Anda di halaman 1dari 160

SKRIPSI

DEKONSTRUKSI NILAI-NILAI KELUARGA DALAM FILM NOIR


Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly

Oleh Adrian Jonathan Pasaribu 06/195675/SP/21601

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS GADJAH MADA

2011

Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir


(Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly)

SKRIPSI
Disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Spesialisasi Ilmu Komunikasi

Disusun oleh: Nama : Adrian Jonathan Pasaribu NIM : 06/195675/SP/21601

Telah disetujui oleh,

Pulung Setiosuci Perbawani, S.I.P, M.M. Dosen Pembimbing

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada:

Hari Tanggal Pukul Tempat

: Selasa : 8 Maret 2011 : 10.00 WIB : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Tim Penguji

1. Pulung Setiosuci Perbawani, S.I.P, M.M. Ketua Penguji/Dosen Pembimbing _________________

2. Dr. Kuskridho Ambardi, M.A. Penguji Samping I __________________

3. Muhamad Sulhan, S.I.P, M.Si. Penguji Samping II __________________

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama No. Mahasiswa Angkatan tahun Jurusan Judul skripsi : Adrian Jonathan Pasaribu : 06/195675/SP/21601 : 2006 : Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM : Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir (Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly)

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah itu dan disebutkan dalam daftar pustaka. Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima sangsi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.

Yogyakarta, 18 April 2011 Yang membuat pernyataan

Adrian Jonathan Pasaribu

ABSTRAK
Film noir merupakan anomali tersendiri dalam sejarah Hollywood. Dengan segala variasinya tentang misteri pembunuhan dan perselingkuhan rumah tangga, film noir menjadi hiburan populer masyarakat Amerika dari tahun 1942 sampai 1958. Periode tersebut merupakan pertama kalinya dalam sinema Hollywood karakter perempuan digambarkan memiliki kebebasan atas tanggung jawab domestik. Dalam perspektif yang lebih makro, film noir tidak menjadikan rumah dan keluarga sebagai solusi konflik cerita, yang sebelumnya merupakan tradisi bercerita mayoritas film-film keluaran Hollywood. Secara historis, kemunculan film noir terjadi bersamaan dengan perubahan lanskap sosial-politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Negara adidaya tersebut mengalami transformasi peran gender yang drastis, di mana laki-laki kembali ke lapangan kerja usai mengabdi untuk negara di medan perang, dan perempuan kembali ke kehidupan domestik setelah menikmati kebebasan merintis karier di luar rumah. Pada saat yang bersamaan, pemerintah mengkampanyekan pentingnya kehidupan komunal, dengan harapan keluarga dapat menjadi unit pemantap ideologi negara dalam level akar rumpun. Ada kontras yang mencolok dalam pendirian terhadap keluarga dalam film noir dan lanskap-sosial politik yang melingkupinya. Kontras tersebut yang diharapkan dapat dijembatani melalui penelitian ini.

Sejatinya, skripsi ini setangkai bunga rampai Untuk mimpi-mimpi yang belum sampai

TERIMA KASIH
1 Bagian ini khusus untukMu, Tuhan. Fakta bahwa hamba masih bergulat dengan iman hanya membuktikan bahwa Engkau ada. Terima kasih untuk segalanya.

2 Konon, ada empat hal yang manusia sulit ucapkan ke sesamanya: maaf, selamat tinggal, aku cinta kamu, dan terima kasih. Bagian ini aku dedikasikan sepenuhnya untuk ucapan yang terakhir.

Pertama, orang tua saya. Papa dan Mama adalah alasan kenapa aku ada di dunia ini, dan dukungan konstan yang telah membawaku hingga ke titik ini. Mungkin pada akhirnya setiap anak seperti karakter anak kecil dalam buku The Giving Tree, karya Shel Silverstein, dimana anak kecil tersebut terus-menerus meminta kepada sebuah pohon, tanpa bisa membalas budi si pohon dengan layak. Dalam kasus ini, ucapan terima kasih saja jelas tidak cukup untuk membalas budi apa yang orang tuaku sudah lakukan hingga saat ini. Semoga, dalam fase hidupku berikutnya, aku bisa menerjemahkan ucapan terima kasih ini menjadi tindakantindakan, yang ke depannya dapat membuat mereka bangga. Amin.

Kedua, kakakku satu-satunya, Stefanie Desiana Pasaribu. Dari lahir sampai sekarang, kita selalu berbeda. Satu-satunya yang membuat kita sama: kepedulian kita terhadap satu sama lain. Kepedulian kakakku adalah salah satu alasan kenapa skripsi ini akhirnya selesai. Kakakku yang terus menerus mengingatkan untuk segera menyelesaikan skripsi, dan kakakku rela mencarikan buku-buku, yang akhirnya menjadi sumber referensi yang penting bagi skripsi ini. Terima kasih kakak.

Ketiga, mbak Pulung, dosen pembimbing saya. Tanpa kehadirannya, skripsi ini tidak akan pernah mulai, dan jelas tidak akan mungkin selesai. Sepanjang setahun saya mengerjakan skripsi, ada beberapa bulan dimana aku benar-benar takut untuk sekadar online dan mengecek hal-hal terbaru dari sejumlah jejaring sosial yang saya ikuti. Alasannya: takut salah satu hal terbaru itu adalah peringatan lama tentang skripsiku yang belum selesai. Ketakutanku adalah bukti kepedulian dan dedikasi mbak Pulung sebagai seorang dosen. Aku harap aku hanya satu-satunya mahasiswa yang skripsinya ia bimbing sampai setahun. Lewat ucapan terima kasih ini, aku panjatkan harapan saya akan segala yang baik untuk mbak Pulung ke depannya.

Keempat, teman-teman terbaik saya. Mereka adalah Windu W. Jusuf, Corry Elyda, Makbul Mubarak, Asep Muizudin, Mahar Gireta Rosalia (lebih beken dengan panggilan Ocha), Saila Muti Rezcan, Damar Nugroho Sosodoro, Kartika Wijayanti, Ananditya Hadi Soenodjo, Muhammad Hussein, Elsa Mareta, Merio Felindra dan Anisa Titisari (lazimnya dipanggil Icha). Muhammad Ali pernah berkata, Persahabatan bukanlah sesuatu yang bisa kamu pelajari di sekolah. Tapi kalau kamu belum belajar arti dari persahabatan, anggap dirimu tidak pernah belajar sepanjang hidupmu. Walaupun saya tidak pernah menggemarinya maupun olahraga yang ia lakoni, Muhammad Ali dalam kasus ini benar sebenarbenarnya. Peluk dan cium untuk kalian semua.

Berikutnya, para penghuni Gang Mawar. Mereka adalah Irfan dan Wiman Rizkydarajat, serta Beni Satryo. Terima kasih atas tawa canda serta dukungan kalian setiap harinya. Serumah bersama kalian adalah alasan kenapa Jogja adalah kota yang menyenangkan. Berteman dengan kalian adalah alasan kenapa hidup di Jogja begitu menyenangkan.

Lalu, para penghuni dan pengunjung tetap YCAD: Paul Agusta, Kyo Hayanto Agusta dan Tommy WP. Aku bersyukur kita pernah bertemu dan kemudian akrab. Dalam kesempatan ini, aku tidak bisa tidak mengulangi kata-kata yang pernah aku

tulis untuk kalian, You guys are one-of-a-kind filmmakers and genuinely kind persons. Thank you

Kemudian, teman-teman KKN saya, yang pernah menjadi saksi mata pergulatan saya dengan skripsi selama KKN berlangsung. Malam terakhir kita di lokasi KKN, aku pernah bilang, Sebulan pertama KKN, kita kangen sama orang-orang yang kita tinggal di Jogja. Sebulan setelah KKN, aku yakin kita bakal kangen sama teman-teman KKN. Hampir setahun KKN lebih, aku rasa ucapanku waktu itu masih relevan. Aku kangen kalian, dan berharap bisa bertemu lagi.

Pada akhirnya, terlalu banyak orang baik yang terlibat dalam skripsi ini, yang namanya tidak bisa saya tuliskan di sini satu per satu. Untuk kalian, semoga jalan kita berseberangan lagi, dan semoga beruntung di jalan yang masing-masing dari kalian tempuh. Amin.

Condongcatur, 18 April 2011

DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN ABSTRAK TERIMA KASIH DAFTAR ISI BAB I | LATAR BELAKANG PENELITIAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Objek Penelitian E. Kerangka Pemikiran 1. Film Noir 2. Keluarga F. Metodologi G. Tahap Penelitian 1 2 3 4 6 9 11 11 15 15 15 19 19 27 31 36

BAB II | ASAL USUL FILM NOIR A. Akar Literer Film Noir B. Akar Sinematik Film Noir

37 41 59

BAB III | MODUS NARATIF FILM NOIR A. Prinsip Dasar Naratif Film Noir B. Tipologi Karakter Laki-laki dalam Film Noir C. Tipologi Karakter Perempuan dalam Film Noir

72 72 83 85

BAB IV | ANALISIS TIGA FILM NOIR A. Double Indemnity (1944) 1. Latar Belakang Historis 2. Pengakuan, Kilas Balik dan Konstruksi Keluarga

94 94 94 99

3. Konstruksi Rumah Sebagai Penjara 4. Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual 5. Formasi Keluarga di Tengah Paranoia 6. Keakraban Menjelang Kematian B. The Postman Always Rings Twice (1946) 1. Latar Belakang Historis 2. Formasi Hubungan Sebagai Modus Naratif 3. Papan Pengumuman dan Prospek Hubungan 4. Dua Konteks Hubungan Protagonis 5. Interpretasi Kegagalan Hubungan Protagonis C. Kiss Me Deadly (1955) 1. Latar Belakang Historis 2. Bom Atom, Naratif Nihilis dan Relasi Protagonis 3. Christina sebagai Mediator yang Menghilang 4. Lily sebagai Femme Fatale 5. Velda sebagai Potensi Keluarga yang Tak Terwujud D. Konstruksi Keluarga dalam Film Objek Penelitian 1. Konstruksi Pro-Keluarga 2. Konstruksi Anti-Keluarga

102 106 108 110 113 113 117 119 125 129 132 132 136 139 141 145 148 148 150

BAB V | KESIMPULAN A. Film Noir, Deviasi Konvensi dan Konstruksi Keluarga B. Kelemahan dan Saran

152 152 153

DAFTAR PUSTAKA

155

10

BAB I LATAR BELAKANG PENELITIAN


A. Latar Belakang Masalah Perempuan modern dalam film-film Hollywood selalu ditandai oleh satu karakteristik: kebebasan akan tanggung jawab domestik. Sepanjang sejarah Hollywood, penggambaran perempuan semacam ini pertama kali ditemukan sekitar pertengahan 1940-an sampai akhir 50-an. Tepatnya pada era film noir. Sebelumnya, baik dalam sinema Hollywood klasik maupun budaya Amerika pada umumnya, kehidupan rumah tangga selalu digambarkan sebagai solusi dari segala masalah yang dialami protagonis di awal film. Pada masa itu, ketika sebuah film dikatakan berakhir bahagia, dapat dipastikan bahwa yang sebenarnya dimaksud adalah protagonis kembali ke rumah di akhir film. Berdasarkan sudut pandang tersebut, masuk akal rasanya kalau melihat Dorothy di The Wizard of Oz (1939) memilih kembali pulang ke rumah setelah berpetualang di negeri ajaib, atau Scarlet OHara di Gone With the Wind (1939) memutuskan untuk pulang kampung setelah mendapati pernikahan idamannya kandas di tengah jalan. Pertanyaannya: apa itu film noir? Film noir adalah label para kritikus Prancis untuk drama kriminal dengan setting urban yang dirilis Hollywood antara tahun 1942 sampai tahun 1958.1 Dalam bahasa Prancis, noir artinya gelap. Alasan para kritikus Prancis tersebut sederhana: film-film produksi Hollywood pada periode tersebut mengusung mood yang sangat pesimis, bahkan mendekati nihilis. Saking pesimisnya, konflik dalam film noir seakan-akan tidak ada solusinya, selain pengkhianatan atau kematian. Kritikus Prancis melihat ini sebagai sebuah refleksi atas kegelisahan terpendam masyarakat Amerika saat itu, dan menganggap film noir indeks yang komprehensif tentang kondisi sosial

Mike Chopra-Gant. Hollywood Genres and Postwar America. New York: I.B. Tauris, 2006, hal. 4.

11

masyarakat Amerika pada jamannya. Singkatnya, film noir dianggap sebagai kritik sosial dalam kedok hiburan massal. Kecenderungan nihilistik film noir terlihat dari elemen cerita yang selalu ada dalam film noir. Ada tiga elemen cerita yang lazim: lanskap kota yang suram, protagonis laki-laki yang depresi karena kerja, serta perempuan penggoda yang akrab dengan bar-bar berasap dan bertindak sesuka hati tanpa adanya beban moral. Arketip karakter perempuan film noir lazimnya disebut sebagai femme fatale: femme yang berarti perempuan dan fatale yang berarti berbahaya. Perempuan berbahaya, seperti itulah memang fungsi femme fatale dalam film noir, dan pada perkembangannya arketip karakter tersebut yang menjadikan film noir signifikan dalam sejarah film. Untuk pertama kalinya dalam sejarah film, ada satu kategori film yang secara kontinu menampilkan protagonis laki-laki yang tidak bisa melepaskan dirinya dari pengaruh antagonis perempuan, dan hanya bisa memperoleh kebebasanya hanya dengan membunuh perempuan tersebut. Untuk pertama kalinya dalam sejarah representasi sinematik di Hollywood, perempuan memperoleh kekuatan sebesar itu atas lingkungannya, dan tidak ada cara lain bagi laki-laki untuk menegosiasi keberadaannya selain dengan membunuhnya. Adalah kondisi sosial politik Amerika yang menyebabkan adanya femme fatale dalam film noir. Paska Perang Dunia II, yakni sekitar pertengahan 1940-an, Amerika berada dalam posisi yang sangat unik. Ia keluar sebagai pemenang tanpa mengalami kerusakan infrastruktur sedikit pun. Pasalnya, Perang Dunia II tidak terjadi di lahan Amerika. Hasilnya, Amerika dapat melanjutkan pembangunannya, sambil meningkatkan reputasinya dengan meminjamkan utang ke negara-negara Eropa yang mengalami kerusakan akibat perang. Perekonomian Amerika pun berkembang pesat. Kehidupan normal lanjut lagi, kali ini dengan perputaran uang yang lebih banyak. Banyak orang yang sukses dalam iklim perekonomian paska perang tersebut, yang kemudian menjadi kelas menengah baru. Borjuis baru tersebut kemudian memilih tinggal di pinggiran kota, untuk mencari lingkungan yang kondusif untuk kehidupan berkeluarga. Efek sampingnya, mayoritas perempuan Amerika kembali ke tanggung jawab tradisionalnya, yakni mengurusi anak dan kebutuhan rumah tangga.

12

Kondisi ini kontras dengan kondisi saat perang berlangsung. 2 Pasalnya, kaum perempuan terpaksa menghidupi keluarga serindian, karena suami mereka dipanggil militer untuk berperang di benua sebelah. Banyak perempuan kemudian masuk ke dunia kerja, untuk mengganti penghasilan suami mereka yang absen selama perang. Perubahan peran tersebut mendorong perempuan untuk menjadi independen, dan hasilnya memang wacana emansipasi perempuan berderai kencang saat itu. Ketika harus kembali ke peran tradisionalnya, banyak kaum perempuan yang merasa tidak terbiasa harus dikekang lagi. Femme fatale menjadi simbol dari kegelisahan perempuan Amerika paska perang. Namun femme fatale tidak signifikan bila hanya berdiri sendiri. Ia signifikan karena dalam setiap film noir ia selalu dihadapkan pada institusi keluarga, baik itu keluarga protagonis laki-laki maupun keluarga femme fatale itu sendiri. Pada dasarnya, femme fatale adalah sebuah anomali dalam kesadaran masyarakat Amerika paska perang. Saat itu, pemerintah Amerika menekankan kehidupan komunal, demi terjalinnya persatuan antar komponen negara setelah masa-masa konflik. Berkembangnya pemukiman pinggiran kota jelas mendukung program pemerintah tersebut. Keluarga menjadi unit politik terkecil dalam kehidupan bernegara, dimana pemerintah bisa memanfaatkan keluarga sebagai sarana penjagaan moral dan etika generasi muda Amerika.3 Oleh karena itu, karakter femme fatale dalam film noir menjadi signifikan, karena sebagai sebuah deviasi ia dihadapkan dengan suatu institusi yang merupakan bagian tradisi yang ingin dijaga. Melihat latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti konsep keluarga dalam film noir. Dengan adanya femme fatale sebagai oposisi, peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga pastinya berbeda dibanding dengan keluarga Amerika sebelum perang. Diharapkan dari penelitian ini dapat diformulasikan pesan apa yang sebenarnya tertanam dalam mayoritas film noir.

John Connor dan Peter Rollins. Why We Fought: Americas Wars in Film and History. Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008, hal. 265. 3 C.P. Hill. A History of the United States, 2nd edition. Edward Arnold, Ltd.: London, 1966, hal. 257.

13

Sebagai hiburan massal waktu itu, film noir jelas memegang peranan dalam pembentukan wacana di masyarakat Amerika paska perang. Ada tiga alasan kenapa penelitian ini penting. Pertama, film noir merupakan anomali dalam sejarah Hollywood. Sampai sekarang kritikus dan sejarawan menganggap film noir sebagai satu-satunya gerakan estetis yang secara alami berkembang di industri film Hollywood. Oleh karena itu, film noir tidak bisa dan tidak akan pernah bisa disebut sebagai sebuah genre film. Film noir sejatinya adalah sebuah periode. Ia lahir dari fenomena yang terjadi di lanskap sosial politik, dan berakhir karena hal yang sama pula. Alasan utama kenapa sejarawan selalu yakin film noir berhenti pada tahun 1958, karena pada tahun itu terjadi paranoia nasional akan ancaman komunisme dari Uni Soviet. Waktu itu sedang terjadi Perang Dingin, dan kebanyakan sutradara dan penulis naskah film noir yang beraliran kiri. Akibatnya, mereka diburu dan diseret ke pengadilan oleh sebuah komite pemerintah. Para pemilik studio pun takut tidak bisa produksi lagi, sehingga menyetop produksi film noir sepenuhnya.4 Namun, sebagai anomali, film noir juga menjadi salah satu bagian dari sejarah film Hollywood yang paling sering salah dipahami. Studi film noir yang ada selama ini baru sampai analisa visual dan representasi perempuan sebagai femme fatale. Belum ada yang melihat film noir sebagai sebuah sistem komunikasi yang terdiri dari kontradiksi dua wacana: stabilitas negara yang diwakili keluarga dengan wacana emansipasi perempuan dalam wujud femme fatale. Kedua, film noir masih berpengaruh pada film-film Hollywood sekarang. Paling terasa pengaruhnya adalah karakter femme fatale, yang didaur ulang dalam beberapa versi di film-film Hollywood kontemporer.5 Selain itu, plotnya. Plot film noir yang cenderung nihilistik umumnya memiliki protagonis yang tidak simpatik di tengah situasi yang amoral. Protagonis tersebut kemudian dihadapkan dengan femme fatale yang sama amoralnya dan punya agenda terselubung. Di akhir film, salah satu atau keduanya harus mati atau cerita tidak akan selesai. Namun karena

4
5

Op. Cit.,Chopra-Gant, hal. 15. Helen Hanson. Hollywood Heroines: Women in Film Noir and Female Gothic and the Female Gothic Film. New York: I.B. Tauris, 2006, hal. 176.

14

kedua karakter didesain untuk terlihat tidak simpatik, penonton dihadapkan pada plot yang berujung pada dua kemungkinan solusi yang sama tidak baiknya. Plot nihilis macam ini juga banyak didaur ulang di film Hollywood kontemporer.6 Artinya juga, elemen-elemen cerita film noir yang cenderung pesimis dan ambigu secara moral masuk ke dalam budaya pop kontemporer. Mengingat film Hollywood merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya pop di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, maka mempelajari film noir sama dengan mempelajari sebagian dari film kontemporer. Alasan terakhir, penelitian film di Indonesia masih bersifat sangat kasuistik. Maksudnya, studi atau kritik film di sini masih berputar pada kasuskasus baru yang terjadi di industri perfilman. Alhasil, produk kritikus film di Indonesia sangat didominasi resensi, ulasan regulasi dan studi representasi. Sedikit atau mungkin belum ada yang memfokuskan kritiknya dalam kerangka sejarah, atau setidaknya mencoba menempatkan studinya dalam suatu paradigma yang menyeluruh tentang suatu bagian dari perkembangan sinema. Untuk kasus ini, penulis melihat adanya peluang untuk memberi suatu bentuk penyegaran di bidang yang saat ini sedang jenuh.

B. Rumusan Masalah Bagaimana konsep keluarga dikonstruksi secara sinematik dalam struktur naratif film Double Indemnity, Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly?

C. Tujuan Penelitian Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui konsep keluarga dalam film noir, dengan menganalisa objek penelitian tiga film noir: Double Indemnity, Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly.

D. Objek Penelitian Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah film noir. Spesifiknya: Double Indemnity, Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly.
6

Ibid., 207.

15

Film pertama adalah drama kriminal karya Billy Wilder pada tahun 1944. Film tersebut dibintangi oleh tiga aktor lakon yang cukup terkenal di jamannya: Fred MacMurray, Barbara Stanwyck, dan Edward G. Robinson. Naskahnya diadaptasi oleh sang sutradara dan Raymond Chandler, salah satu penulis cerita kriminal penting waktu itu, dari novel berjudul Double Indemnity karya James M. Cain, yang juga merupakan penulis cerita kriminal yang cukup populer di jamannya. Film kedua adalah Postman Always Rings Twice karya Tay Garrett tahun 1946. Film ini juga merupakan adaptasi dari salah satu novelnya James M. Cain. Literatur tersebut sebenarnya sudah diadaptasi dua kali menjadi film. Pertama jelas pada tahun 1946, sementara yang kedua pada tahun 1981. Meskipun mayoritas kritikus film menganggap adaptasi tahun 1946 sebagai versi yang lebih superior, generasi sekarang lebih familiar dengan adaptasi yang kedua, karena film tersebut dibintangi oleh Jack Nicholson. Reputasi dia jelas lebih dikenal generasi sekarang ketimbang Lana Turner, John Garfield, dan Cecil Kellaway, nama-nama yang membintangi adaptasi Postman tahun 1946. Film ketiga adalah Kiss Me Deadly karya Robert Aldritch tahun 1955. Seperti dua objek lainnya dalam penelitian ini, film ini juga merupakan dari novel kriminal yang cukup populer di jamannya. Adalah novelnya Mike Hammer yang menjadi basis bagi naskah film Kiss Me Deadly. Ketika dirilis, film ini menjadi debut akting layar lebar bagi Cloris Leachman dan Maxine Cooper. Ada dua alasan yang mendasari pemilihan tiga film ini sebagai objek penelitian. Pertama, ketiganya merupakan film-film yang sering digadang sebagai pencapaian tertinggi dalam film noir, baik secara artistik maupun komersil. Oleh karena itu, ketiga film ini sering disebut juga sebagai wajah populis dari film noir. Maksudnya, ketiga film itulah yang menjadi referensi utama publik tentang film noir. Mengenai hal ini, Leonard Maltin, seorang kritikus film, berkomentar,

16

kalau ada orang bertanya apa itu film noir, maka saya akan merekomendasikan Double Indemnity.7 Komentar Maltin bukan sekadar kelakar sinefil belaka. Secara komersil, ketiganya cukup laris untuk ukuran film noir. Ketiganya rata-rata sukses meraih hasil penjualan tiket sekitar 1.1 sampai 1.2 juta dollar. Memang angka tersebut tidak cukup tinggi untuk menempatkan ketiganya dalam daftar sepuluh film terlaris di jamannya masing-masing, yang rata-rata mencapai tiga sampai lima juta dollar.8 Namun, meski dalam beberapa kasus bisa jadi tolok ukur yang akurat, hasil penjualan tiket hanya memberi pandangan yang imparsial mengenai signifikansi suatu film. Logikanya: membeli bukan artinya mendukung apa yang dibeli. Logika ini semakin kentara dalam hal menonton film. Ketika seseorang membeli tiket untuk menonton suatu film tidak berarti orang tersebut suka dengan film yang ia tonton. Ada faktor-faktor lain yang mungkin turut berperan, seperti rasa penasaran, ajakan teman, trend, dan sebagainya. Alasan-alasan yang terkesan trivial namun sebenarnya esensial inilah yang tidak terdeteksi ketika suatu film diukur berdasarkan hasil penjualan tiketnya.9 Signifikansi film noir lebih akurat dilihat dari pencapaian artistiknya. Dalam kasus ini, pencapaian artistik mencakup gaya visual dan struktur naratifnya. Bila diturunkan lagi, gaya visual mencakup permainan kontras cahaya dan komposisi gambar film noir yang klaustrofobik. Sementara struktur naratif film noir mencakup struktur cerita nonlinear, dimana keluarga, polisi dan femme fatale memainkan perannya masing-masing dalam drama kriminal yang penuh lika-liku. Film noir adalah genre pertama yang secara sadar menggunakan elemenelemen tersebut dalam bangunan sinematiknya. Pengaruhnya, seperti yang ditunjukkan para kritikus, bisa terlihat di film-film Hollywood kontemporer, dimana elemen-elemen tersebut kembali muncul dalam versi modern. Ketiga film yang dijadikan objek penelitian bisa dibilang sebagai film-film yang memiliki

Komentar Leonard Maltin dapat ditemukan dalam dokumenter pendek berjudul Shadows of Suspense, fitur tambahan DVD Double Indemnity, yang dirilis oleh Universal Studio Home Entertainment pada tahun 2003. 8 Op. Cit., Chopra-Gant, hal. 13. 9 David Bordwell. Poetics of Cinema. New York: Routledge, 2008, hal. 30.

17

semua elemen yang diasosiasikan dengan film noir. Ketiganya merupakan katalog yang kredibel bagi genre film noir itu sendiri. Hal ini mengingatkan penulis pada mantra favorit para statistikawan: untuk mencari tahu rasa daging sapi, kita tidak perlu memakan seluruh badan sapi. Prinsip yang sama berlaku dalam penelitian ini. Kedua, ketiga film objek penelitian tersebut mewakili perkembangan film noir selama keberadaannya di Hollywood. Double Indemnity dirilis pada tahun 1944, dua tahun setelah dirilisnya The Maltese Falcon, film yang sejarawan film setujui sebagai film noir pertama. Sepanjang dua tahun tersebut, pembuat film di Hollywood belum menemukan formula yang stabil dalam mengeksekusi konvensi-konvensi film noir. Terlihat dari kedua film adanya perbedaan karakterisasi antara protagonis laki-laki dan femme fatale. The Maltese Falcon membingkai kedua karakter tersebut dalam sebuah cerita perebutan artefak berharga, yang tidak menghubungkan keduanya dalam sebuah konteks keluarga. Sejak awal relasi keduanya berjalan sendiri-sendiri dan terus begitu sampai akhir film. Mereka saling menikam dan menipu karena mereka ingin memastikan uang, yang mungkin didapat dari artefak berharga, mendarat di kantong mereka. Tidak ada kebersamaan dan harapan untuk bersama yang dipertaruhkan, hanya uang dan keuntungan pribadi. Double Indemnity menambahkan satu elemen yang absen dalam The Maltese Falcon: keluarga. Ada kebersamaan dan harapan untuk bersama yang dipertaruhkan sepanjang film, bukan hanya uang dan keuntungan pribadi saja. Menurut Leonard Maltin, Double Indmenity adalah film noir pertama yang menjadikan keluarga sebagai lokus pemantik dan pengembang konflik dalam kerangka ceritanya. Menurut Maltin, konvensi cerita tersebut yang kemudian dapat ditemukan dalam film-film noir setelah Double Indemnity, termasuk The Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly. Sederhananya, Double Indemnity menjadi cetak biru bagi Hollywood dalam memproduksi film noir. Pembuat film dan produser sudah menemukan formula yang stabil dalam mengeksekusi konvensi-konvensi film noir.

18

Ketika penggunaan konvensi naratif sudah mencapai tahap yang stabil, tahap perkembangan selanjutnya adalah variasi. The Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly berada di tahap perkembangan tersebut. The Postman Always Rings Twice dirilis pada tahun 1946, dimana Hollywood baru segar-segarnya mereplika cetak biru yang disediakan oleh Double Indemnity. Tidak heran kalau The Postman Always Rings Twice terlihat seperti versi minimalis dari Double Indemnity. Sepanjang cerita The Postman Always Rings Twice, konflik selalu dimulai dan dikembangkan pada kebersamaan dan harapan untuk bersama protagonis laki-laki dan femme fatale. Motif cerita perebutan keuntungan finansial malah tidak ditemukan sama sekali. Kiss Me Deadly dirilis pada tahun 1955, sebelas tahun setelah Double Indemnity masuk bioskop. Berbeda dengan Double Indemnity dan The Postman Always Rings Twice, film tersebut hanya membuat rujukan kalau keluarga adalah konsep yang mungkin dicapai, namun tidak menujukkannya sama sekali dalam cerita. Dalam konteks penelitian ini, menganalisa ketiga film tersebut sama dengan menganalisa bagaimana keluarga, sebagai konvensi cerita yang penting dalam film noir, berkembang sepanjang periode film noir.

E. Kerangka Pemikiran 1. Film Noir a. Film Noir dalam Sejarah Andre Bazin, kritikus film asal Prancis, pernah memprediksikan bahwa sejarah film akan terus bergerak menuju realisme. Maksudnya, teknologi film yang makin canggih akan mendorong pembuat film untuk merekam kenyataan semurni mungkin, tanpa adanya rekayasa artifisial.10 Prediksi tersebut ditulis Bazin pada dekade 50-an. Pada waktu yang sama, film noir sedang naik daun, tidak saja di Hollywood tapi juga di kalangan kritikus film Prancis. Penyebabnya satu: gaya visual film noir,

10

Donato Totaro. Andre Bazin Revisited, Part 1: Film Style Theory in its Historical Context. 31 Juli 2003. (http://www.horschamp.qc.ca/new_offscreen/bazin_intro.html)

19

yang penuh permainan cahaya dan beragam teknik ekspresionis lainnya. Praktis prediksi Bazin tidak berumur panjang. Kehadiran film noir tidak saja menjadi anomali dalam kerangka sejarah versi Bazin, tapi juga di sejarah Hollywood sendiri. Hadir dengan gaya tutur yang belum pernah disaksikan penonton Amerika sebelumnya, baik secara visual maupun secara naratif, film noir digadang-gadang para kritikus film sebagai gerakan estetis pertama yang secara organis berkembang di Hollywood. Klaim ini bukan berarti film-film sebelum era noir bukanlah produk asli Hollywood. Mengingat industri film Hollywood sejak awal dikembangkan oleh para pebisnis, sah rasanya mengatakan kalau film-film komedi, musikal dan horror yang mendominasi Hollywood sejak 1900 sampai 1930-an sebagai produk asli Hollywood.11 Para pebisnis lebih mementingkan pencapaian finansial, dan jenis film yang menarik perhatian penonton adalah komedi, musikal dan horror. Pantaslah yang diproduksi film-film semacam itu. Film noir dikatakan sebagai perkembangan yang organis, karena film noir hadir di saat Amerika sedang mempertanyakan identitasnya sendiri. Peristiwa tersebut terjadi setelah Perang Dunia II baru saja selesai, dan Amerika memperoleh keuntungan yang tidak terduga. Kondisi paska perang memberikan dua hal bagi Amerika: infrastruktur negara yang utuh dan reputasi sebagai peminjam dana bagi negara-negara korban perang. Hal tersebut bisa terjadi karena perang tidak terjadi di tanah Amerika, melainkan di benua Eropa. Praktis Amerika memperoleh kekayaan yang berlimpah, baik dari bunga hasil pinjaman maupun dari hasil industri yang terus berjalan ketika perang berlanjut. Keuntungan finansial tersebut berujung pada iklim ekonomi yang kondusif, yang menciptakan lapangan kerja yang luas dan peluang kesejahteraan yang lebih terbuka bagi masyarakat Amerika. Pendapatan rata-rata per orang

11

Wheeler Dixon dan Gwendolyn Foster. A Short History of Film. New Jersey: Rutgers University Press, 2008, hal. 24.

20

pun meningkat, dan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menurun. Naiknya tingkat kesejahteraan kemudian melahirkan tiga

kebutuhan baru di kalangan masyarakat. Pertama adalah kebutuhan akan tempat tinggal yang lebih baik. Alhasil, terjadi perpindahan penduduk besar-besaran dari kota ke pinggir kota. Orang-orang mulai

menginginkan rumah yang luas dan halaman yang lapang bagi keluarganya. Kemudian, kebutuhan material. Rumah baru di lingkungan baru, yang cenderung jauh dari pusat kota, praktis memerlukan perabotan dan kendaraan baru pula. Kebutuhan lainnya adalah jaminan masa depan. Kesejahteraan paska perang diprediksi tidak bisa selamanya berlangsung. Persaingan di dunia kerja semakin ketat. Lapangan kerja yang tadinya luas mulai sesak oleh tenaga kerja baru. Ditambah dengan ancaman perang nuklir yang bisa meletus kapan saja, mengingat beberapa saat setelah Perang Dunia II Amerika memasuki Perang Dingin dengan Uni Soviet, kebutuhan akan jaminan masa depan tersebut makin terasa mendesak. Banyaknya kebutuhan baru tersebut menciptakan budaya materialisme yang mengakar di masyarakat Amerika. Para laki-laki harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Namun semakin keras mereka bekerja, semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi. Mereka seperti terperangkap dalam lingkaran setan. Di sisi lain, para perempuan hanya bisa mengerjakan urusan rumah tangga. Kondisi ini kontras dengan saat perang dulu, dimana para perempuan memperoleh kebebasan untuk memilih pekerjaan mereka sendiri. Waktu itu banyak laki-laki yang dipanggil militer untuk ikut berperang. Alhasil, banyak perempuan yang masuk dunia kerja untuk menyambung hidup keluarganya. Ketika perang usai, lanskap sosial berbalik lagi: dunia kerja

21

kembali jadi milik para suami, dan rumah tangga kembali diakrabi para istri.12 Kebingungan sosial inilah yang tertangkap dalam film noir. Ada dua jalur yang membawa fenomena di lanskap sosial sampai ke layar lebar. Jalur pertama adalah novel-novel kriminal, yang pada tahun 40 sampai 50-an menjadi budaya pop di Amerika. Pihak percetakan menamai novel-novel tersebut dengan label hardboiled pulp fiction, yang artinya adalah cerita fiksi kriminal yang dicetak di kertas kualitas rendah. Dengan bahan dasar yang murah, harga novel dapat ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu, novel-novel kriminal tersebut bisa dengan mudah diakses masyarakat kelas menengah ke bawah. Daya tarik novel-novel kriminal tersebut ada pada protagonisnya: detektif laki-laki yang terbelah antara konflik di tempat kejadian perkara dan roman dengan perempuan-perempuan yang ia temui di bar. Detektif tersebut tanpa pikir panjang bisa menggunakan kekerasan dan cara-cara di luar hukum lainnya untuk mencapai tujuan mereka. Kehidupan romantis macam ini jadi semacam obat bius bagi masyarakat Amerika, yang mayoritas terjebak dalam lingkaran kerja yang tidak ada habisnya. Berkat sirkulasi penjualan novel yang tinggi dan eksposur lewat beragam cerita pendek di koran harian, beberapa dari tokoh detektif tersebut, seperti Sam Spade di cerita-ceritanya Dashiell Hammett atau Mike Hammer di karya-karyanya Mickey Spillane, menjadi idola tersendiri di masyarakat Amerika. Jalur kedua datang dari para pekerja film. Perang di benua Eropa dan ancaman Nazi sebagai kekuatan politik membuat banyak sutradara dan penulis naskah di Jerman hijrah ke Amerika. Alasan mereka ada dua. Pertama, Hollywood menawarkan jaminan keselamatan dan prospek karier. Dua hal tersebut jelas tidak dapat mereka temui di benua Eropa yang sedang diamuk perang antar bangsa. Kedua, mereka lebih mungkin
12

Eugenia Kaledin. Mothers and More: American Women in the 1950s. Boston: Twayne Publishers, 1984, hal. 5.

22

hidup dan berkarya sesuai orientasi ideologis mereka di Amerika. Naiknya Nazi sebagai kekuatan fasis di Eropa jelas tidak sesuai dengan apa yang mereka percayai selama ini, terutama mayoritas imigran tersebut berideologi kiri. Status Amerika sebagai negeri yang bebas, meski dikuasai oleh praktek kapitalis dan paranoia anti kiri, jelas menjadi pilihan yang lebih aman. Hijrahlah para pekerja film tersebut dari Eropa ke Amerika. Nama-nama yang nantinya akan memperkaya khazanah film noir, seperti Michael Curtiz, Billy Wilder dan Fritz Lang, termasuk di dalamnya. Sambil menyelematkan diri dari ancaman perang, para imigran tersebut turut membawa pengetahuan film yang mereka pelajari selama berkarier di Eropa dan menerapkannya di Hollywood. Oleh karena itu tidak heran film noir sangat sarat dengan permainan cahaya dan kontras yang tinggi. Karakteristik visual tersebut sangat mirip dengan karakteristik film-film ekspresionisme Jerman, suatu aliran estetika yang dominan di Eropa sejak tahun 1920-an. Ciri khas ekspresionisme Jerman adalah pemanfaatan mise-en-scene untuk menggambarkan suatu kondisi mental. Ambil contoh Cabinet of Doctor Caligari, film ekspresionis Jerman yang diproduksi tahun 1920 oleh Robert Wiene. Dalam film tersebut, mise-en-scene, yang mencakup latar, cahaya dan kostum, terlihat sangat berlebihan dan tidak proporsional. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk membingkai protagonis film tersebut sebagai karakter yang eksentrik. Langkah yang sama diambil oleh para sutradara film noir, namun dengan tujuan yang berbeda. Film noir memang banyak memainkan elemen-elemen dalam mise-en-scene untuk menggambarkan

kebingungan dan kegelisahan yang dihadapi protagonisnya. Bedanya dengan film-film ekspresionis Jerman, permainan mise-en-scene dalam film noir terjadi secara teratur dan diusahakan terlihat senyata mungkin. Maksudnya, jendela dalam film noir akan tetap terlihat seperti jendela yang kita lihat di kehidupan sehari-hari: suatu lubang di tembok berbentuk persegi atau persegi panjang, yang dilengkapi kaca dan teralis.

23

Dalam film ekspresionis, jendela bisa jadi sesuatu yang tidak berbentuk persegi atau persegi panjang dan tidak dilengkapi kaca dan teralis, tapi tetap berfungsi sebagai jendela. Komitmen formalis terhadap kenyataan tersebut diakali para sutradara noir dengan memainkan cahaya. Teralis jendela, misalnya, disorot dengan lampu berkekuatan tinggi untuk menciptakan bayangan mirip jeruji penjara di tembok. Teknik tersebut seringkali ditemukan dalam film noir, dan biasanya berarti kondisi karakter yang sedang merasa terpenjara oleh masalah yang sedang ia hadapi. Teknik lainnya: wajah karakter yang disorot cahaya terang sebagian dan sebagian lainnya dibiarkan gelap. Teknik tersebut seringkali digunakan sutradara film noir untuk menggambarkan ambigunya aliansi yang dijalani suatu karakter untuk menyelesaikan konfliknya. Dari sini terlihat bagaimana film noir merupakan sinergi dari dua hal yang sangat kontradiktif. Di satu sisi ada sekelompok produser yang ingin mengeksploitasi novel-novel kriminal sebagai bahan jualan tiket, sementara di sisi lain ada sekelompok pekerja film dari Eropa yang ingin terus berkarier sesuai ideologinya, baik secara politis maupun artistik. Sinergi inilah yang menjadi awal kelahiran film noir, yang pada perkembangannya menjadi fenomena industri film di Hollywood sampai akhir dekade 50-an.

b. Film Noir sebagai Genre Sebelum menjelaskan film noir sebagai suatu genre, patut dijelaskan terlebih dahulu apa itu genre. Tony Bennet menjelaskan ada kalau ada dua pendekatan dalam menjelaskan genre.13 Pertama adalah dengan melihat genre secara sosiologis. Pendekatan ini dimulai dari teks lalu bergerak ke konteks. Cara kerjanya: beberapa film sejenis dilihat dan dicatat karakteristik-karakteristiknya yang ada di semua objek penelitian. Karakteristik-karakteristik tersebut kemudian diperlakukan sebagai faktor
13

Tony Bennett. Outside Literature. New York: Routledge, 1990, hal. 16.

24

dominan, yang menjadi penyusun utama film-film dari suatu genre. Faktor dominan tersebut kemudian dianalisa dengan tujuan mencari korelasi antara faktor dominan suatu genre dengan konteks sosial tempat dimana genre tersebut berada. Pendekatan kedua sebaliknya: mulai dari konteks, baru lanjut ke teks. Dalam mendedah film, pendekatan ini bergantung pada penonton dan media. Pasalnya, penonton menjadi institusi yang mendefinisikan potensi-potensi suatu genre. Film horror, misalnya, diasumsikan secara umum bakal memberi rasa takut pada penontonnya. Buktinya terlihat dari setiap publikasi film horror yang baru rilis cenderung mengklaim bahwa filmnya lebih seram dari film-film horror sebelumnya. Kebanyakan penonton film horror datang ke bioskop juga karena rasa penasaran apakah film horror yang satu ini lebih seram dari film horror lainnya. Dari sini terlihat adanya kesadaran di kalangan penonton dan media bahwa film yang berasal dari genre horror pasti punya elemen-elemen yang menakutkan. Film noir merupakan kasus yang problematis. Dianalisa menggunakan pendekatan manapun, film noir memiliki inkonsistensi internal yang membuatnya tidak bisa disebut sebagai genre. Melalui pendekatan pertama, kebanyakan film noir cenderung memiliki kesamaan di karakter, yakni protagonis pria yang terepresi di bidang profesional maupun di relasi personal. Karakter lainnya adalah femme fatale. Meski keduanya lahir dari konteks sosial yang ada, kedua tipologi karakter tersebut tidak bisa disebut eksklusif milik film noir. Tipologi protagonis pria film noir sudah ada di film-film detektif dan gangster Hollywood sejak tahun 80-an, sementara femme fatale berlanjut kariernya hingga sinema kontemporer, baik di Hollywood maupun di luar Hollywood. Pendekatan kedua juga sama bermasalahnya. Pasalnya, istilah film noir sendiri aslinya tidak berasal dari penonton maupun media, melainkan dari lingkaran kritikus. Lebih spesifik lagi, lingkaran kritikus

25

film Prancis. Istilah film noir baru masuk khazanah perfilman Hollywood setelah tahun 70-an, jauh setelah film noir sudah tidak diproduksi lagi di Hollywood. Sebelum itu, tidak ada satu pun literatur berbahasa Inggris yang membahas film noir14. Masalah klasifikasi ini makin runyam, karena beberapa kritikus menambahkan label pengantara, macam semi noir atau film gris (film abu-abu). Label-label tersebut dibuat untuk menjelaskan film-film yang punya karakteristik seperti film noir, tapi sejatinya bukan film noir. Pendekatan paling aman dalam menganalisa film noir adalah dengan memperlakukannya sebagai genre yang terbatas secara temporal. Sederhananya, memperlakukan film noir bukan sebagai genre, tapi sebagai suatu periode. Melalui pendekatan ini, film noir dipandang sebagai suatu fenomena perfilman Hollywood antara tahun 1942 sampai tahun 1988. Titik mulanya adalah waktu dirilisnya Maltese Falcon karya John Huston, yang digadang-gadang sebagai film noir pertama, dan titik akhirnya adalah Touch of Evil karya Orson Welles, yang disebut sebagai film noir terakhir yang diproduksi di Hollywood. Dengan memperlakukannya sebagai suatu periode, film noir kemudian dapat diteliti berdasarkan satu atau dua esensinya. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Raymond Borde dan Etienne Chaumeton, sepasang kritikus film Prancis yang termasuk salah satu pionir dalam studi film noir. Borde dan Chaumeton berargumen bahwa film noir pada umumnya berfokus pada satu karakter, satu adegan dan satu lokasi saja...15 Menganalisa film noir layaknya drama kriminal biasa hanya akan menghasilkan kebingungan, karena film noir pada dasarnya merupakan suatu tautan ide-ide yang berhubungan dengan genre-genre di luar film noir.

14

Rebecca House Stankowski. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture, Ver. 9, No. 1, 1986, hal. 65. 15 Raymond Borde, Etienne Chaumeton. A Panorama of American Film Noir, 1941-1953. San Francisco: City Lights Book, 1955, hal. 3.

26

Keuntungan lainnya dari analisa film noir sebagai suatu periode adalah fokus. Dengan menempatkan batas awal dan akhir, film noir dapat dianalisa sesuai konteks historisnya. Tidak dapat dipungkiri banyak elemen-elemen film noir yang diserap oleh sinema kontemporer, dan mengalami modernisasi baik secara penyajian maupun pemaknaan. Namun, perkembangan tekstual tersebut hanya bisa terjadi karena ada perkembangan di konteksnya. Dengan menganalisa film noir secara menyeluruh dari teks hingga konteksnya, dapat ditemukan sejauh mana elemen-elemen film noir dalam sinema Hollywood kontemporer berkembang dari makna aslinya.

2. Keluarga Dalam penelitian ini, keluarga dilihat sebagai unit produksi. Konsep tersebut membingkai keluarga sebagai agen dari perkembangan ekonomi yang menghidupi dirinya sendiri. Berdasarkan konsep tersebut, setiap anggota keluarga dinilai dari kemampuannya berkontribusi dalam segi ekonomi, yang berarti menakar setiap anggota keluarga dari potensi pemasukan dan pengeluaran finansialnya.16 Untuk bertahan hidup tentunya dibutuhkan pemasukan yang lebih besar dari pengeluarannya. Oleh karenanya, keluarga sebagai unit produksi yang ideal adalah keluarga yang setiap anggota keluarganya mampu memperoleh pemasukan yang lebih besar ketimbang pengeluaran finansialnya. Konsep keluarga sebagai unit produksi sejatinya adalah refleksi dari fenomena yang terjadi selama revolusi industri di Inggris. Sebelum terjadi revolusi industri, kerja terjadi di dalam rumah. Keluarga bekerja layaknya pabrik, yang membeli bahan mentah dan mengolahnya menjadi produk jadi atau semi-jadi.17 Produk-produk tersebut kemudian yang dipasarkan. Pada tahun 1750, keberadaan sejumlah pabrik menyebabkan
16

Stephanie Coontz. Marriage, A History: How Love Conquered Marriage. New York: Penguin Books, 2005, hal. 216-217 17 Bonnie Smith. Changing Lives: Women in European History Since 1700. Lexington: D.C. Heath, 1989, hal. 89-91.

27

Inggris memasuki fase industrialisasi. Dalam kasus ini, industrialisasi berarti mekanisasi dari proses produksi, yang mensubstitusi tenaga makhluk hidup dengan mesin. Konsekuensi dari industrialisasi bagi kehidupan keluarga adalah keluarga yang semakin kecil. Keberadaan industri memindahkan kerja dari rumah tangga ke pabrik dan kantor. Rumah menjadi murni untuk kehidupan pribadi. Namun, keberadaan pabrik juga menciptakan adanya siklus ketergantungan antara rumah dan tempat kerja. Rumah tak lagi menjadi unit produksi yang independen seperti sebelum revolusi industri, yang berarti keluarga tidak lagi menentukan hajat hidupnya sendiri. Kemampuan suatu keluarga untuk bertahan hidup bergantung pada penghasilan yang diterima dari tempat kerja. Konsekuensinya: ukuran keluarga ditekan sekecil mungkin, sehingga bujet untuk mengurus keluarga tidak melebihi penghasilan yang diterima dari tempat kerja. Terbukti di Inggris, salah satu konsekuensi dari revolusi industri adalah menurunnya populasi negara. Di Amerika, konsep keluarga sebagai unit produksi menyeruak ke ranah publik ketika depresi ekonomi melanda pada tahun 1929. Banyak pabrik dan kantor yang tutup, yang menyebabkan pengangguran massal. Banyak keluarga yang menderita karenanya. Untuk menghadapi masalah pelik tersebut, seorang intelektual bernama Ralph Borsodi mencangkan sebuah program, yang intinya mengembalikan produksi ke lingkungan rumah. Dalam bukunya Flight from the City (1933: 11-17), Borsodi memaparkan bagaimana keluarganya bisa bertahan selama depresi ekonomi berlangsung. Bersama keluarganya, Borsodi pindah ke luar kota, dari New York ke sebuah pemukiman sederhana di Dayton, Ohio. Di situ, Borsodi memulai suatu pertenakan, yang pada perkembangannya sukses menghidupi keluarganya sendiri. Tindakan Borsodi adalah cerminan dari tindakan serupa yang diambil sebagaian keluarga di Amerika Serikat sepanjang dekade 1930an, ketika depresi ekonomi kian memuncak. Sebagian lainnya memilih

28

untuk bertahan di kota. Pada jaman itu, bertahan di kota berarti setia dengan pola kehidupan keluarga jaman industri, yakni menggantungkan harapan hidup keluarga pada pemasukan dari tempat kerja. Namun, meningat pabrik dan kantor di kota sudah banyak tutup, keluargakeluarga tersebut mencoba bertahan hidup dengan memperbanyak anggota keluarga yang masuk ke lapangan kerja, yang berarti tidak saja suami yang bekerja, tapi juga istri.18 Statistik mencatat bahwa selama dekade 1900-an, kurang dari 6% perempuan bersuami yang bekerja di luar rumah. Statistik tersebut dapat dijelaskan dari kondisi Amerika Serikat yang waktu itu belum terkena depresi ekonomi. Keluarga dapat bertahan hanya dengan pemasukan suami saja, sementara istri mengurus rumah dan anak (kalau punya). Pada dekade 1930-an, jumlah perempuan bersuami yang bekerja di luar rumah meningkat hingga lebih dari 15%. Menurut Stephanie Coontz, statistik pada tahun 1930-an tersebut hanya mencakup perempuan yang bekerja di kantor dan pabrik yang secara legal resmi. Padahal, kenyataannya waktu itu masih ada ribuan istri-istri lainnya yang bekerja di sektor non-formal, di pekerjaan-pekerjaan yang secara legal tidak terdaftar resmi.19 Ketika depresi ekonomi usai, maka konsep keluarga sebagai unit produksi di Amerika Serikat turut berubah. Hal tersebut kentara ketika Amerika Serikat mengalami kemakmuran pasca Perang Dunia II. Pada dekade 1950-an, ketika perang sudah usai, peran perempuan kembali dari tempat kerja ke rumah, dan laki-laki dari medan perang ke tempat kerja. Keluarga sebagai unti produksi yang ideal berarti menjadi lebih spesifik: suami sebagai yang bertugas mencari uang, sementara istri sebagai yang mengatur rumah tangga dan mengurus anak (kalau punya). Ada pembagian peran yang jelas, yakni suami sebagai pencari nafkah, dan istri sebagai pengatur pengeluaran.
18

Steven McLaughlin. The Changing Lives of American Women. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1988, hal. 55-56. 19 Op cit. Coontz, hal. 219.

29

Adalah regulasi pemerintahan Amerika yang menciptakan konsep keluarga sebagai unit produksi yang ideal di atas. Pada tahun 1950, pemerintah merilis sebuah undang-undang bernama The GI Bill. Undangundang tersebut menjamin adanya bantuan finansial bagi para veteran perang.20 Ada dana bagi mereka yang ingin melanjutkan sekolah, setelah sebelumnya terputus oleh perang. Ada subsidi bagi veteran yang memiliki keluarga. Subsidi tersebut yang kemudian menjadi modal banyak keluarga Amerika Serikat untuk menata kembali rumah tangga mereka, dan kembali ke lapangan kerja. Sebelum ada The GI Bill, pemerintah Amerika Serikat sebenarnya sudah mengarahkan keluarganya untuk membagi peran suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur pengeluaran. Pada tahun 1948, pemerintah Amerika Serikat merevisi kebijakan pajak penghasilan, yang dalam prakteknya lebih menguntungkan pasangan suami-istri dengan satu pencari nafkah (primary earner).21 Kebijakan pajak tersebut memungkinkan suami dan istri untuk melaporkan pajaknya secara terpisah, yang berarti juga memungkinkan keduanya membagi

pendapatan suaminya. Modus tersebut memungkinkan seorang suami membagi setengah pendapatannya ke istri, walaupun si istri tidak memiliki penghasilan sama sekali. Di mata Departemen Pajak, istri yang tuna karya membuat seorang suami pantas dimasukkan ke dalam kelompok yang dikenai pajak rendah. Berbeda dengan laki-laki yang hidup sendiri dan suami yang istrinya punya pekerjaan. Kedua kelompok tersebut dikenai pajak yang tinggi oleh pemerintah.22 Kebijakan pajak yang pemerintah Amerika rilis pada tahun 1948 sebenarnya kontras dengan kebijakan mereka selama Perang Dunia II berlangsung. Ketika para laki-laki mengabdi pada negara di medan perang, pemerintah memasang banyak iklan sosial di kota-kota, yang
20 21

Ibid., hal. 223. Ibid., hal. 224 22 Stanley Surrey, Federal Taxation of the Family-The Revenue Act of 1948 dalam Harvard Law Review 61, 1948, hal. 1112.

30

semuanya meminta para perempuan untuk masuk dunia kerja. Pesan yang seluruh iklan tersebut sampaikan: perempuan diharapkan pekerja, atau para tentara akan mati di medan perang, karena kekurangan pangan dan bahan untuk kehidupan sehari-hari. Waktu itu, pesan tersebut sudah cukup untuk memotivasi para istri untuk masuk ke lapangan kerja. Selama Perang Dunia II berlangsung, pemerintah memberi signifikansi yang khusus pada perempuan. Namun, setelah perang usai, kembali lakilaki yang diberikan signifikansi khusus, sementara perempuan

diposisikan kembali ke habitus mereka sebelum perang: rumah. Model keluarga, dimana suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur keluarga, adalah model keluarga yang kemudian banyak ditemukan di keluarga-keluarga Amerika Serikat pasca perang. Model keluarga yang serupa dapat ditemukan dalam film noir, yang juga berkembang dalam periode yang sama. Dalam penelitian ini, film noir berarti dilihat sebagai cerminan dari apa yang terjadi di lanskap sosial jamannya.

F. Metodologi Penelitian ini merupakan study of poetics atau, bila diterjemahkan secara harafiah, studi karya-karya puitis. Keterbatasan bahasa Indonesia menjadikan istilah poetics sempit artinya. Secara etimologi, poetics berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat. Objek yang dibuat adalah karya seni. Berdasarkan genealogi tersebut, poetics merujuk pada aspek estetis suatu karya seni. Oleh karena itu, study of poetics dalam prakteknya menganalisa konvensikonvensi yang terdapat dalam suatu karya seni. Ketika pertama kali dirumuskan oleh Aristoteles 350 tahun sebelum masehi, poetics eksklusif merujuk pada puisi dan drama panggung.23 Penerapan poetics versi Aristotles ke film jelas akan mengalami kesenjangan, karena film secara estetis berbeda dengan puisi dan drama panggung. Film dibangun lewat
23

Bernard Dukore. Dramatic Theory and Criticism: Greeks to Grotowski. Florence: Heinle & Heinle, 1974, hal. 31.

31

dua unsur: materi audiovisual dan naratif berbasis realita filmis. Keduanya jelas tidak dapat ditemukan dalam puisi dan drama panggung. Puisi terdiri dari katakata, bukan gambar dan suara. Sementara itu, dramaturgi drama panggung berbeda dengan naratif film. Drama panggung sangat bergantung pada akting pemainnya, sementara film tidak. Gerakan kamera dan editing memungkinkan penonton untuk sesuka hati mengeksplorasi detail-detail dalam film. Film, puisi, dan drama panggung masing-masing dipahami dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, poetics hanya bisa diterapkan dalam film apabila prinsip-prinsipnya disesuaikan dengan karakterisitik medium film. David Bordwell, seorang teoritisi film kelahiran Amerika, adalah salah satu figur yang sukses merekontekstualisasi poetics ke dalam kerangka estetis film. Dalam buku Poetics of Cinema, Bordwell mendefinisikan study of poetics sebagai suatu program riset yang menganalisa prinsip-prinsip yang membangun suatu film dan efeknya bagi penonton.24 Berdasarkan definisi Bordwell, analisis film berbasis poetics merupakan kegiatan penelitian yang sangat tekstual, karena fokusnya adalah konvensi yang terdapat dalam film. Oleh karena itu, fenomenafenomena di luar film, seperti distribusi film atau demografi audiens, tidak menjadi prioritas utama dalam studi poetics. Namun, hal ini bukan berarti kalau fenomena-fenomena di luar film tidak perlu diteliti. Informasi mengenai distribusi film atau demografi audiens tetap perlu diteliti, asalkan hal tersebut berkaitan dengan konvensi yang terdapat dalam film objek penelitian. Analisis film berbasis poetics dapat difungsikan berdasarkan dua orientasi. Orientasi pertama adalah orientasi analitis. Berdasarkan orientasi ini, analisis film dilihat berdasarkan prinsip-prinsip yang membangun suatu film dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut kemudian mempengaruhi penonton secara psikologis. Sederhananya, film dianalisis berdasarkan elemen pembangunnya dan efeknya ke penonton. Orientasi yang kedua adalah orientasi historis. Dalam perspektif ini, film dilihat berdasarkan kondisi empiris yang melingkupinya. Film dalam periode waktu tertentu, dengan fenomena sosial-politiknya yang distingtif, cenderung memiliki gaya tutur dan visual yang berbeda dengan film dari periode waktu
24

Op. Cit., Bordwell, hal. 23.

32

lainnya. Kondisi historis tersebut menjadi semacam syarat terwujudnya suatu gaya tutur dan visual yang terdapat dalam film periode tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa penelitian ini berada pada orientasi kedua. Tanpa ada setting sosial-politik yang melatari pembentukannya, film noir tidak akan mengusung estetika yang kita kenal sekarang: naratif non-linear, kontras warna hitam-putih yang tinggi dan komposisi visual yang klaustrofobik. Film noir tidak akan berkembang di tempat atau periode waktu lainnya, karena memang hanya situasi Amerika periode 1940 sampai 1950-an yang bisa menginspirasi studio-studio Hollywood saat itu untuk memproduksi film noir. Meski berbeda, kedua orientasi analisis film berbasis poetics sejatinya memiliki pola kerja yang sama. Kerangka kerjanya menurut Bordwell mencakup enam elemen: detail (particulars), pola (patterns), tujuan (purposes), prinsip (principles), praktek (practices) dan efek ke penonton (processing).25 Semuanya berhubungan dengan satu sama lain. Ketika menganalisa suatu film, setiap detail jadi bisa diteliti, sekecil apapun itu. Mulai dari sebaris kalimat dalam suatu dialog hingga bebunyian dalam suatu adegan, masing-masing memiliki siginifkansinya sendiri. Pada konteks yang lebih luas, detail-detail tersebut bisa jadi berulang dan membentuk suatu pola. Protagonis dalam suatu film bisa jadi mengulangi kalimat tertentu beberapa kali, atau suatu lokasi bisa jadi diterangi dengan cahaya tertentu. Pertanyaannya kemudian: apa yang membuat suatu pola layak diikuti, terutama dalam menganalisa suatu film? Tujuannya. Suatu pola atau motif menjadi signifikan apabila ia punya tujuan untuk eksis dalam kerangka naratif film. Tata cahaya, misalnya, kerap menjadi petunjuk bagi penonton untuk menebak karakter suatu lokasi atau seorang karakter. Film horror begitu rajin memanfaatkan penerangan yang minimal untuk memaksimalkan efek misterius suatu lokasi. Sebaliknya, film komedi kerap begitu meriah dalam menerangi lokasinya, karena setting dalam film komedi bisa menjadi sumber kelucuan tersendiri.

25

Ibid., hal. 24.

33

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap motif yang signifikan memiliki tujuan, dan tujuan tersebut didasari oleh suatu prinsip. Prinsip tersebut terwujud dalam bentuk norma, yang menjadi semacam panduan bagi para pembuat film untuk mendesain bangunan filmnya. Beberapa norma mempengaruhi kualitas formal banyak film. Glorifikasi adegan klimaks, misalnya, menjadikan mayoritas film Hollywood sangat berpusat pada protagonis. Secara visual, mayoritas film Hollywood hampir selalu menempatkan karakter protagonis di tengah frame. Perhatian penonton jadi terpusat dengan segala gerak-gerik protagonis. Secara naratif, inisiatif protagonis dalam mayoritas film Hollywood memiliki dampak langsung pada cerita. Total dari tindakan protagonis tersebut yang kemudian diuji di adegan klimaks. Penonton pun menanti di ujung kursi, sambil menebak-nebak apakah seluruh tindakan protagonis bakal terbayar lunas atau tidak. Beberapa norma lainnya berpengaruh pada skala lokal. Maksudnya, norma-norma tersebut merupakan kasus khusus, yang hanya ditemukan dalam beberapa film saja. Hal tersebut biasa terjadi dalam film-film garapan sutradara eksentrik, macam Jean-Luc Godard dan Michelangelo Antonioni. Film-filmnya Godard, misalnya, kerap mengandalkan inkoherensi audio dan visual dalam narasinya. Dalam British Sounds (1970), Godard menggabungkan potongan gambar suasana pabrik mobil dengan suara orang membaca artikel tentang feminisme dan politik kiri26. Di film Weekend (1967), Godard mengkombinasikan adegan suami istri di ranjang dengan scoring film horror. Konvensi semacam itu Godard terapkan dengan memegang prinsip bahwa audio dan visual masingmasing memiliki potensi naratifnya sendiri. Oleh karena itu, sah-sah saja baginya untuk membuat keduanya bercerita sendiri-sendiri. Namun, menganalisa konvensi bukan berarti mengamini keberadannya begitu saja. Konvensi tidak ada dengan sendirinya, baik yang umum maupun yang marjinal. Konvensi, beserta tujuan yang diusung serta prinsip yang mendasarinya, bisa ada karena ia berakar pada aktivitas penonton dan para pembuat film.
26

Jonathan Dawson. British Sounds. Senses of Cinema, 2005. (http://archive.sensesofcinema.com/contents/cteq/05/37/british_sounds.html)

34

Kemampuan penonton memahami film berakar pada kehidupan dan konsumsi film mereka sehari-hari. Penonton cenderung lebih mudah memahami konvensi filmis yang menyerupai fenomena yang mereka temui sehari-hari.27 Bila dalam suatu adegan ada karakter masuk dari pintu di sebelah kanan frame, orang bisa memprediksi karakter itu akan keluar dari pintu di sebelah kiri frame dalam adegan berikutnya. Prediksi tersebut bisa ada, karena seperti itulah yang orang biasa lihat dalam kehidupan sehari-hari. Konsumsi film sehari-hari kemudian menjadi pemantap kemampuan visual penonton. Bahasa film pada dasarnya berbeda dengan bahasa visual dalam media lain, seperti lukisan atau komik. Bahasa film sangat bergantung pada gerakan, baik secara visual maupun aural. Gerakan tersebut berbeda di setiap film, tergantung dari budaya mana film itu berasal. Ada perbedaan estetis yang kentara dalam film Hollywood, Eropa dan Asia. Oleh karenanya, penggemar film Hollywood cenderung tidak nyaman dengan gaya film Asia yang cenderung lebih implisit dalam menyampaikan pesan. Di sisi lain, penggemar film Eropa cenderung menyepelekan gaya film Hollywood yang bombastis dan mendikte penonton. Pada titik inilah, para pembuat film menentukan pilihannya. Dengan asumsi mereka sejatinya penonton film juga, para pembuat film mendesain bangunan filmnya dalam perspektif penonton: apakah cara mengambil gambar seperti ini mengganggu penonton? Apakah tata cahaya seperti ini bisa menyampaikan emosi film ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang jadi pertimbangan pembuat film dalam memilih konvensi apa saja yang akan ia pakai dalam filmnya. Namun, patut diingat bahwa kerja pembuat film diatur oleh regulasi industri perfilman. Regulasi institusional macam sensor dan kode produksi menentukan apa yang dilarang dan yang sebaiknya muncul dalam film.28 Konsekuensinya, pembuat film tidak punya kebebasan penuh atas kreativitasnya sendiri. Walau pembuat film sudah yakin dengan desain filmnya, kalau memang
27 28

Op. Cit., Bordwell, hal. 67. Ibid., hal. 28.

35

dilarang filmnya jelas tidak akan mungkin dirilis ke publik. Berdasarkan perspektif ini, dapat disimpulkan kalau film berada pada dua faktor ekstrem: kreativitas pembuat film dan regulasi industri. Kedua faktor itulah yang dimaksud sebagai praktek (practices) dalam kerangka kerja analisis film yang ia rumuskan.

G. Tahap Penelitian Penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahap besar, dimana masing-masing tahap punya langkah kerjanya sendiri yang distingtif. Tahap pertama penelitian ini adalah pembagian film ke unit filmis terkecil berupa scene. Shot tidak dipilih sebagai unit terkecil, karena satu shot belum tentu membentuk suatu ide. Scene, yang bisa terdiri dari satu atau banyak shot, sebaliknya menawarkan ruang yang cukup luas bagi fungsi dan peran cerita untuk membentuk suatu ide yang koheren. Berikutnya scene-scene tersebut ditandai dan diurutkan secara numerik. Masing-masing scene kemudian diberikan deskripsi kejadian, karakter yang terlibat dan relasi antar karakter. Dengan begitu dapat ditentukan konklusi atau solusi yang laten dalam masing-masing scene. Penentuan konklusi atau solusi tersebut berguna dalam melihat fungsi-fungsi yang terkandung dalam suatu narasi film. Suatu fungsi yang muncul dalam satu scene bisa jadi berlanjut pada scenescene berikutnya, bisa juga tidak. Pada akhirnya ada fungsi yang dominan dalam suatu film. Fungsi yang dominan tersebut diteliti lebih lanjut supaya diketemukan alasan penggunaannya dalam film objek. Alasan itu merupakan relasi antara film dengan konteks produksi kultural film tersebut dalam wujud representasi atau ekspresi figuratif. Tahap terakhir adalah peletakkan karakter dalam bagan oposisi biner. Hal tersebut dilakukan untuk melengkapi pendekatan sintagmatik yang sudah dipraktekkan di tahap sebelumnya. Pelengkapan metode tersebut menjadi signifikan karena memungkinkan penelitian ini untuk menggali lebih dalam struktur narasi film yang diteliti, bukan sekadar menganalisa urutan fungsi belaka.

36

BAB II ASAL USUL FILM NOIR


Setiap studi film noir selalu memulai analisanya dengan pertanyaan yang sama: apa itu film noir? Pertanyaan tersebut, bila dilacak lagi, bisa muncul karena beragamnya pendapat para akademisi perihal film noir. Kebingungan tersebut diperburuk dengan banyaknya kontradiksi yang ditemukan dalam pendapatpendapat tersebut. Mana yang benar: film noir sebagai genre, siklus, atau gerakan? Melihat film noir sebagai genre berarti melihat film noir sebagai sekumpulan ide, yang direproduksi dalam ratusan film berjenis serupa. Dalam pandangan ini film noir berarti suatu tipologi, yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi kualitas intrinsik suatu film. Satu elemen yang menjadikan film noir terlihat sebagai sebuah genre adalah melodrama. Dalam konteks yang lebih luas, melodrama adalah kesamaan kualitatif yang ditemukan dalam film-film Hollywood klasik. Seperti yang ditulis Linda Williams, melodrama adalah modus utama seluruh sinema Amerika populer. Williams berargumen lebih lanjut kalau melodrama sudah ditemukan sejak sinema Hollywood klasik dan merupakan cara bercerita yang sangat Amerika, karena mengungkapkan kenyataan moral dan emosional melalui dialektika antara pathos dan action29. Dalam film noir, pathos dan action dikemas ulang dalam wujud plot cerita kriminal dan konstelasi karakter dengan kode moral yang ambigu. Namun beberapa akademisi menolak pandangan tersebut, dan memilih melihat film noir sebagai sebuah siklus. Argumen mereka: bila film noir memang genre, kenapa ada perbedaan yang esensial dalam film noir periode 40 sampai 50an dengan variasi-variasinya setelah periode tersebut? Sebagai sebuah siklus, film noir dipandang elemen-elemen yang berulang sepanjang sejarah film. Esensinya

29

Linda Williams. Melodrama Revised dalam Nick Browne. Refiguring American Film Genres. Los Angeles: University of California Press, 1998., hal. 42.

37

boleh beda, namun kemasan yang dipakai tetaplah film noir. Perspektif film noir sebagai siklus di satu sisi mengakomodasi keberadaan film-film yang mirip film noir, tapi aslinya bukan film noir. Di sisi lain, perspektif ini menyiratkan adanya semacam kode suci, atau sekumpulan syarat yang menentukan apakah suatu film murni noir atau tidak. Petunjuknya ada pada keberadaan film-film yang dikategorikan dalam terminologi paska film noir, mulai dari neo-noir, post-noir dan modern noir. Sisi kedua inilah yang menjadi dasar bagi perspektif film noir sebagai suatu gerakan. Alain Silver dan Elizabeth Ward pernah menulis bahwa film noir setara dengan film western. Keduanya merupakan estetika yang berakar langsung dari psikis bangsa Amerika, karena keduanya terwujud sebagai refleksi diri bangsa Amerika dalam bentuk film.30 Faktor yang membedakan western dan film noir adalah komitmen politiknya. Penulis dan sutradara film noir mayoritas beraliran kiri, yang praktis memiliki faham liberal. Bahan mentah yang mereka gunakan adalah novel-novel kriminal, yang mayoritas mengekspos kebobrokan yang terjadi di lanskap sosial Amerika. Jangan dilupakan juga kalau pembaca novelnovel tersebut adalah kelas pekerja, yang notabene merupakan perhatian utama politik kiri. Namun, perspektif film noir sebagai gerakan ini runtuh bila dihadapkan pada fakta bahwa film noir merupakan fenomena komersil. Di satu sisi, betul ada komitmen tersendiri dari banyak sutradara dan penulis film noir. Mereka seringkali memasukkan kritik sosial ke dalam film-film yang mereka produksi. Di sisi lain, popularitas film noir kurang lebih disokong oleh novel-novel kriminal yang laku di pasaran.31 Para produser kemudian melihat novel-novel tersebut sebagai materi yang secara finansial prospektif. Terjadilah perang pembelian hak cipta dari novel-novel Raymond Chandler, Dashiell Hammett, James M. Cain, Mickey Spillane, dan penulis-penulis cerita kriminal lainnya. Dari novel-novel kriminal itulah, film noir menemukan basis ekonominya. Fakta lain yang
30

Alain Silver & Elizabeth Ward. Film Noir: An Encyclopedic Reference to the American Style . New York: The Overlook Press, 1992, hal. 1. 31 Jean Pierre Chartier, The Americans Are Making Dark Films Too, dalam R. Barton Palmer. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996, hal. 25.

38

meruntuhkan perspektif film noir sebagai gerakan adalah belum ditemukannya bukti adanya afiliasi antara para sutradara dan penulis naskah film noir. Bila memang film noir merupakan suatu gerakan kolektif, seharusnya sudah ditemukan semacam manifesto. Dari penjelasan di atas, terpetakan konstelasi kebingungan seputar istilah film noir. Perspektif genre melihat film noir sebagai elemen-elemen sinematik yang direproduksi dalam karya-karya sejenis. Namun, sejarah menunjukkan adanya perbedaan yang esensial dalam film-film sejenis noir yang muncul paska tahun 60-an. Karena itu, ada yang beranggapan bahwa film noir sebagai siklus. Mengambil inspirasi dari film-film noir era 40 sampai 50-an, yang dianggap sebagai film noir murni, beberapa pembuat film memproduksi film sejenis dari tahun 60-an sampai sekarang. Pandangan ini pada perkembangannya melahirkan pandangan lainnya: film noir sebagai gerakan. Maksudnya, ada semacam usaha kolektif yang berkomitken mengembangkan film noir, baik secara estetis maupun politis. Hal tersebut, menurut pendukung pandangan tersebut, yang menjadikan film noir suatu badan karya yang sangat koheren. Namun, dari bukti yang ada, tidak ada afiliasi yang termanifestasikan antara sutradara dan penulis naskah film noir. Absennya manifesto di antara mereka menjadikan pandangan film noir sebagai gerakan valid di beberapa aspek saja. Pada titik ini terlihat bahwa masing-masing pandangan tentang film noir memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Menyikapi

kebingungan tersebut, James Naremore punya tesis yang cukup revolusioner. Dalam bukunya yang berjudul Film Noir and Its Context (1998), Naremore berpendapat bahwa film noir merupakan sebuah warisan sinematik dan sebuah ide yang kita proyeksikan ke masa lalu. Pengaruh Michel Foucault sangat terasa dalam pernyataan Naremore tersebut. Film noir bukanlah sebuah elemen yang bisa dimaknai secara konstan seiring berjalannya waktu. Perkembangan sejarah, baik di sejarah dunia maupun di sejarah film sendiri, membuat makna film noir berubah bagi peneliti di masa depan. Pemikiran Naremore tersebut juga menjelaskan esensi dari eksistensi film noir: suatu ide dalam sinema Amerika yang diproyeksikan dari luar Amerika. Hal

39

ini bisa dilihat dari istilah film noir itu sendiri. Pada esensinya istilah film noir tidak berarti apa-apa. Meski merujuk pada fenomena yang sangat Amerika, istilah tersebut tidak berasal dari Amerika, melainkan dari Perancis. Lebih spesifik lagi, dari Borde dan Chaumeton, dua kritikus Perancis yang memperhatikan kecenderungan studio Hollywood memproduksi banyak film melodrama kriminal dalam beberapa tahun terakhir. Di Hollywood sendiri, belum ada istilah untuk menjelaskan keberadaan film noir. Baru pada era 70-an, satu dekade setelah film noir berhenti diproduksi, istilah film noir mulai ramai dipakai di Amerika.32 Sebelumnya, kritikus Hollywood lebih memilih menggunakan istilah murder melodrama, brass-knuckled thriller, atau hardboiled crime fiction: tiga istilah prokem yang sampai sekarang tidak pernah diresmikan dalam kanon film noir.33 Sulitnya Hollywood menemukan istilah yang tepat untuk film-film gelap produksinya sendiri menyiratkan satu hal, yakni banyaknya elemen-elemen nonAmerika yang terkombinasi dalam kosmos film noir. Istilah film noir yang berasal dari Perancis hanyalah contoh kecil. Modus naratif, karakterisasi sampai kode visual film noir bisa dilacak akarnya hingga ke luar Amerika. Dari sini terlihat adanya kebutuhan meletakkan film noir dalam suatu kerangka besar, yang mendedah Hollywood sebagai suatu panci besar, dimana pengaruh-pengaruh dari luar Amerika tersebut digodok bersama kondisi sosial politik di Amerika. Oleh karena itu, penelitian ini memulai pembahasannya dari kronologi perkembangan ide yang terjadi sebelum film noir populer di Hollywood. Perkembangan ide yang dimaksud terjadi pada dua ranah: di Amerika dan di luarnya. Pengaruh dari dua ranah tersebut saling melengkapi dan mematangkan satu sama lain. Analisis dari aspek yang sangat makro ini pada perkembangannya dapat berlanjut ke analisis ke aspek-aspek yang lebih mikro dalam film noir. Secara umum, elemen-elemen dasar film noir dapat dipilah ke dalam dua kategori: literer dan sinematik. Kedua bidang tersebut masing-masing mendapat pengaruh dari segala dinamika di lanskap sosial Amerika, dan masing-masing
32

Rebecca House Stankowski. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture, vol. 9, no. 1, 1986, hal. 63. 33 James Naremore. More Than Night: Film Noir in its Contexts. Berkeley: University of California Press, 1998, hal. 17.

40

punya

kontribusi

terhadap

terbentuknya

film

noir.

Bidang

literer

mengkontribusikan stok cerita dan penulis yang siap dipakai Hollywood dalam produksinya. Dalam level yang lebih mikro, bidang literer merumuskan modus naratif film noir. Kontribusi bidang literer tersebut dimatangkan oleh kontribusi dari bidang sinematik. Kebingungan dan ambiguitas moral yang tadinya verbal diterjemahkan jadi bahasa visual. Kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah fenomena dalam sejarah Hollywood yang kita kenal sebagai film noir.

A. AKAR LITERER FILM NOIR Berkaitan dengan kelahiran film noir, Perang Dunia II merupakan fase krusial bagi dunia literer Amerika, baik waktu perang berlangsung maupun beberapa tahun setelah perang usai. Signifikansi periode tersebut disulut oleh kehadiran teknologi baru yang menggemparkan industri percetakan Amerika: paperback, alias cetakan buku dengan sampul tipis.34 Sebelum kehadiran paperback, rumah-rumah penerbitan di Amerika begitu memandang format hardcover, atau cetakan buku dengan sampul tebal. Bila ada seorang penulis yang karyanya dirilis dalam format hardcover, bisa dijamin reputasinya akan melambung naik.35 Sejak kehadiran paperback, segalanya berubah. Perubahanperubahan itulah yang nantinya menyiapkan panggung bagi kehadiran film noir di Hollywood. Publikasi dalam format paperback memiliki satu keunggulan, yang dinikmati secara mutual oleh pihak penerbit dan penulis. Pihak penerbit dapat mencetak dalam volum massal dengan harga yang sangat murah. Kualitas buku yang dicetak memang tidak begitu baik: kertas tipis, sampul buku tipis, dan penjilidannya hanya menggunakan lem saja.36 Untuk penyimpanan jangka panjang, buku paperback kertasnya terlalu cepat menguning dan jilidannya mudah lepas. Namun, bagi pihak penerbit, ketahanan produk bukanlah prioritas utama. Pihak penerbit lebih mementingkan keuntungan yang cepat dari penjualan yang
34

Lee Server. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American Paperback: 1945-1955. San Francisco: Chronicle Books, 1994, hal. 34-35. 35 Ibid., hal. 42. 36 Ibid., hal. 37.

41

massif. Apalagi mereka sudah punya pasar sendiri: masyarakat kelas pekerja, yang haus hiburan cepat dan murah. Penulis di sisi lain memperoleh kebebasan artistik dalam merancang karyanya. Pihak penerbit tidak memberi batasan apapun kepada penulis. Memang ada konsumen yang harus dipikirkan, namun resikonya sangat kecil. Seperti yang sudah dijelaskan: mayoritas pembaca novel-novel paperback adalah kelas pekerja yang sangat haus hiburan. Hal ini jelas menguntungkan bagi penulis-penulis yang butuh uang. Mereka dapat menulis cerita sevulgar, sebanal dan sekonyol yang mereka inginkan. Mereka dapat menulis apapun yang mereka mau, asal cerita mereka bisa dihabiskan dalam sekali duduk.37 Pada tahun 1946, tercatat ada 350 judul yang dicetak dalam format tersebut. Bila dibandingkan dengan data tahun 1945, jumlah tersebut tiga kali lipatnya. Ada lima penerbitan yang berjasa mempopulerkan format tersebut: Signet, Avon, Popular Library, Dell, dan Bantam.38 Kelima penerbitan besar tersebut dan beberapa perusahaan lainnya yang lebih kecil memproduksi paperback secara massal. Konsekuensinya: penjualan majalah murah di loperloper koran menurun drastis, karena tergeser oleh novel-novel paperback.39 Kondisi ini kemudian melahirkan sejumlah nama tenar. Sebut saja: John D. MacDonald, Charles Williams, Gil Brewer, David Goodis, dan Mickey Spillane. Nama terakhir merupakan cerita sukses yang mentransformasi industri percetakan di Amerika paska perang. Waktu itu, bagi banyak rumah penerbitan, Spillane merupakan penulis kelas dua. Karyanya belum ada yang pernah dirilis dalam hardcover. Cerita yang ia tulis hanyalah cerita kriminal biasa, jenis-jenis cerita yang bisa ditemukan di koran kuning. Konsekuensinya: bayaran yang Spillane terima juga kelas dua. Terlilit dalam kesulitan ekonomi akut, Spillane sampai harus tinggal di tenda. Butuh suntikan dana cepat, ia pun menulis I, the Jury.40 Di luar dugaan, ketika Signet merilisnya dalam format paperback, karya

37

Geoffrey O'Brien. Hardboiled America: Lurid Paperbacks and the Masters of Noir . New York: Da Capo Press, 1997, hal. 32-33. 38 Ibid., hal. 22. 39 Op. Cit., Server, hal. 15. 40 Op. Cit., OBrien, hal. 34.

42

Spillane terjual laris sampai dua juta eksemplar.41 Pencapaian ini jelas mengejutkan banyak rumah penerbit. Ketika novel tersebut akhirnya dirilis dalam format hardcover, penjualannya hanya sampai angka tujuh ribu. Lantas beberapa rumah penerbitan langsung rebutan meneken kontrak dengan Spillane. Beberapa rumah penerbitan lainnya merilis ulang karya Spillane dalam format paperback. Sisanya mulai mencari penulis-penulis yang mirip dengan Spillane. Dalam waktu singkat, tercipta kebutuhan yang besar akan penulis cerita kriminal. Sepanjang pertengahan era 40-an sampai awal 50-an, cerita kriminal merupakan komoditas panas yang diincar para rumah penerbit.42 Rumah penerbit yang mengeksploitasi perkembangan ini adalah Gold Medal. Mereka langsung mengontrak tiga nama sebagai penulis regulernya: John D. MacDonald, Charles Williams dan Gil Brewer. Mereka semua penulis muda, dan belum pernah merilis ceritanya ke publik. Sejak tahun 1950 sampai 1951, mereka menulis secara reguler dan karya-karyanya dirilis secara beruntun oleh Gold Medal. Nama lain yang dikontrak oleh Gold Medal adalah David Goodis.43 Waktu itu Goodis sudah tidak terlalu dipandang sebagai seorang penulis. Dulu ia pernah sukses besar ketika merilis novel Dark Passage pada tahun 1946. Setahun kemudian Warner Brothers mengadaptasinya ke format layar lebar. Film tersebut tidak saja menjadi film noir awal-awal, tapi juga satu dari empat film yang dibintangi oleh Humphrey Bogart dan Lauren Bacall. Keduanya merupakan pasangan selebritis terkenal di Hollywood. Waktu itu hubungan mereka sedang panas-panasnya dan ramai dibicarakan media. Bisa diprediksi film tersebut sukses, dan Goodis menikmati keuntungannya.44 Dia pun direkrut oleh Warner Brothers sebagai penulis naskah selama enam tahun. Sialnya, karier Goodis di Hollywood tidak sukses. Beberapa naskahnya tidak diproduksi, karena dianggap tidak memenuhi standar. Akhirnya, ia pun dipecat dan kembali menulis di Philadelphia, kampung halamannya. Gold Medal pun mengontraknya, dengan

41 42

Op. Cit., Server, hal. 26. Woody Haut. Pulp Culture and the Cold War . London: Serpent's Tail, 1995, hal. 9. 43 James Sallis. Difficult Lives: Jim Thompson, David Goodis, Chester Himes. New York: Gryphon Books, 1993, hal. 42. 44 Ibid., hal. 48.

43

iming-iming kontrak yang besar dan prospek kesuksesan yang menggiurkan. Goodis pun membayar kepercayaan Gold Medal dengan novel Cassidys Girl, yang sukses memuncaki daftar penjualan buku di Amerika tahun 1951.45 Antusiasme terhadap cerita kriminal yang melanda industri percetakan Amerika semakin ditunjang oleh publikasi cerita bersambung di koran-koran. Setiap harinya di koran-koran Amerika ada segmen yang dikhususkan untuk cerita bersambung. Cerita yang paling banyak diterbitkan adalah melodrama dan cerita kriminal.46 Alasannya sederhana: cerita horror dan komedi terlalu sulit untuk dijadikan bersambung. Dalam format pendek, cerita horror dan komedi hanya bisa mengejutkan pembaca sekali. Bila dijadikan bersambung, mereka akan kehilangan pesonanya. Sementara roman dan cerita kriminal bisa disambung berkali-kali, asalkan intrik dan misteri dalam plotnya terus dinaikkan. Berkaitan dalam film noir, ada tiga nama yang tenar karena rutin menulis cerita bersambung di koran. Mereka adalah Dashiell Hammett, James M. Cain, dan Raymond Chandler. Ketiganya pernah terlibat dalam kegiatan militer, tepatnya di Angkatan Udara. Hammett malah pernah bekerja sebagai detektif swasta. Pengalaman tersebut yang membedakan mereka dari kebanyakan penulis cerita kriminal lainnya. Pasalnya, pengalaman mereka berpengaruh signifikan terhadap proses kreatif mereka. Cerita-cerita yang mereka tulis jadi sangat detail. Pembaca dapat mengikuti alur cerita mereka layaknya prosedur investigasi kriminal. Selain itu, lagi-lagi berkat pengalaman di ranah militer, mereka dapat merancang lanskap emosi karakter mereka begitu riil. Bahkan ketika mereka memakai tokoh yang ambigu secara moral sebagai protagonis cerita, pembaca tetap tertarik mengikuti, karena segalanya terasa riil.47 Regularitas kemunculan cerita mereka di koran-koran memastikan nama mereka terpatri jelas di budaya pop Amerika paska perang. Dari perkembangan ini, Hollywood yang paling merasakan

keuntungannya. Ada tiga hal yang Hollywood dapatkan, dan ketiganya


45 46

Ibid., hal. 55. Op. Cit., Haut, hal. 33. 47 Alexander N. Howe. It Didn't Mean Anything: A Psychoanalytic Reading of American Detective Fiction. North Carolina: McFarland, 2008, hal. 78.

44

menciptakan semacam lingkaran yang menghidupi dirinya sendiri. Pertama, dan ini yang paling kentara, Hollywood memperoleh stok cerita kriminal yang melimpah. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal ini bisa terjadi berkat rumahrumah penerbit yang merilis novel kriminal secara massal, dan koran-koran yang mempublikasi cerita kriminal bersambung di halaman belakangnya. Ratusan cerita kriminal tersebut kemudian menjadi bahan mentah yang Hollywood olah menjadi sajian sinematik. Lebih menguntungkan lagi buat Hollywood, cerita-cerita kriminal tersebut hadir dalam berbagai macam tema. Film-film yang diproduksi jadinya sangat beragam, meski tetap dapat dikotakkan dalam satu pendirian moral yang sama.48 Tema yang paling sering diangkat adalah cerita detektif yang pendiriannya mulai goyah. Cerita detektif semacam itu berakar dari cerita-ceritanya Dashiell Hammett di awal 40-an. Dua ceritanya, Maltese Falcon di tahun 1941 dan The Glass Key setahun setelahnya, dianggap sebagai dasar dari modus naratif film noir. Tidak heran kalau kemudian keduanya dianggap klasik dalam kanon film noir. Memasuki pertengahan 40-an, pola cerita detektif dalam film noir mengalami perkembangan. Kebimbangan yang dialami detektif, alias protagonis, mulai dikaitkan dengan isu-isu politis, macam keluarga, lapangan pekerjaan, dan mentalitas masyarakat Amerika yang konformis.49 Perkembangan tersebut paling kentara dalam cerita-ceritanya Raymond Chandler, yang notabene merupakan nama besar di budaya pop Amerika kala itu. Dibandingkan dengan cerita Hammett yang mayoritas cerita investigasi kriminal, cerita Chandler lebih memiliki muatan politis. Ada tiga cerita karya Chandler yang kemudian diadaptasi oleh Hollywood, dan masing-masing mendapat nilai cemerlang baik dari kritikus maupun penonton pada umumnya. Ketiga cerita itu adalah Farewell, My Lovely (1942), The Big Sleep (1946), dan Lady in the Lake (1947). Dua cerita terakhir bisa dianggap sebagai arketip penggarapan tema cerita detektif dalam film noir pertengahan 40-an. Keduanya disatukan dalam modus naratif yang serupa: seorang protagonis yang mendapati dirinya dalam suatu kasus
48 49

Ibid., hal. 33. Ibid., hal. 53-55.

45

yang awalnya sederhana. Ketika kasus itu mulai berjalan, protagonis mendapati banyak faktor-faktor luar yang tiba-tiba masuk. Tujuan awal dari kasus tersebut pada perkembangannya tidak lagi jadi penting. Protagonis pun melakukan apapun asal dia bisa bertahan hidup. Mendekati akhir cerita, dia pun baru menyadari kalau sebenarnya kasus tersebut hanyalah konspirasi dari pihak-pihak yang hampir tidak ada hubungannya dari protagonis. Dengan kata lain, protagonis mendapati eksistensi dirinya hanyalah periferi dari eksistensi orang lain. Dia tidak penting, dan oleh karena itu keberlangsungan hidupnya juga tidak signifikan. Pada titik ini, protagonis biasanya mendapati dirinya dalam dua kondisi. Pertama, dia sukses bertahan hidup tapi telah kehilangan segala hal penting dalam hidupnya. Kedua, mati. Dari pertengahan 40-an sampai akhir 50-an, mayoritas film noir dengan tema cerita detektif memakai pola cerita yang nihilistik seperti yang dijelaskan di atas. Dead Reckoning, misalnya.50 Film tahun 1947 karya John Cromwell tersebut mengusung Rip Murdoch sebagai karakter protagonisnya. Sepanjang film, Murdoch dibuat bingung oleh temannya yang mendadak hilang, persis setelah temannya itu mendapat penghargaan dari militer. Saat mencoba menginvestigasi, dia mendapati dirinya dijebak dalam konspirasi seorang perempuan yang ia tidak kenal sama sekali. Perempuan itu pernah melakukan kesalahan di masa lalu, dan ingin membersihkan namanya dengan mengorbankan hidup temannya Murdoch. Out of the Past, film karya Jacques Tourneur tahun 1947, memiliki tema yang serupa.51 Si protagonis cerita tiba-tiba didatangi oleh orang-orang dari masa lalunya, yang ternyata belum selesai berurusan dengan si protagonis. Film D.O.A., karya Rudolph Mate tahun 1950, sejak awal malah memvonis kematian si protagonis sejak awal cerita. Di awal cerita protagonis mendapati dirinya disuntik oleh semacam racun yang akan membunuhnya dalam Sialnya lagi, racun tersebut tidak ada penawarnya. Dia pun menghabiskan tiga hari berikutnya untuk melacak siapa yang meracuninya, walaupun dia tahu usahanya sebenarnya sia-sia. Pada akhirnya dia mati juga.
50

Frank Krutnik. In a Lonely Place: Film, Genre, Masculinity. London: Routledge, 1991, hal. 103114. 51 Ibid., hal 132-135.

46

Bila dilacak lagi, nihilisme dalam film noir sebenarnya tidak berakar dari Hammett maupun Chandler. Keduanya memang meletakkan dasar dari plot film noir, namun Cornell Woolrich yang secara detail mengembangkan nihilisme dalam film noir. Woolrich adalah seorang penulis cerita kriminal yang sejaman dengan Hammett dan Chandler. Seperti mereka berdua, karya Woolrich juga cukup banyak dibeli Hollywood. Pada tahun 1942 sampai 1949, tercatat ada sebelas cerita Woolrich yang diadaptasi ke versi layar lebar. Berkaitan dengan proses kreatif, kesamaan Woolrich dengan Hammett dan Chandler terletak pada protagonis cerita yang bimbang dengan pendirian moralnya. Namun, terlepas dari kesamaan tadi, gaya berceritanya sangat jauh dari tradisi cerita kriminal kasar ala Hammett dan Chandler. Dia lebih menekankan pada pengalaman eksistensial yang dialami saat investigasi ketimbang investigasinya sendiri. Bila

diterjemahkan dalam penuturan cerita, deskripsi tentang paranoia dan rasa ketidakberdayaan lebih ditekankan ketimbang deskripsi investigasi dan prosedural polisi.52 Dengan cara bertutur semacam itu, Woolrich dapat menulis berbagai macam cerita di luar cerita detektif. Hollywood pun dapat mengolahnya jadi film noir, yang meski masih mendepankan proses investigasi, namun berada di luar tradisi cerita detektif. Fear in the Night, misalnya. Film karya Maxwell Shane pada tahun 1947 merupakan adapatasi dari cerita Woolrich yang berjudul Nightmare.53 Premisnya berkisar seputar seorang pekerja bank yang mimpi membunuh seseorang dan menyembunyikannya di ruang antah berantah. Saat terbangun, dia mendapati ada luka gores di lehernya, dan kunci di kantong bajunya. Jadilah, dia mulai menginvestigasi dari mana sebenarnya semua itu. Pada akhirnya, dia baru tahu kalau dirinya pernah dihipnotis oleh seorang mentalis. Tentu saja mentalis punya agendanya sendiri. Contoh lainnya adalah Night Has a Thousand Eyes. Film karya John Farrow tahun 1948 tersebut, yang diadaptasi dari novelnya Woolrich, bercerita tentang seorang peramal yang sebenarnya tidak bisa

52 53

Alain Silver & Elizabeth Ward. Film Noir. London: Secker and Warburg, 1992, hal. 120. Op. Cit., Krutnik, hal. 85-87.

47

meramal.54 Pada suatu hari dia mendadak bisa meramal, dan ramalannya itu kelam. Temannya kemudian memanfaatkan ramalan tersebut untuk menumpuk kekayaan, sementara si peramal menghadapi masalah-masalah gara-gara kekuatannya tersebut. Pada perkembangannya, penulis-penulis dengan gaya tutur seperti Woolrich yang karya-karyanya diadaptasi jadi film noir non cerita detektif.55 High Sierra adalah salah satu contohnya. Film garapan Raoul Walsh tahun 1941 tersebut diadaptasi dari novelnya W.R. Burnett. Novel tersebut berputar pada sebuah aksi pencurian kasino, namun secara naratif novel tersebut didominasi oleh kontemplasi sang protagonis, yang merasa bersalah terlibat dalam kegiatan kriminal tersebut. Protagonisnya juga bukan seorang detektif, melainkan mantan kriminal kelas kakap yang sudah uzur. Contoh lainnya adalah Dark Passage. Film karya Delmer Davis tahun 1947 tersebut diproduksi dari novelnya David Goodis. Novel tersebut menarasikan usaha seorang buronan yang mencoba mencari pembunuh istrinya. Dia pun operasi untuk mengganti wajahnya, dan konsekuensinya polisi jadi sulit menemukan keberadaan dia. Mirip seperti Woolrich, Goodis juga lebih menekankan pada kebingungan yang dihadapi si protagonis dalam melacak pembunuh istrinya. Hal tersebut kentara pada klimaks cerita tersebut, ketika si protagonis menghadapi dilema moral saat mengetahui identitas pembunuh istrinya. Mirip seperti Woolrich juga, Goodis tidak memakai seorang detektif sebagai protagonis ceritanya. Banyak karya dari penulis-penulis cerita kriminal yang ceritanya diadaptasi Hollywood kemudian diterjemahkan oleh Gallimard, sebuah rumah penerbitan di Perancis. Gallimard merilis karya-karya tersebut dengan tajuk Serie Noire, atau bila diterjemakan serial cerita kelam.56 Antara tahun 1948 sampai 1953, Gallimard secara reguler menerbitkan novel-novel karya Chandler, Hammett, Burnett dan Goodis dalam bahasa Perancis. Novel-novel tersebut

54 55

Ibid., hal. 89. Nino Frank, The Crime Adventure Story: A New Kind of Detective Film, dalam R. Barton Palmer. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996, hal. 23. 56 Brian Rigby & Nicholas Hewitt. France and the Mass Media. Houndmills: Macmillan, 1993, hal. 90.

48

Gallimard terbitkan dalam format paperback juga, sehingga mudah dijangkau oleh pembaca dari semua kalangan ekonomi. Tidak heran kalau kemudian publikasi Gallimard ini kemudian jadi cukup populer di Perancis. Serie Noire pun jadi bagian budaya pop Prancis di akhir 40-an sampai pertengahan 50-an. 57 Serial publikasi Gallimard tersebut berjasa jadi semacam pendongkrak popularitas istilah film noir di Perancis. Sejarah mencatat bahwa istilah film noir secara resmi diformulasikan pada tahun 1955. Adalah Borde dan Chaumeton yang mencoba mendedah dan mendefinisikan film noir dalam buku mereka, A Panorama of Film Noir. Sebelum itu, istilah film noir memang sudah digunakan di kalangan kritikus Perancis. Hal tersebut terlihat dalam jurnal-jurnal film Perancis kala itu yang secara reguler meresensi film noir.58 Namun, dunia kritikus adalah dunia yang sangat eksklusif. Sedikit sekali kontak mereka dengan masyarakat Perancis pada umumnya, kecuali tentu saja di klub film dan kalangan penggemar film. Penonton yang melihat film murni sebagai hiburan tidak terlalu terpengaruh dengan opini para kritikus film Perancis, yang mayoritas sangat filosofis dan jarang menggunakan bahasa sehari-hari. Wawasan dan ketertarikan mereka terhadap film noir praktis disemai melalui novel-novel kriminal yang diterbitkan Gallimard. Melalui buku-buku itulah, istilah film noir tersebar luas di masyarakat Perancis, jauh sebelum ia resmi dirumuskan.59 Satu alasan kenapa Perancis jadi negara pertama yang menggandrungi film noir adalah berubahnya lanskap sosial Perancis paska Perang Dunia II. Waktu itu, Perancis mengalami kondisi yang terbalik dari Amerika. Meski sama-sama baru berpartisipasi dalam Perang Dunia II, Perancis tidak mengalami kemakmuran ekonomi yang dialami Amerika. Banyak infrastruktur negara yang hancur karena amukan perang. Industri sinema Perancis praktis turut tersendat, meski tidak separah Italia yang sampai tidak punya studio film lagi. Untuk memenuhi bioskop-bioskop, dan menyediakan hiburan bagi rakyatnya yang baru saja didera

57

Op. Cit., Naremore, hal. 12. Robert Ottoson. A Reference Guide to the American Film Noir: 1940-1958. Metuchen, N.J.: Scarecrow Press, 1981. (hal. 217) 59 Op. Cit., Stankowski, hal. 62.
58

49

perang, Perancis mengimpor film-film dari Amerika.60 Pada saat yang sama, film noir sedang naik daun di Hollywood. Jadilah, film-film kriminal beratmosfer kelam tersebut migrasi massal menyeberangi samudera Atlantis. Namun, relasi Amerika dan Perancis tidak berhenti sampai perumusan istilah film noir saja. Masuknya film noir berdampak besar bagi perkembangan wacana di Perancis. Kecenderungan novel-novel kriminal tersebut memakai protagonis yang kode moralnya ambigu sangat menarik perhatian para pemikir Perancis. Mayoritas pemikir Perancis yang tertarik dengan ide tersebut adalah para pemikir eksistensialis. Sudah jadi rahasia umum juga kalau Jean-Paul Sartre, pemikir eksistensialis paling terkenal di Perancis dan seantero dunia, punya kecintaan yang besar terhadap novel-novel petualangan dan kriminal. Secara spesifik, mereka menyorot bagaimana film noir tidak terlalu menekankan peran detektif sebagai investigator, melainkan sebagai individu yang kesadarannya terganggu karena hambatan-hambatan yang ia hadapi selama menjalani suatu kasus. Mereka juga sama tertariknya dengan kecenderungan kedua dalam naratif film noir, yang memasang karakter-karakter yang sejak awal ambigu kode moralnya, seperti mantan kriminal di High Sierra dan buronan di Dark Passage, sebagai protagonis. Semua itu sejalan dengan garis pemikiran mereka, yang melihat manusia bukan sebagai individu yang utuh dengan segala esensinya yang terpetakan secara jelas, melainkan sebagai eksistensi yang kosong. Manusia harus berusaha mendefinisikan dirinya terus-menerus, di hadapan setiap hambatan yang mereka lalui selama hidupnya. Dalam pandangan eksistensialis, manusia dikutuk untuk terus berubah. Ia akan selalu menyangkal masa lalunya, dan merevisi dirinya sampai akhir hayatnya. Kondisi paska perang juga turut mengompori ketertarikan pemikir eksistensialis terhadap film noir. Perang Dunia II secara umum merupakan pengalaman yang traumatis bagi masyarakat Perancis. Menurut Naremore, Perancis sebelum dan sesudah perang adalah negara yang terjebak dalam

60

Raymond Borde & Etienne Chaumeton. A Panorama of American Film Noir: 1941-1953. San Francisco: City Lights Publishers, 2002. (hal 1-2)

50

sejarah.61 Masyarakat Perancis adalah masyarakat yang sangat terbebani dengan sejarah mereka yang penuh dengan revolusi. Perang Dunia II, periode yang penuh penderitaan dan ketidakberdayaan, jadi semacam bercak hitam di lembaran sejarah Perancis yang penuh kegemilangan. Tidak heran kalau masyarakat Perancis kemudian menyebut periode tersebut sebagai les annees noires, atau tahun-tahun eksistensialis kegelapan.62 untuk Krisis tersebut mendorong Amerika, banyak yang pemikir notabene

menyorot

film-film

noir

membahasakan kegelisahan mereka dalam format yang sangat populis. Para pemikir tersebut kemudian menuangkan hasil refleksi mereka dalam bentuk esai dan buku. Di sisi lain, Amerika mulai menyerap pemikiran dari kawan Eropanya. Berkembangnya industri percetakan di Amerika, yang disebabkan oleh meningkatnya kondisi perekonomian Amerika paska perang, menyebabkan banyak literatur asing yang diterjemahkan dan diterbitkan di Amerika. Literatur yang cukup banyak dipublikasikan di Amerika adalah karya-karya para pemikir eksistensialis tersebut, mengingat di waktu yang sama eksistensialisme sedang jadi trend di Perancis dan Eropa pada umumnya. Novel-novel eksistensialis macam La Nausee karya Sartre dan Lestranger karya Albert Camus mulai mendapatkan audiens di Amerika. Konsekuensinya: masyarakat Amerika secara umum mulai familiar dengan istilah-istilah eksistensialis, seperti kegelisahan, kecemasan dan kesendirian. Konsekuensi yang lebih mikro: komunitas praktisi literer di Amerika turut terpengaruh dan mulai merajut pemikiran eksistensialis ke dalam karya-karya mereka. 63 Termasuk dalam komunitas itu adalah para penulis cerita kriminal. Adalah kondisi paska perang yang menyemai ketertarikan masyarakat Amerika terhadap eksistensialisme. Pada titik ini, diperlukan adanya semacam penjelasan tentang kondisi sosio-politik Amerika paska perang. Pasalnya, hal itulah yang kemudian berpengaruh ke perkembangan dunia literer Amerika paska
61 62

Op. Cit., Naremore, hal. 22-23. Ibid., hal. 25. 63 Malcolm Bradbury, The Modern American Novel. Oxford: Oxford University Press, 1992, hal. 165.

51

perang, dan film noir di Hollywood. Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, Amerika mengalami kemakmuran yang tidak terduga paska Perang Dunia II.64 Hal ini mengejutkan karena beberapa tahun sebelum perang terjadi, Amerika sedang tertatih-tatih bangkit dari depresi ekonomi yang melanda seantero negeri. Setelah depresi ekonomi, Amerika perlahan-lahan membangun industrinya kembali, dengan mental siaga satu kalau-kalau ekonomi negara kembali ambruk. Namun, Perang Dunia II mengubah segalanya. Ada dua alasan kenapa Perang Dunia II jadi titik balik perekonomian Amerika. Pertama, perang tersebut tidak berlangsung di tanah Amerika, tapi di Eropa. Alhasil, infrastruktur Amerika tidak ada yang tersentuh tembakan peluru maupun ledakan bom, sementara kota-kota di Eropa luluh lantak akibat amukan perang. Kedua, Amerika terlibat dalam banyak perdagangan dan kegiatan ekonomi di Eropa, baik saat perang maupun setelahnya. Sewaktu perang berlangsung, kebutuhan senjata dan kendaraan tempur di Eropa sangatlah tinggi. Amerika yang memenuhi kebutuhan tersebut dengan memproduksi peralatan perang secara massal. Seusai perang, negara-negara di Eropa banyak mengalami kerugian. Amerika yang membantu dengan

menyuntikkan dana bantuan. Dari kegiatan tersebut, Amerika menikmati bunga dari piutang yang dibayar oleh negara-negara Eropa tersebut. Kemajuan ekonomi paska perang berujung pada membaiknya kondisi hidup di Amerika. Perekonomian negara terus berkembang dan Amerika memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang besar. Belum lagi, pendapatan dari piutang memastikan adanya pendapatan tetap dalam jumlah yang besar ke kas negara. Masa depan terlihat begitu cerah bagi Amerika. Namun, hal ini kemudian berimplikasi pada kesadaran masyarakat Amerika. Kondisi kritis selama depresi ekonomi dengan cepat dilupakan oleh masyarakat Amerika. Kekayaan yang tak terhingga menjadikan depresi ekonomi terlihat sebagai suatu pengecualian dalam sejarah Amerika. Konsekuensinya: mentalitas dan pola hidup masyarakat Amerika ikut berubah. Ada dua isu yang berkembang di masyarakat Amerika paska perang. Pertama, materialisme. Membaiknya perekonomian negara sangat membantu
64

Ibid., hal. 262.

52

kemajuan industri. Lapangan kerja, yang tadinya dijalankan dengan penuh siaga, kini begitu bebas dan terbuka. Masyarakat Amerika, terutama mereka yang kembali seusai bertugas sebagai tentara sukarela selama perang, berbondongbondong mendaftarkan diri ke pabrik dan kantor terdekat. Memasuki dunia kerja, para pekerja pabrik dan karyawan kantor dapat dengan cepat menumpuk kekayaan, karena iklim kerja sedang sangat kondusif. Akibatnya, konsumsi masyarakat meningkat drastis. Pusat perbelanjaan terus berkembang, karena masyarakat dapat belanja sesuka hati dengan pendapatannya yang melimpah. Tempat-tempat hiburan, seperti taman bermain dan bar-bar, juga ramai didatangi pengunjung. Alasannya: kondisi hidup masyarakat yang terus meningkat memungkinkan pemanfaatan waktu luang yang lebih hedonistik.65 Tadinya, waktu depresi ekonomi masih melanda, masyarakat Amerika harus mengeluarkan banyak usaha dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk memastikan ada cukup makanan di meja makan setiap hari. Dengan kondisi perekonomian yang membaik setelah perang, masyarakat Amerika tidak perlu bekerja sekeras dulu. Waktu luang makin banyak. Makanan, kebutuhan dasar yang tadinya begitu sulit dipenuhi, tidak lagi jadi masalah. Apalagi dengan adanya inovasi industri, seperti kulkas dan makanan kaleng, masyarakat Amerika tidak perlu lagi repot soal isi perut. Waktu luang masyarakat untuk senang-senang jadi lebih banyak. Banyaknya waktu luang tersebut mendorong perpindahan penduduk dari kota ke pinggir kota. Dihadapkan dengan waktu luang yang banyak, masyarakat Amerika tentu harus mencari cara bagaimana menikmati semua itu sebaik mungkin. Mereka pun memilih untuk pindah dan menetap di pinggir kota. Kehidupan di pinggir kota menjadi begitu menggoda, karena di sana tidak seramai di tengah kota. Orang dapat menjalani hobi dan kesenangannya masing-masing tanpa harus terganggu bisingnya pabrik dan lalu lintas kota yang semakin padat. Kepemilikan mobil pribadi yang terus meningkat, ditambah dengan membaiknya sistem transportasi publik, masyarakat Amerika dapat pergi pagi ke kota untuk kerja dan pulang sore ke rumah dengan mudah.
65

Nina C. Leibman. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television, 1989, hal. 173.

53

Namun, kehidupan di pinggir kota sangatlah jauh dari keramaian. Daerah pinggir kota belum dikembangkan sebaik daerah di tengah kota. Pusat perbelanjaan dan hiburan tidak begitu banyak di sana. Oleh karena itu, di pinggir kota banyak berkembang kegiatan komunitas untuk mengisi kekosongan hidup para penghuninya. Gereja, kegiatan pemuda dan arisan ibu-ibu merupakan kegiatan yang sangat populer di sana. Pada perkembangannya, kegiatan-kegiatan komunitas tersebut berpengaruh ke pembentukan keluarga di Amerika. Setiap anggota keluarga di Amerika, kecuali bapak yang sebagian waktunya terpakai untuk kerja, mendapati dirinya berkembang dalam ruang yang komunal.66 Dalam kegiatan-kegiatan komunitas yang berkembang di daerah pinggir kota, terdapat semacam hukum tak tertulis yang mewajibkan individu untuk mengikuti konsensus komunitas. Kegiatan di gereja secara makro mengacu pada isi kitab suci, dan secara mikro mengikuti kebijakan yang diterapkan pendeta dan dewan gereja. Sementara, kegiatan pemuda dan arisan ibu-ibu sangat menekankan kebersamaan para anggota, yang diikat oleh kebutuhan dan tujuan bersama. Pola kehidupan komunal tersebut yang menjadi dasar bagi isu kedua dalam lanskap sosial Amerika paska perang: konformisme. Kehidupan komunal menyaratkan setiap individu menekan kepentingan pribadi, dan mengedepankan kepentingan bersama. Bila dikaitkan dengan konteks negara, tendensi komunal tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah Amerika saat itu. Perang mendorong pemerintah Amerika untuk menuntut integritas masyarakatnya. Dalam rasional pemerintah, masyarakat perlu mendukung tentara-tentara Amerika yang terjun ke medan perang, karena mereka yang membawa nama baik dan harga diri bangsa. Setelah perang usai, pemerintah tetap menuntut integritas masyarakatnya. Pasalnya, meningkatnya kesejahteraan hidup paska perang membuat pemerintah bisa berdalil bahwa cara Amerika (the American way) adalah cara yang sudah terbukti sukses. Penyelewengan atau subversi dari cara Amerika jelas hanya akan membawa kemalangan, baik bagi individu yang menyeleweng maupun negara yang menanggung kebebalan individu tersebut. Perang dingin dengan Uni Soviet
66

Sylvia Harvey, Women's Place: The Absent Family of Film Noir, dalam E. Ann Kaplan. Women in Film Noir. London: British Film Institute, 1972., hal. 23-25.

54

membuat pemerintah Amerika makin punya alasan untuk mengagungkan cara Amerika. Bagi pemerintah Amerika, perang dingin mengerucutkan antagonis negara ke satu hal: komunisme. Siapapun yang hidup dengan cara komunis di tanah Amerika, maka ia akan dianggap tidak relevan dan pantas disingkirkan. Fenomena tersebut pada perkembangannya merasuk ke kehidupan keluarga. Sebagai unit politik terkecil, keluarga menyerupai negara. Ada figur pemimpin dan perumus kebijakan, yaitu bapak. Ada figur penyeimbang dan partner bertukar ide, yaitu ibu. Ada figur yang kesejahteraan hidupnya tergantung pada pemimpinnya, yaitu anak-anak. Seperti yang sudah dijelaskan, pemerintahan Amerika paska perang sangat mendorong kebersamaan. Keluarga pun dituntut untuk melakukan hal yang sama. Pemerintah melihat keluarga sebagai medium yang efektif untuk penanaman nilai-nilai yang dibutuhkan pemerintah. Sasarannya utamanya jelas anak-anak, mengingat orang tua yang berperan sebagai penentu orientasi dapat memanajemen anaknya agar berkembang dengan nilai-nilai patriotik. Perihal kebutuhan ini, laki-laki memegang peran yang sangat penting. Dengan industri Amerika paska perang yang sangat padat tenaga kerja, laki-laki jelas sangat dibutuhkan kontribusinya. Apalagi Amerika baru kedatangan stok laki-laki pengangguran, yakni laki-laki yang kembali dari tugasnya sebagai tentara sukarelawan. Tidak heran kalau kemudian laki-laki sangat mendominasi lapangan kerja. Sebagai yang menafkahi keluarga, laki-laki tentu perlu mendapat perlakuan khusus dalam keluarga.67 Mereka, seperti tentara yang terjun ke medan perang, yang membawa nama baik dan harga diri keluarga. Dengan kentalnya kultur materialistis di Amerika paska perang, nilai suatu keluarga di hadapan lingkungannya praktis ditentukan oleh kesejahteraan hidupnya. Laki-laki yang bertanggungjawab atas kesejahteraan hidup keluarganya. Oleh karena itu, secara sadar maupun tidak sadar, laki-laki diperlakukan khusus dalam keluarganya. Lakilaki sebagai suami dan bapak sangat dipatuhi oleh istri dan anak-anaknya, karena mereka
67

dianggap

telah

mengorbankan

kepentingan

pribadinya

demi

Deborah Thomas. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male. CineAction!, 1986, hal. 21-22.

55

keberlangsungan keluarganya. Hanya lewat kepatuhan terhadap suami/bapak, suatu keluarga bisa berjalan optimal pada dasar nilai yang sama. Singkatnya, di Amerika paska perang, keluarga merupakan cerminan dari pemerintahan yang totaliter. Kecenderungan tersebut tentunya mempengaruhi formasi keluarga. Ada tiga aksioma yang mendasari pembentukan mayortias keluarga Amerika paska perang. Pertama, ego laki-laki berkaitan erat dengan potensi ekonominya. Bagi masyarakat Amerika waktu itu, keluarga yang baik adalah keluarga yang dipimipin oleh laki-laki yang sehat dan siap kerja. Hal ini penting bagi citra lakilaki di pergaulannya, baik di lingkungan kerjanya, lingkungan tempat tinggalnya, maupun di hadapan keluarganya sendiri. Kedua, kelayakan perempuan berkaitan erat dengan dukungannya pada suami. Dukungan tersebut terwujud dalam keberadaan mereka di rumah untuk menyediakan rumah tangga yang kondusif bagi suaminya, dan menjaga perilakunya sebagai perempuan dengan hidup sesuai norma yang berlaku. Dengan menjaga citra baik dirinya, perempuan turut menjaga citra baik suaminya. Kepatuhan yang serupa juga harus dijalankan oleh anakanak. Sampai pada batas tertentu, mereka adalah wajah dari keluarganya. Semua kegiatan yang anak-anak jalani pada akhirnya akan dikaitkan dengan bapaknya. Kepatuhan anak-anak pada bapaknya, itulah aksioma ketiga dalam pembentukan keluarga Amerika paska perang. Aksioma-aksioma tersebut pada perkembangannya jadi tekanan tersendiri bagi laki-laki dan perempuan yang menjalani kehidupan berkeluarga. Laki-laki, sebagai yang menghidupi keluarga, tertekan harus terus menerus menjalani siklus kerjanya. Kehidupan mereka sangat diatur oleh jam kerjanya. Pasalnya, jam kerja yang tadinya merupakan kesempatan untuk aktualisasi diri, kini jadi tekanan untuk terus menerus aktualisasi diri. Laki-laki harus menjaga citra baik tentang dirinya. Mereka sangat menghindari cacat fisik dan melakukan kesalahan fatal di pekerjaannya, karena kedua hal tersebut akan berpengaruh ke potensi ekonomi si laki-laki. Tanpa fisik yang optimal dan reputasi yang bersih, seorang laki-laki akan tercoreng citranya. Dia pun akan sulit memperoleh perhatian di lingkungan kerjanya, tempat tinggalnya, dan tentu saja keluarganya.

56

Di sisi lain, perempuan sangat tertekan oleh batasan-batasan yang harus ia alami sebagai istri dan ibu rumah tangga.68 Eksistensi perempuan terbatas pada eksistensi suaminya, dan hal tersebut menempatkan perempuan dalam kondisi yang serba salah. Kalau istri tidak mampu menyediakan rumah tangga yang kondusif bagi suaminya, maka ia akan dianggap tidak layak oleh lingkungannya. Kalau ia tidak mau melayani suaminya, maka ia akan dianggap membangkang dari keluarga. Kalaupun ia mampu menjalani perannya sebagai seorang istri tapi suaminya gagal dalam pekerjaannya, perempuan tetap disalahkan, karena itu berarti perempuan kurang mendukung suaminya. Kondisi ini sangat kontras dengan kondisi perempuan saat perang. Mereka dapat keluar rumah untuk kerja di pabrik maupun di kantor. Dengan begitu mereka dapat menghidupi keluarganya, dan hal tersebut membuat perempuan jadi percaya diri dan punya harga diri. Perang usai, para suami kembali, dan perempuan kembali jadi pengurus rumah tangga lagi. Batasan tersebut menjadi tekanan tersendiri bagi perempuan di Amerika paska perang. Tekanan-tekanan itulah yang kemudian diolah para penulis cerita kriminal ke dalam karya-karyanya. Menolak potret Amerika yang digembar-gemborkan pemerintah, mereka menulis cerita-cerita kriminal yang membingkai negaranya dalam potret kegelisahan.69 Protagonis yang mereka pakai adalah laki-laki yang jadi korban alienasi sosial. Mereka teralienasi karena satu kesalahan fatal yang mereka lakukan dalam pekerjaannya. Opsi lainnya: para protagonis tersebut melakukan penyelewengan dalam pekerjaannya. Mereka mengambil keputusan yang berlawanan dari apa yang seharusnya dilakukan, dan itu dilakukan untuk kepentingan pribadi. Kepalang basah, ia pun mengambil segala cara untuk menyelesaikan masalahnya. Tentu saja usahanya menyelesaikan masalah pada akhirnya banyak melabrak batas-batas sosial yang menghadangnya. Di tengah usahanya menyelesaikan masalah, protagonis laki-laki tersebut bertemu dengan seorang femme fatale. Istilah tersebut berasal dari bahasa Perancis, dimana femme berarti perempuan dan fatale berarti berbahaya.
68 69

Op. Cit., Leibman, hal. 170. Op. Cit., Bradbury, hal. 256-258.

57

Perempuan tersebut dianggap berbahaya, karena ia mewakili segala hal yang lakilaki tidak temui di istrinya dan keluarganya.70 Dengan kata lain, femme fatale mewakili segala penyelewengan norma yang berlaku di Amerika paska perang.71 Namun, femme fatale menjadi semacam terapi bagi protagonis laki-laki. Keberadaannya jadi semacam insentif bagi protagonis laki-laki untuk menata pikirannya, membangkitkan semangat hidupnya, dan mengambil inisiatif untuk menyelesaikan segala masalah yang melingkarinya. Femme fatale sendiri, dalam novel-novel kriminal, selalu dikontraskan dengan suami yang cacat secara fisik. Baik itu suami yang sedang ia nikahi, yang dulu pernah ia nikahi, maupun yang sudah ia bunuh. Kontras tersebut jadi semacam satir dari tekanan yang dialami perempuan Amerika paska perang. Para femme fatale tersebut gelisah dengan batasan-batasan yang harus jalani di rumahnya. Sementara itu, suaminya, yang notabene menjadi pembatas eksistensi si femme fatale, tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaiki suasana di rumah.72 Hal itu yang kemudian jadi motivasi bagi femme fatale untuk keluar dari rumah, dan merumuskan segala konspirasi untuk memuaskan dirinya.73 Korban dari semua ini tentu saja para laki-laki di sekitar femme fatale. Relasi laki-laki dan perempuan yang dijelaskan di atas merupakan plot dasar novel-novel kriminal Amerika paska perang. Plot tersebut yang kemudian tercetak dalam ratusan novel kriminal, yang dirilis secara massal oleh rumahrumah penerbitan. Format paperback memungkinkan masyarakat umum mengakses novel-novel tersebut dengan harga murah. Oleh karena itu, pada perkembangannya, masyarakat Amerika mulai familiar dengan konvensi-konvensi yang ada dalam novel kriminal. Semua itu sudah terpatri dalam memori kolektif dan budaya pop masyarakat Amerika. Studio-studio Hollywood pun melihatnya sebagai kesempatan untuk mengais keuntungan. Produksi film noir pun dimulai.

70

Janey Place, Women in Film Noir, dalam E. Ann Kaplan. Women in Film Noir. London: British Film Institute, 1978, hal. 52. 71 Ibid., hal. 54. 72 Ibid,. hal. 36. 73 Ibid,. hal. 53.

58

B. AKAR SINEMATIK FILM NOIR Layaknya yang terjadi dengan dunia literer Amerika, tahun-tahun paska Perang Dunia II merupakan tahun yang krusial bagi Hollywood. Pasalnya, tahuntahun tersebut adalah tahun dimana Amerika banyak menyerap pengaruh dari Eropa, yang pada perkembangannya menjadi formula visual bagi film noir. Era 40-an sebenarnya merupakan periode yang sangat berwarna di Hollywood. Bioskop-bioskop di Amerika waktu itu masih bekerja di bawah satu standar pemutaran. Pemutaran setiap harinya selalu terdiri dari laporan berita, kartun pendek, informasi film-film yang akan rilis, dan dua slot film panjang.74 Dua slot film panjang tersebut dilabeli dengan slot A dan slot B. Slot A dikhususkan untuk film-film blockbuster, film-film yang diproduksi oleh studio besar dan memperoleh publikasi yang massal. Slot B dikhususkan untuk film-film pelengkap, atau istilah populernya film B, alias film-film yang diproduksi oleh studio kecil dengan bujet yang sangat murah dan publikasi yang ultra minim. Bila dipilah berdasarkan genre, slot A biasanya memutar film-film kolosal, drama dan komedi; sementara slot B umumnya memutar film horror, kriminal, dan sainsfiksi.75 Dari sini terlihat bahwa dengan duduk seharian penuh di bioskop, orang Amerika bisa memperoleh berbagai macam hiburan tanpa harus bersusah payah. Sekuens pemutaran di bioskop yang variatif tersebut ditopang dengan produksi film di Hollywood yang sama variatifnya. Setiap minggunya, masyarakat Amerika rata-rata dapat memilih di antara 8-12 film baru.76 Bila dipilah berdasarkan genre, masyarakat Amerika setiap minggunya dapat memilih antara film musikal, western, kriminal, dan drama. Empat genre itulah yang paling banyak diproduksi selama dekade 40-an. Kalau melihat film-film populer tahun 1940-an yang masuk ke dalam daftar Badan Pendaftaran Film (National Film Registry), atau film-film populer Amerika dari periode tersebut yang dianggap penting secara kultural dan estetis, maka akan muncul judul-judul seperti The Great Dictator (disutradarai oleh Charlie Chaplin, pada tahun 1940), Citizen Kane
74 75

Op. Cit., Stankowski, hal. 61. Joel W. Finler. The Hollywood Story, 3rd edition. London and New York: Wallflower, 2003., hal. 47-49. 76 Op. Cit., Stankowski, hal. 62.

59

(Orson Welles, 1941) How Green Was My Valley (John Ford, 1941), Maltese Falcon (John Huston, 1941), Shadow of a Doubt (Alfred Hitchcock, 1943), Laura (Otto Preminger, 1944) , Meet Me in St. Louis (Vicente Minelli, 1944), Mildred Pierce (Michael Curtiz, 1945), Its a Wonderful Life (Frank Capra, 1946), The Treasure of Sierra Madre (John Huston, 1948) dan All the Kings Men (Robert Rossen, 1949).77 Dari daftar itu saja, sudah terlihat betapa variatifnya film-film yang Hollwood produksi selama periode 40-an. Namun, dari segala jenis film tersebut, ada satu jenis film yang secara konstan diproduksi: film kriminal. Genre film lainnya mengalami pasang surutnya masing-masing. Film musikal tidak lagi diproduksi secara massal menjelang awal 50-an. Alasannya: kesulitan mencari ide yang segar, karena film musikal adalah genre yang hampir tidak mungkin dibuat sekuelnya.78 Sementara film western mulai kehilangan penonton, karena penduduk Amerika pada umumnya mulai terbiasa dengan pemandangan kota. Seperti yang sudah dijelaskan, pertumbuhan ekonomi paska perang menyebabkan banyak desa yang tumbuh jadi kota kecil, dan banyak kota kecil yang jadi kota besar. Pemandangan alam yang banyak disuguhkan dalam film western jadi tidak relevan lagi.79 Film drama, di sisi lain, tetap konstan diproduksi. Sebagai sebuah genre, film drama sebenarnya tidak terlalu terikat kondisi sosial. Apapun trend yang sedang hangat, film drama dapat dirilis kapanpun dan dimanapun. Namun, film drama adalah genre yang sangat tidak ramah penonton. Genre tersebut sulit dijual ke masyarakat kelas bawah, yang notabene di Amerika bioskopnya lebih menjamur ketimbang bioskop kelas menengah. Oleh karena itu, film mayoritas dirilis oleh studio-studio besar. Hanya mereka yang mampu mengontrak bintang mahal, mengadakan publikasi mahal, dan mampu menanggung kerugian ongkos produksi yang tidak tertutup penjualan tiket.80

77

National Film Registry (http://en.wikipedia.org/wiki/National_film_registry). 5 Mei 2010. Diakses pada 15 Mei 2010. 78 James Monaco. How to Read a Film. Oxford: Oxford Universtiy Press, 2000, hal. 358. 79 Ibid., hal. 362. 80 Ibid., hal. 365.

60

Di sisi lain, era 40-an begitu ramah terhadap film kriminal. Alasan utamanya tentu saja stok cerita kriminal yang melimpah. Seperti yang sudah dijelaskan, selama tahun 40-an novel-novel kriminal begitu menjamur di Amerika. Penyulut trend tersebut adalah teknologi paperback, yang

memungkinkan rumah penerbitan mencetak buku dalam volum massal dengan harga yang sangat rendah. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan mengorbankan kualitas fisik buku, yang cenderung tidak tahan lama dibanding buku yang dicetak dalam format hardcover. Namun, kualitas fisik buku tidak jadi masalah, mengingat penjualan buku-buku paperback tersebut begitu mendominasi pasaran. Masyarakat dapat mengaksesnya dengan harga yang murah. Hal tersebut memungkinkan novel kriminal cepat naik popularitasnya di masyarakat Amerika. Belum lagi koran-koran secara reguler memasukkan cerita kriminal bersambung di halaman belakangnya, jadilah masyarakat Amerika makin familiar dan menggandrungi cerita kriminal sebagai teman waktu luangnya. Fenomena tersebut tentu saja diendus oleh studio-studio Hollywood, baik yang kecil maupun yang besar. Sebagai industri yang sangat terobsesi dengan hasil akhir, Hollywood tentulah melihat cerita kriminal sebagai ladang emas yang belum tergali. Modal pertama yang Hollywood eksploitasi adalah penulis-penulis cerita kriminal populer, seperti James M. Cain, Raymond Chandler, Dashiell Hammett dan Mickey Spillane. Berkat kesuksesan cerita-cerita mereka, penulispenulis tersebut bak selebritis di kalangan masyarakat Amerika. Hollywood pun dapat memanfaatkan mereka lewat dua cara. Pertama, dengan mengadaptasi cerita-cerita mereka ke layar lebar. Cara ini adalah cara yang paling umum, mengingat lebih banyak penulis yang terkenal ceritanya saja, alias penulis-penulis one hit wonder yang merilis satu cerita terkenal dan kemudian hilang ditelan persaingan industri. Cara ini tentu juga berlaku buat penulis-penulis yang namanya sudah besar, seperti James M. Cain dan para kontemporernya tersebut. Dengan mengadaptasi cerita mereka, Hollywood malah mendapat keuntungan publikasi ganda: dari judul ceritanya dan nama penulis novelnya. Keduanya dapat dieksploitasi Hollywood untuk menarik perhatian penonton.

61

Khusus untuk penulis-penulis besar tersebut, studio-studio Hollywood punya cara lain untuk memanfaatkan ketenaran mereka, yakni dengan merekrut mereka sebagai penulis naskah film. Cara ini menguntungkan Hollywood dalam dua hal. Pertama, Hollwood mendapat jaminan kualitas dari profesi mereka sebagai penulis. Siapa lagi yang lebih mengerti soal cerita kriminal selain penulis kriminal itu sendiri? Tentu ada logika sendiri yang harus dipertimbangkan dalam mengadaptasi novel ke layar lebar, mengingat cerita tertulis memiliki sistem naratif yang berbeda dari cerita dalam gambar bergerak. Namun, itu bukan masalah. Studio-studio Hollywood dapat merekrut satu atau dua penulis naskah lagi, yang terbiasa bekerja dengan standar Hollywood, untuk mendampingi penulis cerita kriminal tersebut. Dengan melakukan hal tersebut, Hollywood tetap dapat menikmati kualitas para penulis cerita kriminal tersebut, dan tentu saja nilai publikasi tambahan. Film kriminal yang publikasinya dibubuhi kalimat diangkat dari novel .... dan dengan .... sebagai penulis naskah jelas lebih menjual, dibandingkan film kriminal lainnya yang dirilis tanpa embel-embel tersebut. Segmen cerita sudah beres, Hollywood tinggal memikirkan seksi teknis yang akan mengurusi visualisasi cerita-cerita kriminal tersebut. Pada titik inilah, Perang Dunia II menjadi berkah terselubung bagi sinema Amerika. Selama Perang Dunia II, kegiatan perfilman Eropa banyak terhenti. Hancurnya infrastruktur dan kondisi perang banyak membuat studio memilih tutup. Ada tiga pilihan yang tersedia bagi para pekerja film di Eropa: ikut perang sebagai tenaga sukarelawan, sembunyi atau imigrasi. Mereka yang memilih imigrasi kebanyakan memilih Amerika sebagai rumah barunya. Alasan yang logis, mengingat waktu itu Amerika satu-satunya industri film yang bisa berkembang tanpa terganggu perang. Pasar film pun terus bergerak, karena kehidupan masyarakat di sana tetap berjalan normal tanpa adanya gangguan perang. Dengan pindah ke Amerika, para pembuat film dari Eropa tersebut memperoleh dua keuntungan. Pertama, mereka dapat melanjutkan kesenangan mereka pada film, atau minimal memperoleh penghidupan dari bidang yang mereka geluti selama di Eropa. Kedua, mereka dapat hidup aman tanpa adanya gangguan dari senapan dan letusan meriam. Seperti kontribusi penulis eksistensialis ke bidang literer Amerika paska perang,

62

perpindahan para pembuat film dari Eropa ke Amerika menjadi penyulut perkembangan film noir di Hollywood.81 Berkaitan dengan film noir, para imigran Eropa tersebut punya modal yang sangat esensial, yakni ekspresionisme Jerman. Aliran estetik khas Jerman itulah yang nantinya bakal menjadi rumus dasar visual film noir. Ekspresionisme sebenarnya sudah berkembang di Jerman dua dekade sebelum Perang Dunia II meletus. Waktu itu, di era 20-an, banyak budaya Eropa mencoba mencari inovasi, dengan bereksperimen dengan ide-ide baru. Salah satunya Jerman.82 Terbatas secara ekonomi akibat Perang Dunia I, industri film Jerman kesulitan mengimbangi film-film Hollywood, yang umumnya diproduksi dengan bujet besar. Para pembuat film Universum Film AG, studio film terbesar di Jerman waktu itu, kemudian mencoba bereksperimen dengan properti dalam film-film mereka. Ide mereka adalah dengan menata setting dalam film mereka di luar proporsi. Pemikiran ini jelas merupakan antitesis dari prinsip produksi Hollywood, yang mengedapankan keutuhan dalam film-film mereka, baik secara spasial maupun temporal. Letika menonton film-film Hollywood, kita pasti

mengharapkan seorang aktor keluar dari pintu di kiri layar, setelah mereka masuk dari pintu di kanan layar. Logika ruang-waktu semacam itulah yang menjadi prinsip produksi Hollywood selama ini. Namun, para praktisi ekspresionisme Jerman memilih untuk mengabaikan logika tersebut, dan mendesain properti dalam film-film mereka sekacau mungkin. Kontras dibuat setinggi mungkin, dengan mengecat lantai dan dinding dengan pola warna hitam yang asimetris, untuk merepresentasikan cahaya dan bayangan. Setting pun dibuat seabsurd mungkin, dengan tidak menghiraukan tata ruang yang rapi dan teratur. Ruang dalam film-film ekspresionis Jerman seringkali memiliki atap yang tidak tegak lurus dengan dasarnya, dan cenderung dipenuhi ornamen-ornamen yang lebih besar dari ukuran aslinya.

81

Andrew Dickos. Street with No Name: A History of the Classic Film Noir. Lexington: University of Kentucky Press, 2002, hal. 10. 82 Ibid., hal. 15-22

63

Ketidakaturan properti tersebut dimanfaatkan para pembuat film ekspresionis sebagai motif cerita. Properti-properti tersebut menjadi wujud simbolik dari emosi-emosi gelap manusia, seperti kegelisahan, kebingungan, dan kegilaan. Keberadaan karakter film dalam ruang yang tidak proporsional merupakan cerminan dari kondisi mental manusia, yang tidak pernah akur dengan realita di sekitarnya. Tidak heran kalau kemudian gerakan ekspresionisme Jerman melahirkan film-film bertema intelek, bila dibandingkan dengan film laga dan roman yang banyak diproduksi Hollywood waktu itu. The Cabinet of Dr. Caligari, produksi tahun 1920, bercerita tentang halusinasi seorang pasien gangguan mental. Dua karya epik Fritz Lang, Metropolis (1927) dan M (1931), bercerita tentang kota yang panik karena perkembangan peradaban modern. Kalau di film pertama, kota panik karena terciptanya robot yang disetir penguasa untuk menghancurkan seluruh kelas pekerja; di film kedua, kota ketar-ketar karena keberadaan pembunuh berantai yang pedofil. Ketiga film tersebut bisa dibilang sebagai film-film yang merepresentasikan segala konvensi ekspresionisme Jerman, mulai dari aspek visual sampai tema cerita. Ekspresionisme Jerman berkembang jadi kekuatan utama sinema dunia sampai Perang Dunia II meletus. Menjelang Perang Dunia II, kenaikan Nazi sebagai kekuatan politik mengancam keberadaan industri film Jerman. Pada

waktu itu, industri film Jerman banyak menampung pelajar film dari negara tetangganya dan Eropa Timur. Banyak pelajar film dari Austria, Polandia, Hungaria, Cekoslovakia, dan Slovakia yang masuk ke Jerman. Tidak heran kalau kemudian banyak sutradara dan sinematografer lulusan Jerman yang sangat menguasai teknik-teknik ekspresionis. Keberadaan Nazi dan kondisi politik Eropa yang kian memanas memaksa mereka keluar dari Jerman. Perpindahan mereka ke Amerika jadi keuntungan sendiri bagi Hollywood.83 Dalam produksi film noir, simbolisasi emosi karakter merupakan hal yang esensial. Pasalnya, naratif film noir sangat bergantung pada simbolisasi karakter tersebut. Tanpanya, film noir akan kehilangan kualitas mitisnya, dan hanya akan menjadi cerita kriminal biasa dengan karakter-karakter yang dapat ditemukan di
83

Ibid., hal. 33.

64

ratusan cerita kriminal lainnya.84 Simbolisasi emosi tersebut yang menjadikan film noir terlihat begitu pesimis, sekaligus begitu akurat dalam memotret psike masyarakat Amerika paska perang. Pada titik ini, kedatangan para imigran dari Eropa terasa manfaatnya. Dengan kualifikasi mereka selama bekerja di Eropa, para imigran tersebut dengan mudah dapat memperoleh pekerjaan di Hollywood. Film noir jelas berbeda dengan film-film ekspresionis, namun naratif keduanya bergantung pada hal yang sama: eksposisi emosi internal karakter. Oleh karena itu, dalam film noir, emosi para karakternya diekspresikan layaknya yang dilakukan dalam film-film ekspresionis: kontras cahaya dan penataan properti. Sentuhan ekspresionis dalam film noir dapat dilihat dari motif-motif ceritanya. Salah satu motif utama film noir adalah protagonisnya yang selalu terbelah dalam ambiguitas moralnya sendiri. Mereka tidak tahu mana yang pantas dilakukan: menerima jalan hukum dan menderita dalam segala ketidakadilannya, atau mengambil jalan di luar hukum dan bersiap menerima segala

konsekuensinya. Keharusan memilih inilah yang memenjarakan karakter-karakter film noir dalam rasa bersalah. Pasalnya, pilihan apapun yang mereka ambil pasti akan berakhir di titik yang sama: kehancuran.85 Para pembuat film noir memvisualisasikan fatalisme tersebut lewat pencahayaan, yang selalu membingkai protagonis film noir dalam bayangan setengah gelap setengah terang. Pembingkaian setengah-gelap-setengah-terang ini semakin ditekankan dalam shot khas film noir: close-up wajah protagonis, yang terbelah oleh cahaya/bayangan secara vertikal. Motif lainnya dalam film noir: relasi protagonis dengan orang yang cocok dengannya, umumnya femme fatale, selalu didasari oleh suatu kepentingan.86 Sialnya, kepentingan tersebut hanya bisa dipenuhi lewat plot atau tindakan terencana yang berada di luar jalur hukum. Hal inilah yang semakin menambah rasa bersalah karakter-karakter film noir. Mereka tidak nyaman dengan orangorang di lingkaran personalnya, baik keluarga maupun lingkungan kerja.
84

Ibid., hal. 39 Robert G. Porfirio. No Way Out: Existential Motifs in the Film Noir. Sight and Sound, vol. 4, no. 45, 1976, hal. 213. 86 Ibid., hal. 215.
85

65

Masalahnya, satu-satunya orang yang cocok dengan mereka malah punya kepentingan pribadi, yang hanya bisa terpenuhi dengan memanfaatkan sumber daya milik protagonis. Karakter-karakter film noir selalu terjebak dalam lingkaran setan, dimana tidak ada yang benar-benar bisa keluar dari penjara kegelisahan dirinya, bahkan melalui relasi intim sekalipun. Para pembuat film noir menggambarkan pesimisme sosial tersebut melalui pencahayaan dan tata letak properti. Shot yang paling umum dari fenomena ini adalah dua karakter, biasanya laki-laki dan perempuan, yang terproyeksikan oleh bayangan teralis jendela. Bayangan tersebut menjadi simbolisasi dari ketidakmampuan karakter-karakter film noir keluar dari kegelisahannya. Seakan-akan selalu ada jeruji yang menghalangi jalan keluar mereka. Dominannya pengaruh ekspresionisme Jerman membuat Hollywood seakan-akan tidak punya kontribusi estetis dalam produksi film noir. Ditambah lagi fakta bahwa mayoritas film noir merupakan adaptasi dari novel-novel kriminal di jamannya, Hollywood makin terlihat tidak punya saham dalam kelahiran film noir. Mengingat Hollywood adalah salah satu arus utama di konstelasi sinema dunia, agak mengherankan rasanya apabila Hollywood seperti tidak punya pendirian estetisnya sendiri. Apalagi yang sedang jadi fokus adalah film noir, yang seringkali digadang sebagai satu-satunya estetika yang lahir secara organis dari tanah Amerika. Opini miring mengenai kapabilitas estetis Hollywood tersebut wajar. Pasalnya, kontribusi Hollywood bagi estetika film noir tidak terwujud dalam faktor teknis, melainkan dalam Kode Produksi, alias kode-kode yang meregulasi produksi di Hollywood dari 1930 sampai 1968.87 Sepanjang masa berlakunya, Kode Produksi merupakan momok bagi para pekerja film di Hollywood. Ditilik dari bentuk pelaksanaannya, Kode Produksi bukanlah sensor, melainkan semacam rambu-rambu peringatan. Ia menjadi semacam panduan regulasi diri bagi para pembuat film, untuk mendesain filmnya supaya tidak melenceng dari prinsip-prinsip yang ditetapkan MPAA (Motion Picutre Association of America/Asosiasi Perfilman Amerika). Ada tiga prinsip
87

Thomas Doherty. The Code Before Da Vinci. Washington Post (http://my.brandeis.edu/news/item?news_item_id=105052&show_release_date=1). 20 Mei 2006. Diakses pada 22 Mei 2010.

66

yang harus dipatuhi. Pertama, film tidak boleh merendahkan standar moral penontonnya. Simpati audiens harus selalu ditujukan pada protagonis berwatak baik, dan tidak boleh pada pelaku kriminal. Kedua, film harus menganut pandangan hidup yang positif. Pandangan hidup tersebut hanya boleh dibengkokan sementara untuk kebutuhan drama dan hiburan, yang pada akhir film harus diluruskan kembali, supaya tidak terjadi penyebaran wacana yang salah di masyarakat. Ketiga, nilai-nilai luhur dalam peradaban manusia tidak boleh diinjak-injak. Para pembuat film dilarang mencoba menarik simpati penonton melalui cara-cara yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Di luar ketiga prinsip makro tersebut, MPAA merilis daftar hal-hal yang dilarang muncul dalam filmfilm Hollywood. Larangan-larangan tersebut spesifik dan cenderung moralis, mulai dari seks, penggunaan narkotika, sampai tindakan kriminal.88 Kode Produksi sendiri bisa lahir karena masyarakat Amerika tersulut oleh kejadian di pengadilan negara tahun 1915. Waktu itu, pemerintah daerah Ohio terlibat persidangan panas dengan Mutual Film Corporation, sebuah perusahaan distribusi film. Pemda Ohio kala itu memiliki kebijakan membentuk badan sensor regional, yang ditujukan untuk memantau film-film yang masuk ke bioskop di Ohio. Bagi pemda Ohio, kebijakan tersebut penting dijalankan demi terjaganya moral masyarakat. Namun, Mutual menentang kebijakan pemda Ohio, dengan alasan film sebagai suatu karya seni seharusnya dilindungi oleh amandemen pertama Undang-Undang Negara, yakni kebebasan berekspresi. Selain itu, menurut Mutual, kebijakan pemda Ohio menganggu kebebasan berbisnis antar negara bagian. Sayangnya, panel juri tidak simpatik dengan argumen yang diberikan Mutual. Pengadilan pun mengambil keputusan bahwa film tidak layak disebut sebagai karya seni, dengan alasan ia merupakan komoditas yang diperjualbelikan. Konsekuensinya: film dianggap tidak mendapat perlindungan bebas berekspresi, dan dapat dikenakan sensor oleh badan film setiap negara bagian.89
88

Leonard J. Dame Leff. The Kimono Hollywood, censorship, and the production code from the 1920s to the 1960s. New York: Grove Weidenfeld, 1990, hal. 9. 89 John Wertheimer. Mutual Film Reviewed: The Movies, Censorship, and Free Speech in Progressive America. American Journal of Legal History. Temple University, 1993, hal. 158189.

67

Kasus tersebut membuka wacana tentang sensor dan regulasi film di Hollywood. Popularitas film sebagai hiburan massal di Amerika semakin lama semakin membawa kekhawatirannya sendiri. Kultur selebritis pun mulai terbentuk di Hollywood, dan mulai menarik perhatian publik. Sialnya, sepanjang tahun 20an, Hollywood digoyang oleh tiga kasus besar yang melibatkan selebritis: kematian aktris Virginia Rappe di suatu pesta tahun 1921, pembunuhan sutradara William Desmond Taylor pada tahun 1922, serta kematian dan kasus narkotik aktor Wallace Reid pada tahun 1923. Kejadian-kejadian ini kemudian diliput dan dibesar-besarkan di koran-koran Amerika.90 Publik pun mulai gerah dengan amoralitas yang menyelimuti Hollywood, dan mulai menuntut semacam bentuk pendisiplinan. Akhirnya, setelah kampanye beberapa politisi, Kode Produksi pun diresmikan pada 13 Juni 1934. Setelah tanggal 1 Juli 1934, studio-studio Hollywood haruslah mengirim filmnya terlebih dahulu ke MPAA. Suatu panel kemudian akan menganalisa film tersebut, dan memberinya ijin rilis kalau ternyata filmnya sesuai dengan Kode Produksi. Era film noir, yakni dari tahun 1942 sampai 1958, masih termasuk dalam masa berlakunya Kode Produksi di Hollywood. Bila dilihat dari sejarah penerapan Kode Produksi di Hollywood, film noir bisa dibilang merupakan hasil dari pertemuan dua fenomena: berubahnya tradisi film gangster akibat Kode Produksi dengan pergolakan politik Amerika. Sebelum film noir jadi trend, tradisi film kriminal Hollywood didominasi oleh film-film gangster sejak akhir 1920-an. Popularitas film gangster kala itu disokong oleh ketidakstabilan sosial Amerika akibat kebijakan pemerintah melarang produksi dan distribusi minuman beralkohol.91 Kebijakan tersebut berlangsung dari tahun 1919 sampai 1933. Menjelang akhir dari masa pelarangan tersebut, tepatnya pada tahun 1929, depresi ekonomi melanda seantero Amerika. Konsekuensinya: industri luluh lantak, dan tingkat pengangguran melonjak. Dua kejadian tersebut menjadikan film gangster terlihat seperti mitos yang menyenangkan bagi penonton Amerika. Pelarangan alkohol terbukti sulit
90 91

Op. Cit., Leff, hal. 12. Susan Hayward. Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd edition. Bury: St. Edmundsbury Press, 2000, hal. 153.

68

digalakkan. Pasalnya, jumlah gangster yang berkeliaran di jalan jauh lebih banyak dari aparat keamanan yang bertugas. Perang antar gang dan tindakan kriminal pun sering terjadi. Koran-koran tentunya meliput itu semua. Konsekuensinya: kehidupan gangster jadi santapan harian masyarakat Amerika. Faktanya: banyak film gangster Hollywood yang diadaptasi dari tokoh-tokoh gangster nyata, yang kisah-kisah pelanggaran hukumnya setia dikronologikan oleh ratusan harian di Amerika. Oleh karena itu, penonton Amerika bisa dengan mudah menerima segala brutalitas dan ketamakan yang ditunjukkan film-film gangster waktu itu, karena agresivitas gangster di ruang-ruang urban sudah tertanam dalam memori kolektif masyarakat. Memasuki depresi ekonomi, film gangster berubah signifikansinya. Dari gambaran tentang kenyataan pahit yang ada di Amerika, film gangster berkembang jadi potret idealis tentang harapan-harapan yang tak pernah tercapai. Depresi ekonomi membuat mimpi yang dijanjikan pemerintah Amerika jadi sesuatu yang usang. Dalam undang-undang negara, terdapat suatu testamen bahwa Amerika merupakan suatu masyarakat yang bebas, demokratis, dan tidak tersekat oleh kelas sosial. Hal itu yang digembar-gemborkan pemerintah Amerika selama ini, dan kemudian menjadi mentalitas Amerika pada umumnya. Semua orang bangun pagi dan masuk kerja dengan yakin, bahwa kesuksesan tidaklah jauh dari ujung jari dan bisa diperoleh dengan terus bekerja keras. Namun, depresi ekonomi meruntuhkan keyakinan tersebut. Carut marut perekonomian dengan jelasnya menunjukkan bahwa Amerika sebenarnya terbelah ke dalam dua kubu besar: borjuis dan proletar. Film gangster memperoleh simpati yang besar di kalangan proletar. Bagi mereka, gangster merupakan simbol dari keinginan terpendam kaum proletar, dan skenario alternatif yang mungkin terjadi kalau saja mereka tidak terlalu termakan janji surga pemerintah.
92

Sebagai figur yang melabrak batasan kelas sosial,

gangster dalm film-film Hollywood memperoleh kesuksesannya bukan dengan rajin bekerja, melainkan dengan mencuri dan memuaskan nafsu pribadinya. Individualisme itulah yang waktu itu belum dilakukan masyarakat Amerika,
92

Ibid., hal. 154.

69

mengingat pemerintah terus menerus mengampanyekan pentingnya kebersamaan dan keutuhan komponen bangsa. Di sisi lain, individualisme tersebut menjadi kritik pedas terhadap mitos kesuksesan versi Amerika: seseorang hanya mungkin memperoleh kesuksesan, setelah ia menghabisi orang-orang di sekitarnya. Potret kelam ini jadi representasi dari harapan mayoritas kelas pekerja Amerika jaman depresi. Tidak heran kalau film gangster waktu itu begitu populer banyak diproduksi. Memasuki pertengahan 30-an, pesimisme yang disajikan film gangster mulai terasa tidak relevan.93 Pasalnya, perekonomian Amerika perlahan-lahan berhasil memulihkan dirinya, dan kehidupan masyarakat normal kembali. Masyarakat pun mulai gerah dengan kekerasan dan pembunuhan yang jadi sajian mingguan Hollywood di bioskop-bioskop. Mereka menuntut adanya semacam pendisiplinan bagi Hollywood, yang mereka anggap kian amoral. Jadilah, pada tahun 1934, Kode Produksi diberlakukan. Film gangster, yang mengambil protagonisnya adalah pihak di luar hukum, terpaksa direvisi besar-besaran. Hollywood pun tanpa sengaja telah menyemai bibit-bibit film noir. Demi kesesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikedepankan Kode Produksi, studio-studio Hollywood
94

memindahkan

protagonis

film-film

kriminalnya dari gangster ke detektif.

Rasionalnya: detektif berasal dari pihak

yang benar, oleh karenanya kalaupun penonton simpatik dengan mereka, setidaknya mereka simpatik dengan figur yang tepat. MPAA pun tidak keberatan dengan perkembangan ini. Namun, yang luput dari perhatian MPAA adalah keputusan studio-studio tersebut mempertahankan bangunan emosional protagonis film gangster di film-film detektif tersebut, dengan beberapa penyesuaian tentunya. Brutalitas gangster dirias ulang oleh para pembuat film jadi kebingungan eksistensial seorang investigator. Mereka adalah orang-orang pinggiran yang mencoba mengaktualisasi dirinya, di tengah kondisi ekonomi yang carut marut dan kasus kriminal yang mendatangkan penderitaan dan kematian. Sama seperti gangster yang menginspirasi keberadaan mereka, para detektif
93 94

Ibid., hal. 155. Ibid., hal. 156.

70

tersebut tidak segan-segan mengambil jalan di luar hukum untuk memenuhi ambisi pribadinya. Popularitas novel kriminal paska Perang Dunia II memperkanalkan konsep femme fatale ke khazanah perfilman Amerika. Keberadaan femme fatale semakin memungkinkan studio-studio Hollywood untuk membuat film dengan level vulgaritas yang mereka inginkan, dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditekankan Kode Produksi. Vulgaritas dalam hal ini bukanlah sebagai keputusan yang disengaja oleh Hollywood, namun suatu konsekuensi dari mengadaptasi novel-novel kriminal yang pada dasarnya vulgar. Femme fatale memungkinkan meletakkan protagonis dalam suatu konflik yang pasti berujung pada kematian. Kalau tidak protagonisnya, femme fatale-nya yang mati. Finalitas tersebut menjadi dalil bagi studio Hollywood untuk mengeksposisi amoralitas protagonis film noir dan seksualitas femme fatale secara eksesif. Rasionalnya: meski melenceng dari normalitas masyarakat, salah satu karakter tersebut ujung-ujungnya akan mati juga.95 Motif tersebut jadi semacam hukuman bagi deviasi sosial yang dilakukan karakter-karakter tersebut. MPAA tentu saja menyetujui motif cerita semacam itu, karena sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka tekankan. Dengan adanya persetujuan dari MPAA, studio-studio Hollywood pun memproduksi film noir berdasarkan pola cerita tersebut.

95

John Blaser. No Place for a Woman: The Family in Film Noir (http://www.filmnoirstudies.com/essays/no_place.asp). 2008. Diakses pada 15 Mei 2010.

71

BAB III MODUS NARATIF FILM NOIR


A. Prinsip Dasar Naratif Film Noir Membahas naratif film noir berarti membahas dua elemen yang mendasarinya: pathos dan action.96 Pathos, dari bahasa Yunani, artinya penderitaan. Dalam teori naratif, pathos adalah satu dari tiga modus dasar dalam retorika. Dua lainnya adalah ethos dan logos. Menurut Aristoteles dalam Ars Rhetorica, ethos berpijak pada etika dan moral, dimana pembicara harus konsisten melakukan apa yang ia bicarakan.97 Ia tidak ingkar dari apa yang ia bicarakan, dan menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang ia ceritakan ke orang lain. Logos berorientasi pada logika bahasa, dimana pembicara dapat meyakinkan lawan bicaranya dengan tata bahasa dan pemilihan kata yang tepat. Sementara ethos dan logos menakar suatu retorika dalam standar moral dan kompetensi bahasa, pathos mendefinisikannya melalui simpati.98 Berdasarkan ukuran pathos, keberhasilan suatu retorika dilihat dari kemampuannya menarik simpati audiensnya. Bila retorika tersebut berupa cerita, maka cerita dikatakan berhasil apabila audiens bersimpati pada protagonisnya. Dalam teori naratif, action berarti tindakan yang dipahami sebagai usaha yang dikeluarkan suatu karakter untuk menyelesaikan konfliknya. Konflik merupakan elemen yang penting dalam setiap narratif, terutama narratif klasik. Struktur naratif klasik, yang notabene merupakan dasar mayoritas narratif, terdiri dari tiga babak: perkenalan (set up), komplikasi (complication), dan penyelesaian (resolution).99 Bila dilihat satu per satu, keberadaan masing-masing babak ditentukan oleh jumlah konflik di dalamnya. Babak perkenalan ada karena konflik
96

Geoff Mayer & Brian McDonnell. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood Publishing Group, 2007, hal. 12. 97 Robert Audi. Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 1999, hal. 347. 98 Ibid., hal. 217. 99 Robert McKee. Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of Screenwriting. New York: Harper-Collins, 1997, hal. 45.

72

dalam cerita baru dimulai, babak komplikasi merupakan tempat dimana konflik berkembang, sementara babak penyelesaian menjadi titik reda dan berhentinya konflik dalam cerita. Pada pandangan yang lebih makro, konflik berarti merupakan elemen yang menggerakkan narratif dari satu babak ke babak lainnya.100 Benang merah dari dialektika pathos-action ini adalah protagonis dan konflik yang menimpanya. Kedua hal tersebut merupakan syarat dasar suatu narratif. Protagonis berfungsi sebagai titik fokal narratif, sementara konflik menjadi dinamo penggerak narratif. Film noir bukan pengecualian. Film noir adalah drama domestik dan cerita kriminal yang dikemas dalam struktur narratif klasik. Ada protagonis laki-laki yang kita ikuti dari awal cerita, ada perempuan yang ditemui seiring berkembangnya cerita, ada kasus kriminal yang dengan peliknya mengikat mereka, dan ada kematian yang menanti mereka di akhir cerita. Pola ini merupakan formula standar yang dipakai mayoritas produsen film noir. Namun, pembacaan di atas hanyalah analisis di level permukaan. Melihat lebih dalam pada detail-detail subtil film noir akan menunjukkan fakta-fakta fundamental yang kerap terkubur sejarah. Tiga detail film noir yang perlu dilihat lebih jauh adalah karakter laki-laki, perempuan dan relasi keduanya, baik di dalam maupun di luar konteks keluarga. Seperti kata Francois Truffaut, pasangan lakilaki dan perempuan merupakan unit politik terkecil dalam masyarakat. 101 Suatu pasangan berfungsi dalam semangat pengaturan diri, baik dari urusan sentimental sampai kegiatan fungsional. Oleh karenanya, apapun yang terjadi di dalam suatu pasangan mencerminkan fenomena di lingkungan sekitarnya. Begitu juga sebaliknya. Amerika tahun 40 sampai 50-an, seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, merupakan periode yang sangat represif. Perang Dunia II di awal dan Perang Dingin di akhir periode tersebut menjadikan pemerintah Amerika sangat waspada dengan perkembangan domestiknya. Masyarakat Amerika dituntut untuk mengekang hasrat pribadinya, dan sebagai gantinya mendukung segala yang
100 101

Ibid., hal. 210-213. James Monaco. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rivette. Oxford: Oxford University Press, 1977, hal. 44.

73

komunal. Dalam kasus ini, komunal tidak saja merujuk pada kehidupan bersama, tapi juga kehidupan bernegara. Batu pijakannya adalah keluarga. Melalui propaganda dan iklan sosial, pemerintah menekankan pentingnya keluarga sebagai pihak pertama perihal penjagaan moralitas bangsa. Keluarga tidak saja diharapkan menjadi pendidikan pertama generasi muda tentang kehidupan bersama, tapi juga sebagai imaji keutuhan bangsa. Keluarga Amerika ideal pada saat itu terdiri dari seorang bapak yang bekerja dan ibu rumah tangga. Anakanaknya dituntut untuk mengikuti jejak yang sama. Singkatnya: pembagian peran berbasis gender. Masalahnya, karena dipaksakan, pembagian tersebut berujung pada kegelisahan. Kegelisahan itulah yang tertangkap oleh produsen budaya di Amerika. Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, industri percetakan dibanjiri oleh novel-novel kriminal. Harganya murah, ceritanya ringan, dan mayoritas bisa dihabiskan dalam sekali duduk. Alhasil, cerita kriminal menjadi bagian penting dalam budaya pop Amerika. Hollywood pun berinisiatif mengadaptasi novelnovel tersebut ke pita seluloid. Prinsip utama dalam mengadaptasi suatu karya populer menjadi film adalah menjaga familiaritas. Pasalnya, familiaritas berbanding lurus dengan aksesibilitas.102 Semakin familiar penonton dengan filmnya, semakin mudah pula ia mencernanya.103 Kemudahan penonton mencerna film berpotensi mendongkrak penjualan tiket. Oleh karena itu, Hollywood mempertahankan banyak aspek dari novel, mulai dari struktur narratif hingga karakterisasi. Film noir, seperti novel-novel kriminal yang menjadi inspirasinya, berpijak pada struktur cerita melodrama. Melodrama adalah salah satu modus narratif tertua dalam sejarah manusia. Akarnya bisa dilacak sampai Abad Pertengahan, dimana waktu itu melodrama berwujud drama panggung. Bila disederhanakan jadi suatu formula sederhana, maka melodrama sama dengan moralitas plus emosi. Dalam dialektika pathos-action, moralitas merupakan pathos. Semua karakter dalam melodrama selalu dilihat dalam tatanan baik102 103

Op. Cit., McKee, hal. 58. Ibid., hal. 61.

74

versus-jahat (good-versus-evil).104 Begitu juga perkembangan karakternya. Basis moralnya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti kejujuran, kebaikan dan kearifan. Penderitaan protagonis datang dari penyalahan nilai-nilai kemanusiaan tersebut yang dilakukan oleh antagonis. Usaha protagonis memperbaiki yang salah itulah yang menjadi tulang punggung cerita melodrama. Action-nya adalah emosi. Bukan sekadar emosi, tapi emosi yang berlebihan. Dikatakan berlebihan karena protagonis mencoba mendamaikan emosinya tanpa ada pertimbangan ke masa depan. Fokus protagonis murni pada pendamaian emosinya, seakan-akan dunia hanya berputar pada satu masalah itu saja. Dalam cerita melodrama, motivasi protagonis tidak dapat dan tidak perlu dinalar. Satu-satunya alasan rasional kenapa protagonis harus mendamaikan emosinya adalah tuntutan narratif. Protagonis harus berusaha menyelesaikan masalahnya, kalau tidak tidak akan ada cerita. Entah berakhir sebagai tragedi atau komedi, ketika masalah dalam cerita melodarama selesai, cerita pun selesai.105 Oleh karena itu, melodrama tidak membutuhkan karakter yang rumit. Melodrama hanya butuh cetakan beberapa karakter, yang sesuai dengan pergolakan emosi yang dituntut oleh cerita. Tidak heran kalau kemudian melodrama punya stok karakternya sendiri: mulai dari laki-laki petualang yang macho, penjahat berwatak jahat, perempuan cantik tapi rapuh, hingga partner protagonis yang setia tanpa syarat.106 Variasi tema ceritanya juga sudah bisa diprediksi: cerita petualangan, kriminal, dan drama kehiupan domestik. Cetakancetakan karakter dan tema cerita tersebut yang kemudian dikombinasikan dalam membuat melodrama. Sebagai hiburan massal, melodrama jelas sangat efektif. Tatanannya yang tersusun atas banyak cetakan membuat melodrama begitu mudah diakses. Audiens tidak perlu banyak berpikir saat mengkonsumsi melodrama. Mereka, sadar tidak sadar, hanya perlu merujuk pada hiburan-hiburan sejenis yang mereka pernah

104

Peter Brook. The Melodramatic Imagination: Balzac, Henry James, Melodrama, and the Mode of Excess. New Haven: Yale University Press, 1995, hal. 85. 105 Ibid., hal. 40. 106 Thomas Elsaesser. Tales of Sound and Fury: Observations on the Hollywood Melodrama , dalam Marcia Landy (ed.). Imitations of Life. Detroit: Wayne State University Press, 1991, hal. 85.

75

tonton sebelumnya. Pasalnya, sejak kemunculannya, melodrama berpijak pada satu konvensi yang sama: memainkan harapan dan ketakutan terpendam audiens dengan cara yang sangat emosional. Konvensi melodrama tersebut tidak saja menuntun naik turunnya emosi sepanjang jalannya cerita, tapi juga menjadi katharsis bagi perasaan-perasaan yang sulit atau tidak dirasakan penonton dalam kehidupan sehari-harinya.107 Di satu sisi, melodrama adalah pabrik mimpi. Inilah kritikan pedas yang diterima penulis dan pembuat film melodrama sepanjang karier mereka. Melodrama nyaris tidak memberi kontribusi intelektual pada audiensnya. Namun, pada bacaan lebih lanjut, melodrama adalah mimpi yang mencerminkan realita terkini. Sebagai cerminan yang tidak realistis akan realita, melodrama menjadi kebalikan dari kondisi kehidupan sehari-hari audiensnya.108 Konsekuensinya audiens jadi bermimpi. Namun, di balik konsekuensi tersebut, ada potensi audiens menyadari bahwa dunia di sekitarnya tidak seperti dunia dalam cerita melodrama. Potensi itulah yang dieksploitasi habis-habisan dalam film noir. Ada tiga elemen film noir yang menunjukkan fenomena tersebut. Pertama, lokasi cerita. Elemen ini adalah setengah dari keseluruhan jiwa film noir. Membahasnya merupakan langkah pertama dari mengetahui modus narratif film noir. Semua film noir bertempat di kota yang menyerupai labirin: ramai, penuh tikungan, dan seperti tidak berujung. Penggambaran ini adalah metafor dari kota Amerika sesungguhnya, yang modern, tersusun rapi dan penuh dengan penanda geografis yang jelas. Lokasi cerita tersebut tentunya melayani kebutuhan narratif film noir. Sejak awal cerita, protagonis langsung ditempatkan dalam lokasi yang penuh resiko. Di dalam labirin kota, ada petualangan berbahaya yang menantinya, dengan sedikit kemungkinan bisa selamat. Seiring berkembangnya cerita, protagonis semakin menyadari bahwa kota tersebut bukan saja sekadar kota, tapi juga penjara. Artinya: tidak ada kemungkinan protagonis untuk keluar dari bahaya. Kota dalam film noir adalah semesta tertutup yang tidak mengijinkan kebahagiaan bagi individu di dalamnya.
107 108

Ibid., hal. 72. Op. Cit., Brook, hal. 5.

76

Lokasi cerita tersebut terlihat sensasional, dan menambah daya tarik cerita. Audiens dijanjikan petualangan tiada henti hingga akhir cerita. Namun, pada bacaan lebih lanjut, lokasi cerita tersebut sebenarnya melayani kepentingan yang lebih besar. Merujuk kembali pada prinsip melodrama, kota dalam film noir adalah gambaran terbalik dari kota Amerika sesungguhnya. Pada era film noir, yakni periode akhir 40-an sampai 50-an, perkotaan berkembang pesat di iklim ekonomi Amerika paska perang.109 Pembangunan terjadi di mana-mana, dan konsekuensinya lapangan pekerjaan pun meningkat. Fenomena ini berujung pada pertukaran peran gender. Mayoritas laki-laki, yang baru saja kembali dari perang, terserap ke dalam dunia kerja, dan kaum perempuan kembali mengurus rumah tangga. Bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama perang, pertukaran peran ini sangatlah drastis. Ada dua hal yang dinikmati laki-laki Amerika selama perang: status dan petualangan. Partisipasi dalam perang menjadi kesempatan aktualisasi diri bagi mereka. Dalam hierarki militer, status berwujud sebagai pangkat terhormat sebagai jenderal dan komandan, yang diperoleh berdasarkan kontribusi selama perang. Kehidupan di medan perang, walaupun mencekam dan traumatik, memberikan kesempatan sebebas-bebasnya bagi para laki-laki untuk melakukan itu.110 Tanpa ada tuntutan moral dan etika yang membebani, mereka dapat membunuh orang dan mengebom rumah sesuka hati demi status. Kalaupun status tak jua diperoleh, aktivitas medan perang menawarkan cukup petulangan bagi mereka untuk menyalurkan hasrat maskulinnya. Oleh karenanya, jadi tekanan sendiri bagi mereka ketika harus kembali ke rumah setelah perang usai. Mereka kembali menjadi orang biasa dalam rutinitas kehidupan yang menjemukan. Di lain pihak, perempuan juga terpaksa meninggalkan petualangannya di dunia kerja. Migrasi para laki-laki ke Eropa selama perang memberi kesempatan bagi perempuan untuk keluar dari rumah. Awalnya, keluarnya mereka dari rumah
109

Jane Jacobs. The Death and Life of Great American Cities . New York: Modern Library, 1993, hal. 317. 110 Woody Haut. Pulp Culture: Hardboiled Fiction and the Cold War . London: Serpent's Tail, 1995, hal. 17.

77

merupakan alasan yang logis. Tanpa ada suami, siapa lagi yang dapat menghidupi keluarga kecuali perempuan itu sendiri. Mereka pun mencari kerja dan pada perkembangannya memperoleh apa yang tidak pernah mereka nikmati sebelumnya: status dan petualangan. Status dalam dunia kerja menjadi kesempatan bagi perempuan untuk membuktikan dirinya sendiri.111 Memperoleh status di dunia kerja membutuhkan usaha sendiri: mulai dari persaingan antar kolega hingga kualifikasi yang harus dipenuhi. Dengan memperoleh status tersebut, perempuan dapat dengan bangga melihat dirinya sebagai individu yang kompeten. Beda dengan status ibu rumah tangga, yang diperoleh secara otomatis setelah menikah. Rumah pun bukan tempat yang ideal untuk berpetualang, mengingat segala di dalamnya harus dinegosiasikan dalam konteks keluarga. Wajar kemudian bila para perempuan gelisah ketika harus kembali mengurusi rumah tangga. Tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk hidup bebas sebagai seorang individu. Berdasarkan penjabaran di atas, potret kota dalam film noir dapat dilihat sebagai potret suatu kegelisahan. Kegelisahan tersebut terkait dengan ruang yang ditempati oleh karakter cerita. Dalam film noir, rumah memang tempat yang aman. Tembok rumah memastikan individu steril dari segala kekacauan moral yang ada di luar sana, yang ada di kota.112 Namun, sterilisasi tersebut mencuri kesempatan individu untuk mengakutalisasikan dirinya. Selalu ada batasan yang harus ditaati, dan selalu ada bagian dari diri sendiri yang harus kompromi. Sebaliknya, kota terlihat sangat menakutkan dengan segala lika-likunya. Bahaya seakan-akan bisa muncul dari mana saja, dan tidak ada tembok rumah yang dapat melindungi individu. Namun, hanya di jalan-jalan kota, individu bisa nyaman menjadi dirinya. Tidak ada batasan yang harus dituruti, dan tidak ada tuntutan orang lain yang harus dipatuhi. Kontras memang kalau melihat apa yang individu peroleh di dalam dan luar rumah. Kontras itulah yang dimanfaatkan para pembuat film noir sebagai
111

Nina C. Leibman. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television, 1989, hal. 175 112 John T. Irwin. Unless the Threat of Death is Behind Them: Hardboiled Fiction and Film Noir . Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006, hal. 210.

78

bumbu dramatik, sekaligus basis penyusunan diskursus tentang kehidupan masyarakat Amerika. Pasalnya, kontras tersebut yang mendefiniskan perilaku karakter dan kematian mereka, dua elemen cerita lainnya dalam film noir.113 Dengan keluar dari rumah, karakter menukarkan keamanan hidupnya demi kebebasan di luar sana. Namun, justru kebebasan tersebut yang kemudian menuntun karakter film noir pada kematiannya. Tentu saja pola dan makna kematian berbeda bagi setiap karakter film noir. Setiap karakter punya signifikansinya sendiri. Konsekuensinya, tidak semua karakter punya pengaruh terhadap narratif film noir. Oleh karena itu, untuk memahami modus narratif film noir tidak membutuhkan analisis semua karakter dalam film noir. Analisis cukup dibatasi pada karakter-karakter yang mempunyai pengaruh atas progresi narratif. Dari semua karakter film noir, hanya dua yang mempunyai kuasa atas narratif: protagonis laki-laki dan femme fatale. Keduanya adalah satu-satunya pihak dalam film noir yang berpotensi mengembangkan cerita. Melalui tindakan keduanya, cerita dalam film noir berjalan. Relasi keduanya yang mengimbuhkan makna atas kematian yang terjadi dalam film noir. Keduanya adalah dua elemen penting lainnya dalam film noir, yang bersama lokasi cerita menjadi jiwa film noir. Membahas keduanya akan semakin menjelaskan bagaimana modus narratif film noir sebenarnya. Dalam film noir, relasi protagonis laki-laki dengan femme fatale adalah relasi yang seksual. Pertemuan mereka didasari atas kebutuhan kesenangan, suatu kebutuhan dasar yang tidak dapat dipenuhi dalam rutinitas kehidupan keduanya. Masing-masing karakter punya alasan yang berbeda. Protagonis laki-laki, layaknya para laki-laki di Amerika periode 50-an, dibebani oleh pekerjaan.114 Rutinitas pekerjaan tidak memberikan mereka waktu yang cukup luang untuk kehidupan pribadi mereka. Kalau protagonis laki-laki tersebut seorang detektif, maka kehidupan pribadinya hanyalah transit singkat dari kasus ke kasus. Kalau pekerjaannya pebisnis atau karyawan kantor, ia hanya bisa memikirkan dirinya sendiri setelah jam kerja usai. Konsekuensinya: lingkup pertemanan mereka
113 114

Ibid., hal. 89-90. Richard Maltby, The Politics of Maladjusted Text, dalam Ian Cameron (ed.). The Movie Book of Film Noir. London: Studio Vista, 1992, hal. 40.

79

didominasi oleh klien dan rekan kerja saja. Satu-satunya waktu luang bagi mereka adalah malam hari, waktu dimana kota sudah mengendurkan sendi-sendi ekonominya, dan para konsumen sudah tertidur pulas di rumahnya masingmasing. Femme fatale sendiri merupakan cerminan terbalik dari tipikal perempuan Amerika periode 50-an. Jaman-jaman dimana perempuan terpaksa menjaga rumah dan mengasuh anak, femme fatale merupakan representasi dari segala keinginan terpendam. Ia punya rencananya sendiri, dan siap mengusahakannya sampai mati, baik secara metafor maupun harafiah. Femme fatale selalu dikontraskan dengan impotensi suaminya.115 Ia tidak didampingi oleh suami yang secara fisik mampu menyeimbanginya. Kondisi ini secara implisit menggambarkan dua hal. Pertama, gairah femme fatale yang secara fisik sudah tidak bisa diimbangi lagi oleh suaminya. Kedua, status femme fatale sebagai perempuan parasit yang menghisap segala sumber daya dari laki-laki pendampingnya. Setelah laki-laki tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya lagi, femme fatale pun mencari laki-laki lain. Begitulah cara femme fatale bertahan hidup. Terus ia meloncat dari satu laki-laki ke laki-laki lain, sampai kematian mengakhiri kariernya. Sama seperti protagonis laki-laki mencari kesenangannya, femme fatale mencari korban barunya pada malam hari. Inilah kenapa malam hari menjadi elemen cerita yang sangat penting dalam film noir. Pada malam hari, pertemuan protagonis dan femme fatale terjadi. Pada malam hari juga, semua intrik dan tipu daya antara protagonis dan femme fatale dimainkan. Pada dasarnya, malam hari mengimbuhkan dua makna pada relasi protagonis laki-laki dan femme fatale. Pertama, malam hari selalu menjadi waktu kejadian perkara dalam film noir.116 Mayoritas kantor dan fasilitas publik sudah tutup, dan hanya segelintir saja polisi yang patroli. Singkat kata, Mata publik dan hukum sedang oleng-olengnya. Individu dapat berbuat sesuka hatinya, termasuk selingkuh dan membunuh orang untuk mempertahankan perselingkuhan tersebut.

115 116

Op. Cit., Irwin, hal. 57-60. Ibid., hal. 238.

80

Kedua, malam hari menyimbolkan ketidakpastian eksistensial yang menyelimuti hubungan tersebut. Dalam konstelasi moral film noir, hubungan protagonis dengan femme fatale tersebut salah tempat. Hubungan tersebut melanggar apa yang disucikan dalam film noir: rumah dan tali pernikahan. Saking sucinya, kedua hal tersebut digambarkan sangat steril. Partisipan kedua hal tersebut digambarkan sangat khusyuk, alias kaku dan menekan segala keinginan duniawi. Di luar area rumah dan tali pernikahan adalah kota, lokus di mana segala yang duniawi berkumpul.117 Protagonis dan femme fatale memilih untuk keluar dari lingkaran suci rumah, dan mengadu nasib mereka di pojok-pojok gelap perkotaan. Alhasil, hubungan mereka pun adalah hubungan yang dimulai dari nol. Mereka tidak lagi didefinisikan oleh amannya lingkungan rumah. Mereka yang mendefinisikan definisi mereka di tengah kota yang absen oleh moralitas. Dalam kasus film noir, siapa yang sukses mendefinisikan berarti dia yang selamat dari hubungan tersebut. Dari penjelasan hubungan protagonis dan femme fatale di atas, semakin terkuak detail-detail modus narratif film noir. Pada titik ini, dialektika pathosaction dalam film noir dapat diturunkan lagi ke unsur yang lebih kecil, atau lebih tepatnya, ke unsur yang lebih individual. Dengan mempertimbangkan kontras kota dan rumah, serta karakteristik hubungan protagonis dan femme fatale, pathos yang menggerakkan film noir adalah kebebasan individu. Dalam hal ini, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan individu bertindak di tengah segala batasan moral. Karakter dalam film noir selalu dibatasi oleh kode moral. Walaupun ada malam hari yang menjadi kesempatan bagi protagonis dan femme fatale untuk bertindak sesuka hati, mereka tetap harus kembali ke rumah dan tempat kerja, yang notabene memiliki kode moralnya sendiri. 118 Mereka tetap harus berkompromi dengan lingkungannya demi menjaga kebebasan yang mereka temukan satu sama lain. Parahnya lagi, ketika protagonis dan femme fatale mulai saling tidak percaya, mereka harus mencoba menjaga kebebasannya dari moralitas

117 118

Op. Cit., Maltby, hal. 42. Op. Cit., Irwin, hal. 23-25.

81

semu hubungan mereka. Kondisi karakter di tengah genggaman kode moral inilah yang menjadi senjata film noir menarik simpati penontonnya. Action-nya tentu saja pelanggaran kode moral. Protagonis dan femme fatale melanggar kode moral lingkungannya, dan nantinya hubungan mereka sendiri, demi mendamaikan emosi mereka. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pendamaian emosi tersebut tidak dimotivasi apa-apa, kecuali emosi. Tidak ada pertimbangan rasional di dalamnya. Bila dilogikakan, keputusan protagonis lakilaki dan femme fatale untuk meninggalkan keamanan kantor dan rumahnya sangatlah absurd. Mereka semata-mata bosan dan hidup dalam tekanan. Oleh karenanya, mereka ingin cari petualangan. Namun, tanpa petualangan itu, tidak akan ada cerita dalam film noir. Singkatnya, tuntutan narratif. Ketika salah satu atau keduanya mati, petualangan selesai, cerita pun usai. Oleh karena itu, dalam film noir, setiap pelanggaran selalu berbuah perkembangan narratif. Setiap kali protagonis atau femme fatale melakukan suatu jenis pelanggaran kode moral, cerita pun berjalan mendekati garis akhir. Sembari melayani kepentingan dramatik, pelanggaran dalam film noir selalu mengikuti pola yang sama: dari makro ke mikro. Awalnya protagonis dan femme fatale melanggar lingkungannya, dengan memutuskan untuk menjalani hubungan illegal bersama. Kemudian, mereka melanggar kode moral habitusnya masing-masing. Protagonis mulai membohongi rekan kerjanya, dan femme fatale menyusun rencana busuk untuk menyingkirkan suami dan keluarganya. Berikutnya, komplikasi. Protagonis dan femme fatale saling tidak percaya satu sama lain, dan mulai mencurigai hubungan mereka sendiri. Mereka pun saling berusaha menyingkirkan satu sama lain, biasanya lewat pengkhianatan dan pembunuhan. Pada akhirnya, kematian pun datang mengakhiri rangkaian pelanggaran tersebut. Kemungkinannya hanya dua: protagonis selamat atau keduanya mati. Kematian pun menjadi sesuatu yang simbolik. Bila dilihat secara sempit, kematian merupakan lonceng pengingat bahwa tidak ada harapan dalam dunia film noir. Dalam perspektif yang lebih luas, kematian merupakan simbol dari

82

represi hasrat seksual dalam film noir.119 Siapapun karakter yang mempunyai hasrat seksual, maka ia dinyatakan menyimpang dan semesta film noir seakanakan berkonspirasi untuk menyadarkan mereka. Kalau tidak sadar juga, terpaksa disingkirkan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hubungan protagonis laki-laki dan femme fatale adalah hubungan yang seksual. Semakin mereka berusaha mempertahankan hubungan tersebut, semakin besar pula antagonisme yang mendera mereka.120 Pada perkembangannya, mereka menjadi antagonis satu sama lain dan saling menyingkirkan. Kematian pun menjadi hukuman sekaligus peringatan bagi mereka berdua. Selalu tampil sebagai bongkahan energi seksual, femme fatale oleh karenanya selalu mati di akhir cerita film noir. Protagonis kadang kala mati, kadang kala bertahan hidup. Mereka yang selamat sudah kehilangan bnayak hal dalam hidupnya, dan tidak punya pilihan lain selain kembali mengikuti kode moral yang berlaku. Bila disederhanakan menjadi suatu formula, modus naratif film noir adalah usaha manusia memperoleh kebebasan individunya, di hadapan kode moral yang secara aktif mengekang hasrat seksual mereka.

B. Tipologi Karakter Laki-laki dalam Film Noir Tipologi karakter dalam film noir ditentukan oleh pendirian moral karakternya. Pendirian moral tersebut kemudian menentukan pengaruh karakter tersebut terhadap perkembangan narratif. Hal ini berlaku bagi karakter laki-laki dan perempuan, namun berbeda dalam perwujudannya. Signifikansi karakter lakilaki dalam narratif film noir dicirikan dengan dua hal: profesi dan ambiguitas.121 Profesi adalah definisi pertama karena ia menjelaskan bagaimana laki-laki tersebut bertindak dan mengambil keputusan. Profesi juga yang menjelaskan preferensi laki-laki tersebut, baik dari urusan politik maupun seksual. Maksudnya,

119

Catherine Russell. Narrative Mortality: Death, Closure and New Wave Cinemas. Minneapolis: University of Minnesota, 1995, hal. 46. 120 Ibid., hal. 54. 121 Frank Krutnik. In a Lonely Street: Film Noir, Genre, Masculinity. New York: Routledge, 1991, hal. 52.

83

polisi tidak akan melakukan hal-hal yang seorang polisi tidak mungkin lakukan. Polisi hanya akan melakukan apapun yang diijinkan oleh kode moral profesinya. Ambiguitas adalah definisi kedua, yang menjadi antitesis dari profesi. Saat sudah selesai didefinisikan berdasarkan profesinya, maka karakter tersebut dianalsis berdasarkan tekadnya membengkokkan kode moral profesinya. Suatu karakter disebut ambigu apabila dia berusaha secara konkrit melakukan hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu oleh profesinya. Semakin ia berusaha melepaskan diri dari kekangan kode moral profesinya, semakin ambigu dan abu-abu pendiriannya di wilayah moral. Tentu saja, layaknya film noir, pembangkangan kode moral profesi tersebut dilakukan demi terpenuhinya kepentingan pribadi. Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dibentuk suatu rumus dalam menentukan signifikansi karakter laki-laki dalam film noir. Karakter laki-laki yang memenuhi definisi pertama adalah karakter pendukung, dan yang memenuhi definisi pertama dan kedua adalah karakter protagonis. Dengan begitu, tipologi karakter laki-laki dalam film noir hanya ada dua: protagonis dan pendukung cerita. Bila kemudian diterapkan dalam struktur narratif, tipologi ini menentukan sejauh mana laki-laki tersebut berpengaruh pada progresi plot. Karakter pendukung adalah laki-laki yang memenuhi kode moral profesinya. Maka bisa diprediksi bahwa laki-laki yang berprofesi sebagai polisi akan meneliti TKP dan menangkap penjahat. Atau, laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara akan mengumpulkan data tentang suatu kasus dan membela kliennya di pengadilan. Dalam struktur narratif film noir, mereka mewakili konsensus moral lingkungannya. Mereka hanya akan muncul saat narratif membutuhkan mereka, yakni saat protagonis melanggar kode moral lingkungan dan perlu dihentikan. Karakter protagonis adalah laki-laki yang melanggar kode moral profesinya, dan memilih untuk memenuhi kepentingan pribadinya.122

Tindakannya tersebut berseberangan dari konsensus moral lingkungannya. Tindakannya tersebut merupakan suatu bentuk subversi konstelasi moral lingkungannya. Subversi berujung pada konflik, dan konflik dalam setiap struktur narratif klasik adalah pemantik perkembangan cerita. Dari sini dapat dilihat bahwa
122

Ibid., hal. 119.

84

keberadaan protagonis dalam narratif film noir adalah sebagai awal mula konflik. Dengan posisi tersebut, karakter protagonis memiliki pengaruh dan kuasa atas struktur narratif film noir. Tidak heran juga kalau dalam film noir karakter protagonis adalah karakter yang paling banyak disorot gerak-geriknya oleh lensa kamera. Tipologi karakter laki-laki dalam film noir sebenarnya adalah warisan dari pendahulunya: novel kriminal. Carroll John Daly, penulis seangkatan Dashiell Hammett, mengatakan bahwa protagonis novel kriminal bersemayam di antara peradaban yang taat hukum dan dunia kriminal bawah tanah. 123 Asosiasinya dengan hukum adalah murni karena asas kebutuhan, sementara asosiasinya dengan kriminal adalah karena tuntutan pekerjaan. Ketika dihadapkan dengan kepentingan pribadinya, ia lebih memilih untuk berusaha dengan cara dan hukum versinya sendiri. Secara singkat, Daly menyebut protagonis sebagai seorang petualang dan karakter laki-laki lainnya sebagai halangan dalam petualangan sang protagonis.124 Petualangan tersebut terjadi secara spasial maupun moral. Spasial merujuk pada ruang-ruang yang ditembus oleh protagonis, mulai dari tempat kerjanya, jalanan kota hingga rumah perempuan idamannya. Moral merujuk pada pendirian protagonis yang terus berayun antara yang legal dan illegal, tergantung mana yang paling baik melayani kepentingan pribadi protagonis. Laki-laki lainnya terlalu terikat pada kode moral profesinya. Mereka otomatis menjadi bagian dari kekuatan yang merepresi segala yang melenceng dari moralitas lingkungan, termasuk hasrat protagonis untuk mendapatkan apa yang ia idamkan.

C. Tipologi Karakter Perempuan dalam Film Noir Berbeda dengan signifikansi laki-laki yang terikat dengan profesi dan kode moralnya, signifikansi perempuan dalam film noir terletak pada cara dia memperlakukan seksualitasnya. Seksualitas merupakan faktor yang krusial di sini. Pasalnya, film noir diproduksi dengan asumsi semua perempuan dewasa di
123 124

Op. Cit., Mayer & McDonnell, hal. 21. Ibid., hal. 22.

85

Amerika adalah ibu rumah tangga. Kode moral seorang ibu rumah tangga adalah keluarga di atas segalanya. Perempuan yang hidup di luar aksioma tersebut praktis adalah subversi. Namun, subversi tersebut adalah satu-satunya cara bagi perempuan dalam film noir untuk memeperoleh kebebasannya. Tanpa profesi dan nilai yang datang sepaket dengan profesi tersebut, perempuan film noir hanya punya seksualitasnya untuk menarik perhatian lawan jenis. Bagaimana dia kemudian mengolah seksualitasnya yang menentukan karakter dan posisi perempuan dalam narratif film noir. Berangkat dari argumen di atas, dapat dipetakan tiga jenis karakter perempuan dalam film noir: femme fatale, perempuan baik-baik (the good woman), dan perempuan domestik (the marrying type). Dua yang pertama adalah standar karakter perempuan sejak awal kemunculan film noir, sementara yang terakhir adalah fenomena yang baru ditemukan dalam film noir tahun 50-an.125 Ketiganya punya versinya masing-masing dalam mengolah seksualitasnya, namun ketiganya berujung pada kesimpulan yang sama: kehidupan domestik yang kondusif adalah suatu ketidakmungkinan. Ketiganya menjadi semacam

pernyataan bahwa, di tengah tuntutan untuk hidup komunal, laki-laki dan perempuan akan lebih memilih untuk mengurusi kepentingan individual. Dari ketiga jenis perempuan dalam film noir, femme fatale merupakan serangan terbesar pada peran tradisional perempuan. Femme fatale menolak untuk berperan sebagai istri yang taat dan ibu yang mengasuh, layaknya yang didkte oleh masyarakat pada mereka. Di mata para femme fatale, pernikahan adalah sesuatu yang membatasi, dingin, dan tidak bergairah.126 Pernikahan bukanlah fenomena yang dilandaskan pada perasaan, melainkan pada asas kebutuhan. Dalam film noir, tak sedikit femme fatale yang sejak awal cerita digambarkan sudah punya suami. Sebagai jalan keluar dari ikatan keluarga tersebut, atau minimal untuk meringangkan tekanan hidup berkeluarga. dia pun memanfaatkan seksualitasnya untuk memulai hubungan di luar rumah. Di luar rumah, femme
125

Janey Place, Women in Film Noir, dalam Ann Kaplan (ed,). Women in film noir. London: British Film Institute, 1978, hal. 45. 126 Sylvia Harvey, The Absent Family, dalam Ann Kaplan (ed.). Women in film noir. London: British Film Institute, 1978, hal. 24.

86

fatale menjadikan dirinya sebagai gairah yang absen dalam kehidupan laki-laki film noir. Banyak laki-laki yang tertarik, namun hanya protagonis yang terlihat meresponsnya dengan tindakan dan pada akhirnya penderitaan. Seperti yang dijabarkan oleh Janey Place, femme fatale jarang sekali terbuai oleh cinta dan kasih sayang protagonis laki-laki.127 Femme fatale tetap setia pada dirinya dan kemandiriannya sebagai seorang perempuan. Dia tetap independen walau hidupnya sedang dalam keadaan terancam. Ketika dihadapkan dengan laki-laki yang ingin mengontrol dan memilikinya, femme fatale memilih untuk melakukan pembunuhan demi menjaga kebebasannya. Masalahnya, dalam semesta film noir, hampir setiap laki-laki memperlakukan perempuan sebagai barang atau properti. Menurut Sylvia Harvey, perempuan dalam film noir merupakan perhiasan yang bisa dilepas dan dipakai seenaknya oleh para laki-laki. Motif cerita ini sudah seringkali dipakai dalam film noir. Dalam satu adegan di I Wake Up Screaming, film noir tahun 1941, ada tiga laki-laki yang sedang meratap ketika hubungannya kandas dengan femme fatale film tersebut. Salah satu di antaranya berkata, Semua perempuan sama saja. Temannya kemudian membalas, Tapi kita tetap membutuhkan mereka. Mereka adalah perlengkapan standar. Contoh lainnya ada di dua film noir tahun 1947. Di Dead Reckoning, protagonis yang diperankan Humphrey Bogart mengandaikan semua perempuan seukuran saku baju, sehingga bisa disimpan kalau sedang tidak dibutuhkan. Di Out of the Past, seorang femme fatale bernama Kathie Moffett tega menembak suaminya sendiri ketika merasa dikekang. Sang suami kemudian bertanya pada seorang detektif, yang merupakan protagonis film tersebut. apa penyebabnya. Detektif tersebut menjawab dengan membandingkan Kathie dengan seekor kuda balap. Perlakuan para laki-laki tersebut yang menjadikan femme fatale tidak percaya dengan institusi pernikahan. Bagi mereka, rumah dan keluarga pada akhirnya hanya menciptakan kondisi di mana perasaan dan kebahagiaan tidak lagi relevan. Di mata para femme fatale, pernikahan, atau segala bentuk komitmen afektif, itu palsu, penuh kebohongan, dan tidak lebih dari sekadar asas kebutuhan.
127

Op. Cit., Place, hal. 54.

87

Dalam Double Indemnity, film noir tahun 1944, Phyllis Dietrichson merasa bahwa suaminya memperlakukannya sebagai binatang dalam sangkar. Aku merasa dia selalu mengawasiku. Dia masih peduli memang, tapi peduli dengan mengikatku begitu kencang, sampai aku tidak bisa bernafas lagi. Pada akhirnya, Phyllis pun berkonspirasi dengan protagonis untuk membunuh suaminya tersebut. Dalam beberapa film noir, ketidaktertarikan suami terhadap istrinya malah sangat sadis. Suami malah senang mempermainkan istrinya, sampai-sampai istrinya tersebut berevolusi menjadi seorang femme fatale. Dalam Postman Always Rings Twice, film tahun 1946, suami Cora Smith menyarankan istrinya untuk menghabiskan waktu bersama selingkuhannya, Frank Chambers. Melalui hal ini, suami mendorong istrinya untuk menjadi femme fatale, dan menyajikannya ke protagonis laki-laki. Dalam Gilda (1946) dan The Lady from Shanghai (1948), Rita Hayworth memperoleh perlakuan yang serupa. Dalam kedua film tersebut, dia menikah dengan suami yang dingin, bosan, dan berselingkuh dengan protagonis cerita. Saat ketahuan selingkuh, dia ditekan terusmenerus oleh suaminya. Titik puncaknya adalah saat dia dipaksa suaminya untuk memanggil selingkuhannya lover di hadapan suaminya sendiri. Rumah pun menjadi tempat yang sangat steril. Film noir selalu menggambarkan rumah femme fatale sebagai istana mini yang dipenuhi dengan perabotan dan pajangan foto yang besar. Banyaknya objek di rumah membingkai femme fatale menjadi semacam perabotan juga di rumahnya sendiri. 128 Ia adalah properti milik suaminya, dan oleh karenanya tidak punya hak untuk punya inisiatif dan mengambil keputusan sendiri. Merasa sebagai propertinya, suami punya hak untuk tidak membuka dan menutup akses femme fatale terhadap hubungan afektif. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, suami femme fatale hampir pasti memilih untuk mengabaikan istrinya, dan akibatnya tidak memberi kemungkinan sedikit pun bagi istrinya untuk berhubungan secara afektif di rumah. Sterilnya pernikahan dalam film noir semakin diperkuat dengan hampir tidak adanya anak dalam keluarga femme fatale. Suatu kondisi yang kontras
128

Dana B. Polan. Blind Insights and Dark Passages: The Problem of Placement in Forties Film . Velvet Light Trap, edisi 20, 1983, hal. 29.

88

dengan realita yang ada: 89% keluarga di Amerika periode 40 sampai 50-an punya anak. Suami femme fatale bisa jadi punya anak dari pernikahan sebelumnya, seperti yang digambarkan dalam Double Indemnity dan Murder, My Sweet. Namun, bila menilik umur anaknya, ada implikasi bahwa kegiatan seksual terakhir sang suami sudah terjadi lama sekali. Jadilah, femme fatale mencari kesenangannya di luar rumah. Kamera pun tak segan-segan mengeksploitasi fitur sensual femme fatale ketika dia pertama kali bertemu dengan protagonis laki-laki. Satu fitur tubuh femme fatale yang paling sering dieksploitasi kamera adalah kakinya yang jenjang. Penampakan pertama Velma dalam Murder, My Sweet dan Cora di The Postman Always Rings Twice, misalnya, adalah gerakan kamera dari kaki lalu zoom out ke badan mereka. Dalam The Lady from Shanghai, kamera bergerak dari kaki Rita Hayworth lalu ke badannya yang dibalut oleh pakaian renang. Protagonis Double Indemnity, Walter Neff, mengaku bahwa gelang kaki milik femme fatale begitu berkesan sampai dia tidak bisa melupakan pemilik gelang kaki tersebut. Seksualitas yang secara vulgar ditampilkan femme fatale menjadi kontradiksi sendiri. Keberadaannya mengancam banyak status quo, mulai dari moralitas lingkungannya hingga keberlangsungan hidup protagonis. Dia menggunakan seks sebagai sumber kesenangan dan alat untuk mengontrol para laki-laki. Hal tersebut jelas berseberangan dengan pandangan seks yang diakui publik, yakni sebagai aktivitas prokreasi dalam pernikahan. Emansipasi seksual tersebut menjadi sesuatu yang begitu menarik perhatian, mulai dari protagonis hingga mata kamera. Usaha-usaha untuk menghentikan gerak-gerik femme fatale hanya semakin menegaskan betapa signifikannya kebebasan yang ia pancarkan. Kematiannya di akhir cerita terasa tragis, karena mayoritas yang penonton lihat adalah imaji femme fatale sebagai perempuan yang sensual dan independen. Pandangan subversif film noir tentang keluarga dan peran perempuan di masyarakat juga tercermin dalam jenis kedua karakter perempuannya, perempuan baik-baik (the good woman). Tidak seperti femme fatale, karakter perempuan ini menikmati peran tradisionalnya di keluarga dan masyarakat dengan senang hati. Perannya dalam film noir biasanya dua: istri atau tunangan protagonis.

89

Kemunculannya di film noir menjadi relaksasi bagi protagonis dari ancaman femme fatale. Namun, saat dihadapkan dengan pilihan, protagonis akan lebih memilih menderita dengan femme fatale ketimbang hidup nyaman dengan perempuan baik-baik. Alasannya, sekali lagi, seksualitas. Janey Place melihatnya bahwa kontras film noir antara perempuan baik-baik dengan femme fatale sebenarnya adalah kontras antara kenyamanan yang steril dan seksualitas yang berbahaya.129 Kekalahan perempuan baik-baik terhadap femme fatale

mengimplikasikan bahwa resep kebahagiaan yang dirumuskan masyarakat, yakni rumah dan pernikahan, itu tidak menarik dan tidak mungkin tercapai. Kehidupan perempuan baik-baik memang seperti salah tempat dalam dunia film noir. Nilai-nilai yang ia anut sama dengan nilai-nilai yang digembargemborkan pemerintah sepanjang pertengahan 40-an sampai akhir 50an, yakni kebersamaan dan keakuran komunal. Cara kamera membingkainya juga sama persis dengan cara film Hollywood klasik membingkai karakter perempuannya: cahaya terang, kontras rendah, dan ruang terbuka.130 Berbeda dengan femme fatale yang selalu dibingkai dengan cahaya nyaris gelap, kontras tinggi, dan ruang yang sempit. Perlakuannya terhadap protagonis juga sangat berbeda dengan femme fatale: pasif, mengayomi, dan tidak punya konspirasi untuk menelikung protagonis. Singkatnya, dalam kelamnya film noir, perempuan baik-baik adalah malaikat yang siap melindungi protagonis dalam dekapan kekeluargaannya. Namun, sama juga seperti malaikat, perempuan baik-baik adalah fantasi yang tidak mungkin digapai oleh protagonis film noir. Keberadaannya hanya mengimplikasikan bahwa pernikahan dan kehidupan domestik yang kondusif hanyalah mimpi. Dalam struktur film noir, sedikit sekali adegan yang menampilkan perempuan baik-baik dan rumahnya. Saking sedikitnya, ketika adegan tersebut muncul, penonton langsung dikembalikan ke adegan protagonis dan femme fatale di jalanan gelap kota. Seakan-akan yang nyata dalam film noir ada di luar rumah, dan apa yang ada di dalam rumah hanyalah mimpi yang tidak
129 130

Op. Cit., Place, hal. 58. Op. Cit., Polan, hal. 32.

90

pantas bertahan lama. Benar saja, dalam film noir, perempuan baik-baik memang hampir tidak pernah keluar dari rumahnya. Dalam Out of the Past, Ann tetap setia pada protagonis cerita walau tahu kehidupannya kelam dan terlibat hubungan panas dengan femme fatale. Saat ia bertekad mengikuti protagonis dalam petualangannya, Ann dibohongi agar tetap menjaga rumahnya dan melanjutkan hidupnya sebagai perempuan baik-baik. The Big Heat malah lebih ekstrem lagi. Saat mendapat ancaman terhadap suaminya melalui telepon, istri protagonis langsung keluar rumah dan terbunuh seketika oleh bom di mobilnya. Dengan tidak memberi protagonisnya kesempatan untuk menikah atau memiliki kehidupan domestik yang baik, film noir sebenarnya mengulang formula melodrama Hollywood klasik, namun dengan cara yang terbalik. Protagonis lakilaki dalam film Hollywood klasik selalu berakhir menikah atau minimal bersama dengan perempuan idamannya. Dalam film noir, dua perempuan yang menjadi opsi bagi protagonis sama-sama tidak bisa diakses. Femme fatale selalu menemui ajalnya sebelum sempat dinikahi, sementara perempuan baik-baik tidak menjanjikan kebahagiaan jangka panjang. Memasuki akhir 40-an, para pembuat film noir akhirnya memberi kesempatan bagi protagonis untuk menikah dalam wujud karakter perempuan yang ketiga: perempuan domestik (the marrying type). Karakter ini sebenarnya mirip dengan karakter perempuan baik-baik (the good woman): mereka memegang nilai yang sama, dan tindakan mereka berorientasi pada keutuhan rumah. Mereka juga menikmati menjalankan peran tradisional perempuan sebagai istri yang taat dan ibu yang mengasuh. Bedanya: perempuan baik-baik sikapnya pasif dan tidak menuntut protagonis, sementara perempuan domestik secara aktif menekan protagonis untuk memenuhi perannya sebagai suami dan penghidup keluarga. Tuntutan inilah yang membuat perempuan domestik bukan pilihan yang lebih baik dari femme fatale. Ia sama mengancamnya dengan femme fatale, namun dengan cara yang berbeda. Bila femme fatale dengan seksualitasnya mengajak protagonis untuk melanggar status quo, perempuan domestik membuat protagonis ketakutan untuk melanggar status quo. Masalahnya, perempuan domestik tidak

91

memilki sikap mengayomi yang ada dalam perempuan baik-baik. Sebagai istri ia memang efisien dalam mengurus rumah, namun nol besar soal hubungan afektif. Perlakuan ke suaminya terdiri dari sarkasme dan peringatan supaya tidak telat kerja. Protagonis yang ada jadi jengah dengan istrinya, dan memilih mencari kesenangan di luar rumah. Masalahnya lagi, perempuan domestik seakan-akan mendapat dukungan penuh dari konstelasi moral film noir, sehingga protagonis pasti akan ketiban sial sekalinya ia mangkir dari perannya sebagai suami dan penghidup keluarga. Ganjaran minimalnya adalah penderitaan, ganjaran maksimalnya tentu saja kematian. Kemunculan karakter perempuan domestik bertepatan dengan perubahan karakterisasi protagonis dalam film noir sejak awal 50-an. Bila sebelumnya protagonis film noir rata-rata berprofesi sebagai detektif swasta, protagonis film noir awal 50-an dan seterusnya rata-rata merupakan bagian dari kepolisian atau pekerja kantoran biasa.131 Protagonis dalam Pitfall (1948) bekerja untuk perusahan asuransi, D.O.A. (1950) sebagai akuntan, The Big Heat (1953) sebagai penyelidik pembunuhan di kesatuan polisi, sementara Touch of Evil (1958) sebagai agen pemberantas narkoba di PBB. Profesi yang mereka lakoni menjanjikan kehidupan dengan gaji yang lebih tetap dan waktu luang yang lebih stabil ketimbang pekerjaan seorang detektif swasta. Oleh karenanya, pernikahan bukan lagi suatu ketidakmungkinan, melainkan sesuatu yang sangat mungkin. Namun, seperti yang sudah dijelaskan, pernikahan dalam film noir sayangnya tidak didesain sebagai sesuatu yang menyenangkan. Pitfall memberikan gambaran yang jelas tentang bahayanya perempuan domestik. Protagonisnya adalah seorang laki-laki yang bosan dengan

pekerjaannya di kantor asuransi. Ia berharap bisa menemukan kesenangan di rumahnya, namun istrinya seperti tidak simpatik. Saat bangun pagi dan bernostalgia tentang jaman mereka sekolah dulu, protagonis malah diingatkan untuk cepat sarapan supaya tidak telat kerja. Saat cerita tentang pekerjaan yang membosankan, protagonis malah ditanggapi dingin oleh istrinya. Kata istrinya,
131

Deborah Thomas. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male . CineAction! Journal, 1986, hal. 23.

92

Kamu tidak sendiri. Ada 50 juta orang lainnya yang merasakan hal yang sama. Jadilah, protagonis mencari kesengangan di luar rumah dan menemukannya dalam wujud seorang model. Sialnya, model tersebut merupakan obsesi dari seorang teman kerjanya, seorang detektif yang magang di kantor asuransinya. Detektif, paham dengan status protagonis yang sudah menikah, menjebak protagonis dalam berbagai kesulitan. Protagonis pun kembali ke rumah dalam keadaan babak belur, yang lagi-lagi ditanggapi dengan dingin oleh istrinya.

93

BAB IV ANALISIS TIGA FILM NOIR

A. Double Indemnity (1944) 1. Latar Belakang Historis Membahas Double Indemnity memerlukan pemahaman perihal materi serta kejadian-kejadian yang melatari produksi film tersebut. Materi yang menjadi basis film produksi 1944 tersebut adalah novel Double Indemnity karya James M. Cain, yang bercerita tentang seorang penjual asuransi yang jatuh cinta dengan istri kliennya. Karena bosan dan tergiur dengan uang yang bisa ia dapatkan, perempuan tersebut ingin membunuh suaminya. Si penjual asuransi setuju membantunya, dan petualangan keduanya pun berlangsung. Ide untuk Double Indemnity Cain dapatkan dari kejadian serupa di dunia nyata. Pada tahun 1927, Ruth Snyder, seorang perempuan New York, membunuh suaminya dan menuntut ganti rugi ke perusahaan asuransi atas kematian suaminya.132 Cain, yang menghadiri pengadilan perempuan New York tersebut, mencari tahu lebih detail perihal pembunuhan tersebut. Dia mendapati bahwa Ruth bertindak demikian atas bantuan selingkuhannya, yang sudah memanipulasi data asuransi atas nama suaminya. Cain tertarik menulis ulang kasus tersebut. Dia reka ulang kasus pembunuhan tersebut menjadi misteri kriminal dengan sentuhan melodrama rumah tangga. Pada tahun 1936, Cain akhirnya merilis Double Indemnity ke publik Amerika. Pada rilisan pertamanya tersebut, Double Indemnity berwujud sebagai cerita bersambung yang diterbitkan dalam delapan edisi majalah Liberty. Tujuh tahun kemudian, Cain menyunting kembali cerita bersambungnya tersebut, dan menjadikannya satu cerita panjang. Cikal
132

Roy Hoopes. Cain: The Biography of James M. Cain. Illnois: Southern Illnois University Press, 1987, hal. 54.

94

bakal novel Double Indemnity tersebut kemudian ia publikasikan dalam buku Three of a Kind, yang turut mengkompilasi dua cerita pendek karya Cain. Dalam tiga bulan, buku tersebut menduduki peringkat pertama tangga penjualan buku di Amerika.133 Kesuksesan Double Indemnity sontak menarik perhatian para produser di Hollywood. Kesuksesan Maltese Falcon pada tahun 1941 memulai trend film kriminal di Hollywood.134 Ditambah lagi dengan banyaknya pemberitaan kejadian kriminal di koran-koran, dan populernya novel kriminal di kalangan kelas pekerja Amerika. Di mata para produser, Double Indemnity jelas punya potensi ekonomi yang tinggi. Hanya dalam periode satu minggu, MGM, Warner Bros, Paramount, 20th Century Fox dan Columbia bersaing menawarkan harga tinggi pada Cain. Menanggapi ketertarikan para studio besar atas novelnya, Cain berkomentar, Para produser paham kalau faktanya banyak kejahatan terjadi di jalanan, tapi sedikit film bagus yang menyorot fenomena tersebut. Novel saya jelas akan jadi film yang disukai publik. Penonton sudah bosan dengan melodrama murahan, di mana lewat pertengahan film mereka akan berteriak-teriak minta ganti film. Mereka sudah tahu siapa penjahatnya.135 Cain benar. Double Indemnity memang nantinya menjadi film yang disukai publik. Masalahnya, sebelum film tersebut diproduksi, Cain sudah tidak lagi percaya dengan Hollywood. Ia pernah terlibat dalam produksi film Hollywood, dan mengaku tidak nyaman dengan segala tekanan yang harus ia hadapi. Konsekuensinya: Cain urung terlibat. Pada tahun 1943, Cain mengijinkan Paramount membeli hak adaptasi bukunya seharga $25.000, namun menolak menandatangani kontrak kerja dengan Paramount.136 Tanpa keterlibatan Cain, Paramount kekurangan tenaga ahli untuk menerjemahkan Double Indemnity ke layar lebar. Bila dibandingkan
133 134

Ibid., hal. 61. Frank Krutnik. In a Lonely Street: Film Noir, Genre, Masculinity. New York: Routledge, 1991, hal. 11. 135 Op. Cit., Hoopes, hal. 49. 136 Kevin Lally. Wilder Times: The Life of Billy Wilder. New York: Henry Holt & Company, 1996, hal. 126.

95

kesulitan yang akan menghadapi Paramount berikutnya, penolakan Cain sebenarnya masalah yang sepele. Pasalnya, paska tersiarnya kabar pembelian hak adaptasi Double Indemnity oleh Paramount, pemerintah jadi gusar. Pemerintah khawatir film-film kriminal bakal mendominasi bioskop, dan merusak moral masyarakat Amerika. Apalagi, dua tahun setelah Maltese Falcon, ada The Shadow of a Doubt karya Alfred Hitchcock. Film tersebut merupakan salah satu film terlaris di jamannya. Tidak heran kalau kemudian kehausan penonton Amerika akan film kriminal tersulut. Masalahnya, dengan terlibatnya Amerika di Perang Dunia II, pemerintah menekan Hollywood untuk memproduksi hiburan-hiburan yang positif. Dalam kasus ini, positif berarti mempromosikan patriotisme dan mendukung citra Amerika sebagai negara yang bermoral. Tidak heran kalau yang terjadi kemudian adalah tidak turunnya ijin dari pemerintah ke Paramount untuk memproduksi naskah Cain. Double Indemnity pun tertunda produksinya. Memasuki tahun 1944, sikap pemerintah terhadap film-film kriminal tidak juga melunak. Pengajuan ijin mereka yang kedua juga ditolak pemerintah, namun Paramount memilih untuk maju terus. Baru ketika Double Indemnity sedang diproduksi, pemerintah akhirnya mengijinkan Paramount merilis filmnya, dengan syarat Paramount melakukan beberapa perubahan minor dalam naskahnya.
137

Soal naskah, Paramount telah

menemukan solusinya. Adalah Raymond Chandler yang dipercayai Paramount untuk mengolah novel James M. Cain. Pemilihan Chandler sebagai substitusi Cain adalah sebuah keputusan yang bijak, aman sekaligus pragmatis. Pasalnya, Chandler adalah bagian dari trinitas penulis kriminal di Amerika, di mana dua lainnya adalah James M. Cain dan Dashiell Hammett. Dalam kasus Double Indemnity, Chandler dianggap Paramount dapat mengganti tempat Cain, karena keduanya memiliki latar belakang

137

Ibid., hal. 128.

96

yang sama.138 Keduanya pernah terlibat dalam dunia militer, dan keduanya sekali jadi tentara relawan dalam perang. Dalam karier penulisannya, keduanya sering menulis berdasarkan kejadian nyata yang mereka temukan dalam koran, dan mengembangkannya menjadi narasi panjang suatu drama kriminal. Satu-satunya faktor yang membedakan Cain dan Chander adalah gaya penceritaannya. Cain, meski karya-karyanya dikategorikan sebagai misteri kriminal, lebih berfokus pada drama. Mayoritas protagonis ceritanya adalah orang biasa, yang kebetulan melakukan tindakan kriminal.139 Rasa bersalah paska melakukan tindakan kriminal yang dikembangkan Cain sebagai tulang punggung naratifnya. Kecenderungan karakterisasi tersebut dapat dideteksi dalam bibliografinya Cain. Mulai dari The Postman Always Rings Twice (1934), Mildred Pierce (1941), The Root of His Evil (1951), The Magicians Wife (1965) hingga Cloud Nine (1984), Cain konsisten menggunakan orang-orang biasa sebagai protagonisnya. Bagi Cain, kejahatan adalah naluri yang sejak lahir ada dalam alam bawah sadar manusia.140 Kondisi dan kesempatan yang memungkinkan naluri tersebut bangkit, dan mendorong manusia untuk bertindak di luar garis hukum. Berbeda dengan Cain, Chandler adalah penulis cerita detektif murni.141 Protagonisnya adalah detektif yang memang menginvestigasi suatu kasus kriminal. Dalam investigasinya, si detektif menghadapi banyak komplikasi, mulai dari pertemuannya dengan femme fatale, hingga pengkhianatan yang dilakukan femme fatale. Faktor yang membuat Chandler dengan penulis cerita detektif lainnya adalah ambiguitas moral yang terkandung dalam protagonisnya. Meski bekerja membongkar kasus kriminal, suatu aktivitas yang normalnya berada di dalam garis hukum,

138

John T. Irwin. Unless The Threat of Death Behind Them: Hard-Boiled Fiction and Film Noir. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006, hal. 71. 139 Op. Cit., Hoopes, hal. 16. 140 Ibid., Hoopes, hal. 22. 141 Op. Cit., Irwin, hal. 71.

97

detektif dalam cerita Chandler memilih untuk memakai metodenya sendiri. Konsekuensinya: detektif dalam cerita Chandler tidak segan terlibat dalam hubungan tidak senonoh dengan femme fatale, dan membunuh orang ketika keselamatan dirinya terancam. Chandler mendesain protagonisnya sebagai individu yang menolak bernegosiasi dengan hukum, walaupun dia seharusnya bertindak demikian. Ada tuntutan hukum atau tidak, tindakannya selalu berlandaskan kepentingan dirinya sendiri. Perbedaan gaya bercerita Cain dan Chandler tersebut berpengaruh pada kualitas formal film Double Indemnity. Novelnya sendiri mengusung naratif alur maju dengan sudut pandang orang pertama. Seluruh kejadian dilihat dari sudut pandan Walter Neff, penjual asuransi yang menjadi protagonis Double Indemnity. Dalam mengadaptasi novel tersebut ke layar lebar, Chandler melakukan dua perubahan. Perubahan pertama adalah struktur temporalnya. Naratif dalam film tidak berjalan maju layaknya di novel. Sebaliknya, Chandler memotong kejadian-kejadian yang dialami Neff, dan menyusunnya kembali dalam naratif maju-mundur. Kalau dalam novel, Neff mengawali ceritanya dengan menawarkan asuransi ke kliennya. Dalam film, Neff terlihat masuk ke kantornya pada malam hari. Sesampainya di dalam kantor, dia menceritakan kembali kejadian-kejadian yang dia alami ke sebuah mesin perekam. Pola ceritanya jadi bolak balik antara Neff bercerita ke mesin perekam, dan adegan-adegan yang memvisualisasi kejadian yang dialami Neff. Dengan struktur temporal yang maju-mundur, Chandler menjadikan Neff sebagai orang biasa yang menginvestigasi kasusnya sendiri. Dengan kata lain, apa yang tadinya protagonis orang biasa versi Cain berubah menjadi detektif versi Chandler dalam film. Inilah perubahan kedua yang dilakukan Chandler. Setiap awal adegan kejadian yang dialaminya, Neff menarasikan ambiguitas moral yang ia hadapi. Ia sadar dirinya sedang bertindak di luar batas yang ditentukan hukum. Namun, apa daya, pembunuhan sudah terjadi dan Neff siap bertanggung jawab atas pilihannya. Konsekuensinya: setiap baris pengakuan yang Neff ucapkan ke

98

mesin perekam menjadi pisau bedah atas anatomi kesalahannya sendiri. Pada pola cerita tersebut, film Double Indemnity merangkai narasinya.

2. Pengakuan, Kilas Balik dan Konstruksi Keluarga Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, modus naratif Double Indemnity berporos pada pengakuan protagonis cerita ke sebuah mesin perekam suara di kantornya. Pengakuan tersebut nantinya yang menjadi penjelas dari segala visualisasi kejadian yang ada dalam plot film. Sebagai sebuah bentuk narasi, pengakuan (confession) bersifat personal, atau setidaknya mempunyai cakupan yang sangat lokal. Semua kejadian didikte oleh seorang narasumber, yang dilihat dari sudut pandang personal dan mau tidak mau berkaitan dengan kepentingan pribadi tersebut. Berkaitan dengan kepentingan penelitian ini, sistem naratif haruslah dibedah dari pilar-pilar penyokongnya. Apabila pengakuan, sebagai sebuah bentuk narasi yang sifatnya personal, merupakan modus narasi dari Double Indemnity, maka hal pertama yang harus dibahas adalah karakteristik dasar protagonisnya. Analisis protagonis kemudian akan membuka tingkaptingkap wawasan yang lebih luas perihal Double Indemnity.

Gambar A.1

Gambar A.2

Protagonis Double Indemnity adalah Walter Neff: seorang pekerja kantor asuransi, dengan pendapatan stabil, dan tidak punya tanggungan keluarga. Sejak awal film, Neff digambarkan dalam kondisi tidak stabil. Hal ini terlihat dari gambar pertama yang penonton lihat dalam Double

99

Indemnity, yakni siluet seorang laki-laki bertopi bundar, yang jalannya pincang dengan sepasang tongkat penyokong (Gambar A.1). Gambar tersebut kemudian berganti ke sekuens pembuka film, dimana penonton melihat Walter Neff pada suatu malam berjalan lemas ke dalam kantornya (Gambar A.2). Pada titik ini, penonton belum tahu apa motivasi protagonis

Gambar A.3

masuk kantornya. Sekuens adegan tersebut terjadi di malam hari, dimana tidak ada orang dalam kantor Neff, kecuali pegawai penjaga pintu. Neff masuk ke dalam ruang kerja, menyalakan mesin perekam suara, kemudian bercerita tentang masalahnya. Pada adegan terakhir tersebut, penonton dapat melihat atribut Neff sama dengan siluet laki-laki pincang di awal film (Gambar A.3). Asosiasi antara siluet laki-laki pincang dan Neff pun tercipta. Bedanya hanya satu: Neff tidak berjalan dengan tongkat penyokong, walau jalannya sama-sama pincang. Pada titik ini, informasi yang diketahui penonton adalah protagonisnya baru saja melewati sebuah masalah. Masalah tersebut yang kemudian diceritakan Neff melalui pengakuannya ke mesin perekam. Pengakuan Neff ditujukan pada teman kerjanya bernama Barton Keyes. Keyes adalah seorang manajer klaim, yang menentukan klaim asuransi mana yang benar dan mana yang salah. Dia yang menjaga perusahaannya menghamburkan uang untuk klaim asuransi yang salah. Keyes siap mengerjakan pekerjaan seorang detektif dan menganalisa apakah suatu kecelakaan benar-benar terjadi, atau hanya rekayasa orang-orang yang ingin cari uang saja. Neff dan Keyes sudah kenal dan bekerja sama selama

100

Gambar A.4

Gambar A.5

Gambar A.6

11 tahun. Dalam film, kedekatan keduanya tergambar dari tindakan Neff mengeluarkan korek untuk menyalakan cerutu Keyes (Gambar A.4, A.5 dan A.6). Sepanjang film, gestur Neff ke Keyes tersebut terus berulang, dan memperoleh affirmasinya di akhir film.Ada serangkaian kalimat kunci dalam narasi pembuka pengakuan Neff, yakni Yes, I killed him. I killed him for money and a woman. And I didnt get the money and I didnt get the woman. Pretty, isnt it? Dalam rangkaian kalimat tersebut, terdapat empat potongan informasi yang penonton terima: uang, pembunuhan, perempuan, dan kegagalan usaha protagonis. Keempat potongan informasi tersebut jelas memainkan ekspetasi penonton tentang kejadian-kejadian dalam Double Indemnity. Pada level dasar, penonton setidaknya tahu bahwa film akan bercerita seputar usaha protagonis membunuh seorang laki-laki demi uang dan seorang perempuan, dan protagonis gagal. Hal yang belum penonton ketahui adalah caranya bagaimana dan kenapa protagonis bisa gagal. Dua pertanyaan tersebut yang kemudian satu per satu terjelaskan dalam naratif maju-mundur Double Indemnity, yang mengandung empat kilas balik (flashback). Tiga kilas balik pertama

101

masing-masing berdurasi dari 22 sampai 30 menit, sementara yang terakhir berdurasi 12 menit. Masing-masing kilas balik memiliki wacananya sendiri tentang konstruksi keluarga dalam Double Indemnity.

3. Konstruksi Rumah Sebagai Penjara Kilas balik pertama, yang berlangsung dari menit 00:07:11 sampai

Gambar A.7

Gambar A.8

00:29:06, berfungsi layaknya babak pertama dalam struktur cerita tiga babak, yakni sebagai persiapan cerita (setup). Berdasarkan sudut pandang Neff, plot film pun mundur ke masa lampau. Adegan pertama yang penonton lihat adalah Neff mengunjungi rumah Mr. Dietrichson, salah satu kliennya. Pada adegan tersebut, Neff pertama kali bertemu dengan Phyllis Dietrichson, istri kliennya. Dilihat dari komposisi ruangnya, pertemuan pertama Neff dengan Phyllis menyiratkan ketidakseimbangan. Neff berada dekat pintu masuk di lantai bawah, sementara Phyllis di lantai atas (Gambar A.7 dan A.8). Phyllis berada lebih tinggi dari Neff. Dalam kondisi tidak seimbang tersebut, keduanya berkenalan. Posisi yang tidak seimbang tersebut menjadi petunjuk bagi prospek relasi mereka ke depan, dimana Phyllis secara metafor akan selalu berada di atas Neff. Selagi menunggu Phyllis bersiap dan turun ke bawah, Neff masuk ke ruang tamu kediaman Dietrichson. Di sana, dia menunggu sembari menganalisa perabot-perabot yang ada di sekitarnya. Ruang tamu dalam bahasa Inggris adalah living room. Bila dipahami secara harafiah, living room berarti ruang untuk hidup, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Dalam konteks Double Indemnity, pemahaman ruang

102

Gambar A.9

tamu sebagai ruang untuk hidup masuk akal, mengingat di ruangan tersebut Neff mempelajari detail-detail kehidupan keluarga Dietrichson. Sampai film berakhir, ruang tamu adalah satu-satunya tempat dalam rumah keluarga Dietrichson yang menampilkan segala aktivitas keluarga Dietrichson dan interaksi Neff dengan Phyllis. Detail pertama yang Neff ketahui adalah Phyllis ternyata merupakan istri kedua dari Mr. Dietrichson. Istri pertama sudah lama meninggal, tapi sempat melahirkan seorang anak perempuan. Dalam film informasi tersebut dari dua foto yang ada di atas piano di ruang tamu. Foto pertama adalah Mr. Dietrichson, foto kedua adalah Lola. Tidak ada foto Phyllis (Gambar A.9). Ketiadaan foto Phyllis di ruang tamu menyiratkan seberapa signifikan posisinya dalam keluarga Dietrichson. Sebagai tempat dalam rumah yang biasa dikunjungi oleh orang-orang di luar lingkar keluarga, ruang tamu secara umum menjadi etalase dari keluarga yang mendiami rumah tersebut. Sebagai sebuah etalase, ruang tamu tentunya dapat menandakan macam-macam, namun semuanya berujung ke satu hal: affirmasi keberadaan anggota keluarga. Mr. Dietrichson hanya menganggap Lola, anaknya dari istrinya yang pertama, ada. Phyllis dianggap tidak ada, atau lebih tepatnya, ada tapi tidak bermakna. Menjadi menarik kemudian melihat dua adegan Neff dan Phyllis di ruang tamu kediaman Dietrichson dalam kilas balik pertama. Dalam kedua adegan tersebut, terdefinisikan posisi Phyllis dalam naratif Double Indemnity. Adegan pertama terjadi beberapa menit setelah pertemuan pertama Phyllis dengan Neff. Sebagai seorang penjaja program asuransi, Neff tentunya langsung menawarkan dagangannya. Sembari melakukan pekerjaannya, Neff pun menggoda Phyllis. Jawaban yang ia dapat adalah penolakan, yang disertai dengan pertemuan satu kali lagi di tempat yang 103

sama. Pada titik ini, Phyllis masih menjaga statusnya sebagai istri orang, walau keberadaannya secara afektif tidak diakui. Adegan berikutnya merupakan pertemuan kedua Phyllis dan Neff. Kali ini, Phyllis bertindak lebih aktif. Dia banyak bertanya soal program asuransi ke, yang dijawab dengan cergas oleh Neff. Namun, Neff mulai curiga dengan pertanyaan Phyllis soal asuransi kecelakaan. Neff menuduh Phyllis ingin membunuh suaminya, lalu kabur membawa uang dari asuransi. Phyllis mencoba mengelak, namun Neff yakin pada instingnya. Neff pun keluar rumah, merasa jijik dengan niat Phyllis. Pada titik ini, Phyllis terkesan punya agenda sendiri. Sederhananya, Phyllis mengaffirmasi perannya sebagai femme fatale ke penonton. Rencana Phyllis membunuh suaminya yang tadinya tersirat akhirnya terkonfirmasi melalui dua hal. Pertama, secara gamblang, dalam adegan terakhir di kilas balik pertama. Adegan tersebut terjadi di apartemennya Neff. Tanpa diduga, Phyllis menemukan tempat tinggal Neff. Dia masuk dan mengaffirmasi niat membunuh suaminya. Neff awalnya menolak, tapi tidak bisa menyembunyikan perasaannya ke Phyllis. Mereka pun bercumbu. Pasca momen sentimentil tersebut, Phyllis cerita tentang suaminya, yang selalu marah setiap Phyllis belanja, dan hanya peduli pada kesejahteraan hidup Lola. Walaupun melibatkan uang, pembunuhan yang Phyllis rencanakan sebenarnya adalah usahanya untuk membebaskan dirinya. Affirmasi kedua terjadi lebih subtil, yakni melalui pencahayaan dua adegan ruang tamu. Kedua adegan tersebut divisualisasi melalui teknik pencahayaan Venetian blind lighting (Gambar A.10 dan A.11). Dalam

Gambar A.10

Gambar A.11

104

prakteknya, teknik tersebut melibatkan sorotan lampu yang ditabrakkan ke kontur-kontur di jendela. Hasilnya: tercipta bayangan seperti jeruji penjara di tembok dan badan karakter. Menurut John F. Seitz, sinematografer Double Indemnity, teknik tersebut untuk membingkai karakter.142 Efeknya ke penonton adalah kondisi tertekan dan terjebak. Dibingkai dalam Venetian blind lighting, ruang tamu dalam Double Indemnity menjadi semacam penjara bagi karakter-karakter yang mendiaminya. Bagi Phyllis, satu-satunya jalan keluar dari penjara tersebut adalah dengan membunuh suaminya, orang yang punya kuasa atas ruang tersebut, yang berarti juga berkuasa atas ruang-ruang yang lebih privat dalam rumah tersebut. Pembunuhan dalam Double Indemnity memiliki dua muatan makna. Bagi femme fatale, pembunuhan bermakna jalan menuju kebebasan domestik. Bagi protagonis laki-laki, pembunuhan berarti petualangan romantik. Makna keduanya berbeda, namun berujung pada satu hal yang sama: kegelisahan eksistensial. Kegelisahan eksistensial adalah fenomena personal, yang dalam prakteknya harus dinegosiasikan dengan lanskap moral dan sosial di sekitarnya. Tidak semua kegelisahan eksistensial bisa dituntaskan, karena beberapa berpotensi mengingkari jaring pengaman yang selama ini terjaga oleh konstelasi moral dan status sosial individu. Berarti, ada pilihan lain yang tersedia bagi Neff dan Phyllis. Phyllis tidak harus membunuh suaminya. Neff juga tidak harus membantu Phyllis dan membahayakan hidupnya sendiri. Keduanya bisa saja menanggung kegelisahan masing-masing dan membiarkan hidup berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Namun, mereka memilih untuk melakukan

sebaliknya. Usaha mereka itulah yang dikronologikan dalam kilas balik kedua.

142

Ed Sikov. On Sunset Boulevard: The Life and Times of Billy Wilder. New York: Hyperion, 1998, hal. 206.

105

4. Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual Kilas balik kedua, yang berlangsung dari menit 00:30:09 sampai 01:00:09. berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Pada bagian ini, konflik cerita mulai berkembang. Sekuens pembukanya adalah adegan Phyllis dan Neff bermesraan di ruang tamu apartemen Neff. Adegan penutup sekuens adalah Neff di jendela apartemennya melihat Phyllis pergi. Sekuens tersebut menegaskan bahwa setiap kilas balik dalam Double Indemnity merupakan opini seorang laki-laki. Ia bersifat maskulin, dan melihat segala hal dari kebutuhan dan kerangka referensi seorang laki-laki. Di satu sisi, terpetakan sebuah relasi yang berulang sampai akhir film, yakni analisis satu arah dari Neff ke Phyllis, dari protagonis laki-laki ke femme fatale. Di sisi lain, apabila melihat kembali awal pertemuan mereka, analisis tersebut terjadi di tengah relasi yang tidak imbang antara Neff dan Phyllis. Phyllis meminta Neff untuk membantu rencana pembunuhannya, yang berpotensi membahayakan hidup Neff sendiri. Phyllis sebagai femme fatale mendorong protagonis laki-laki ke dalam agendanya sendiri, sementara protagonis laki-laki hanya mampu menganalisa perempuan dari jarak tertentu. Dalam kerangka tersebut, relasi laki-laki dan perempuan dalam Double Indemnity terdefinisikan. Dalam kerangka itu juga, detaildetail pembunuhan dalam Double Indemnity memperoleh maknanya sendiri. Pembunuhan yang dijalankan Neff dan Phyllis membutuhkan tanda tangan Mr. Dietrichson. Neff berharap bisa menjebak suami Phyllis untuk menandatangani kontrak asuransi kecelakaan, tanpa sepengetahuan Mr. Dietrichson sendiri. Dengan begitu, Neff dan Phyllis dapat membunuh Mr. Dietrichson, dan mendapatkan uang dari tindakan kriminal tersebut. Peniupuan Mr. Dietrichson terjadi di adegan kedua di kilas balik kedua. Lokasinya di ruang tamu kediaman Dietrichson. Penipuan tersebut berhasil, yang artinya Phyllis sukses membuat suaminya dalam kapasitas tertentu menggali kuburnya sendiri. Kondisi keluarga yang sudah terjadi, yakni antara Phyllis dan Mr. Dietrichson yang sejak awal film berstatus menikah,

106

tereduksi ke sebuah pengkhianatan dan sekantong uang yang menyertainya. Kondisi keluarga yang belum dan mungkin terjadi, yakni antara Neff dan Phyllis yang berharap bisa bersama setelah semuanya selesai, dipantik oleh aktivitas bersama yang dilumuri oleh darah orang lain. Dilihat dari simbol-simbol yang menyertai Neff dan Phyllis, kedua kondisi keluarga yang penonton lihat dalam Double Indemnity berlawanan dengan konsensus sosial lingkungannya. Maksudnya, kedua kondisi keluarga tersebut berdasar pada individualitas, sementara lingkungan sosial lebih mengakui kolektivitas. Di adegan ketiga di kilas balik kedua, Neff mendapat tawaran kerja yang lebih bergengsi dari Keyes. Neff menolaknya mentah-mentah. Neff mengaku dia hanya termotivasi oleh aspek finansial dari pekerjaannya. Walau lebih bergengsi, pekerjaan baru yang ditawarkan tersebut mengharuskan Neff turun gaji sebesar $50. Neff jelas tidak mau. Ketika disarankan sebaiknya menikah agar paham dengan signifikansi

Gambar A.12

pekerjaan baru tersebut, Neff menolak dan menyatakan tidak tertarik untuk berkeluarga. Neff malah balik mempertanyakan Keyes, yang juga samasama belum menikah dan tidak tertarik untuk keluarga. Simbol yang menyertai Phyllis lebih subtil. Di adegan keempat dalam kilas balik kedua, Phyllis terlihat belanja di sebuah mini market. Sebenarnya Phyllis hanya mencari tempat netral, agar ia tidak dicurigai saat bertemu dengan Neff. Di lorong makanan bayi, Phyllis dan Neff pun bertemu dan berbisik perihal perkembangan rencana pembunuhan mereka. Selama mereka bicara, kamera membingkai Phyllis di dekat dengan papan bertuliskan baby food, seakan-akan mengasosiasikan status Phyllis sebagai 107

ibu rumah tangga dan rutinitas yang seharusnya ia lakukan (Gambar A.12). Selain itu, ada dua interupsi yang memotong pembicaraan mereka. Keduanya adalah ibu rumah tangga, yang berhenti di antara mereka untuk belanja kebutuhan sehari-hari (Gambar A.13 dan A.14). Interupsi tersebut menjadi semacam kontras antara Phyllis yang berniat membunuh suaminya

Gambar A.13

Gambar A.14

sendiri untuk kepentingan pribadi, dan ibu-ibu rumah tangga biasa yang mencoba menjaga keluarganya. Individualitas Neff dan Phyllis direkatkan oleh darah Mr. Dietrichson, yang mengucur setelah dibunuh oleh Neff. Pembunuhan tersebut membawa implikasinya sendiri, dan secara signifikan

mempengaruhi relasi Neff dan Phyllis. Keduanya adalah satu-satunya potensi kondisi keluarga dalam Double Indemnity. Masalahnya,

pembunuhan Mr. Dietrichson hanya semakin memerosokkan Neff dan Phyllis ke dalam individualitasnya masing-masing. Phyllis punya rencananya sendiri, sementara Neff gerah dengan perasaan waswas setelah Keyes berniat menginvestigasi kasus kematian Mr. Dietrichson. Potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis tersebut yang dipertanyakan dalam kilas balik ketiga.

5. Formasi Keluarga di Tengah Paranoia Sama seperti kilas balik sebelumnya, kilas balik ketiga juga berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication), dengan persiapan menuju klimaks cerita (climax). Kilas balik tersebut berlangsung dari menit 01:00:33 sampai 01:26:49. Adegan pertama dari kilas balik ketiga terjadi di 108

Gambar A.15

kantor Neff. Di sana, Keyes mengajak Neff untuk menemui bos mereka, untuk membicarakan kasus kematian Mr. Dietrichson. Di luar dugaan, atas undangan bos Neff dan Keyes, Phyllis datang di tengah-tengah pembicaraan mereka. Pada adegan inilah, Neff dan Phyllis harus memainkan perannya masing-masing, untuk menjaga kelanggengan hubungan mereka. Neff bersikap layaknya penjual program asuransi, sementara Phyllis sebagai seorang janda yang baru saja kehilangan suaminya (Gambar A.15). Mereka pura-pura tidak saling kenal akrab, supaya Keyes dan bosnya tidak curiga. Pengelabuan pun sukses. Bos mereka beranggapan bahwa Mr. Dietrichson bunuh diri, sementara Keyes tidak curiga kalau ada orang luar yang terlibat dalam kematian Mr. Dietrichson. Keyes secara tidak langsung malah mendukung kausa Neff dan Phyllis, dengan mengatakan bahwa kematian Mr. Dietrichson bukanlah bunuh diri. Menurut Keyes, Mr. Dietrichson benar-benar kecelakaan, dan perusahaan harus membayar Phyllis karena kontrak asuransi mereka dengan suaminya. Kesuksesan Neff dan Phyllis mengelabui Keyes dan bosnya ternyata hanya membawa masalah baru. Dalam adegan-adegan berikutnya, Neff dan Phyllis kesulitan bertemu layaknya mereka biasa bertemu. Keduanya harus saling sembunyi, karena Keyes berniat mengawasi Phyllis setiap hari sampai ia menemukan petunjuk lain soal kematian Mr. Dietrichson. Pada titik inilah, potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis mulai meredup. Satu-satunya penanda hubungan mereka di mata publik adalah pembunuhan Mr. Dietrichson. Di luar itu, tidak ada penanda lain, yang secara legal dan moral lebih sesuai dengan lanskap sosial di lingkungan mereka. Keduanya hanya bisa bertemu diam-diam di tempat netral, alias di sebuah mini market

109

di adegan terakhir di kilas balik ketiga. Pada adegan tersebut, hubungan mereka berevolusi dari afektif ke destruktif. Keduanya mencurigai satu sama lain. Neff khawatir Phyllis punya agenda sendiri, dan sebaliknya. Pembunuhan Mr. Dietrichson menjadi pisau yang bisa digunakan untuk Neff atau Phyllis untuk menikam satu sama lain. Masalahnya, kondisi memihak pada Phyllis, si femme fatale. Dia bisa saja membeberkan fakta tentang keterlibatan Neff tanpa beban. Phyllis bisa berdalil bahwa dia berada di pihak yang rugi, karena dia baru saja kehilangan seorang suami. Adegan pertemuan Neff dan Phyllis, yang menggambarkan relasi mereka yang tidak seimbang, terwujud signifikansinya. Neff tidak punya alasan yang kuat untuk mendukung dirinya sendiri nanti kalau buka mulut soal Phyllis. Dia yang mengkonsep pembunuhan Mr. Dietrichson. Berkat pengetahuannya soal bisnis asuransi, dia tahu bagaimana cara mendesain sebuah kematian yang sempurna, sebuah kematian yang tidak akan terlihat salah di mata manajer klaim macam Keyes. Informasi yang dia punya soal Phyllis juga terlalu rahasia, dan hanya bisa diakses oleh orang-orang berpengalaman macam Neff. Phyllis boleh jadi yang punya ide untuk membunuh suaminya, namun di lapangan Neff akan selalu terlihat lebih salah dari Phyllis. Pembunuhan yang awalnya menyatukan Neff dan Phyllis malah tidak membebaskan keduanya. Keduanya malah makin terjebak dalam paranoia masing-masing.

6. Keakraban Menjelang Kematian Kilas balik keempat merupakan resolusi cerita (resolution), dimana potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis dipertaruhkan di titik klimaks (climax), dan berlanjut ke kejadian-kejadian pasca klimaks (aftermath). Berlangsung dari menit 01:27:11 hingga menit 01:47:20, kilas balik yang satu ini dimulai dengan perkembangan terbaru soal kematian Mr. Dietrichson. Di adegan kedua, Keyes memanggil Neff dan bilang kalau dia menemukan orang ketiga dalam kasus Mr. Dietrichson. Menurut Keyes, orang ketiga itu adalah Nino Zachetti, pacarnya Lola. Neff curiga kalau

110

Keyes hanya pura-pura dan sebenarnya tahu kalau Neff adalah pelaku sebenarnya. Neff pun menunggu Keyes pergi, dan diam-diam mengendap ke kantor Keyes. Adegan ini direkam dengan teknik pencahayaan Venetian blind (Gambar A.16). Metafora penjara kini diterapkan pada tempat kerjanya Neff. Dia terjebak dalam pekerjaannya sendiri, dan dia harus mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Neff memutuskan untuk menelpon Phyllis dan mengajaknya untuk bertemu.

Gambar A.16

Pertemuan Neff dan Phyllis menjadi klimaks cerita Double Indemnity. Kejadiannya mengambil tempat di ruang tamu kediaman Dietrichson. Awalnya, penonton melihat kejadian yang tidak diketahui oleh Neff, yakni Phyllis menyelipkan sepucuk pistol di balik sofa. Ketika Phyllis mematikan lampu dan menunggu di ruang tamu untuk bertemu Neff, penonton melihat bahwa cahaya di ruangan tersebut bercorak layaknya jeruji penjara. Teknik Venetian blind lagi-lagi diterapkan, dan metafora

Gambar A.17

Gambar A.18

penjara berlaku untuk kejadian yang akan terjadi antara Neff dan Phyllis di ruang tamu tersebut (Gambar A.17 dan A.18). Neff masuk dan bicara dengan Phyllis. Dia bilang dia mau meninggalkan Phyllis, dan akan

111

melimpahkan pembunuhan tersebut ke Zachetti. Phyllis tidak setuju dan menembak Neff ketika dia sedang lengah. Tembakan tersebut menandai kematian potensi kondisi keluarga di antara mereka berdua. Keduanya bukan lagi pasangan, tapi sepasang individu yang tidak segan menyingkirkan satu sama lain. Neff tidak langsung mati dari tembakan Phyllis. Dia hanya terluka parah dan sukses merebut pistol Phyllis. Layaknya femme fatale dalam setiap film noir, Phyllis memanfaatkan aura fisiknya untuk menggoda Neff, dan melupakan semua yang baru saja terjadi. Neff tidak percaya dan menembak Phyllis dua kali. Femme fatale tersebut pun tewas. Setelah kejadian ini, film pun membaur ke masa sekarang, dimana Neff selesai menceritakan semua keterlibatannya di kasus Mr. Dietrichson ke mesin perekam suara. Pada titik ini, terjelaskan sudah kenapa Neff masuk ke kantor dengan jalan pincang. Ia berusaha menahan sakit dari luka tembakan Phyllis. Usai menutup pengakuannya ke mesin perekam, Neff balik badan dan melihat ke arah kamera. Kamera pindah sudut pandang mewakili mata Neff, dan terlihat Keyes berdiri dengan tampang datar. Keyes mencoba memanggil ambulans, tapi Neff mencegahnya. Neff memilih untuk kabur, dan memulai hidup baru di tempat lain.

Gambar A.19

Dalam perjalanannya keluar kantor, Neff jatuh. Dia sudah tidak tahan lagi menahan sakit dari luka tembakan Phyllis. Pada titik ini, terdengan suara Keyes menelfon ambulans. Neff berbaring kesakitan di pintu, dan Keyes pun datang menghampirinya. Neff mengeluarkan korek untuk mencoba menyalakan rokok di mulutnya, tapi kesulitan. Keyes pun

112

mengambil korek dan menyalakan rokok di mulut Neff (Gambar A.19). Gestur ini merupakan balasan dari gestur Neff selama ini menyalakan cerutu Keyes. Gestur tersebut juga menjadi affirmasi dari relasi Neff dan Keyes yang tetap seperti biasanya, walaupun sudah terinterupsi oleh Phyllis dan kasus Mr. Dietrichson. Ketika akhirnya Double Indemnity berakhir beberapa detik kemudian, tidak seperti relasi-relasi lainnya dalam film tersebut, relasi profesional protagonis dengan teman kerjanya adalah satusatunya relasi yang sampai akhir cerita tetap utuh.

B. The Postman Always Rings Twice (1946) 1. Latar Belakang Historis Sebagai salah satu rujukan utama film noir di masa sekarang, The Postman Always Rings Twice pada jamannya adalah sebuah anomali. Materi dasarnya memang berasal dari salah satu novel James M. Cain, yang notabene sering diadaptasi jadi film noir. Namun, studio yang memproduksinya adalah Metro-Goldwyn-Mayer (MGM), yang pada era 40-an lebih akrab dengan film musikal dan epik sejarah. MGM juga dikenal banyak memanfaatkan teknologi Technicolor dalam film-filmnya. Technicolor adalah sebuah teknologi pewarnaan pita film, dimana warna merah, biru, dan kuning memperoleh ketebalannya tersendiri, sehingga menciptakan kesan yang sangat cerah di mata penonton. Film noir, yang dikenal suram berkat kemasan hitam putihnya, jelas adalah lahan baru bagi MGM. MGM memproduksi The Postman Always Rings Twice setahun setelah Double Indemnity. Faktanya, kesuksesan Double Indemnity yang meyakinkan produser-produser di MGM untuk memproduksi The Postman Always Rings Twice. MGM sebenarnya sudah tertarik memfilmkan The Postman Always Rings Twice pada tahun 1935, setahun setelah novel tersebut pertama kali rilis, tapi badan sensor menghalangi niat mereka.143
143

Geoff Mayer & Brian McDonnell. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood Publishing Group, 2007, hal. 23.

113

Kesuksesan Double Indemnity di tahun 1944 memberi cukup wawasan bagi MGM untuk turut memproduksi film noir. Ada dua hal yang MGM pelajari dari kesuksesan film karya Billy Wilder tersebut. Pertama, cerita kriminal yang suram ternyata disukai audiens Amerika, terlihat dari penjualan tiket Double Indemnity yang mencapai sepuluh besar di tahun rilisnya, plus tujuh nominasi Academy Awards yang film tersebut raih. Kedua, badan sensor ternyata bisa diakali dengan revisi naskah, sehingga pesan yang mungkin tersampaikan oleh film sesuai dengan moralitas versi badan sensor. Melihat sejarah produksi mereka yang dipenuhi film musikal dan epik sejarah, MGM tidak punya pendirian ideologis tertentu, kecuali menjual tiket sebanyak mungkin dan meningkatkan reputasinya sebagai studio film-film populer.144 Studio tersebut ingin memproduksi The Postman Always Rings Twice bukan karena kritik sosial yang terkandung di dalamnya, tapi karena novel tersebut sesuai dengan selera penonton Amerika dekade 40-an. Sederhananya, MGM termotivasi oleh potensi finansial The Postman Always Rings Twice. Motivasi finansial MGM tercermin dalam pemilihan lakon utama The Postman Always Rings Twice, yakni John Garfield dan Lana Turner. Garfield aslinya berada di bawah kontrak Warner Bros. Sebelum dipinjam MGM untuk The Postman Always Rings Twice, Garfield telah bermain untuk 23 film produksi Warner Bros. Dia pernah mendapat nominasi Academy Award untuk performanya di film Four Daughters tahun 1938. Prestasinya tersebut menandakan Garfield punya reputasi dalam seni lakon. Namanaya punya daya jualnya sendiri, dan MGM siap memanfaatkannya.145 Di sisi lain, Lana Turner adalah bintang andalan MGM. Namanya menjadi pembicaraan di Hollywood berkat

keterlibatannya dalam tiga film sukses MGM di awal 40-an: Ziegfield Girl (1941), Johnny Eager (1942), dan Somewhere Ill Find You (1942). Sebelumnya, Turner sempat dikenal publik Amerika dengan julukan the
144 145

Ibid., hal. 340. Ibid., hal. 341.

114

sweater girl, berkat kostumnya yang membalut lekuk tubuhnya di film They Wont Forget (1937).146 Melalui The Postman Always Rings Twice, MGM memadukan seorang aktor laki-laki yang mapan dalam seni peran dan selebritis perempuan yang dikenal sebagai simbol seks: dua figur yang punya kredibilitasnya tersendiri di mata para penonton. The Postman Always Rings Twice sendiri didasarkan pada novel yang berjudul sama karya James M. Cain. Pertama kali dirilis pada tahun 1934, The Postman Always Rings Twice sampai sekarang dianggap sebagai salah satu novel kriminal paling berpengaruh di abad 20, dan salah satu karya terbaik yang pernah dihasilkan Cain. Karena ceritanya yang sangat gamblang menceritakan seksualitas dan kekerasan domestik, novel tersebut dianggap mendahului jamannya. Pemerintah daerah

Massachusetts khawatir akan konten The Postman Always Rings Twice yang eksplisit, dan mengajukan sebuah mosi untuk melarangnya dijual di negara bagian yang bersangkutan.147 Badan sensor film mempunyai kekhawatiran yang sama dengan pemerintah daerah Massachusetts, sehingga mereka menghalangi usaha MGM untuk mengadaptasi The Postman Always Rings Twice pada tahun 1935. Dalam pengantar novel Double Indemnity cetakan 1943, Cain menjelaskan arti judul The Postman Always Rings Twice dan kaitannya dengan konten ceritanya yang eksplisit. Cain pertama kali memikirkan judul novelnya tersebut ketika dia sedang berdiskusi dengan Vincent Lawrence, seorang penulis naskah film, tentang suka duka menjadi penulis. Setiap habis mengirimkan naskah ke pihak penerbit, Cain selalu gugup menanti kedatangan tukang pos. Pasalnya, tukang pos adalah orang pertama yang membawa kabar perihal diterima atau ditolaknya naskah Cain, yang punya implikasi tersendiri bagi profesi dan reputasi Cain sebagai penulis. Di mata Cain, tukang pos adalah Tuhan dan pekerjaannya mengantar kabar adalah takdir. Saking gugupnya
146

Menurut salah satu wawancara dalam film Lana Turner... A Daughters Memoir (Carole Lenger, 2001) 147 Op. Cit., Hoopes, hal. 332.

115

menunggu kabar naskahnya, Cain tidak mau menjawab bel rumah yang berbunyi tiap kali tukang pos datang. Namun, karena tuntutan pekerjaan, tukang pos selalu memencet bel dua kali, hanya untuk memastikan ada orang di rumah atau tidak. Bunyi bel kedua, menurut pengakuannya, yang menyadarkan Cain bahwa dia tidak bisa menghindar dari panggilan Tuhan untuk menghadapi takdirnya, walau sukses lari dari panggilan yang pertama. Cain kemudian memakai alegori tukang pos dan Tuhan sebagai basis dari plot The Postman Always Rings Twice. Protagonis cerita adalah seorang laki-laki tanpa identitas dan tempat tinggal yang tetap. Dia bekerja di sebuah rumah makan dan jatuh cinta dengan istri bosnya. Pihak perempuan ternyata juga punya perasaan yang sama, mengingat dia tidak mencintai suaminya sama sekali. Keduanya pun diam-diam tidur dan merencanakan pembunuhan bersama. Seks dan pembunuhan mereka jadikan sarana untuk memenuhi tujuan mereka masing-masing.

Masalahnya, tindakan kriminal yang mereka lakukan tercium oleh pihak hukum. Investigasi atas mereka pun dijalankan, tapi mereka sukses membersihkan nama mereka. Relasi keduanya pun berlanjut, namun dihantui dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Kecurigaan satu sama lain dan kekhawaitran akan masa depan merasuki pikiran mereka. Ketika akhirnya mereka bisa berdamai dengan kegelisahan eksistensial mereka, takdir membawa keduanya kembali ke titik nol. Si perempuan mati ditabrak mobil, dan protagonis laki-laki masuk penjara karena dituduh membunuh perempuan pasangannya. Kronologi cerita yang sama dipakai oleh MGM untuk adaptasi film The Postman Always Rings Twice, dengan beberapa revisi tentunya. Seks, yang digambarkan nyaris sadomasokistik di novel, dijinakkan hingga menjadi ciuman saja di film. Pembunuhan juga dikuras detailnya. Dalam novel, pembunuhan digambarkan sangat sadis dan berdarah-darah. Dalam film, detail-detail yang tidak cocok dengan badan sensor tersebut diubah menjadi beberapa shot yang mengalegorikan pembunuhan. Dilihat dari

116

sudut pandang sekarang, The Postman Always Rings Twice versi film lebih mengandalkan konflik psikologis ketimbang versi novelnya, yang jauh lebih detail dalam mengeksplorasi kekerasan dan relasi seksual antar karakternya.

2. Formasi Hubungan Sebagai Modus Naratif Plot The Postman Always Rings Twice mempunyai alur lurus dari awal hingga akhir film. Beberapa sumber mengatakan The Postman Always Rings Twice beralur maju mundur, dengan alasan adegan terakhir film menjadi retrospektif dari kejadian sepanjang film. Namun, sepanjang progresi plot, tidak ditemukan penanda adanya perpindahan temporal dari waktu sekarang ke masa lalu kembali lagi ke waktu sekarang, atau sejenisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa plot film berjalan lurus dari awal sampai akhir, tanpa ada interupsi temporal sepanjang progresinya. Plot The Postman Always Rings Twice terjadi dalam sudut pandang protagonis laki-lakinya, Frank Chambers. Penandanya adalah narasi suaranya (voice over) yang terdengar dari awal sampai akhir film. Narasi suara Frank berisikan informasi-informasi yang tak terjelaskan secara visual. Secara umum, narasi Frank menginformasikan penonton perihal perubahan emosi yang terjadi di dalam dirinya, dan kondisi hubungannya bersama Cora Smith, karakter utama perempuan dalam film. Dalam beberapa kasus, narasi Frank memberi tahu penonton soal perpindahan tempat yang ia alami. Konflik film sendiri berporos pada cinta segitiga antara Frank, Cora dan Nick, suaminya Cora. Fokus utamanya jelas hubungan antara Frank dan Cora, dengan hubungan Nick dan Cora sebagai catatan kaki di pertengahan awal film. Apabila dipetakan berdasarkan legalitasnya sebagai institusi pernikahan, Nick dan Cora adalah hubungan yang sah, sementara Frank dan Cora tidak. Keberadaan narasi Frank menjadikan The Postman Always Rings Twice sebagai film yang memandang segala konfliknya dari sudut pandang laki-laki, atau lebih tepatnya lagi, seorang

117

laki-laki yang berada di luar institusi pernikahan. Dari sudut pandang tersebut, konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice ditabrakkan antara sudut pandang orang luar dan orang dalam. Frank dan Nick menjadi dua kutub yang berlawanan. Satu merupakan kondisi tanpa keluarga, sementara satu lagi merupakan kondisi keluarga. Cora menjadi bandul yang mengubah kondisi keduanya. Apabila dibandingkan dengan susunan plot Double Inemnity dan empat kilas baliknya, tatanan plot The Postman Always Rings Twice hitungannya tidak memiliki penanda yang jelas. Terlalu banyak simbol yang tidak berulang sampai akhir film, mulai dari kemunculan otoritas hukum hingga pencahayaan Venetian blind. Satu-satunya elemen yang berulang sampai akhir film adalah konflik ceritanya, yakni formasi hubungan antara Frank dan Cora. Oleh karena itu, analisis akan dilakukan berdasarkan struktur tiga babak, yang menspesifikasi perkembangan cerita melalui konfliknya. Titik mulai konflik menjadi penanda dari akhir babak pertama (setup), dimana protagonis mengalami kondisi dimana dia tidak bisa lagi kembali ke kondisi di awal cerita (point of no return). Puncak konflik (climax) menjadi penanda dari akhir babak kedua (plot complication), dimana protagonis mengeluarkan usaha terkerasnya untuk menyelesaikan konflik. Babak ketiga adalah resolusi (resolution), yang menampilkan kejadian-kejadian pra dan pasca klimaks (climax), dimana protagonis mengeluarkan usaha terbaiknya untuk menyelesaikan konflik. Dalam kasus ini, progresi dan resolusi konflik menjadi faktor-faktor yang menyibak konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice.

118

3. Papan Pengumuman dan Prospek Hubungan

Gambar B.1

Gambar B.2

Babak pertama film, yang berlangsung dari menit 00:00:00 sampai 00:38:23, dibuka oleh kedatangan Frank ke sebuah kota kecil (Gambar B.1 dan B.2). Protagonis datang melalui tumpangan seseorang yang ia temui di jalan. Awalnya ia tidak tahu siapa. Dalam tiga adegan berikutnya, ia baru tahu siapa sebenarnya orang yang dengan baik hati mengantarkannya tersebut. Rangkaian adegan tersebut dibuka oleh kemunculan seorang polisi bermotor, yang melintas melewati Frank. Kemudian, polisi tersebut menghampiri mobil yang baru saja ditumpangi Frank, dengan alasan mobil tersebut berhenti di tengah jalan (Gambar B.3). Frank melihat polisi mengetuk jendela mobil, tapi tiba-tiba mundur teratur dengan senyum kecut. Mobil tersebut kemudian pergi begitu saja tanpa kena sanksi apaapa. Ketika Frank bertanya siapa orang itu sebenarnya, polisi menjawab

Gambar B.3

Gambar B.4

kalau dia adalah jaksa wilayah (district attorney). Ada dua hal yang dapat dibaca dari rangkaian adegan pembuka di atas, dan semuanya berkaitan dengan jejaring aparat hukum yang nantinya

119

akan dihadapi protagonis. Pertama, kehadiran protagonis di dalam cerita adalah konsekuensi dari kebaikan seorang aparat hukum. Eksistensi protagonis tidak berdasarkan pada usahanya sendiri, tapi pada seseorang yang sudah mengetahui aturan main dari tempat asing yang didatangi protagonis tersebut. Kedua, ada hukum tersendiri bagi warga sipil dan aparat hukum. Polisi mendatangi mobil jaksa karena pemahamannya soal peraturan yang berlaku bagi warga sipil, yakni dilarang berhenti di tengah jalan. Namun, setelah mengetahui bahwa yang dihadapi adalah seorang jaksa wilayah, polisi membiarkannya lewat begitu saja. Hukum sejak awal film digambarkan korup, dan penuh celah-celah yang dapat dieksploitasi oleh mereka yang punya kuasa. Kedua hal tersebut akan dielaborasi lagi seiring berkembangnya plot, namun pada titik ini penonton belum tahu apa signifikansinya bagi protagonis. Setelah menyorot aparat hukum dan segala relasi mereka, film berfokus pada Twin Oaks, sebuah rumah makan dekat tempat Frank diturunkan. Depan rumah makan tersebut, ada sebuah papan putih bertuliskan MAN WANTED (Gambar B.4). Tulisan tersebut, dalam perkembangan di adegan-adegan berikutnya, mengkonotasikan dua relasi. Pertama, relasi profesional antara Frank dan Nick. MAN WANTED dalam kasus ini berarti merujuk pada kekurangan pegawai di rumah makan. Hal ini yang secara gamblang ditunjukkan dalam film. Setelah menyaksikan kejadian antara polisi dan jaksa wilayah, Frank berjalan mendekati Twin Oaks. Dari dalam rumah makan, tiba-tiba keluar seorang pria tua menghampiri Frank. Dia adalah Nick, pemilik Twin Oaks. Nick mengajak Frank masuk dan dengan senang hati menawarkan pekerjaan ke Frank. Nick menjelaskan sistem kerja di Twin Oaks, yang ternyata juga adalah rumah pribadi Nick. Relasi Frank dan Nick kemudian berlangsung dalam kerangka yang materialistik. Karakteristik tersebut terlihat dari terminologiterminologi yang terkandung dalam dialog Nick. Dalam adegan menit 00:06:02 sampai 00:06:37, Nick menolak permintaan istrinya untuk

120

memecat Frank tanpa alasan. Menurut Nick, Frank adalah seorang pekerja yang baik, karena ia rela dibayar murah dan tidak memerlukan biaya hidup yang besar. Dalam adegan yang sama, terjelaskan juga karakterisasi Nick, yakni laki-laki perhitungan yang melihat segalanya dalam neraca untung dan rugi. Karakterisasi ini nantinya akan berpengaruh besar pada konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice. Relasi kedua yang dikonotasikan oleh papan MAN WANTED adalah relasi seksual antara Frank dan Cora. Hal ini yang tidak digambarkan secara gamblang dalam film. Ada tiga sekuens adegan yang menjadi petunjuk dari relasi tersebut, dan kedua adegan tersebut saling melengkapi satu sama lain. Petunjuk pertama ada pada sekuens di menit 00:04:07 sampai 00:05:37. Sekuens tersebut dibuka dengan medium shot sebuah lipstik putih yang tergulir di lantai, kemudian kamera bergerak ke atas memperlihatkan kaki seorang perempuan (Gambar B.5 dan B.6). Kamera kemudian menyorot wajah Frank yang terkesima, lalu cut ke shot seluruh tubuh perempuan tersebut. Sambil berkaca, perempuan tersebut mengulurkan tangannya, meminta kembali lipstiknya (Gambar B.7). Frank hanya diam saja, melihat perempuan tersebut sambil tersenyum. Si

Gambar B.7

Gambar B.5

Gambar B.6

121

perempuan kesal, berjalan menghampiri Frank, mengambil lipstiknya, lalu pergi menutup pintu.

Sekuens adegan di atas menjadi perkenalan Frank dan karakter perempuan utama, yang nantinya memperkenalkan diri sebagai Cora Smith. Frank awalnya tidak tahu apa-apa tentang Cora, kecuali kecantikannya dan keberadaannya di Twin Oaks. Baru beberapa menit setelah adegan perkenalan mereka, Frank mengetahui bahwa Cora adalah istri Nick. Setelah mengetahui status Cora, penonton dapat memetakan posisi Frank di Twin Oaks. Sebagai pemilik bisnis dan kepala rumah tangga, Frank telah mengamini satu orang asing ke dalam lingkungan yang sejatinya privat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Twin Oaks adalah sebagian dari rumah pribadi Nick. Keberadaan Frank di Twin Oaks menjadi semacam intrusi di tengah institusi keluarga, yang sudah ada sejak awal film.

Gambar B.8

Gambar B.9

Intrusi Frank pada keluarga Nick dan Cora memperoleh momentum pada sekuens adegan di menit 00:07:04 sampai 00:09:39. Pada sekuens tersebut, Cora memerintah Frank untuk mengecat seluruh kursi di Twin Oaks. Frank meresponsnya dengan ogah-ogahan. Di akhir sekuens, keduanya berdiri cukup dekat, sehingga Frank dapat mencium Cora secara tiba-tiba. Cora meresponsnya dengan muka datar, sembari membersihkan mulutnya dan memoles lipstik pada bibirnya. Sebelum ciuman tersebut terjadi, Frank menuduh Cora bahwa pernikahannya hanyalah cara bagi Cora untuk mengumpulkan uang, dan Cora sebenarnya tidak mencintai

122

Nick. Pada titik ini, asumsi Frank menjadi semacam diskursus perihal konstruksi keluarga di The Postman Always Rings Twice. Dalam kapasitas tertentu, asumsi Frank memainkan harapan penonton tentang kejadiankejadian yang mungkin terjadi di adegan-adegan berikutnya. Sekuens adegan ketiga, yakni antara menit 00:12:20 sampai 00:15:40, melengkapi gambaran relasi seksual yang disiratkan oleh papan MAN WANTED. Sekuens adegan tersebut dimulai dengan perayaan Nick akan papan baru restorannya. Nick minum anggur dan menyanyi sendirian. Ketika Frank mengajukan diri untuk berdansa dengan Cora, Nick mengiyakan. Dia malah menyiapkan ruang yang ideal bagi Cora dan Frank untuk berdansa (Gambar B.8 dan B.9). Cora merasa canggung berdansa dengan Frank, dan tiba-tiba menghentikan segalanya. Cora malah mengajak suaminya untuk pergi ke pantai dan berenang malam-malam. Nick menolak. Dia memilih untuk merayakan papan baru restorannya sendirian, dan mengijinkan Frank untuk menemani istrinya. Pada titik ini, terlihat absensi Nick dalam perannya sebagai suami. Dilihat dari sudut pandang tersebut, MAN WANTED berarti kekurangan figur laki-laki sebagai pasangan bagi Cora. Sampai adegan tersebut, Nick tidak pernah terlihat berperan sebagai suami bagi Cora, melainkan sebagai pemilik bisnis Twin Oaks. Nick lebih peduli pada neraca untung-rugi ketimbang istrinya sendiri. Asumsi Frank perihal pernikahan Cora dan Nick sampai kapasitas tertentu terbukti. Pembuktian tersebut ditegaskan oleh ciuman kedua mereka, yang terjadi pada menit 00:18:00. Ciuman tersebut terjadi setelah Cora dan Frank pulang dari pantai. Mereka turun dari mobil, lalu tiba-tiba pintu rumah terbuka, dan keluarlah Nick. Suaminya mengira Cora adalah pelanggan yang mau beli makan. Setelah mengetahui ternyata yang datang itu istrinya, Nick kembali masuk tanpa mengucapkan apa-apa. Cora depresi, Frank menciumnya, dan penonton pun untuk pertama kalinya melihat ada simbiosis mutalisme di antara mereka berdua. Cora mencari pasangan laki-laki yang selama ini absen, sementara Frank mendapatkan

123

perhatian perempuan yang selama ini ia kejar. Terciptalah relasi afektif antara Frank dan Cora, yang tentu saja illegal di hadapan ikatan

Gambar B.10

pernikahan Nick dan Cora. Usaha untuk mempertahankan relasi illegal tersebut yang menjadi konflik dari The Postman Always Rings Twice. Hubungan terlarang Frank dan Cora berujung pada sekuens adegan rencana pembunuhan di menit 00:30:44 sampai 00:35:07. Rencana pembunuhan tersebut adalah serangan paling konkrit terhadap institusi keluarga yang dilaksanakan Frank dan Cora. Sebelumnya, keduanya mencoba lari dari Twin Oaks ke kota lain di menit 00:21:21 sampai 00:24:40 (Gambar B.10). Masalahnya, di tengah jalan, Cora

mengurungkan niatnya karena keinginannya mewarisi Twin Oaks dan mengelolanya hingga sukses. Cora masih teringat akan keluarga yang ia miliki karena alasan finansial, tidak ada bedanya dengan Nick. Frank dan Cora pun kembali dan merencanakan pembunuhan Nick. Pembunuhan tersebut rencananya dilaksanakan di rumah sendiri, ketika Nick sedang mandi. Asumsi Cora: apabila ada kematian terjadi di lingkungan rumah, maka orang akan menganggapnya sebagai kecelakaan atau kesialan. Investigasi aparat hukum dapat dengan mudah diakali, dan Frank serta Cora dapat mencuci tangannya bersih dari tindakan kriminal yang baru saja mereka lakukan. Cora pun merencanakan rencana pembunuhan Nick, sementara Frank bertugas sebagai pengawas saat rencana tersebut dijalankan. Cora pada titik ini membingkai dirinya sebagai femme fatale di hadapan penonton. Dia adalah satu-satunya perempuan yang punya rencana dan berani mengambil inisiatif untuk kepentingannya sendiri.

124

Frank dan Cora menjalankan pembunuhannya pada menit 00:35:04 sampai 00:38:23. Rencana mereka sejatinya gagal karena dua intervensi: polisi patroli yang kebetulan lewat, dan seekor kucing yang tidak sengaja menyenggol sekering Twin Oaks, sehingga menyebabkan mati lampu. Nick tidak mati, tapi hanya tidak sadarkan diri, karena tersandung waktu mencoba keluar dari bak rendam pas mati lampu. Meski begitu, plot telah mencapai kondisi yang tidak mungkin dibalik lagi oleh Frank dan Cora (point of no return). Keduanya tidak bisa lagi kembali ke keadaan awal, karena kecelakaan Nick di luar dugaan melibatkan saksi mata seorang aparat hukum. Frank dan Cora kini harus menjaga diri mereka masingmasing, kalau-kalau aparat hukum mengendus rencana mereka

sebenarnya.

4. Dua Konteks Hubungan Protagonis Babak kedua, yang berlangsung dari menit 00:38:24 sampai 01:47:17, berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Babak ini mengambil porsi terbesar dari naratif The Postman Always Rings Twice, mengingat di dalamnya terjadi dua kali pelapisan konteks pada konflik cerita, yang masing-masing pada perkembangannya membingkai relasi Frank dan Cora dalam makna-makna tertentu. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konflik The Postman Always Rings Twice adalah usaha Frank dan Cora mempertahankan relasi illegal mereka, yang terjadi di luar ikatan pernikahan Nick dan Cora. Konteks pertama adalah hukum. Kecelakaan Nick dicurigai oleh polisi dan jaksa wilayah di awal film, yang pada menit 00:38:50 memperkenalkan diri sebagai Sackett. Namun, berkat kucing yang mati akibat menginjak sekering di Twin Oaks, Frank dan Cora sukses mencuci tangannya dari rencana pembunuhan yang mereka lakukan. Nick sembuh dan Frank pun memilih pergi dari Twin Oaks. Masalahnya, Nick sukses menemukan Frank dan membawanya kembali ke Twin Oaks. Frank bertemu lagi dengan Cora, dan merencanakan pembunuhan Nick sekali lagi. Mereka berhasil, tapi Frank

125

Gambar B.11

turut menjadi korban, sehingga ia harus dirawat di rumah sikit. Pada titik ini, hubungan Frank dan Cora mendapat sorotan yang intens dari aparat hukum. Lebih spesifiknya, Sackett dan seorang pengacara bernama Arthur. Keduanya menjadikan relasi illegal Frank dan Cora sebagai taruhan profesi mereka. Pada adegan menit 01:09:15, Sackett bertaruh dengan Arthur sebesar $100 bahwa dia dapat membuktikan bahwa Cora bersalah (Gambar B.11). Sackett yakin Frank tidak terlibat dalam pembunuhan Nick, dan hanyalah korban dari rencana yang dirumuskan oleh Cora. Arthur menyanggupi tantangan Sackett, dan bersiap membuktikan bahwa Frank juga terlibat dalam pembunuhan Nick. Dalam konteks hukum, relasi Frank dan Cora dikuras muatan afektifnya, dan direndahkan menjadi pion dari permainan catur para aparat hukum. Potensi kondisi keluarga di antara Frank dan Cora terlupakan sejenak, mengingat keduanya dipermainkan oleh Sackett dan Arthur sedemikian rupa, sehingga mereka saling mencurigai satu sama lain. Frank dan Cora tidak lagi punya kuasa atas prospek hubungan mereka ke depan. Hal tersebut terlukiskan dalam sekuens adegan antara menit 01:12:45 dan 01:19:57. Selama tujuh menit tersebut, Arthur menjelaskan pada Frank dan Cora bahwa, dengan jabatannya seorang jaksa wilayah, Sackett sengaja menekan Frank untuk tidak mempercayai Cora. Di sisi lain, Arthur juga mengakui bahwa dia menipu Cora untuk membuat pengakuan, agar dia bisa mengalahkan Sackett dalam taruhan mereka. Sekuens adegan di atas juga menunjukkan bahwa hukum terlalu korup untuk benar-benar membela kepentingan masyarakat. Hukum hanya

126

berpihak pada mereka yang punya kuasa, di mana kekuasaan tersebut berasal dari pemahaman tentang celah-celah yang ada di sistem hukum. Frank dan Cora tidak memiliki wawasan tersebut, sementara Sackett dan Arthur punya. Keluarga atau setidaknya keinginan untuk berkeluarga menjadi sesuatu yang sia-sia di hadapan hukum. Intervensi hukum terlalu kuat dan merampas kemampuan individu dalam berinisiatif. Kondisi keluarga antara Frank dan Cora diharuskan sesuai dengan hukum yang berlaku, yang para penegaknya juga tidak lebih baik moralitasnya dari Frank dan Cora. Konteks kedua adalah kegelisahan eksistensial Frank dan Cora. Konteks ini mulai muncul ketika konflik film, yang tadinya berada di tangan hukum, kembali lagi ke masing-masing individu. Frank dan Cora harus mengatasi kecurigaan mereka terhadap satu sama lain, untuk memperbaiki potensi kondisi keluarga yang ada di awal hubungan mereka. Rekontekstualisasi tersebut dipantik sejak sekuens di menit 01:24:46 sampai 01:27:26. Dalam sekuens tersebut, terkronologikan kembalinya Frank dan Cora ke Twin Oaks, setelah Arthur menang melawan Sackett di pengadilan. Pada akhir sekuens tersebut, terjadi perdebatan panjang antara Frank dan Cora. Cora ingin mengelola Twin Oaks sendirian, dan tidak peduli dengan apapun yang Frank akan lakukan. Frank di sisi lain tidak ingin pergi ke mana-mana, dan berniat menetap bersama Cora di Twin Oaks. Cora hanya mau menerimanya, asalkan Frank berperan sebagai karyawannya, bukan sebagai pasangannya. Relasi Frank dan Cora berubah dari relasi seksual ke relasi profesional. Perubahan tersebut dipantik oleh kegelisahan eksistensial masing-masing, dimana Frank merasa dirinya pantas menuai haknya sebagai pasangan Cora, sementara Cora sudah tidak lagi percaya dengan Frank sejak interaksi mereka di pengadilan. Terlihat ada kontras di antara pendefinisian mereka terhadap satu sama lain. Frank tidak mereduksi Cora sebagai titik nol, dan tetap memperhitungkan masa lalu yang telah mereka lalui bersama. Di sisi lain, Cora tidak lagi menganggap masa lalunya

127

bersama Frank, dan mendefinisikan ulang hubungannya dengan Frank sebagai relasi profesional. Di mata Cora, Frank adalah titik nol yang harus membuktikan dirinya lagi, melalui kinerjanya sebagai karyawan Twin Oaks. Harapan akan terciptanya kondisi keluarga di antara Frank dan Cora terletak pada tawar-menawar di antara keduanya. Dalam perspektif ini, cikal bakal kondisi keluarga antara Frank dan Cora merupakan sebuah transaksi kebutuhan. Transaksi kebutuhan antara Frank dan Cora semakin ditekankan pada adegan menit 01:28:49 sampai 01:29:15. Dalam adegan tersebut, Arthur kembali datang memperingatkan Frank dan Cora, kalau Sackett akan mengajukan komplain legal atas status mereka berdua. Keduanya tinggal seatap tanpa sertifikat pernikahan, dan Sackett siap menuntut mereka. Dalam adegan selanjutnya, Cora mengadakan pernikahan palsu dengan Frank, hanya demi mencegah serangan legal Sackett. Usai prosesi pernikahan dijalankan, Cora dengan santai bilang bahwa dia akan membingkai sertifikat pernikahannya dengan Frank di sebelah lisensi ijin menjual minuman keras milik Twin Oaks. Asosiasi pernikahan dengan kebutuhan finansial dalam The Postman Always Rings Twice pun semakin tajam tercipta. Tensi di antara Frank dan Cora mendadak menurun ketika Cora mendapat kabar kematian ibunya. Cora kembali ke kampung halamannya untuk berkabung, sementara Frank melampiaskan kekesalannya pada Cora dengan jalan-jalan bersama perempuan lain. Kematian ibunya membuat Cora lebih relaks dengan Frank, dan lebih menerima Frank dalam kehidupannya. Hal tersebut terlihat dalam sekuens di menit 01:35:00 sampai 01:40:33. Ketika itu, anak buah Arthur kembali mendatangi Twin Oaks untuk memeras Frank dan Cora, sembari mengancam ia akan membeberkan seluruh bukti pembunuhan Nick ke Sackett. Di luar dugaan, Frank dan Cora bisa bekerja sama mengatasi anak buah Arthur. Di satu sisi, kejadian tersebut menunjukkan bahwa kebetulan kebutuhan Frank dan Cora sama, yakni menghindari jeratan hukum untuk kedua kalinya,

128

sehingga mereka dapat klop bekerja sama. Kekompakan mereka terbentuk karena kebutuhan masing-masing, bukan karena kecintaan satu sama lain. Namun, dalam adegan selanjutnya, Cora terlihat gundah, karena dia tidak yakin akan nilai dirinya di hadapan Frank. Cora mengandung bayi Frank, dan dia merasa tidak layak hidup dalam kepura-puraan sebagai pasangan Frank. Kegelisahan Cora inilah yang menandakan bahwa relasi keduanya sudah beranjak dari profesional dan kembali ke afektif. Klimaks cerita pun terjadi pada adegan di menit 01:46:20, beberapa menit setelah Cora mengakui kalau dirinya mengandung. Sebelum adegan tersebut, Cora dan Frank kembali ke pantai dan berenang ke tengah laut. Di tengah laut tersebut, Cora menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Frank. Cora terlalu lelah untuk berenang kembali ke pantai. Dia pun meminta Frank untuk mengambil pilihan: meninggalkan dirinya sendirian di tengah laut, atau membopongnya kembali ke garis pantai. Frank melakukan yang kedua. Mereka mengakui satu sama lain kembali, dan mencapai kondisi keluarga yang mereka harapkan di awal hubungan mereka.

5. Interpretasi Kegagalan Hubungan Protagonis Babak ketiga film, yang berlangsung dari menit 01:47:18 sampai 01:52:50, berisikan tiga kejadian yang terjadi dalam tiga lokasi. Ketiga kejadian tersebut membentuk sebuah rangkaian yang tidak saja mengakhiri film, tapi juga mengakhiri hubungan Frank dan Cora secara tiba-tiba, tepat ketika hubungan keduanya mulai membaik. Kejadian pertama adalah sekuens adegan tabrakan mobil dari menit 01:47:18 sampai 01:48:29. Tabrakan tersebut terjadi setelah Frank dan Cora dalam perjalanan pulang dari pantai ke Twin Oaks. Dalam perjalanan, Frank bilang tidak sabar ingin mencium Cora, tapi siap menunggu sampai balik ke rumah. Namun, ketika Frank sedang melihat Cora, mobil mereka menabrak mobil lain. Frank selamat tapi Cora tewas seketika. Kematian Cora digambarkan melalui medium shot tangannya yang tergeletak, dan lipstik yang bergulir

129

Gambar B.12

Gambar B.13

jatuh dari genggamannya (Gambar B.12 dan B.13). Lipstik tersebut adalah lipstik yang sama ketika Frank pertama kali bertemu dengan Cora. Kejadian kedua adalah pengadilan Frank di sekuens menit 01:48:38 hingga 01:48:46, sekuens terpendek di babak ketiga. Dalam sekuens tersebut, terlihat Sackett mencoba meyakinkan juri bahwa kematian Cora bukanlah kecelakaan, tapi pembunuhan yang sudah direncanakan Frank. Menurut Sackett, Frank berniat menguasai Twin Oaks sendirian. Sekuens tersebut langsung membaur ke sekuens berikutnya di penjara, yang berlangsung dari menit 01:48:47 sampai film habis. Dalam sekuens tersebut, terlihat Frank mengaku dosa ke seorang pendeta, dan berharap Cora di surga sana paham bahwa ia tidak pernah berniat membunuhnya (Gambar B.14). Sackett kemudian masuk dan mengatakan bahwa kali ini dia tidak dapat membantu Frank (Gambar B.15). Kalaupun Frank bebas, dia harus kembali lagi ke penjara karena keterlibatannya dalam pembunuhan Nick. Frank mau tak mau harus menghadapi hukuman mati. Kondisi Frank yang tidak mungkin bebas

Gambar B.14

Gambar B.15

130

tergambar dari bayangan jeruji penjara yang mendominasi kedua adegan tersebut. Ketiga sekuens di babak ketiga menyiratkan adanya lingkaran takdir yang menghantui Frank dan Cora. Secara tragis, Cora tewas tepat ketika ia mencapai kondisi yang kondusif dalam hubungannya bersama Frank. Secara tragis juga, Frank dihukum mati atas kejahatan yang dia tidak lakukan. Kematian keduanya bisa dibaca dalam dua perspektif. Pertama, kematian mereka menjadi penebus dari pembunuhan Nick, yang mereka berhasil tutup dengan berbagai cara. Nyawa Nick dibayar dengan nyawa mereka sendiri. Pembacaan ini secara ekstrem moralis dan menempatkan karakter-karakter dalam relasi mata-ganti-mata yang simplisistis. Apabila diwujudkan ke dalam sebuah alegori, pembacaan ini dapat dibayangkan sebagai sebuah neraca, di mana Frank dan Cora berada di satu sisi, dan Nick di sisi lainnya. Pembunuhan Nick memberatkan posisi Frank dan Cora, sehingga neraca bergerak ke arah mereka. Kematian keduanya di akhir film menjadikan neraca kembali seimbang, dan tidak menyisakan siapapun. Semuanya impas di tangan takdir. Pembacaan kedua adalah melihat kematian protagonis sebagai pertanda bahwa basis moral hubungan keduanya tidak sah secara legal. Dibanding pembacaan pertama, pembacaan kedua menarik asosiasi yang lebih kompleks perihal kematian protagonis. Asosiasi yang dinalar adalah asosiasi antara pembunuhan Nick dan implikasinya terhadap Frank dan Cora. Sejak awal Frank dan Cora sudah salah dan dianggap membangkang di mata hukum. Alasan kenapa Frank tidak bisa keluar dari penjara, dan tidak bisa menawar hukuman mati, adalah karena tindakan kriminal yang ia lakukan supaya bisa bersama Cora, yakni membunuh Nick. Pembunuhan itu juga yang menjadi titik awal berkembangnya hubungan Frank dan Cora, dan mendefinisikan hubungan keduanya sepanjang progresi plot film. Singkatnya, pembunuhan Nick menjadi fondasi dari hubungan Frank dan Cora. Fondasi tersebut salah dan pada akhirnya tercium juga oleh hukum, dan konsekuensinya hubungan Frank dan Cora

131

pada akhirnya harus selesai juga. Kematian Frank dan Cora menjadi konsekuensi moral dari romantika keduanya yang melenceng secara legal.

C. Kiss Me Deadly (1955) 1. Latar Belakang Historis Kiss Me Deadly sejatinya merupakan satu bagian dari serial petualangan seorang detektif bernama Mike Hammer, yang ditulis oleh Mickey Spillane. Total ada 15 novel Spillane yang menceritakan tindak tanduk Hammer di dunia kriminal. Petualangan Hammer pertama kali dinikmati publik Amerika Serikat dalam novel I, The Jury, yang dirilis pada tahun 1947.148 Lanjutannya, My Gun is Quick, baru terbit pada tahun 1950. Novel tersebut menjadi awal dari periode produktif Spillane di awal 50-an. Sampai tahun 1952, Spillane menerbitkan empat novel petualangan Hammer lainnya: Vengeance is Mine!, One Lonely Night, The Big Kill dan Kiss Me Deadly. Banyaknya novel petualangan Hammer yang dirilis di awal dekade 50-an membuat publik Amerika familiar dengan karakter detektif tersebut. Saking populernya, Hammer diadaptasi menjadi sebuah serial radio oleh Mutual Broadcasting System. Serial tersebut dinamai The Hammer Guy, dan berlangsung selama dua tahun, dari 1952 sampai 1954. Ketenaran Hammer pun semakin memuncak. Dalam sejarah fiksi kriminal di Amerika, Mike Hammer bukanlah karakter detektif pertama yang menjadi bagian dari budaya pop masyarakat Amerika. Sebelumnya, ada Philip Marlowe dan Sam Spade. Marlowe adalah hasil kreativitas Raymond Chandler.149 Karakter tersebut muncul pertama kalinya di novel The Big Sleep tahun 1939, dan terakhir kalinya di Playback tahun 1958. Dalam periode 29 tahun tersebut, cerita petualangan Marlowe sudah diadaptasi jadi enam film layar lebar dan enam serial radio. Spade malah muncul lebih dulu dari Marlowe. Dia sudah ada sejak tahun 1930 lewat novel The Maltese Falcon karya
148

Rita Elizabeth Rippetoe. Booze and the Private Eye: Alcohol in the Hard-Boiled Novel. North Carolina: McFarland & Company, 2004, hal. 67. 149 Ibid., hal. 134.

132

Dashiell Hammett. Sejak kemunculan pertamanya hingga tahun 1941, petualangan Spade berlanjut dalam tiga cerita pendek dan tiga film panjang. Salah satu film tersebut adalah The Maltese Falcon tahun 1941, yang dianggap para sejarawan film sebagai film noir pertama. Kesuksesan Marlowe dan Spade di satu sisi menyiapkan audiens bagi kehadiran Hammer, yang hadir kurang lebih satu dekade setelahnya. Di sisi lain, Marlowe dan Spade menunjukkan transisi selera masyarakat Amerika, dari dekade 40-an ke dekade 50-an.150 Marlowe dan Spade menjadi idola pembaca Amerika pada jamannya karena idealisme kedua karakter tersebut. Sebagai seorang detektif, Spade banyak melihat korupsi dan kebusukan di lapangan kerjanya. Namun, Spade menghadapinya dengan logika, kepala dingin, dan keteguhan moral. Spade mampu menjaga integritasnya di hadapan masyarakat yang sedang mengalami kemerosotan. Marlowe sama saja, walau pembawaannya cenderung keras dan tanpa tedeng aling-aling. Di sela-sela profesinya sebagai seorang detektif, Marlowe banyak berkontemplasi soal kehidupan, main catur, dan baca puisi. Marlowe memiliki kekuatan mental dan aspirasi artistik tersendiri, walau profesinya mengharuskannya berhadapan dengan karakter-karakter yang keji moralitasnya. Karakterisasi Marlowe dan Spade cocok dengan pembaca Amerika tahun 1930-an dan awal 1940-an. Dalam periode tersebut, Amerika sedang mengalami depresi ekonomi besar-besaran. Kelas-kelas pekerja kehilangan lapangan pekerjaan mereka. Kelas menengah dan atas kehilangan pasar untuk memutar uang dari modus produksi yang mereka miliki. Kesejahteraan masyarakat turun drastis, sementara standar hidup naik sama drastisnya. Dirudung dengan masalah yang begitu besar, masyarakat Amerika kehilangan harapan dan kemampuannya untuk berharap. Di jaman yang pesimis tersebut, Marlowe dan Spade dapat merebut hati pembacanya. Kedua karakter tersebut menunjukkan bahwa

150

Tzvetan Todorov. The Poetics of Prose. Ithaca: Cornell UP, 1977, hal. 42-52.

133

integritas pribadi dapat terjaga, walau lingkungan sekitar menyajikan realita yang sebaliknya. Hammer datang di akhir tahun 40-an, waktu Amerika sudah mengatasi depresi ekonominya. Perekonomian negara sedang bagusbagusnya waktu itu, di mana lapangan pekerjaan menghasilkan penghidupan yang berlebih bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Masalahnya, seperti yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, masyarakat terlalu lelah mengikuti tuntutan untuk bertahan di persaingan ekonomi pasca perang. Para suami lelah harus terus-menerus kerja, dan para istri bosan menunggui rumah. Keduanya menginginkan kebebasan dari rutinitas sehari-hari mereka, namun tidak bisa karena tekanan dan tuntutan sosial yang mereka hadapi. Melalui karakterisasinya sebagai detektif yang menyelesaikan perkara dengan caranya sendiri, Hammer mewakili kebebasan eksistensial masyarakat Amerika yang terkekang oleh tekanan dan tuntutan sosial. Hammer tidak segan-segan

menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Dalam setiap cerita petualangannya, musuh minimal muntah-muntah kesakitan setiap dipukulnya. Paling parahnya, meninggal dunia dengan badan hancur, sehingga tidak bisa dikenali lagi oleh aparat hukum. Menariknya, Hammer diceritakan tetap dapat hidup sesuai keingannya, walau metodenya tidak direstui moralitas lingkungannya dan terbukti merusak kehidupan orang-orang di sekitarnya. Hammer adalah tuhan di semesta dunia kriminalnya. Popularitas dan familiaritas masyarakat Amerika terhadap Mike Hammer yang membuat studio United Artists berani memproduksi Kiss Me Deadly. Apalagi, setelah siaran radio cerita petualangan Hammer usai di tahun 1954, tidak ada media yang melanjutkan adaptasi novel-novelnya Mike Hammer. Adaptasi layar lebar menjadi strategi yang potensial bagi United Artists, karena tidak ada saingan yang membelah perhatian para penggemar Hammer. Belum lagi, pada dekade 50-an, masyarakat Amerika sudah terbiasa dengan sajian drama kriminal di layar lebar. Film

134

noir telah meresap di kesadaran kolektif masyarakat Amerika, sampai pada titik dimana orang merasa aneh kalau tidak ada film noir di bioskop. Berkat penonton yang mulai terbiasa tersebut, studio-studio film dapat merilis film noir dan mengharapkan pendapatan yang minimal bisa menutupi biaya produksi. Berdasarkan pemahaman mereka akan pasar film noir, United Artists memberi lampu hijau untuk produksi Kiss Me Deadly. Ada dua kelompok penonton yang United Artists bisa eksploitasi lewat Kiss Me Deadly: penggemar Mike Hammer dan penonton film noir. Dalam mengadaptasi novel Kiss Me Deadly, United Artist mengontrak A. I. Bezzerides untuk menerjemahkan bahasa verbal menjadi bahasa audiovisual. Bezzerides adalah seorang penulis naskah yang sebelum Kiss Me Deadly sudah punya kredit atas lima naskah film, yakni They Drive By Night (1940), Desert Fury (1947), Thieves Highway (1949), On Dangerous Ground (1952) dan Track of the Cat (1954). Tiga dari lima naskah tersebut merupakan naskah film noir, namun hanya dua yang akhirnya diproduksi jadi film noir. Berkat pengalamannya, Bezzerides tahu apa saja yang ia perlu lakukan untuk menghindari cegatan lembaga sensor. Ada dua keputusan yang ia ambil, yang nantinya akan mempengaruhi aspek formal dari film Kiss Me Deadly. Pertama, karakterisasi ulang Mike Hammer. Di novel, Hammer digambarkan keras dan tidak segan menggunakan kekerasan tanpa alasan. Untuk film, Bezzerides mendesain ulang Hammer sebagai detektif swasta yang oportunis, yang siap mengambil kasus apapun, asalkan ada keuntungan finansial yang bisa ia raup. Sifat oportunis tersebut Bezzerides tambahkan agar kekerasan Hammer terlihat lebih manusiawi di hadapan lembaga sensor. Kekerasan Hammer versi novel tidak bisa diterima oleh lembaga sensor, karena secara moral berseberangan dari visi lembaga sensor, dan kekerasan Hammer tidak pernah dalam cerita tidak pernah bisa terhentikan. Lembaga sensor mengkhawatirkan karakterisasi Hammer versi novel akan membentuk pesan moral yang buruk, yang menyatakan

135

bahwa kekerasan individual itu absolut dan tidak dapat dihentikan dengan cara apapun. Sebaliknya, kekerasan dengan motif finansial, walau secara moral juga berseberangan dari visi lembaga sensor, dapat diselesaikan dengan resolusi yang logis dalam cerita. Resolusi tersebut yang kemudian dapat dipakai lembaga sensor untuk menyampaikan pesan ideologis apapun yang ingin mereka sampaikan. Perubahan kedua yang Bezzerides lakukan adalah menambahkan bom atom sebagai motif cerita (plot device). Dalam novel Kiss Me Deadly, sama sekali tidak ada referensi bom atom. Bezzerides sengaja menambahkannya agar memastikan konflik yang Hammer hadapi tidak mungkin dilewati dengan tangan manusia belaka, dan sampai kapasitas tertentu menyudahi perdebatan soal moralitas Hammer. Di satu sisi, modifikasi Bezzerides bersifat teknis. Di hadapan ancaman bom atom, manusia tidak lagi terpengaruh oleh kegelisahan moral, tapi kegelisahan spesies. Sederhananya, orang tidak lagi peduli mana yang benar dan salah, asalkan dia selamat. Hal ini memberi Bezzerides daya tawar tersendiri di hadapan lembaga sensor, kalau-kalau modifikasi pertamanya tidak meloloskan naskah Kiss Me Deadly ke status layak produksi. Di sisi lain, modifikasi Bezzerides berkaitan erat dengan lanskap sosial jamannya. Bom atom secara efektif menggambarkan iklim politik tahun 50-an, yang didominasi oleh paranoia perang nuklir. Semua orang merasa terancam dengan perang nuklir, yang menurut rumor bisa terjadi kapan saja. Karena keterkaitannya dengan lanskap sosiol-politik jamannya, referensi bom atom dalam naratif Kiss Me Deadly menjadi faktor tersendiri yang mempengaruhi konstruksi keluarga dalam film tersebut.

2. Bom Atom, Naratif Nihilis dan Relasi Protagonis Ditilik dari strukturnya, Kiss Me Deadly adalah sebuah fiksi petualangan dengan protagonis Mike Hammer. Menurut Don DAmmassa, fiksi petualangan terdefinisikan oleh progresi plotnya yang

136

terjadi di luar kehidupan sehari-hari protagonisnya, dengan bahaya sebagai antagonis tetapnya.151 Kiss Me Deadly memenuhi standar DAmmassa tersebut. Dalam film, Mike Hammer diceritakan berprofesi sebagai detektif swasta yang mengusut kasus-kasus pernikahan, yang skala dan bayarannya sangat kecil. Pertemuannya dengan Christina membawa Hammer keluar dari rutinitas profesinya, dan mencoba mengusut mister di balik kematian Christina yang tiba-tiba. Usut punya usut, kematian Christina terkoneksi dengan campur tangan sejumlah pihak, yang saling berkonspirasi menjaga keberadaan dan kerahasiaan bom atom di tanah Amerika. Dalam petualangannya tersebut, Hammer berkali-kali terancam dibunuh, karena dia dianggap mengusik proyek rahasia negara. Kunci dari naratif Kiss Me Deadly adalah adegan protagonis menemukan bom atom di akhir petualangannya. Adegan tersebut mendefinisikan keseluruhan naratif film dan mengerucutkannya ke arah nihilis. Referensi bom atom dalam adegan tersebut merujuk pada kehancuran absolut, yang tidak mungkin terhindar oleh siapapun. Konsekuensinya: pencapaian dan relasi karakter tidak berarti apa-apa, mengingat pada akhirnya mereka akan hancur oleh sebuah bencana besar yang berada di luar kendali mereka. Nihilisme tesebut menutup setiap celah dalam Kiss Me Deadly yang memungkinkan penonton untuk mengaplikasikan interpretasinya. Naratif film tersebut adalah sebuah sistem tertutup yang menegasikan dirinya sepenuhnya. Dibandingkan dengan Double Indemnity dan The Postman Always Rings Twice, Kiss Me Deadly jauh lebih pesimis. Film karya Robert Aldrich tersebut menghancurkan semesta ceritanya sendiri, suatu hal yang tidak terjadi dalam Double Indemnity dan The Postman Always Rings Twice, dimana hanya karakternya saja yang terjebak dalam konsekuensi dari kriminal yang mereka lakukan, sementara dunia cerita tetap ada
151

Don DAmmassa. Encyclopedia of Adventure Fiction. New York: Infobase Publishing, 2009, hal. vii-viii.

137

seperti sedia kala. Di satu sisi, nihilisme dalam Kiss Me Deadly bisa dianggap sebagai perkembangan teknis film noir di tahun 50-an. Pada tahun 40-an, naratif film noir masih dalam fase mencari bentuk. Film-film seperti Double Indemnity dan The Postman Always Rings Twice mendefinisikan dan memantapkan teknik bercerita film noir. Pada tahun 50-an, naratif film noir sudah cukup mapan penggunaannya, sehingga beberapa pembuat film mulai melakukan perkembangan atau

penyelewengan dalam produksi film noir. Kiss Me Deadly adalah wujud konkrit dari perkembangan tersebut. Di sisi lain, nihilisme naratif Kiss Me Deadly mewakili perubahan lanskap sosial-politik Amerika di tahun 50-an. Selesai sudah jaman kegelisahan gender dan individual di tahun 40-an. Kegelisahan Amerika pasca perang tersebut kini sudah diganti dengan paranoia perang nuklir, yang merujuk pada suatu kondisi dimana kemanusiaan direduksi kembali ke titik nol. Paranoia perang nuklir mempengaruhi masyarakat Amerika sedemikian rupa, sehingga segala konsensus sosial dapat dinegasikan atas nama pragmatisme. Fenomena sosial tersebut yang tercerap ke dalam naratif Kiss Me Deadly. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mike Hammer versi film adalah seorang detektif swasta yang oportunis. Dia siap mengambil kasus apapun, asalkan ada keuntungan tersendiri yang dapat dia eksploitasi. Dalam Kiss Me Deadly, oportunisme Hammer terlihat ketika polisi memintanya untuk minggir dari kasus Christina. Hammer menolak, dengan alasan apabila banyak orang yang memintanya angkat kaki dari kasus Christina, berarti ada suatu hal berharga di balik kasus tersebut. Hammer siap merebutnya sebelum didahului orang lain. Oportunisme Hammer berpengaruh pada relasi-relasi yang ia jalani dengan lawan jenisnya. Bisa dibilang, petualangan Hammer dalam Kiss Me Deadly adalah satu rajutan panjang relasi-relasinya dengan semua perempuan yang ia temui sepanjang cerita. Perempuan-perempuan tersebut mewakili dan terlibat secara aktif dalam fase-fase petualangan Hammer, yang membawanya menuju penemuan bom atom. Masing-

138

masing perempuan memiliki ikatannya tersendiri dengan Hammer. Ada yang profesional, ada yang sentimental, ada yang profesional sekaligus sentimental, tapi tidak ada satupun yang terikat dengan protagonis dalam institusi keluarga, walaupun ada yang arahnya ke sana. Apabila dilihat secara makro, Kiss Me Deadly sama sekali tidak memberi tempat bagi keluarga dalam naratifnya. Ada rujukan ke suatu konsep keluarga, namun tidak ada perwujudan konkritnya dalam cerita. Selain itu, tidak ada karakter yang berkeluarga, tidak ada juga karakter yang berbagi rumah bersama pasangannya. Masing-masing karakter hidup sendiri dengan rencananya sendiri-sendiri. Rumah hanya menjadi tempat singgah bagi karakter di sela usaha mereka menyelesaikan konflik. Dalam beberapa adegan, rumah malah kehilangan kesakralannya sebagai ruang pribadi. Rumah dimasuki karakter-karakter seenaknya, dan menjadi lokus perkembangan konflik cerita. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada ceritanya rumah dipakai semestinya untuk keluarga. Film tersebut murni berkisar seputar petualangan seorang individu, di tengah orang-orang yang tidak kalah individualnya. Oleh karena itu, analisis tentang konstruksi keluarga dalam Kiss Me Deadly dapat dilakukan melalui identifikasi relasi karakterkarakternya. Lebih spesifiknya lagi, relasi Hammer dengan perempuanperempuan yang ia hadapi sepanjang petualangannya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, setiap relasi Hammer dengan perempuan mewakili satu fase dari petualangan yang terjadi di Kiss Me Deadly. Membahas masing-masing relasi tersebut sama dengan

mengkronologikan perkembangan konflik cerita, dan melihat bagaimana konstruksi keluarga terjadi dalam Kiss Me Deadly.

3. Christina sebagai Mediator yang Menghilang Pertemuan Hammer dan Christina terjadi sepanjang babak pertama film, tepatnya dari menit 00:00:40 sampai 00:10:20. Dalam periode sekitar sepuluh menit tersebut, keduanya bertemu secara tidak sengaja

139

(Gambar C.1), dan berhenti begitu saja ketika Christina dibunuh oleh suatu sindikat (Gambar C.2). Meski berakhir begitu cepat, pertemuan Hammer dan Christina bergaung sampai akhir film. Christina adalah satusatunya perempuan signifikan di mata Hammer. Dia adalah alasan Hammer rehat dari profesi sehari-harinya sebagai detektif perceraian. Misteri kematiannya terlalu menarik bagi Hammer, sehingga detektif tersebut rela berjibaku dengan polisi dan jaringan kriminal demi memecahkan misteri di balik kematian Christina. Bahkan ketika terlibat dalam relasi yang lebih pelik dengan dua perempuan lainnya, Hammer tetap memikirkan Christina. Dalam naratif Kiss Me Deadly, Christina berfungsi sebagai mediator yang menghilang (vanishing mediator). Maksudnya, Christina adalah sebuah batu penjuru yang menyatukan dua konsep yang berbeda,

Gambar C.3

Gambar C.1

Gambar C.2

dan menghasilkan sebuah konsep baru. Ketika akhirnya konsep baru tersebut terbentuk, keberadaan mediator tidak lagi dibutuhkan dan ia pun lenyap begitu saja. Pertemuan Hammer dan Christina adalah pertemuan dua konsep, yakni kehidupan seorang detektif kelas kakap dan konspirasi

140

negara di balik eksistensi seorang perempuan. Pertemuan kedua konsep tersebut menghasilkan petualangan Hammer memecahkan misteri kematian Christina, yang tentunya tidak melibatkan Christina sama sekali. Satu-satunya hal yang tersisa dari Christina adalah petunjuk-petujuk yang ia tinggalkan untuk Hammer. Posisi Christina sebagai mediator yang menghilang menjadikan naratif selalu merujuk pada titik mulai konflik. Perkembangan naratif selalu mengacu pada Christina dan kematiannya. Mengingat satu-satunya karakter yang punya pengaruh pada perkembangan naratif adalah Hammer, maka dapat dikatakan setiap tindakan mempunyai asosiasi tersendiri dengan Christina. Sampai film berakhir, Christina adalah masa lalu yang menghantui Hammer, yang tersirat dalam adegan antara menit 00:01:28 sampai 00:02:40, ketika naratif film hanya menyisakan suara desahan Christina dan gambar Hammer menyetir mobil, dengan kredit film bergulir turun perlahan-lahan (Gambar C.3). Suara lain, seperti suara mesin mobil dan suara radio, dikecilkan sehingga perhatian penonton hanya pada suara Christina dan gambar Hammer. Adegan tersebut yang menjadi acuan bagi penonton bahwa petualangan Hammer adalah mengejar gaung suara orang mati, yang berarti menegasikan masa sekarang demi masa lalu.

4. Lily sebagai Femme Fatale Lily adalah mantan teman sekamar Christina. Kematian Christina membuatnya dicurigai, dan dia terpaksa sembunyi untuk menghindari sindikat yang terlibat dalam kematian temannya. Sepanjang film, Lily bertindak sebagai perempuan rapuh yang mengharapkan perlindungan. Perlindungan tersebut yang ia harapkan ketika bertemu dengan Hammer. Di mata Hammer, Lily hanyalah seorang narasumber, satu langkah yang perlu diambil untuk mencapai tujuannya. Komitmen Hammer terhadap investigasi membuatnya tidak menanggapi pendekatan dan godaan yang Lily lancarkan. Konsekuensinya: tidak pernah ada potensi keluarga di

141

antara Lily dan Hammer. Namun, tanpa sepengetahuan Hammer, Lily punya rencana untuk kepentingannya sendiri. Rencana Lily tersebut baru ditunjukkan menjelang kematiannya di akhir film, yang kemudian menjelaskan siapa yang mendominasi siapa dalam relasi Lily dan Hammer. Berdasarkan aspek tersebut, Lily memainkan peranan femme fatale dalam naratif Kiss Me Deadly. Status Lily sebagai femme fatale terkonstruksi dalam tiga sekuens adegan, yang ketiganya melibatkan interaksi dengan Hammer. Pertama adalah sekuens adegan pertemuan mereka, yang terjadi antara 00:33:37 dan 00:36:15. Pembuka sekuens tersebut adalah medium shot tampak belakang Lily, yang terhalang oleh jeruji ranjang (Gambar C.4). Dari posisi kamera tersebut, terlihat Hammer masuk ke dalam ruangan, yang kemudian disambut oleh todongan pistol Lily. Baru setelah Hammer menjelaskan keadaannya, Lily menurunkan senjatanya, dan keduanya pun bicara. Rentetan kejadian tersebut menunjukkan dua elemen dari karakter Lily, yang nantinya akan dikembangangkan sepanjang naratif film. Elemen pertama adalah kondisi Lily yang terkekang, yang ditunjukkan oleh jeruji yang menghalangi pandangan penonton. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Lily terkekang oleh statusnya sebagai mantan teman sekamar Chrisitna, yang membuatnya dikejar terus menerus oleh sindikat yang membunuh Christina. Elemen kedua adalah ketidakseganan Lily membunuh orang untuk melindungi dirinya sendiri, yang ditunjukkan oleh senjata yang ia todongkan ke Hammer.

Gambar C.4

142

Dua sekuens adegan berikutnya, yakni antara 01:00:03 sampai 01:01:06 dan antara 01:02:13 sampai 01:04:08, mendefinisikan posisi rumah dalam Kiss Me Deadly. Dalam sekuens pertama, Lily ketakutan dan meminta perlindungan dari Hammer. Lily cerita kalau sindikat yang membunuh Christina mendatanginya malam-malam dan mengancamnya. Dia pun memohon Hammer untuk mencari tempat persembunyian baru untuknya, yang akhirnya Hammer kabulkan di sekuens adegan kedua. Rentetan kejadian tersebut menunjukkan bahwa rumah dalam naratif film hanyalah tempat yang signifikansinya bisa dibengkokkan sesuai kepentingan pemiliknya. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Lily berpindah rumah setiap kali dia merasa terancam, sementara Hammer hanya berada di rumah untuk

Gambar C.5

Gambar C.6

kepentingan kasusnya, mulai dari menyembunyikan narasumber sampai bertarung melawan sindikat yang membunuh Christina. Dua sekuens terakhir juga memberi petunjuk perihal peran Lily sebagai femme fatale. Sekuens pertama menghadirkan sosok Lily sebagai perempuan rapuh yang membutuhkan pertolongan (Gambar C.5). Dia terlihat ketakutan dan meminta pertolongan Hammer. Ketika Hammer mengabulkannya, Lily berubah drastis di sekuens kedua. Ia tidak menunjukkan ketakutan apa-apa, dan tiba-tiba mencium Hammer (Gambar C.6). Terkejut, Hammer hanya mendiamkan, keluar kamar, dan melanjutkan investigasinya. Kemudian, muncul sebuah close up yang membingkai wajah Lily. Ia tidak terlihat takut akan keselamatan nyawanya, tapi akan Hammer yang pergi meninggalkannya begitu saja 143

(Gambar C.7). Dari dua sekuens tersebut, penonton mendapati ada perbedaan motivasi dalam diri Lily. Satu-satunya yang tetap adalah rencana pribadi Lily, yang baru diketahui penonton di sekuens adegan antara 01:38:25 sampai 01:43:43. Sekuens tersebut berada di bagian menjelang akhir film, menjadi klimaks dari plot film, dan menegaskan posisi Lily sebagai femme fatale dalam naratif Kiss Me Deadly. Klimaks film dibuka oleh shot kaki seorang pria. Kamera kemudian naik ke atas dan menunjukkan wajah pria tersebut, yang ditemani oleh Lily di sebelahnya. Pria di sebelah Lily adalah kepala dari sindikat yang membunuh Christina. Dia adalah orang di balik pembunuhan Christina, yang ternyata dilakukan untuk menutupi keberadaan sebuah kotak yang berisikan materi radioaktif. Lily adalah kaki tangan pria tersebut. Lily sebenarnya tidak tahu barang apa yang

Gambar C.7

Gambar C.8

Gambar C.9

sedang dipegang oleh atasannya, namun dia menduga bahwa barang tersebut pasti berharga. Kalau tidak berharga, menurut rasio Lily, tidak mungkin banyak orang mati dalam pencarian barang tersebut. Lily pun membunuh atasannya. Setelah pembunuhan tersebut, Hammer datang.

144

Lily mengarahkan pistolnya ke arah Hammer, dan memaksanya untuk mencium Lily. Hammer mendekat, dan Lily pun menembaknya (Gambar C.8). Hammer terjatuh menahan kesakitan, sementara Lily hanya tersenyum dan membuka kotak yang ia pegang. Begitu dibuka, kotak langsung memancarkan gelombang panas radioaktif, yang membakar Lily dalam sekejap (Gambar C.9).

5. Velda Sebagai Potensi Keluarga yang Tak Terwujud Relasi Hammer dan Velda terdefinisikan dalam empat sekuens adegan. Sekuens pertama terjadi di kamar rumah sakit, antara 00:10:21 sampai 00:11:05, ketika Hammer pertama kali siuman usai diserang oleh sindikat yang membunuh Christina. Velda adalah orang pertama yang

Gambar C.10

Gambar C.11

Hammer lihat ketika membuka mata, sekaligus satu-satunya orang yang diijinkan masuk kamar tempat Hammer dirawat. Dengan kamera menyorot wajah Velda dalam medium shot, terdengar Hammer berkata, Youre never around when I need you. Velda pun membalas, You never need me when Im around (Gambar C.10). Kejadian-kejadian tersebut menyiratkan adanya keintiman dan pengakuan antara keduanya, yang menjelaskan kenapa Velda bisa berada dalam ruangan yang hanya bisa dikunjungi orang tertentu saja, dan dialog antara Hammer dan Velda yang merujuk pada suatu hubungan yang sudah dan sedang berlangsung. Keintiman dan pengakuan yang tersirat di sekuens pertama terkonfirmasi pada sekuens adegan 00:19:25 sampai 00:24:36. Mengambil tempat di apartemen Hammer, sekuens tersebut dibuka dengan Hammer

145

dan Velda berciuman (Gambar C.11), ditengahi oleh kedatangan seorang inspektur dari kepolisian (Gambar C.12), dan ditutup dengan Hammer memerintah Velda untuk mengumpulkan informasi soal Christina (Gambar C.13). Rentetan kejadian tersebut menjelaskan bahwa memang ada relasi afektif antara Hammer dan Velda, sekaligus menambah informasi bahwa keduanya terikat dalam relasi profesional. Velda adalah sekretaris pribadi Hammer, yang berarti keduanya terhubung dalam hubungan yang hierarkis. Velda menerima dan melaksanakan perintah

Gambar C.12

Gambar C.13

dari Hammer, tapi tidak bisa sebaliknya. Kedatangan inspektur polisi menyimbolkan intervensi yang akan mengganggu relasi Hammer dan Velda. Intervensi tersebut muncul karena pekerjaan Hammer sebagai seorang detektif, bukan karena relasi sentimental antara Hammer dan sekretarisnya. Hammer sendiri juga tidak terlalu menganggap perasaan Velda, melihat dia merespons kedatangan inspektur polisi dengan memberikan tugas pada Velda. Hammer lebih memprioritaskan relasi profesionalnya dengan Velda, ketimbang relasi afektifnya. Padahal, pada relasi afektif tersebut, potensi keluarga antara Hammer dan Velda tersemai. Dengan Hammer memerintahkan Velda di rumahnya sendiri, tempat yang sama di mana keduanya melakukan adegan romantis, semakin terpetakan bahwa relasi profesional Hammer dan Velda yang diprioritaskan. Relasi profesional itu juga yang penonton ikuti selama Kiss Me Deadly berlangsung, sementara relasi sentimental

146

hanya tersirat tanpa ada konfirmasi lebih lanjut. Keluarga atau kemungkinan tentangnya dipinggirkan atas nama pekerjaan. Prioritas akan relasi profesional memperoleh aksentuasi di sekuens adegan 01:04:52 sampai 01:09:44. Sekuens tersebut terjadi di apartemen Velda, di mana Hammer datang setelah menemui banyak jalan buntu dalam investigasinya tentang Christina. Tadinya tertidur, Velda bangun dan mendengarkan segala keluh kesah Hammer. Selama mendengarkan, Velda berbaring di paha Hammer, sementara Hammer duduk dan bicara dengan muka datar (Gambar C.14). Pose duduk keduanya sudah menunjukkan siapa yang mementingkan hubungan yang mana. Dialog keduanya berujung pada tugas investigasi lebih lanjut untuk Velda, yang mengharuskannya mendekati seseorang lelaki, supaya Hammer dapat mendapat informasi baru perihal kematian Christina. Sekali lagi, relasi profesional mengalahkan relasi sentimental, yang berarti juga meredupkan potensi keluarga antara Hammer dan Velda.

Gambar C.14

Gambar C.15

Klimaks dari hubungan keduanya terjadi di menit 01:44:04 dan 01:45:39, yang terjadi setelah klimaks plot Kiss Me Deadly. Dalam adegan tersebut, Hammer menyelematkan Velda, yang tersekap dalam rumah yang terbakar akibat materi radioaktif (Gambar C.15). Velda disekap oleh pihak-pihak yang melindungi rahasia negara, yang merasa terancam dengan investigasi Hammer. Penyelematan Hammer merupakan pertama kalinya dalam film dia mengesampingkan profesinya, dan memperlakukan Velda berdasarkan perasaannya. Selamatnya Velda memastikan bahwa potensi keluarga di antara mereka tetap ada. Namun,

147

Hammer dan Velda tetap menjadi sebuah potensi di akhir film, karena tidak ada petunjuk perihal masa depan keduanya. Satu-satunya petunjuk ke masa depan adalah keberadaan materi radioaktif di tanah Amerika, yang berarti suatu saat dunia cerita dalam Kiss Me Deadly bisa saja lenyap oleh suatu perang nuklir. Dalam perspektif tersebut, berarti Hammer dan Velda juga bisa lenyap kapan saja, yang membuat apapun yang mungkin terjadi di antara keduanya jadi tidak berarti.

D. Konstruksi Keluarga dalam Film Objek Penelitian 1. Konstruksi Pro-Keluarga Dirunut dari perkembangan naratifnya, ketiga film noir yang menjadi objek penelitian ini memiliki dua pola yang serupa. Pertama, naratif ketiganya mengambil sudut pandang protagonis laki-laki. Kedua, ketiga film tersebut memberi hukuman bagi karakter perempuan yang bertabiat buruk, dan melestarikan perempuan yang bertabiat baik. Dalam kasus ini, standar baik dan buruk yang dimaksud adalah peran tradisional gender, baik dalam film Hollywood maupun dalam kondisi sosial-politik Amerika. Perempuan baik didefinisikan berdasarkan komitmennya pada tanggung jawab domestik dan selanjutnya hubungan dengan lawan jenis. Tanggung jawab domestik dinilai lebih tinggi dari pada hubungan dengan lawan jenis, karena melibatkan sertifikasi legal, yang konsekuensinya menciptakan beban moral yang lebih tinggi dari sekadar relasi kasual. Dalam tiga film yang diteliti, femme fatale selalu mati di akhir film, walau dengan cara yang berbeda-beda. Phyllis mati ditembak protagonis laki-laki di Double Indemnity, Cora mati karena kecelakaan mobil di The Postman Always Rings Twice, sementara Lily mati karena kecerobohannya membuka kotak berisi materi radioaktif di Kiss Me Deadly. Sebagai karakter yang memegang ancaman ke institusi keluarga, kematian femme fatale merupakan suatu bentuk dukungan pro-keluarga dalam film noir. Ada kode moral tertentu yang melingkupi semesta cerita-cerita film noir,

148

yang juga melindungi institusi maupun potensi keluarga di dalamnya, sehingga siapapun yang melenceng dari kode moral tersebut akan mendapat ganjarannya. Kematian merupakan ganjaran yang absolut bagi femme fatale dalam film noir. Secara ideologis, kematian femme fatale merupakan bentuk konformitas film noir terhadap status quo yang coba dipertahankan pemerintah Amerika pasca perang. Selama Dunia II meletus, pemerintah Amerika menekankan pentingnya keutuhan keluarga, mengingat keluarga dilihat pemerintah sebagai cara terbaik mengajarkan ideologi negara terhadap generasi muda. Keluarga merupakan kendaraan ideologis pemerintah di level akar rumpun. Konformitas film noir terhadap status quo merupakan konsekuensi dari ketatnya pengawasan badan sensor film, yang sepanjang periode film noir banyak mengintervensi proses produksi dan penulisan naskah. Badan sensor memastikan banyak film noir tidak menyampaikan pesan ideologis yang salah kepada penontonnya. Kode moral dalam semesta cerita film noir tidak berlaku pada femme fatale saja, tapi juga protagonis laki-laki. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ketiga film yang menjadi objek penelitan semuanya menggunakan laki-laki sebagai pandangan cerita.

Konsekuensinya, ketiga film tersebut secara naratif merupakan pandangan laki-laki terhadap petualangan yang ia lewat, lingkungan yang ia tinggali, profesi yang ia jalani, dan hubungan interpersonal yang ia jalani. Sederhananya, film noir merupakan pandangan laki-laki tentang pekerjaan dan perempuan di Amerika pasca perang. Seperti yang sudah dijelaskan di Bab 2, Amerika pasca perang merupakan masa di mana laki-laki kembali ke dunia kerja setelah mengabdi di lapangan perang, yang mengakibatkan kembalinya perempuan ke urusan rumah tangga. Kembalinya laki-laki ke dunia kerja berarti juga kembalinya mereka memegang tanggung jawab mereka ke profesi yang mereka jalani, dan ke peran yang mereka pegang dalam penghidupan keluarga.

149

Pelencengan dari dua peran tradisional laki-laki menghadirkan ganjaran bagi protagonis film noir. Terlihat bagaimana, dalam tiga film objek penelitian, protagonis laki-laki selalu mendapat intervensi, dan pada akhirnya gagal mendapat yang ia inginkan dari petualangannya melibas institusi keluarga. Intervensi yang menghadang protagonis juga selalu datang dari pihak-pihak yang terkait dengan hukum. Dalam Double Indemnity, protagonis dihadang oleh detektif perusahaan asuransi, yang mengecek validitas setiap klaim asuransi yang diajukan ke perusahaan. Dalam The Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly, protagonis dihadang oleh pihak-pihak yang terkait dengan tatanan legal negara. Ketiga film tersebut menmbangun asosiasi antara keluarga dan hukum. Dalam film noir, melibas batas keluarga merupakan tindakan yang dapat dituntut dan digagalkan oleh hukum.

2. Konstruksi Anti-Keluarga Sementara keluarga adalah institusi yang disakralkan secara legal dalam film noir, rumah mengalami perlakuan yang sebaliknya. Dalam film noir, rumah selalu digambarkan sebagai lokus pembentukan keluarga yang problematis dan, sampai kapasitas tertentu, paradoksikal. Problematis, karena rumah dalam film noir kehilangan kemampuannya membatasi dan melindungi orang yang di dalam rumah dari ancaman yang berada di luar rumah. Rumah kehilangan privasinya, dan malah menjadi situs inisiasi sekaligus komplikasi dari konflik yang terjadi sepanjang film. Ketiga film yang menjadi objek penelitian punya caranya sendirisendiri dalam membingkai rumah sebagai sumber masalah. Dalam Double Indemnity, rumah konstan diterapkan pencahayaan Venetian blind, yang menjadikan rumah terlihat seperti penjara. Dalam The Postman Always Rings Twice, rumah merupakan lokasi perselingkuhan sekaligus

perencanaan pembunuhan. Seiring berkembangannya naratif film tersebut, rumah menjadi perwujudan dari status pernikahan palsu antara protagonis laki-laki dan femme fatale. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada rumah yang

150

ditempati oleh keluarga, mengingat film tersebut sama sekali tidak menampilkan relasi keluarga dalam bentuk apapun. Naratif Kiss Me Deadly membingkai rumah sebagai tempat yang mudah dimasuki oleh pihak asing, sehingga rumah dalam film tersebut menjadi lokasi yang konstan dijadikan tempat untuk konspirasi dan berkelahi. Tidak ada kesempatan bagi karakter-karakter dalam Kiss Me Deadly untuk menikmati rumah sebagai ruang yang aman dan positif. Dalam ketiga film noir yang diteliti, rumah adalah lokus yang dari sananya sudah bermasalah. Hal tersebut menjadikan konstruksi keluarga dalam rumah menjadi sesuatu yang nyaris mustahil. Rumah yang bermasalah menjadi motivasi bagi protagonis laki-laki dan femme fatale turun ke jalan, dan menjalani hubungan mereka di luar rumah. Rumah yang bermasalah juga yang menjadi motivasi keduanya untuk memutus ikatan mereka ke institusi keluarga, yang tercermin dalam rencana-rencana pembunuhan yang ada dalam film noir. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, setiap usaha pengingkaran batas institusi keluarga akan dihadapkan dengan intervensi legal. Intervensi legal tersebut yang pada perkembangannya menghalangi protagonis laki-laki dari

keinginannya, dan membawa femme fatale ke ajalnya. Keluarga dan potensi keluarga dalam ketiga film objek penelitian pada akhirnya selalu dinihilkan.

151

BAB V KESIMPULAN
A. Film Noir, Deviasi Konvensi, dan Konstruksi Keluarga Sebelum melakukan penelitian, penulis meyakini bahwa film noir adalah anomali dalam sejarah Hollywood. Secara kasat mata, film noir tidak menempatkan rumah dan keluarga sebagai solusi dari konflik cerita, berlawanan dengan yang sebelumnya dilakukan oleh film-film Hollywood. Selain itu, penulis melihat bagaimana film noir membangun femme fatale yang melabrak batas-batas karakter perempuan dalam film Hollywood sebelumnya, dan protagonis laki-laki yang tidak dikonstruksi secara heroik layaknya film-film Amerika biasanya. Ketiga elemen naratif film noir tersebut terjadi di saat pemerintah Amerika mempromosikan kehidupan komunal, dari level negara hingga keluarga, yang menjadi unit politis terkecil dalam kehidupan bernegara. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat meneliti elemen-elemen naratif film noir dalam suatu kerangka yang holistik, dan menjadikannya sebuah studi eksploratif dan tidak sekadar deskriptif perihal film noir. Setelah penelitian, penulis menemukan bahwa film noir pada jamannya ternyata memainkan dua peran. Pertama, film noir memang menjadi deviasi dari tradisi bercerita sinema Hollywood, seperti yang diyakini penulis sebelumnya. Film noir tidak saja tidak menempatkan rumah dan keluarga sebagai solusi dari konflik cerita, tapi juga mengkonstruksinya sebagai situs formasi dan komplikasi konflik cerita. Kehidupan domestik selalu menjadi prospek yang tidak menyenangkan bagi karakter-karakter film noir. Tidak pernah ditemukan adanya keluarga yang utuh dalam film noir. Protagonis laki-laki dalam film noir hampir tidak ada yang berkeluarga, sementara femme fatale selalu berusaha keluar dari keluarganya, yang secara visual kerap ditunjukkan sebagai suatu penjara yang mengekang. Di sisi lain, rumah dan keluarga disakralkan secara legal dalam film noir. Sakralisasi tersebut menjadikan film noir menjalani perannya yang kedua, yakni 152

sebagai konfirmasi terhadap status quo situasi sosial-politik jamannya. Dalam film noir, institusi keluarga tidak boleh diganggu, sehingga siapapun yang melabraknya akan mendapat ganjaran dari pihak-pihak penegak hukum. Petualangan protagonis laki-laki dan femme fatale dalam film noir selalu melabrak batas-batas kehidupan domestik dan institusi keluarga. Keduanya pun selalu mendapat ganjaran dalam wujud kematian, baik bagi salah satu dari mereka maupun keduanya. Melalui dua peran yang dijalankannya, film noir membangun suatu mitos tentang keluarga, yang berlawanan dengan tradisi bercerita Hollywood dan konsensus sosial-politik jamannya. Relasi protagonis laki-laki dengan karakter perempuan utama, yakni femme fatale dalam film noir, kontras dengan relasi sejenis dalam tradisi bercerita Hollywood sebelumnya. Romansa di antara lakilaki dan perempuan dalam film noir tidak pernah berakhir dengan pernikahan, dan tidak juga diasosiasikan dengan kondisi rumah yang ideal. Sebaliknya, film noir mengarahkan relasi lawan jenis ke rasa frustasi dan destruksi bagi para pelakonnya. Dalam film noir, rumah dan keluarga selalu direduksi menjadi sebuah potensi, yang pada akhirnya tidak pernah terwujud.

B. Kelemahan dan Saran Di atas hasil yang telah dicapai, penelitian ini masin mengandung kelemahan. Kelemahan ini berpangkap pada metode yang digunakan, yakni analisis struktur naratif, yang didasarkan pada study of poetics yang dirumuskan ulang David Bordwell sebagai metode analisis film. Analisis film berbasis poetics bertujuan membedah film melalui enam elemen dalam film, yakni detail (particulars), pola (patterns), tujuan (purposes), prinsip (principles) dan efek ke penonton (processing). Dalam konteks analisis berorientasi historis, yang diterapkan dalam penelitian ini, keenam elemen tadi menghubungkan film objek penelitan dengan lanskap sosial-politik pada jamannya. Untuk studi yang eksklusif pada satu genre, jenis, atau periode film, analisis berbasis poetics adalah metode yang ideal, karena menjelaskan dan memetakan relasi antara karakteristik produk-produk seni atau budaya pop dengan

153

perkembangan sosial-politik jamannya, atau sederhananya antara teks dan konteksnya. Masalahnya, analisis berbasis poetics tidak bisa memetakan relasi film dengan audiensnya secara komplit. Analisis berbasis poetics cenderung mengandaikan adanya audiens yang ideal bagi objek penelitiannya, karena hanya membahas tautan langsung audiens dengan film yang ditonton, seperti yang terjadi dalam penelitian ini. Kehidupan sosial penonton tidak terlalu diangkat tersentuh, karena tidak berkaitan langsung dengan modus naratif film objek penelitian. Konsekuensinya, efek konstruksi keluarga dalam film noir bagi audiens Amerika secara historis belum dapat dipastikan. Saran penulis adalah penelitian lanjut mengenai audiens film di Amerika Serikat dekade 40-an dan 50-an, masa di mana film noir muncul, eksis dan kemudian lenyap di Hollywood. Penelitian tentang audiens tersebut sebaiknya melihat posisi film noir di industri film secara umum, yang dapat membuka wawasan perihal lokasi pemutaran, tingkat penjualan tiket, dan demografi penonton film noir. Penelitian tentang audiens tersebut akan mengisi informasiinformasi yang tidak terangkat dalam penelitian ini.

154

DAFTAR PUSTAKA
____________. Harvard Law Review 61, 1948. Audi, Robert. Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 1999. Bennett, Tony. Outside Literature. New York: Routledge, 1990. Blaser, John. No Place for a Woman: The Family in Film Noir, yang bisa diakses di http://www.filmnoirstudies.com/essays/no_place.asp, 15 Mei 2010. Borde, Raymond dan Chaumeton, Etienne. A Panorama of American Film Noir, 1941-1953. San Francisco: City Lights Book, 1955. Bordwell, David. Poetics of Cinema. New York: Routledge, 2008 Borsodi, Ralph. Flight from the City. Charleston: Nabu Press, 1933. Bradbury, Malcolm. The Modern American Novel. Oxford: Oxford University Press, 1992. Brook, Peter. The Melodramatic Imagination: Balzac, Henry James, Melodrama, and the Mode of Excess. New Haven: Yale University Press, 1995. Browne, Nick. Refiguring American Film Genres. Los Angeles: University of California Press, 1998. Cameron, Ian. The Movie Book of Film Noir. London: Studio Vista, 1992. Chopra-Gant, Mike. Hollywood Genres and Postwar America. New York: I.B. Tauris, 2006. Connor, John dan Rollins, Peter. Why We Fought: Americas Wars in Film and History. Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008. Coontz, Stephanie. Marriage, A History: How Love Conquered Marriage. New York: Penguin Books, 2005 DAmmassa, Don. Encyclopedia of Adventure Fiction. New York: Infobase Publishing, 2009.

155

Dawson, Jonathan. British Sounds. Senses of Cinema, yang bisa diakses di 2005. Dickos, Andrew. Street with No Name: A History of the Classic Film Noir. Lexington: University of Kentucky Press, 2002. Dixon, Wheeler dan Foster, Gwendolyn. A Short History of Film. New Jersey: Rutgers University Press, 2008. Doherty, Thomas. The Code Before Da Vinci. Washington Post, yang bisa diakses di http://archive.sensesofcinema.com/contents/cteq/05/37/british_sounds.html,

http://my.brandeis.edu/news/item?news_item_id=105052&show_release_date=1, 22 Mei 2010. Dukore, Bernard. Dramatic Theory and Criticism: Greeks to Grotowski. Florence: Heinle & Heinle, 1974. Finler, Joel W.. The Hollywood Story, 3rd edition. London and New York: Wallflower, 2003. Hanson, Helen. Hollywood Heroines: Women in Film Noir and Female Gothic and the Female Gothic Film. New York: I.B. Tauris, 2006. Haut, Woody. Pulp Culture and the Cold War. London: Serpent's Tail, 1995. Hayward, Susan. Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd edition. Bury: St. Edmundsbury Press, 2000. Hewitt, Nicholas dan Rigby, Brian. France and the Mass Media. Houndmills: Macmillan, 1993. Hill, C.P.. A History of the United States, 2nd edition. Edward Arnold, Ltd.: London, 1966. Hoopes, Roy. Cain: The Biography of James M. Cain. Illnois: Southern Illnois University Press, 1987. Howe, Alexander N.. It Didn't Mean Anything: A Psychoanalytic Reading of American Detective Fiction. North Carolina: McFarland, 2008.

156

Irwin, John T.. Unless the Threat of Death is Behind Them: Hardboiled Fiction and Film Noir. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006.. Jacobs, Jane. The Death and Life of Great American Cities. New York: Modern Library, 1993. Kaledin, Eugenia. Mothers and More: American Women in the 1950s. Boston: Twayne Publishers, 1984. Kaplan, E. Ann. Women in Film Noir. London: British Film Institute, 1972. Krutnik, Frank. In a Lonely Place: Film, Genre, Masculinity. London: Routledge, 1991. Landy, Marcia. Imitations of Life. Detroit: Wayne State University Press, 1991. Lally, Kevin. Wilder Times: The Life of Billy Wilder. New York: Henry Holt & Company, 1996. Leff, Leonard J. Dame. The Kimono Hollywood, censorship, and the production code from the 1920s to the 1960s. New York: Grove Weidenfeld, 1990. Leibman, Nina C.. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television, 1989. Mayer, Geoff dan McDonnell, Brian. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood Publishing Group, 2007. McKee, Robert. Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of Screenwriting. New York: Harper-Collins, 1997. McLaughlin, Steven. The Changing Lives of American Women. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1988. Monaco, James. How to Read a Film. Oxford: Oxford Universtiy Press, 2000. Monaco, James. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rivette. Oxford: Oxford University Press, 1977.

157

Naremore, James. More Than Night: Film Noir in its Contexts. Berkeley: University of California Press, 1998. O'Brien, Geoffrey. Hardboiled America: Lurid Paperbacks and the Masters of Noir. New York: Da Capo Press, 1997. Palmer, R. Barton. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996. Polan, Dana B.. Blind Insights and Dark Passages: The Problem of Placement in Forties Film. Velvet Light Trap, edisi 20, 1983. Porfirio, Robert G.. No Way Out: Existential Motifs in the Film Noir. Sight and Sound, vol. 4, no. 45, 1976. Rippetoe, Rita Elizabeth. Booze and the Private Eye: Alcohol in the Hard-Boiled Novel. North Carolina: McFarland & Company, 2004. Russell, Catherine. Narrative Mortality: Death, Closure and New Wave Cinemas. Minneapolis: University of Minnesota, 1995. Sallis, James. Difficult Lives: Jim Thompson, David Goodis, Chester Himes. New York: Gryphon Books, 1993. Server, Lee. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American Paperback: 1945-1955. San Francisco: Chronicle Books, 1994. Sikov, Ed. On Sunset Boulevard: The Life and Times of Billy Wilder. New York: Hyperion, 1998. Silver, Alain dan Ward, Elizabeth. Film Noir. London: Secker and Warburg, 1992. Silver, Alain dan Ward, Elizabeth. Film Noir: An Encyclopedic Reference to the American Style. New York: The Overlook Press, 1992. Smith, Bonnie. Changing Lives: Women in European History Since 1700. Lexington: D.C. Heath, 1989 Stankowski, Rebecca House. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture, Ver. 9, No. 1, 1986. Thomas, Deborah. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male. CineAction!, 1986. Todorov, Tzvetan. The Poetics of Prose. Ithaca: Cornell UP, 1977.

158

Totaro, Donato. Andre Bazin Revisited, Part 1: Film Style Theory in its Historical Context, yang dapat diakses di

http://www.horschamp.qc.ca/new_offscreen/bazin_intro.html, 31 Juli 2003. Wertheimer, John. Mutual Film Reviewed: The Movies, Censorship, and Free Speech in Progressive America. American Journal of Legal History. Temple University, 1993.

159

Anda mungkin juga menyukai