Anda di halaman 1dari 67

PEMBUNDELAN LAPORAN EKSPERIMEN

1. Pengumpulan laporan eksperimen dilakukan pada hari Selasa (9 Juli 2019) paling
lambat pada pukul 15.00 WITA di ruang dosen. Keterlambatan pengumpulan akan
dikenai pengurangan nilai.
2. Laporan dijilid secara hardcover dan menggunakan warna kuning sebagai warna cover.
3. Laporan menggunakan font Arial 11, ukuran kertas A4, dan margin 4433.
4. Persiapkan dengan baik laporan yang ingin dibundel. Laporan yang kedapatan
COPAS secara otomatis akan mendapatkan NILAI E, baik yang melakukan copas
maupun yang di-copas.
5. Berikut format urutan lembaran untuk pembundelan:
a. Sampul laporan berisikan jenis tugas, nama dosen pengampu, judul laporan, logo
UAJM berukuran 3x3cm, identitas penulis, dan keterangan tempat serta waktu
pembuatan laporan (format sampul terlampir)
b. Kartu Kontrol Praktikum
c. Lembar Penilaian Asisten (format lembaran terlampir)
d. Kata Pengantar (tidak boleh copas)
e. Laporan Eksperimen 1-5 secara berurutan (posisikan Daftar Pustaka, Lampiran,
dan Pernyataan Kesediaan secara berurutan pada bagian terakhir masing-masing
laporan)
f. Setiap Laporan diberikan lembaran pembatas berwarna kuning dan diberikan
tulisan sesuai dengan judul praktikumnya (contoh lembar pembatas terlampir)
g. Lembar Evaluasi Asisten (silahkan diisi sendiri)
h. Lembar Katarsis (silahkan diisi sendiri)
6. Perhatikan untuk menandatangani setiap laporan eksperimen pada halaman-halaman
yang perlu ditandatangani (termasuk tanda tangan asisten)
7. Jika ada hal yang ingin ditanyakan, silahkan menghubungi masing-masing asistennya
atau dosen pengampu mata kuliah eksperimen.
Tugas Individu
Psikologi Eksperimen
Dosen Pengampu : Angela Raffi, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Adi Putra Hidayatullah, S.Psi., M.A.

LAPORAN PRAKTIKUM 1-5 PSIKOLOGI EKSPERIMEN

BRIGITTA TUNGAWI
1771019

PRODI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
MAKASSAR
JULI 2019
LEMBAR PENILAIAN LINTAS ASISTEN

Nama : Brigitta Tungawi


NIM : 1771019
Kelompok :

Asisten I

Asisten II

Asisten III

Asisten IV

Total :

Nilai Akhir : A – A/B – B – B/C – C – C/D – D – D/E – E

LULUS / TIDAK LULUS


Asisten Koordinator

Carin Sudarjo Adi Putra Hidayatullah, S.Psi., M.A.


ASOSIASI

Eksperimen 02/EXP/2017
ASOSIASI

Nama Eksperimenter : Brigitta Tungawi


Nomor Mahasiswa : 1771019
Nama Subjek : MM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Pendidikan Terakhir : SMA
No. Eksperimen : 02
Tanggal Eksperimen : 22 Mei 2019
Waktu Eksperimen : Pukul WITA
Tempat Eksperimen : Ruang Laboratorium Prodi Psikologi UAJM

I. PROBLEM
Tanggapan-tanggapan dari pikiran kita terlihat datang dan pergi, banyak
dan sedikitnya berhubungan dengan kebiasaan. Apa bentuk hubungannya
dan faktor-faktor apa saja yang berperan?
II. DASAR TEORI
a. Asosiasi
Asosiasi adalah mekanisme yang terpenting dalam jiwa, yang
menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga
membentuk satu struktur kejiwaan yang utuh. Hobbes (Sarwono, 2000)
merupakan salah satu asosiasionis yang mengemukakan bahwa terdapat
dua macam asosiasi, yaitu asosiasi bebas dimana suatu ide dapat dikaitkan
dengan ide lain yang mana saja yang kebetulan muncul dalam pikiran
individu yang bersangkutan, dan asosiasi terkontrol, yaitu dimana satu ide
hanya dapat dikaitkan dengan ide-ide lain dalam arah tertentu yang
dikehendaki sendiri oleh individu yang bersangkutan. Ide-ide tersebut
dikaitkan satu dengan yang lainnya melalui dua prinsip asosiasi yaitu
kontiguitas, dimana ide pertama erat hubungannya dengan ide kedua, dan
prinsip similaritas dimana ide pertama banyak persamaannya dengan ide
kedua. Mill (Sarwono, 2000) membedakan atara penginderaan dan ide.
Penginderaan adalah hasil kontak langsung alat indera manusia dengan
rangsang-rangsang yang datang dari luar diri individu. Ide adalah salinan dari
penginderaan yang muncul dalam ingatan individu. Sulit untuk memisahkan
penginderaan dari ide, karena penginderaan yang menimbulkan ide dan ide
tidak mungkin ada tanpa individu mengalami penginderaan terlebih dahulu.
Mill (Sarwono, 2000) mengemukakan bahwa ide-ide dapat dihubungkan
satu dengan lainnya, contoh meja dan kursi. Mekanisme yang
menghubungkan satu ide dengan ide lainnya disebut dengan asosiasi.
Menurut Mill (Sarwono, 2000) asosiasi terpaut hanya pada satu hokum, yaitu
hukum kontiguitas. Satu asosiasi mungkin lebih kuat daripada asosiasi
lainnya. Kuat atau lemah asosiasi ditetapkan oleh tiga kriteria:
1. Ketetapan
Asosiasi yang kuat adalah asosiasi yang permanen, artinya selalu ada
kapan saja. Misalnya, ayah-ibu, siang-malam, sendok-garpu. Asosiasi
yang kurang permanen berarti asosiasi tersebut kurang kuat dan mudah
hilang setelah beberapa saat.
2. Kepastian
Suatu asosisasi adalah kuat kalau individu yang berasosisasi tersebut
benar-benar yakin akan kebenaran asosiasi tersebut.
3. Fasilitas
Suatu asosiasi akan kuat apabila di lingkungan sakitar cukup banyak
prasarana atau fasilitas yang memudahkan timbulnya asosiasi, sehingga
individu tersebut tidak berpikir keras atau berkhayal untuk dapat
melakukan suatu asosiasi.
Menurut John Stuart Mill (Sarwono, 2000) terdapat tiga hukum asosiasi,
yaitu:
1. Similaritas: persamaan antara dua hal menyebabkan asosiasi.
2. Kontiguitas: kelanjutan antara satu hal dengan hal yang lain menimbulkan
asosiasi.
3. Intensitas: kekuatan hubungan antara dua hal menimbulkan asosiasi.
Menurut Aristoteles, terdapat hukum-hukum asosiasi, yaitu:
1. Hukum sama saat atau serentak
Beberapa tanggapan yang dialami dalam waktu bersamaan cenderung
untuk berasosisasi antara satu dengan lainnya. Misalnya antara bentuk
benda dengan namanya, dengan baunya. Pada waktu individu melihat
benda tersebut individu mendengar namanya, membau-baunya,
mencecap rasanya, dan sebagainya.
2. Hukum berturutan
Beberapa tanggapan yang dialami berturut-turut, cenderung untuk
berasosiasi antara satu dengan lainnya, misalnya saat individu dengar
individu lain mengucapkan ABCD, timbul dalam kesadaran individu EFGH
dan selanjutnya. Kalau individu membaca 1234, timbul dalam kesadaran
individu 5678 dan selanjutnya. Kalau individu mendengar nyanyian
Indonesia, timbul dalam kesadaran individu tanah airku, dan sebagainya.
3. Hukum kesamaan atau kesesuaian: beberapa tanggapan yang
bersesuaian cenderung untuk berasosiasi antara satu dengan lainnya.
Misalnya, saat individu melihat potret individu lain, lalu teringat akan
individu tersebut, kemudian saat individu melihat seorang anak, lalu
teringat akan ayahnya, dan sebagainya.
4. Hukum berlawanan
Tanggapan-tanggapan yang saling berlawanan akan berasosiasi satu
sama lain. Misalnya, saat individu melihat mobil-mobil mewah yang
berluncuran di jalan, individu tersebut teringat akan para peminta-minta
yang bergelandangan di emper-emper toko, kemudian saat individu
melihat individu lain yang sangat gemuk, individu tersebut teringat akan
orang yang sangat kurus, dan sebagainya.
5. Hukum sebab-akibat
Tanggapan yang mempunyai hubungan sebab-akibat cenderung untuk
berasosiasi satu sama lain. Misalnya, saat waktu hujan lebat sekali
individu teringat akan banjir, dan sebagainya (Suryabrata, 2006)
Jiwa menurut teori yang melalui prinsip asosiasi yaitu berisi ide-ide yang
didapatkan melalui pancaindera, dimemorikan dan saling diasosiasikan satu
sama lain melalui prinsip-prinsip kesamaan, kekontrasan, dan kelangsungan.
Perilaku yang terdapat dalam teori tersebut yang melalui prinsip asosiasi ide-
ide yaitu, seperti seorang bayi yang lapar diberi makanan oleh ibu bayi
tersebut. Melalui pancaindera, bayi tersebut dapat mengetahui bahwa rasa
lapar selalu diikuti oleh makanan (prinsip kelangsungan) dan makanan
tersebut menghilangkan ras alapar tersebut. Lama kelamaan, rasa lapar
diasoasikan dengan makanan dan tiap kali bayi tersebut lapar, bayi tersebut
akan mencari makanan. Demikian juga dengan ide-ide lain yang mempunyai
persamaan-persamaan (misalnya, makan dengan minum, burung dengan
kupu-kupu, siang dengan malam, pria dengan wanita, air dengan api) saling
diasosiasikan satu dengan yang lain melalui prinsip asosiasi yang serupa.
Asosiasi menurut Wundt (Sarwono, 2000) adalah prinsip yang paling
dasar sekali yang memungkinkan hubungan-hubungan antara elemen-
elemen kesadaran. Asosiasi menurut Wundt terjadi secara pasif, oleh karena
asosiasi yang aktif namanya adalah apersepsi. Wundt (Sarwono, 2000)
mengemukakan adanya beberapa jenis asosiasi, yaitu:
1. Asosiasi persepsi langsung, terdiri dari
a) Fusi
Percampuran antara dua elemen kesadaran, sehingga keduanya
melebur menjadi satu, tidak lagi independensi, atau salah satu sangat
dominan sehingga sifat elemen yang lain hilang sama sekali, masuk
ke dalam elemen yang dominan tersebut.
b) Asimilasi
Dua elemen masih saling independen, sama kuat, dan dihubungkan
satu sama lain karena ada persamaan-persamaan, atau karena
adanya kontras yang menyolok.
c) Komplikasi
Asimiliasi antara indera-indera yang berbeda. Misalnya asimilasi
antara sesuatu yang didapat dari indera penglihatan dengan hal lain
yang diperoleh dari indera pendengaran.
2. Asosiasi memori
Asosiasi yang tidak segera, melainkan terjadi dalam ingatan, antara
elemen-elemen yang terlebih dahulu disimpan dalam ingatan.
Menurut Abdul Chaer (Fitriati dan Hanifah, 2017) bahwa asosiasi adalah
makna yang dimiliki sebuah kata yang berkenaan dengan adanya hubungan
kata dengan keadaan di luar bahasa, artinya yaitu dengan kajian asosiasi
sebuah kata dapat dimaknai secara luas. Asosiasi berhubungan dengan nilai-
nilai moral yang berlaku dalam masyarakat suatu bahasa yang berarti juga
berurusan dengan nilai rasa sebuah bahasa. Melalui asosiasi yang
mementingkan adanya nilai rasa dari sebuah bahasa, sebuah pesan dapat
disampaikan kepada pembaca atau pendengar dengan baik. Suatu bahasa
yang disampaikan dengan memperhatikan nilai rasa, tentu akan lebih mudah
diterima oleh pendengar atau pembaca.
Menurut Putra dan Issetyadi (Hamasanah, 2014) proses asosiasi erat
kaitannya dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya, karena
asosiasi akan bersandar pada pengalaman, pengetahuan, atau pemahaman
yang dimiliki oleh individu sebelumnya. Semakin sering individu
menggunakan asosiasi semakin kuat ingatan mengenai asosiasi tersebut
begitu juga sebaliknya. Menurut Elqorni (Hamansah, 2014), terdapat macam-
macam teknik dalam metode asosiasi untuk mengingatkan daya ingat, yaitu:
1. Teknik loci
Mengasosiasikan tempat-tempat atau benda-benda di lokasi yang telah
diketahui dengan hal-hal yang ingin diingat.
2. Teknik kata kunci
Teknik tersebut telah digunakan selama bertahun-tahun, terutama untuk
mengingat kata-kata bahasa asing dan konsep abstrak.
3. Teknik kata penghubung
Teknik tersebut yaitu proses mengaitkan atau mengasosiasikan satu kata
dengan kata yang lain melalui sebuah aksi atau gambaran.
4. Akronim
Satu kata yang terbuat dari huruf pertama dari serangkaian kata.
5. Akrostik
Sama halnya seperti akronim, juga menggunakan huruf-huruf kunci untuk
membuat konsep abstrak yang lebih konkret, sehingga mudah diingat.
Terdapat teknik asosiasi bebas, yaitu digunakan sebagai terapi klien
dalam pendekatan psikoanalis Sigmund Freud. Terapi tersebut untuk
pengobatan terhadap pasien yang mengalami gangguan psikis oleh terapis.
Teknik asosiasi bebas tersebut pernah di praktekkan oleh Sigmund Freud
terhadap pasien-pasiennya. Teknik asosiasi bebas salah satu cara yang
dapat dilakukan dalam proses bimbingan konseling. (Hamansah, 2014)
Menurut Jess, Gregory, dan Tomi (2017) alam tidak sadar menjadi
tempat bagi segala dorongan, desakan, maupun insting yang tidak disadari,
tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan. Alam tidak
sadar tidak dapat dijangkau oleh pikiran sadar. Menurut Freud (Jess,
Gregory, dan Tomi, 2017) bahwa keberadaan alam tidak sadar tersebut
hanya bisa dibuktikan secara tidak langsung. Bagi Freud, alam tidak sadar
adalah penjelasan untuk makna yang ada di balik mimpi, keliru ucap (slip of
the tongue), dan jenis melupakan. Alam tidak sadar tidak berarti bahwa
individu tersebut diam atau sedang tidur. Dorongan di alam tidak sadar
secara konstan berusaha untuk agar disadari, dan banyak dari dorongan
tersebut yang berhasil masuk ke alam sadar.
Jung telah membantu untuk mengembangkan dan mendefinisikan ulang
tes asosiasi kata, awalnya digunakan tes tersebut pada tahun 1903, ketika
jung masih menjasi asisten muda seorang psikiater di Burgoholtzli. Ide awal
penggunaan tes tersebut adalah untuk membuktikan validitas hipotesis Freud
bahwa ketidaksadaran akan mengoperasikan proses yang bersidat otonomi.
Namun, kegunaan utama tes tersebut dalam psikologi Jungian adalah untuk
membuka feeling-toned complexes. Kompleks adalah berbagai hal
individualis dan bersifat emosional yang bergabung dan membentuk
sekumpulan gambaran di sekitar pusat inti kepribadian, tes asosiasi kata
didasarkan pada prinsip bahwa kompleks membentuk respons emosional
yang dapat diukur. Dalam melakukan tes tersebut, Jung menggunakan
sekitar 100 kata yang dipilih dan diatur untuk menstimulasi atau merangsang
reaksi emosi. Jung menginstruksikan individu untk merespons setiap stimulus
kata dengan kata pertama yang dipikirkan oleh responden. Jung merekam
setiap respons verbal, waktu yang dibutuhkan untuk merespons, laju
pernapasan, dan respons pada kulit terhadap reaksi yang diahasilkan. Jung
terkadang melakukan pengulangan eksperimen tersebut untuk meningkatkan
konsistensi tes dan pengulangan tes tersebut.
Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang digunakan berkomunikasi
dengan individu lain dan diri sendiri. Bahasa memiliki sifat kunci yang
membedakan penggunaan bahasa manusia dari komunikasi spesies lain.
Pertama, bahasa memiliki semanticity atau makna. Semanticity adalah
makna atau referensi pada hal-hal di dunia. Menurut Miller (Carter dan
Seifert, 2017) Individu yang lulusan sekolah menengah atas mengetahui
sekitar 45.000 kata yang berbeda, dan lulusan universitas setidaknya dua kali
lipat jumlah tersebut. Bahasa memiliki kode makna yang luas melampaui
seratus suara dasar yang mampu dibuat oleh individu. Kedua, terdapat sifat
generativity, yaitu kemampuan menggunakan sejumlah kata dan aturan yang
tetap dan menggabungkan untuk menghasilkan ragam hal unik yang tak
terhingga untuk dikatakan. Faktanya, setiap individu mulai menduga bahwa
setiap kemungkinan kombinasi kata-kata sudah pernah diucapkan. Ketiga,
terdapat sifat displacement, kemampuan menyampaikan hal-hal yang tidak
ada di sekitar individu. Bahasa memberikan metode baru pemikiran yang
membawa individu melampaui dunia (Carter dan Seifert, 2017).
Menurut Hoff dan Shatz bahasa merupakan bentuk komunikasi baik lisan,
tertulis, maupun menggunakan isyarat yang didasarkan pada sebuah sistem
symbol. Individu memerlukan bahasa untuk berbicara dengan individu lain,
mendengarkan individu lain, membaca, dan menulis. Bahasa tidak sekedar
cara bagaimana individu bicara dengan individu lain, namun juga bagaimana
individu tersebut menalar dan menyelesaikan masalah. Suara kecil di dalam
kepala individu berbicara kepada diri sendiri dalam bahasa ibu.
Semua bahasa manusia memiliki yang disebut dengan generativitas tidak
terbatas, yaitu kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat bermakna
dalam jumlah tidak berhingga. Fleksibilitas bahasa yang luar biasa tersebut
dihasilkan dari sejumlah aturan berbahasa yang jumlahnya terbatas. Bahkan
semua bahasa manusia dicirikan oleh empat sistem aturan, yaitu:
1. Fonologi
Sistem suara dalam satu bahasa. Bahasa tersusun dari sejumlah suara
dasar atau fonem. Aturan-aturan fonologi memastikan bahwa urutan
suara tertentu terjadi (contoh seperti, sp, ba, atau ar) dan urutan yang lain
tidak terjadi (contohnya, zx atau qp). Dalam beberapa bahasa seperti
bahasa Arab variasi tersebut menghasilkan fenom yang berbeda.
2. Morfologi
aturan pembentukan kata dalam bahasa. Setiap kata dalam bahasa
Inggris terdiri atas satu atau lebih morfem. Sebuah morfem adalah unit
terkecil dalam bahasa yang membawa makna tetentu. Beberapa kata
terdiri atas sebuah morfem tunggal. Tidak semua morfem merupakan
kata. Seperti juga aturan fonologi memastikan bahwa urutan suara
tertentu terjadi, aturan yang mengatur morfem mengatur serangkaian
suara terjadi dalam urutan tertentu.
3. Sintaksis
Aturan sebuah bahasa dalam melakukan kombinasi kata untuk
membentuk frasa dan kalimat yang dapat diterima.
4. Semantik
Makna kata-kata dan kalimat dalam bahaa tertentu. Seiap kata memiliki
seperangkat ciri semantic yang unik. Girl dan woman, contohnya, memiliki
banyak ciri semantik yang sama (keduanya sama-sama menandakan
individu yang berjenis kelamin wanita), tetapi berbeda secara semantik
dalam kaitan usia. Kata-kata memiliki batasan-batasan semantik tentang
bagaimana mereka digunakan dalam kalimat-kalimat ().
III. HIPOTESIS
A. Individu
Ada perbedaan kemampuan subjek dalam melakukan asosiasi antara
Discreate Free Association dengan Controlled Association sama seperti teori
Freud, alam tidak sadar adalah penjelasan untuk makna yang ada di balik
mimpi, keliru ucap (slip of the tongue), dan jenis melupakan. Alam tidak sadar
tidak berarti bahwa individu tersebut diam atau sedang tidur. Dorongan di
alam tidak sadar secara konstan berusaha untuk agar disadari, dan banyak
dari dorongan tersebut yang berhasil masuk ke alam sadar (Jess, Gregory,
dan Tomi, 2017).
B. Kelompok
Ada perbedaan kemampuan kelompok dalam melakukan asosiasi
Discreate Free Association dengan Controlled Association sama dengan teori
dari Semua bahasa manusia memiliki yang disebut dengan generativitas
tidak terbatas, yaitu kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat
bermakna dalam jumlah tidak berhingga. Fleksibilitas bahasa yang luar biasa
tersebut dihasilkan dari sejumlah aturan berbahasa yang jumlahnya terbatas.
IV. METODE PENELITIAN
Metode penelitian : Eksperimental
Desain : The one shot case study
V. PROSEDUR
A. Material
1. Daftar kata-kata sebagai stimulus word.
2. Stopwatch
B. Prosedur pelaksanaan
1. Subjek dan eksperimenter duduk di ruangan kosong
2. Eksperimenter mencatat respon, duduk di belakang subjek supaya
tidak mengganggu.
3. Instruksi: “Katakanlah asosiasi yang segera Saudara ingat setelah
saya mengatakan suatu perkataan. Saudara tidak boleh memikirkan
jawaban yang akan Saudara berikan melainkan apa yang benar-
benar seketika itu timbul dalam asosiasi Saudara saat itu”.
4. Pada Discreate Free Association, subjek harus mengatakan satu
kata.
5. Pada Controlled Association, subjek harus memberi jawaban yang
sesuai dengan instruksi, misalnya: lawannya, persamaannya, dan
sebagainya.
VI. PENCATATAN HASIL
A. Individu
Golongan
Kesimpulan
A B
Hasil 12 19 A<B
Keterangan: A = Discreate Free Association
B = Controlled Association
B. Kelompok
No
Subjek A B Kesimpulan
.
1. JM 20 19 A>B
2. A 20 19 A>B
3. L 15 20 A<B
4. Z 20 20 A=B
5. R 19 20 A<B
6. N 12 19 A>B
JUMLAH 106 117 A<B
Keterangan: A = Discreate Free Association
B = Controlled Association
VII. PENGOLAHAN HASIL
A. Individu

Kesimpulan
A B
Hasil 12 19 A<B
Keterangan: A = Discreate Free Association
B = Controlled Association
B. Kelompok
C. Statistik A B
N 6 6
2
∑X 11.236 13.456
X́ 17,6 19,3
SD 39,5 43,2
SDM 17,95 19,63
Keterangan: A = Discreate Free Association
B = Controlled Association
Cara Penyelesaian:

X A=
∑XA
N
93
=
5
= 18,6
XB
X B= ∑
N
87
=
5
= 17,4

∑ XA -
SD A =
√ N
2

( X́A )
2

1062
=
√ 6
- ( 1 7 ,6 )2

= √1.8 7 2,6-309, 7
= √1.562,9
= 39,5

∑ XB -
SD B =
√ N
2

( X́B)
2

116 2
=
√ 6
- ( 19,3 )2

= √ 2.242,6 - 3 7 2,5
= √ 1.869,7
= 43,2
SDA
SD MA =
√N - 1
39,5
=
√ 6-1
= 1 7 ,95
SDB
SD MB =
√N - 1
43,2
=
√ 6-1
= 19,63

2 2

SD BM = ( SD MA ) + ( SD MB )
2 2
= √( 1 7 ,6 ) + ( 1 7 ,6 )
= √ 309,8 + 309,8
= √619,4
= 24,8
| X́ A - ´X B |
th =
SD BM
|17,6 - 19,3|
=
24,6
= |0,07|
db = (n – 1) a
= (6 – 1) 2
= 10
Ttabel 5% = 2,179 ( t h > ttabel → signifikan)
VIII. KESIMPULAN
A. Individu
Ada perbedaan kemampuan subjek dalam melakukan asosiasi antara
Discreate Free Association dan Controlled Association. Hal ini ditunjukkan
dari hasil pengolahan data, dimana A = (12) < B = (19).
B. Kelompok
Ada perbedaan yang signifikan pada kemampuan kelompok dalam
melakukan asosiasi antara Discreate Free Association dan Controlled
Association. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengolahan data, dimana t hitung =

0,07 < t tabel = 2,719 dengan demikian hipotesis diterima.


IX. PEMBAHASAN
A. Individu
Ada perbedaan kemampuan subjek dalam melakukan asosiasi antara
Discreate Free Association dan Controlled Association. Hal ini ditunjukkan
dari hasil pengolahan data, dimana A = (12) < B = (19). Sehingga hipotesis
diterima.
B. Kelompok
Ada perbedaan yang signifikan pada kemampuan kelompok dalam
melakukan asosiasi antara Discreate Free Association dan Controlled
Association. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengolahan data, dimana t hitung =

0,07 < t tabel = 2,719 dengan demikian hipotesis diterima.


X. KESAN-KESAN SELAMA EKSPERIMEN
A. Kondisi Fisik
1. Testee memakai baju kaos.
2. Testee memakai sepatu kets.
3. Pintu ruangan tertutup.
4. Cahaya menerangi ruangan.
5. Ruangan terasa dingin karena AC menyala.
6. Terdapat dua kursi dan sebuah meja didalam ruangan.
B. Kondisi Psikologis
1. Testee duduk di depan tester.
2. Testee sangat sering tersenyum dan ketawa kecil.
3. Testee mengatakan “yey, sudah selesai” saat berakhirnya tes.
4. Posisi duduk testee tegak.
XI. KEGUNAAN SEHARI-HARI
1. Tes asosiasi ini dapat membantu individu untuk meningkatkan daya
ingat dan pikiran yang diterapkan dalam hal-hal tertentu.
2. Untuk mengetahui banyaknya kata yang telah diketahui individu.
3. Membuat individu berkomunikasi dengan baik.
4. Dapat digunakan dalam mencari jalan keluar/solusi
5. Dapat dijadikan sarana dalam menceritakan sebuah pengalaman.
6. Agar individu dapat memberikan informasi kepada individu sekitarnya.
Makassar,……………..2019
ASISTEN TESTER

(CARIN SUDARJO) (BRIGITTA TUNGAWI/1771019)


DAFTAR PUSTAKA

Carter, K. & Seifert, C. M. (2017). Psikologi Umum. Jakarta: EGC.


Fitriati, S. & Hanifah, I. (2017). Makna Asosiasi dalam Novel Negeri 5 Menara
Karya A. Fuadi Sebagai Alternatif Bahan Ajar Mata Kuliah Semantik.
Jurnal Pesona. 3(2). 189-199.
Hamansah, (2014). Pengaruh Metode Asosiasi Terhadap Peningkatan Motivasi
dan Hasil Belajar Siswa.2(1).35-42.
Jess F, Gregory J.S, Tomi A. R. (2017) Teori Kepribadian. Salemba Humanika.
Laura A. K. (2010). Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta.
Salemba Humanika.
Suryabrata, S. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sarwono, S. W. (2000). Berkenalan Dengan Aliran-aliran Dan Tokoh-tokoh
Psikologi. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Sarwono, S. W. (2013). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Eksperimen 03/EXP/2019

TRANSFER OF NEGATIVE TRAINING

Nama Eksperimenter : Brigitta Tungawi


Nomor Mahasiswa : 1771019
Nama Subjek :A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Pendidikan Terakhir : SMA
No. Eksperimen : 03
Tanggal Eksperimen : 29 Mei 2019
Waktu Eksperimen : 10.00 -12.00 WITA
Tempat Eksperimen : Ruang Laboratorium Prodi Psikologi UAJM

I. PROBLEM
Bagaimanakah mengukur efek kebiasaan dari belajar itu? Kalau proses
belajar dengan train and error sehingga menjadi kebiasaan dan kemudian
stimulusnya diubah, apakah menimbulkan transfer yang negatif?
II. DASAR TEORI
Menurut Kaswan (Ardaneswari, 2016) transfer of training atau yang biasa
disebut dengan transfer pelatihan merupakan penerapan pengetahuan yang
didapat saat mengikuti suatu kegiatan pendidikan dan pelatihan. Terdapat
beberapa jenis transfer pelatihan atau transfer of training, yaitu:
1. Transfer positif
Terjadi saat meningkatnya kinerja yang didapatkan dari hasil pelatihan.
2. Transfer nol
Terjadi saat kinerja tidak mengalami perubahan.
3. Transfer negatif
Mengakibatkan pengaruh yang merugikan terhadap pembelajaran dan
kinerja.
4. Transfer jauh
Terjadi saat memperluas atau menggunakan yang sudah dipelajari
selama pelatihan dengan cara yang baru.
Menurut Gagne (Emda, 2014) belajar merupakan perubahan aktivitas atau
kemampuan melalui aktivitas yang telah dicapai oleh individu. Agus (Emda,
2014) menyatakan bahwa perubahan aktivitas tersebut tidak langsung
diperoleh dari proses pertumbuhan suatu individu secara alami. Menurut
Slameto (Emda, 2014) belajar merupakan dimana individu dapat memperoleh
suatu perubahan tingkah laku baru yang didapatkan dari proses usaha
individu tersebut dan hasil pengalaman dari individu tersebut dengan interaksi
disekitarnya.
Slameto (Emda, 2014) menyatakan bahwa hasil dari perubahan tingkah
laku setelah individu tersebut belajar mengenai sesuatu dapat mengalami
perubahan tingkah laku secara keseluruhan dalam sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku, yaitu:
1. Perubahan terjadi secara sadar oleh individu.
2. Perubahan dalam belajar belajar bersifat berlanjut dan berguna.
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
4. Perubahan dalam belajar tidak bersifat sementara.
5. Perubahan dalam belajar memiliki tujuan dan terarah.
6. Perubahan dari seluruh tingkah laku.
Hasil belajar yang baik dapat dicapai dengan diiringi proses belajar
mengajar yang baik. Diperlukan strategi agar siswa dapat mencari tahu dan
membangun pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman belajar yang
nyata. Dengan aktifnya siswa dalam proses pembelajaran dapat memberikan
dampak yang positif terhadap hasil belajar (Emda, 2014). Menurut Anni
Chatarina dkk (Emda, 2014), terdapat unsur-unsur belajar yaitu:
1. Pembelajar
Pembelajar berupa peserta didik, warga, dan peserta pelatihan.
2. Rangsangan
Suatu kejadian yang merangsang indera pembelajaran. Terdapat banyak
stimulus dalam kehidupan disekitar lingkungan individu.
3. Memori
Memori tersebut berisi berbagai kemampuan yang berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikap.
4. Respon
Tindakan yang dilakukan oleh individu hasil dari pengalaman individu yang
terdapat dalam ingatan. Ingatan yang ada di dalam diri individu
memberikan respon terhadap stimulus dilingkungan sekitar.
Darsono (Emda, 2014) menyatakan prinsip belajar yaitu:
1. Kematangan jasmani dan rohani
Merupakan salah satu prinsip utama belajar, harus mencapai kematangan
jasmani dan rohani berdasarkan yang telah dipelajari oleh individu.
Kematangan jasmani adalah suatu keadaan dimana individu tersebut
mencapai batas minimal umur dan kondisi fisiknya sudah cukup untuk
melakukan aktivitas belajar. Sedangkan kematangan rohani yaitu dimana
individu telah memiliki kemampuan seara psikologis untuk melakukan
aktivitas pembelajaran.
2. Memiliki kesiapan
Kemampuan yang cukup seperti fisik dan mental serta perlengkapan
belajar harus dimiliki oleh setiap individu.
3. Memahami tujuan
Saat proses pembelajaran, individu harus memahami tujuan dan manfaat
dari pembelajaran tersebut bagi diri sendiri. Proses pembelajaran dapat
cepat selesai dan berhasil karena adanya prinsip tersebut, sehingga
sangat penting untuk dimiliki oleh individu dalam proses belajar.
4. Memiliki kesungguhan
Individu yang belajar wajib memiliki kesungguhan untuk melakukan
kegiatan belajar tersebut, karena jika tidak belajar dengan sungguh-
sungguh akan memperoleh hasil yang kurang bagus.
5. Ulangan dan latihan
Pelajaran yang dipelajari oleh individu wajib diulang agar dapat teringat di
dalam otak dan dapat dikuasai penuh serta tidak gampang terlupakan
dalam ingatan individu tersebut.
Belajar merupakan hal yang familiar di dalam kehidupan manusia. Belajar
adalah suatu proses yang mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku pada
individu. Setelah individu melakukan proses belajar terjadi suatu perubahan
perilaku dalam diri. Perilaku dalam arti yang luas dapat diartikan juga dengan
overt behavior atau innert behavior. Perubahan dapat dalam bentuk kognitif,
afektif, dan psikomotor. Perubahan perilaku juga dapat aktual, yaitu yang
dapat dilihat, tetapi juga dapat bersifat potensial, yaitu tidak dapat terlihat saat
itu juga, namun akan terlihat di lain waktu.
Perubahan yang dikarenakan oleh proses belajar yaitu bersifat relatif
permanen, yang dimana perubahan tersebut akan berlangsung lama dalam
waktu yang relatif panjang. Namun, pada waktu lain perubahan tersebut dapat
berubah lagi akibat belajar hal yang lain, sehingga perubahan tersebut tidak
akan menetap terus-menerus. Perubahan perilaku yang merupakan hasil dari
proses belajar merupakan perubahan yang dialami melalui pengalaman atau
latihan. Perubahan tersebut tidak terjadi karena kematangan yang ada pada
diri individu, faktor kelelahan, dan juga faktor temporer individu. Kematangan
yang ada pada diri individu, faktor kelelahan, dan juga faktor temporer dapat
menyebabkan perubahan perilaku pada individu namun bukan karena individu
belajar. Proses belajar tersebut tidak dapat terlihat, namun yang terlihat
adalah hasil dari belajar. Proses belajar merupakan hal yang terdapat dalam
diri individu yang sedang belajar, kemudian mengakibatkan perubahan
perilaku (Walgito, 2010).
Menurut Hergenhahn dan Olson (Walgito, 2010) terdapat teori-teori yang
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Teori belajar yang lebih mengarah pada aliran behaviorisme
a. Teori belajar asosiatif
Teori belajar yang dipelopori oleh Pavlov. Pavlov menyimpulkan bahwa
kondisioning atau kebiasaan dapat merubah perilaku. Contohnya
seperti eksperimen Pavlov, yaitu terdapat anjing yang pada mulanya
tidak mengeluarkan air liur saat dibunyikan suatu bel, namun setelah
dilatih selama berulang-ulang dengan cara yang sama setiap saat,
akhirnya anjing tersebut mengeluarkan air liur saat mendengarkan bel
berbunyi, jadi hasilnya anjing tersebut tetap mengeluarkan air liurnya
saat mendengarkan bel berbunyi walaupun tidak terdapat makanan di
depan anjing tersebut. Hal tersebut terjadi karena adanya kondisioning.
b. Teori belajar fungsionalistik
Teori belajar tersebut dipelopori oleh Thorndike dan Skinner. Menurut
Thorndike terdapat beberapa hukum, yaitu yang pertama hukum
kesiapan, tanpa hukum kesiapan kemungkinan hasilnya akan kurang
memuaskan maka dari itu jika ingin mencapai hasil yang baik harus
terdapat hukum kesiapan, yang kedua yaitu hukum latihan, jika individu
sering melatih diri, maka ada kemungkinan bahwa hasilnya akan lebih
baik jika dibandingkan dengan tanpa latihan. Yang ketiga yaitu hukum
efek, yang dimana setelah kesiapan dan latihan, individu akan
memperoleh efeknya dari kedua hal tersebut. Menurut Skinner dalam
kondisioning operan terdapat dua prinsip umum, yaitu:
1) Reward yang diberikan pada setiap respons (reinforcing stimuli)
akan cenderung diulangi.
2) Meningkatnya kecepatan terjadinya suatu respons karena adanya
reward yang merupakan reinforcing stimuli.
2. Teori belajar yang lebih mengarah pada aliran kognitif
a. Kohler merupakan pencetus teori belajar yang lebih mengarah pada
aliran kognitif. Dalam memecahkan masalah, Kohler tidak mengingkari
adanya trial and error seperti yang dikemukakan oleh Thorndike.
Menurut Kohler, insight merupakan hal yang terpenting dalam
memecahkan masalah.
b. Jean Piaget merupakan salah satu pelopor teori belajar pada aliran
kognitif. Piaget mengemukakan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
merupakan proses individu merespons terhadap lingkungan disekitar
yang sesuai dengan pemikiran dari individu. Asimilasi yaitu
mencocokan antara pemikiran individu dengan lingkungan sekitar.
Contohnya seperti, pada anak terdapat skema menyusu, memegang,
dan marah, maka kejadian-kejadian tersebut yang akan diasimilasi
dengan skema-skema tersebut. Skema merupakan suatu hal yang ada
pada diri individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Misalnya
seperti skema menangkap, skema tersebut merupakan pemikiran yang
membuat individu kemungkinan dapat menangkap. Skema merupakan
struktur dasar dari struktur kognitif. Kemungkinan anak akan
mengasimilasikan bermacam-macam aspek dari lingkungan sekitar,
apabila berkembangnya atau berubahnya struktur kognitif dari anak
tersebut. Kemudian terdapat akomodasi, yaitu dimana terdapat proses
pengembangan selain asimilasi, karena belum terdapat skema-skema
tertentu untuk mengubah struktur kognitif. Individu memiliki
pengalaman yang mengandung proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi saat individu mempunyai struktur kognitif dengan
pengalaman yang bersangkutan, tetapi saat tidak ada struktur kognitif,
maka perlu terdapat akomodasi dalam hal tersebut. Oleh karena itu
dalam pengalaman individu terdapat dua proses yang penting, yaitu
yang pertama adalah recognition atau knowing yang berhubungan
dengan proses asimilasi, dan yang kedua yaitu belajar atau akomodasi
yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dalam struktur
kognitif. Contohnya seperti, individu merespons terhadap lingkungan
sekitar berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah dialami di
masa lalu (asimilasi) oleh individu sendiri, namun setiap pengalaman
mengandung aspek yang tidak seperti pengalaman di masa lalu, hal
tersebut yang menyebabkan perubahan dalam struktur kognitif
(akomodasi).
Belajar memiliki peran yang penting di tengah-tengah persaingan untuk
mempertahankan kehidupan manusia yang dimana persaingan tersebut
semakin ketat di antara bangsa-bangsa lain. Banyaknya individu lain terpuruk
dan banyak juga yang menghancurkan kehidupan satu sama lain disebabkan
oleh individu yang pintar dan menggunakan kepintarannya dengan hal yang
buruk. Terdapat beberapa juga dampak negatif dari hasil belajar, seperti
membuat senjata untuk memusnahkan sesama manusia, karena belajar
berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Belajar
merupakan suatu proses kegiatan yang sangat mendalam mengenai di bidang
pendidikan. Berhasil atau gagalnya dalam mencapai tujuan pendidikan
tersebut bergantung pada proses belajar yang dialami di sekolah atau di
lingkungan rumah dan keluarga individu. Beberapa individu memiliki
anggapan bahwa belajar merupakan kegiatan mengumpulkan atau
menghafalkan informasi-informasi yang tersedia dalam bentuk materi
pelajaran. Sebagian individu memandang bahwa belajar merupakan sebuah
latihan seperti latihan membaca dan menulis (Syah, 2015).
Ormrod (2009) mengemukakan bahwa transfer merupakan bagaimana
individu mempunyai pemikiran bukan hanya seberapa baik untuk dapat
memahami dan mengingat pelajaran yang telah diberikan namun juga
mengenai seberapa efektif individu dapat menggunakan materi tersebut di
kehidupan nyata atau mengaktualisasikannya. Transfer terjadi saat
pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya oleh individu
dapat mempengaruhi respon individu tersebut pada kejadian yang lainnya.
Terdapat 4 transfer, yaitu:
1. Transfer positif
Kejadian dimana pelajaran yang telah dipelajari oleh individu sebelumnya
dapat membawa pengaruh yang baik di kejadian selanjutnya.
2. Transfer negatif
Kejadian dimana pelajaran yang telah dipelajari oleh individu sebelumnya
dapat mengganggu pembelajaran atau perilaku dari individu di kejadian
selanjutnya.
3. Transfer spesifik
Terjadi saat tugas yang sebenarnya dengan tugas transfer memiliki isi
yang saling berhubungan.
4. Transfer umum
Terjadi saat tugas yang sebenarnya dengan tugas transfer memiliki isi
yang berbeda.
Halpwern (Ormrod, 2009) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya transfer, faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi kemampuan belajar untuk memanggil kembali (retrieve)
yang telah dipelajari, yaitu:
1. Belajar dengan mengerti atau memahami materi dapat memicu transfer
yang lebih baik daripada belajar dengan menghafal.
Menurut Bereiter (Ormrod, 2009) bahwa informasi yang dipelajari dengan
memahami materi tersebut akan lebih mudah untuk mengaplikasikannya
ke kejadian yang baru. Semakin banyak asosiasi yang dibuat oleh individu
antara informasi yang baru diterima dengan beragam informasi yang telah
ada di memori jangka panjang, semakin besar kemungkinan bahwa
individu akan menemukan atau memanggil kembali informasi baru
tersebut disaat informasi tersebut diperlukan.
2. Semakin menyeluruh suatu hal dipelajari, semakin besar kemungkinan
ditransfer kejadian yang baru.
Saat siswa merasa mudah untuk mentransfer apa yang telah dipelajari ke
kejadian yang baru, hal tersebut karena siswa tersebut sering
menghabiskan waktu untuk mempelajari topik-topik tertentu.
3. Menimbulkan transfer positif atau negatif saat terdapat kejadian yang baru
mirip dengan kejadian sebelumnya.
Adanya kemiripan dua kejadian, di masa sekarang dengan masa lalu
dapat meningkatkan transfer positif dan juga dapat menyebabkan transfer
negatif.
Menurut Feldman (Sarwono, 2013) bahwa proses belajar memiliki hal
yang penting yaitu fungsi ingatan. Mengingat merupakan suatu kegiatan
menyimpan hal-hal yang telah diketahui oleh individu untuk dikeluarkan pada
lain waktu kejadian. Proses penyimpanan yang dilakukan adalah dengan cara
mengodekan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi yang telah
diterima. Menurut Foer (Sarwono, 2013) ingatan adalah sambungan-
sambungan antara neuron-neuron di otak individu dalam berupa simpanan
pola.
Intelegensi merupakan salah satu kemampuan yang terdapat dalam diri
individu. Kemampuan intelegensi tersebut bersifat mampu dan kecakapan
umum yang nyata dalam lingkungan (Purwanto, 2010). Terdapat suatu alat
pengukuran untuk mengukur fungsi intelektual yaitu dengan menggunakan IQ
(Intelligence Quotient). Tes tersebut mencerminkan bagaimana hasil kerja
satu individu dengan individu lainnya. Tes IQ tersebut dapat juga
mempengaruhi kemampuan mental yang dimana sebagian besar psikolog
berkeyakinan akan hal tersebut (Wade dan Tavris, 2007).
III. HIPOTESIS
A. Individu
1. Ada perbedaan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pola I
dan pola II untuk individu.
2. Ada perbedaan error yang diperlukan untuk menyelesaikan pola I dan
pola II untuk individu.
B. Kelompok
1. Ada perbedaan waktu yang terjadi pada pengerjaan pola I dan pola II
untuk kelompok.
2. Ada perbedaan error yang terjadi pada pengerjaan pola I dan pola II
untuk kelompok.
IV.METODE PENELITIAN
Metode : Eksperimental
Desain : The One Shot Case Study
V. PROSEDUR
A. Material
1. Kartu
1. Pola gambar
2. Stopwatch
3. Ado check
4. Pensil
B. Prosedur Pelaksanaan
1. Teste duduk menghadapi alat (kartu).
2. Tester mengocok kartu sebanyak mungkin.
3. Teste menempatkan kartu sesuai dengan polanya.
4. Setelah selesai percobaan I (setelah diulang 5 kali) kemudian papan
pola diubah dan kartu dikocok kembali.
VI.PENCATATAN HASIL
A. Individu
Pola I Pola II
Trial
Time Error Time Error
1 60 5 55 2
2 115 0 55 0
3 60 0 180 0
4 60 0 60 0
5 60 0 55 2
6 60 0 120 5
Keterangan: Waktu dinyatakan dalam satuan detik
B. Kelompok
Pola I Pola II
Subjek
X Time X Error X Time XError
P 60 5 55 2
E 115 0 55 0
J 60 0 180 0
M 60 0 60 0
G 60 0 55 2
D 60 0 120 5
Total 415 5 525 9
Keterangan: Waktu dinyatakan dalam satuan detik
VII. PENGOLAHAN HASIL
A. Individu
1. Time
T1 T2 |B| b b2
60 55 5 5 25
N=6 N=6 N=6 N=6 N=6
∑ T 1=¿ ∑ T 2=55 ∑|B|=5 ∑b=5 ∑ b2= 25
60
X́ =10 X́ =9,1 X́ =0,8 X́ =0,8 X́ =4,1
Cara Penyelesaian:

|X́T1 - X́T2|
t 12 =
∑ X b2

|10-9,1|
N ( N-1 )

=
25
√ 6 ( 6-1 )
|0,9|
=
√ 0,83
|0,9|
=
0,9
=1
db = N-a
= 6-2 = 4
th=1>tt 5%=→Signifikan
2. Error
T1 T2 |B| b b2
0 2 -2 -2 4
N=6 N=6 N=6 N=6 N=6
∑ T1=¿ ∑ T2=2 ∑|B|=-2 ∑ b = -2 ∑ b2 = 4
0
X́ =0 X́ =0,3 X́ =0,3 X́ =0,3 X́ =0,67
Cara penyelesaian:

|X́E1 - X́E2|
t 12 =
∑ X b2
√ N ( N-1 )
|0- 0,3|
=
4
√ 6 ( 6-1 )
|0,3|
=
√ 0,13
|0,5|
=
0,36
=0,83
Db= N-a
= 6-2 = 4
= th=0,83 >tt 5%=→signifikan
B. Kelompok
1. Time
Subjek T1 T2 |B| B B2
P 60 55 5 5 25
- - -3600
D 60 120 6 6
0 0
M 60 60 0 0 0
J 60 180 -120 -120 14.400
E 115 55 60 60 3.600
G 60 55 5 5 25
N 6 6 6 6 6
41
∑X 5
525 -110 -110 21.600
69 3.600
X́ 87,5 18,3 18,3
,2
Cara Penyelesaian:

|X́E1 - X́E2|
t 12 =
∑ X b2
√ N ( N-1 )
|69,2-87,5|
=
-18,3
√ 6 ( 6-1 )
|-18,3|
=
√720
|-18,3|
=
26,8
=0,68
db= N-a
= 6-2= 4
th=0,68 <tt 5%=→tidak signifikan

2. Error
Subjek T1 T2 |B| B B2
P 5 2 3 3 3
E 0 0 0 0 0
J 0 0 0 0 0
M 0 0 0 0 0
G 0 2 0 -2 -2
D 0 5 -5 -5 -25
N 6 6 6 6 6
∑X 5 9 -4 -4 -20
0, -3,3
X́ 1,5 -0,7 -0,7
3
Cara Penyelesaian:

|X́E1 - X́E2|
t 12 = 2
√∑ X b
|0,3-1,5|
=
-20
√ 6 ( 6-1 )
|-1,2|
=
√ -0,6
|-1,2|
=
0,
= 1,71
db= N-a
= 6-2=4
th= 1,71<tt 5%= →tidaksignifikan
VIII. KESIMPULAN
A. Individu
1. Ada perbedaan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pola I
dan pola II untuk individu, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan
data dimana t12 = 1 > tt 5%, sehingga hipotesis diterima.
2. Ada perbedaan error yang diperlukan untuk menyelesaikan pola I dan
pola II untuk individu, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data
dimana t12 = 0,083 > tt 5% , sehingga hipotesis diterima.

B. Kelompok
1. Tidak ada perbedaan waktu yang terjadi pada pengerjaan pola I dan
pola II untuk kelompok, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data
dimana t12 = 0,68 < tt 5%, sehingga hipotesis ditolak.
2. Tidak ada perbedaan error yang terjadi pada pengerjaan pola I dan
pola II untuk kelompok, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data
dimana t12 = 1,71 < tt 5% = 2,44, sehingga hipotesis ditolak.
IX. PEMBAHASAN
A. Individu
1. Ada perbedaan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pola I
dan pola II untuk individu, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan
data dimana t12 = 1 > tt 5%, sehingga hipotesis diterima sama dengan
teori yang dikemukakan oleh Ormrod (2009) yang menyatakan
bahwa transfer terjadi saat pengetahuan dan keterampilan yang telah
dimiliki sebelumnya oleh individu dapat mempengaruhi respon
individu tersebut pada kejadian yang lainnya. Dilihat dari individu
yang waktunya sangat cepat menyelesaikan pola tersebut.
2. Ada perbedaan error yang diperlukan untuk menyelesaikan pola I
dan pola II untuk individu, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan
data dimana t12 = 0,083 > tt 5%, sehingga hipotesis diterima sama
dengan teori yang dikemukakan oleh Feldman (Sarwono, 2013)
bahwa mengingat merupakan suatu kegiatan menyimpan hal-hal
yang telah diketahui oleh individu untuk dikeluarkan pada lain waktu
kejadian. Proses penyimpanan yang dilakukan adalah dengan cara
mengodekan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi
yang telah diterima.
B. Kelompok
1. Tidak ada perbedaan waktu yang terjadi pada pengerjaan pola I dan
pola II untuk kelompok, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data
dimana t12 = 0,68 < tt 5%, sehingga hipotesis ditolak sama dengan
teori yang dikemukakan oleh Ormrod (2009) bahwa terdapat transfer
negatif yaitu kejadian dimana pelajaran yang telah dipelajari oleh
individu sebelumnya dapat mengganggu pembelajaran atau perilaku
dari individu di kejadian selanjutnya.
2. Tidak ada perbedaan error yang terjadi pada pengerjaan pola I dan
pola II untuk kelompok, yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data
dimana t12 = 1,71 < tt 5%, sehingga hipotesis ditolak sama dengan
teori yang dikemukakan oleh Ormrod (2009) bahwa terdapat kejadian
yang mirip sehingga menimbulkan transfer positif atau negatif saat
terdapat kejadian yang baru mirip dengan kejadian sebelumnya.
Adanya kemiripan dua kejadian, di masa sekarang dengan masa lalu
dapat meningkatkan transfer positif dan juga dapat menyebabkan
transfer negatif.
X. KESAN-KESAN SELAMA EKSPERIMEN
A. Kondisi Fisik
1. Ruangan yang dipakai dingin karena AC menyala.
2. Testee memakai baju kaos
3. Testee memakai sepatu flat.
4. Pintu ruangan tertutup.
5. Cahaya menerangi ruangan.
6. Terdapat dua kursi dan sebuah meja di dalam ruangan.
B. Kondisi Psikologis
1. Testee duduk di depan tester.
2. Testee sesekali tersenyum.
3. Testee terlihat sesekali menggoyangkan kaki.
4. Testee sesekali melihat kearah tester karena bunyi dari hand tally
counter.
XI. KEGUNAAN SEHARI-HARI
1. Dapat membantu individu untuk meningkatkan daya ingat dan pikiran.
2. Menjadi sarana dalam meningkatkan performa.
3. Membantu untuk membuat individu menjadi lebih fokus pada suatu
pekerjaan.
4. Membantu individu menjadi luwes.

Makassar,……………..2019

ASISTEN TESTER

(CARIN SUDARJO) (BRIGITTA TUNGAWI/1771019)


DAFTAR PUSTAKA

Ardaneswari, C. P. (2016). Transfer Of Training (Analisis Pelaksanaan Transfer


Of Training Di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Daerah Istimewa
Yogyakarta). Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara. 4(2). 137-152.
Emda, A. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Di SMA
Negeri 12 Banda Aceh. Lantanida Journal. 1(1). 69-79.
Ormrod, J. E. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Purwanto. (2010). Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan. 16(4). 477-485.
Sarwono, S. W. (2013). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Syah, M. (2015). Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wade, C dan Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Walgito, B. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Efek stroop
Ekseprimen 05/EXP/2019
TRANSFER OF POSITIVE TRAINING
Nama Eksperimenter : Brigitta Tungawi
Nomor Mahasiswa : 177019
Nama Subjek : Madah Ayu
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Pendidikan : Mahasiswi
No. Eksperimen : 05
Tanggal eksperimen : 12 Juni 2019
Waktu Eksperimen : 10.30-12.00
Tempat Eksperimen : Ruang Laboratorium Prodi Psikologi UAJM
I. PROBLEM
Bagaimanakah mengukur efek kebiasaan dari belajar itu ? Kalau proses
belajar dengan trial and error seberapa besar efek transfernya ?
II. DASAR TEORI
Menurut Brown (Rahayu, 2012) transfer merupakan istilah yang sering
digunakan untuk menampilkan pengetahuan yang telah diketahui oleh individu
ke kejadian atau pembelajaran yang selanjutnya. Sedangkan menurut Brahim
(Rahayu, 2012) transfer merupakan suatu proses tanpa disadari oleh individu
dalam menggunakan pengetahuan yang telah diketahui untuk menampilkan
respon yang baru. Transfer dibagi menjadi dua, yaitu transfer positif dan
transfer negatif. Transfer positif yaitu memiliki respon yang baru sesuai
dengan norma-norma yang ada dan sesuai dengan respon yang lama.
Sedangkan transfer negatif yaitu memiliki respon yang baru namun
bertentangan dengan norma-norma yang ada dan bertentangan yang tingkah
laku yang lama, sehingga terdapat kesalahan.
Ormrod (2009) mengemukakan bahwa transfer terjadi saat pengetahuan
dan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya oleh individu dapat
mempengaruhi bagaimana individu tersebut belajar atau mengerjakan sesuatu
pada kejadian yang lain. Terdapat 4 transfer, yaitu:
1. Transfer positif
Suatu kejadian dimana hal yang telah dipelajari oleh individu pada suatu
kejadian dapat memberikan respon yang baik pada kejadian lainnya.
2. Transfer negatif
Suatu kejadian dimana hal yang telah dipelajari oleh individu dapat
memberikan respon yang buruk atau mengganggu pembelajaran di
kejadian selanjutnya.
3. Transfer spesifik
Terjadi saat tugas yang sebenarnya dengan tugas transfer memiliki isi
yang saling berhubungan.
4. Transfer umum
Terjadi saat tugas yang sebenarnya dengan tugas transfer memiliki isi
yang berbeda.
Halpwern (Ormrod, 2009) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya transfer, faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi kemampuan belajar untuk memanggil kembali (retrieve)
yang telah dipelajari, yaitu:
4. Belajar dengan mengerti atau memahami materi dapat memicu transfer
yang lebih baik daripada belajar dengan menghafal.
Menurut Bereiter (Ormrod, 2009) bahwa informasi yang dipelajari dengan
memahami materi tersebut akan lebih mudah untuk mengaplikasikannya
ke kejadian yang baru. Semakin banyak asosiasi yang dibuat oleh individu
antara informasi yang baru diterima dengan beragam informasi yang telah
ada di memori jangka panjang, semakin besar kemungkinan bahwa
individu akan menemukan atau memanggil kembali informasi baru
tersebut disaat informasi tersebut diperlukan.
5. Semakin menyeluruh suatu hal dipelajari, semakin besar kemungkinan
ditransfer kejadian yang baru.
Saat siswa merasa mudah untuk mentransfer apa yang telah dipelajari ke
kejadian yang baru, hal tersebut karena siswa tersebut sering
menghabiskan waktu untuk mempelajari topik-topik tertentu.
6. Menimbulkan transfer positif atau negatif saat terdapat kejadian yang baru
mirip dengan kejadian sebelumnya.
Adanya kemiripan dua kejadian, di masa sekarang dengan masa lalu
dapat meningkatkan transfer positif dan juga dapat menyebabkan transfer
negatif.

Rahayu (2012) mengemukakan bahwa proses transfer dapat dikaitkan


dengan teori belajar behaviorisme. Individu yang telah menguasai bahasa
pertama yang dimilikinya, maka individu tersebut belum mendapatkan
stimulus bahasa yang kedua. Terdapat bahasa pertama saat berbahasa
kedua karena stimulus bahasa kedua merupakan stimulus yang mirip dengan
bahasa pertama yang belum pernah diterima oleh individu. Dua bahasa
tersebut terdapat di dalam satu tempat dan memiliki hubungan serta saling
mempengaruhi. Transfer bahasa mencakup bidang linguistik, yaitu:
1. Sistem bahasa (fonologi, motfologi, sintaksis).
2. Subsistem bahasa antara bahasa pertama dan bahasa kedua (posesif),
kata ganti, kata kerja).
3. Konstruksi bahasa (pasif, bentuk relatif, bentuk nominal, bentuk kalimat
langsung,pengandaian).
4. Aturan-aturan gramatika bahas apertama dan bahasa kedua (penempatan
subjek, kata sifat, kalimat Tanya, pembentukan frase).
Menurut Nahar (2016) teori belajar behavioristik merupakan teori yang
mempelajari tingkah laku individu. Menurut Desmita (Nahar, 2016) teori
belajar behavioristik merupakan teori belajar yang dapat memahami tingkah
laku individu dengan menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan
materialistic, melalui upaya pengkondisian, perubahan tingkah laku yang
terdapat dalam diri individu dapat terjadi. Pengujian dan pengamatan terhadap
tingkah laku individu yang dapat terlihat dapat dilakukan untuk mempelajari
tingkah laku individu, pengamatan merupakan utama dari teori tersebut,
karena pengamatan merupakan hal utama untuk dapat mengetahui adanya
atau tidak adanya perubahan tingkah laku dari individu (Nahar, 2016).
Teori belajar behavioristik menekankan pada perilaku yang nyata dan
tidak berhubungan dengan kesadaran atau bagian dari mental. Ciri utama dari
teori belajar behavioristik yaitu guru bersikap otoriter dan sebagai individu
yang menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir atau perilaku tertentu, dan
sebagai pengendali perilaku yang baru. Teori belajar behavioristik
menganggap bahwa manusia bersifat pasif dan manusia bergantung pada
stimulus yang diterima. Teori belajar behavioristik juga menekankan pada
perubahan tingkah laku yang terjadi pada individu. Teori belajar behavioristik
berlawanan dengan teori kognitif yang merupakan proses belajar yaitu sebuah
proses mental yang tidak diamati oleh kasat mata (Nahar, 2016).
Dalam teori belajar behavioristik, tingkah laku pada individu dapat
dikendalikan oleh penguatan dari lingkungan sekitar. Dalam tingkah laku
belajar, individu dapat menimbulkan reaksi-reaksi dengan stimulus yang telah
didapat. Hal utama dari belajar yaitu input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respons (Nahar, 2016). Menurut Sujanto (Nahar, 2016) bahwa
teori belajar behavioristik merupakan sesuatu yang dapat terlihat oleh indera
dan dapat diobservasi.
Menurut Skinner (Walgito, 2010) belajar merupakan suatu proses adaptasi
tingkah laku yang memiliki sifat naik terus menerus atau progresif. Sebab
akibat dari perilaku belajar yang bersifat progresif yaitu adanya
kecenderungan untuk ke arah yang lebih sempurna atau lebih baik dari
keadaan yang sebelumnya. Walgito (2010) mengemukakan bahwa belajar
mengakibatkan perubahan pada diri individu. Menurut Morgan, dkk (Walgito,
2010) bahwa dalam belajar terdapat perubahan perilaku atau performance
relative permanen. Perubahan perilaku yang terjadi pada individu disebabkan
oleh latihan yang dilakukan oleh individu atau bisa juga karena pengalaman
dari individu sendiri. Latihan dilakukan oleh individu tersebut dengan usaha
dari diri sendiri, dan yang dimaksud dengan pengalaman yaitu, pengalaman
tidak memerlukan sebuah usaha dari individu, namun dengan adanya
pengalaman, dapat mengubah tingkah laku individu, dan seiring perubahan
tersebut disebabkan juga karena adanya latihan.
Belajar merupakan suatu proses yang dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan tingkah laku. Sehabis dilakukannya belajar, belum tentu individu
yang bersangkutan langsung mengalami perubahan dalam tingkah lakunya.
Perubahan-perubahan dapat terjadi dalam segi kognitif, afektif, dan segi
psikomotor. Perubahan perilaku juga aktual atau nyata, yaitu dapat terlihat
oleh mata, tetapi juga dapat bersifat potensial, yaitu yang tidak dapat terlihat
saat itu, namun terlihat di kejadian selanjutnya atau kejadian yang lain
(Walgito, 2010).
Perubahan yang disebabkan oleh belajar bersifat relatif permanen,
perubahan tersebut akan bertahan lama dalam waktu yang lama. Namun,
perubahan tersebut suatu saat dapat berubah akibat belajar hal yang baru,
maka perubahan pada individu tidak akan menetap terus menerus di dalam
diri. Perubahan yang terjadi pada diri individu juga merupakan karena adanya
faktor kematangan pada diri individu, misalnya seperti anak yang belum dapat
tengkurap lalu dapat tengkurap, perubahan tersebut diakibatkan karena
adanya faktor kematangan diri (Walgito, 2010).
Belajar merupakan suatu proses, yang di dalamnya terdapat masukan
(input), yaitu suatu hal yang akan diproses dan dapat menghasilkan
perubahan hasil (output). Proses belajar merupakan intervening variable, yaitu
penghubung antara independent variable dengan dependent variable, yang
berarti proses belajar dala diri individu dapat menghasilkan sebuah perubahan
dalam tingkah lakunya. Terdapat beberapa jenis masukan (input), yaitu
masukan mentah (raw input), masukan instrument (instrumental input), dan
masukan lingkungan (environmental input). Apabila salah satu dari masukan
terganggu, maka proses belajar pun akan terganggu dan hasilnya juga akan
terganggu. Semua masukan (input) saling berkaitan dan berhubungan
(Walgito, 2010).
Menurut Piaget (Mulyadi dkk, 2016)Perubahan yang terjadi akibat belajar
yaitu perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor. Perubahan kognitif pada
individu misalnya seperti pengetahuan yang didapatkan menjadi lebih banyak
atau luas, pemahaman yang lebih mendalam, kemampuan berpikir lebih
tinggi, dan kemampuan memecahkan masalah lebih tinggi dari sebelumnya.
Perubahan afektif pada individu seperti perasaan kasih kepada orang tua dan
sesama akan meningkat. Perubahan psikomotor pada individu yaitu
keterampilan (skill) dan prestasi meningkat. Perubahan kognitif, afektif, dan
psikomotor terjadi karena dalam belajar terdapat 3 proses, yaitu:
1. Asosiasi
Proses menghubungkan pengetahuan yang baru diterima dengan
pengetahuan yang telah dimiliki.
2. Akomodasi
Proses menyatukan pengetahuan yang baru didapatkan dengan
pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya oleh individu.
3. Ekuilibrasi
Proses perpindahan dari suatu pemikiran ke pemikiran yang berikutnya
apabila individu mengalami kesulitan atau bertentangan dengan
pengetahuan sebelumnya.
Teori belajar menurut Bandura (Mulyadi dkk, 2016) disebut dengan a
social cognitive theory. Teori tersebut memiliki hal utama dalam peran
reinforcement dan faktor kognitif. Perilaku yang berubah tidak hanya
disebabkan oleh stimulus eksternal, namun juga dapat merupakan dari diri
sendiri. Perilaku yang dibentuk dan berubah dapat melalui sosial individu atau
relasi dan interaksi terhadap individu lain. Pembentukan atau pengubahan
perilaku dapat dilakukan melalui pengamatan atau observasi, melalui contoh
yang diliat oleh individu di kehidupan sehari-hari.
Penguatan (reinforcement) merupakan sebuah proses pada sebuah
rangsangan yang meningkatkan kemungkinan dari perilaku yang terjadi.
Terdapat penguatan positif dan penguatan negatif, penguatan positif (positive
reinforcement) yaitu perilaku terjadi dan meningkat karena adanya
rangsangan yang menyenangkan, sedangkan penguatan negatif (negative
reinforcement) yaitu perilaku semakin meningkat karena adanya rangsangan
yang tidak menyenangkan (King, 2010).
Menurut Kohler (King, 2010) bahwa penyelesaian masalah tidak meliputi
perilaku trial and error atau hubungan antara rangsangan dan respons, namun
karena adanya ide (insight) dari dalam diri individu. Pembelajaran melalui
pemahaman yang mendalam (insight learning) merupakan suatu bentuk
pemecahan masalah pada saat individu memiliki pemahaman mendalam atau
dengan tiba-tiba mendapatkan insight mengenai masalah tersebut, untuk
memahami dan memecahkan masalah tersebut. Menurut King (2010) terdapat
beberapa faktor dalam pembelajaran, yaitu faktor biologis, budaya, dan
psikologis.
Menurut Feldman (Sarwono, 2013) bahwa proses belajar memiliki hal
yang penting yaitu fungsi ingatan. Mengingat merupakan suatu kegiatan
menyimpan hal-hal yang telah diketahui oleh individu untuk dikeluarkan pada
lain waktu kejadian. Proses penyimpanan yang dilakukan adalah dengan cara
mengodekan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi yang telah
diterima. Menurut Foer (Sarwono, 2013) ingatan adalah sambungan-
sambungan antara neuron-neuron di otak individu dalam berupa simpanan
pola. Menurut Agustina dan Hamdu (2011) terdapat faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi individu dalam belajar, yaitu motivasi. Dengan
terdapat motivasi, individu akan lebih bekerja dengan keras, tekun, serta
memiliki konsentrasi yang penuh dalam proses pembelajaran.
Menurut Mulyadi dkk (2016) bahwa belajar bukan hanya sekedar
menghafal, namun proses menguasai suatu hal yang bermakna dan dapat
diperoleh dari pendidikan, latihan, maupun pengalaman yang menghasilkan
adanya perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai akibat dari
penguasaan materi tesebut yang telah dipelajari. Menurut Vermunt dan Van
Rijswijk (Mulyadi dkk, 2016) terdapat beberpa aspek-aspek belajar yang
bermakna, yaitu:
1. Menyeleksi (selecting)
Mengurangi materi atau hal-hal yang diterima oleh individu, dan
menyisakan inti-intinya saja yang penting. Menyeleksi dilakukan dengan
memfokuskan hanya pada suatu bidang tertentu.
2. Menghubungkan (relating)
Menghubungkan bagian-bagian materi yang diterima ke pengetahuan atau
bagian-bagian materi yang telah dipelajari sebelumnya oleh individu.
3. Mengkonkretkan (concretizing)
Mengubungkan materi yang telah diterima oleh individu ke hal-hal yang
konkret seperti pengalaman pribadi individu sendiri, kejadian dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Analisis (analizing)
Menguji secara tahap demi tahap mencakup informasi yang diterima oleh
individu.
5. Membuat struktur (strucuturing)
Menyusun bagian-bagian yang terpisah dari materi yang telah dipelajari
dan menyatukan pengetahuan yang baru didapat ke dalam pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya.
6. Personalisasi (personalizing)
Membuat pengetahuan menjadi bagian dari diri individu, hal-hal yang
berada di sekitar individu dapat dimengerti dengan cara yang baru.
7. Menjadi aktif (being active)
Mencari tahu mengenai sesuatu atau pengetahuan yang baru,
menyimpulsan sendiri berdasarkan adanya fakta, membangun interpretasi
dan opini sendiri.
8. Mengingat dan mengulang (memorizing and rehearsing)
Memisahkan fakta atau pengetahuan yang telah diterima oleh individu dan
mengulanginya berulang kali.
III. HIPOTESIS
A. Individu
1. Ada perbedaan waktu pada aktivitas tangan kiri antara sebelum dan
sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu.
2. Ada perbedaan kesalahan pada aktivitas tangan kiri antara sebelum
dan sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu.
B. Kelompok
1. Ada perbedaan waktu pada aktivitas tangan kiri antara sebelum dan
sesudah latihan dengan tangan kanan pada kelompok.
2. Ada perbedaan kesalahan pada aktivitas tangan kiri antara sebelum
dan sesudah latihan dengan tangan kanan pada kelompok.
IV. METODE PENELITIAN
Metode : Eksperimental
Desain : Pra and Post Test Design
V. PROSEDUR
A. Material
1. Mirror drawing apparatus
2. Seri 24 gambar bintang
3. Stopwatch
4. Addo check
5. Pensil
B. Prosedur Pelaksanaan
1. Subjek duduk menghadapi alat dengan tangan memegang pensil.
Tangan harus di belakang screen tidak boleh dilihat.
2. Letakkan pensil di ujung gambar bintang tempat dimulai.
3. Instruksi: “Gerakkan pensil Saudara mengikuti gambar bintang tepat
mengikuti garisnya, berputar searah jarum jam sampai kembali ke titik
asal.”
4. Pensil tidak boleh diangkat, tidak boleh mundur mengulang, bila
keluar garis harus cepat kembali ke asalnya.
5. Urutan menggambar mula-mula satu kali dengan tangan kiri, lalu
dengan tangan kanan sebanyak 22 kali berturut-turut, kemudian
dengan tangan kiri lagi.
VI. PENCATATAN HASIL
A. Individu
Trial Time Error Trial Time Error
1. 100 30 13. 77 18
2. 45 18 14. 84 30
3. 51 28 15. 30 21
4. 48 10 16. 32 32
5. 82 22 17. 35 25
6. 75 21 18. 51 22
7. 91 26 19. 42 20
8. 80 24 20. 26 19
9. 76 20 21. 30 28
10. 48 24 22. 19 27
11. 56 26 23. 25 17
12. 71 21 24. 22 40
Keterangan: Waktu dinyatakan dalam satuan detik
B. Kelompok
Sebelum Latihan Setelah Latihan
Time Error Time Error
Subjek
P 54 43 34 46
M 66 12 69 15
J 61 6 28 13
D 116 24 36 13
G 100 30 22 40
E 72 28 110 22
Total 469 143 299 149
VII.PENGOLAHAN HASIL
A. Individu
Tri Ti Err Kesimpu
al me or lan
1. 10 30 T 1 > T 24
0
2. 22 40 E1 < E24

B. Kelompok
Sebelum Latihan Setelah Latihan
Statistik Time Error Time Error
N 6 6 6 6
X́ 78,16 23,83 49,83 24,83
SD 174,78 53,29 111,43 55,53
SDm 78,37 23,89 49,96 24,9
Cara Penyelesaian:
Time

X́ T1 =
∑ XT 1
N
469
=
6
= 78,16

X́ T2 =
∑ XT 2
N
299
=
6
= 49,83
2
SDT1 =
√ ∑ XT1 −( X́ ) 2
N T1

4692
=
√ 6
−( 78,16 )2

219.961
=
√ 6
−(6.108,98)

= √ 36.660,16−¿ 6.108,98 ¿
= √ 30.551,18 → 174,78
2
SDT2 =
√ ∑ XT2 −( X́ ) 2
N T2
299 2
=
√ 6
−( 49,83 )2

89.401
=
√ 6
−(2.483,02)

= √ 14.900,16−2.483,02
= √ 12.417,14
= 111,43
S DT1
SDMT1 =
√N - 1
174,78
=
√6 - 1
174,78
=
√5
174,78
=
2,23
= 78,37
S DT2
SDMT2 =
√N - 1
111,43
=
√6 - 1
111,43
=
√5
111,43
=
2,23
= 49,96
SDBM = ( SD M T1 )2 + ( SD M T2 )2

= √ 78,372 + 49,96 2
= √ 6.141,85+2.496
= √ 8.637,85
= 92,94

th =
|X́T1 - X́T2|
S DBM
78,37−49,96
=
84,65
28,41
= = 0,33
84,65
db = (n-1) a
= (6-1) 2
= (5) 2
= 10
th = 0,33 < tt 5 %= Tidak Signifikan
Error

X́ E1 =
∑ X E 1²
N
143
=
6
= 23,83

X́ E2 =
∑ XE²
N
149
=
6
= 24,83
2
SDE1 =
√ ∑ XE 1 −( X́ )2
N E1

143 2
=
√ 6
−( 23,83 )2

= √ 3.408−567,86
= √ 2.840,14
= 53,29
2
SDE2 =
√ ∑ XE 2 −( X́ ) 2
N E2

1492
=
√ 6
−( 24,83 )2

= √ 3.700,16−616,52
= √ 3.083,64
= 55,53
S DE 1
SDME1 =
√N - 1
53,29
=
√6−1
53,29
=
√5
53,29
=
2,23
= 23,89
S DE 2
SDME2 =
√N - 1
55,53
=
√6−1
55,53
=
√5
55,53
=
2,23
= 24,90
SDBM = ( SDME 1 )2 + (SD ME 2 )2

= ( 23,89 )2 + ( 24,90 )2

= √ 570,73 + 620,01
= √ 1.190,74
= 34,50

th =
|X́E 1 - X́E 2|
S DBM
23,83−24,83
=
34,49
1
=
34,49
= 0,02
db = (n-1) a
= (6-1) 2
= (5) 2
= 10
th = 0,02 < tt 5 %= Tidak signifikan
VIII. KESIMPULAN
A. Individu
1. Ada perbedaan waktu pada aktivitas tangan kiri antara sebelum dan
sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu, yang
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dimana waktu yang
dibutuhkan sebelum latihan (T1) = 100 detik dan waktu yang
dibutuhkan setelah latihan (T2) =22 detik, T1 > T2, sehingga
hipotesis diterima.
2. Ada perbedaan kesalahan pada aktivitas tangan kiri antara sebelum
dan sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu, yang
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dimana kesalahan yang
dilakukan sebelum latihan (E1) = 30 dan kesalahan yang dilakukan
setelah latihan (E2) = 40, E1 < E2, sehingga hipotesis ditolak.
B. Kelompok
1. Tidak ada perbedaan waktu pada aktivitas tangan kiri antara
sebelum dan sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu,
yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dimana th=0,33<tt 5%,
sehingga hipotesis ditolak.
2. Tidak ada perbedaan kesalahan pada aktivitas tangan kiri antara
sebelum dan sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu,
yang ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dimana th=0,02<tt 5%,
sehingga hipotesis ditolak.
IX. PEMBAHASAN
A. Individu
1. Ada perbedaan waktu pada aktivitas tangan kiri antara sebelum dan
sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu, yang
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dimana waktu yang
dibutuhkan sebelum latihan (T1) =100 detik dan waktu yang
dibutuhkan setelah latihan (T2) = 22 detik, T1 > T2, sehingga hipotesis
diterima sama dengan teori yang dikemukakan oleh Mulyadi dkk
(2016) bahwa belajar bukan hanya sekedar menghafal, namun proses
menguasai suatu hal yang bermakna dan dapat diperoleh dari
pendidikan, latihan, maupun pengalaman yang menghasilkan adanya
perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai akibat dari
penguasaan materi tesebut yang telah dipelajari.
2. Ada perbedaan kesalahan pada aktivitas tangan kiri antara sebelum
dan sesudah latihan dengan tangan kanan pada individu, yang
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dimana kesalahan yang
dilakukan sebelum latihan (E1) = 30 dan kesalahan yang dilakukan
setelah latihan (E2) = 40, E1 < E2, sehingga hipotesis ditolak sama
dengan teori yang dikemukakan oleh Halpwern (Ormord, 2009)
bahwa terdapat faktor dalam kemampuan belajar untuk memanggil
kembali (retrieve) salah satunya adalah menimbulkan transfer positif
atau negatif saat terdapat kejadian yang baru mirip dengan kejadian
sebelumnya. Adanya kemiripan dua kejadian, di masa sekarang
dengan masa lalu dapat meningkatkan transfer positif dan juga dapat
menyebabkan transfer negatif.
X. KESAN-KESAN SELAMA EKSPERIMEN
A. Kondisi Fisik
1. AC yang berfungsi dengan baik.
2. Terdapat 1 Meja dan 2 kursi.
3. Cahaya menerangi ruangan.
4. Ruangan berkaca sehingga transparan dan dapat melihat aktivitas
orang di luar ruangan.
5. Alat tes yang tersedia di meja
B. Kondisi Psikologis
1. Testee mengeluarkan kaki dari tempatnya.
2. Testee terlihat santai.
3. Testee memakai baju kotak-kotak berwarna biru.
4. Testee sesekali ketawa kecil dan menghembuskan nafas selagi
menggambar pola bintang.
XI. KEGUNAAN SEHARI-HARI
1. Individu dapat mengasah keterampilan menggambar.
2. Individu dapat melakukan aktivitas yang baru melalui latihan.
3. Individu dapat melatih koordinasi tangan dan mata.
4. Individu dapat melatih keterampilan dalam mengikuti pola.
5. Individu dapat melatih konsentrasi.
Makassar,……………..2019
ASISTEN TESTER

(CARIN SUDARJO) (BRIGITTA TUNGAWI/1771019)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, L., & Hamdu, G. (2011). Pengaruh Motivasi Belajar Siswa Terhadap
Pestasi Belajar Ipa Di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan. 12
(1). 81-85.
King, L. A. (2010). Psikologi Umum. Jakarta: Salemba Humanika.
Mulyadi, S, Dkk. (2016). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Nahar, N. I. (2016). Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses
Pembelajaran. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. 1. 64-74.
Ormrod, J. E. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Rahayu, A. C. (2012). Teori Transfer Dan Teori Interferensi Dalam Pemerolehan
Bahasa Kedua Atau Bahasa Target. Parafrase. 12 (1). 63-69.
Sarwono, S. W. (2013). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Walgito, B. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Eksperimen 05/EXP/2017
PUZZLE
Nama Eksperimenter : Brigitta Tungawi
Nomor Mahasiswa : 1771019
No. Eksperimen : 05
Tanggal Eksperimen : 29 Mei 2019
Waktu Eksperimen : 10.00-12.00 WITA
Tempat Eksperimen : Ruang kelas Prodi Psikologi UAJM

I. PROBLEM
Dalam proses berpikir individu untuk memecahkan masalah, dia akan
menggunakan petunjuk-petunjuk tertentu yang ada (guide) sebagai pegangan
untuk mempermudah pemecahannya. Berapa besar pengaruh petunjuk
(guide) itu pada proses berpikir individu, bila dibandingkan dengan tidak
menggunakan petunjuk (guide)? Petunjuk yang dimaksud disini adalah
petunjuk tentang pembatasan waktu untuk penyelesaian masalah.
II. DASAR TEORI
Ormrod (2009) mengatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu
masalah yang sulit atau pertanyaan yang belum terjawab dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan. Di dunia terdapat banyak
masalah yang sulit dipecahkan atau sulit dijawab dan memiliki isi dan ruang
lingkup yang berbeda-beda. Terdapat dua macam soal dalam hal kejelasan
spesifikasi dan strukturnya, yaitu:
1. Well-defined problem (soal yang jelas)
Soal yang memiliki tujuan yang jelas, informasi yang dibutuhkan tersedia
dalam soal untuk menjawab soal tersebut, dan hanya terdapat satu
jawaban yang benar.
2. Ill-defined problem (soal yang tidak jelas)
Soal yang tidak memiliki tujuan yang jelas, informasi yang dibutuhkan
untuk menjawab soal tersebut tidak tersedia dalam soal, memiliki
beberapa kemungkinan jawaban yang benar.
Menurut Ormrod (2009) strategi pemecahan masalah terdiri dari dua, yaitu
algoritma dan heuristik. Algoritma merupakan strategi dengan urutan langkah-
langkah yang telah ditentukan sebagai pemecahan soal yang benar. Heuristik
merupakan strategi umum yang dapat menyelesaikan pemecahan masalah
namun tidak selalu menghasilkan suatu pemecahan masalah, terdapat
pemecahan masalah tertentu yang dimana strategi algoritma tidak dapat
dipakai maka strategi heuristik digunakan. Walgito (2010) mengemukakan
bahwa dalam pemecahan masalah terdapat perbedaan pendapat antara
Thorndike sebagai salah satu tokoh aliran behaviorisme dengan Kohler
sebagai salah satu tokoh aliran gestalt. Thorndike mengemukakan bahwa
dalam memecahkan suatu masalah dengan cepat dibutuhkan suatu latihan,
latihan tersebut akan memperkuat hubungan antara stumulus respons,
adanya peran coba-salah (trial and error) dalam memecahkan suatu masalah.
Kohler mengemukakan bahwa dalam memecahkan suatu masalah terdapat
peran yang paling penting yaitu insight bukan coba-salah (trial and error).
Berpikir digunakan untuk mencari pemecahan masalah yang dihadapkan
pada individu. Berpikir merupakan suatu aktivitas kognitif yang dapat
mencerna informasi dari lingkungan sekitar dengan simbol-simbol atau materi-
materi yang telah tersimpan dalam ingatan individu dalam long term memory.
Menurut pandangan behaviorisme, kegiatan berpikir sebagai penguatan
antara stimulus dan respons, sedangkan menurut pandangan kaum
asosiasionis, berpikir hanya sebagai asosiasi antara satu tanggapan individu
dengan tanggapan yang lain saling terkait. Terdapat sifat berpikir yaitu goal
directed, berpikir mengenai sesuatu untuk memecahkan suatu pemecahan
masalah atau untuk mendapatkan sesuatu yang baru (Walgito, 2010).
Walgito (2010) mengemukakan bahwa berpikir dan bahasa memiliki
keterkaitan yang erat, karena simbol yang digunakan dalam berpikir pada
umumnya berupa kata-kata atau bahasa. Bahasa merupakan alat untuk
proses berpikir, selain bahasa ada juga bayangan atau gambaran (image)
yang digunakan alam proses berpikir. Tujuan berpikir yaitu untuk
memecahkan masalah yang ada. Berdasarkan informasi yang telah diterima
oleh individu, maka ditarik kesimpulan sebagai pendapat akhir dari individu
tersebut. Terdapat 3 cara dalam penarikan kesimpulan, yaitu:
1. Kesimpulan yang ditarik atas dasar analogi
Kesimpulan yang ditarik berdasarkan terdapat kesamaan dari suatu
kejadian dengan kejadian yang lain.
2. Kesimpulan yang ditarik atas dasar cara induktif
Kesimpulan yang ditarik dari suatu kejadian khusus ke hal yang bersifat
umum.
3. Kesimpulan yang ditarik atas dasar cara deduktif
Kesimpulan yang ditarik dari hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat
khusus.
Walgito (2010) mengemukakan bahwa berpikir kreatif (creative thinking)
dapat menimbulkan sesuatu yang baru, munculnya hal yang baru tersebut
dapat berkaitan dengan insight. Individu mencari pemecahan terhadap
masalah yang ada dengan cara berpikir. Saat individu berpikir, mungkin saja
individu menemukan hal baru yang sebelumnya belum ditemukan. Hal
tersebut dapat ditemui pada diri seorang penulis, ilmuwan, atau pada bidang-
bidang lain. Dalam berpikir kreatif terdapat beberapa tingkatan atau stages
untuk memperoleh suatu hal yang baru, yaitu:
1. Persiapan (preparation)
Tingkatan dimana individu mengumpulkan fakta-fakta yang dilihat dapat
memecahkan pemecahan soal.
2. Tingkat inkubasi
Terdapat masalah pada individu, namun individu tidak dapat memperoleh
pemecahan masalah tersebut dengan secara langsung.
3. Tingkat pemecahan atau iluminasi
Dimana individu menemukan pemecahan masalah secara tiba-tiba,
individu tersebut mengalami “Aha”.
4. Tingkat evaluasi
Mengecek kembali apakah pemecahan yang didapat dalam tingkatan
iluminasi sudah benar atau tidak. Jika tidak benar, maka akan meningkat
pada tingkatan berikutnya.
5. Tingkat revisi
Dilakukan revisi pada pemecahan masalah yang sudah ditemukan.
Walgito (2010) mengemukakan bahwa terdapat beberapa macam sifat
yang merupakan original person (individu yang berpikir kreatif), yaitu:
1. Memilih fenomena atau kejadian yang kompleks.
2. Mempunyai psikodinamika yang kompleks, dan mempunyai pribadi
yang luas.
3. Memiliki sifat yang mandiri.
4. Memiliki pertahanan diri yang besar.
5. Menolak penindasan sebagai mekanisme kontrol.
Dalam proses berpikir, terdapat hambatan-hambatan yang dialami oleh
individu dalam mendapatkan pemecahan masalah, tidak selalu berlangsung
dengan mudah atau gampang didapatkan. Terdapat beberapa hambatan,
yaitu:
1. Data yang kurang sempurna, sehingga masih banya informasi yang harus
didapatkan.
2. Data yang didapatkan confuse, data yaitu dimana data yang satu
bertentangan dengan data yang lain, sehingga dapat membuat individu
bingung dalam proses berpikir (Walgito, 2010).
Carter dan Seifert (2017) mengemukakan bahwa pemikiran merupakan
proses mental yang individu munculkan saat individu mendapatkan suatu
pengalaman. Kognisi merupakan istilah dalam psikologi yang mengacu pada
proses pemikiran, mengetahui, mengingat, proses penalaran, memutuskan,
dan mengkomunikasikan. Pemikiran rasional merupakan penggunaan nalar,
atau menemukan kesimpulan setelah mempertimbangkan fakta dengan teliti.
Pemikiran tersebut membutuhkan banyak pertimbangan dari semua informasi
yang didapatkan. Deliberasi merupakan pemikiran yang lambat serta berhati-
hati yang bertujuan untuk mempertimbangkan semua informasi yang telah
didapatkan, pemikiran rasional tersebut merupakan cara yang tepat untuk
melakukan pemikiran.
Dalam situasi atau kejadian yang baru terdapat pengalaman di masa lalu
yang secara otomatis teringat dalam memori individu. Terkadang individu
mengandalkan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah baru yang
ada. Analogi yaitu dimana individu melibatkan berpikir mengenai suatu
masalah sebelumnya dengan solusi yang telah diketahui dan diterapkan pada
masalah yang baru diketahui. Analogi tersebut terkadang membantu individu
memecahkan masalah, studi menunjukkan bahwa indvidu sering kesulitan
mengenali masalah batu yang hampir sama dengan masalah yang
sebelumnya, keadaan tersebut dinamakan dengan ketiadaan transfer (Carter
& Seifert, 2017).
Proses pemecahan masalah dapat juga dilakukan dengan cara gagasan
(insight), yaitu muncul secara mendadak sebuah solusi saat individu dalam
keadaan sadar. Gagasan tersebut terjadi saat masalah tersebut
direstrukturisasi, yaitu diubah untuk mengubah penampilan masalah suatu
perspektif individu yang tidak dibutuhkan. Dalam pemecahan masalah juga
terkadang terjadi bias, yaitu ketika individu mendekati masalah dengan
pengalaman dan asumsi pada masa lalu yang dapat mengubah pandangan
individu atau persepsi individu. Namun, kepercayaan tersebut bermanfaat
untuk menemukan solusi yang tepat. Terdapat juga informasi yang irelevan,
yaitu rincian atau informasi yang tidak diperlukan (Carter & Seifert, 2017).
King (2010) mengemukakan bahwa berpikir (thinking) melibatkan adanya
proses manipulasi suatu informasi secara mental, seperti membentuk konsep-
konsep yang abstrak, menyelesaikan berbagai masalah, mengambil
keputusan, dan melakukan refleksi kritis atau dapat menghasilkan suatu ide
yang kreatif. Salah satu aspek yang mendasar dalam proses berpikir yaitu
pemahaman mengenai konsep. Konsep (concepts) merupakan kategori-
kategori mental yang digunakan untuk mengelompokkan objek-objek,
kejadian-kejadian, dan beragam sifat. Individu memiliki kemampuan untuk
membuat kategori-kategori untuk memberitahu arti dari lingkungan sekitar.
Terdapat dua model untuk menjelaskan struktur konsep yang terdapat dalam
pikiran manusia, yaitu:
1. Model klasik (classical model)
Semua hal yang memiliki ciri untuk membedakan hal tersebut dari yang
lain. Model tersebut tidak dapat membuat penilaian mengenai beberapa
bagian dari sebuah konsep sebagai sesuatu yang lebih tipikal disbanding
hal lainnya.
2. Model purwarupa (prototype model)
Model yang menekankan pada saat individu menilai bagaimana bagian
tertentu menunjukkan konsep tertentu, individu akan membandingkan
bagian tersebut dengan bagian-bagian yang paling tipikal untuk
menggambarkan konsep tersebut dan mencari kesamaan dari konsep
tersebut dengan yang lainnya.
King (2010) mengemukakan bahwa pemecahan masalah (problem
solving) merupakan sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk
mencapai sebuah tujuan saat tujuan tersebut tidak dapat secara otomatis
didapatkan oleh individu. Terdapat beberapa langkah untuk memecahkan
masalah, yaitu:
1. Menemukan dan membatasi masalah tersebut
Individu menyadari adanya sebuah permasalahan. Individu menemukan
dan membuat batasan permasalahan, dengan melibatkan pemikiran kreatif
dan melihat apa yang individu lain tidak lihat. Aspek pemecahan masalah
tersebut sulit untuk dipelajari.
2. Mengembangkan strategi-stratgi pemecahan masalah dengan baik
Setelah individu menemukan masalah dan mengartikannya dengan jelas,
maka individu selanjutnya mengembangkan strategi untuk pemecahan
masalah tersebut. Terdapat beberapa metode, yaitu membuat tujuan-
tujuan lebih kecil (subgoaling), algoritma, dan heuristik.
3. Mengevaluasi solusi-solusi
Setelah individu berpikir untuk bagaimana memecahkan masalah tersebut,
individu tidak tahu seberapa efektif solusi yang digunakan untuk
memecahkan masalah tersebut, akan sangat membantu jika terdapat
kriteria kefektifan solusi dalam pikiran individu.
4. Memikirkan kembali dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi yang
didapatkan
Langkah terakhir yaitu dengan memikirkan kembali dan mengartikan
masalah tersebut secara berkala.
Wade dan Tavris (2007) mengemukakan bahwa pada saat indivdu
berpikir, secara sadar hal tersebut dilakukan dengan berhati-hati seperti
memecahkan suatu masalah, membuat rencana, atau mengambil sebuah
keputusan. Namun, tidak semua proses berpikir terjadi secara sadar. Menurut
Sumartini (2016) bahwa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah individu, perlu dilakukan metode pembelajaran yang tepat.
Keterampilan pemecahan masalah berkaitan dengan dunia nyata yang dapat
diaplikasikan untuk menyelesaikan permasalahan dan persaingan di dunia
nyata. Kesiapan individu akan menghadapi permasalahan dalam suatu
pembelajaran, akan membuat individu terbiasa dan mempersiapkan mental
yang lebih baik bagi diri individu dalam menghadapi permasalahan di dunia
nyata.
Menurut Febriyanti dan Irawan (Titin, 2018) bahwa pemecahan masalah
merupakan suatu cara atau strategi untuk mencapai harapan individu sesuai
dengan cara yang baik dan benar. Maka dari itu, pemecahan masalah dapat
juga digunakan untuk proses berpikir untuk memecahkan suatu masalah.
Keterampilan pemecahan masalah sangat dibutuhkan saat menghadapi
berbagai kejadian dalam lingkungan sehari-hari individu. Menurut Titin (2018)
bahwa dalam proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh individu,
terutama mahasiswa kebanyakan menggunakan metode pembelajaran
berupa ceramah dan diskusi. Namun, terdapat cenderung berpusat pada buku
(text book) dan kurang dalam menggali nilai-nilai sebagai acuan dalam
pembelajaran tersebut.
Terdapat masalah yang disebut dengan masalah yang bersifat open
ended, masalah tersebut dapat mengembangkan keterampilan pemecahan
masalah karena mengharuskan indvidu untuk menyelesaikan masalah yang
dialami. Menurut Firdaus (Titin, 2018) bahwa pemecahan masalah merupakan
kemampuan dasar yang harus individu kuasai. Penyelesaian atau pemecahan
masalah merupakan bagian dari proses berpikir, yang berupa kognitif tingkat
tinggi yang memerlukan kontrol lebih dari keterampilan-keterampilan dasar.
Menurut Susanta dan Rusdi (2006) bahwa pemecahan masalah merupakan
suatu proses yang menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman
pada masa lalu ke kejadian yang baru terjadi.
Menyelesaikan masalah merupakan proses kognitif yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa strategi untuk mendapatkan
pemecahan masalah yang baik. Berpikir kritis dan kreativitas dapat menjadi
strategi yang baik untuk memecahkan suatu masalah. Berpikir kritis
membutuhkan kerendahan hati dari individu untuk mempertahankan apa yang
telah diketahui. Berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk memikirkan
suatu hal yang baru dan tidak biasa, untuk menghasilkan pemecahan masalah
yang berbeda dari biasanya (King, 2010).

XII. HIPOTESIS
C. Individu
1. Ada perbedaan error pada proses berpikir individu dalam
memecahkan masalh dengan adanya petunjuk (guide).
D. Kelompok
3. Ada perbedaan error pada proses berpikir kelompok dalam
memecahkan masalah dengan adanya petunjuk (guide).
4. Ada korelasi antara cara pemecahan masalah melalui test puzzle
(tanpa mengingatkan batasan waktu) dengan tes SPM.

XIII. METODE PENELITIAN


Metode : Eksperimental
Desain : The Basic Randomized Design Comparing Two Treatments and
Correlation Design.
XIV. PROSEDUR
C. Material
2. Alat test puzzle
3. Stopwatch
4. Ado check
D. Prosedur Pelaksanaan
5. Subjek duduk dengan tenang pada kursi yang tekah disediakan,
berhadapan muka dengan tester.
6. Sebelum dimulai diadakan approach dulu oleh tester pada subjek
supaya suasana tidak begitu menakutkan, kaku atau menegangkan.
7. Setelah semua selesai, baru oleh tester dibicarakan petunjuk untuk
mengerjakan test puzzle.
8. Subjek pertama hanya akan diberitahu, disaat instruksi, bahwa waktu
yang disediakan untuk menyelesaikan pola adalah 7 menit (tanpa
petunjuk). Sedangkan, subjek kedua akan diberitahu, disaat instruksi,
bahwa waktu yang disediakan untuk menyelesaikan pola adalah 7
menit, dan aka diingatkan tiap menit bahwa waktu yang tersisa untuk
menyelesaikan pola sisa…. menit (dengan petunjuk).
9. Catatan: subjek satu akan mengerjakan tugas lain berupa tes yang
serupa tes SPM.
XV. PENCATATAN HASIL
C. Individu
Error
A1 20
A2 11
Keterangan: A1 = tanpa guide A2 = Guide
D. Kelompok
Error
No. Tester SPM
A1 A2
1. P 10 2 85
2. E 11 7 85
3. J 6 3 90
4. D 15 5 101
5. M 22 10 94
6. G 20 11 112
Total 84 38
Keterangan: Waktu dinyatakan dalam satuan detik
XVI. PENGOLAHAN HASIL
A. Individu
A1 A2 Kesimpulan
Error 22 10 A1 > A2
B. Kelompok
1. Error
Statistik A1 A2
N 6 6
∑ X2 7,056 1,444
X́ 14 6,3
SD 31,30 14,17
SDM 14.01 6,34
Cara Penyelesaian:

X́ A1 =
∑ XA1
N
84
=
6
= 14

X́ A2 =
∑ X A2
N
38
=
6
= 6,9

∑ XA1 -
SD A1 =
√ N
2 2
( X́A1 )
7,506
=
√ 6
- ( 14 )
2

= √ 1,176−196
= √ 980
= 31,30

∑ XA2 -
SD A2 =
√ N
2

( X́A2 )
2

1,444
=
√ 6
- ( 6,3 )
2

= √ 240,66−39,69
= √ 200,97
= 14,17
SD A1
SD MA1 =
√ NA1 1 -

31,30
=
√ 6−1
31,30
=
√5
31,30
=
2,234
= 14.01
SD A2
SD MA2 =
√ NA2 1 -

14,17
=
√ 6−1
14,17
=
√5
14,17
=
2,234
= 6.34
2 2
SD BM = √ ( SD MA1 ) + ( SDMA2 )
2 2
= √ ( 14,01 ) + ( 6,36 )
= √ 196,28+40.44
= √ 236,7
= 15,38

th =
|X́ A1- X́A2|
SDBM
|14−6,3|
=
274,36
7,7
=
274,36
= 0,02
db = (n – 1) a
= ( 6–1 )
= 5(2)
= 10
th 5% = 0,02
(th < tt 5% = 2,44 → tidak signifikan)
E. Korelasi dengan Tes SPM
Subjek X Y X2 Y2 XY
P 10 85 100 7225 850
G 20 112 400 12.544 2.240
D 15 101 225 10.201 1.515
M 0 94 0 8.836 94
J 6 90 36 8.100 540
E 11 85 121 7.225 935
Total 51 567 882 54.131 6.174
Keterangan: X = Error (A1) Y = SPM
Kriteria dalam Korelasi
r Kriteria Hubungan
0 Tidak ada korelasi
0 – 0,5 Korelasi lemah
0,5 – 0,8 Korelasi sedang
0,8 – 1 Korelasi kuat
1 Korelasi sempurna
Cara Penyelesaian:

( ∑ X)( ∑ Y) ( 51 )( 567 )
∑ XY- N 6.174 -
6
r xy = =
2 2
512 5672
√[ ∑ X - N∑
2 ( X)

6.174−4.819,5
][ ∑ Y - N∑
2 ( Y)
] √[ 882 -
6 ][
54.131 -
6 ]
=
√ ( 438,5 )(549,5 )
1.352,5
=
√ 240.955,75
1.352,5
=
490,87
= 2,75
Sehingga rxy = 2,75 → korelasi sempurna
XVII. KESIMPULAN
C. Individu
1. Ada perbedaan error pada proses berpikir individu dalam
memecahkan masalah dengan adanya petunjuk (guide) yang
ditunjukkan oleh data yang menghasilkan A1 > A2, sehingga hipotesis
diterima.
D. Kelompok
1. Tidak ada perbedaan error pada proses berpikir individu dalam
memecahkan masalah dengan adanya petunjuk (guide) yang
ditunjukkan oleh data di mana th = 0,391 < tt 5% = 2,44 sehingga
hipotesis ditolak.
2. Ada korelasi yang leman antara cara memecahkan masalah melalui
tes puzzle (tanpa mengingat batasan waktu) dengan tes SPM yang
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data di mana rxy = 0,24 sehingga
hipotesis diterima.
XVIII. PEMBAHASAN
C. Individu
1. Ada perbedaan error pada proses berpikir individu dalam
memecahkan masalah dengan adanya petunjuk (guide) yang
ditunjukkan oleh data yang menghasilkan A1 > A2,
D. Kelompok
1. Tidak ada perbedaan error pada proses berpikir individu dalam
memecahkan masalah dengan adanya petunjuk (guide) yang
ditunjukkan oleh data di mana th = 0,02 < tt 5% = 2,44 sehingga
hipotesis ditolak.
2. Ada korelasi yang lemah antara cara memecahkan masalah melalui
tes puzzle (tanpa mengingat batasan waktu) dengan tes SPM yang
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data di mana rxy = 2,75 sehingga
hipotesis diterima.

XIX. KESAN-KESAN SELAMA EKSPERIMEN


C. Kondisi Fisik
7. Ruangan yang dipakai dingin karena AC menyala.
8. Pintu ruangan tertutup.
9. Cahaya menerangi ruangan dengan sangat terang karena tes
berlangsung disamping jendela.
10. Ruangan berkaca sehingga transparan dan dapat melihat aktivitas
orang di luar ruangan.
11. Kursi tersusun dengan rapi.
D. Kondisi Psikologis
5. Testee duduk di hadapan tester.
6. Testee sesekali melihat ke arah luar ruangan.
7. Testee sesekali berbicara dan tertawa.
8. Testee terlihat malu-malu.
9. Testee merasa khawatir karena mendengar suara ado check.

XX. KEGUNAAN SEHARI-HARI


5. Dapat membantu individu untuk bernalar dan berpikir secara teliti.
6. Dapat membantu individu dalam memikirkan jalan keluar yang baik.
7. Menjadi sarana dalam melatih proses berpikir individu
8. Dapat membantu individu untuk menyusun sebuah strategi yang tepat.
9. Membuat pikiran menjadi fokus.

Makassar,……………..2019
ASISTEN TESTER

(CARIN SUDARJO) (BRIGITTA TUNGAWI/1771019)


DAFTAR PUSTAKA

Ormrod, J. E. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan


Berkembang. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Purwanto. (2010). Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan. 16(4). 477-485.
Wade, C dan Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Walgito, B. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
LEMBAR EVALUASI ASISTEN
LEMBAR KATARSIS

Anda mungkin juga menyukai