Anda di halaman 1dari 24

BAGAIMANA PUISI ITU TERCIPTA?

Proses menulis itu ibarat mata air yang mengalir ke sungai. Biarlah ia mengalir menjadi
sungai dan bermuara ke samudra lepas. Percayalah, orang- orang, ikan-ikan, batu-batu,
bahkan kotoran sekalipun memanfaatkannya untuk sebuah perjalanan hidupnya.
Janganlah ditutupi mata air itu. Janganlah dibendung sungai itu. Otak kita adalah
sumber mata air. Ia mengalirkan isinya untuk bermuara menjadi tulisan. Jadi,
biasakanlah otak kita seperti itu. Janganlah Kamu biarkan mata air (otak) itu diam
membeku. Salurkanlah menjadi tulisan. Jangan dibiasakan mendiamkan pikiran dan
perasaan ke dalam otak. Paling-paling akan memenuhi ruang bawah sadar kita. Tapi
jika ia disalurkan ke dalam tulisan, akan bermanfaat bagi orang lain. Dapat juga kelak
menjadi profesi sebagai seorang penulis. Profesi sebagai penulis sekarang ini,
mendatangkan imbalan materi yang lumayam.

Bagian Satu:
BERBAGAI MODEL PENCIPTAAN PUISI
Ada puisi yang cukup bisa difahami, tetapi bukan untuk dinikmati. Atau
sebaliknya, puisi yang sebatas untuk dinikmati tanpa harus memahami maknanya.
Atau keduanya, difahami dan dinikmati. Memahami puisi merupakan usaha untuk
menangkap makna dan
artinya. Sedangkan menikmati puisi lebih mengarah pada menangkap kedalaman
perasaan, sikap, nada, dan gaya yang muncul ketika membaca puisi.
Puisi memang cukup pendek untuk bisa menampung sebuah pengertian. Ia
sekedar menangkap kilatan momen-momen puitik yang muncul dalam diri
penyairnya. Puisi berkecenderungan tidak berbicara apa-apa, kecuali perasaan
yang dicitrakan melalui bahasa. Apalagi membaca puisi-puisi yang kental dengan
permainan kata dan perasaan. Alhasil, kita cukup menikmati kedalaman
perasaan aku lirik (Penyair ?). Berpijak pada asumsi di atas kita dapat
mengatakan, ada model puisi yang mengutamakan kekuatan sarana puitika
bahasa: simbol, rima, bunyi, imaji, diksi, dan metafora. Model puisi demikian,
penyairnya memiliki kekayaan perbendaharaan kata dan ungkapan-ungkapan
untuk menumbuhkan kenikmatan dan keindahan ketika puisi ini dibaca. Ia lebih
mementingkan efek artistik dalam diri pembaca ketika membaca puisi tersebut.
Tidak penting apakah makna puisi tersebut dapat dipahami atau tidak. Ia hanya
menangkap kilatan-kilatan emotif yang muncul dalam diri penyairnya melalui
rangkaian kata dan tipografi. Puisi-puisi Balai Pustaka dan Pujangga Baru
merupakan contoh puisi yang sangat memperhatikan penataan dan penyusunan
kata untuk memenuhi keindahan bunyi. Puisi-puisi lirik dan auditorium dapat
dijadikan contoh model puisi tersebut pada aspek imaji, metafora dan simbol
yang dipakai. Sedangkan puisi mantra, karya Sutarji Choulsoum Bachri misalnya,
merupakan contoh puisi yang lebih mementingkan bunyi dari pada makna. Bahkan
Sutardji secara terang-terangan ingin melepaskan kata dari maknanya dalam
credonya. Akibat yang ditimbulkan dari model puisi yang demikian itu adalah, (1)
puisi tersebut menjadi puisi gelap (frismatis) dan (2) puisi yang gagal. Akibat
pertama memang menjadi kesengajaan penyairnya sebagai konsekuensi style yang
dipilih.
Sementara akibat kedua cenderung karena ketidakmampuan penyairnya untuk
mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Ada model puisi yang tidak
mementingkan bahasa. Ia lebih mementingkan pesan yang ingin disampaikan
penyairnya kepada pembacanya. Kata-kata yang dipilih sebagaimana kata-kata
yang sering dijumpai dalam bahasa sehari-hari. Puisipuisi Chairil Anwar misalnya,
tidak mempersoalkan kata-kata yang dipakai, tetapi pesan dan makna yang
diungkapkan begitu kuat membangun kualitasnya. Ini semakin terlihat apabila
puisi-puisi Chairil Anwar tersebut dibandingkan dengan puisi-puisi pada pereode
sebelumnya, Pujangga Baru dan Balai Pustka. Oleh karena itu, Chairil Anwar
dianggap sebagai pembaharu sastra Indonesia modern (Avant Garde). Model
puisi yang ketiga di samping mengutamakan kekuatan bahasa juga kekuatan
penghayatan dan pendalaman terhadap isi (subject matter). Puisi seperti ini
mampu mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan penyairnya melalui
pilihan kata, simbol, persajakan, imaji, dan metafora yang tertata. Pembaca
tidak saja memperoleh kenikmatan yang ditimbulkan oleh cara penyair
mengungkapkan makna melalui sarana bahasa yang dipakai, tetapi juga makna
di balik sarana bahasa tersebut. Penyair-penyair seperti Sapardi Djoko Damono,
Gunawan Muhamad, Ayip Rosidi, Abdul Hadi WM., dan penyair lainnya yang
sudah mapan, merupakan contoh bagaimana
mereka sangat kuat dalam pengungkapan dan pendalaman apa yang ingin disampaikan
dalam puisi-puisinya.
Model-model puisi di atas dapat dijadikan referensi bagaimana menciptakan puisi,
khususnya bagi pemula. Paling tidak ada tigal hal yang harus diperhatikan di dalam
menciptakan puisi. Pertama, kekayaan perbendaharaan kata, simbol, imaji, dan
metafora. Hal ini dapat diperoleh apabila seseorang sering membaca puisi.
Keseringan membaca puisi orang lain akan menambah perbedaharaan bahasa
seseorang. Dan itu merupakan modal yang sangat berarti dalam menciptakan puisi.
Kedua, kepekaan emosi, pikiran, dan perasaan terhadap semua hal yang ada di
lingkungan sekitar. Kepekaan emosi, pikiran, dan perasaan ini akan memunculkan
kedalaman penghayatan dan perenungan terhadap apa yang ingin disampaikan dalam
puisi yang diciptakannya. Perasaan empati, simpati, inisiatif, reflektif, daya kritis, dan
kekuatan untuk menangkap di balik realitas, merupakan kepekaan perasaan dan
pikiran yang akan bermuara ke dalam puisi.
Ketiga, keseringan di dalam menciptakan puisi. Pikiran dan perasaan
sebagai sumber penulisan puisi sesunggungnya merupakan suatu proses kesadaran.
Ia bersifat dinamis; senantiasa bergerak dan berjalan dalam diri seseorang. Namun
demikian, proses pikiran dan perasaan tersebut tidak akan teraktualisasi tanpa
diungkapkan ke dalam tulisan dan tindak tutur seseorang. Kebiasaan seseorang
mengaktualisasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, baik melalui tulisan maupun
tuturan, akan menentukan kefasihan atau ketrampilan seseorang dalam berbicara atau
menulis. Ide dan inspirasi hanyalah pendorong seseorang untuk memikirkan dan
merasakan dalam dirinya. Dan apa yang dipikirkan dan dirasakan tersebut diungkapkan
melalui media bahasa. Puisi merupakan salah satu ragam tulisan yang membutuhkan
kefasihan atau keterampilan tersebut. Semakin sering menulis puisi semakin fasih dan
terampil.
Keterpaduan ketiga hal di atas akan membangun kualitas puisi. Teknik menulis puisi
berkisar pada hal-hal di atas. Namun demikian, terlepas dari itu semua, menulis puisi
mesti berangkat dari kegairahan bersastra. Tanpa kegairahan bersastra tidak mungkin
tercipta tradisi mencipta karya sastra (puisi). Pada hakikatnya pencintaan karya sastra
merupakan kebiasaan yang terbangun karena komitmen dan motivasi dalam
menggairahkan bersastra, baik secara indidual maupun dalam konteks yang lebih luas
(berkesenian).

Bagian Dua:
DARI PERISTIWA, IMAJINASI, KE PUISI

semua P
Puisi bukan semata-mata menuliskan peristiwa tetapi menuangkan makna di balik itu

yang diungkapkan dalam puisi. Suatu peristiwa yang terjadi dalam realitas
hanyalah sebuah fakta. Pemahaman terhadapnya sebatas suatu rangkaian kejadian
yang secara empiris dilihat atau didengar. Tetapi bukan fakta empiris itu yang esensial
bagi seorang penyair. Fakta itu hanyalah ide dan inspirasi yang
mendorong penyair untuk mencipta sebuah puisi. Sementara sumber kekayaan
tematis dan makna dalam penciptaan puisi tersebut terletak pada penghayatan,
perenungan, tanggapan, pemikiran, dan perasaan penyairnya terhadap fakta
empiris itu.
Bagi penyair, biarlah peristiwa sebagai sebuah fakta menjadi bagian dari sejarah.
Bukan tugas seorang sastrawan untuk melaporkan dan mencatatnya, melainkan
sejarawan atau seorang jurnalis. Makna apa dibalik peristiwa, adalah hal yang
terpenting. Peristiwa penembakan mahasiswa demonstran di zaman orde lama,
di mata Taufiq Ismail menjadi bahan perenungan dan penghayatan untuk
diungkapkan dalam puisinya berikut ini.

Tiga anak kecil


Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu

Ini dari kami bertiga


Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi

(1966)

Begitu pula dengan Rendra, ketika mengamati realitas masyarakat yang begitu
timpang; antara kemiskinan dan gaya hidup sebagaian masyarakat yang
membanggakan kekayaannya.

………………….
Janganlah kamu bilang negeri ini kaya
Karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa
Jangan bilang dirimu kaya
Bila tetanggamu memakan bangkai kucing

Banyak peristiwa dalam sejarah hidup manusia terlupakan begitu saja. Ketika ia
menengok ke sejarah hidupnya itu, tidak sekedar rentetan peristiwa demi
peristiwa telah terjadi dalam hidupnya, tetapi ada pencerahan di sana. Chairil
Anwar mengungkapkan hal itu ke dalam puisinya berjudul Selamat Tinggal
(1959).

Selamat Tinggal

Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
- dalam hariku? –
Apa hanya ingin lalu?

Lagu lain pula


Menggelepar tengah malam buta

Ah………….!!

Segala menebal, segala mengental


Segala tak kukenal……..!! Selamat
Tinggal………!!

Ketiga penyair di atas didorong oleh suatu peristiwa yang terjadi dalam realita, baik
realitas di luar dirinya yang diamatinya, maupun realitas dalam sejarah hidupnya
yang telah dialaminya. Taufiq Ismail bukan ingin mencatat sebuah peritiwa
penembakan para mahasiswa di tahun 60-an ketika berdemonstrasi menentang tirani
orde lama. Rendra bukan ingin melaporkan suatu realitas yang terjadi di
lingkungannya ketika ia mengamati terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat. Dan
Chairil Anwar bukan ingin mengungkapkan tentang kejelekan dan kekurangan dirinya.
Ketiganya berusaha untuk mengungkapkan apakah makna di balik semua peristiwa
itu. Peristiwa-peristiwa itu merupakan momen puitik yang muncul dari dalam pikiran,
perasaan, perenungan, dan penghayatan ketiga penyair itu. Kalau peristiwa yang
diamati dan dialami bersumber dari realitas sebagai fakta empiris (obyektif), tetapi
puisi yang terinspirasi dari peristiwa itu bersumber dari kesadaran penyairnya sebagai
fakta imajinatif.
Jika dalam sejarah, suatu peristiwa yang ditulis oleh banyak orang, akan menghasilkan
laporan yang sama. Seorang penulis sejarah harus melaporkan fakta demi fakta itu
sendiri. Jika terdapat perbedaan di antara mereka, hanya satu yang diakui
kebenarannya. Semua hal yang terjadi dalam peristiwa itu mesti dicatat. Tidak ada yang
ditutup-tutupi atau sengaja dihilangkan. Kalau itu terjadi, sesungguhnya ia tidak
berpretensi menulis sejarah, tetapi ada kepentingan lain. Sebaliknya, peristiwa yang
sama akan menghasilkan pengungkapan yang berbeda-beda dalam puisi. Penyair
bukan ingin menulis sejarah, agar orang lain mengetahui tentang peristiwa itu. Penyair
menangkap pengalaman puitik ketika menghadapi, merenungkan, dan menghayati
peristiwa itu. Apakah makna di balik peristiwa itu? Apakah hakikat peristiwa itu?
Apakah yang bergejolak di dalam batin penyair? Bagaimana sikap, pandangan,
pemikiran, suasana perasaan yang timbul dalam diri penyair ketika melihat peristiwa
itu? Serangkaian pertanyaan itulah yang berlangsung dalam proses penciptaan puisi.
Bandingkan dengan puisi berikut ini, yang ditulis oleh seseorang yang berusaha untuk
belajar menulis puisi.
Kata Itu

Kata itu …
Slalu aku tunggu
Slalu aku rindu
Slalu ingin aku dengar darimu
Kata itu …
Tak pernah terucap darimu Tak pernah
terdengar olehku Tapi, sikapmu lembut
Perhatianmu melebihi sahabat
Perlahan, hati ini mulai terlambat
Kata itu …
Belum juga terucap
Kini …
Semua sudah terlambat
Kata itu …
Baru kau ucap
Aku telah bersamanya Kau
telah jadi miliknya Kata itu …
Hanya menyiksa kita.

Karya: Nikmah (2009)


dokumen Sanggar Sastra Unirow Tuban

Teknik pengungkapan dalam puisi di atas cukup bagus. Penulisnya memiliki


pemahaman bagaimana ia mesti menuangkan sesuatu yang dialaminya atau
dirasakannya dalam bentuk puisi, bukan dalam bentuk genre sastra yang lain.
Pilihan kata, pengulangan yang sengaja disusun, tipografi, dan efisiensi
penggunaan kata, menunjukkan ia cukup memiliki modal untuk menulis puisi.
Keberanian dan kejujurannya untuk mengungkapkan sepenggal kisah yang
dialami aku lirik (penyairnya?) untuk diketahui pembaca, patut dihargai. Lantas,
bagaimana jika puisi ini ditempatkan dalam konteks pembicaraan tentang
hubungan peristiwa dan penciptaan puisi yang telah disampaikan di atas? Itu hal
yang penting untuk menjadi masukan dan pertimbangan bagi penulis puisi
berjudul Kata Itu di atas.
Puisi berjudul Kata Itu di atas mencoba merekam suatu peristiwa yang dialami aku
lirik ketika ia menanti ucapan seseorang ‘sahabat’ yang tak kunjung terucap. Apa
itu? Kalau ditilik dari baris-baris terakhir: Semua sudah terlambat/…./Kata itu
…/Baru kau ucap/Aku telah bersamanya/Kau telah jadi miliknya/, kata itu adalah
ungkapan cinta. Semuanya sudah terlambat. Keterlambatan itu Hanya menyiksa
kita. Hal yang ingin diungkapkan penyairnya merupakan suatu peristiwa yang
biasa dan banyak dialami orang lain yang seumur dengan penulis puisi itu.
Seandainya penulis mau lebih dalam lagi merenungkan dan menghayati apa
makna di balik peristiwa itu, akan terlihat
kedalaman pengalaman batin penulisnya itu. Perhatian penulisnya terhadap apa yang
dinanti cukup berlebih. Perulangan kata itu memang cukup berhasil untuk
mengungkapkan efek emotif, tetapi kurang mampu mengungkapkan kedalaman emosi
dan perasaan ketika penantian itu begitu menyiksa aku lirik. Mari kita bandingkan
bagaimana ketersiksaan aku lirik begitu dalam terungkap dalam pengucapan puisi
berikut.

……………………..
Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar
semua di muka Nanah melelh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap


kau memandang Menetes dari suasana kau
datang Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku Menghempas


aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.

………………………..

Kepada Peminta-Minta
Chairil Anwar (1959)

Bukan maksud penulis untuk membandingkan seorang penulis puisi pemula dengan
penyair sekelas Chairil Anwar. Paling tidak, dengan memperbandingkan itulah, kita
dapat belajar. Salah satu hal yang bisa kita ambil dari puisi Chairil Anwar tersebut
adalah, bagaimana Chairil mampu mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan
ketika melihat seorang pengemis di hadapannya. Ada perasaan mencekam dalam diri
aku lirik (Cairil Anwar?) ketika melihat pengemis yang bercacar dan bernanah seolah
mengingatkan dirinya akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Untuk melengkapi
pembicaraan ini, berikut ditampilkan sebuah puisi karya seorang pelajar yang dimuat
dalam Kaki Langit (Horison, Edisi VII, 2008:15).

Aku dan Kamu

Aku mendayung
Semakin menjauh dari tepi
Menyelami kamu
Dan mendengar keluhmu
Aku terus mendayung
Mengelus tubuhmu
Dari menikmati Indahmu
Hingga
Aku tenggelam ke dalammu

Karya: Biazamsha Kharisma Pinatih

Puisi di atas cukup memberikan bukti bahwa penulisnya telah mampu


mengungkapkan apa yang ada dalam gejolak pikiran dan perasaanya. Pilihan
kata, imaji, metafora, dan kedalaman imajinasi terungkap dalam puisinya itu.
Tetapi, jika pada puisi Kata Itu, penulisnya kurang dalam menukik dan
mengembara ke kedalaman perasaan dan imajinasinya. Sedangkan pada puisi
Aku dan Kamu, penulisnya telah mampu menukik dan mengembara ke
kedalaman perasaan dan imajinasinya, tetapi kurang mengendalikan
pengembaraannya itu sehingga imajinasinya tidak tersusun dengan baik. Terasa
puisinya meloncat-loncat tak tertata. Paling tidak, keduanya memiliki awal yang
baik sebagai modal menjadi seorang penulis puisi (penyair).
Ujung pembicaraan ini sesungguhnya mengarah pada imajinasi. Karena
imajinasi itulah sebuah puisi dibangun lewat media bahasa. Di awal tulis ini
dikemukakan bahwa sumber kekayaan tematis dan makna dalam penciptaan
puisi terletak pada penghayatan, perenungan, tanggapan, pemikiran, dan
perasaan penyair terhadap fakta empiris (baca: ide dan inspirasi). Substansi
pemikiran ini sesungguhnya adalah puisi merupakan tempat bermuaranya
pengembaraan imajinasi penyairnya. Di dalam samudra perasaan dan pikirannya,
majinasi seorang penyair mengembara ke mana-mana. Ia menukik, meloncat-
loncat, masuk ke ruang tak terbatas, bahkan ke tempat yang paling mustahil
sekali pun. Ia akan menjadi liar tak terkendali jika penyair itu tidak mengarahkan
dan memfokuskannya pada puisi yang akan ia tulis. Imajinasi-imajinasi itu harus
tertata dan terhubung satu sama lain sehingga puisi yang ditulisnya tidak terasa
meloncat-loncat. Ia menjadi padu dalam mengungkapkan makna yang ingin
disampaikan dalam puisinya itu. Puisi berikut merupakan contoh bagaimana
penulisnya telah mampu mengembara di ruang imajinasinya secara bebas.
Tetapi, karena pengembaraan itu tidak terkendali dan terpusat, imajinasi dalam
puisi tersebut terasa ke mana-mana dan tak tertata secara padu.

Pengarung Lautan Malam

Hidup dalam lingkaran pijaran kobaran api


Menghirup dunia kebebasan lintangan alam

Melingkar dalam gerombolan yang membentang


Bertarung membelah ombak samudra kegelapan Menari
di tengah-tengah badai angin malam

Terdengar jejak prajurit dalam dunia mimpi


Berjalan di atara pohon tua dan guguran dedaunan kering

…………………………..

Karya: M. Faizal Rosyidin


Kaki Langit (Horison, Edisi VII, 2008)

Di samping kurang padu dan terfokus, puisi di atas terasa berlebihan; jika tidak boleh
dikatakan bombastis. Puisi tersebut terkesan meloncat dari satu titik ke titik yang
lain sebelum mampu mengungkapkan makna yang ingin diungkapkan
penyairnya. Namun demikian, kekuatan pengembaraan imajinasi penyairnya sungguh
merupakan kekayaan tak ternilai dalam proses penciptaan puisi selanjutnya. Tinggal
bagaimana mengasah teknik dan cara mengendalikan pengembaraan imajinasi yang
begitu liar dan ke mana-mana itu.
Dengan demikian, hubungan peristiwa dan imajinasi dalam penciptaan puisi terletak
pada ide dan ispirasi yang bersumber dari peristiwa yang dialami penyairnya untuk
mendorong pengembaraan ke dalam imajinasi (perasaan dan pikiran). Pada gilirannya,
pengembaraan itu bermuara ke dalam puisi lewat media bahasa dan sarana puitik.

Bagian Tiga:
BAHASA MEMBANGUN PUISI

J
jika peristiwa menjadi pendorong (inspirasi) dan imajinasi menjadi jiwa puisi, maka
bahasa merupakan medianya. Artinya, imajinasi yang menjadi dasar
penciptaan puisi akan dijilmakan atau diungkapkan dalam bahasa (kata). Oleh karena
itu, kata-kata yang dipilih pengarang bukan semata-mata mengungkapkan makna
puisi, tapi juga mampu memberikan efek emosional atau perasaan penyairnya. Kata-
kata yang dipilih haruslah mampu mengungkapkan gambaran perasaan dan suasana
batin penyair ketika puisi itu ditulis. Di sinilah nilai puitika akan nampak dalam puisi
yang diciptakan penyairnya.
Bagaimanakah puisi bisa mengejawantahkan apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan diimajinasi penyairnya? Puisi menggunakan sarana puitika bahasa untuk
itu. Sarana puitika yang dimaksud adalah kata, ungkapan, imaji, dan gaya bahasa.
Seorang penyair akan memilih, menciptakan, dan menata sarana puitika itu agar
mampu menyampaikan perasaan dan imajinasinya ke dalam puisi. Itu bersifat khas;
berbeda atara penyair yang satu dengan yang lain. Orang menyebutnya sebagai style.
Marilah kita mencermati puisi berikut.

Padamu Jua

Habis kikis
Hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan Sabar,
setia selalu.

…………………
Amir Hamzah

Bandingkan dengan puisi Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan Sutarji Choulsum
Bachri berikut ini.

Selamat Tinggal

Aku berkata

Ini muka penuh luka


Siapa Punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
……………………..
Chairil Anwar

Istri

-- istri mesti digemateni


Ia sumber berkah dan rejeki
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Istri sangat penting untuk ngurus kita


Menyapu pekarangan
Memasak di dapur Mencuci di
sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya, istri sangat penting untuk kita.

Darmanto Jatman

SEPISAUPI

Sepisau luka sepisau duri


Sepisau dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi

Sepisapa sepisaupi Sepisapanya


sepisaupi Sepisanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi Sepikul diri
keranjang duri
……………..
Sutarji Choulsum B.

Keempat puisi di atas berbeda style-nya. Perbedaan itu dapat dilihat pada penataan
dan penciptaan sarana retorikanya. Baik kata-kata yang dipilih, ungkapan, imaji, dan
gaya bahasanya. Karena memang, dalam hal style tak ada yang sama di antara para
penyair. Ia khas dan pribadi milik penyair. Tapi penyair keempat puisi itu sama dalam
hal kesadarannya untuk menggunakan sarana puitika yang mampu mewadahi
perasaan, pemikiran, dan imajinasinya.
Dalam puisi Padamu Jua, Amir hamzah sangat tertip dan selektif dalam memilih kata-
katanya. Ia memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (persajakan) agar
puisinya itu menimbulkan irama sebagaimana sebuah orkestra yang melantunkan lagu
bernada syahdu. Pasangan kata-kata: Habis – kikis, hilang
– terbang, kembali – seperti, padamu – dahulu, kaulah – kandil – kemerlap, pelita
– jendela, kemerlap – gelap, pulang – perlahan, dan Sabar – setia – selalu,
menimbulkan irama ketika puisi itu dibaca. Sekaligus, pembaca akan mampu
merasakan irama dan nada perasaan penyairnya ketika menulis puisi itu. Perasaan
syahdu penyairnya mampu dimunculkan oleh kata-kata yang dipilih. Begitu juga imaji
kinetik/gerak dan imaji visual yang diciptakan Amir Hamzah berikut: Segala cintaku
hilang terbang (imaji kinetik/gerak) dan Kaulah kandil kemerlap, Pelita jendela di
malam gelap, Melambai pulang perlahan (imaji visual). Imaji atau pencitraan yang
dicipta mampu mengkonkritkan perasaan dan batin penyair yang abstrak. Imaji atau
citra memang berfungsi untuk mengkonkritkan apa yang diabstraksikan
(diimajinasikan/dirasakan) penyair ketika mencipta puisinya.
Berbeda dengan puisi Chairil Anwar yang cenderung atau terkesan tidak terlalu
memusingkan pilihan kata-katanya. Kata-kata yang dipilih sebagaimana kata-kata yang
dipakai sehari-hari. Tidak ada kata-kata klise dalam puisinya yang berjudul Selamat
Tinggal itu. Memang itulah style khas dari kepenyairan Chairil Anwar. Hal itu terlihat
juga dalam puisi-puisinya yang lain. Tetapi bukan berarti Cairil tidak menata dan
memilih kata-kata yang ada dalam puisi tersebut. Meskipun kata-kata terkesan biasa,
tetapi Cairil tetap memilih kata-kata itu sebagai sarana puitika untuk mewadahi
perasaan dan emosinya. Baris Aku berkaca/ Ini muka penuh luka/Siapa punya?//,
mengandung simbol dan emosi sebagaimana yang dirasakannya ketika mencipta
puisi tersebut. Kata berkaca dan muka penuh luka menggambarkan introspeksi
(mawas diri) atas kejelekan
dan dosa-dosa yang pernah dia lakukan. Baris Ini muka penuh luka memunculkan
imaji visual yang menjijikkan dan perasaan menderita yang dialami aku lirik
(penyairnya?). Imaji tersebut mampu mengkonkritkan (membuat nyata)
perasaan Chairil yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya secara abstrak.
Style atau gaya Darmanto Jatman berbeda pula. Puisi yang berjudul Istri sangat
bernuansa Jawa. Sebagai orang Jawa yang juga tinggal di Jawa Tengah (Semarang),
puisinya itu mengalirkan sikap dan nada ke-jawa-annya. Baris puisinya: Istri mesti
digemateni/ ia sumber berkah dan rejeki//…/mengirim rantang ke sawah/dan
negeroki kita kalau kita masuk angin/, terasa dekat dengan suasana
kehidupan masyarakat Jawa. Kata digemateni (gemati), berkah, rejeki, rantang,
sawah, dan ngeroki, merupakan kata-kata yang lazim dijumpai dalam kosa kata
bahasa Jawa. Style yang dipilih Darmanto Jatman semacam itu sangat relevan
dengan makna dan pesan yang akan disampaikan lewat puisinya itu. Penyair
dalam puisinya itu ingin mengungkapkan pandangannya tentang peran dan
kedudukan istri berdasarkan pandangan hidup sebagai orang Jawa. Lain jadinya
apabila konsep istri (wanita) Jawa diungkapkan dengan gaya yang berbeda.
Dengan demikian, ada kesengajaan penyairnya untuk membangun nada dan
menata sarana putika yang bernuansa Jawa untuk mengungkapkan tema ke-jawa-
an itu.
Pada masa 70-an, dunia kesusasteraan Indonesia diwarnai eksperimentasi besar,
ketika suhu kebudayaan di tanah air lepas dari dominasi Lembaga Kebudayaan
Rakyat yang berafiliasi pada PKI. Salah satu bentuk eksperimen tersebut salah
satunya di bidang puisi. Penyair Sutarji Choulsoum Bachri merupakan penyair yang
sangat frontal memberontak konvensi (aturan) puisi yang berlaku sebelumnya.
Dalam konsep kepenyairannya (kredo), Sutarji ingin membebaskan kata dari
maknanya. Ia berangkat dari mantra; genre puisi lama Indonesia. Puisi yang
berjudul Sepisaupi di atas merupakan salah satu contoh betapa dia tidak
memperhatikan sistem bahasa yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Pada
penyair sebelumnya, hal itu tidak pernah dilakukan.
Dalam puisi di atas, jelas Sutarji dengan sengaja menyimpang dari sistem bahasa
yang ada. Dengan begitu, sepisaupi tidak memilki arti apa-apa jika dipandang dari
sistem bahasa Indonesia. Penyairnya sengaja menggabung kata- kata: sepi – pisau
– pikul digabung menjadi sepisaupi. Berdasarkan gaya dan cara yang dipakai
penyairnya seperti itu akan didapatkan makna interpretatif; sepi itu seperti pisau
yang mengiris dan berat seperti barang sepikul. Baris pertama
/sepisau luka sepisau duri/ dapat dimaknai: sepi itu seperti pisau yang mengiris-
iris luka, sepi itu seperti pisau yang mengiris-iris duri. Sesungguhnya Sutarji
berusaha memunculkan bunyi yang ditimbulkan dari kata-kata yang digabung itu.
Meskipun Sutarji dalam kredonya ingin melepaskan kata dari maknanya, tetapi
sebenarnya dia tidak serta merta meninggalkan makna dari kata-kata yang
dipakai. Berdasarkan style atau gaya yang dipakai memang cenderung makna
tidak diperhatikan, tetapi apabila kata-kata yang digabung tersebut diurai akan
nampak maknanya. Begitu juga dengan puisi-puisi yang lainnya, dia berusaha
untuk tidak memperhatikan makna karena kata sengaja dirusak (dalam tanda
petik) untuk menciptakan style-nya itu. Puisinya yang berjudul Tragedi Winka &
Sihka, Sutarji sengaja membalik kata kawin dan kasih menjadi winka & sihka. Dengan
membalik kata tersebut, dia akan berbicara tentang ketidaksempurnaan sebuah
perkawinan karena munculnya konflik dalam liku-liku kehidupan manusia yang
mengalaminya. Oleh karena itu dalam puisinya itu, Sutarji menyusun tipografinya
seperti huruf “Z” yang menyimbulkan lika-liku hidup dalam perkawinan.
Itulah perbedaan dari keempat style atau gaya yang dipakai oleh penyairnya.
Perbedaan itu disebabkan oleh pemilihan kata, ungkapan, simbol, imaji, dan gaya
bahasa yang dipakai dan ditata sedemikian rupa dalam puisinya. Penataan tersebut
dimakusudkan untuk mewadahi apa yang dipikirkan dan dirasakan penyairnya ketika
menciptakan puisinya. Setiap penyair akan berbeda, karena masalah style atau gaya
tersebut bersifat khas. Kalau kemudian terdapat persamaan dengan puisi-puisi yang
ditulis oleh penyair lainnya, dalam teori sastra disebut sebagai intertekstual. Saling
mempengaruhi di antara para penyair tentunya pasti terjadi. Gaya Amir Hamzah tentu
akan banyak dijumpai dalam puisi-puisi sezamannya (Pujangga Baru). Begitu juga pada
zaman 45-an, puisi- puisi Chairil Anwar banyak mempengaruhi penyair-penyair lainnya.
Itu pun berlangsung pada zaman-zaman sesudahnya, zaman 60-an, 70-an, 80-an atau
pada zaman sekarang. Atas dasar model yang sama itulah dapat dirumuskan sebuah
angkatan sebagaimana yang dilakukan kritikus sastra seperti H.B. Yasin, Ayip Rosidi,
dan kritikus-kritikus lainnya. Di samping terdapat pertimbangan yang lain, misalnya
semangat zaman, untuk mengelompokkan sastra Indonesia dalam angkatan yang
berbeda. Itu tugas seorang kritikus sastra.

Bagian Empat
CITRA MENGKONKRITKAN SUASANA

A
Apa yang menyebabkan sebuah puisi begitu nyata dan dalam di benak pembaca?
Jawabnya adalah citra atau imaji. Pengalaman estetik dan
imajinatif yang dialami penyair ketika puisi dicipta, merupakan pengalaman yang
abstrak. Ia merupakan pengembaraan dalam samudra imajinasi pengarangnya.
Pengalaman itu berupa letupan-letupan perasaan dan suasana; kilatan puitik. Ketika
penyair menangkapnya melalui kata-kata dan ditulis di atas kertas, jadilah sebuah puisi.
Dengan begitu, puisi sesungguhnya sebuah abstraksi dari pengalaman.
Tapi bayangkan, seandainya tidak ada sarana stilistik-bahasa, apa mungkin
pengalaman estetik dan imajinatif itu dapat juga dirasakan oleh orang lain? Tidak
mungkin. Bahkan hanya dengan rangkaian kata-kata saja, tak mungkin itu terjadi. Di
sini puisi bukan sekedar kata dirangkai dengan kata menjadi kalimat atau baris.
Puisi bukanlah sebuah pengertian yang ditimbulkan oleh bahasa yang dipakai
pengarangnya, sebagaimana dalam komunikasi sehari- sehari. Tidak sekedar pesan
‘arti’, tapi juga ‘rasa’. kata-kata yang dipilih penyair disusun dalam suatu pencitraan
tertentu. Tujuannya, pengalaman estetik dan imajinatif itu menjadi konkrit. Apa
yang didengar, dirasa, dilihat, dan dilihat
bergerak, diungkapkan melalui citra itu. Oleh karena itu, dalam teori sastra ada
jenis citra visual, audio, suasana, gerak, dan sebagainya. Perhatikan bebera
kutipan puisi berikut ini.

Ini muka penuh luka


Siapa punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hariku? –
Apa hanya ingin lalu?

Selamat Tinggal, Chairil Anwar

Puisi Chairil di atas terasa konkrit, karena kehadiran citra visual dan audio.
Baris: Ini muka penuh luka/Siapa punya?// adalah citra visual yang
mengkonkritkan suasana perasaan yang menjijikkan. Penyair tidak perlu
berbicara secara langsung tentang kehidupannya yang penuh dosa dan
menjijikkan itu. Ia cukup mewakilkannya pada bangunan citra: Ini muka penuh
luka. Kehadiran citra visual tersebut lebih mampu menggambarkan apa yang
dirasa dan diimajinasikan (pengaman puitik, sestetik) dari pada seandai Chairil
berbicara secara langsung, misalnya: “Hidupku menjijikkan/Ini hidupkukah?”.
Bandingkan itu dengan baris puisi Chairil di atas.
Begitu juga dengan citra audio pada baris selanjutnya: Kudengar seru
menderu/-dalam hariku/...//. Pembaca seolah ikut mendengar betapa perasaan
Chairil yang gelisah, sedih, berdegup kencang, seperti suara mesin yang keras
dan terus menerus (menderu). Citra audio tersebut lebih konkrit dan mengena
untuk menggambarkan suasa perasaan Chairil. Meskipun baris tersebut bisa saja
diungkapkan melalui rangkaian kata yang maknanya sama, tetapi pencitraan
yang dibangun Chairil lebih mengena, konkrit dan gelisah. Bandingkan
seandainya baris tersebut diganti: “Kudengar suara memekakkan telinga, dalam
hariku, apa karena akan mati? Untuk memberikan gambaran betapa puisi Chairil
ini terasa konkrit dan bersuasana kejiwaan, berikut ini ditampilkan puisi itu
secara lengkap.

Selamat Tinggal

Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hariku? –
Apa hanya ingin lalu? Lagu

lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah………….!!

Segala menebal, segala mengental


Segala tak kukenal……..!! Selamat
Tinggal………!!
Chairil Anwar

Puisi Chairil Anwar di atas terasa sangat kuat, meskipun singkat. Pertama, pilihan kata
yang padat, tak perlu melebar dan berpanjang-panjang. Kedua, penggunaan gaya
bahasa metafora (Ini muka penuh luka) dan personifikasi (menggelepar tengah malam
buta). Ketiga, pencitraan yang sangat menonjol (baris tebal menunjukkan pencitraan
tersebut). Keempat, adanya persajakan (rima) atau pilihan kata yang memiliki
persamaan bunyi: berkaca-luka-punya, seru menderu-hariku-ingin lalu, lagu lain pula,
menebal-mengental-kukenal- selamat tinggal. Persamaan bunyi (aliterasi dan
asonansi) seakan membangun nada orkestra lewat kata.
Keempat hal itulah menjadi trade mark bagi Chairil Anwar, yang
sebelumnya tak dilakukan penyair-penyair lain. Oleh karena itulah, Kenapa kemudian
penyair ini disebut sastrawan pembaharu, pendobrak, avant-garde, dan pelopor
sastrawan angkatan ’45. Sampai saat ini, pembaharuan Chairil tersebut masih
berpengaruh sebagian besar penyair. Bagaimana dengan Anda? Meskipun bukan satu-
satunya gaya pengungkapan yang ada dalam kesusasteraan Indonesia, nampaknya
gaya Chairil Anwar masih bisa menjadi referensi bagi penciptaan puisi kemudian.
Bukankah kita harus belajar dari yang ada. Selanjutnya terserah Anda.

BAGAIMANA ESAI ITU TERCIPTA?


Esai tentang Esai

Di kalangan sebagian ahli, esai dimasukkan sebagai salah satu genre


sastra. Artinya, esai telah memenuhi syarat untuk disebut sastra. Dari sisi bahasa
dan cara pengungkapan, pendapat sebagian ahli tersebut ada benarnya. Tapi dari
sisi apa yang diungkapkan dan tujuannya, terdapat perbedaan yang mencolok
dibanding genre sastra lain, seperti puisi, cerpen, novel, roman, dan drama.
Namun demikian, apapun pendapat orang, semua akan setuju jika dikatakan
bahwa esai lebih dekat dengan ragam sastra dari pada ragam yang lain. Bahkan
sangat jauh jarak yang membedakan antara ragam yang digunakan dalam esai
dengan tulisan ilmiah.
Ibarat sebuah renungan, esai ditulis untuk mengungkapkan apa yang
direnungkan itu. Di sana terdapat bentuk-bentuk proses kesadaran penulisnya,
seperti: perasaan, pemikiran, penghayatan, pembayangan, pengayalan, dan
pengargumentasian. Di sana juga terdapat emosi, nafsu, suasaana perasaan
(mood), libidinal, dan memori bawah sadar. Semuanya serba ada dalam proses
penulisan esai. Kalau kemudian esai dibaca, semua itu seperti anak katak
berloncatan dari balik semak-semak bernama esei. Bukankah pembaca itu
seperti orang yang menguak-uak, mengibas-ibas, dan menyibak-nyibak
kerimbunan tanaman di belantara bahasa? Ia ingin mengetahui ada apa di dalam
kerimbunan itu. Dan anak-anak katak seperti terganggu olehnya dan
berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya. Pembaca yang tak jijik pada
katak, ia akan melihatnya dengan takjub, senang, dan geli. Sebaliknya yang jijik,
ia akan marah, mengumpat, bahkan membanting apa yang dibacanya.
Sementara para perempuan yang biasa berperasaan, merasakan sedih, prihatin,
terharu, tersenyum, penasaran, dan penuh rasa simpati dan empati.
Tapi esai juga seperti argumentasi seorang profesor senior berambut
botak dengan kaca mata kecil bundar menggantung sedikit ke bawah matanya.
Tak terbantahkan, lantaran ia berisi proposisi-prosisi paradigmatis yang
kebenarannya tak perlu diuji lagi selain diterima begitu saja menjadi cara
pandang tentang hakikat realitas. Kalau hanya omongan seorang anggota dewan
saja, dilibas. Kalau hanya ceramah dosen di depan mahasiswa saja, belum ada apa-
apanya. Bahkan omongan presiden, pengacara pokrol bambu, atau orator ulung
sekalipun, esai tetap berada di jajaran teratas. Ia kelak akan langgeng dikenang
oleh pembacanya. Bahkan sangat membekas menjadi sebuah tradisi ilmiah yang tak
ilmiah, karena memang esei bukan tulisan ilmiah.
Esai juga seperti ajaran kebijakan filosofis tentang hakikat kehidupan. Ia hasil
dari kontemplasi manusia tentang hakikat kebenaran. Esai mempertanyakan segala
hal ihwal yang ada dan keadaannya. Yang ada, nampak, dan nyata, dipertanyakan
dalam renungan-renungan penuh makna. Tujuannya, agar esai dapat membuka
cakrawala pembaca tentang sesuatu yang masih samar menjadi nyata; yang nampak
menjadi terang, dalam kenyataan atau ketidaknyataannya. Tujuannya, agar esai dapat
memberikan pencerahan dan penyucian terhadap nafsu-nafsu, hasrat-hasrat, dan
kehendak yang cenderung meledak-ledak dalam diri manusia. Maka, esai membangun
kualitasnya dengan untaian kalimat persuasif dan ekspresif. Maka, esai membangun
substansinya dengan kebijakan-kebijakan hidup.
Berlebihankah, mengibaratkan esai seperti anak katak berloncatan dari balik semak
belantara bahasa? Seperti proposisi seorang profesor senior? Atau, seperti ajaran filsuf
yang mempertanyakan hakikat hidup ini? Semuanya serba mungkin. Semuanya bisa
terjadi dalam sebuah esai. Tidak masalah esei akan seperti apa. Yang penting, esai
adalah bentuk ekspresi berbahasa yang mengungkapkan manusia dan kemanusiaannya
dari perspektif subyektif dan obyektif berbaur menjadi satu. Sebuah strategi pelisanan
yang khas, yang berada di kedua ujung wacana reflektif-subyektif dan argumentatif-
obyektif. Mana ada ragam tulisan seperti itu, selain esai?
Di ujung yang satu, esai merupakan tulisan reflektif-subyektif. Itulah
kenapa sebagian ahli memasukkannya dalam genre sastra. Dua aspek di dalamnya
yang menjadikan esai lebih dekat dengan sastra; bahkan dikatakan memang jenis
sastra. Pertama, esai ditulis dengan memperhatikan style bahasa. Kata, frase, kalimat,
dan paragraf, disusun tidak hanya untuk menampung sebuah pengertian, tetapi
juga mewadahi perasaan penulisnya. Bahasa esai mengalir seperti alir sungai
membawa kesegaran bagi pembacanya. Bahasa esai juga menggelora seperti gelegak
gunung Merapi hendak memuntahkan sekian kubik lava panas. Kesegaran dan
kemurkaan, mengalir dalam untaian bahasa yang digunakan esai. Karenanya, esai
adalah wacana khas dan individual seperti karya sastra. Ia berbeda antara satu esei
dengan esai yang lain dari penulis yang berbeda. Tak ada satu pun gaya bahasa yang
sama di antara sekian juta penulis di dunia. Bahasa memiliki kekuatan dan
kekayaannya untuk digunakan, dimodivikasi, digarap, dan di-style-kan, meski tanpa
mengorbankan makna tuturannya.
Kedua, esai mempunyai cara pengungkapan yang khas pula. Tidak hanya
bahasanya yang khas, tapi juga bagaimana cara penulis mengungkapkan apa
yang ingin diungkapkan. Ada daya ekspresi di dalam esai. Ekspresi itu berkaitan
dengan sikap, pandangan, dan wawasan yang dimiliki penulisnya. Esai ditulis
bukan sekedar untuk menampung sebuah fakta, seperti wacana sejarah. Esai
bukan sekedar menampung konsep, seperti wacana pengetahuan. Esei juga
bukan sekedar menampung aturan-aturan untuk dipedomani, seperti wacana
hukum. Tapi esai ingin mengungkapkan sebuah persoalan yang direfleksikan dari
kehidupan dengan sudut pandang kemanusiaan. Itulah mengapa ada sikap,
pandangan, dan keyakinan di dalam esai, sebentuk ideologi kewacanaan.
Ideologi kewacanaan merupakan wujud intelektualitas dan keyakinan akan suatu
kebenaran hidup.
Bahasa yang khas dan cara pengungkapan mengindikatorkan adanya
kreativitas dan imajinasi penulisnya. Kreasi dan imajinasi adalah terminologi dalam
jagad kesusasteraan. Ketika keduanya masuk ke dalam ranah esai, ia telah
memenuhi syarat sebagai sebuah karya sastra. Di dalam imajinasi itulah
seseorang mengembara ke ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas tak
bertepi dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan,
ingatan, pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke dalam alam
sadar dan bawah sadarnya. Bahasalah yang akan mewadahinya melalui kata, frase,
kalimat, paragraph, dan wacana, yang kemudian disebut sastra. Demikian juga
dalam esai, penulis mengembara dalam kesadarannya untuk mengais-ngais
memori, pengalaman, pemikiran, penghayatan, perenungan, bahkan khayalan,
yang kemudian disebut imajinasi. Melalui bahasa, hasil pengembaraan itu
menjadi untaian kalimat yang sarat dengan semua itu.
Di ujung yang lain, esai adalah tulisan argumentasi-obyektif. Kebenaran
dijunjung tinggi sebagai obyek yang ingin diungkapkan. Semua hal yang ditulis
dengan cara dan gaya apapun, kebenaran menjadi tujuannya. Kalau ragam ilmiah
berlandaskan pada kerangka berpikir teoritis, maka esai menggunakan jalan
refleksi-subyektif untuk mengungkapkan kebenaran itu. Kalau ragam ilmiah
ingin menjelaskan dan membuktikan sebuah kebenaran dengan kacamata
keilmuan, maka esai ingin mengritik, menilai, mendudah, mengungkap, dan
menunjukkan sebuah kebenaran dengan kacamata refleksi. Kalau ragam ilmiah
berangkat dari asumsi dan hipotesis, maka esai berpijak pada sebuah keyakinan,
kepercayaan, pandangan, sikap, dan ideologi. Kalau dalam ragam ilmiah
didukung oleh bukti- bukti, maka dalam esai didukung oleh metafor,
tamsil, ibarat, adagium, keyakinan, peristiwa, dogma, dan aksioma-aksioma.
Dengan demikian, esei menggunakan sudut pandang pribadi untuk menjelaskan
hakikat sebuah kebenaran. Dalam esai ekspresi menjadi impresi, sedang dalam
tulisan ilmiah teoritisasi menjadi proposisi. Tapi keduanya dengan cara
berlainan, sama-sama
ingin menjelaskan suatu kebenaran untuk dapat digunakan dalam kehidupan ini. Kalau
tulisan ilmiah akan ditumbangkan oleh teori baru, maka esai akan ditenggelamkan oleh
perjalanan waktu.
Sampai di ujung pemikiran ini, marilah kita membahas contoh esai berikut
ini, agar apa yang dikemukakan di muka menjadi konkrit dan jelas.

Marxisme, Posmodernisme, Ketika Tak Ada lagi Revolusi

Oleh: Gunawan Muhamad

“Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa bicara begitu tak pernah paham
sedikitpun apa itu hidup—mereka tak pernah merasakan nafasnya,
jantungnya….”
—Dr. Zhivago

PADA awalnya 1917. Kemudian 1993. Dua peristiwa besar, yang berhubungan dengan
agenda “membentuk kembali hidup”, telah mengubah permukaan dunia seperti dua
gelombang gempa yang ganjil, sebab ada yang hancur setelah itu, dan ada yang
terbentuk.

Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme, yang berlangsung
sebagai “sepuluh hari yang mengguncangkan dunia”, seperti dilukiskan John Reid
tentang Revolusi Oktober yang bermula di St. Petersburg, Rusia. Yang kedua ialah
sebuah perubahan Yang tak kalah mengguncangkannya, meskipun hampir tanpa
letupan bedil: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina) membatalkan banyak hal
dalam agenda Marxisme, sesuatu yang sebenarnya bermula di tahun
1989, ketika Tembok Berlin bebas diruntuhkan orang ramai.

Dua perubahan, dua guncangan besar: Marxisme adalah harapan dan keyakinan
penting selama kurang satu setengah abad, sesuatu yang demikian jelas, tegas,
memukau dan menularkan inspirasi.

Tapi Marxisme juga dalam bentuknya yang dicoba dalam suatu transformasi sosial—
ternyata dengan cepat merapuh. Selama beberapa tahun terakhir ia telah
didiskreditkan secara luas, dan hampir di seluruh dunia tidak terdengar lagi rencana
Marxis untuk “mengubah dunia”. Yang tersisa adalah “menerangkan dunia”—
terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar—ketika politik sayap kiri
merosot, atau mengalami perubahan diri, di pelbagai penjuru.

Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan?


Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini pengaruh Marxisme,
sisa-sisanya dalam pemikiran kita, tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekadar
membayang dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan, ia pernah
dicoba—setidaknya sebagian unsurnya, mungkin juga sebersit semangatnya—
dengan mempraktikkan “sosialisme Indonesia” dan “ekonomi terpimpin”. Ia
pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia dan Partai Komunis
Indonesia, dan ia pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang
diajarkan secara luas tentang “ideologi negara” di tahun 1960-an (yang disebut
“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”).

Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang—dan pada gilirannya paham yang
dilarang itu memikat banyak anak muda dan cendekiawan Indonesia secara
diam-diam, hingga sekarang, sebagi sejenis pernyataan pembangkangan,
apalagi di sebuah masyarakat yang mulai mengalami secara nyata gerak
kapitalisme, dan masih punya masalah distribusi pendapatan yang menajam.

Sesudah itu sepi. Tak terdengar suara revolusi. Bukan maksud saya untuk
berbicara tentang “akhir sejarah” sekarang, tetapi nampak suatu kecenderungan
yang jelas, terutama di dekat kita: setelah Marxisme tersingkir dan digagalkan,
yang menggantikan (di Rusia, di Eropa Timur, di Cina) ialah sejenis sikap
pragmatik, kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut
suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut satu ajaran; kriteria
legitimasinya hampir sepenuhnya dikaitkan dengan hasil atau performativitas.
Dalam pelbagai variasinya sebenarnya yang terjadi sekarang ialah semacam
pemborjuisan (embourgoisement) dunia: sebuah proses yang menampakkan ciri-
ciri modernitas yang dikenal dalam buku-buku sejarah ketika borjuasi Eropa
mengambil peran dan mengubah permukaan bumi “sesuai dengan citranya”,
untuk meminjam kata-kata dalam Manifesto Komunis. Dengan kata lain, menjadi
semakin berperannya rasionalitas, dalam arti kebebasan dari ilusi dan takhayul,
dan meluasnya desakralisasi lingkungan sosial dan alam, juga bangkitnya etos
tentang obyektivitas ilmiah.

Tulisan ini termuat dalam buku ”Setelah Revolusi Tak Ada Lagi” (Edisi
Revisi), Pustaka Alvabet, Jakarta, september 2005. Halaman, 169-192].

2
PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI, SEBUAH PERADABAN

Oleh: Suhariyadi

Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung teater, siapakah tokoh utama
pengemban cerita untuk diungkapkan di atas panggung itu? Mereka adalah
penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga aktor inilah yang akan memainkan
perannya secara ekspresif agar pertunjukkan yang dimainkan
meyakinkan dan menghanyutkan penontonnya. Siapakah penontonnya? Mereka
adalah rakyat yang tidak memiliki akses untuk mendekati lingkaran ketiga aktor
tersebut. Narasi apakah yang akan dibangun dan diungkapkan dalam pertunjukkan
itu? Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik zaman yang berasal dari
kepentingan-kepentingan kelompok dan tekanan-tekanan eksternal yang tidak bisa
dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita dapat mengapresiasi
bagaimana pertunjukkan itu berlangsung, sebaiknya kita urai pertunjukkan itu secara
interpretatif.
Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini jelas mengambil perspektif subyektif dengan
pisau analisis rasional; bukan lantaran dengan perspektif subyektif itu lantas tidak
menggunakan rasional untuk memahami persoalan ini. Dan sebagaimana layaknya
mengapresiasi sebuah pertunjukkan teater, tulisan ini harus bermula dari narasi
sebagai skenario yang akan dimainkan. Tetapi yang perlu diingat, bahwa pertunjukkan
ini bergenre modern, meski naskah atau skenario tersebut tidak tertulis. Cukup seperti
dalam teater tradisional, narasi yang akan dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi
oleh para aktor di atas panggung.
Proses berperadaban yang terjadi hingga sekarang ini, sesungguhnya
sebuah narasi yang diciptakan dan sekaligus menjadi pedoman bagi masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Foucault, seorang tokoh pencetus postrukturalisme dan
posmodernisme Barat, mengatakannya sebagai Diskursus. Namun demikian, narasi itu
adalah sebuah wacana kebudayaan yang tidak cukup dipahami secara tekstual,
melainkan terdapat makna dibalik yang kasat mata itu, yaitu proses produksi dan
konteks yang melatarbelakanginya. Proses produksi dalam konteks ini dapat dipahami
sebagai proses sejarah bagaimana narasi itu terbentuk dan siapakah yang berperan
dalam produksi narasi itu. Sedangkan konteks yang melatarbelakanginya itu jelas
adalah sosial, budaya, politik, ideologi, ekonomi, dan sebagainya, dari masyarakat di
mana narasi itu diciptakan, dipedomani, dan mengatur dirinya. Teks (baca: narasi) dan
Konteks. Kedua hal tersebut akan muncul ketika seseorang mau mendudah dan
mengurai hingga ke akar narasi itu. Kalau perlu, hingga ke aspek filosofis yang
mendasari terbangunnya narasi itu.

Esai Gunawan Muhamad, kutipan pertama, jelas tidak berpretensi untuk menjadi
tulisan ilmiah, meskipun apa yang diungkapkannya itu sering kali menjadi
pembicaraan dan penulisan dalam konteks ilmiah. Bahkan, meskipun dalam esainya
itu Gunawan Muhamad banyak mengacu pemikiran dan teori yang pernah ada
dalam tradisi pemikiran dunia. Dengan bahasanya yang cair dan dibumbui dengan
pilihan kata bernilai rasa tertentu dan metafor, juga bercampur kode secara
kebahasaan, esai tersebut ingin mengungkapkan perjalanan rasionalitas manusia
semenjak Weber, Marxis, hingga sekarang, posmodern, khususnya di Indonesia.
Meskipun apa yang diungkapkan sangat berat bagi pembaca kalangan tertentu, tetapi
esai tersebut, dengan sasaran pembaca khusus, mampu mewadahi suatu sikap,
pandangan, dan keyakinan
penulisnya. Bahasa dan gaya pengungkapan Gunawan Muhamad sangat khas,
dengan sudut pandangnya yang reflektif subyektif miliknya.
Gunawan Muhamad merupakan salah satu penulis produktif di Indonesia yang
menulis dengan bentuk esai. Catatan Pinggir-nya yang termuat di majalah Tempo,
dan juga telah diterbitkan dalam buku, merupakan tulisan esai yang sangat
digemari pembaca darisemua kalangan. Sebagai sastrawan dan mantan wartawan,
Gunawan Muhamad tidak sulit untuk menulis dengan gaya esai. Bahkan dapat
dikatakan, dia merupakan penulis spesialis esai. Memang ada semacam
kecenderungan bahwa esai kebanyakan ditulis oleh seorang sastrawan ataupun
orang yang terjun di bidang kesastraan. Sebut nama Emha Ainun Najib, dia juga
seorang penyair sekaligus piawai menulis esai. H.B. Yassin, Nirwan Dewanto, Budi
Darma, Mangunwijaya, Zawawi Imron, Taufik Ismail, Agus R. Sarjono, Ayu Utami,
Beni Setia, Jamal D. Rahman, Acep Iwan Saidi, dan yang lainnya, merupakan para
penulis esai yang piawai, di samping mereka seorang penulis sastra. Karena
kedekatan esai pada sastra menjadikan jenis tulisan ini cenderung ditulis seorang
yang terjun di dunia sastra. Namun demikian, ada beberapa penulis esei yang
memiliki latar belakang jauh dari sastra, tapi esai yang ditulisnya sangat bagus,
misalnya Fakri Ali dari komunitas Utan Kayu.
Jauh berbeda dengan kutipan kedua. Esai kedua juga mengungkapkan persoalan
yang sering juga menjadi topik pembahasan di kalangan akademis. Perjalanan
kebudayaan di Indonesia selalu menjadi topik yang tak pernah akan habis
dibicarakan orang. Jika Gunawan Muhamad membicarakan topiknya dengan
mengupas sisi-sisi yang jarang disinggung orang, tetapi dalam esai kedua, penulis
mencoba membahasakan topiknya dengan sebuah analog dalam pertunjukan
teater. Sebuah refleksi acap kali tak terkira dan tak terduga orang lain. Dalam
refleksi bukan apa yang ada di permukaan yang utama, tetapi apa yang
tersemunyi di dalamnya. Refleksi dapat memunculkan gambaran sisi-sisi gelap,
samar di depan orang lain, menjadi terang. Ketika banyak orang
meributkan sesuatu sebagaimana yang tampak dan terjadi, sebuah refleksi meliuk-
liuk untuk memandang sesuatu itu pada sisi yang lain.
Cara pengungkapan seperti itu bukan tanpa rasional dan argumentasi.
Sebuah kebenaran adalah ranah yang harus dipikirkan, dianalisis, dan diabstraksi
oleh logika umum. Karena cara reflektif-subyektif dan pilihan gaya bahasa yang
khas, sebuah esei menjadi lain saat dibaca. Kebenaran dan sebuah fakta dikupas
pada sisi-sisi yang masih samar, tersembunyi, dan penuh ketakterdugaan. Hal itu
tak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan secara serius rasional dan argumentasi
yang memadai. Itulah gaya dalam tulisan esai. Bandingkan dengan tulisan dengan
bentuk yang lain berikut ini.
1
Semua penelitian pada hakekatnya merupakan usaha mengungkap kebenaran.
Kebenaran ini dapat dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar adalah
kebenaran inderawi yang diperoleh melalui pancaindera kita dan dapat dilakukan oleh
siapa saja; lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui
kegiatan sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang terpelajar. Pada lapis di
atasnya lagi adalah kebenaran falsafati yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam
oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan
oleh masyarakat luas. Sedangkan pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran
religi yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta
diikuti oleh mereka yang meyakininya.
Kalau kebenaran falsafati dan religi saja memungkinkan adanya tafsir yang
menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh kebenaran
ilmiah. Kita semua dilahirkan aebagai mahluk yang unik, masingmasing di antara kita
berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat dibedabedakan, seperti misalnya sidik
jari dan DNA, apalagi yang kasatmata yang ada dalam otak dan hati kita masing-
masing. Suatu gejala atau peristiwa yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang
yang berlainan.

(Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc., Landasan Berpikir dan Pengembangan Teori dalam
Penelitian Kualitatif, dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.05/Th.IV/ Desember 2005).

2
Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma mengacu pada serangkaian proposisi
yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan dipersepsikan. Paradigma
mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan
kompleksitas dunia nyata. Paradigma memberi gambaran pada kita mengenai apa
yang penting, apa yang dianggap mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat
diterima akal sehat.
Disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan dalam
kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang diyakininya dalam
penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana hubungan antara peneliti—yang
mencari tahu—dengan orang-orang atau fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi
adalah interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana cara mengetahuinya.
Sedangkan metodologi adalah cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti.

Amir Purba, Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis, Majalah Kajian
Media Dictum on line.http://dictum4magz.wordpress.com, download 3 April 2010.
Kedua contoh tulisan di atas beragam ilmiah. Dalam tulisan bentuk ini cenderung
menghindari pilihan kata dan kalimat yang bisa menimbulkan salah tafsir, menggunakan
istilah-istilah dalam terminologi keilmuan, sistematis, serius, baku, dan didukung
argumentasi yang kuat; kalau perlu didukung oleh data-data yang akurat. Ada aturan
yang lebih ketat dalam tulisan beragam ilmiah. Berbeda dengan esai yang cenderung
menggunakan semua aspek dalam bahasa, termasuk nilai rasa dan gaya bahasa,
untuk menambah daya tariknya. Aturan penulisan esai tidak begitu ketat, bahkan
cenderung sebuah pilihan bebas.
Hal-hal itulah yang menjadi ciri dan hakikat tulisan esai. Tak ada salahnya untuk mencoba
menciptakannya. Acap kali sebuah esai lebih bisa menampung sebuah pemikiran secara
santai, cair, dan mudah, sekali pun membahas persoalan yang serius. Selamat
mencoba.

Anda mungkin juga menyukai