Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL SKRIPSI

GAMBARAN PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS


SEKSUAL PADA GAY DI KOTA MAKASSAR

BRIGITTA TUNGAWI
1771019

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
KOTA MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian

Hidayati dan Farid (2016) menyatakan bahwa masa remaja merupakan

masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup

adanya pertumbuhan dan perkembangan biologis dan psikologis. Dalam

hal biologis, ditandai dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan seks

primer dan seks sekunder, sedangkan dalam psikologis ditandai dengan

sikap, perasaan, keinginan, dan emosi yang labil atau tidak menentu.

Fakhrurrazi (2019) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa

pencarian identitas atau jati diri, masa dimana individu ingin mendapat

suatu pengakuan atas apa yang telah didapatkan. Yusuf (Fakhrurrazi,

2019) menyatakan bahwa masa remaja juga dikenal dengan masa strom

and stress, yaitu terjadi perubahan emosi yang diikuti dengan pertumbuhan

fisik dan psikis yang bervariasi. Gunarsa (Fakhrurrazi, 2019) menyatakan

bahwa pada masa remaja, individu mudah terpengaruh oleh lingkungan

dan menyebabkan muncul kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya

konflik dan pertentangan, impian dan khayalan, pacaran dan percintaan,

ketidakbiasaan terhadap kehidupan dewasa dan norma kebudayaan.

Monks (Prihatiningsih, 2017) menyatakan bahwa batasan usia pada

remaja yaitu antara usia 12 tahun hingga 21 tahun. Terdapat tiga fase masa

remaja, yaitu fase remaja awal dengan rentang usia 12-15 tahun, fase

remaja masya dengan rentang usia 15-18 tahun, dan fase remaja akhir

dengan rentang usia 18-21 tahun. Fakhrurrazi (2019) menyatakan bahwa


jika remaja berhasil dalam menemukan jati diri, maka remaja akan

mendapatkan suatu kondisi yang disebut dengan memperoleh identitas

(identity reputation), jika remaja gagal dalam menemukan jati diri, maka

remaja akan mengalami kekaburan identitas (identity diffusion).

Marotz dan Allen (Febrina, Suharso, & Saleh, 2018) menyatakan

bahwa individu pada masa remaja mengalami peningkatan kemampuan

kognitif untuk mengenali diri sendiri dan bagaimana menunjukkan diri

sesuai dengan identitas yang dimiliki. Ahuja dan Alavi (Evelin &

Adishesa, 2020) menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan pada

masa remaja yaitu identity formation, suatu proses mengeksplorasi dan

mengenali identitas diri remaja. Erikson (Santrock, 2010) menyatakan

bahwa pembentukan identitas memiliki suatu proses yang panjang. Proses

pembentukan identitas dimulai sejak masih bayi dan proses tersebut akan

berakhir dengan adanya penilaian mengenai identitas diri. Proses tersebut

sangat berperan pada masa remaja, terlebih di masa remaja akhir.

Erikson (Santrock, 2010) menyatakan bahwa pembentukan identitas

pada masa remaja merupakan salah satu tugas perkembangan remaja untuk

menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Identitas

diri merupakan kesadaran dari individu akan siapa dirinya dan apa yang

membedakan dirinya dengan individu lain. Terdapat macam-macam tipe

identitas diri, yaitu salah satunya identitas seksual.

Dacholfany dan Khoirurrijal (2016) menyatakan bahwa identitas

seksual berkaitan erat dengan orientasi seksual dan perilaku seksual.


Identitas seksual merupakan bagaimana individu memandang dirinya

melalui orientasi seksualnya. Proses pembentukan awal identitas seksual

berkaitan dengan sosialisasi dan identifikasi. Kedua hal tersebut memiliki

peran penting untuk membantu individu dalam membentuk orientasi

seksual yang akan dikembangkan sebagai identitas seksual.

Kirt-Ashman (Wardhani, 2012) menyatakan bahwa pada masa remaja,

orientasi seksual merupakan salah satu hal yang penting diperoleh remaja.

Pada masa tersebut, remaja diharapkan telah menemukan orientasi seksual

nya atau arah ketertarikan seksual. Yurni (2016) menyatakan bahwa

orientasi seksual merupakan adanya rasa ketertarikan secara seksual atau

emosional terhadap jenis kelamin tertentu.

Supratiknya (Mastuti, Winarno, & Hastuti, 2012) menyatakan bahwa

pada kehidupan, terdapat orientasi seksual individu yang berbeda-beda.

Orientasi seksual dibagi menjadi tiga bagian, yaitu heteroseksual,

biseksual, dan homoseksual. Heteroseksual merupakan adanya ketertarikan

secara seksual pada jenis kelamin yang berbeda, seperti perempuan tertarik

pada laki-laki, dan laki-laki tertarik pada perempuan. Biseksual merupakan

adanya ketertarikan secara seksual pada perempuan dan laki-laki secara

bersamaan. Homoseksual merupakan ketertarikan secara seksual pada

jenis kelamin yang sama, seperti perempuan tertarik pada perempuan, hal

tersebut disebut dengan lesbian, dan laki-laki tertarik pada laki-laki, hal

tersebut disebut dengan gay.


Onhit (Hasnah & Alang, 2019) menyatakan bahwa Indonesia

merupakan negara ke-5 yang memiliki populasi LGBT (Lesbian, Gay,

Biseksual, dan Transgender) terbanyak, setelah Amerika, Eropa, India, dan

China. Indonesia memiliki populasi LGBT sebanyak 3%, yaitu dari 250

juta penduduk Indonesia, terdapat sekitar 7,5 juta merupakan LGBT.

Program Komisi Penanggulangan AIDS Kota Makassar (Rakyat Sulsel,

2012) mengungkapkan bahwa, pada tahun 2012 ditemukan jumlah gay

sebanyak 589 orang, sedangkan jumlah lesbian belum diketahui secara

pasti, menurut Persatuan Keluarga Berencana Indonesia di Makassar (Sari

& Ahmad, 2018) bahwa tidak pernah dilakukan pendataan pada kaum

lesbian, karena kaum lesbian tidak menimbulkan penyakit menular

HIV/AIDS seperti kaum gay.

Terdapat beberapa faktor penyebab homoseksual, yaitu antara lain,

Kaplan dan Sadock (Rivai, 2018) menyatakan bahwa kurangnya

pengasuhan dari Ayah dalam tumbuh kembang remaja, sehingga

menyebabkan timbulnya sisi kewanitaan. Hal tersebut sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Susanti, dan Susanti (2019) yaitu

adanya interaksi yang kurang baik dengan orang tua khususnya Ayah

menyebabkan individu merasa kehilangan sosok yang mampu mengayomi.

Semiun (Rivai, 2018) menyatakan bahwa faktor penyebab selanjutnya

yaitu adanya pengalaman perilaku homoseksual pada usia anak-anak yang

menyenangkan. Anak-anak yang ditinggal lama oleh orangtua dan jauh


dari lawan jenis, menyebabkan kekosongan emosional serta menyebabkan

kemungkinan terjadinya homoseksual.

Ary menyatakan bahwa pada zaman sekarang yang memiliki

kebudayaan relatif modern, keberadaan kaum homoseksual masih ditolak

oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga eksistensinya

berkembang secara sembunyi-sembunyi. Masyarakat cenderung bersikap

negatif terhadap aktivitas seksual yang dilakukan oleh kaum homoseksual.

Pandangan negatif tersebut yang membuat kaum homoseksual cenderung

tidak diterima oleh masyarakat, rentan mengalami diskriminasi, dan

cemohan (Dacholfany & Khoirurrijal, 2016).

Gilman, Cochran, Mays, dkk (2001) menyatakan bahwa stigma

negatif yang didapatkan oleh masyarakat mengenai homoseksual, dapat

menjadi ancaman sosial bagi para kaum homoseksual. Stigma dan

diskriminasi sosial juga dapat menganggu kesehatan mental kaum

homoseksual. Ditemukan dampak yang cukup besar akibat stigma dan

diskriminasi sosial, yaitu kecemasan, depresi, penyalahgunaan obat

terlarang, serta penggunaan alkohol yang lebih tinggi dibandingkan

dengan heteroseksual.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada subjek T, yang berjenis

kelamin laki-laki dan berusia 21 tahun pada tanggal 10 Agustus 2021, T

menceritakan mengenai dampak dari diskriminasi di lingkungannya, hal

tersebut terdapat pada kutipan wawancara berikut :

“Gara-gara waktu sekolah saya dibully sama teman-teman ku


sendiri, saya pernah sampai tidak bisa tidur berhari-hari,
mungkin tidur ji tapi tidak nyenyak, akhirnya saya dibawa ke
dokter, dokternya bilang kalau saya lagi cemas, jadi akhirnya
saya dikasih obat penenang untuk bisa tidur nyenyak”

Penolakan dan diskriminasi masyarakat terhadap kaum homoseksual,

salah satunya berupa tuntutan untuk menjadi heteroseksual dalam seluruh

aspek kehidupan, hal tersebut yang menimbulkan sebagian kaum

homoseksual tetap menyembunyikan keadaan orientasi seksualnya dari

masyarakat (Dacholfany & Khoirurrijal, 2016).

Peneliti melakukan wawancara pada tanggal 4 Agustus 2021 pada

subjek A, berjenis kelamin laki-laki dan berusia 20 tahun. A merupakan

seorang gay. A menceritakan mengenai penolakan masyarakat yang

dialaminya. Hal tersebut tergambar pada kutipan wawancara berikut:

“Jadi dulu itu waktu SMP ka’, pertamaku suka sama cowok
juga awalnya itu tidak berani pa’.. untuk apa dik ungkapkan
begitue..Karena saya rasa aneh kenapa saya suka sama sesama
jenisku, ini cowok teman dekat skali ka’, ya mungkin bisa
dibilang kayak sahabat mi, tapi ini hati kan ndak bisa dibohongi
juga hahaha.. Jadi mencoba ka’ bilang mi perasaan ku ke ini
temanku toh kalau saya suka ki.. baru ternyata tidak sesuai
ekspektasiku, saya kira dia bakal terima ji dengan saya begini
karena dekat skali ma’ we, ternyata tidak.. dia malah jadi kayak
nasehati ka’ begitu, sampai dia kirimkan ka biasa khutbah-
khotbah tentang lgbt. Sudah dari itu kejadian saya tidak pernah
mi kasih tau orang-orang disekitarku tentang siapa saya
sebenarnya sampai masuk kuliah pi ini”

Wawancara diatas sejalan dengan penjelasan yang dikemukakan oleh

(Praptiningsih dkk, 2018) bahwa remaja yang menyadari dirinya sebagai

penyuka sesama jenis, membutuhkan waktu untuk dapat mengidentifikasi,

mengkonfirmasi, dan menerima orientasi seksualnya. Terdapat perasaan


bingung serta penyangkalan pada tahapan awal remaja mulai merasakan

ketertarikan secara fisik, seksual, dan emosional pada sesama jenis.

Dalmeri (2016) menyatakan bahwa ternyata sikap negatif oleh

masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay dibandingkan dengan kaum

lesbian, hal tersebut dikarenakan kaum gay lebih terlihat dan mudah

ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Mastuti, Winarno, dan Hastuti

(2012) menyatakan bahwa penolakan yang dialami juga membuat kaum

gay menjadi tidak nyaman dengan keadaan diri yang dimiliki serta mulai

menyalahkan diri sendiri. Upaya untuk menunjukkan identitas diri juga

menjadi terhambat, Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang

memengaruhi proses pembentukan identitas homoseksual pada kaum gay.

Cass (1979) menyatakan bahwa terdapat enam tahap proses

pembentukan identitas homoseksual, yaitu tahap pertama identity

confusion atau kebingungan identitas, tahap kedua yaitu identity

comparison atau perbandingan identitas, tahap ketiga yaitu identity

tolerance atau toleransi identitas, tahap keempat yaitu identity acceptance

atau penerimaan identitas, tahap kelima yaitu identity pride atau

kebanggan identitas, dan tahap keenam yaitu identity syntesis atau

penerimaan identitas seutuhnya. Tidak semua gay dapat mencapai tahap

yang keenam, tergantung pada seberapa nyaman individu dengan orientasi

seksual yang dimiliki.

Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dijelaskan diatas, bahwa

dalam proses pembentukan identitas seksual sebagai kaum gay terdapat


hambatan-hambatan yang memengaruhi proses pembentukan identitas

tersebut, serta proses pembentukan identitas seksual pada gay juga akan

berbeda-beda, sehingga penerimaan terhadap identitas seksual sebagai

kaum gay pun berbeda-beda. Hal tersebut yang membuat peneliti ingin

memahami lebih dalam terkait gambaran proses pembentukan identitas

seksual pada gay di Kota Makassar.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian yang telah diuraikan di atas maka

fokus penelitian ini adalah bagaimana gambaran proses pembentukan

identitas seksual pada gay di Kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka

adapun tujuan penelitian ini yaitu dapat mengungkapkan gambaran proses

pembentukan identitas seksual pada gay di Kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pada bidang psikologi terkait dengan proses pembentukan identitas

seksual pada gay. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi

referensi bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Remaja laki-laki yang memiliki kecenderungan gay


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

wawasan dan motivasi kepada laki-laki yang memiliki

kecenderungan homoseksual agar dapat memahami proses

pembentukan identitas seksual serta menerima dirinya sebagai

gay.

b. Keluarga dan lingkungan masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana

untuk menghadapi dan membantu remaja laki-laki yang

memiliki kecenderungan gay. Keluarga dan lingkungan

masyarakat dapat memberikan dukungan serta mengurangi

penilaian negatif yang menghambat proses pembentukan

identitas seksual pada gay.

Anda mungkin juga menyukai