilakukan secara
berkesinambungan, dan bagaimana melihat keadaan di sekitarnya. Saya coba
mengorek Yusril yang mendapatkan residensi ke Banda Neira di pengujung tahun
2019 lalu untuk melihat atau membaca narasi-narasi ini, dan naskah dramanya
Menunggu Badai Reda.
YUSRIL
 Terlalu sering mengutarakan perang—Surabaya-sejarah, dan Surabaya. Kalau soal
residensi gak penting dibahas ya. Peperangan yang sering dibahas, padahal masih
banyak hal yang menarik dibahas. Kalau bicara peperangan, apakah ke depannya
akan terjadi perang?
TIO
 Bagaimana kita mendapatkan simpati dan empatinya?
YUSRIL
 Berbicara parade teater sebenarnya sudah bising dengan persoalan parade, saya
sudah sering ngobrol juga dengan Lubet yang tidak jelas juntrungannya. Maksudnya
parade ini seperti di sastra misalnya event-event festival sastra, sayembara, dll. karena
tidak punya dampak yang cukup penting juga untuk diproduksi.
 Menyadari kegelisahan yang berbeda, dan tidak mau terulang, terulang, maupun
terus terulang. Pertanyaannya adalah; bagaimana mengolah pertunjukan dari
lingkungan kampus? Karena itu kita coba sebaiknya mempertanyakan kembali.

1
Apakah teater masih penting dibicarakan? Kalau memang penting untuk apa kita
bicarakan?
SUMIYANI
 Kita sudah terlalu larut dengan istiqomah dengan ngopi-ngopi santuynya, apakah
tidak lebih baik digunakan dengan program bicara karya, diskusi, ngomongin
konsepsi penciptaan yang pernah dilakukannya di STKWS.
 Kita juga kadang larut dengan tepuk tangan, sering kali turut menonton pertunjukan,
yang lain tepuk tangan, bangun dari tidurnya ikut tepuk tangan, gak olle opo-opo
rek...
KANDA
 Soal tepuk tangan; siapa yang mengharapkan habis pentas, yang tidak ingin
mendapat applaus, tapi bagaimana cara kita dalam pencapaian tersebut?
SUMIYANI
 Tepuk tangan iku kadang menjebak; terkadang palsu, kebanyakan tepuk tangan itu
hanya sekadar ikut-ikutan saja. Makanya perlu kita olah supaya penonton iku tepuk
tangannya tulus, kemudian kita ngapain dengan ide dan gagasan tersebut?
YUSRIL
 Pertanyaan lainnya adalah; apakah hanya sebatas pentas?

SEBELUM PANGGUNG

Yusril Ihza F. A.

Terkadang kita (pelaku teater kampus) terjebak pada persoalan bentuk teater
apakah yang akan digarap. Namun lupa pada fenomena – peristiwa – permasalahan apa
yang sedang terjadi, dialami dan ingin disampaikan atau bahkan ditafsirkan secara kritis.
Karena ketiga hal itu yang akan membawa kita ke tahap kegelisahan. Pun kegelisahan itu
semacam konflik dalam diri atas pikiran dan hati. Kegelisahan itu juga akan
mengantarkan kita ke tahap awal yaitu simpati. Pada keadaan simpati itulah yang
dikatakan kegelisahan yang terbendung dalam benak dan yang akan menggerakan diri
menuju empati, sedangkan empati tersebut dapat berupa tindakan apapun yang salah
satunya dalam bentuk ide-ide kreatif dimana yang akan dimunculkan adalah sebuah
pergerakan dengan media seni terkhusus teater.

2
Ketika ada keinginan untuk menuju sesuatu berupa abstraks atau ide-ide kreatif
maka diperlukan suatu pembacaan ulang atas fenomena – peristiwa – permasalahan yang
sedang terjadi sehingga pembacaan ini akan menimbulkan keingintahuan terhadap
sesuatu. Keingintahuan inilah yang akan mengantarkan untuk membaca apapun yang
berkaitan dengan keingintahuan kita, salah satunya adalah membaca buku, jurnal, esai,
karya sastra, koran, majalah porno, cerpen dewasa, lingkungan sekitar dan sebagainya.
Membaca kata Octavio Paz, lawan dari pemborosan atau penghambur-hamburan waktu;
kegiatan membaca merupakan konsentrasi mental dan moral yang menuntun kita ke
dunia yang tidak atau belum kita ketahui. Dunia yang sedikit demi sedikit
memperlihatkan diri mereka sebagai tanah air yang lebih tua dan lebih besar: seolah kita
datang dan berasal dari sana. Membaca adalah menemukan jalan-jalan setapak yang tak
diharapkan sebelumnya, yang menuju pada diri kita sendiri. Artinya, untuk
memunculkan ide-ide kreatif yang diinginkan, kita harus melakukan pembacaan atas hal-
hal yang ingin kita ketahui dari situlah dapat dinamakan pengalaman membaca dan
dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran.

Dari proses belajar itu nantinya kita akan menemukan hal baru, hal yang bertolak
dari apa yang kita pikirkan sebelumnya sehingga muncul konsep penolakan terhadap
sesuatu yang disebut dengan berpikir kritis. Berpikir kritis ini adalah pondasi awal yang
dibutuhkan bagi seorang seniman sebelum ia menuangkan ide-ide kreatif ke dalam satu
bentuk kesenian khususnya teater, agar kita tidak lagi sekadar memindahkan peristiwa di
atas panggung namun lebih kepada mempertanyakan atau menyikapi peristiwa di luar
dan di dalam panggung.

Alih-alih Octavio Pas, juga mengingatkan bahwa banyak dari mereka lupa
terhadap realitas yang berbeda-beda akan membutuhkan metode-metode yang berbeda-
beda dan kriteria-kriteria yang berbeda pula. Kita sering luput dari pemikiran bahwa
teater kampus adalah proses belajar dan memperjuangkan, tentu saja memperjuangkan
ilmu pengetahuan masing-masing dari konsentrasi bidang keilmuwan setiap mahasiswa.
Akan sangat menarik jika naskah Dukun-dukunan saduran Putut Buchori digarap oleh
mahasiswa kedokteran, RT 0-RW 0 karya Iwan Simatupang digarap oleh mahasiswa ilmu
sosial, Menunggu Godot karya Samuel Becket digarap mahasiswa filsafat, Julio Caesar
karya Shakespeare digarap mahasiswa bahasa jawa dengan pendekatan ludruk dan
ketoprak, atau Mangir karya Pramodya Ananta Toer digarap mahasiswa sastra, maka

3
pertunjukan bukan sekadar sebagai bahan onani namun ada proses belajar dan
perjuangan ideology keilmuan di luar dan di dalam panggung dengan pendekatan bidang
keilmuan masing-masing.

Akhirnya kita akan semakin sadar bahwa Drama dan Teater itu tidak sekadar
kesenian panggung tapi lebih kepada produksi ilmu pengetahuan, sehingga masing-
masing dari kita sebagai seniman kampus tidak menjadi seorang pembohong bagi diri
sendiri terlebih orang lain melalui media seni pertunjukan. Berangkat dari kesadaran
tersebut, pun kita akan semakin memahami bahwa pentingnya identitas, latar belakang,
tujuan dan fungsi sebagai gagasan dasar atas apa yang akan kita lakukan ke depan.
Selebihnya, kita akan mulai bisa menjawab pertanyaan yang sering kita dengar dan agak
serius seperti; Mengapa dan untuk apa sebenarnya kita berteater? Seketika itu pula kita tidak
akan lagi menjawab pertanyaan itu dengan kalimat basi yang menghibur sekaligus
membodohkan seperti; Karena sebagai pemuda kita wajib melestarikan budaya Indonesia, negeri
kita tercinta. Itulah bulshit yang menempel menjadi benalu di kehidupan kita sehari-hari,
terkhusus pada urusan kesenian – teater tentunya.

TIO
 Menjawab pertanyaan pertanyaan di atas; kira-kira apa menurut Mas Arung,
bagaimana pendapatnya?
ARUNG
 Sebelumnya saya mau bilang cukup deg degan juga berada di antara temen-temen,
karena saya bukan orang Surabaya asli, yang tidak tahu betul historis dari forum ini.
Sekalipun saya kuliah teater di STKWS sejak 2013 lalu. Berbicara gagasan atau ide?
Atau berbicara gagasan dan ide? Apakah perbedaannya gagasan dan ide? Atau
memang gagasan atau ide? Ini bukan untuk mencari kebenaran. Hal yang paling
penting kita kurang melacak atau mencari data. Saya mendapatkan hasil melacakan
melalui wikipedia; gagasan atau ide merupakan entitas mental—perwakilan mental,
konsep abstrak yang tidak mewakili gagasan mental, suatu objek dari sebuah konsep
abstrak. Lalu berdasarkan etimologi; rancangan yang tersusun, dari perasaan yang
benar-benar menyelimuti pikiran.
 Kalau kita merujuk wikipedia sebagai bahan lacakan, berarti ada problem mengenai
pengecekan di lingkungan sekitar kita. Padahal internet sangat dekat dengan kita.
Kenapa tidak melakukan pengecekan? Berarti kita sedang bermasalah dengan
4
lingkungan kita, dan bagaimana caranya menyelesaikan masalah tersebut? Bukan
langsung serta merta menyalahkan. Atau kita kesampingkan dulu internet kita,
berarti sosial media dengan sendirinya dikesampingkan juga, jangan-jangan sosial
media lebih asyik ketimbang nonton pertunjukan? Atau mengecek status orang di
whatsapp lebih keren ketimbang mengecek hal lainnya di beberapa sumber lainnya
selain wikipedia???
 Ketika bicara ide atau gagasan, kita sering kali berhubungan dengan tujuan atau
keinginan. Sangat beriringan dan beririsan. Pertanyaannya muncul lebih dulu mana
keinginan atau tujuan ketimbang ide atau gagasan tersebut? Ketika ide muncul,
terkadang sering kebingungan, mau diapain ide tersebut? Tapi ketika muncul
keinginan atau tujuan mau ngapain, biasanya ide atau gagasan mengikuti. Bukan
berarti saya menyimpulkan bahwa lebih dulu keinginan ketimbang gagasan atau ide,
karena keduanya saling berhubungan antara satu dengan lainnya membentuk satu
mata rantai yang kuat. Karena ada juga ide atau gagasan dihadirkan tidak punya
keinginan apa pun; mungkin.
 Apakah tujuan atau keinginan dari ide atau gagasan tersebut? Apakah kita hanya
menarasikan saja atau menggelar data, atau kita coba memprovokasi, atau kita coba
berpikir kritis, atau kita coba mendeskripsikan, atau kita mempresentasikan, atau kita
merepresentasikan ide atau gagasan tersebut ke hadapan publik, atau
mengargumentasikan, mendekonstruksi, dan lain sebagainya yang bisa kita lakukan,
yang penting kita sangat memahami mau ngapain dengan ide atau gagasan tersebut.
 Sekali lagi saya ingin menekankan obrolan ini bukan satu kemutlakan, ini hanya
informasi atau semacam dokumenter beradasarkan pengamatan saya untuk
melaporkan dan mereview ingatan bahwa di beberapa kota sedang ada pertunjukan
semacam ini; tergantung apakah kita berdiam diri di tempat dan sibuk
mempermasalahkan teknik, atau kita mengikuti perkembangan sesuai dengan
interpretasi kita, karena kita sudah dijejali dengan banyaknya info pertunjukan
melalui banyak situs internet melalui beberapa platform di dunia seperti di Jepang,
Jerman, Belgia, dan Canada, maupun Amerika Serikat; atau memang asyik bahwa
tiktok, instagram, instastory lebih menarik dari pada pertunjukan? Kalau memang
demikian, have fun ae, muantaplah pokoknya. Karenanya saya menulis saja yang juga
bingung mungkin bagi pembacanya, atau karena pada saat berbicara terkesan satu

5
kemutlakan, padahal tidak ada keinginan ke sana sama sekali. Jadi sebelumnya
mohon maaf.

BON UTANG, TIKTOK, WHATSAPP, CHATAN PACAR, DAN INSTAGRAM


SEBAGAI ARSIP*
Arung Wardhana Ellhafifie

Ekosistem (terdekat pun) Menjadi Ide; Ide Sangat Dekat


Saya mengawali tulisan ini dari teks pertunjukan yang berangkat dari ekosistem
(terbatas, kalau boleh saya menyebutnya) sebuah komunitas, yakni Artery Performa; yang
ditulis oleh Dendi Madiya, sutradara yang sudah beberapa kali bekerjasama dengan para
performer dari Filipina, Jepang, Taiwan, dan lain-lain; Struktur Rumah Tangga Kami yang
ditulis pada tahun 2013 lalu, dan memenangkan Festival Teater Jakarta 2013 (kota
administrasi Jakarta Timur).
Tidak betah di rumah.
Mencari rumah kemana-mana, membuat rumah di mana-mana, ingin menemukan
diri sendiri.
1.
Sebuah bantal tergantung. Merah dan kempes.
1.
Keluarga berbayang-bayang dari kejauhan. Foto-foto keluarga dari bermacam-
macam jenis keluarga. Keluarga kaya, keluarga miskin, keluarga tanpa ‘ayah’, serta
foto pernikahan sepasang mempelai. Foto masa kanak-kanak. Foto sebuah keluarga
yang sedang rekreasi, arisan keluarga besar. Kebahagiaan, kemuraman, tekanan-
tekanan dalam keluarga. Gambar seorang bocah dengan seragam mau berangkat
sekolah untuk pertama kalinya.
2.
Pertengkaran keluarga lewat piring-gelas, panci dan wajan yang berisik. Para
pemuda berteriak dan mengeluh.
“Mau makan mau tidak, terserah aku.”
“Aku ingin masuk IKJ, kalo tidak-aku mati.”
“Rumah ini tidak dijual.”
“Masa aku belajar melulu.”
“Aku sedang tidur.”
“Aku tak berkembang di kampungku sendiri.”
“Mari aku tato.”
“Aku tidak pulang lebaran ini.”
“Mama mengajakku ke Taman Surapati.”
3.
Para pemuda membangun rumah. Satu per satu. Membangun kursi, menyusun
meja.

6
Ruang tamu adalah dapur adalah kamar adalah pekarangan. Para pemuda duduk di
ruang tamu untuk bergerak ke ruang lain. Tetapi perbincangan, persoalan, serba
tertukar dalam ruang-ruang yang berbeda itu.
Lalu tertidur dalam sarung.
........
.........
Dst....

Keinginan Dendi Madiya membaca ekosistem sanggarnya dalam praktik


penciptaan;
Saya ingin mengakrabi kenyataan keseharian yang saya alami, yang dialami oleh
teman-teman saya dan orang lain. Yang saya hadapi, saya dengar, saya lihat, begitu
pula yang dihadapi oleh teman-teman saya, yang mereka dengar, yang mereka lihat,
yang dirasakan dan dipikirkan. Saya ingin mendalami pengamatan terhadap sekitar
saya, bagaimana dia terasa dalam lubuk emosi, bagaimana dia memantulkan pikiran
dalam benak saya. Sering kali saya mendapatkan perasaan-perasaan dramatik
tentang kegetiran-kegetiran, kegentingan-kegentingan tentang bagaimana menjadi
seseorang dalam kesehariannya. Saya jadi ingin membekukan peristiwa-peristiwa itu
untuk menangkap, merasakan segelintir moment kehidupan. Untuk
merenungkannya sejenak. Dan aku merasa yakin bahwa ini adalah bagian-bagian
yang sudah digariskan buat teater. Teater dan kembarannya (lih. Antonin Artaud:
Teater dan Kembarannya, terjemahan Max Arifin, Surabaya, 2009), kehidupan dan
teater. Aku ingin mengangkat semua itu ke dalam teater. Untuk menatap dan
membenturkan kembali, sejauh mana kenyataan telah berjalan. ...untuk bisa
membunyikan kembali kenyataan melalui teater...Tentang tubuh kita, tentang pakaian kita,
tentang bagaimana kita berbicara, berjalan, berdiri, menyatakan kesunyian dan kematian
melalui teater (lih. Afrizal Malna: Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata,
Yogyakarta, 2010).
Teman-temanku rata-rata berusia muda. Mereka mempunyai semacam hasrat
keberanian untuk memprotes kondisi keluarga, kondisi sosial dan negara tetapi
dukungan untuk mereka tidak mengalir, menemui hambatan-hambatan atau
mengalami penggembosan. Mereka tidak betah di rumah, mencari rumah kemana-
mana, membuat rumah di mana-mana, ingin menemukan diri sendiri.
Apakah yang terjadi di dapur? Apakah yang terjadi di ruang tamu? Di kamar? Dan
di ruang-ruang lain? Pekarangan, ruang tengah, ruang keluarga, dapur, kamar
mandi, halaman belakang, gudang, garasi...
Ekosistem yang bisa dipahami sebagai sistem ekologi yang saling berkaitan antara
satu sama lainnya dan saling berintegrasi, sehingga saling memengaruhi antara satu
dengan lainnya (lih. wikipedia), sehingga menjadi mata rantai yang tak terpisahkan
dengan apa saja yang terjadi di lingkungannya. Misalnya yang dilakukan Dendi Madiya;
secara tidak langsung ia berkeinginan untuk saling berkait dalam ekosistemnya sekalipun
anggota komunitasnya penuh dengan keterbatasan dan mengalami banyak problem, tapi
juga tetap harus tumbuh dan berkembang bersama-sama. Yang bisa dilihat ulasannya

7
melalui link; https://31oktober.wordpress.com/2013/12/20/struktursidendi/, bisa
dilihat pertunjukannya di link ini; https://www.youtube.com/watch?v=-DbuzXNRwho
(Struktur Rumah Tangga Kami-structure of our household), dimana Ferdi Firdaus
(kritikus teater) menyebutnya; https://31oktober.wordpress.com/2020/01/15/9-
pertunjukan-teater-terbaik-di-jakarta-dekade-ini/ (9 Pertunjukan Terbaik di Jakarta
dekade sepuluh tahun terakhir ini).
Praktik kerjanya yang hampir sama dengan Struktur Rumah Tangga Kami, bisa
dilihat melalui link ini yang juga disutradarai Dendi Madiya,
https://www.youtube.com/watch?v=liVwZMCidl8 (Dunia Asam Basa - The acid-base
word), sekelompok anak SMA bicara soal sekolah; kenapa tidak ada kurikulum yang tepat
buat kita? Bagaimana dengan ayah? Ayah mencari kamu untuk membentuk kamu di luar
dirimu. Bagaimana dengan ibu? Di sekolah, ilmu pengetahuan sosial seakan pilihan yang
tidak penting. Kita sudah berhadapan dengan dinding tebal sejak dari pintu gerbang...dll.,
yang bisa berangkat dari hubungan timbal balik sistem ekologi. Artinya ide tidak jauh. Ide
bisa sangat dekat, ketika sangat memahami apa artinya hubungan keterkaitan antara satu
dengan lainnya. Bahkan Dendi Madiya mempraktikkan kerja ekosistem digital untuk
merespon hiruk pikuk digitalisasi pada opening FTJ 2017 (kota administrasi Jakarta
Timur); bagaimana membocorkan instagram masing-masing anggota komunitasnya
untuk menceritakan status, instastory, upload foto maupun video—melalui screen, dimana
Dendi Madiya semacam petugas digital yang menginterogasi (berada di kursi, meja tepat
sisi kiri depan screen), yang kemudian selingannya adalah menyanyi yang mana Dendi
Madiya memang menyukai nyanyi bagian dari bakat lainnya. Semacam mirip melihat
pencarian bakat yang ada di tv-tv (yang saya lihat watak kerjanya) dimana Dendi Madiya
sebagai juri tunggal di sana. Dendi Madiya menyadari betul keterkaitan ekosistem digital
yang dekat dengan anggota sanggarnya yang tidak serta merta dilupakan begitu saja.
Namun ia sangat merespon dan menyadari keterhubungan tersebut.
Selain itu, Budi Yasin Misbach (Teater Alamat) juga mempraktikkan kerja
ekosistem di sebuah kompleks yang ditempati dan ditinggali, yang kemudian membuat
naskah drama bagaimana kesehariannya mereka, yang akhirnya dimainkan oleh
penghuni kompleks tersebut, yang bisa dilihat melalui link ini;
https://www.youtube.com/watch?v=5DmtDkWZLQQ (Djakarta Teater Platform 2019-
Teater Alamat (Setengah Komplek-X) yang masuk pada site-spesific teater (lih. DKJ: Teater
Enter Don’t Forget Tukang Sayur, Jakarta,2020). Atau praktik kerjanya Nofi Arianto
8
(Sutradara Teater Racun Tikus, mahasiswa STKWS) yang memulai idenya dari objek-
objek yang dilihat di sekitar STKWS seperti barang-barang rongsokan (bekas jurusan
teater, seni murni yang tak terpakai) sehingga bisa mempraktikkan naskah drama Usmar
Ismail Ayahku Pulang, bisa berbeda dari lainnya yang bisa dilihat melalui link ini;
https://www.youtube.com/watch?v=CxPxTECXpHo&t=1050s (Ayahku Pulang, Teater
Racun Tikus STKW Surabaya). Setiap karya yang sudah ada sebelumnya seperti naskah
dramanya Arifin C. Noer, Samuel Beckett, Harold Pinter, Eugene Ionesco, Afrizal Malna,
Ibed Surgana Yuga, Nano Riantiarno, WS. Rendra, dll, ataupun naskah yang lahir dari
sayembara menulis naskah drama (yang diadakan DKJT 2018 lalu) maupun workshop
dan studi riset seperti naskah yang tergabung dalam buku (Cut Out: Deradikalisasi Makna,
2017), (Bengkel Penulisan Naskah Drama, 2013), dll., yang bisa dilakukan dengan metode
adaptasi sesuai dengan ekosistem terdekat seperti apa yang dilakukan Nofi Arianto (kalau
hadir bisa menceritakan praktik kerjanya nanti).
Ada juga praktik kerja Shohifur Rido’i (Roka Teater, Yogyakarta/Sumenep) yang
memulai penciptaannya dari ekosistem (dalam studi riset); kethek ogleng dan
pertunjukannya semacam presentasi mata kuliah atau semacamnya (dengan microphone
dan model screen) berdasarkan data-data riset, yang bisa dilihat melalui link ini;
https://www.youtube.com/watch?v=3RYAxsGKsVk (Otobiografi karya Roka Teater-
Pekan Teater Nasional 2019), dan ulasan Benny Yohanes (kritikus teater) bisa dilihat
melalui link ini;https://www.rokateater.com/2019/10/resonansi-tradisi-produksi-
pengetahuan.html. Artinya dari ekosistem apapun supaya saling memiliki hubungan
timbal balik dua arah, bisa menjadi sebuah ide yang sangat dekat. Tinggal bagaimana
memperlakukannya data-data yang sangat dekat dengan lingkungan kita, tergantung apa
yang diinginkan kita dalam melihat ekosistem tersebut supaya sangat fungsional antara
satu dengan lainnya.

Bagaimana Metode Kerja dalam Membaca Ekosistem?


Ekosistem bisa berupa lingkungan apa saja di mana kita hidup dan tinggal. Sebut
saja; sanggar atau komunitas, rumah keluarga, rumah kos, rumah kontrakan, kantor,
apartemen, rumah susun, tempat pembuangan sampah, tempat nongkrong, warung kopi,
sekolah, hingga kampus. Berbicara kampus tentu saja ada kampus jurusan; teknik,
audiovisual, TIK & robotika, kedokteran umum, filsafat, sastra, kedokteran hewan,
kedokteran gigi, ekonomi, agama, desain komunikasi visual, kesehatan masyarakat,
9
arsitektur, seni, dan lain sebagainya yang bisa dijadikan data (arsip) penciptaan sebagai
praktik kerjanya. Saya mengambil contoh; kampus kedokteran umum tentu saja berkaitan
dengan stetoskop, endoscopy, colonoscopy, X-Ray, laparoscopy, elektrokardiografi, cek
darah - yang bisa menjadi arsip untuk melakukan praktik penciptaan. Kampus jurusan
arsitektur akan berkaitan dengan sketchbook A3, pensil, drawing pen, pensil warna,
penghapus, tabung gambar, arsitektur kota, fotografi, arsitektur etnik, dll. Kampus
jurusan desain komunikasi visual akan berkaitan dengan drawing pen, cat poster, kertas
aquarel, cutting mat, drawing bag, desain, ilustrasi, desain web, media interaktif, dll.
Kampus jurusan TIK dan Robotika akan berkaitan dengan; elektronika analog,
mikrokontroler, elektronika digital, embedded system, laboratorium robotika, mesin las
robot, operator programer, dll. Semuanya itu menjadi arsip yang dimiliki masing-masing
ekosistem untuk mereproduksi pengetahuan melalui pertunjukan, tinggal bagaimana
memperlakukannya?
Metode bisa dilakukan dengan cara memindahkan dan menempatkan, atau bisa
dilakukan dengan cara lainnya seperti menggabungkan antara keduanya, atau pilihan lain
(bisa ditawarkan seperti copy paste, reenactment, dll.). Memindahkan arsip-arsip di atas
ke dalam sebuah pertunjukan bisa berupa presentasi, dan representasi. Menempatkan
arsip-arsip di atas bisa berupa adaptasi naskah drama yang sudah ada sebelumnya,
dekonstruksi naskah, atau membuat naskah berdasarkan arsip-arsip dalam ekosistemnya
masing-masing. Lalu mengcopy paste, reenactment bisa melakukan reka ulang segala
macam peristiwa yang terekam di realitas ke atas panggung atau juga mengcopy paste
(juga dilakukan Dendi Madiya pada Underscore: Copy Paste Sae) dan mereenactment; video
pertunjukan, video presentasi, video dokumenter, dll.
Dalam model presentasi (semacam talkshow di televisi, sales marketing,
pedagang di bus-bus kota, presentasi tugas atau skripsi); ekosistem kampus jurusan
kedokteran bisa mempresentasikan hal-hal yang berhubungan dengan kedokteran yang
dimaksud (berdasarkan risetnya) seperti yang dipraktikkan Shohifur Ridho. Lalu model
representasi bisa dilakukan dengan cara yang dilakukan Dendi Madiya; ekosistem jurusan
desain komunikasi visual atau arsitektur bisa membocorkan suasana keseharian dalam
praktik belajar mengajarnya (melalui screen atau youtube, panel, hape, laptop), termasuk
pelajaran-pelajaran arsitektur kota, sejarah arsitektur layaknya di keseharian yang
mungkin bisa dikritisi. Misalnya ketidaksukaan pada cara mengajar dosen atau
pandangan dosen tentang arsitektur bisa juga diungkapkan dalam representasional.
10
Begitu juga dengan ekosistem kampus jurusan TIK dan Robotika; bisa dilakukan dengan
presentasi, layaknya sebuah teater film dokumenter, teater sinematografi (seputar praktik
kerja robotika dengan segala macam problemnya), kemudian aktor tinggal
merepresentasikan dengan gerak pada adegan-adegan dari film dokumenter atau
sinematografi tersebut sesuai dengan visi dan misinya.
Contoh lainnya; saya yang hidup dalam ekosistem rumah kosan yang dihuni lima
orang semuanya rata-rata masih relatif muda, antara 20-23 tahunan, cuma saya yang
paling tua (jauh di atas mereka), ada mahasiswa S1 dan S2, ada juga yang kerja, terkait
dengan berbagai macam arsip. Seperti; sampah yang berantakan seperti botol minuman
menumpuk, lantai permukaan yang kotor, WC yang bau, bon utang tiap penghuni kos,
cicilan motor dan barang elektronik, main tiktok setiap iseng, ngerumpi chatan pacar, dan
sibuk lihatin instagram (kepoin penyanyi dangdut yang bokongnya gede, cewek-cewek
yang eksploitasi paha mulus), ngegosipin para youtuber yang semok, dan lain-lain. Ini
jelas menjadi arsip. Akhirnya saya kepikiran untuk melibatkan keseharian ini ke dalam
pertunjukan. Saya pun pelan-pelan mulai merekam setiap obrolan melalui hape, yang
kemudian memotret keseharian ini, merekam dengan kamera video, serta mengumpulkan
arsip itu sebagai data dalam satu folder. Saya pun coba mengambil watak kerja studio
talkshow dengan mengumpulkan arsip-arsip tersebut. Artinya saya melakukan presentasi
sekaligus representasi. Saya juga menempatkan sekaligus memindahkan, yang juga
berpeluang menjadi praktik lainnya seperti reka kejadian.
Kita pernah melihat talkshow di youtube atau di tv? Nah semacam itu visual
pertunjukannya; yang juga menggunakan naskah drama ataupun teks pertunjukan. Saya
coba menyatukan dua metode tersebut ke dalam pertunjukan nanti. Kira-kira seperti ini
naskah drama/teks pertunjukannya;
Ada tiga kamera ketika memasuki gedung. Di depan sudah ada layar, kursi
layaknya talkshow ala tv maupun youtube. Penyanyi dangdut seksi mengiringi
penonton yang masuk ke dalam gedung. Di layar; bon-bon utang (status tagihan,
chatan kasar yang nagih), chatan pacar yang protektif (ngancem-ngancem putus,
minta ini, minta itulah), obrolan-obrolan ringan dalam keseharian di kosan, sedang
lihatin youtube, bersiin WC bareng-bareng, ngobrolin bokong dan lain-lain ada di
layar. Ada saya, dan temen-temen kosan saya muncul layaknya host pakek
microphone dan ngobrol aja.
1.
Kamera menangkap wajah kita masing-masing sesuai dengan switcher yang
dikontrol switcher man/women.

1.
11
Ngobrolin keseharian seputar bon utang, chatan pacar, tiktok, maupun dman
maupun status instagram yang dibongkar (dibocorkan). Mungkin salah satu di
antara saya dan temen-temen merespon arsip-arsip tersebut dengan berbagai macam
gerak, ekspresi; sedih, kusut, stres, berbagai macam gerak yang direspon oleh
masing-masing yang punya arsip tersebut atau meniru laku yang ada di arsip foto
maupun video yang ditampilkan (lih. https://www.youtube.com/watch?
v=UFsh5RAX8cM (Archive /Arkadi Zaides /Kunstenfestivaldesarts 2015),
https://www.youtube.com/watch?v=3hZW25c9Ulg (Arkadi Zaides – Archive).
2.
Saya punya naskah drama (tersusun) seputar tokoh-tokoh yang terkait dengan
problematika tersebut. Misalnya bon utang; berkaitan dengan temen temen yang
nagih secara kasar dimana saya jadi tokoh, atau pacarnya yang over protektif, lihat
status instagram yang jual paha saja kemudian direpresentasikan melalui naskah
yang tersusun konflik, penajaman konflik hingga penyelesaian (saya dan teman-
teman memainkan naskah ini dengan cara parodi, atau sebagai reka adegan yang
bisa dilihat dari arsip candid kamera atau CCTV yang sengaja dipasang di kosan.
Catatan; saya akan pakek microphone yang berpengait antara telinga dan mulut.
3.
Membahas seputar sikap masing-masing dari naskah drama tersebut; misalnya saya
tuh males kalau ngeladenin temen-temen yang nagih utang secara paksa, soalnya
kan bikin emosi. Yang kemudian dipresentasikan kembali oleh teman-teman kos
saya (kayak talkshow banget).
5.
Testimoni orang-orang yang berhubungan dengan saya; dimana mereka gak tahu,
istilahnya ngeprank (artinya saya menjadi protagonis), gak tahunya (diprank balik
sama temen-temen kos saya), yang sebenarnya naskahnya sudah tersusun (bisa juga
tidak tersusun sebelumnya bagian ending kalau niat ngeprank).
....

Arsip-arsip ini yang berasal dari mana saja (foto, video, kenangan mantan,
catatan, tulisan, buku, artefak, bon makan di restoran, bon hotel, rekaman suara, dll.) bisa
dipahami sebagai satu hal yang terekam karena terjadinya peristiwa, kejadian, yang
terlihat, tersimpan, terkenang untuk menjadi satu ikatan dalam satu ekosistem tertentu.
Dan bisa menjadi produksi pengetahuan bagi yang melihatnya. Bisa dipraktikkan dengan
kerja kolaboratif dengan hal lainnya seperti media teknologi (kamera, sound recorder,
aplikasi internet, CCTV, dll.), yang berpeluang menjadi teater lintas media, teater arsip
(lih. DKJ:Teater Enter Don’t Forget Tukang Sayur, Jakarta, 2020). Tetapi arsip dalam
ekosistem teater kampus juga bisa dimulai dengan membuat naskah drama pada
umumnya, dialog-dialog yang tersusun hingga matang secara pertunjukan seperti yang
dilakukan Budi Yasin Misbach. Atau caranya Nofi Arianto dengan menggunakan naskah
(kanon) kita lainnya seperti tulisan Armin Pane, D. Djaja Koesomo, Abu Hanifah, Aoh
Kartahadimdja, Inoe Poebasari, Idroes, dll; yang didekatkan dengan ekosistem terdekat

12
kita. Tetapi nantinya juga jangan terlalu dipaksakan kalau suara tidak sampai ke belakang
penonton. Jangan sungkan-sungkan memakai microphone berpengait, atau mic
kondensor di sekitar panggung yang bisa memungkinkan suara-suara itu terdengar jelas.
Bahkan kalau memang malas menghafal naskah, bisa dilakukan dengan cara
penggabungan antara film atau panggung; bahkan di satu pertunjukan berdasarkan cerita
Afrizal Malna (komite teater DKJ saat ini), aktor dengan enteng bisa menunjukkan di
screen dialog tokohnya, kemudian aktor bilang; itu dialog saya...karena saking
panjangnya. Apakah itu tidak bisa dikatakan teater? Lagi-lagi kita lihat teater hari ini
seperti apa ya perkembangannya? Apakah terlalu pusing memikirkan kalau nantinya
tidak disebut teater; jadi ingat tesis penciptaan saya, Teater Kalau Bukan Teater: yang
menempatkan praktik seni rupa (pameran), videografi, film dokumenter, aktivitas pada
teater saya nantinya.
Tapi kalau memang mau bersungguh-sungguh latihan vokal secara baik dan
benar pun tidak jadi masalah tentu dengan pembimbing yang mengerti teknik secara baik
dan benar. Kemudian kita lacak kembali; lebih menarik mana ya pertunjukan kita dengan
tik-tok? Lebih menarik mana pertunjukan kita dengan face app di instagram? Lebih
menarik mana pertunjukan dengan youtuber-youtuber prank, dangdut, lagu indie, dll?
Barangkali yang paling penting kita sadar dari ekosistem kita, mau ngapain dengan
pertunjukan kita supaya saling terjadinya mata rantai yang saling berpengetahuan antara
satu dengan lainnya.
TIO
 Ide jadi sangat dekat menurut pengamatan mas Arung, dan bagaimana kita melihat
lingkungan sekitar kita.
NOPEK
 Teater bagi saya, bagaimana cara kerjanya—kalau memang seni saya artikan sebagai
perlawanan, apa yang saya coba lakukan terhadap naskah Usmar Ismail; Ayahku
Pulang.
 Apakah yang terjadi hari ini? Apakah penjahit bisa bertahan hidup? Pertanyaan ini
yang saya coba kerjakan untuk menjawab semuanya.
 Rongsokan yang saya pilih bukan hanya plastik, kertas-kertas, dan sampah-sampah
yang ada di sekitar STKWS, tapi saya lebih memilih besi; besi yang sifatnya keras dan
tentu berhubungan maksud dan tujuan dari pertunjukan saya. Kemudian kita coba
tanyakan, kenapa saya memilih besi? Dan kita mau pentaskan di mana?
13
 Teater menurut saya lagi-lagi cara kerja, bukan cuma kerja keras, tapi bagaimana
bersungguh-sungguh. Termasuk pada kerja saya terhadap lakon Sarip Tambak Oso;
seni adalah perlawanan bagi saya, maka saya coba melakukannya dengan coba
membuka riwayat hidup yang saya jalani bersama teman-teman. Yang tentu kalau
tidak dibantu dengan teman-teman artistik dari seni rupa dan teater, saya juga tidak
dapat bekerja. Nah di sinilah hubungan timbal balik dari sebuah lingkungan hidup di
kampus STKWS tercinta ini.
 Dan biasanya saya bekerja melalui objek-objek dulu; melihat lingkungan sekitar kita,
kalau memang hidupnya lebih sering di kampus, maka saya coba merespon benda-
benda yang ada di sekitar kampus saya misalnya STKWS, bagaimana saya coba
meresponnya untuk mendapatkan hasil pentas yang matang dan maksimal.
TIO
 Kematangan pementasan; saya garis bawahi, dan saya melihat teater institut selalu
berada di wilayah itu. Mungkin dari teater institut bisa berbagi praktik kerjanya.
KHOLIS
 Apakah teater tidak lepas dari pengetahuan? Apakah hanya yang dikedepankan
berlomba-lomba untuk pentas? Apakah pentas hanya diproduksi tanpa pengetahuan?
Ini pertanyaan-pertanyaan yang sering kami olah bersama, dan kita dengan
sendirinya kita menyadari bahwa pentas hanya digerakkan keinginan hanya sekadar
pentas. Padahal tidak hanya melihat hal tersebut.
 Pentas juga bukan persoalan bagus dan tidak, maka muncul dan perlu dipikirkan ide-
ide baru; bagaimana kita melihat naskah RT Nol RW Nol karya Iwan Simatupang
dengan gagasan-gagasan yang baru? Maka kita harus berpikir, kita coba
mendiskusikan dari hal-hal yang terkecil, kenapa ini warnanya biru, bukan merah,
kita sesering mungkin mengolah ide itu menjadi bahan obrolan dan diskusi yang
terus berkesinambungan.
 Saya melihat pertunjukan di Festival Teater Jakarta; pertunjukan sudah menjadi hal
yang mendarah daging, sebagai aktivitas yang sangat aktif dengan respon-respon dari
lingkungan yang terdekat.
TIO

14
 Ketika bicara arsip yang dibicarakan mas Arung seperti tiktok, foto, video, bon utang,
benda-benda artefak, chatan pacar, bonan hotel, dan lain-lain; tentu tidak lepas dari
puisi, lagu, atau postingan apa saja yang beredar di sosial media.
ARUNG
 Apakah kita menyadari bahwa ekosistem kita sudah bergeser, hubungan timbal balik
dari sistem ekologi kita sudah bergeser? Penelitian atau pembacaan Mas Afrizal
Malna (komite teater Dewan Kesenian Jakarta/penyair); melihat bahwa banyak
komunitas teater sudah ditinggalkan aktornya, bahkan juga yang gak ada
sutradaranya, dan anak-anak zaman saiki sudah malas menghafal naskah. Bahkan
Mas Afrizal Malna cerita di Berlin; ketika aktor tidak hafal, ada screen ditulis dan
penonton melihat sepanjang itu, kemudian aktor cuma bilang; itu dialog saya.
 Ketika kita melihat pergeseran tersebut, apakah kita tidak mencoba untuk
meresponnya kembali untuk mencari kemungkinan hal tersebut?
 Kita juga bisa melacak naskah-naskah kependudukan Jepang, yang mana Dewan
Kesenian Jakarta komite teater membuat program 3,5 tahun bekerja, dan kita jadi tahu
bahwa ada naskah-naskah masa tersebut, seperti Usmar Ismail, D. Djaja Koesomo,
Abu Hanifah, Aoh, Kartatahadiharja, Inoe Porbasari, maupun Idroes, serta Armin
Pane “Kami Perempuan”, Merayu Sukma “Pandoe Pertiwi”, dan Tjitji Kaeroe (ajahkoe
poelang) karya Kitkoeji Kwan. Maksudnya sebuah event ada pengetahuan dalam
hiburan sekalipun. Yang sebelumnya tidak tahu, menjadi tahu. Apakah parade teater
kampus hanya menggelar acara pentas saja? Apakah pentas yang akan memberikan
pengetahuan lain di dalamnya secara tidak langsung?
 Dewan Kesenian Jakarta dalam programnya selalu membuat katalog dan buku
laporan program yang dapat diakses siapa saja, sehingga teks-teks yang
diinformasikan menjadi rekam jejak yang penting hingga akhirnya disatukan menjadi
sebuah buku dalam “Teater Enter: Don’t Forget Tukang Sayur”, jelas ini sebuah rekam
jejak yang menarik. Pentasnya menghibur sekaligus memberikan pengetahuan kepada
saya dan teman-teman lainnya. Apakah kita tidak mau merespon hal tersebut?
Apakah mungkin dari setiap event seperti parade teater kampus, diakhiri dengan
catatan dalam bentuk layout sebuah buku, meskipun tidak dicetak, tapi berupa pdf
yang bisa disebar atau disimpan pada satu blog yang bisa didowload untuk sebagai
arsip, sebagai proses berkesinambungan adanya informasi pengetahuan dari

15
sebelumnya. Sebutlah ini yang dilakukan sebagai hiburan; tapi informasi pengetahuan
selalu membuntuti.
 Kalau kita mau merespon hubungan timbal balik dari sistem ekologi yang disebut
ekosistem; kita mungkin mengecek metodenya Rendra, Putu Wijaya, Dindon WS,
Boedi S. Oetong, yang pada mayoritas sangat militeristik, atau sangat keras, apakah
mungkin bisa diterapkan pada aktor-aktor zaman milenial yang makannya sudah keju
atau sering kali nongkrong di food court atau kafe??? Latihan pukul 12 malam hingga
jam 4 subuh, kemudian ada yang latihan selalu dilempar dengan rokok atau sandal,
kemudian ada yang latihan eksplorasi berjam-berjam hingga pingsan, apakah
mungkin diterapkan pada anak-anak zaman saiki? Kita lacak kembali apakah karena
itu komunitas ditinggalkan aktor aktornya? Berarti kita harus mencari ide lain,
mencari metode lain sesuai dengan lingkungan terdekat kita? Sesuai dengan
kemampuan pemain-pemain komunitas kita? Apa yang sekiranya anggota-anggota
komunitas kita tidak lari dan tetap nyaman berada di lingkungan kita???
ADAM S. KAMTO
 Saya Adam; saya merasa salah masuk ruang diskusi, ternyata ini forum teater
kampus, saya ngak ngeh. Tapi ya sudahlah, saya juga berasal dari kampus, dan
belakangan ini saya kerja di media. Dulu di Djitak, saya juga pernah di DKS komite
teater, yang sebelumnya sudah merancang parade teater kampus Surabaya, terus
mengenai kampus memang menjadi basis terbesar komunitas teater di Surabaya,
bukan komunitas sanggar, menurut saya teater kampus di Surabaya cukup
berkualitas. Saya dulu melalui teater kusuma bagaimana Lawan Catur karya Kenneth
Artur terjemahan Rendra, diadaptasi dengan iklim Jawa pada Feksimida, kemudian
bagaimana memainkan simbol-simbol Jawa.
 Bagaimana ketika bicara ide dan gagasan, berangkat dari landasan teori, melalui
sebuah perancangan yang matang. Pengukurannya hal ini menjadi menari atau tidak?
Dunia medsos, menjadi medan artistik di atas panggung, nampaknya cukup menarik.
Dan sesungguhnya banyak hal yang ditawarkan dari teater. Dengan teater kita bisa
bereksperimen, dan bagaimana perjuangan dengan hari ini?
 Pertanyaannya adalah ketika ide sangat numpuk di kepala, apa yang harus dilakukan
oleh kita untuk menjadi karya yang inovatif dan kreatif?
ARUNG

16
 Ketika berbicara ide atau gagasan yang menumpuk di kepala; saya rasa kembali ke
tujuan atau keinginan kita apa terhadap ide tersebut? Makanya sering kita bingung
ketika punya gagasan atau ide, tapi gak tahu mau diapain. Maka cuma bersarang aja
di kepala tanpa tahu harus ngapain dengan ide atau gagasan tersebut. Atau memang
tidak diapa-apai, cukup digelar saja, berarti itu juga keinginan.
 Bisa dilakukan dengan dua metode; metode kuratorial dan metode penciptaan.
Metode kuratorial bisa menyangkut banyak hal seperti keinginan tersebut, tujuan dan
maksud pertunjukan, kepentingan pertunjukan, atau sasaran pertunjukan, kalau
memang pertunjukannya hanya sebagai hiburan, maka yang dikurasi adalah pikiran-
pikiran yang sekiranya tidak masuk pada wilayah hiburan ya jangan dimasukin,
dibuang saja. Bisa juga kurasinya adalah tempat pertunjukan berlangsung, dan siapa
yang menonton. Kiranya kita sudah mapping yang jelas, siapa yang menonton yang
berkaitan erat dengan tempat pertunjukan berlangsung. Kalau memang
komunitasnya dan basisnya kampus, berarti keinginannya apa? Apakah hanya
sebatas hiburan? Ya kalau memang teater dipandang sebagai hiburan bagi anak
kampus, ya monggo saja. Makanya perlu disortir adalah penonton juga akan
berkaitan dengan ide yang menumpuk, maka tidak salah juga ketika mahasiswa ISBI
Makassar coba mengusulkan mata kuliah jurusan penonton atau kuratorial penonton.
Perlu dilacak penelitian mahasiswa doktor ITB, Abdinegoro yang meneliti penonton
teater di Jakarta pada umumnya adalah mahasiswa, mayoritas, itu berarti sekalipun
hiburan tetaplah dipandang sebagai pengetahuan. Kalau kepentingannya politis,
maka kurasinya adalah ide-ide yang bersifat politis, pada umumnya teater
dokumenter itu bersifat politis, bukan politik dalam arti yang menyempit seperti
kekuasaan dan lain sebagainya. Tapi justru lebih kepada hubungan sosial masyarakat
dengan sistem dalam satu ekosistem negara atau kota yang sedang berlangsung;
apakah benar-benar terjadi hubungan timbal balik tersebut, maka kalau dinilai tidak,
kemungkinan akan bersifat politis. Seperti yang dilakukan Abi ML (sutradara
kelahiran Jakarta), menurut saya secara tidak sadar dia merespon negara yang cukup
absen dengan kasus bunuh diri, maka pertunjukan Demonstrasi Bunuh Diri, supaya
negara ikut terlibat dalam kasus-kasus tersebut dan kebetulan penontonnya memang
banyak para psikolog dari beberapa lembaga pemerintahan dan lain sebagainya. Ini
maksudnya adalah tujuan atau keinginan dari ide atau gagasan tersebut.

17
 Metode kedua; ide atau gagasan bisa terkurasi dengan metode penciptaan yang jelas
atau punya indikator dan parameter yang jelas, atau praktik penciptaan yang tepat.
Kalau kita punya praktik penciptaan yang tepat, ide yang bejibun itu akan dengan
sendirinya terkurasi, runtuh sedemikian rupa. Misalnya menetukan tematiknya apa;
kemudian bagaimana memulainya, bagaimana praktik risetnya, kemudian
observasinya. Maka dengan sendirinya penciptaan itu, apakah itu dekosntruksi,
deformasi, alih wahana, adaptasi, presentasi, interpretasi, dan lain sebagainya ide-ide
yang ada di kepala pelan-pelan mengerucut jadi satu hal yang mau difokuskan.
YUSRIL
 Di sini jangan ngomongin Dewan Kesenian Surabaya, karena kuatirnya ini politis.
Karena forum ini dibuat bukan untuk politis kalau bicara historisnya. Berbicara ide
dan gagasan, saya melakukannya dengan cara pendekatan tradisi karena memang
dari kecil, tumbuh dan berkembang dengan tradisi. Kalau bicara Barat, kita
menggunakannya sebagai pengetahuan; ketika bicara pengetahuan, perihal perang,
kematian, ada banyak yang harus dipelajari dari sana, bukan seolah-olah Surabaya
hanya kota pahlawan saja.
CIMENK
 Sebenarnya kita mulai dari mana? Apakah hanya sebatas pentas studi tahunan, pentas
dies natalis, dan lain-lain. Apakah tidak mencoba merespon hal lainnya, ketika waktu
parade teater Jatim 2019 lalu, Abi ML dengan Xati-nya yang merupakan kelanjutan
dari Demonstrasi Bunuh Diri; menggelar data pertunjukan semacam bercerita hasil
pengalaman risetnya, maka banyak publik Surabaya yang cukup bingung dengan
pertunjukan tersebut, terus kemudian yang terjadi hanya berkembang di soal jelek
dan bagusnya saja, apakah hanya memulai dari situ? Surabaya bagi saya bisa
dikatakan tidak berkembang secara pertunjukan, maka perlu merespon banyak hal.
Dan bagaimana kita merespon perkembangan teater masa depan?
ARUNG
 Mulai dari saja dari apa yang kita ketahui (mungkin), mulai saja dari apa yang kita
lihat. Kalau memang kita melihat sehari-hari kita soal ilmu kedokteran, berhubungan
dengan X-Ray, dll, maka mengolahnya itu menjadi sebuah pertunjukan. Kalau kita
mulai dari yang tidak tahu, bukannya tidak boleh. Tapi perlu bekerja keras dalam
kesungguhan itu (apa ya bedanya kerja keras dan sungguh-sungguh, karena dalam
kerja keras tentu saja ada kesungguhan dalam berikhtiar, kita lacak kembali istilah
18
tersebut, yang sebetulnya bisa dicek melalui situs dan buku sebagai sumber
pengetahuan, keduanya beririsan). Kalau memang berangkat dari sastra, kita mulai
saja dengan ilmu pengetahuan yang kita punya. Sebutlah nantinya sebagai hiburan;
bagi orang yang tidak mengerti sastra otomatis dengan sendirinya mendapat ilmu
pengetahuan dari hiburan yang dimaksud. Kalau memang tahunya soal pengetahuan
desa, suguhkan saja kedesaannya, toh nantinya kita akan mendapat hiburan sekaligus
pengetahuan tentang desa bagi saya yang mungkin disebut sebagai orang kota. Itu
maksudnya hubungan timbal balik dari sebuah lingkungan yang dimaksud sebuah
ekosistem.
 Kalau bicara soal pertunjukan di Surabaya dikatakan tidak berkembang; saya tidak
berani memastikan karena belum melakukan penelitian dan penyelidikan secara
sungguh-sungguh (kerja keras). Selain itu juga, saya bukan orang Surabaya. Tapi ada
penelitian dan pembacaan, kenapa sepuluh tahun terakhir ini Surabaya tidak dapat
dibaca secara baik, maka berbanding terbalik dengan ucapan Mas Adam tadi bahwa
pertunjukan di Surabaya sangat berkualitas. Apakah kita menemukan tulisan yang
mereview pertunjukan Surabaya memiliki timbal balik dalam skala nasional dan
punya pengaruh lain terhadap komunitas lainnya. Kalau memang tidak berarti,
kenapa?? Ini yang perlu dicari. Karena apakah Surabaya tidak menganggap penting
juga dengan pembacaan publik secara luas. Kalau memang tidak penting, kenapa
memilih pertunjukan dimana orang semua tahu dalam skala nasional, pertunjukan
yang sangat dikenal banyak orang. Apakah kita hanya larut dalam banyak
pertanyaan, antara penting dan tidak, antara hiburan dan tidak, antara pengetahuan
dan tidak, maka kembali kepada tujuan atau keinginan membuat sebuah pertunjukan.
Kurang melacak kembali, apakah ide atau gagasan atau ide dan gagasan???? Kalau
memang hasil pelacakan begitu adanya, kita bersikeras dengan apa yang kita ketahui,
kita lacak kembali; apakah benar-benar pendirian kita sama dengan pelacakan orang
secara objektif? Nah, perlunya melacak, mengecek, membaca diri, membaca yang
terdekat, nampaknya cukup menarik dikaji sebagai apa saja.
DISHA
 Soal tepuk tangan sebenarnya saya gak butuh itu sih. Kalau ngomongin ide dan
gagasan gak ada yang baru. Ketika mengeluarkan ide, di belakangnya pasti
berbenturan dengan ide-ide sebelumnya. Terkadang ide yang berhubungan dengan
komunitas teater kampus, terbelenggu dengan sistem kampus sendiri. Ketika
19
berbicara pertunjukan sudah semacam talkshow, saya melihat talkshow Najwa Shihab
yang followernya anak muda, saya curiga kalau Najwa Shihab adalah orang teater,
maka audiensnya benar-benar dikurasi sehingga mendapatkan simpati dan empati
dari kaum milenial. Justru saya melihat itulah pertunjukan sesungguhnya yang kita
respon dari segala macam fenomena yang ada.
MALIK
 Saya melihat bahwa sirkulasi pertunjukan teater di Surabaya ya begitu-begitu saja.
Gak ada pentas tahunan, pentas studi, pentas ya pentas, apakah nantinya jelek atau
bagus.
ARUNG
 Nah, kembali pada persoalan jelek dan bagus, apakah kita hanya berkutat di semacam
itu lagi?
TIO
 Simbolisasi menurut saya sangat penting, kemudian sistem di Surabaya terkadang
dikotakkan dengan namanya parit birokrasi, sehingga bangku penonton selalu baris
kedua karena baris pertama selalu diisi oleh pejabat pemerintah.
ARUNG
 Lalu kalau memang sistemnya seperti itu; bagaimana kita mencari solusi untuk
membongkar parit birokrasi tersebut? Kita harus peka membaca lingkungan. Ini
menurut saya jadi inget omongan salah satu dosen STKWS, R. Joko Prakoso, yang
memandang bahwa Surabaya sangat kental dengan parit birokrasinya tersebut, dan
perlu kita pelajari sebagai data dan meningkatkan daya jelajah kita. Kita mau ke mana
dan dari mana? Merespon omongan mas Cimenk...
LUBET
 Berbicara ide dan gagasan, ternyata cukup beragam dan jauh dari hal tersebut
sepanjang pembicaraan ini. Kita bicara komunitas teater kampus, ya bagaimana cara
hidup. Entah itu di Malang, Surabaya, Sidoarjo, cukup berpura-pura aja, trus mau apa
lagi? Kita ya berpura-pura dalam teater. Ngapain ngomongin teater masa depan,
ngomongin diri aja kita ruwet.
 Sekalipun kita punya ide yang dahsyat, ya trus mau ngapain? Atau kita memang
kudu berpura-pura aja.

20
 Ketika bicara ekosistem teater, kita semua banyak orang desa yang datang ke kota,
Surabaya, ya sebaiknya ya hidup dengan kepura-puraan. Persoalan pengetahuan itu
kan ada hubungannya dengan interaksi; pra pertunjukan itu juga sebuah
pengetahuan, pasca pertunjukan juga sebuah interaksi yang bisa disebut
pengetahuan. Kemudian pertunjukan ya hanya sebatas hiburan saja. Mas Arung itu
tinggal di kota, jadi yang dibawa perkembangan di kota. Kita hanya sebatas
memperlakukan teater sebagai hiburan saja. Hari ini yang kita lakukan sebagai
pengetahuan, kemudian pertunjukan kita menghibur lagi. Panggung sebagai kerja
hiburan saja.
ARUNG
 Sekali saya katakan bahwa saya hanya mereviem dan melaporkan beberapa praktik
kerja Dendi Madiya (Bekasi), Shohifur Ridho (Yogyakarta), Budi Yasin Misbach
(Jakarta), dan Nofi Arianto (Surabaya), termasuk praktik kerja saya sendiri. Kemudian
termasuk melaporkan beberapa praktik kerja yang dilakukan oleh Dewan Kesenian
Jakarta. Bukan sebuah kemutlakan. Pertunjukan yang berlangsung juga proses
interaksi (yang bisa langsung atau tidak langsung, coba dilacak lagi). Saya hanya
membaca perkembangan teater yang terjadi di luar dan di dalam dari kaca mata
perspektif. Seumpama ketika teater hanya dipandang sebagai hiburan saja, ya
monggo. Berarti dalam lingkungannya dibentuk dengan kepura-puraan; artinya ada
apa dengan ekosistemnya? Apakah dengan kepura-puraan sudah menciptakan
ekosistemnya sebagai hubungan timbal balik? Kalau memang kepura-puraan saling
memberi manfaat dan pengaruh yang baik, ya monggo saja silakan berpura-pura
selama saling memengaruhi antara satu dengan lainnya.
 Kalau misalnya orang desa seperti Mas Eeng (Sangat Mahendra; yang juga sudah
malang melintang di kota), yang datangnya jauh dari Sumenep, kalau mau dikatakan
pelosok dengan metode foklornya mentas di Jakarta pada Pekan Teater Nasional 2018,
kemudian datang lagi dari komunitas dari nusa tenggara, yang bisa dikatakan
lingkungan pedesaan (tetapi yang ditampilkan adalah digitalisasi dengan mapping
video); sekaligus menarasikan pedesaannya, pada Pekan Teater Nasional 2018 lalu.
Kalau keduanya dianggap sebagai hiburan, banyak orang yang mengatakan ada
pengetahuan dari hiburan di dalamnya. Artinya hiburan sangat dekat dengan
pengetahuan. Hiburan mungkin tidak bisa berdiri sendiri. Saya menonton
pertunjukan mamanda, ludruk, longser, makyong yang memang dari pedesaan sebagai
21
hiburan; apakah di dalamnya tidak berupa pengetahuan. Jangan-jangan kita
memahami pengetahuan sebagai apa ya, karena saya yang berasal dari Bangkalan,
jadi tahu mamanda itu apa, mak yong itu apa.
 Bahkan saya jadi tahu pertunjukan lewat Mas Eeng dengan tubuh pedesaannya
(melalui para pemainnya); ada informasi yang diberikan lewat gerak tubuh, perilaku,
bahasa, keseharian, becandaan, dan keinginan yang direkamnya melalui perasaan dan
diolah degan pikiran dengan namanya metode penciptaan itu sendiri. Saya jadi
bertanya adakah hiburan yang tidak memberi pengetahuan bagi orang yang belum
tahu sebelumnya; layaknya orang bule nonton dangdut, jadi tahu bahwa dangdut itu
bergoyang, maka muncul buku-buku tentang dangdut baik teknik dan pengolahan
lainnya. Artinya kembali kita menyikapi informasi dan laporan yang datang sebagai
apa ya, kalau memang adanya informasi sebagai gangguan, maka kita akan selalu
berpikir sempit. Tapi kalau informasi kita pahami sebagai sesuatu yang bisa kita olah,
kemungkinan akan mengolahnya secara baik berdasarkan kultur kita masing. Justru
apa yang dikatakan Lubet itu sebagai ide atau gagasan; sehubungan dengan orang
desa yang datang ke Surabaya dengan segala macam tetek bengeknya, mungkin juga
kita lacak ada apa dengan orang-orang desa yang tumbuh dan berkembang di
Surabay, tinggal di lingkungan mana ya? Ada apa dengan lingkungan teaternya? Ada
apa ya dengan hubungan timbal baliknya? Berarti ekosistem dipahami sebagai apa
ya? Ini justru sangat dekat; ujaran-ujaran semacam ini menjadi ide atau gagasan untuk
kita lacak dan diteliti, serta diselidiki. Justru sangat menghibur saya untuk menjadi
pengetahuan yang patut saya teliti dan selidiki sebagai pengetahuan saya untuk
melakukan pembacaan saya yang behrubungan dengan ilmu sosial dan kultur.
 Berbicara parade teater kampus Surabaya; berbicara hiburan yang akan selalu
beririsan dengan pengetahuan, yang selalu beririsan dengan ide atau gagasan, maka
akan selalu berhubungan dengan tematik. Apakah parade teater kampus Surabaya
2020 sudah punya tematik? Kalau kita ngomongin lingkungan yang terdekat, berarti
mungkin tematiknya; kalau kita membaca kampus, kita pun jadi dekat, atau teks-teks
lainnya yang menjadi satu acuan untuk bekerja sehingga nantinya akan berhubungan
dengan penciptaan, sekalipun mau dibuat hiburan. Atau mungkin tematik lainnya;
mencari tahu yang tidak tahu jadi tahu, atau apa saja yang mungkin menarik sebagai
hiburan dalam pengetahuan. Tentu saja temen-temen pasti memikirkan hiburan yang
bagaimana, dan apa tentunya. Mau diapain hiburan ini; yang tentu cara kerja atau
22
presentasi visual di pertunjukan akan memberikan pengetahuan dengan sendirinya
bagi saya yang kalau nanti akan menontonnya sebagai hiburan sekaligus pengetahuan
saya. Karena apa pun itu juga menjadi pengetahuan, dari hal yang tidak tahu menjadi
tahu. Kalau memang teater hanya sebagai hiburan, perlu ditanyakan sama mas Nopek
yang cukup bersungguh-sungguh mengartikan seni sebagai perlawanan. Atau jangan-
jangan mas Nopek melawan hiburan di atas hiburan; keren sekali rasanya dia.
TIO
 Silakan tutup dengan kesimpulan sendiri untuk melakukan pembacaan dan merespon
dari lingkungannya masing-masing sebelum nantinya ikut terlibat dalam parade
teater kampus Surabaya 2020.
Sumiyani selaku inisiator Parade Teater Kampus Surabaya 2020 (sekaligus MC); yang
pernah terlibat di parade teater kampus Surabaya sebelumnya, menutup acara dengan
memberikan informasi bagi yang ingin mendaftar parade teater kampus Surabaya silakan
saja, dan forum berikutnya akan ada lagi dalam forum 2/3, maupun forum 3/3 di hari
yang akan datang dan silakan yang mau memberikan donasi karena event ini sifatnya
swasembada.

2020

*Sumber kutipan pada karya Octavio Paz yang berjudul The Other Voice.

Sebagai bahan diskusi untuk forum teater kampus (Surabaya), pada 1 Maret 2020 di Sekolah
*

Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

23

Anda mungkin juga menyukai