Anda di halaman 1dari 18

MENGASAH DAN MENGOLAH

KEMAMPUAN TEKNIS DAN NONTEKNIS MENULIS PUISI

Oleh Nenden Lilis A.

A. Jatuh Cinta dan Panggilan Jiwa

Saat ini orang semakin paham dan percaya bahwa bakat bukanlah faktor utama keberhasilan
seorang penulis. Orang semakin yakin dengan apa yang ditegaskan Albert Einstein bahwa bakat
terdiri atas 99 % kerja keras/latihan. Dengan demikian, keberhasilan menulis pun lebih
ditentukan oleh kemauan dan kesungguhan berlatih. Menulis dengan begitu, tak ubahnya
pekerjaan-pekerjaan/kegiatan-kegiatan lainnya yang memerlukan latihan: berenang, menjahit,
dan sejenisnya. Menulis, tak lain, adalah sebuah keterampilan. Begitu juga dengan menulis puisi.

Meskipun demikian, puisi adalah seni, karya estetis dan artistik. Ia tidak hanya
memerlukan keterampilan teknis, tapi juga penghayatan dan keterlibatan jiwa si penulisnya. Seni
tidak bisa lepas dari unsur rasa. Oleh karena itu, harus diciptakan dengan perasaan, harus timbul
dari hati. Dengan begitu, kunci pertama dalam menulis puisi adalah kita mesti jatuh cinta pada
puisi. Kita harus tertarik, suka, dan terpesona. Jatuh cinta ini juga yang merupakan dan
membangkitkan panggilan jiwa.

Panggilan jiwa adalah sesuatu yng membuat orang tertarik, merasa butuh untuk
melakukan, merasa rindu, ada yang kurang dan tak lengkap jika tak melakukannya. Panggilan
jiwa adalah sesuatu yang meskipun berkali-kali dicoba ditolak, tetap seolah memanggil- manggil
dan mengejar- ngejar, dan kita tak bisa lari dari padanya. Kita seolah terus ditarik olehnya.
Sebagian orang meyakini bahwa panggilan jiwa adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang
merupakan gift. Begitu pula dengan kepenyairan. Menurut pendapat ini, seperti digambarkan
Saini K.M., kepenyairan tidak terjadi jika tidak karena panggilan. Seberapa kuat pun keinginan
seseorang jadi penyair, betapa keras pun upaya menguasai teknik-teknik menyair, ia belum tentu
jadi penyair. Tetapi, orang yang memiliki panggilan dalam jiwanya, tanpa bercita-cita jadi
penyair, secara alamiah akan tertarik pada puisi. Ia tak bisa menolak ketertarikan itu. Puisi seolah
selalu memukaunya. Ia pun mulai terlibat di dalamnya. Ia akan menjadi penyair tanpa
disadarinya. Kita tak bisa memungkiri bahwa banyak penyair yang menjadi penyair dengan

1
proses seperti di atas. Artinya, mereka telah memiliki panggilan jiwa ini sejak awal. Lalu
bagaimana bagi mereka yang tidak memiliki panggilan jiwa ini?

Menulis puisi akan sulit bagi mereka yang tidak memiliki panggilan jiwa. Puisi mereka
pun akan sekedar menjadi keterampilan belaka. Dan yang demikian, sulit untuk disebut puisi.

Meskipun demikian, bukan berarti panggilan jiwa tidak bisa ditunbuhkan dan diciptakan.
Seperti cinta yang bisa tumbuh karena seringnya bergaul, demikian juga dengan panggilan jiwa.
Pergaulan juga sangat berpengaruh pada lahirnya panggilan jiwa. Intensitas yang tinggi
membaca karya-karya puisi, bergaul, berdiskusi, dan bersosialisasi dengan para penulis puisi
akan membangkitkan panggilan jiwa pula dalam diri Anda. Seperti kata pepatah: witing tresno
jalaran soko kulino.

B. Menggali Ide atau Inspirasi Penulisan Puisi

Puisi terdiri atas isi dan bentuk. Isi adalah ide, gagasan, pengalaman, perasaan, dan lain- lain
yang menjadi pokok pembicaraan (tema) dalam puisi. Adapun bentuk adalah sarana
menyampaikan pokok pembicaraan (tema) itu, yang berupa bahasa. Dalam teori sastra, isi sering
disebut dengan struktur batin (merupakan makna puisi, teridiri atas tema, nada, perasaan, itikad)
dan bentuk sering disebut struktur fisik (sarana penyampaian makna, terdiri dari diksi, gaya
bahasa, imaji, bunyi dan, tipografi). Isi dan bentuk ini bukan sesuatu yang terpisah. Ini adalah
satu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, seorang penulis puisi harus mampu mengasah dan
mengolah kedua aspek tersebut. Penulis puisi harus memiliki bahan untuk dituliskan sebagai isi
puisi yang kemudian diramu dalam suatu bentuk pengucapan atau pengungkapan tertentu. Bahan
yang akan menjadi isi puisi itu sering pula disebut inspirasi yang kemudian dituangkan dalam
pengungkapan puisi. Bagaimana menggali dan mengolah kedua aspek tersebut? Bagian ini akan
mengemukakan kiat-kiatnya.

Kalau kita akan membuat gorengan, bisakah gorengan itu jadi tanpa ada bahan-bahan dan
proses memasaknya? Tidak akan ada dan jtidak akan jadi. Maka kita harus menyiapkan bahan-
bahan itu terlebih dahulu. Begitu pula dengan menulis puisi. Kita harus memiliki bahannya.
Bahan ini tidak akan datang sendiri, kita harus mencari dan menggalinya. Bagaimana cara

2
menggali bahan atau ide atau inspirasi itu? Kita harus 1) ABG (Aktif, Baca, Gaul) dan 2)
tergelitik oleh pengalaman puitik.

1. ABG
a. Aktif

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa bahan/ide/inspirasi/ilham untuk menulis puisi


tidak datang sendirinya. Kita harus selaiu menyiapkan diri mencari dan memburu untuk
memperolehnya dari berbagai hal. Oleh karena itu, kita harus mengaktifkan jiwa dan raga kita
setiap saat. Mengaktifkan yang dimaksud di sini adalah membuka segala aspek yang ada dalam
diri kita untuk mengamati, merasakan, menghayati, dan merenungkan segala yang ada da n
terjadi terhadap hal- hal, baik yang ada di dalam, maupun di luar diri kita (di lingkungan
keseharian kita, masyarakat luas, dan kehidupan). Jadi seorang penulis itu harus selalu membuka
panca indera, pikiran, perasaan, dan daya imajinasinya. Ia tidak melewatkan dan .menganggap
sepi/tak berguna hal- hal di dalam diri atau luar dirinya, hingga hal yang bagi orang lain dianggap
sepele/remeh. Penulis tidak demikian, hendaknya tidak ada hal yang dianggap sepele dan remeh.
Penulis, seperti pernah dikatakan T.S Eliot, sastrawan Inggris pemenang Nobel Sastra 1948 itu,
harus seperti kanak-kanak yang selalu terpukau dan terpesona oleh segala hal di sekitarnya. Ia
terpesona oleh daun, awan, rumput, jendela, pintu, kursi, dinding, debu, batu, kompor, wajan,
sendok, kerupuk, kuah, bantal, selimut, seprai, celana, jemuran, kuku, bunyi derit, suara langkah,
bau tanah selepas hujan dan segala sesuatu yang lain, bahkan oleh hal- hal yang bagi orang lain
tak akan mungkin membuat terpesona.

Dengan demikian, jangan ada hal yang dilewatkan oleh penulis untuk ditangkap sebagai
inspirasi. Kita bisa menangkapnya, jika menyiapkan dan membuka diri untuk menangkapnya.
Jika tidak, dan kita membiarkan diri kita pasif, semuanya akan berlalu begitu saja, tidak akan
menjadi apa-apa. Sebagai contoh, tiap hari kita memakai celana, berurusan dengan celana,
pernahkah terpikir menjadi puisi? Karena kita bersikap cuek terhadap celana, ia akhirnya hanya
sekedar bagian dari sandang kita. Tapi bagaimana dengan penyair Joko Pinurbo, karena ia
mengaktifkan pikiran, perasaan, dan imajinasinya dalam aktivitas kesehariannya, celana menjadi
inspirasi yang hasilnya adalah sebuah antologi puisi.

Kerikil yang sering tertendang saat kita berjalan, barangkali tidak pernah manjadi apa-apa.
Tapi saya menulis:

3
KERIKIL

akhirnya, tinggal kerikil di hatiku

dan rasa linu jari-jari dicongkel kukunya

bertahun mengingatmu, hanya mengundang

kesedihan seseorang menimba air

di sumur kering yang tua

di hening malam derit katrolnya kian terasa

tapi masih juga kakakanmu menggemaung

menepikan angin

lalu lama berhuni di gelap dadaku

memperdengarkan kepuasan seseorang

mengulur dan menarik tali

pada tangan yang tak kau sempatkan meraihnya

ada sereset bambu di ulu tenggorokan

ingin kuteriakkan agar kau dengar

sebelum lebih dalam menggoresi pita suaraku;

membuatnya berdarah

1999

4
…Mengaktifkan jiwa raga kita pada segala hal akan membuat kita memiliki pengalaman
puitik yang merupakan pengalaman penting dan menjadi syarat untuk puisi. Tentang pengalaman
puitik ini akan dibahas pada bagian berikutnya.

b. Baca

D isini saya ingin kembali mengutip pernyataan T.S Eliot, bahwa keberhasilan sebuah
puisi adalah pada bentuk pengungkapan, sementara kebesaran puisi ditentukan oleh kontribusi
penyair kepada pengalaman hidup kemanusiaan. Nah, kontribusi pengalaman hidup kemanusiaan,
apakah cukup tanpa kekayaan wawasan, tanpa pengetahuan? Tidak.

Oleh karena itu, kita harus banyak membaca alias harus jadi kutu buku. Apa yang kita
baca? Bukan hanya berkaitan dengan puisi sekalip un yang kita tulis puisi. Dalam puisi ada
masalah dari nilai sosial, religi, filosofi, budaya, dan lain- lain. Dengan demikian, hendaknya kita
membaca berbagai hal dengan seluas- luasnya bacaan tentang sejarah, psikologi, sosiologi,
filosofi, dan banyak lagi. Bahkan lebih luas lagi, kita membaca kehidupan. Segala hal yang ada
di alam semesta ini adalah ayat-ayat Tuhan yang harus kita baca. Iqro.

Membaca juga tidak hanya perlu untuk memperkaya dan memperdalam wawasan,
pengetahuan, dan cara pandang kita saja, tetapi juga untuk memperkaya dan mempertajam
kemampuan bahasa kita dalam mengolah struktur puisi. Betapa pentingnya kita membaca
berbagai karya sastra dan puisi dari berbagai zaman dan khasanah, dari yang tradisional hingga
modern, dari khasanah sastra daerah hingga dunia. Kita belajar lewat bacaan-bacaan tersebut. Ini
justru upaya yang efektif dibandingkan hanya membaca teori-teori. Pengalaman kita membaca
karya-karya sastra dan puisi secara luas dan mendalam ini akan berpengaruh pada t ingkat
kualitas puisi kita.

c. Gaul

Kalau warung saja ada warung gaul, remaja ada remaja gaul, bahasa ada bahasa gaul,
masak penulis ndak gaul? Menulis memang Anda lakukan dalam kesendirian. Tapi untuk
mendapatkan gagasan/bahan tulisan, Anda harus bergaul luas alias tidak kuper. Ikut dan
hadirilah peristiwa-peristiwa seni sastra, pementasan, diskusi, peluncuran buku, dan lain- lain.
Minimal di kota Anda sendiri. Bagaimana Anda tahu peristiwa-peristiwa itu? Anda bisa tahu dari
poster, koran (pada informasi tentang agenda budaya), internet, dan lain-lain.

5
Dalam peristiwa ini, Anda akan terlibat tukar pikiran, obrolan-obrolan, bertemu para
penggiat dari berbagai komunitas, berjumpa para penulis sastra, wartawan, dan sebagainya. Dari
peristiwa ini akan banyak inspirasi- inspirasi berharga yang Anda dapatkan untuk dijadikan bahan
tulisan Anda. Bergaul juga sangat berguna bagi penulis karena penulis harus kaya wawasan
lingkungan kehidupan. Dari pergaulan ini Anda akan lebih paham karakter orang, gaya hidupnya,
persoalan yang dihadapinya, dan lain- lain. Itu semua adalah bahan yang berharga untuk tulisan
Anda.

2. Tergelitik Oleh Pengalaman Puitik

Kita sering menemukan puisi yang dari segi bentuk memenuhi rancang bangun puisi, tapi
bukan puisi. Puisi tersebut menggunakan bahasa yang terpilih, mengandung unsur- unsur metafor,
simile, rima yang tertata apik, dan lain- lain. Tetapi puisi itu tidak memiliki ruh, tidak punya
greget sama sekali.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Menulis puisi bukan semata- mata merupakan keterampilan
mengotak-atik bahasa. Menulis puisi harus lahir dari dorongan yang kuat dari dalam jiwa,
desakan dari dalam yakni, suatu perasaan, pikiran, dan pengalaman yang kuat, yang intens, yang
mendorong Anda untuk menulis. Oleh karena demikian intens perasaan, pikiran, dan pengalaman
tersebut, Anda terpesona olehnya. Itulah yang diistilahkan Saini K.M. dengan pengalaman puitik.

Wujud pengalaman puitik tidak selalu dapat diterangkan dengan jelas. Tetapi ada ciri-ciri
tatkala seseorang mengalami pengalaman puitik ini. Ciri yang utama adalah keterpesonaan. Hal
yang membuat kita terpesona itu barangkali sekuntum bunga, desiran angin, seseorang, rasa cinta,
ide, dan sebagainya. Pada saat kita mengalami pengalaman puitik seperti digambarkan Saini
K.M., kita akan mengalami perasaan yang kuat, pikiran yang jernih, dan imajinasi yang “liar”.
Mungkin tiba-tiba kita mendengar sebuah ungkapan kalimat/frase berdengung di sekitar kepala
Anda, di batin Anda. Frase/kalimat itu terus menerus bermuatan pikiran dan perasaan Anda
dalam bobot yang besar sehingga Anda terpesona olehnya. Anda menjadi demikian obsesif
olehnya sehingga seolah tak bisa dikendalikan dan mendesak Anda untuk menuliskannya.
Sebaiknya, dalam menciptakan karya puisi, kita menunggu hingga dorongan atau momen puitik
itu timbul. Jika tidak, karya kita akan menjadi karya yang dingin tanpa gairah, tanpa api.

6
Akan tetapi, bukan berarti kita pasif dan diam menuggu pengalaman itu jatuh dari langit.
Untuk mendapatkan pengalaman puitik itu, jiwa kita harus aktif mencari dan menangkapnya.
Kita harus selalu membuka panca indera, perasaan, imajinasi, dan jiwa kita terhadap berbagai hal
di sekitar, di dalam diri, dan dalam kehidupan kita. Kita harus menjadi pengamat sekaligus
penghayat segala kejadian yang terjadi dan bergerak di sekitar kita, dalam diri kita, dalam
kehidupan kita. Jangan ada hal yang kita anggap sepele, remeh, dan kecil. Penulis puisi harus
seperti kanak-kanak yang terpesona oleh segala hal di sekitar dirinya, dan selalu ingin tahu.

Sebagai contoh, daun yang gugur yang setiap hari jatuh dari pohon di halaman rumah Anda,
akan berlalu begitu saja jika Anda tidak membuka panca indera, perasaan, imajinasi, dan jiwa
Anda terhadapnya. Begitu pula bagi orang-orang di sekitar Anda. Tetapi, jika Anda menyiapkan
diri menangkapnya, daun yang jatuh itu akan mempesona dan memukau Anda, sehingga dengan
persentuhan pada hal-hal lain, timbullah pengalaman puitik tersebut.

Pengalamanlah yang menjadi puisi. Adapun keterampilan teknis adalah sarana


mengungkapkan pengalaman itu. Artinya, jika kita menulis puisi hanya berdasarkan pengalaman
teknis (versifikasi) belaka, puisi kita akan hampa. Sebaliknya, jika kita hanya punya pengalaman
yang kuat tanpa versifikasi, tidak akan lahir apa yang namanya puisi itu. Kalaupun lahir, belum
tentu bermutu. Dengan demikian, keduanya saling mengisi dan menguatkan. Keduanya harus
diasah.

C. Mengasah dan Mengolah Unsur-Unsur Puisi

Ide dan pengalaman puitik yang ada dalam diri penyair akan berwujud puisi bila sudah
diungkapkan. Penyair akan berupaya agar pengungkapannya itu sedapat dan setepat mungkin
merepresentasikan pengalamannya tersebut. Untuk itu ia menggunakan alat-alat puitiknya yang
berupa unsur-unsur pembangun puisi dengan secermat mungkin untuk menggambarkan hal
tersebut.

Yang dilakukan dalam proses ini antara lain adalah:

1. Memilih kata secermat-cermatnya dan setepat mungkin. Ia mungkin mencoret berkali-


kali kata yang dipilihnya hingga ditemukan yang paling mewakili perasaan dan

7
pengalamannya. Kata-kata itu bisa dipikirkannya berhari-hari, bahkan berminggu- minggu.
Ini yang sering disebut dengan pengolahan unsur diksi.
2. Melukiskan dengan kata-kata sehingga apa yang digambarkannya itu seolah-olah dapat
diindera: dilihat, didengar, dicium, diraba, dan dirasakan oleh pembaca. Upaya ini disebut
dengan pencitraan.
3. Mencari lambang dan perumpamaan-perumpamaan (majas) yang tepat
mengungkapkan pengalaman jiwanya. Proses ini disebut pengolahan bahasa figuratif.
4. Memvariasikan struktur kalimat, membuat pengulangan-pengulangan (repetisi), dan
eksplorasi-eksplorasi struktur kalimat lainnya. Proses ini disebut penyiasatan struktur.
5. Memaksimalkan daya guna bunyi kata-kata: asonansi, aliterasi, onomatope, rima, dan
lain- lain, untuk menimbulkan efek yang diharapkan. Setiap bunyi kata, selain
menimbulkan keindahan, juga dapat memperkuat daya ungkap. Kata-kata yang
didominasi bunyi-bunyi konsonan misalnya, dapat menimbulkan efek makna
ketidakenakkan. Kata-kata yang didominasi bunyi /r/ misalnya, menimbulkan kesan
suasana menggelegar, bergetar, dan sebagainya. Hal- hal seperti ini betul-betul
didayagunakan oleh penyair.
6. Menciptakan irama bahasa dengan intonasi kalimat yang berbeda-beda pengulangan,
pola waktu, dan tekanan secara teratur dengan penyusunan jumlah suku kata tiap larik
tersebut.
7. Jika perlu, tata letak/perwajahan (tipografi) pun diolah oleh penyair untuk memperkuat
estetika dan makna puisinya. Tipografi puisi dengan bentuk zig- zag misalnya, dapat
menggambarkan makna hidup yang berliku-liku, hati yang galau, dan lain-lain.

Semua unsur itu didayagunakan penyair untuk menggambarkan gagasan, nada, suasana,
dan maksud puisi yang ditulisnya. Semua itu hadir berdasarkan kebutuhan dari dalam (tuntutan
pengalaman yang ingin diungkapkannya), bukan sekedar diotak-atik secara artifisial.

Untuk mengolah unsur-unsur di atas agar estetis, akan saya bagi kiat-kiat menyusun dan
mengolahnya untuk setiap unsur.

1. Cara memilih dan menyusun diksi


a. Kata yang kita pilih adalah kata yang paling mewakili makna yang ingin kita
sampaikan. Ingat, di dalam makna ini bukan hanya terkandung pokok pembicaraan,

8
tapi juga nada dan rasa. Nada dan rasa ini berpengaruh pada efek yang akan kita
sampaikan dalam puisii: khidmat, ironi, humor, dll. Oleh karena itu, kita
mempertimbangkan rasa-kata tersebut: kata lembut, kata kasar, kata formal, kata
kolokial (bahasa sehari-hari) dan lain-lain. Contoh:

Sekuntum Mawar
Pernahkah sekuntum mawar memperkenalkan diri
Bahwa dia bernama Mawar, Kekasihku? Tidak.
Dipersembahkannya padamu sepenuh kecantikannya
Semerbak, dari kuncup hingga gugur semua kelopak

Di tengah segala pengkhianatan dan penipuan


Tak pernah ‘kan kuucapkan kata yang suci itu.
Seperti peziarah bisu saya datang di candimu
Meletakkan bunga ini dalam sunyi. Lalu pergi.

Sia-sia jaring kata-kata menangkap mimpi penyair:


Saya memasuki hidupmu sebagai sekuntum mawar
Yang rekah di jambangan-pagi di sudut kamar
Dan kamu hanya menduga siapa yang mengirimnya.

( Dari Mawar Merah, Saini K.M. )

Pada puisi karya Saini K.M. di atas, penyair menggunakan kata-kata formal.
Ia menggunkan kata-kata tersebut untuk memberi kesan khidmat karena ia sedang
berbicara cinta yang agung dan suci.
Dengan demikian, kata-kata sebaiknya diambil dari wilayah kata yang sama.
b. Untuk kata yang tidak dimaksudkan sebagai gaya bahasa (misalnya repetisi), kata-
kata sebaiknya bervariasi, oleh karena itu, biasakan berlatih mencari padanan-
padanan kata atau lawan kata.
c. Gunakan kata-kata yang hidup, misalnya kita menulis larik: air matanya mengalir di
jalanan. Akan lebih hidup jika kata jalanan kita bentuk menjadi frase riuh jalanan:
air matanya mengalir di riuh jalanan.
d. Selaraskan dengan bunyi. Seperti kita ketahui, bunyi selain untuk menambah daya
artistik berfungsi pula untuk memperkuat makna. Banyaknya bunyi vokal a dari kata-
kata pada suatu puisi, misalnya, menimbulkan efek nada dan rasa bahagia, marah dan

9
lainnya, tergantung konteksnya. Banyaknya bunyi u dan h, misalnya mencerminkan
keluhan.
e. Agar enak dan terasa mengalir ketika dibaca, pilihlah kata dengan
mempertimbangkan wilaya artikulasi yang terdapat pada susunan kata-kata secara
keseluruhan. Kita tahu bahwa wilayah artikulasi itu ada yang merupakan wilayah
bilabial, labiodential, velar, dan sebagainya. Sebaiknya, susunan kata-kata tersebut
berada dalam wilayah artikulasi yang sejalan. Sebagai contoh dalam puisi
“Maskumambang buat Ibu” saya memilih kata-kata seperti ini:
Apakah yang tengah kusepah dan kuhisap ini
Ruas-ruas tebu yang memancarkan manis airnya
Atau kasar dan kurus buku-buku jarimu
Yang mengeluarkan darah

Saya tidak menulis:

Apakah yang sedang kusepah dan kumakan ini dst.

Saya memilih kata tengah dari kuhisap agar ada keselarasan wilayah
artikulasi bunyi ah. Selain secara artikulasi ada pada wilayah yang sama, juga
memperkuat rasa yang ingin diungkapkan, yakni sedih dan keluh.

f. Gunakan kata-kata yang segar, tidak umum atau klise. Contoh: senyummu semanis
madu, kulitmu seputih susu. Madu dan susu dalam perumpamaan di atas sudah
banyak digunakan kllise. Cari kata-kata yang baru. Contoh lain: kata-katanya sepahit
empedu. Kata konotatif empedu sudah banyak digunakan, carilah kata-kata lain,
misalnya sekesat getah manggis muda.
2. Cara memilih dan menyusun imaji

Imaji atau pencitraan adalah susunan kata-kata berupa penggambaran/perlukisan yang


dapat ditangkap pancaindera pembaca, baik indra penglihatan (visual), pendengaran, penciuman,
perabaan, perasaan, dan gerak. Contoh:

DARI ABAD-ABAD YANG HILANG

tengah malam kau kuyup dalam hujan


setelah perjalanan jauh itu

10
“pulanglah” angin merintih di hatimu

kau mematung di ambang rumah yang kau tinggalkan


dalam lama tak berpenghuni
dalam sunyi, pecah suara cecak
dalam gelap, kau dengar tetes air
jatuh dari seng yang bolong

“masuklah!” sebuah suara keras terasa gaib


datang dari abad-abad yang hilang

kakimu gemetar menginjak lantai dalam


dinding-dinding dingin dan sembab
meruap juga bau lembab

dengan sisa cahaya dalam matamu


kau menyimak sepi dalam ruangan
“rumah ini memang kosong, memang kosong!”

dan kau menangis


1995
(Nenden Lilis A., Kumpulan Negeri Sihir)

Dalam puisi di atas, terdapat berbagai imaji, misalnya

1) imaji penglihatan,

 tengah malam kau kuyup dalam hujan setelah perjalanan jauh itu
 kau mematung di ambang rumah yang kau tinggalkan
dan lama tak berpenghuni

2) imaji pendengaran,

 Dalam sunyi, pech suara cecak


Dalam gelap, kau dengar tetes air
Jatuh dari seng yang bolong
 “Masuklah!” Sebuah suara terasa gaib datang dari abad-abad yang hilang

3) imaji gerak

Kau gemetar menginjak lantai dalam

4) imaji perabaan sekaligus penglihatan

11
Dinding-dinding dingin dan sembab

5) Imaji penciuman

Meruap juga bau lembab

Bagaimana caranya supaya kita bisa melukiskan imaji secara hidup? Caranya adalah
dilukiskan/didekskripsikan dengan kata-kata, bukan disebutkan. Deskripsi itu pun sebaiknya
berdasarkan pengalaman konkret/nyata, bukan sekedar dibayangkan. Agar kita mampu membuat
pelukisan dengan kata-kata biasakan dalam keseharian, kita merasakan secara langsung berbagai
hal dengan seluruh indra kita, misalnya dengan menciumnya, meraba teksturnya, mendengar
bunyinya, dan lain-lain.

3. Cara merangkai gaya bahasa

Mengapa istilahnya gaya bahasa? Karena tujuannya untuk menggayangkan. Mengapa


digayangkan? Agar menarik. Apa tujuan dari daya Tarik ini? Supaya artistik dan estetis.

Bahasa bisa digayanggkan dengan cara:

1) Mendayagunakan makna kias, sehingga timbul gaya perumpamaan, seperti metafora,


simile, dan personifikasi. Masih banyak jenis lainnya. Penggayaan bahasa dengan
memanfaatkan makna kias ini disebut.figure of speech (majas)
2) Melakukan penyiasatan struktur kalimat, misalnya dengan pembalikan susunan,
pengulangan, dan lain- lain. Dalam gaya ini, daya tariknya bukan karena berupa
kiasan, tapi karena strukturnya. Adapun makna dari susunan kata yang digunakannya
lugas (makna harfiah/sebenarnya). Ini sering disebut dengan figure of language (gaya
retoris).
3) Penggabungan keduanya
Mari kita simak penggalan puisi karya Abdul Habi W. M. berikut:

Tuhan, kita begitu dekat


Seperti api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan kita begitu dekat

12
Sebagai kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Dalam puisi di atas digunakan gaya bahasa dengan memanfaatkan makna kias seperti
terlihat pada perumpamaan tentang kedekatan, yang diumpamakan seperti api dengan panas, dan
seperti kain dengan kapas. Penyair pun kemudian mengulang pola kalimatnya sehingga terjadi
repetisi. Gaya yang digunakkan penyair menggabungkan majas dengan gaya retoris.

Bagaimana cara meramu gaya bahasa agar bagus? Gunakan gaya bahasa yang oris inil,
segar, dan baru berdasarkan kreasi kita sendiri.

4. Cara memanfaatkan bunyi

Tentang pemanfaatan bunyi ini sudah disinggung pada poin (1) cara memilih kata/diksi.
Kata-kata pada dasarnya sudah memiliki bunyi, yang terdiri atas vokal dan konsonan. Bunyi-
bunyi vokal dan konsonan ini sebetulnya menimbulkan efek tertentu, misalnya kesan tidak enak
(sedih, kecewa), kesan bahagia, kesan terdesak dan lain- lain. Bunyi-bunyi ini bisa kita jadikan
dasar dalam memilih dan menyusun kata. Bunyi seperti rima pun bisa digunakan, misalnya
persamaan rima akhir. Namun, dalam puisi modern, persamaan rima akhir ini bukan satu-satunya
cara untuk memperoleh efek kepuitisan.

5. Cara menetukan tipografi

Tipografi adalah tata letak/perwajahan puisi. Contohnya bisa dengan susunan per bait
yang diletakan lurus, tidak lurus, zigzag, tanpa pemisah antar bait, dan lain- lain. Kita bisa
memanfaatkan tipografi ini untuk memperkuat makna puisi, misalnya puisi religi yang
menghadirkan hubungan vertikal kepada Tuhan bisa ditulis dengan tipografi lurus untuk
memperkuat makna hubungan lurus secara vertikal dengan Tuhan. Atau, puisi tentang jalan
kehidupan yang penuh liku bisa dituliskan dengan tipografi zigzag untuk mempertegas lika- liku
jalan hidupnya tersebut.

6. Cara menyusun irama

Agar puisi berirama, kita bisa mengolahnya dengan 1) memvariasikan jenis kalimat,
misalnya kalimat berita dengan tanya; 2) menyusun jumlah suku kata yang sama di setiap larik
agar terjadi pola waktu dan tekanan secara teratur; 3) pengulangan (repetisi);

13
Demikianlah teknik yang bisa kita terapkan dalam menulis puisi. Selanjutnya, agar puisi
yang kita tulis juga bagus dan baik, hendaknya kita memperhatikan p ula syarat-syaratnya, syarat-
syarat tersebut sebagai berikut.

SYARAT PUISI YANG BAIK

Seperti telah dikemukakan diatas, keberhasilan menulis puisi pada dasarnya ditentukan oleh
dua aspek penting, yakni

1) Intensitas penghayatan dan keterlibatan jiwa secara penuh dengan apa yang menjadi
pokok pembicaraan dalam puisi. Penghayatan dan keterlibatan inilah yang menciptakan
pemgalaman puitik.
2) Penguasaan teknis terhadap bentuk pengungkapan.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan menyusun rancang bangun dari komponen-
komponen puisi (antara lain: diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, dan tipografi).

Kedua hal di atas sama pentingnya hingga Thomas Stearns Eliot, sastrawan Inggris
penerima nobel sastra 1948, menyatakan bahwa ukuran keberhasilan sebuah puisi adalah pada
bentuk pengungkapan yang digunakannya, sementara kebesaran puisi tersebut ditentukan oleh
kontribusi penyair kepada pengaman hidup kemanusiaan. Dengan demikian, kedua hal ini harus
terpadu secara utuh dalam sebuah puisi. Bahkan, bukan hanya terpadu utuh, kontribusi penyair
juga akan terlihat dari seberapa dalam dan seberapa segar dan baru pengalaman kemanusiaan
yang menjadi pokok pembicaraan dalam puisinya, begitu pula bentuk pengungkapan yang
tercermin dalam kualitas estetika yang dihasilkannya.

Dari pemaparan tersebut, dapat ditarik rumusan tentang syarat atau kriteria puisi yang
baik..

1. Kepaduan

Kita semua mengetahui bahwa struktur puisi terdiri atas struktur fisik dan batin. Struktur fisik
sering disebut pula dengan metode puisi, adapun struktur batin disebut pula hakikat puisi.
Struktur batin pada dasarnya adalah makna puisi, sedangkan struktur fisik adalah sarana
kebahasaan untuk mengungkapkan makna tersebut. Menurut J.A. Richard, makna puisi itu tidak

14
hanya terkait dengan ide/gagasan/pokok yang dibicarakan dalam puisi tema (se nse) tetapi terkait
juga dengan nada (tone), perasan (feeling), dan itikad (intention). Makna ini diungkapkan lewat
sarana bahasa berupa diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, dan tipografi. Dengan kata lain, kita akan
mengetahui makna (struktur batin) puisi dari penyusunan struktur fisiknya berupa unsur-unsur di
atas.

Tentu saja, makna ini akan berhasil ditangkap dengan jernih oleh pembaca jika penulis
menyusun unsur-unsur berupa diksi, gaya bahasa, bunyi, imaji, dan tipografi ini sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam mencapai makna. Tidak ada unsur yang tidak padu. Kepaduan ini akan
tercermin dalam hal-hal berikut.

a) Kejernihan Bahasa,

Kejernihan bahasa akan membuat puisi mudah ditangkap maknaya, tidak gelap (obscure).
Kejernihan terjadi karena penulis memperhatikan unsur logika dalam penyusunan dari
penggunaan kata-kata pada puisinya Kejernihan terjadi karena penulis memperhatikan logika
dalam penyusunan kata-kata pada puisinya.Logika adalah cara bernalar secara tertib/benar, yang
selama ini dianggap sebagai ranah rasio atau pikiran., Sedangkan puisi sering dianggap ranah
perasaan. Anggapan seperti ini perlu diluruskan sebab dalam penulisan puisi, ras io pun
dipergunakan dan bekerja. Puisi tidak hanya menggunakan satu ranah. Puisi memerlukan
pengoptimalan berbagai aspek jiwa manusia, yakni perasaan, imajinasi, dan pikiran. Sebagai
contoh dalam proses menulis puisi, seorang penulis, dengan imajinasi dan perasaannya membuat
kata-kata konotatif, perumpamaan-perumpamaan, lambang- lambang, dan lain- lain. Imajinasi dan
perasaan mungkin dengan bebas menciptakan perumpamaan-perumpamaan itu. Namun di sini
unsur pikiran harus memberikan peran. Pikiran menuntun penulis memilih dan meletakkan
lambang- lambang secara tepat dalam struktur yang tepat dalam mengawasi proses itu. Logika
iambang itu harus selaras dengan logika rasio atau linier.

Sebagai contoh, ada sebuah larik berbunyi:

Tanah pekat mengaliri hatiku


Dari lembah hijau yang dihanguskan rindu

15
Sepintas larik- larik tersebut seolah puitis. Diksi-diksinya sekilas menarik tetapi setelah
ditelusuri dan dibaca secara cermat, kita akan dibuat bingung dalam memahaminya. Kedua larik
tersebut merupakan diksi (kata) yang disusun menjad kalimat yang merupakan metafora
sekaligus imaji. Namun, logikanya secara imaji kacau, sehingga kita tidak dapat mencernanya.
Pada larik pertama panca indra kita suli menghubungkan bahwa tanah pekat bisa mengalir.
Tanah pekat merupakan benda padat, jadi tidak bisa menga lir. Larik kedua juga membingungkan
karena secara imaji kurang bisa diterima, Bagaimana sebuah lembah menjadi hijau apabila kata
selanjutnya adalah dihanguskan. Imaji visual yang lebih tepat tentunya hitam. Lagipula, lembah
adalah tempat yang lebih rendah. Jadi bagaimana tanah pekat bisa mengalir dari suatu tempat
yang lebih rendah, karena sesuatu mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih
rendah, kecuali dipompa. Oleh karena itu, susunan diksinya sebagai kalimat secara logika sulit
ditangkap, maka imaji yang hendak dibangun pun bukan saling menguatkan, melainkan
melemahkan. Makna dari metafornya juga menjadi sulit dihubungkan sebagai perumpamaan dari
apa. Dengan demikian, maknanya gelap dan tidak bisa dipahami. Jadi di sini terlihat tidak
padunya diksi dengan gaya bahasa dan imaji.

b) Keefektifan

Selain unsur kesinambungan susunan kata dengan unsur- unsur struktur puisi lainnya yang
tercermin dalam kejernihan logika seperti di atas, kepaduan pun dibangun oleh keefektifan
penggunaan bahasa dari setiap unsur puisi. Artinya, tidak ada bagian yang tidak perlu dan tidak
mendukung atau bahkan membuat rancu. Bisa pula bagian yang tidak perlu itu membuat puisi
terasa boros, cair, tidak padat sehingga kurang sublime. Berikut contohnya:

sekelebat dekap menguar bersama gersangnya padang


genangan air bak kaca pecah di belah, retak dan tergilas
angin akan membolak-balikkan serpihan tubuhku jadi dua
jadi pola-pola kecil bak kerkil
bahak api membakar asaku sampai jadi abu
sampai jadi asap tebal yang pekat

Pada larik- larik di atas, selain susunan kata yang tidak jernih, juga banyak kata yang tidak
perlu yang malah membuat rancu. Selain itu, kata-kata terasa boros. Lihatlah misalnya larik:

16
Angin membolak-balikkan serpihan tubuhku jadi dua.
Jadi pola-pola kecil bak kerikil

Serpihan tubuh itu berarti sudah hancur, sehingga tidak perlu ditambah kata-kata jadi dua.
Kata Pola juga tidak perlu dituliskan karena selain rancu, juga boros (tidak relevan). Pola
menurut KBBI artinya gambar yang dibuat untuk contoh. Jadi tatkala digabung perumpamaan
bak kerikil, tidak menambahkan kuat, malah melemahkan. Sebagai alternatif lain untuk larik
tersebut kita bisa menuliskan:

Angin mengombang-ambingkan serpihan tubuhku


Yang bagai kerikil.
2. Kedalaman

Kedalaman secara morfologis bermakna seberapa mendalam, lawan dari mendalam adalah
permukaan. Seperti halnya kepaduan, keadalaman juga berkaitan dengan bentuk dan isinya.
Dengan demikian, kedalaman akan ditinjau dari dua hal yaitu 1) isi (tema, ide, pokok
pembicaraan) dan 2) bentuk (diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, dan tipografi).

Pada aspek isi, kedalaman diidentifikasi dari seberapa banyak dan luas pengetahuan dan
wawasan penulis tentang pokok yang dibicarakannya, seberapa jauh pula keterlibatan jiwanya
dengan pokok tersebut. Sebagai contoh, seorang penulis mengambil pokok pembicaraan (tema)
tentang cinta di dalam karyanya. Jika dia memiliki kedalaman tentang pokok yang
dibicarakannya, maka dia tidak akan sekedar mendeskripsikan perasaannya saja. Ia akan
memperkayanya dengan referensi wawasan dari berbagai pandangan tentang hakikat cinta itu.
Perenungan dan penghayatannya yang mendalam juga akan membuatnya mendedahkan berbagai
nilai- nilai yang mendalam tentang cinta itu, misalnya nilai filosofi, religi, dan lain-lain.

Aspek berikutnya yang akan diidentifikasi sebagai unsur kedalaman puisi adalah bentuk
pengungkapannya. Itu akan terlihat dari upaya penulis memilih dan mengeksplorasi kta-kata,
menciptakan gaya bahasa, imaji, bunyi, dan tipografi. Setiap unsur itu akan diusahakannya untuk
memperkuat makna. Sebagai conoth, bunyi vokal dan konsonan s dari kata-kata yang dipilih
penulis digunakan untuk memperkuat makna berupa nada marah dan sinis sebagai upaya
memperkuat pokok pembicaraan tentang kritik sosial yang diusung sebagai tema puisinya.

17
Tipografi dengan baris-baris yang tidak lurus sehingga terlihat berliku- liku ditunjukkan untuk
memperkuat pokok pembicaraan tentang persoalan sosial yang semrawut itu.

Apakah kriteria kedalaman ini harus terlihat pada kedua aspek di atas sekaligus? Yang ideal
memang demikian, dan biasanya, karena pada dasarnya keduanya merupakan suatu kesatuan,
maka kedalaman isi akan sekeligus tercermin pada kedalaman bentuknya.

Akan tetapi, kedalaman bisa juga dinilai dari salah satu unsut. Bisa saja isinya biasa-biasa,
namun cara penyampainnya mengeksplorasi setiap unsur kepuitikan. Atau sebaiknya, bentuk
pengungkapannya biasa, namun isinya mendalam.

3. Kebaruan/Orisinalitas

Orisinalitas dapat diartikan keaslian sekaligus kebaruan. Keaslian/kebaruan ini dapat dilihat
dari dua hal. Bisa dari pokok pembicaraan, tema, ide, gagasan, atau isi dikemukakan/diangkat.
Persoalan yang menjadi isi puisi itu belum pernah diangkat oleh penulis lain dalam puisi-puisi
yang ada sebelumnya. Keaslian dan kebaruan bisa pula terlihat dari cara pandang penulis tentang
pokok yang dibicarakan. Bisa jadi pokok yang dibicarakan merupakan masalah- masalah yang
sudah sering diangkat penulis lainnya. Tapi, jika cara pandangnya baru, maka puisi tersebut
mengandung orisinalitas.

Selain terlihat dari isi, orisinalitas juga diidentifikasi dari bentuk pengungkapan. Hal itu
terlihat dari misalnya diksi-diksi, perumpamaan-perumpamaan, dan lain- lain, yang tidak klise
sehingga mengandung kesegaran. Bahkan sangat mungkin eksperimentasi bentuk dilakukan
penulis.

Puisi yang orisinal/mengandung unsur kebaruan biasanya merupakan puisi yang ditulis
berdasarkan individuasi. Individuasi adalah istilah yang diambil dari psikologi yang
dikemukakan oleh Charel Gustave Jung, yang artinya proses dimana seorang individu sebagai
bagian dari keseluruhan menggunakan identitas yang terpisah dari keseluruhan tersebut, jadi dia
memiliki kekhasan yang mempribadi.

18

Anda mungkin juga menyukai