Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 3

Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Robert Sibarani, MS

Oleh:
MANIPPO SIMAMORA
228106002

PROGAM DOKTOR

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2022
Pertemuan 3:
ØCara Kerja Berfilsafat
ØPertimbangan Filosofis
ØAlur Lingkar Pragmatis
• Philosophy begins in wonderment, in curio
What sity, in questioning – everything – and in sp
eculating about answers to these question
Philosophy is s.
- Speculation • The word speculation philosophically mean
s to consider a subject or an idea and to co
and Analysis ntemplate it profoundly.
• Most philosophers are not content merely t
o wonder or speculate about things but feel
that they must also subject their imaginings
, wonderings, and speculations to rigorous
analysis. Analysis involves taking a questio
n, answer, belief or theory and subjecting it
to careful scrutiny, breaking it down into its
parts, using physical evidence wherever it
is available and also applying a rigorous fo
rm of reasoning, called logic.
PHILOSOPHICAL
CONSIDERATION

HEART MIND

EMOTION INTELECTUATLITY

OTHER SHELF
Aksi

Hati Indrawi

Rasio
Tugas 3:

1. Narasikan 3 slide di atas dengan bahasa Anda sendiri


!
2. Ambil satu contoh praktik sosial yang Anda alami da
n uraikan mana yang sesuai dilakukan secara spekula
si dan mana yang harus dilakukan analisis.
3. Ambil satu contoh praktik sosial dan uraikan sesuai d
engan alur lingkar pragmatis di atas.
TUGAS NOMOR 3
1. Narasikan 3 slide di atas dengan bahasa Anda sendiri.
I. Hakikat Filsafat dari segi Spekulasi & Analisis :
Kalimat yang tepat untuk menggambarkan cara kerja filsafat adalah proses menemukan
kebenaran dalam pengetahuan, kegiatan berpikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara
teliti & teratur, sesuai aturan & hukum yang berlaku bersikap terbuka akan segala gejala yang muncul
dalam hidup manusia dewasa ini dan tidak memihak. Cara ini menghidupkan & membuka akal serta
batin manusia didunianya, juga dapat mengembangkan bidang keilmuan sehingga mampu berdialog
dengan ilmu tersebut. Berpikir secara filsafat mengharuskan tiap individu mampu menyerap secara
menyeluruh tentang apa yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga memungkinkan orang
untuk mengembangkannya di berbagai aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.
Spekulasi. Ciri ini merupakan ciri berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat
pengalaman-pengalaman fakta ke taraf pemahaman dan penalaran. Melalui itu, orang tidak hanya
berhenti pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya tetapi meningkat pada taraf membangun
pemikiran dan pemahaman tentang mengapa & bagaimana hal itu di beragam dimensi bentuk
pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan adanya transendensi untuk
menunjukkan sebuah perspektif yang lebih luas tentang kenyataan. Sehingga melalui ciri pemikiran
filsafat yang spekulatif, orang tidak sekedar menerima kenyataan/kebenaran secara informatif,
sempit & dangkal, tetapi dengan sikap kritis & penuh imajinasi dapat memahami &
mengembangkannya secara luas dalam berbagai khazanah pemikiran yang beragam.
Analitis. Diartikan sebagai ciri berpikir filsafat yang selalu berpikir logis (terstruktur & teratur
berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak hanya mengurutkan ide-ide,
penalaran & kreatifitas budi secara sembarangan. Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha
mengklasifikasi, mensintesa, serta menunjukkan makna terdalam dari pikiran; merangkai &
menyusunnya dengan kalimat (pengertian, membuat keputusan melalui pembuktian sehingga
diperoleh kesimpulan melalui sistem penalaran yang tepat & benar). Pemikiran filsafat selalu
bergerak sistematis (selangkah demi selangkah), berusaha untuk memaknai secara terstruktur
dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur (langkah berpikir) yang tertib, dapat
dipertanggungjawabkan & saling berhubungan secara teratur sehingga para filsuf dapat
mengaktualisasikan temuannya secara berkesinambungan.
II. Filosofis pertimbangan terdiri atas 2 :
• Jantung → Emosi → Lainnya . Artinya pada alur ini bila dipertimbangkan melalui jantung maka
yang disalurkan adalah berupa emosi yang berupa ekspresi.
• Pikiran → Intelektualitas → Paparan . Artinya pada alur ini bila dipertimbangkan dengan otak,
menghasilkan buah pikiran (ide) yang dapat meningkatkan intelektualitas seseorang melalui
paparannya yang berupa hasil temuannya.
III. Alur lingkar pragmatis
Secara etimologis, kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”, adapula yang
menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi. Pragmatisme berarti filsafat
atau pemikiran tentang tindakan. Filsafat ini menyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori
bergantung pada berfaedah tidaknya teori itu bagi manusia dalam penghidupannya. Dengan
demikian, ukuran untuk segala perbuatan adalah manfaatnya dalam praktek dan hasil yang
memajukan hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai menurut manfaatnya
dalam kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam kehidupan manusia. Atas dasar
itu, tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang dapat membawa hidup kita lebih maju
dan lebih berguna. Sesuatu yang menghambat hidup kita adalah tidak benar.
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam
jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau
berfungsi, dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat. Pertama, dari
perspektif penganut pragmatisme, kita hidup dalam sebuah dunia pengalaman. Dalam perjalanan
waktu, pengalaman manusia tersebut berubah dan karenanya konsep pragmatisme tentang
kenyataan juga berubah. Di luar pengalaman manusia, tak ada kebenaran atau kenyataan yang
sesungguhnya. Dengan demikian, penganut pragmatisme menolak pemikiran metafisika. Bagi
mereka, tidak ada hal yang absolut, tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang tidak berubah.
Kenyataan bukanlah sesuatu yang abstrak, ia lebih sebagai sebuah pengalaman transaksional yang
terus-menerus berubah. Apa yang “nyata” di hari ini dapat “tidak nyata” di hari esok, sebab
kenyataan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman. Kita hidup dalam dunia yang dinamis, yang selalu
berubah dan ada hukum-hukum ilmiah yang didasarkan pada pengalaman manusia yang terbatas,
yang harus dipandang sebagai probabilitas, bukan yang absolut. Menurut kaum pragmatis, pikiran
dan materi bukanlah dua hal yang terpisah dan substansi yang independen. Orang hanya mengetahui
tentang materi sebagaimana mereka mengalaminya dan merefleksikan pengalaman ini dengan
pikirannya. Oleh karena itu kenyataan tidak pernah terpisah dari manusia yang mengetahui.
Kedua, pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah pemikiran epistemologis. Pengetahuan,
menurut kaum pragmatis, berakar pada pengalaman. Manusia mempunyai pemikiran yang aktif dan
eksploratif, bukan pasif dan reseptif. Manusia tidak hanya menerima pengetahuan, ia juga membuat
pengetahuan itu sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Jadi, usaha pencarian pengetahuan
adalah sebuah transaksi. Manusia berbuat terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami
konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksionalnya dengan dunia di
sekelilingnya.
Ketiga, manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dari masyarakat. Nilai-nilai bersifat relatif
dan tidak ada prinsip-prinsip absolut yang dapat dipedomani. Sebagaimana budaya berubah,
demikian juga nilai-nilaipun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas tidak mengalami pasang surut
dari hari ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan aksiologis yang dapat dianggap
sebagai hal yang mengikat secara universal. Menurut kaum pragmatis, apa yang secara etis baik
adalah apa yang berguna dan berfungsi. Dengan demikian, seperti halnya pengujian epistemologis
itu bersifat publik, maka pengujian etis itu juga didasarkan pada hal yang baik menurut kriteria sosial
kemasyarakatan dan bukan semata-mata didasarkan pada landasan personal yang bersifat pribadi.
Berdasarkan alur lingkar tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan aksi/tindakan yang
berupa melihat lingkungan menggerakkan indrawi manusia sehingga timbul rasio/pertimbangan
yang menghasilkan makna dari hati individu. Berdasarkan alur lingkar tersebut, dapat disimpulkan
bahwa adanya empati (kepedulian) dari hati terhadap lingkungan sekitar, menyebabkan individu
melakukan aksi yang menggerakkan indrawi individu yang pada akhirnya mungkin akan menghasilkan
rasio dengan membandingkan hasil yang diperoleh saat ini dengan yang diperoleh sebelumnya.

2. Ambil satu contoh praktik sosial yang Anda alami dan uraikan mana yang sesuai dilakukan
secara spekulasi dan mana yang harus dilakukan analisis.
• Spekulasi
Filsafat mulai dengan rasa heran, ingin tahu, bertanya tentang apa saja terutama dengan
spekulasi tentang jawaban atas semua pertanyaan tersebut. “spekulasi”, bila dipergunakan secara
filosofis berarti menentukan ‘subjek’ atau gagasan dan merenungkannya secara mendasar. Kiranya
aspek khusus inilah yang menyebabkan orang kemudian tertarik pada filsafat atau bahkan berusaha
menjadi seorang filsuf. Selama manusia ingin tahu, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
seperti “apa”, “mengapa”, “bagaimana”, “dimana” dan “bilamana”, maka spekulasi menjadi hal yang
sangat menarik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan semakin meluas jawabannya atau spekulasi
mengenai jawaban-jawaban itu bila orang sudah mulai mempertanyakan tentang alam semesta, atau
sekurang-kurangnya mempertanyakan tentang hakikat manusia.
Setiap orang dapat, atau bahkan sering, berspekulasi dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini
merupakan bagian yang paling mudah dilaksanakan di dalam filsafat, sebab setiap orang memerlukan
imajinasi dan ingin mempertanyakan banyak hal. Namun, dari berbagai pertanyaan yang diajukan
orang, hanya sebagian saja yang termasuk yang termasuk ke dalam pertanyaan filosofis. Dengan
pertanyaan tersebut, sudah terlihat unsur imajinatif dan kreatif, sehingga kita dapat
mengembangkan kebebasan berpikir tentang apa saja. Contoh praktik social spekulasi seperti
“Apakah efektif penggunaan pertisida nabati pada pertanaman padi?”. Pada contoh tersebut
tercermin pertanyaan spekulatif
Perbedaan antara berpikir dalam kehidupan sehari-hari dan berpikir filosofis, terlihat pada aspek
kesungguhan dan sistematisasinya. Berpikir secara filsafat lebih memerlukan kesungguhan dan
system. Di samping kedua aspek ini, di dalam berpikir filosofis terdapat satu aspek lagi, yaitu “analisis”
• Analisis
Di dalam berfilsafat, kita tidak cukup hanya mempertanyakan tentang alam semesta dan
kemudian berspekulasi tentang jawaban-jawabannya. Akan tetapi, kita juga harus mempertanyakan
tentang “pertanyaan-pertanyaan” itu sendiri dan jawaban-jawabannya. Dalam hal ini kemudian kita
juga menganalisis melalui penalaran logika, semua pertanyaan yang kita ajukan dan jawaban yang
kita peroleh. Sebagai contoh misalnya dalam dialog Plato, Socrates memaksa murid-muridnya, dan
juga orang-orang lain yang terlibat dalam dialog, untuk mempertanyakan kembali pertanyaan
tentang “keadilan” serta jawaban-jawabannya, yaitu “melakukan hal-hal yang baik terhadap teman-
teman kita dalam hal-hal yang tidak baik terhadap musuh-musuh kita”, dengan cara menganalisis
tentang arti ‘keadilan’ tersebut secara teliti dan mendetail. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh
arti yang sebenarnya tentang keadilan.
Contoh praktik social analisis “Apakah penggunaan pertisida nabati dapat mengurangi
persentase serangan hama utama pada pertanaman padi?”. Pada contoh tersebut tercermin
pertanyaan spekulatif, dimana telah di analisis sebelumnya bahwa pestisida nabati dapat membunuh
organisme penganggu tanaman, akan tetapi belum di ketahui efektifitasnya, sehingga memunculkan
pertanyaan seperti di atas untuk di cari tahu kebenarannya. Analisis memuat antara lain:
mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, berkeyakinan ataupun berteori, untuk kemudian
menyelidiki semuanya itu, menguraikan ke dalam bagian-bagian dengan menggunakan data-data
fisik yang dapat membantu, dengan mempergunakan bentuk penalaran logika.
3. Ambil satu contoh praktik sosial dan uraikan sesuai dengan alur lingkar pragmatis diatas.
Dalam budidaya tanaman padi tujuanku adalah mendapatkan hasil yang optimal dalam
produksinya, maka aku mungkin beranggapan bahwa akan tercapai tujuanku jika menggunakan
pestisida secara terus menerus. Dengan cara ini, secara pribadi aku akan mencapai suatu hasil
produktivitas yang tinggi. Karena hasil yang diraih adalah kepuasan, dalam arti telah tercapainya hasil
yang di inginkan, aku mungkin beranggapan bahwa hal ini adalah lumrah dilakukan. Namun, menurut
penganut pragmatisme, ketika hal itu mungkin berguna dan berfungsi bagi seseorang, ia jelas tidak
mungkin berguna dan berfungsi bagi sistem sosial secara utuh karena pestisida ternyata memberikan
banyak dampah negatif bagi lingkungan, tanaman, dan ekosistem yang berada di sekitar pertanaman
padi. Dengan demikian, ketika diletakkan pada pengujian publik, penggunaan pestisida ternyata tidak
bisa dirumuskan sebagai hal baik atau bermoral karena hal tersebut memberikan banyak dampak
negative terhadap lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai