Anda di halaman 1dari 12

Arti Penting Menemukan Identitas Diri Salah

Seorang Mahasiswi Universitas Indonesia

Disusun oleh :
Pinkan Rafa Shakila
2306160634
Ilmu Komunikasi

Pengantar Antropologi Sosial


Universitas Indonesia
Depok, Jawa Barat
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Globalisasi membawakan bentuk perubahan secara menyeluruh di seluruh dunia yang hampir
menyentuh segala bentuk aspek kehidupan yang dimulai dari ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan
kemudahan yang ditawarkan modernisasi secara digitalisasi, masyarakat mendapatkan akses untuk
mendapatkan dan memberikan informasi dengan mudah. Dengannya kemudahan akses ini, masyarakat
menggunakannya dalam berbicara mengenai hak seorang manusia, salah satunya adalah hak dalam
mengidentifikasi gender pada diri sendiri.
Remaja masa kini dikenal akan sifatnya yang ekspresif. Dalam bentuk berkarya, berbicara hingga
bersuara. Salah satu isu yang sedang marak dibicarakan adalah genderisasi. Gender sendiri merupakan sifat
dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.
Tentunya isu ini menimbulkan banyak pendapat secara pro maupun kontra, dari anak muda hingga orang tua.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi pada komunitas LGBTQ+ yang bergerak menyuarakan akan hak gender
dan perlakuan setara hingga pengakuan di mata masyarakat?
Pada makalah ini, saya ingin mengangkat topik mengenai genderisasi sebagai bentuk rasa penasaran
akan masalah yang terjadi pada seorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai salah satu bagian dari LGBTQ+
dan memperluas wawasan sehingga ketika seseorang mempertanyakan hal ini, saya dapat menjelaskan sesuai
wawancara saya yang menggunakan pendekatan komparatif dan holistik yang mengedepankan sikap terbuka
akan suatu perbedaan tanpa menghakimi suatu isu.

1.2 Tujuan Penelitian


● Mengetahui bagaimana narasumber dapat mengidentifikasi gendernya
● Kesulitan-kesulitan yang dihadapi seorang yang merubah identitas gendernya di masyarakat
● Pergerakan yang dapat dilakukan untuk mengkampanyekan LGBTQ+
BAB 2
TENTANG NARASUMBER

2.1 Biodata Pribadi


Wawancara ini dilakukan dengan narasumber seorang mahasiswa baru Universitas Indonesia, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik yang berumur 18 tahun. Saya memilihnya dikarenakan Ia memiliki personalitas yang
unik dalam mengekspresikan diri dan dapat menjelaskan mengenai LGBTQ+ dengan baik ketika seseorang
mengangkat isu mengenai gender dan seksualitas dalam suatu perbincangan. Di sisi lain, Ia selalu bangga akan
identitas yang ia bawa sebagai Non-Binary1. Ia akan senang hati memperkenalkan dirinya dan pengetahuan yang
Ia dapat ketika memperdalam pengetahuannya mengenai genderisasi ini.

2.2 Mengenai Keluarga dan Lingkungan Narasumber


Narasumber saya dibesarkan di nuclear family2 dengan ajaran Kristiani yang sebagian besar keluarganya
termasuk jenis konservatif dimana dibuktikan bahwa selama 12 tahun, narasumber saya menjalani sekolah
swasta katolik. Sekolah swasta ini sendiri mengasosiasikan siswanya untuk berkegiatan secara aktif di gereja
sebagai umat yang taat. Kebiasaan inilah yang memperkenalkan narasumber saya dengan adanya Gender Roles3
dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan narasumber saya.
Dengan banyaknya stereotip gender dimana perempuan lebih dikenalkan pada pakaian yang
berbentuk gaun, maupun perkenalan dengan warna pink hingga bermain dengan boneka barbie yang identik
akan permainan anak perempuan. Terdapat beberapa momen dimana narasumber tidak ingin menggunakan
pakain yang identik perempuan, ada kejadian dimana Ia tidak ingin bersikap lemah lembut atau sikap yang
biasanya dilakukan oleh seorang perempuan. Beberapa pertanyaan ini mulai bermunculan hingga akhirnya
mempelajari mengenai Gender. Definisi gender menurutnya sendiri adalah dimana suatu hal yang dapat kita
eksplor untuk memahami diri sendiri. Hal yang dapat kita pelajari tanpa takut akan sifat kaku-nya.

1
Genderqueer atau Non Binary adalah istilah identitas gender yang tidak merujuk secara spesifik pada salah satu gender
seperti perempuan atau laki-laki
2
Nuclear Family adalah istilah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak
3
Gender roles adalah istilah tugas dan kegiatan yang ditugaskan oleh suatu budaya setiap jenis kelamin
BAB 3
CERITA PENGALAMAN

3.1 Masa Pengenalan Gender


Narasumber dibesarkan akan sikap feminim dan disosialisasikannya gender role dalam aktivitas
sehari-hari. Sehingga melekatnya stereotip tersebut dari TK hingga SD. Pada saat duduk di bangku sekolah
dasar, narasumber sudah dapat merasakan bahwa ada hal yang ia rasakan mengenai penyebutan ini, Ia tidak
suka ketika disebut sebagai “perempuan” dengan ketentuan gender yang melekat pada sebutan itu. Dia
menambahkan latar belakang keluarganya yang berasal dari Jawa menambah tuntutan untuk menjadi
“perempuan yang lembut”.
Ia memberikan detail berupa perempuan dituntut untuk lembut, perempuan harus bertutur kata yang
baik dan berperilaku sopan. Stereotip yang melekat pada pikirannya ini menjadi nilai-nilai sikap yang ia
lakukan setiap hari. Hingga terdapat masa Ia menolak segala hal berupa warna cerah yang diasosiasikan
sebagai perempuan. “Warna kan ga punya gender”, ucapnya.
Salah satu momen SMP menjadi puncak. Saat itu Ia memerankan salah satu bagian saat penampilan
menari sebagai “laki-laki”, maka dari itu penampilannya dibentuk seperti laki-laki secara totalitas, Ia
memotong rambutnya hingga pendek. Dengan gaya rambut pendek dan pakaian celana, Ia puas dan nyaman
dengan penampilan maskulin ini. Namun Ia tahu bahwa keluarganya pasti menentang akan penampilan yang
Ia sukai. Maka dari itu, kembalilah bentuk penampilan perempuan seperti yang diinginkan keluarga, walau Ia
harus mengorbankan “jati diri” yang ia senangi.
Cerita mengenai gender belum selesai disitu. Isu ini mulai diangkat lagi di keluarganya ketika awal
masuk COVID dimana terdapat berita mengenai homophobia4 yang terjadi di berbagai wilayah. Tentunya
narasumber mengikuti alur para keluarga mengenai isu itu, bahwa hal itu salah. Ia mengidentifikasinya sebagai
lawan karena LGBTQ+ penuh isu dan banyak masalah hingga menolak eksistensinya.
Narasumber mulai mempelajari perasaan yang ia rasakan mengenai feminisme dan masculinity ini dan
terdapat beberapa orang merasakan hal yang sama. Ia sadar bahwa, Ia telah menjadi salah satu bagian
LGBTQ+. Momen ini dikarenakan salah satu content creator di Indonesia, yang mengalami perubahan perasaan
akan gender yang kerap terjadi pada dirinya. Kesamaan akan perasaan itulah yang menyadarkan narasumber.
Awal dugaan, Ia mengira dia adalah androgyne5. Dikarenakan dia mengalami masa dimana Ia
membenci barang-barang dengan status perempuan, Ia mengalami ini selama dua tahun. Hingga satu momen
dia memahami lebih dalam bahwa Ia tidak menolak akan tubuh perempuan, dan tidak membenci feminim

4
Homophobia istilah bentuk penolakan atau kebencian terhadap sekelompok orang yang mengidentifikasi diri mereka
sebagai bagian dari LGBTQ+
5
Androgini istilah untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin di waktu yang
bersamaan
sepenuhnya. Pada masa SMA, Ia memulai menerima bahwa Ia tidak selamanya ingin maskulin, dan kadang
ingin memakai hal feminim. Ia menerima kedua sisi dan identitas sebagai genderfluid6.
3.2 Tantangan yang Dihadapi setelah Mengidentifikasi Gender
Banyaknya tanggapan yang negatif setelah ia mengekspresikan dirinya di Internet maupun keluarga.
Ia mengatakan bahwa mungkin secara langsung tidak menunjukkan kepada mereka, tapi Ia yakin mereka
sudah mengasumsikannya sendiri dan Ia tidak peduli karena Ia bahagia dapat menjadi dirinya sendiri.
Banyaknya respon di Internet mengenai data dan komentar negatif yang meng invalidasi bahwa non-binary
adalah hal yang jarang dan tidak normal tentang gendernya.
Dirasakannya perjuangan sendiri ditambah pada saat itu sedang pandemi dimana Ia merasakan
kesepian dalam perjuangan selama Ia mengidentifikasi gender barunya ini. “Gue merasa, gue berjuang sendiri”
ucap dari narasumber. Ketika Ia mencoba edukasi mengenai hetero7 maupun cisgender8 ke keluarganya mengenai
queer community9 tidaklah harmless dan sebaliknya mereka membutuhkan bantuan. Banyaknya hate crimes10 dan
diusirnya dalam suatu keluarga dikarenakan identifikasi gendernya. Peristiwa tersebut menjadi salah satu alasan
komunitas LGBTQ+ ini memperjuangkan haknya untuk diakui keberadaannya dan tidak dibedakan dalam
segala hak yang seharusnya didapatkan sebagai masyarakat yang bebas dan berkeadilan.
Dia melakukan berbagai cara untuk memperluas wawasan kenalan terdekatnya mengenai berita-berita
yang memang terjadi dalam dunia queer community ini, namun tetap saja banyaknya tanggapan negatif yang
terus dihadapi dari keluarga terdekat. “Gue mulai putus asa, gue nyerah disitu benar-benar the lowest point of my life”
ucap Narasumber. Dapat dikatakan isu ini memberikan dampak hingga pada bentuk psikologis seseorang.
11
Ia juga mengalami gender dysphoria dan body dysmorphia12. Saat itu Ia bersama laki-laki sebagai
pacarnya, namun tidak didukungnya validasi identitasnya. Serangkaian masalah selama 3 tahun dalam
memperkenalkan identitas barunya dipenuhi dengan struggle hingga Ia merasa tidak ada pegangan hidup. Sejak
saat itu, banyaknya tantangan dihadapi hingga momen ini Ia menerima segala kesulitan yang dihadapi.

3.3 Menjalani Kehidupan Setelah Mengenal Jati Diri

6
Genderfluid adalah istilah yang menggambarkan individu yang merasakan perubahan atau variasi dalam identitas gender
mereka dari waktu ke waktu
7
Hetero adalah ketertarikan romantis kepada orang yang berbeda jenis kelamin sebagai pasangan gender
8
Cisgender adalah identitas gender oleh masyarakat sesuai dengan jenis kelamin saat lahir
9
Komunitas LGBTQ+
10
Hate Crimes, tindak pidana atau kejahatan bermotif prasangka yang muncul ketika pelaku menyasar memilih korban
yang berdasarkan keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu
11
Gender dysphoria adalah penderitaan yang dirasakan oleh seseorang akibat dari seks dan gender yang diberikan kepada
mereka saat lahir
12
Body Dysphoria adalah sebuah gangguan mental yang membuat korban mengalami kecemasan berlebih atas obsesi
terhadap suatu bagian tubuh maupun penampilan cacat
Dibalik segala tantangan yang narasumber hadapi, dengan kesadaran penuh, Ia tidak peduli dengan
omongan siapapun mengenai eksistensinya yang “salah” di mata masyarakat. Hal yang menjadi point penting
menurutnya adalah ketika Ia nyaman akan identitas, konsep kompleksitas dan komunitas serta cara Ia
mengekspresikan dirinya sendiri. Ia merasa itu adalah urusannya apa yang Ia sukai dan lewati.
Di FISIP sendiri diberikannya fasilitas untuk menyuarakan mengenai Genderisasi. Ia akan mengambil
mata kuliah mengenai Gender yang ada pada bidang Sosiologi sebagai salah satu cara Ia menghadapi
tantangan yang Ia lalui. Masa-masa kesulitannya ini digunakan untuk menulis hal fiksi maupun non-fiksi
hingga mengikuti suatu proyek kelompok yang dipimpin olehnya dalam karya mengenai Gender ini.
Banyaknya karya yang Ia tulis hingga kirimkan ke situs GAYa Nusantara mengenai Non-Binary.
Sekarang Ia dengan aktif menyuarakan mengenai isu gender. Salah satu buktinya berupa aktifnya Ia di
lingkungan FISIP dalam menyebar informasi topik Gender ini kepada teman-teman, sahabat hingga orang
asing yang mungkin tertarik dalam menukar pendapat terkait isu-isu yang hangat di dunia sekarang. Tentunya
ini merupakan salah satu cara dan proses yang Ia lakukan untuk menghadapi rasa “sendirinya” sebelumnya. Ia
ingin menebarkan perasaan bahwa di dunia ini kalian tidak sendiri dan kalian bisa menunjukkan jati diri kalian
yang sebenarnya kalian inginkan.

3.4 Pendapat mengenai Identitas Gender pada Stratifikasi Gender


Pendapatnya dalam sudut pandang feminis Non-Binary, Ia melihat hal yang disuarakan terhadap
perempuan tidak mendapatkan hak yang setara dikarenakan ketidaksetaraan hak perempuan dibandingkan
laki-laki dalam segi ekonomi, sosial hingga politik. “Terutama ketika melihat Indonesia masih konservatif
banget di dalam rumah tangganya” Ucapnya. Masih dirasakannya posisi yang sangat di bawah untuk didengar,
Ia menambahkan beberapa cara berupa mengangkat isu perempuan terlebih dahulu yang nantinya akan
membawa isu Non-binary nya.
Contohnya terdapat berita ketika seorang mahasiswa mengaku sebagai Non-binary, dapat dipastikan
99% berisikan dengan tanggapan negatif. Terdapat berita lainnya di salah satu Universitas ternama di
Indonesia yang mengeluarkan peraturan dimana tidak diperbolehkannya seseorang memasuki suatu Fakultas
jika Ia mengidentifikasi dirinya bagian dari LGBTQ+ ini. Tentunya peraturan ini sangatlah merugikan,
beberapa pihak yang tentunya merasa perlunya peningkatan menyuarakan isu ini karena intimidasi terus
diberlakukan oleh masyarakat.
Ia merasa bahwa komunitas ini tidak diakui oleh negara, pancasila, undang-undang hingga konstitusi
negara. Ia merasa hal ini tidak etis dikarenakan, seharusnya mereka memiliki Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam kebebasan. “Katanya ingin meninggikan HAM, mau memperjuangkan HAM, mau mengagung-agunkan HAM.
Tapi untuk merealisasikan hal itu, masih ada kata ‘tapi’”, ucap narasumber.
Sulit untuk berharap bahwa negara peduli akan isu ini, dikarenakan masih banyaknya pekerjaan yang
harus negara selesaikan. Seperti isu gender ini berada di akar-akar dalam budaya, namun di permukaan masih
banyaknya hal harus dibereskan. Hal ini mungkin bisa dihadapi ketika generasi Z mengambil alih separuh
struktur untuk memulai perubahan mengenai gender ini.
Penerapan ini bisa saja terjadi, terbukti di lingkungan FISIP. Dimana para dosen-dosen terbuka akan
pemikiran baru ini, tanpa memberikan suatu tanggapan negatif mengenai komunitas LGBTQ+ ini. Orang tua
yang diasosiasikan memiliki pemikiran yang konservatif, namun dosen FISIP sangat terbuka mengenai
perbedaan akan masalah gender ini. “Gue berharap Indonesia bisa menjadi seperti FISIP ini”, ucapnya.

3.5 Harapan mengenai Isu Gender di Indonesia


Narasumber melanjutkan harapannya secara umum, masyarakat dapat memulai belajar dan menerima
bahwa eksistensi komunitas ini. Untuk Indonesia sendiri mungkin masih sulit untuk diangkat secara luas
mengenai masalah ini, dikarenakan masih banyaknya isu-isu yang lebih penting perlu dibahas untuk kemajuan
negara. Namun. Mungkin suatu hari terdapat kesadaran dimana mulainya pembahasan terkait isu ini hingga
tuntas dan masyarakat mulai terbuka akan perbedaan ini.
Harapan lainnya diucapkan berupa. “Banyak orang-orang di luar sana yang bagian dari queer community yang
merasa mereka berjuang sendirian”. Seperti tantangan yang diucapkan sebelumnya, banyak tanggapan negatif
hingga hate crimes terjadi hampir kepada seluruh anggota komunitas ini.
Narasumber kerap mengucapkan terima kasih kepada pendahulu, yang dimana telah
memperjuangkan isu ini sebelum ia terjun lebih dalam. Seperti salah satu pencetusnya Marsha P. Johnson,
tokoh trans yang menjadi aktivis gender dan seksualitas berupa aksi demo di Amerika. Ia menjadi salah satu
tokoh inspiratif hingga narasumber merasakan bahwa adanya harapan yang masih ia dapat gapai dan
diperjuangkan.
Terakhir, narasumber menyatakan harapan bahwa masyarakat dapat menerima dan menghargai
komunitasnya. “Kita juga manusia, kita juga punya hak hidup dan hal ini tidak dapat dihilangkan dengan satu seruan
tobat”, ucapnya.
BAB 4
REFLEKSI PENGETAHUAN

4.1 Materi Gender


Bagaimana seorang manusia mengetahui jenis kelamin dan gender nya?
Masyarakat masa kini melakukan identifikasi dirinya sendiri dari segi jenis kelamin, gender, hingga
orientasi seksualnya. Seperti yang dipelajari dalam materi Gender pada buku Kottak, perilaku yang dilakukan
ini merupakan bentuk dari ekspresi seseorang mengenai nature (kecenderungan hal biologis) dan nurture
(berasal dari lingkungan). Tindakan ini berlaku dikarenakan proses manusia dalam suatu lingkungan dan rasa
ingin tumbuh dan berkembang.
Beberapa hal yang menjadi mispersepsi jika sedang membahas Gender adalah definisinya sendiri yang
kerap kali tertukar dengan Sex. Sex sendiri memiliki pengertian dalam perbedaaan seseorang laki-laki dan
perempuan dari lahir berupa perbedaan kromosom tubuh. Hal ini disebut dengan Sexual Dimorphism,
perbedaan pada biologi pria dan wanita selain perbedaan di payudara dan alat kelamin. Perbedaan ini tidak
hanya terletak pada alat kelamin maupun organ reproduksi namun terdapat juga pada hal sekunder berupa
payudara, suara, hingga distribusi rambut.
Jika jenis kelamin dikategorikan sebagai hal yang biologis maka gender cenderung sebutan yang
diberikan suatu budaya mencakup keseluruhan terhadap diri seseorang yang dimana terbiasa ditanamkan pada
pria dan wanita. Jadi, gender adalah konstruksi budaya apakah seseorang adalah perempuan, laki-laki atau
lainnya.
Gender sendiri sudah melekat pada budaya yang dapat dilihat dari penggunaannya dalam
menganalisis pekerjaan yang dilakukan seseorang, yang biasa disebut Gender Roles. Peran gender ini adalah
tugas atau aktivitas yang ditetapkan oleh suatu budaya berdasarkan gendernya. Karena budaya inilah muncul
suatu stereotip yang melekat pada pemikiran masyarakat. Perbedaan ini membawa suatu stratifikasi dalam
gender sehingga terwujudlah ketidakadilan dalam suatu aspek. Seperti, kerap kali wanita dibatasi dalam suatu
aktivitas dikarenakan memiliki kekuatan yang lemah, banyaknya posisi yang lebih mengutamakan laki-laki
dikarenakan suatu pola pikir bahwa pria dapat melakukan segalanya dibandingkan wanita.
Terdapat pula perbedaan dalam perubahan jati diri seseorang dalam bentuk jenis kelamin dengan
gender. Intersex refers to biology, while transgender refers to an identity that is socially constructed and individually performed
(Butler 1988; 1990; 2015). Jadi, dapat diketahui bahwa jika terdapat perubahan penampilan pada seseorang
secara fisik maupun biologi maka disebut dengan intersex. Namun apabila terjadi perubahan secara
kepribadian atas kepercayaan dalam diri hingga merubah penampilan dalam bentuk gaya maka disebut sebagai
transgender.
“The biological nature of men and women [should be seen] not as a narrow enclosure limiting the human organism, but
rather as a broad base upon which a variety of structures can be built” (Friedl 1975, p. 6)
Keadaan dimana seseorang sadar akan perasaan hingga tindakan yang tidak sesuai dengan jenis
kelamin ketika Ia dilahirkan dan mendefinisikan sebagai sebutan perempuan, laki-laki atau yang lain maka
disebut dengan gender identity atau identitas gender. Namun apabila terdapat perbedaan dalam rasa ketertarikan
dari lawan jenis yang seharusnya maka disebut dengan sexual orientation. Dimana seorang pria yang
mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki tetap dapat menyukai perempuan atau laki-laki sesuai dengan
ketertarikannya.

4.2 Wawasan Baru yang Didapatkan (pengertian LGBT, jenis gender, perasaan)
Pada buku Kottak sendiri dijelaskannya suatu konsep perbedaan antara gender dan seksualitas di
masyarakat. Pada wawancara kemarin, saya mempelajari lebih dalam mengenai komunitas LGBTQ+ yang
memiliki konsep dasar gender dan seksualitas ini. Pengetahuan ini menyebar luas dikarenakan banyaknya jenis
dan sebutan atau istilah yang membedakan satu dengan yang lainnya.
Dimulai dengan definisi LGBTQ+ ini berdiri dari Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan
Queer/Questioning, berikut penjelasannya:
1. Lesbian
Istilah yang digunakan pada perempuan yang mengarahkan orientasi dirinya secara seksual kepada
perempuan lain. Hal ini dapat dikarenakan fisik, seksual, emosional atau spiritual. Terdapat tiga
identitas lesbian: Buchy, Femme dan Andro. Buchy kerap kali berupa penampilan pria dan memiliki
karakter maskulin. Femme yang memerankan peran wanita dalam hubungan lesbian. Untuk Andro,
dapat memerankan keduanya.
2. Gay
Gay seringkali diartikan sebagai laki-laki yang menyukai laki-laki dan tertarik secara seksual dengan
laki-laki juga. Terdapat istilah Top untuk yang memainkan peran laki-laki dan Bot, Bottom, Boti untuk
yang memainkan peran perempuan. Untuk istilah dapat kedua peran disebut Vers.
3. Bisexual
Istilah ini digunakan untuk seseorang yang tertarik pada jenis kelamin apapun. Diperlukannya
identifikasi lebih untuk kaum biseksual untuk mengetahui apakah mereka sendiri homoseksual atau
biseksual.
4. Transgender
Istilah yang mengacu pada identitas seksual yang berbeda dengan seksualitas kelahirannya. Kaum ini
kerap kali disebut dengan waria, transpuan, atau bengkong.
5. Queer and Questioning
Queer sendiri merupakan istilah umum untuk orang yang termasuk kedalam komunitas minoritas
seksual. Untuk Questioning sendiri adalah orang yang mempertanyakan dirinya sendiri dikategorikan
sebagai orang yang masih mencari identitas dirinya.
Sedikit penjelasan juga yang diberikan oleh narasumber bahwa Ia masuk ke dalam jenis gender flux
dimana istilah yang digunakan kepada mereka yang intensitas gendernya berfluktuasi. Terdengar mirip dengan
sebutan genderfluid namun terdapat perbedaan jika flux sendiri memiliki dasar berupa agender.
Agender sendiri adalah istilah untuk seseorang yang tidak memiliki gender. Beberapa
menggambarkannya sebagai “kurangnya gender” atau netralnya posisi gender yang sesuai apa yang diinginkan.
Sehingga kerap kali digunakkan kata “tidak ada gender”.
REFERENSI
Androgini. (2019, June 6). https://id.wikipedia.org/wiki/Androgini. Diakses pada 18 Desember

2023

Gangguan dismorfik tubuh (2023, July)https://id.wikipedia.org/wiki/Gangguan_dismorfik_tubuh.

Diakses pada 18 Desember 2023

Indonesia, C. N. N. (2022, August 22). 7 Jenis Identitas Gender yang Perlu Diketahui Selain

Non-biner.

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220822201926-284-837756/7-jenis-identitas-

gender-yang-perlu-diketahui-selain-non-biner . Diakses pada 18 Desember 2023

Kemala, F. (2021, March 23). Mengenal Nonbiner atau Genderqueer, Identitas Gender yang Unik.

https://hellosehat.com/seks/tips-seks/non-binary-genderqueer/#:~:text=Non%20binary%

20adalah%20salah%20satu%20identitas%20gender&text=Genderqueer%20atau%20non%2

0binary%20(nonbiner)%20adalah%20istilah%20identitas%20gender%20yang . Diakses pada

17 Desember 2023

Kottak, C. (2016). Cultural anthropology. Mcgraw-Hill Education.

Swastika, G. (2022, February 25). Mengenal Berbagai Ragam Identitas Seksual dan Gender.

https://www.uc.ac.id/fikom/mengenal-berbagai-ragam-identitas-seksual-dan-gender/ .

Diakses pada 18 Desember 2023

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Peran Gender. (n.d.).

http://e-journal.uajy.ac.id/9746/3/2MM02272.pdf

Wikipedia Contributors. (2019a, February 5). Hate crime. https://en.wikipedia.org/wiki/Hate_crime

. Diakses pada 18 Desember 2023

Wikipedia Contributors. (2019b, April 26). Gender dysphoria.

https://en.wikipedia.org/wiki/Gender_dysphoria . Diakses pada 18 Desember 2023


Wikipedia Contributors. (2019c, May 19). Homophobia.

https://en.wikipedia.org/wiki/Homophobia . Diakses pada 18 Desember 2023

Wikipedia Contributors. (2019d, July 27). Non-binary gender.

https://en.wikipedia.org/wiki/Non-binary_gender. Diakses pada 18 Desember 2023

Wikipedia Contributors. (2019e, November 15). Heterosexuality.

https://en.wikipedia.org/wiki/Heterosexuality. Diakses pada 18 Desember 2023

Wikipedia Contributors. (2019f, December 2). Nuclear family.

https://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_family. Diakses pada 18 Desember 2023

Anda mungkin juga menyukai