Anda di halaman 1dari 23

Makalah Filsafat Ilmu

KEILMUAN (Rasionalisme Dan Empirisme),

DESKURSUS EPSTIMOLOGI (Positifisme dan Intuisionisme),

LANDASAN AKSIOLOGIS KEILMUAN

Disusun Oleh:

Ahmad Reski

NIM: 02210923007

PROGRAM STUDI AHKWAL SYASIYYAH PASCASARJANA

UIN DATOKARAMA PALU


2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

A. Latar Belakang .....................................................................................

B. Rumusan Masalah ................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

A. Keilmuan Rasionalisme dan empirisme ...............................................

B. Deskursus Epistimologi Keilmuan Positivisme dan Intusionisme ......

C. Landasan Aksiologi keilmuan .............................................................

BAB III PENUTUP ........................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang diberikan keistimewaan serta bekal hidup

yang luar biasa oleh Allah SWT. Manusia dibekali akal pikiran dan hati yang

berfungsi mengelola sistem kehidupan. Ibnu ‘Arabi menggambarkan keunggulan

manusia dengan mengatakan “tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada

manusia, karena manusia memiliki daya hidup seperti mengetahui, berkehendak,

berpikir dan memutuskan”. Namun, kelebihan tersebut tidak untuk menjadikan

manusia diam dan tidak mengasah kemampuan untuk mengamati fenomena alam

nyata. Manusia dilengkapi dengan sifat kodrati yaitu mempunyai rasa ingin tahu.

Rasa ingin tahu tersebut tidak terbatas pada apa yang ada dalam dirinya sendiri

tetapi juga lingkungan dan kehidupan. Rasa ingin tahu membawa manusia pada

potensi pengembangan diri secara maksimal melalui hal-hal yang dirasakan, dilihat,

dan didengar, semua hal ini merupakan sumber dalam bidang pengetahuan. Sejauh

ini ada dua aliran yang menjadi sumber dasar ilmu pengetahuan yaitu, aliran

rasionalisme yang bersumber dari akal dan aliran empirisme yang bersumber dari

pengamatan. Keduanya memberikan kerangka masing-masing dalam mencapai

tanggung jawab kebenaran pengetahuan, namun tidak semua pengetahuan baik


untuk diamalkan dan diajarkan. Oleh karena itu, struktur sumber ilmu pengetahuan

dibutuhkan sehingga ilmu menjadi sebuah sistem yang utuh dan teruji

kebenarannya (interconnected)1.

1
Susanti Vera, ‘Aliran Rasionalisme Dan Empirisme Dalam Kerangka Ilmu Pengetahuan’,
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 1 No.2 (2021), 59–73 <https://doi.org/10.15575/jpiu.12207>.60
B. Rumusan Masalah

D. Keilmuan Rasionalisme dan empirisme

E. Deskursus Epistimologi Keilmuan Positivisme dan Intusionisme

F. Landasan Aksiologi keilmuan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Keilmuan Rasionalisme dan Empirisme

Ilmu dan pengetahuan berbeda dalam pandangan filsafat. Filsafat di sini bisa

dipahami sebagai filsafat pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu

pengetahuan, ilmu ialah cabang dari pengetahuan dan filsafat ilmu ialah usaha akal

manusia secara taat mengkaji asas pengetahuan menuju penemuan yang benar. Ilmu

bertumpu pada analisis terhadap data pengamatan dan percobaan secara

impersonal, berdasarkan hasil-hasil observasi dan eksperimen dengan analisis

objektif. Pengetahuan adalah semua pikiran dan pemahaman tentang alam yang

diperoleh tidak melalui siklus berpikir metode ilmiah yaitu logico-

hipoteticoverifikatif. Pengetahuan yang sifatnya dogmatis, banyak mengandung

spekulasi dan tidak berpijak pada kenyataan empiris. Contoh ramalan ilmu ialah

ketika ramalan cuaca menurut ahli meteorologi, kemudian contoh ramalan di luar

keilmuan yaitu ramalan jodoh, nasib, atau ramalan kupon berhadiah itu semua

merupakan keilmuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

1. Model Rasionalisme.

Rasionalisme secara etimologi adalah berasal dari bahasa Inggris “ratio”

yang berarti pikiran. Dalam konteks ini (Filsafat Ilmu) rasionalisme dimaksudkan
untuk memberi nama terhadap paham yang mempergunakan metode deduktif

dalam menyusun pengetahuan, yakni paham yang menyatakan bahwa pengetahuan

manusia didapat melalui penalaran rasional yang abstrak.2

Kaum rasionalisme dalam membangun argumentasinya memulai dengan

suatu pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai dalam membangun

sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas,

2
Fuad Masykur, ‘Metode Dalam Mencari Pengetahuan: Sebuah Pendekatan Rasionalisme
Empirisme Dan Metode Keilmuan’, Tarbawi, Vol. 1 (2019).
tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Dalam membangun sistem pemikirannya,

kaum rasionalisme juga didasarkan terhadap logika yang sahih (valid). Logika

sebagai istilah berarti sebuah metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti

ketepatan penalaran. Adapun bentuk pemikiran dari mulai yang sederhana ialah

pengertian atau konsep, proposisi atau pernyataan (propositio: setatemen) dan

penalaran (ratiocinium: reasoning). Tiadak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak

ada penalaran tanpa proposisi. maka untuk memahami penalaran ketiga bentuk

pemikiran ini harus dipahami bersama. Secara singkat tiga pengertian tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:3

a. Pengertian.

Pengertian adalah suatu yang abstrak, jika kita hendak menunjukannya,

pengertian itu harus diganti dengan lambing. Lambangnya yang paling lazim adalah

bahasa. Dengan demikian lambang di sini adalah bahasa yang memiliki sifat-sifat

sendiri yang lain dari pada sifat-sifat yang dilambangkannya yaitu pengertian.

Harus juga diperhatikan agar jangan sampai sifat lambang dianggap sebagai sifat

dari apa yang dilambangkan, kekurangan perhatian dalam hal ini akan menyesatkan

jalan pikiran. Di dalam bahasa pengertian itu pelambangannya adalah kata. Kata

sebagai fungsi dari pengertian disebut term.

b. Proposisi
Berdasarkan terjadinya observasi empirik, did alam pikiran tidak hanya

terbentuk pengertian, akan tetapi terjadi perangkaian dari term-term itu . Tidak ada

pengertian yang berdiri sendiri di dalam pikiran. Rangkaian pengertian itulah yang

disebut proposisi. Dalam proses pembentukan proposisi terjadi dua hal yakni

pertama, proses pembentukan proposisi terjadi begitu rupa sehingga ada pengertian

yang menerangkan pengertian yang lain dengan menggunakan contoh misalnya:

3
Masykur.
Mata melihat anjing, melihat warna hitam, telinga mendengar suara

menggonggong. Proses perangkaian itu menghasilkan proposisi sebagai berikut:

anjing hitam itu menggonggong. Kedua. Dalam proses pembentukan proposisi itu

sekaligus terjadi pengakuan bahwa anjing hitam itu memang menggonggong, atau

bahwa memang anjing hitam itu tidak menggonggong. Di sini jelas bahwa proposisi

itu mengandung sifat benar atau salah, pengertian tidak benar tidak salah.

Proposisi secara garis besar ada dua jenis, yakni proposisi empirik dan

proposisi mutlak. Proposisi empirik (proposisi dasar) ialah yang langsung kembali

kepada observasi empirik. Sementara proposisi mutlak adalah proposisi yang sifat

kebenaran atau kesalahannya langsung nampak pada pikiran dan oleh karenanya

harus diterima. Misalnya, janda adalah wanita yang pernah kawin. Bahwa bagian

adalah lebih sedikit dari pada yang dibagikan.

c. Penalaran

Penalaran adalah berdasrkan jumlah proposisi yang diketahui atau dianggap

benar. Orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak

diketahui, misalnya, Logam 1 dipanasi memuai, Logam 2 dipanasi memuai, logam

3 dipanasi memuai, dan seterusnya. Katakan sampai 10 logam. Begitu pula logam-

logam yang lain jika dipanasi juga akan memuai. Kalau disusun secara formal

bentuk penalaran itu menjadi sebagai berikut :


- Logam 1 dipanasi memuai

- Logam 2 dipanasi memuai

- Logam 3 dipanasi memuai

- Logam 10 dipanasi memuai

- Jadi logam-logam lainnya / semua logam jika dipanasi akan memuai.

Dalam penalaran itu, proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimpulan

disebut premis, sedang kesimpulannya disebut konklusi. Di antara premis dan


konklusi ada hubungan tertentu, hubungan itu disebut konsekuensi. Kalau

penalaran di atas kita perhatikan maka jelaslah konsekuensi lebih luas dari pada

premisnya. Yang di ketahu dalam premisnya hanya 10 logam yang memuai, sedang

konklusinya mengenai semua logam di sini terjadilah apa yang dikenal dengan

generalisasi. Konsekuensinya adalah suatu proposisi umum. Yakni suatu proposisi

universal yang berlaku secara umum untuk segala benda. Penalaran yang lebih luas

dari pada premisnya itu disebut penalaran induktif atau induksi. Sedangkan yang

sebaliknya yakni konklusi tidak lebih luas dari premisnya, itu dinamakan penalaran

deduktif atau deduksi.

Yang perlu disadari bahwa penalaran deduksi dalam premisnya itu mesti

harus ada proposisi universal. Misalnya, suatu benda yang dipanasi akan memuai.

Kalau kemudian diketahui bahwa ban mobil sesudah perjalanan itu panas, maka

dapat disimpulkan bahwa ban mobil itu telah memuai. Yang demikian ini adalah

penalaran deduktif yang jika disusun dalam bentuk formalnya adalah:4

- Semua benda yang dipanasi memuai

- Ban mobil itu dipanasi (dalam perjalanan)

- Jadi ban mobil itu memuai.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa rasionalisme adalah

metode penalaran yang menggunakan metode deduktif. Sebagaimana yang telah


dijelaskan di atas pula bahwa deduktif adalah cara berpikir di mana dari pernyataan

yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan

seperti ini biasa menggunakan pola pikir silogismus yang disusun dari dua buah

proposisi dan satu buah konklusi.6 Dengan demikian silogismus adalah proses logis

yang terdiri dari dua bagian. Dua bagian pertama adalah premis-premis atau

pangkal tolak penalaran silogistik, sedangkan bagian ketiga merupakan rumusan

4
Masykur.
hubungan yang terdapat antara kedua bagian pertama lewat pertolongan term

penengah . Bagian yang ketiga disebut juga kesimpulan yang berupa pengetahuan

baru (konsekuensi). Konsep menarik kesimpulan dari premis-premis tersebut

disebut penyimpulan.

Pada pokoknya silogisme mempunyai dua bentuk asli, yakni silogisme

kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah premis-premisnya

berupa kenyataan kategoris. Contoh:5

- Setiap binatang harus makan

- Sapi itu binatang

- Jadi sapi harus makan

Sedangkan silogisme hipotetis adalah premisnya berupa pernyataan

bersyarat. Contoh: Jika ia seorang WNI ia harus patuh terhadap peraturan hukum

Indonesia. Ia seorang WNI. Maka ia harus patuh terhadap ketetapan hukum

Indonesia.

Pada contoh pertama bahwa kesimpulan “jadi sapi harus makan” adalah sah

menurut penalaran deduktif. Sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua

premis yang mendukungnya. Kebenaran sebuah kesimpulan terletak pada premis-

premis yang mendahuluinya. Dengan demikian maka ketepatan penarikan

kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran
premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari

ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang

ditariknya akan salah.

5
Masykur.
2. Model Empirisme.

a. Pengertian

Empirisme bersal dari bahasa Inggris empiricism dan experience yang berarti

data-data atau kenyataan. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah paham yang

berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapat melalui penalaran

rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkrit.6

Sebagiman yang telah disingung sebelumnya bahwa kaum empiris telah

berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan didapat lewat penalaran risional

yang abstrak namun lewat pengalman yang kongkrit. Pemikiran seperti ini paling

tidak dimulai sejak zaman Aristoteles. Semenjak itu muncul tradisi epistimologi

yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pangalaman manusia dan meninggalkan

cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme

merupakan contoh dari tradisi ini. Kaum empirisme berdalil bahwa adalah tidak

beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi

bila didekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan

pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat, namun lebih dapat

diandalkan, kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sisitim

pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar meskipun kepastian

mutlak tidak dapat dijamin.


Kaum empirisme memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia

dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan

seorang empiris bahwa suatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada

saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka ia harus diyakinkan oleh

pengalamannya sendiri. Kemudian gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum

empiris adalah bersifat kongkrit dan dapat dinyatakan melalui tangkapan panca

6
Masykur.
indra manusia. Gejala itu kalu kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa

karakteristik tertentu, umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu

kejadian tertentu. Misalnya suatu benda padat jika dipanaskan akan memanjang.

Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya di mana

pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang

mengikuti pola-pola tertentu. Disamping itu kita melihat adanya karaktristik lain.

yakni adanya kesamaan dan pengulangan. Umpamanya saja bemacam-macam

logam kalau kita panaskan akan memanjang. hal ini akan memungkinkan kita untuk

melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi dengan

mempergunakan metode induktif. Maka dapat disusun pengetahuan yang secar

umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejaala fisik yang bersifat individual. Jika

dalam rasionalisme menggunakan deduktif maka dalam empirisme menggunakan

metode induktif.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat metode induktif. Dalam sebuah

karangan singkat yang terkenal karena jelas dan sederhananya, maka karangan ini

berjudul,”The Method of Scince”, Thomas Henry Hexley (1825-1895)

menerangkan induksi sebagi berikut: Anggaplah kita mengunjungi warung

buahbauhan. Karena ingin membeli sebuah apel kita ambil satu buah, dan ketika

mencicipinya terbukti itu masam, kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel
itu keras dan hijau, kita ambil sebuah yang lain itu pun keras hijau dan masam, si

pedagang menawarkan apel yang ketiga, akan tetapi sebelum mencicipnya kita

memperhatikannya dan terbukti itu pun keras dan hijau. Seketika itu kita

beritahukan bahwa kita tidak menghendakinya, karena itu pun pasti masam seperti

yang kita cicipi. Jalan pikiran sicalon pembeli sehingga sampai pada kesimpulan

untuk tidak membeli apel, ialah sebuah Induksi. Kemudian Hukly menjelaskan

proses induksi sebagai berikut: Pertama-tama kita telah melakukan kegiatan yang
disebut induksi. Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali pengalamaan sifat

keras dan hijau pada apel itu selalu bersama-sama dengan sifat masam.

Demikianlah dalam sifat pertama dan itu diperkuat pada sifat yang kedua memang

itu dasar yang amat sempit tetapi itu sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi.

Kedua fakta itu kita generalisasikan dan dari situ kita percaya akan berjumpa rasa

masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hiju dan ini suatu induksi yang

tepat. Kalau dirumuskan secara formal perumusan di atas menurutnya adalah

sebagai Berikut:

- Apel 1 keras dan hijau adalah masam

- Apel 2 keras dan hijau adalah masam

- Semua apel keras dan hijau adalah masam

B. Deskursus Epistimologi Keilmuan Positivisme dan Intusionisme

1. Ilmu dalam Perspektif Positivisme

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal

muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari

paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam

kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya

penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada,

dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.7


Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya

dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme,

pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Oleh karena itu,

positivism menolak cabang filsafat metafisika. Menyatakan “hakikat” benda-benda

7
Deni Solehudin, ‘Epistemologi Ilmu Perspektif Islam (Studi Kritis Atas Positivisme,
Pospositivisme, Teori Kritis, Dan Konstruktivisme)’, Epistemologi Ilmu Perspektif Islam (Studi Kritis
Atas Positivisme, Pospositivisme, Teori Kritis, Dan Konstruktivisme), Vol. 7, No (2021).
atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-

fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.

Endang Saefuddin secara ringkas menyebutkan bahwa Positivis

memerupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek faktual

pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Positivisme merupakan suatu aliran

filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber

pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari suatu filosofis atau

metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa

filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-

peristiwa positif artinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia.8

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti

empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi,

hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air

mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu

meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini

operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana

Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang

kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan

pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran
kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan.

Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran. Positivisme sudah dapat disetujui

untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam.

Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi

bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode

Ilmiah.9

8
Solehudin.
9
Solehudin.
2. Filsafat Intuisionisme

Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa secara bahasa, intuisionisme

(berasal dari bahasa Latin, intuitio yang berarti pemandangan. Sedangkan ahli yang

lain mengatakan bahwa intuisionisme, berasal dari perkataan Inggris yaitu intuition

yang bermakna gerak hati atau disebut hati nurani.

Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme

menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang

kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya

tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan

indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki

oleh manusia, yaitu intuisi.

Hati bekerja pada tempat yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu

pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal adalah karena ia ditutupi oleh

banyak perkara. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) akal tidak pernah mampu

mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu

berpikir perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu

perkara dengan tidak terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek

dan objek.

Bruner (1974) menggolongkan definisi intuisi menjadi dua. Pertama-tama,


seseorang dikatakan berpikir secara intuisi jika dia memiliki banyak keterlibatan

dengan suatu masalah dalam waktu tertentu sehingga dia dapat memberikan

penyelesaian masalah berdasarkan pengalaman yang telah buktikan secara resmi

(formal). Kedua, seseorang berpikir secara intuisi dengan asumsi bahwa dia

mendapatkan suatu masalah, dia akan dengan cepat memberikan perkiraan, ukuran,

atau dugaan yang paling realistis untuk jawaban atas masalah tersebut.10

10
Memen Permata Azmi, ‘Filsafat Intuisionisme Dalam Pembelajaran Matematika’, Journal
on Education, Vol, 05, N (2023).
Menurut para ahli intuisionisme terbagi atas 2 yakni; (1) intuisionisme gaya

lama (klasik), Spinoza dan Bergson menyatakan bahwa sesungguhnya bernalar

tidak berperan dalam intuisi tetapi intuisi dapat membantu bernalar seseorang.

Pengikut dari intuisionisme kalsik menyatakan bahwa intuisi tidak persis sama

dengan penalaran formal Ini menyiratkan bahwa dalam masalah matematika yang

bergantung pada keyakinan, perasaan dan muncul secara tidak terduga, yang

membuat ide menjadi jelas tanpa orang lain tanpa panggilan atau pemeriksaan

formal. (2) Intuitionisme inferensial, Ewing dan Bunge melihat bahwa intuisi

adalah sesuatu yang luar biasa. Intuisi adalah jenis penalaran yang berfungsi untuk

membantu pengembangan motivasi dan inspirasi atau ide seseorang sebagai akibat

langsung dari hubungan tak terbatas antara lingkungan dan pengalaman. Pandangan

ini juga sependapat dengan pernyataan bahwa intuisi adalah hasil pemikiran dari

pertemuan pembelajaran masa lalu.11

Menurut Bruner (1974), intuisi adalah aktivitas individu untuk sampai pada

signifikansi atau konstruksi suatu masalah, yang tidak secara tegas bergantung pada

penyelidikan di area subjek utamanya. Membuat dugaan dengan cepat, memikirkan

pemikiran sebelum digunakan, dan mendapatkan alasan dalam konfirmasi, adalah

contoh intuisi. Intuisi dekat dengan lingkungan permainan, yang dapat mengakui

kesalahan sebagai sesuatu yang biasa.


Jadi, intuisi pada dasarnya dapat dipahami berdasarkan dua pandangan yaitu

proses yang tidak dapat dipelajari atau independen dari pengetahuan sebelumnya

dan sebagai hasil dari dari suatu proses bernalar. Pada umumnya, intuisi adalah cara

mendapatkan sesuatu secara tiba-tiba/langsung, tidak memerlukan referensi atau

bukti yang bergantung pada fakta deduktif, tetapi terkadang memerlukan

11
Permata Azmi.
pertimbangan observasional (induktif), tetapi hasil proses tersebut diklaim sebagai

kebenaran.

C. Landasan Aksiologi keilmuan

Muncul sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat

dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas berbagai

termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang

duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat dan

penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud

tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal

ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan

bom atom yang menimbulkan malapetaka.12

Landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu

digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika?

Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur

ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?

Demikian pula aksiologi pengembangan seni dengan kaidah moral, sehingga

ketika seni tari dangdut Inul Dartista memperlihatkan goyangnya di atas panggung

yang ditonton khalayak ramai, sejumlah ulama dan seniman menjadi berang.

Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok:

1. Ilmu Bebas Nilai.13

Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena

sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu

merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak.

12
Moh Hifni, ‘Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi Dalam Keilmuan’, 2018.
13
Hifni.
Perjalanan waktu, sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait

dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika

Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan

menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan

sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara

ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.

Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan dipihak lain terdapat

keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan nilai berasal dari

agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang

berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.

Sementara Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di

Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin

bebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun

waktu itu para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan

penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi

ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat mengembangkan

dirinya.

2. Teori tentang nilai.14

Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu:


a. Nilai etika.

Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan

memandangnya dari sudut baik dan buruk.34 Adapun cakupan dari nilai etika

adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi

seluruh manusia.

14
Hifni.
Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang,

benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik

atau buruk, salah atau benar.

Contohnya dikatakan ia mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang

yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam

lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak

hati-hati, tidak mengunci pintu.

b. Nilai estetika

Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni,

dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian.

Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang

berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan.

Syarat nilai estetika terbatas pada lingkungannya, di samping juga terikat

dengan ukuran-ukuran etika. Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan

porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena tidak

etika. Sehingga kadang orang mementingkan nilai panca-indra dan mengabaikan

nilai rohani.

Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah ia baik atau

buruk. Nilai estetika tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat mudarat kepada
estetika, dan dapat merusak.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan

buruk terletak pada manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan

buruknya sesuatu mempunyai nilai yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan

yaitu al-Qur’an dan hadis.


Manfaat Aksiologi.15

Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan

kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap

berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah:

1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan

kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan

penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung.

2. Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak

mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak

mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat

dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.

3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup

yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan,

kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.

15
Hifni.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menyingkap ilmu pengetahuan landasan yang digunakan adalah ontologi,

epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata lain apa, bagaimana dan kemana

ilmu itu.

Ilmu pengetahuan adalah bukti berfungsinya akal dan fikiran manusia.

Kemampuan memiliki pengetahuan adalah naluri paling besar sebagai kelebihan

dan keunggulan manusia, hal ini ditunjukkan dengan ciri khusus yaitu manusia

memiliki curiosity (rasa ingin tahu) yang tinggi yang mengakibatkan manusia

sering bertanya dan mencari tahu tentang sesuatu. Pengetahuan dihasilkan dari rasa

ingin tahu dan sejalan dengan prinsip pengamatan maka ilmu dan pengetahuan

dapat dicapai dengan benar sebagai pertanggungjawaban eksistensi manusia di

muka bumi. Ilmu dan pengetahuan memiliki perbedaan yang signifikan walaupun

keduanya tampak sama dan selalu berdampingan. Ilmu (science) memiliki struktur

dan sistematis dalam mencapai suatu kesimpulan sedangkan pengetahuan

(knowledge) meliputi semua hal yang diketahui manusia, baik yang terstruktur

maupun tidak terstruktur. Pengetahuan bisa berupa fakta, berita, mitos dan hal yang

bersifat dogma. Pengetahuan tidak harus memenuhi syarat sistematis hanya saja
pengetahuan dapat naik derajat menjadi ilmu dengan cara memenuhi aspek

ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam kerangka ilmu pengetahuan. Ketiga

aspek ini membongkar pengetahuan sehingga menjadi akurat dan benar serta dapat

dipertahankan keabsahannya. Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia secara

epistemologis bersumber pada dua aliran pemahaman, yaitu rasionalisme dan

empirisme. Rasionalisme ialah paham yang meyakini bahwa sumber utama

pengetahuan manusia terletak pada akal atau disebut dengan idea, sedangkan
empirisme ialah paham yang meyakini bahwa satu-satunya sumber pengetahuan

yang akurat adalah dari pengalaman inderawi. Keduanya memiliki argumen yang

kuat dan melahirkan tokoh-tokoh yang terkenal dalam bidang keilmuan, sehingga

dua paham ini seolah beradu dalam panggung kompetisi yang panas, namun pada

dasarnya keduanya hanyalah alat untuk mengokohkan suatu ilmu pengetahuan

supaya diterima oleh nalar dan indera. Diharapkan penelitian ini memiliki manfaat

bagi para pelajar untuk menstrukturkan pengetahuan yang dimiliki supaya menjadi

ilmu yang benar. Keterbatasan penelitian ini ialah tidak membahas secara

mendalam mengenai jenis aliran yang menanggapi rasionalisme dan empirisme,

hanya memaparkan struktur awal saja.


DAFTAR PUSTAKA
Hifni, Moh, ‘Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi Dalam Keilmuan’, 2018
Masykur, Fuad, ‘Metode Dalam Mencari Pengetahuan: Sebuah Pendekatan
Rasionalisme Empirisme Dan Metode Keilmuan’, Tarbawi, Vol. 1 (2019)
Permata Azmi, Memen, ‘Filsafat Intuisionisme Dalam Pembelajaran Matematika’,
Journal on Education, Vol, 05, N (2023)
Solehudin, Deni, ‘Epistemologi Ilmu Perspektif Islam (Studi Kritis Atas
Positivisme, Pospositivisme, Teori Kritis, Dan Konstruktivisme)’,
Epistemologi Ilmu Perspektif Islam (Studi Kritis Atas Positivisme,
Pospositivisme, Teori Kritis, Dan Konstruktivisme), Vol. 7, No (2021)
Vera, Susanti, ‘Aliran Rasionalisme Dan Empirisme Dalam Kerangka Ilmu
Pengetahuan’, Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 1 No.2 (2021), 59–73
<https://doi.org/10.15575/jpiu.12207>

Anda mungkin juga menyukai