Anda di halaman 1dari 34

1.

Sejarah dan latar belakang psikologi sosial didunia

Dari segi bahasa, psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang berarti 'jiwa'

dan logia yang berarti 'ilmu. Sehingga bila dilihat dari segi bahasa, psikologi merupakan

ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Namun pada perkembangannya, psiko logi cukup

rumit untuk mempelajari jiwa yang sifatnya abstrak sehingga psikologi membatasi

ekspresi jiwa tersebut yang nampak dalam tingkah laku dan prosesnya. Untuk itulah

psikologi dapat dimaknai sebagai ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari

perilaku serta fungsi mentalnya.

Perjalanan panjang psikologi yang sudah ada sejak masa Yunani Kuno berakar

dari masa Aristoteles dengan ilmu filosofinya. Pada saat itu, Aristoles memandang jiwa

sebagai unsur kehidupan. Sejarah awal ini pun berkembang dalam intelektual Eropa dan

memunculkan bentuk pragmatis di benua Amerika.

Baru pada kisaran abad ke-19, di tahun 1879, Wilhem Wundt mulai mendirikan

laboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig, Jerman. Berdirinya laboratorium

ini menandakan adanya metode ilmiah yang menjadi syarat lengkap psikologi sebagai

sebuah ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dalam hal kajian, metode, dan

penerapannya.

Di awal abad ke-21, ilmu psikologi telah menjadi bidang studi ilmiah yang

mengkaji beragam masalah, bahkan kini mulai diterapkan di bidang teknologi. American

Psychological Association (APA) sebagai Asosiasi Psiko logi yang menjadi rujukan

ilmuwan psikologi, menetapkan "dekade perilaku" dalam kajian psikologi mulai tampak

pada tahun 2000 hingga 2010. Selama dekade tersebut, ilmu psikologi banyak diwarnai
dengan berbagai macam objek investigasi yang melibatkan ilmu alam hingga ilmu sosial.

Hal ini berdampak pada kekayaan bidang psikologi yang dapat mengkaji secara khusus

topik-topik tertentu di lapangan, salah satunya adalah kajian dengan perspektif psikologi

sosial. Sejarah psikologi sosial tidak luput dari pola pemikiran Auguste Comte dengan

pemikiran filsuf Prancis di abad ke-20. Pemikirannya menjadi landasan perkembangan

psikologi sosial sebagai disiplin ilmu empiris. Kemunculan psikologi sosial ditandai

dengan munculnya dua buku dari pakar ilmu psikologi sosial, yaitu An Introduction to

Social Psychology oleh William McDougall (1980) dan Social Psychology oleh E.A.

Ross (1990). Kedua buku pengantar tersebut menjadi titik awal berkembangnya kajian

psikologi sosial hingga saat ini.

Sebelum kita memahami keuntungan dari mempelajari cabang ilmu psikologi ini,

coba kita amati masalah sekeliling. Misalnya saja, terkadang kita tiba-tiba dimusuhi oleh

teman tanpa sebab. Namun di sisi lain, ada yang membela kita. Hubungan seperti ini

yang memicu adanya bentuk pertikaian, perselisihan, dan sebagainya, baik antarindividu

maupun antar kelompok. Psikologi sosial akan memberikan gambaran tentang jalinan

interaksi yang ideal antara individu dan individu, individu dan kelompok, serta kelompok

dan kelompok. Dengan adanya gambaran ini, kita dapat mengurai konflik perselisihan

yang terjadi.

2. Perkembangan sejarah psikologi sosial di Indonesia

3. Ruang lingkup dan batasan


4. Pendekatan psikologi sosial

Dari definisi dan ruang lingkup psikologi sosial yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat

dijelaskan pendekatan psikologi yang dapat digunakan untuk meninjau perilaku atau

sikap individu pada sebuah interaksi antar individu maupun kelompok (Elis, 2014).

1. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku memiliki prinsip dasar bahwa tingkah laku merupakan

respons atau stimulus yang datang. Secara sederhana, pendekatan ini dapat digambarkan

dengan model S-R atau bisa dibaca dengan keterkaitan antara stimulus dan respons.

Pendekatan ini dipelopori oleh J.B. Watson yang kemudian disempurnakan oleh B.F.

Skinner. Kemudian berawal dari sinilah psikologi sosial memiliki banyak pendekatan.

2. Pendekatan Neurobiologis

Neurobiologi dapat kita artikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari tentang

kinerja sistem saraf, fisiologi, dan hubungannya dengan perilaku individu. Neurobiologis

dalam psikologi melihat bagaimana fungsi otak berhubungan dengan perilaku. Lima

fungsi otak dalam neurobiologis terkategori dalam proses kognitif, persepsi, emosi,

perilaku, dan sosialisasi. Kelima kategori fungsi otak dan sistem saraf tersebut saling

berkaitan. Pendekatan ini meyakini tingkah laku manusia pada dasarnya dikendalikan

oleh aktivitas otak dan sistem saraf. Impuls listrik dan proses kimia yang terjadi dalam

tubuh individu akan menentukan perilaku beserta proses mentalnya.


Stuart & Sundeen (1998) memberikan beberapa contoh berikut ini yang

menunjukkan bagaimana pendekatan neurobiologis berkaitan dalam dunia perilaku.

a. Pada individu dengan skizofrenia acap kali mengalami defisit kognisi yang berdampak

pada munculnya permasalahan dalam aspek ingatan, perhatian, bentuk dan isi pikiran

(delusi), jumlah ucapan, serta peng ambilan keputusan.

b. Individu dalam mengambil keputusan tidak lepas dari persepsi yang berujung pada

kemampuan pengidentifikasian dan interpretasi awal suatu stimulus berdasarkan situasi

yang ditangkap oleh pancaindra.

c. Emosi yang diekspresikan oleh individu (bisa saja ekspresi ini disikapi berlebihan atau

kurang). Pada individu dengan skizofrenia cenderung mengalami masalah pada emosi.

d. Perilaku yang berkaitan dengan respons neurobiologis maladaptive sehingga sering

kali dianggap sebagai perilaku yang aneh, tidak enak dipandang, dan membingungkan.

e. Perilaku yang berkaitan dengan hubungan dalam menjalin kerja sama dan saling

menunjukkan ketergantungan antarindividu. Perilaku ini berkaitan dengan proses berpikir

(kognitif) seseorang.

3. Pendekatan Kognitif

Istilah kognitif yang sangat lekat dengan psikologi merujuk pada segenap

aktivitas mental dalam berpikir, menganalisis membentuk konsep, penye lesaian masalah,

hingga pengambilan keputusan. Perspektif ini digawangi sejak aliran Gestalt mulai

mewarnai kajian ilmu perilaku. Pandangan kognitif mendasarkan pada asumsi bahwa

kemampuan kognitif merupakan hal yang mendasari individu bertingkah laku.

Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku individu merupakan hasil proses
aktif dari menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum

melakukan reaksi (Myers, 2010; Carin & Sund, 1993). Terdapat lima aspek kognitif yang

dimiliki individu dan dapat menjadi amatan perilaku dan tahapan perkembangan individu

sebagai berikut.

a. Kematangan

Bertambahnya usia menjadikan individu terbiasa menghadapi rutinitas dan masalah yang

dihadapi. Kecakapan dalam mengombinasikan ide dan dapat berpikir abstrak saat

bertambah usia cenderung akan mematangkan kemam puan individu dalam berpikir logis

dan sistematis.

b. Pengalaman

Pengalaman yang merupakan hasil interaksi antarindividu dan kelompok yang menuntut

kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini akan memberikan sumbangan

kemampuan individu dalam mengorganisir struktur beripikir yang dimiliki. Pelibatan

pengalaman oleh individu dapat berupa pengalaman fisik yang melibatkan individu

berinteraksi dengan lingkungan fisik, memanipulasi objek di sekitar, dan membuat

abstraksi dari objek tersebut. Selain itu, terdapat pula pengalaman logika matematika

yang berbentuk kemampuan membangun hubungan atau membuat abstraksi yang didapat

dari hasil interaksi terhadap objek.

c. Transmisi sosial Bersama dengan kekayaan pengalaman dan kematangan, pada

transmisi sosial, individu akan menemui sejumlah hubungan sosial yang melibatkan

proses komunikasi dengan lingkungannya. Ini menjadi faktor penunjang ber kembangnya

kemampuan kognitif individu. Karena dalam transmisi sosial, individu akan melalui
serangkaian proses interaksi sosial dalam menyerap beragam informasi yang dapat

mengembangkan struktur kognitifnya.

d. Equilibrasi

Aspek ini merupakan kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama

individu berada dalam periode ketidakseimbangan.

4. Pendekatan psikoanalisis

Dipelopori oleh Sigmund Freud yang memiliki gebrakan dalam bidang psikologi

dengan konsepnya yang dikenal dengan "psikoanalisis". Konsep ini menyatakan bahwa

sebagian besar perilaku individu ditentukan dari motif ketidaksadaran. Ketidaksadaran

individu memiliki kekuatan irasional yang tidak disadari dari dorongan biologis serta

naluri psikoseksual tertentu di enam tahun pertama tahap perkembangan individu.

Konsep id, ego, dan superego yang dipelopori oleh Sigmund Freud.

id adalah bagian alam bawah sadar manusia yang berisi penuh dengan hasrat dan

keinginan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan individu. Sementara itu, ego

yang tidak jauh berbeda dengan id merupakan keinginan individu yang telah terkontrol

oleh emosi sehingga individu dapat mempertimbangkan akibat dari pemenuhan ke

inginan tersebut. Berbeda dengan id dan ego, superego berasal dari pengarahan dan

bimbingan lingkungan yang membentuk nurani individu untuk berusaha optimal

bermanfaat bagi orang lain (Taniputera, 2005).

Berkaitan dengan interaksi individu dalam situasi sosial, pendekatan ini menaruh

perhatian pada proses adaptasi, berelasi, berkompetisi, menghadapi tantangan, melakukan


kerja sama, penyelesaian masalah, komunikasi, serta aspek lainnya yang terdapat dalam

proses interaksi antarindividu maupun kelompok.

5. Pendekatan Fenomenologi

Fenomenologi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata fenomenon memiliki

arti 'sesuatu yang tampak. Kata ini dalam perkembangan ilmu psikologi dijadikan rujukan

sebagai sebuah kajian yang membahas sesuatu yang menampakkan diri (Elis, 2014).

Dalam membahas perilaku individu, pendekatan ini kerap kali menjadi sebuah metode

untuk menjangkau objek dari kesadaran yang dipersepsikan oleh individu. Tujuan

utamanya adalah menemukan esensi dari hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran

tersebut, sehingga dapat dilakukan dengan cara yang sistematis melalui serangkaian

teknik. Pada psikologi sosial, pendekatan ini lebih memperhatikan pada pengalaman

subjektif individu karena tingkah laku sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap

diri dan dunianya. Hal inilah yang mela tarbelakangi digunakannya pendekatan ini dalam

psikologi sosial. Oleh karena itu, tingkah laku individu berkaitan dengan fenomena

tentang dirinya.

5. Teori-teori dalam psikologi sosial

Teori adalah serangkaian prinsip-prinsip yang terorganisasi dan digunakan untuk

menjelaskan fenomena yang terobservasi. Teori yang baik biasanya diukur dari tiga

kriteria, yaitu: sederhana (simplicity), komprehensif, dan generativitas. Ketiganya

memiliki derajat yang sama, dan teori yang paling baik haruslah elegan, ringkas, dapat

menampung (encompass) semua informasi yang relevan, dan mengarahkan munculnya

penelitian lanjut serta memunculkan hipotesis baru dan pemahaman yang lebih baik.
Dalam penelitian sosial, terdapat sejumlah teori. Para ahli psikologi sosial tidak

mencoba menggunakan grand theory seperti teori Freud atau Piaget, seperti telah

dipelajari di pengantar psikologi. Sebaliknya, teori teori psikologi sosial lebih ke arah

mini teori sehingga kemampuannya dalam menjelaskan perilaku lebih bersifat terbatas.

Sebagian besar teori psikologi sosial sangatlah generatif. Teori-teori ini

menstimulasi program program penelitian lanjutan yang lebih sistematis dengan teori

yang mendukung. Peneliti dapat semakin kritis terhadap teori-teori yang ada maupun

teori-teori yang berseberangan. Para mahasiswa psikologi sosial pemula seringkali

terkejut dengan adanya oposisi teori ini. Keterkejutan terjadi karena para mahasiswa sulit

menentukan teori mana yang benar dan mana yang salah, atau teori mana yang baik dan

teori mana yang buruk. Munculnya pertentangan teori ini menunjukkan bahwa psikologi

sosial merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda. Meskipun masih muda, debat

dalam teori psikologi sosial masih diperlukan. Hal itu dimaksudkan sebagai sarana untuk

menjadikan psikologi sosial lebih matang, sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang tidak

diragukan dan dapat dipercaya.

6. Jenis jenis penelitian dalam psikologi sosial

7. Mengklasifikasi metode penelitian psikologi sosial

8. Metaanalisis dalam psikologi sosial

9. Etika riset

10. Ruang lingkup fenomena kognisi sosial di Indonesia dan global

11. Definisi kognisi sosial

Kognisi sosial mengacu pada cara individu memandang dan berfikir mengenai

dunia sosial mereka, orang-orang yang mereka amati dan yang berinteraksi dengan
mereka, hubungan dengan orang-orang tersebut, kelompok tempat individu bergabung,

dan cara mereka berpikir mengenai diri mereka sendiri dan orang lain (Santrock, 2002).

Kognisi sosial merupakan kemampuan individu untuk memahami ling kungan

sosialnya melalui cara berpikir, mengamati diri sendiri, dan orang lain. Pandai

menempatkan diri dan berpikir positif terhadap lingkungan, memungkinkan individu

dapat dengan mudah mengamati, mengevaluasi, dan menangkap realitas sosial yang ada

dalam dunia sosialnya. Monks (2009) menyampaikan bahwa kognisi sosial berarti

pengertian akan tingkah laku orang lain.

Baron dan Byrne (2004), mengemukakan bahwa untuk dapat mengerti tingkah

laku orang lain, individu dapat melakukan interpretasi, meng analisis, mengingat, serta

menggunakan informasi mengenai dunia sosial. Ini menunjukkan bahwa apabila kognisi

sosial tidak dikelola dengan baik, maka individu akan mengalami kesulitan mengenal

dunia sosialnya dengan tepat. Kemampuan ini juga menunjukkan bahwa kecakapan sosial

yang dimiliki seseorang sangat erat hubungannya dengan sikap sosial di lingkungannya.

Taylor (2009) menjelaskan bila kognisi sosial merupakan proses individu

membentuk suatu kesimpulan dari informasi sosial yang ada dalam lingkungannya.

Dengan demikian, kognisi sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam

memengaruhi sikap sosial yang merupakan implikasi dari cara seseorang mengamati

orang lain dan berpikir mengenai situasi sosial melalui informasi sosial yang ada dalam

dunia sosialnya.

() kognisi sosial merupakan kemampuan individu untuk memahami dan

bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Kognisi sosial memusatkan diri pada proses
psikologis di dalam diri individu mengenai dirinya sendiri dan atau orang lain serta

mengenai hubungan antarindividu dalam dunia sosial. Dengan adanya kemampuan

kognisi sosial ini, individu dapat menempatkan diri dan berpikir positif terhadap

lingkungannya. Selain itu, memberikan kemungkinan bagi individu untuk dapat dengan

mudah melakukan pengamatan, mengevaluasi, dan menangkap realitas sosial yang ada

dalam dunia sosialnya. Dengan begitu, kognisi sosial dapat digunakan untuk mengetahui

yang dilakukan seseorang dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya.

12. Teori belajar sosial

A. Konsep Teori Belajar Sosial

Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang

tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran social ini dikembangkan oleh Albert

Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori belajar

perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat

perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori

pembelajaran social kita akan menggunakan penjelasan reinforcement eksternal dan

penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain.

Dalam pandangan belajar social manusia "itu tidak didorong oleh kekuatan dari

dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus - stimulus lingkungan. Teori belajar

social menekankan bahwa lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan;

lingkungan - lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui

perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui

pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran
social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah

paling penting dalam pembelajaran terpadu.

Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama, Pembelajaran melalui

pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Contohnya seorang

pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya. Maka ia

kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh

gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami

orang lain. Selain itu, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model

meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat

mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin

dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan

apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan

oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran

atau visualisasi tiruan sebagai model.

Teori pembelajaran social berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh

Bandura bahwa sebagian besar tingkah laku manusia diperoleh dari dalam diri, dan

prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku

berkembang. Akan tetapi, teori teor sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks

social dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak

peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu

melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau

dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya. Teori belajar sosial
dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep dari teori ini menekankan pada

komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.

Menurut Bandura orang belajar melalui pengalaman langsung. Teori belajar sosial

atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif

masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut

Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks

otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai

hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar

belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial

dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).

Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward

dan punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana

yang perlu dilakukan.

Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-

kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan. Teori

belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada

seseorang secara kebetulan; lingkungan lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh

orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,

1997:14) bahwa "sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan

mengingat tingkah laku orang lain". Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan

(modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam

pembelajaran terpadu. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan, yaitu:


1. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang

lain. Contohnya: seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya

karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang

tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari

penguatan melalui pujian yang dialami orang lain.

2. Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu

tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu

sedang memperhatikan model itu, mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari

oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila

menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh

seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran

atau visualisasi tiruan sebagai model.

Pendekatan teori sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa

ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).

a.Conditioning

Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya

sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku perilaku lainnya,

yakni dengan reward (ganjaran/memberi hadiah atau mengganjar) dan punishment

(hukuman/memberi hukuman) untuk senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku

sosial mana yang perlu ia perbuat.


b. Imitation.

Proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogianya

memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh

berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Sebagai contoh, seorang siswa mengamati

gurunya sendiri menerima seorang tamu, lalu menjawab salam, menjabat tangan,

beramah tamah, dan seterusnya yang dilakukan guru tersebut diserap oleh memori

siswa. Semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas

imitasi perilaku sosial dan moral siswa tersebut.

Mengimitasi model merupakan elemen paling penting dalam hal bagaimana si

anak belajar bahasa, berhadapan dengan agresi, mengembangkan perasaan moral dan

belajar perilaku yang sesuai dengan gendernya. Analisis perilaku terapan (applied

behavior analysis) merupakan kombinasi dari pengkondisian dan modeling, yang dapat

membantu menghilangkan perilaku yang tidak di inginkan dan memotivasi perilaku vang

diinginkan secara sosial.

Definisi belajar pada asasnya ialah tahapan perubahan perilaku siswa yang relatif

positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses

kognitif. Proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif,

afektif, dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa.

Menurut Bandura, belajar itu lebih baik dari sekedar perubahan prilaku. Belajar

adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasrai oleh pengetahuan tersebut.

Lewat teori observational leaning, Bandura beranggapan bahwa masalah proses psikologi

terlalu di anggap penting atau sebaliknya hanya ditelaah sebagian saja. Orang dapat
melibatkan diri dalam pikiran simbolik, orang cenderung untuk membimbing dirinya

sendiri dalam belajar, yang penting adalah kemampuan seseorang untuk

mengabstraksikan informasi dan perilaku orang lain.

Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi

alami, hal ini berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan social yang

banyak memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya. Kritik

Bandura terhadap belajar itu sebagai hubungan antar stimulus dan respon adalah:

(a) Kurang menjelaskan tentang diperolehnya respon yang baru. Dalam situasi

alami menurut Bandura, orang akan berbuat lebih banyak daripada sekedar

meniru perilaku yang telah ada.

(b) Hanya mengamati direct learning (belajar langsung) yaitu orang berperilaku

sesuatu dan mengalami akibatnya. Sebaliknya bandura mengatakan bahwa

seorang anak dalam hubungan pribadinya dengan orang dewasa melalui interaksi

anak dan orang tuanya, dengan perasaan irinya sebagainya dan menyebabkan

anak meniru perilaku tertentu.

Ciri utama Teori Bandura adalah metode observasi dan modeling. Albert Bandura

dan Richard Walters (1959, 1963) melakukan eksperimen pada anak-anak yang juga

berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat

berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun

pengamatan tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut

"observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan.


Bandura, kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki

memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku

tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang. Menurut Bandura, perlakuan seseorang

adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. pandangan ini

menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori pembelajaran peniruan, dalam teori ini

beliau telah menjalankan kajian bersama Walter terhadap perlakuan anak-anak apabila

mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk

sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video anak-anak ini diarah bermain

di kamar permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam video. Setelah

anak-anak tersebut melihat patung tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh

orang yang mereka tonton dalam video.

Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara

langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan

pelajar meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui contoh tingkah laku.

Contohnya anak anak meniru tingkah laku bersorak dilapangan, jadi tingkah laku

bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan.

Keadaan sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru

mengajar,semestinya guru akan memarahi dan memberi tahu tingkahlaku yang dilakukan

tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut, jadi tingkah laku tersebut menjadi contoh

perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang seterusnya ialah elisitasi. Proses ini

timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang lain. Contohnya seorang anak-

anak melihat temannya melukis bunga dan timbul keinginan dalam diri anak-anak
tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu, peniruan berlaku apabila anak-anak

tersebut melihat temannya melukis bunga.

Karakteristik yang ditonjolkan dalam pembelajaran modelling antara lain adalah:

(1) Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan.

(2) Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain-

lain.

(3) Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru

sebagai model

(4) Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan

yang positif.

(5) Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah

laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif.

Eksperimen Albert Bandura yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll

yang menunjukkan anak-anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa

disekitarnya. Albert Bandura scorang tokoh teori belajar sosial ini menyatakan bahwa

proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan

pendekatan permodelan. Beliau menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap

apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan aspek peniruan oleh pelajar akan

dapat memberikan kesan yang optimum kepada pemahaman pelajar.

Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E)

dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P)
adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking), Harapan dan nilai

mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik

lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan

kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan

atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan sosial yang

berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah

intensitas atau arah aktivitas.

Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada

penguatan oleh model) Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh

pembelajar). Pemrosesan kode-kode simbolik. Skema hubungan segitiga antara

lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku. Selain itu proses perhatian (atention)

sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak

akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar

pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual kode verbal dan atau penyimpanan

dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan) memegang

peranan penting. Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari

dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi). Karena

melibatkan atensi,ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori

Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi

dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura

menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara

massal.
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang

kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan

motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri

pembelajar sendiri yakni "sense of self Efficacy" dan "self-regulatory system". Sense of

self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan

keterampilan sesuai standar yang berlaku.

Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi

referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan,

mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-

regulatory akan menentukan "goal setting" dan "self evaluation" pembelajar dan

merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.Menurut

Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan

model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan "self

of mastery", self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.

B. Unsur Teori Belajar Sosial

Menurut teori belajar social, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran

kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas

dalam 4 tahap yaitu perhatian / atensi, mengingat / retensi, reproduksi gerak, dan

motivasi.

1. Perhatian (Attention)

Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat

mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap,

dan lain-lain yang dimiliki. Contohnya, seorang pemain musik yang tidak percaya
diri mungkin meniru tingkah laku pemain music terkenal sehingga tidak

menunjukkan gayanya sendiri. Bandura & Walters (1963) dalam buku mereka

"Sosial Learning & Personality Development" menekankan bahwa hanya dengan

memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari.

2. Mengingat (Retention)

Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem

ingatannya. Ini membolehkan subjek melakukan peristiwa itu kelak bila

diperlukan atau diingini. Kemampuan untuk menyimpan informasi juga

merupakan bagian penting dari proses belajar.

3. Reproduksi gerak (Reproduction)

Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku, subjek dapat

menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam

bentuk tingkah laku. Contohnya, mengendarai mobil, bermain tenis. Jadi setelah

subyek memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk

benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih lanjut dari

perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.

4. Motivasi

Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena ia adalah

penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Jadi subyek harus termotivasi

untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan.


13. Emosi dan inferensi

14. Konformitas dan efikasi diri

15. Perkembangan tokoh kognisi sosial

16. Fenomena persepsi sosial secara global dan Indonesia

17. Definisi persepsi sosial

18. Penelitian klasik persepsi sosial

19. Tipe-tipe atribusi

20. Teori atribusi

21. Perilaku non-verbal

22. Teori kepribadian

23. Mekanisme persepsi diri

24. Definisi konsep diri

Konsep diri sendiri dapat diartikan sebagai gambaran individu mengenai dirinya

tentang fisik psikis sosial prestasi yang dicapai maupun emosional aspiratif beberapa ahli

mencoba mengartikan dan menjelaskan tentang konsep diri sebagai persepsi individu

terhadap dirinya sendiri persepsi ini dapat bersifat fisik psikologis dan sosial sebagai

sebuah bentuk pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain (Rakhmat, 1998;

Chaplin, 1997).

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disim pulkan

bahwa konsep diri adalah sikap, perasaan, dan pandangan individu tentang dirinya

sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Konsep diri adalah apa yang dipikirkan

dan dirasakan tentang dirinya sendiri. Ada dua konsep diri, yaitu konsep diri komponen

kognitif dan konsep diri komponen afektif. Komponen kognitif disebut self-image dan
komponen afektif disebut self-esteem. Komponen kognitif adalah pengetahuan individu

tentang dirinya mencakup pengetahuan "siapa saya" yang akan memberikan gambaran

tentang diri saya. Gambaran ini disebut citra diri. Sementara itu, komponen afektif

merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang akan membentuk bagaimana

penerimaan terhadap diri dan harga diri individu.

Fitts (Agustiani, 2006) menyampaikan secara garis besar aspek-aspek yang

meliputi konsep diri individu tersebut terbagi menjadi dua dimensi, yakni dimensi

internal dan dimensi eksternal. Pada dimensi internal, konsep diri terdiri dari tiga bagian,

yaitu diri identitas, diri pelaku, dan diri penilai. Diri identitas, yaitu label ataupun simbol

yang dikenakan oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya dan membentuk identitasnya.

Label label ini akan terus bertambah seiring dengan berkembang dan meluasnya

kemampuan seseorang dalam segala bidang. Sementara itu, pada diri pelaku terdapat

keinginan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan dorongan rangsangan internal maupun

eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut akan berdampak pada lanjut tidaknya perilaku

tersebut, sekaligus akan menentukan apakah suatu perilaku akan diabsraksikan,

disimbolisasikan, dan digabungkan dalam diri identitas. Bagian dimensi internal sebagai

pelengkap konsep diri adalah diri penilai yang berfungi sebagai pengamat, penentu

standar, penghayal, pembanding, dan terutama sebagai penilai. Di samping fungsinya

sebagai jembatan yang menghubungkan kedua diri sebelumnya.

Bila dimensi internal terdiri atas tiga bagian, diri eksternal terdiri dari lima bagian.

Dimensi eksternal ini berkaitan dengan munculnya konsep diri positif maupun negatif.

Kelima bagian ini, yaitu :


1. Konsep diri fisik, yaitu cara seseorang dalam memandang dirinya dari sudut pandang

fisik, kesehatan penampilan keluar, dan gerak motoriknya. Konsep diri seseorang

dianggap positif apabila ia memiliki pandangan yang positif terhadap kondisi

fisiknya, penampilannya, kesehatannya, kulitnya, tampan dan cantiknya, serta ukuran

tubuh yang ideal. Tidak demikian bila dianggap sebagai konsep diri yang negatif

apabila ia memandang rendah atau memandang sebelah mata kondisi yang melekat

pada fisiknya, penam pilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau

cantiknya, serta ukuran tubuh yang ideal.

2. Konsep diri pribadi yang merupakan cara individu menilai kemampuan yang ada

pada dirinya dan menggambarkan identitas dirinya. Konsep diri seseorang dapat

dianggap positif apabila ia memandang dirinya sebagai pribadi yang penuh

kebahagiaan, memiliki optimisme dalam menjalani hidup, mampu mengontrol diri

sendiri, dan syarat akan potensi. Dapat dianggap sebagai konsep diri yang negatif

apabila ia memandang dirinya sebagai individu yang tidak pernah (jarang) merasakan

kebahagiaan, pesimis dalam menjalani kehidupan, kurang memiliki kontrol terhadap

dirinya sendiri, dan potensi diri yang tidak ditumbuhkembangkan secara optimal.

3. Konsep diri sosial yang merupakan persepsi, pikiran, perasaan, serta evaluasi

seseorang terhadap kecenderungan sosial yang ada pada diri sendiri. Hal tersebut

berkaitan dengan kapasitasnya dalam berhubungan dengan dunia di luar dirinya, serta

perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosialnya. Konsep diri dapat

dianggap positif apabila ia merasa sebagai pribadi yang hangat, penuh keramahan,

memiliki minat terhadap orang lain. Memiliki sikap empati, supel, merasa

diperhatikan memiliki sikap tenggang rasa, peduli akan nasib orang lain, dan aktif
dalam berbagai kegiatan sosial di lingkungannya. Dapat dianggap sebagai konsep diri

yang negatif apabila ia merasa tidak berminat dengan keberadaan orang lain, acuh tak

acuh, tidak memiliki empati pada orang lain, tidak (kurang) ramah, kurang peduli

terhadap perasaan dan nasib orang lain, dan jarang atau bahkan tidak pernah

melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas sosial.

4. Konsep diri moral etik. Konsep diri ini berkaitan dengan persepsi, pikiran dan

perasaan, serta penilaian seseorang terhadap moralitas dirinya terkait dengan relasi

personalnya dengan Tuhan, dan segala hal yang bersifat normatif, baik nilai maupun

prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan seseorang. Konsep diri seseorang

dapat dianggap positif apabila ia mampu memandang untuk kemudian mengarahkan

dirinya untuk menjadi pribadi yang percaya dan berpegang teguh pada nilai-nilai

moral etik, baik yang dikandung oleh agama yang dianutnya, maupun oleh tatanan

atau norma sosial tempat di mana dia tinggal. Sebaliknya konsep diri individu dapat

dikategorikan sebagai konsep diri yang negatif bila ia menyimpang dan tidak

mengindahkan nilai-nilai moral etika yang berlaku baik nilai-nilai agama maupun

tatanan sosial yang seharusnya dipatuhi.

5. Konsep diri keluarga yang berkaitan dengan persepsi, perasaan, pikiran, serta

penilaian seseorang terhadap keluarganya dan keberadaan dirinya sendiri sebagai

bagian integral dari sebuah keluarga.

Seseorang dianggap memiliki konsep diri yang positif apabila ia mencintai

sekaligus dicintai oleh keluarganya, merasa bahagia di tengah-tengah keluarganya,

merasa bangga dengan keluarga yang dimilikinya, dan mendapat banyak bantuan dan

dukungan dari keluarganya. Dianggap negatif apabila ia merasa tidak mencintai sekaligus
tidak dicintai oleh keluarganya, tidak merasa bahagia di tengah-tengah keluarganya, tidak

memiliki kebanggaan pada keluarganya, serta tidak banyak mendapatkan bantuan dari

keluarganya.

25. Regulasi diri

26. Motivasi diri

27. Perkembangan konsep harga diri dan perbandingan sosial

a. Perkembangan konsep harga diri

Kata esteem berasal dari akar kata dalam bahasa Latin rga diri esteemare,

yang artinya to estimate atau appraise. Oleh ponen karena itu, self-esteem dapat

diartikan sebagai penilaian (evaluasi) kita yang positif atau pun negatif terhadap diri

kita sendiri. Oleh karena itu, harga diri seseorang positif bisa lebih tinggi ataupun

lebih rendah daripada orang negotif lain. Karena penilaian ini berada di sistem

kognitif, diri kita maka penilaian seseorang terhadap diri sendiri sangat tergantung

kepada perubahan konsep diri penilai terhadap atribut yang melekat berubah, maka

harga diri seseorang juga dapat berubah. Seperti halnya yang akan dibahas dalam Bab

tentang sikap dan perubahannya, unsur diri (self) dalam belief adalah unsur objek (O),

sedangkan sifat-sifat lain yang melekat merupakan atributnya. Objek seperti diri kita

self akan memiliki banyak atribut.

Brigham (1991:104) juga memiliki pendapat senada. la menyatakan bahwa

harga diri merupakan "the evaluative part of the self-concept". Dari pendapat ini, jelas

bahwa seseorang akan melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri setelah

memahami konsep dirinya. Tentunya untuk melakukan evaluasi diri diperlukan suatu

standar penilaian yang digunakan sebagai patokan apakah dirinya itu lebih baik atau
lebih buruk dari self idealnya. Patokan atau standar yang dijadikan dasar evaluasi diri

ini oleh Brigham diistilahkannya sebagai self-guides.

Bila Anda tidak keberatan untuk mencoba, lakukan empat hal berikut ini: (1)

self yang Anda inginkan, artinya Anda menginginkan atau memiliki harapan agar diri

anda seperti apa, (2) karakteristik yang penting orang lain (misalnya orang tua Anda)

yang disebut juga ideal self-others, (3) karakteristik yang seharusnya anda miliki

berkaitan dengan tugas, tanggung jawab dan kewajiban terhadap orang lain (ought

self) dan (4) karakteristik yang penting bagi orang lain yang anda rasakan harus

dimiliki (ought self-others). Keempat langkah yang telah dilakukan di atas

sebenarnya merupakan tindakan seseorang ketika melihat kesenjangan (discrepancy)

antara konsep diri aktual kita dengan petunjuk diri (self-guides) kita.

Higging et al., 1986 (dalam Brigham, 1991:103) menyatakan bahwa besarnya

emosi yang disebabkan oleh adanya diskrepansi diri akan tergantung pada kuatnya

(magnitude) kesenjangan dan kesadaran akan adanya kesenjangan itu. Semakin besar

kesesuaian antara self aktual dengan self ideal akan menjadikan harga diri lebih baik,

sebaliknya semakin besar kesenjangan antara kedua self tersebut dapat menyebabkan

rendahnya harga diri.

Brehm dan Kassin (1996:56) membuat definisi bahwa harga diri atau self

esteem merupakan "an affective component of the self, consisting of a person's

positive and negative self evaluation". Berdasarkan definisi di atas, harga diri

merupakan komponen afektif dari self, yang berupa evaluasi diri seseorang baik

positif dan negatif. Harga diri dapat dipahami dari cara pandang seseorang berkaitan

dengan kehidupan kesehariannya. Orang yang memiliki penilaian baik terhadap


dirinya akan cenderung bahagia, sehat, sukses, dan produktif. Mereka cenderung

mampu mengerjakan tugas yang berat dalam kurun waktu yang lama, dapat tidur

tenang di malam hari, dan sedikit memiliki keluhan. Mereka juga cenderung dapat

menerima orang lain dan tidak merasakan adanya tekanan dari teman sebayanya.

Sebaliknya orang dengan harga diri yang rendah akan cenderung cemas, depresi,

pesimistik tentang masa depannya dan cenderung gagal dalam berusaha (Brown

1991; dalam Brehm dan Kassin, 1996:57).

Sejumlah penelitian yang dikutip Brehm dan Kassin (1996) telah

menunjukkan bahwa seseorang cenderung termotivasi untuk menjaga citra dirinya

yang positif karena harga diri dapat menolong melindungi kita dari ketakutan akan

mati dan berbagai bentuk kecemasan (Solomon, 1991 dan Greenbern et al., 1992).

Masih juga belum cukup kerugiannya, orang dengan harga diri yang rendah juga akan

cenderung menderita penyakit tertentu. Strauman et al, (1993) telah mencoba meneliti

bahwa orang yang sadar akan evaluasi diri yang negatif akan memengaruhi sel darah

putih dalam sistem kekebalan (imunisasi) tubuh dan hal ini dapat memengaruhi

kapasitas tubuh untuk melawan penyakit.

b. Perbandingan sosial

28. Presentasi diri

Presentasi diri dikenal juga sebagai manajemen kesan/impression management

(Kenrick et al., 2002:116). Presentasi diri merupakan proses ketika kita mencoba untuk

mengendalikan kesan orang lain tentang diri kita. Barangkali kita perlu berefleksi tentang

kejadian-kejadian yang mungkin kita alami tapi tidak kita sadari. Mengapa kita memakai
pakaian seperti yang kita pakai sekarang ini? Apakah kita memakai make-up yang

lengkap atau hanya sekadarnya ketika berbela.ja di pasar? Ataukah kita pantas memakai

sandal jepit ketika pergi ke pesta pengantin teman sekolah di gedung pertemuan? Banyak

pertanyaan serupa yang mungkin sewaktu-waktu muncul baik disadari ataupun tidak.

Semua itu akan terkaji dengan pertanyaan mengapa kita melakukan presentasi diri.

Salah satu cara yang paling jelas dan proaktif melibatkan diri dalam kehidupan

sosial adalah melalui presentasi diri. Presentasi diri didefinisikan sebagai upaya individu

untuk menyampaikan informasi tentang diri mereka kepada orang lain. Goffman (dalam

Baumeister, 1998) menekankan presentasi diri sebagai serangkaian peran yang sedang

dimainkan oleh individu. Banyak hal efek psikologis yang ditunjukkan dalam presentasi

diri, misalnya saja perubahan sikap, emosi, pola atribusi, dan respons lain yang nampak

untuk mengubah tindakan individu. Dengan ka lain, presentasi diri mengacu pada

keinginan kita untuk menampilkan sebuah gambaran yang diinginkan, yaitu terhadap

penonton eksternal (orang lain) dan terhadap penonton internal (diri sendiri).

Pada proses presentasi diri, individu akan melakukan pengelolaan kesan

(impression management) yang bertujuan untuk memengaruhi orang lain, disukai orang

lain, ataupun ingin memperbaiki posisi atau memelihara status. Goffman (dalam Baron

dan Byrne, 2004) mengajukan syarat yang diperlukan agar dapat melakukan pengelolaan

kesan dengan baik. Pertama, penampilan muka (proper front), yaitu perilaku tertentu

yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui dengan jelas peran kita.

Front sendiri merupakan seperangkat peralatan lengkap yang digunakan untuk

menampilkan diri yang mencakup tiga aspek, yaitu setting (benda yang digunakan),

appearance (penggunaan petunjuk arti faktual, seperti pakaian, lencana, ataupun atribut
lain), dan manner (tingkah laku, seperti cara berjalan, duduk, berbicara, memandang, dan

sebagainya). Kedua, keterlibatan dalam peran, di mana individu memainkan dan

menghayati perannya dengan baik. Ketiga, mewujudkan idealisasi harapan orang lain

tentang perannya. Keempat, mystification atau adanya pemeliharaan jarak sosial tertentu

antarinividu agar tetap terjadi netralitas hubungan.

29. Kultur dan diri

30. Pengertian sikap

Telah banyak para pakar ilmu perilaku mengemukakan pengertian tentang sikap,

namun hingga saat ini belum ada kesamaan mengenai pengertian tentang sikap itu

sendiri. Para pakar ilmu perilaku membagi sikap dalam 3 (tiga) kelompok. Kelompok

pertama yang dipelopori oleh Thurstone, Edwards, Ajzen, dan Fishbein menyatakan

bahwa sikap adalah ungkapan dari perasaan senang atau tidak senang terhadap suatu

objek. Para tokoh tersebut menegaskan bahwa sikap mengandung afeksi yang merupakan

penilaian atau evaluasi ataupun reaksi perasaan (Arikunto, 2010).

Kelompok kedua dengan tokoh Allport serta Rokeach menyatakan bahwa sikap

berisi unsur kognisi dan konasi. Melihat pendapat kedua tokoh ini, dapat tergambarkan

sikap merupakan kecenderungan individu untuk merespons sesuatu yang didasari oleh

proses kognisi seseorang terhadap objek yang disikapi. Sementara itu, pada kelompok

ketiga mengartikan sikap sebagai keterkaitan dalam hal pengetahuan (kognisi), perasaan

(afeksi), dan kecenderungan tindakan (konasi) terhadap suatu objek sikap (Gerungan,

2010: Walgito, 2010; Baron dan Byrne, 2012; Myers, 2012). Ketiga kelompok para ahli

tersebut memberikan kesimpulan tentang sikap yang merupakan kecenderungan perasaan

seseorang untuk mengenal aspek tertentu pada lingkungan komponen ini dapat berupa
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh Semasa Hidup Sikap yang dimiliki setiap

individu memberikan kekhasan tersendiri pada individu yang berperilaku komponen

sikap.

Definisi sikap yang telah disebutkan diatas menyatakan bahwa komponen kognisi

afeksi dan konasi menjadi unsur penting dalam sikap. komponen kognisi berkaitan

dengan perspektif, pengetahuan dan keyakinan individu terhadap objek vital. Sementara

itu komponen afeksi berisi perasaan, penilaian, hingga evaluasi individu terhadap objek

sikap. Adapun komponen konasi berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk

berperilaku sesuai dengan sikap yang ada pada dirinya. Walgito (2010) menyampaikan

tiga komponen tersebut saling berkaitan dan membentuk sistem dalam diri yang dapat

menimbulkan sikap positif maupun negatif terhadap objek sikap yang dihadapi.

31. Pembentukan sikap fungsi sikap

a. Pembentukan sikap

Seperti uraian di atas yang menyebutkan bahwa sikap dapat dipelajari (bukan

bawaan sejak lahir) maka dapat menunjukkan bahwa sikap dapat terbentuk karena adanya

interaksi yang dialami individu dengan lingkungan sosialnya. Pada interaksi sosial,

individu dapat mengalami kejadian hubungan saling memengaruhi antara individu yang

satu dan yang lain. Selain itu, dalam interaksi sosial juga dapat terjadi hubungan timbal

balik yang dapat meng inspirasi pola perilaku masing-masing individu. Hal ini

memperlihatkan pada kita bahwa interaksi sosial bukan hanya sekadar kontak sosial dan

hubungan individu menjadi anggota sosial saja. Azwar (2013) menegaskan pengalaman

pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa,
lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosional menjadi faktor-faktor yang dapat

memengaruhi pembentukan sikap.

Pada pengalaman pribadi, individu akan menemukan hal-hal baru membentuk

serta memengaruhi penghayatan terhadap stimulus tersebut. yang Respons terhadap

pengalaman itu akan memberikan kondisi psikologis ter tentu yang membentuk sikap.

Middlebrook (dalam Azwar, 2013) menjelaskan individu yang tidak memiliki

pengalaman dengan suatumbjek psikologis akan cenderung membentuk sikap negatif

terhadap objek tersebut.

Orang lain yang berada di sekitar kita juga merupakan salah satu di antara unsur

sosial yang ikut memengaruhi dalam pembentukan sikap. Individu yang dianggap penting

atau seseorang yang diharapkan persetu juannya, seseorang yang tidak ingin kita

kecewakan, ataupun seseorang yang khusus bagi kita akan banyak memengaruhi

pembentukan sikap terhadap sesuatu.

Kebudayaan juga menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dilepaskan dalam

pembentukan sikap. Kebudayaan memberikan informasi tertentu pada pengalaman

individu yang dapat memberikan garis pengaruh pada sikap. Selain kebudayaan, media

massa, seperti radio, televisi, surat kabar, Instagram, Facebook, dan media lainnya

memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan opini dan keyakinan individu.

Media massa dapat memberikan pesan sugestif yang mengarahkan sikap individu.

Informasi dalam media massa memberikan pengetahuan baru bagi individu yang dapat

menjadi dasar afektif dalam menilai suatu hal sehingga terbentuk arah sikap tertentu.

Hal lain yang menjadi perhatian dalam pembentuk sikap adalah ada nya lembaga

pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem yang dapat memberikan
pengetahuan mengenai konsep-konsep tertentu pada individu. Pemahaman yang didapat

oleh individu akan menjadi dasar individu tersebut dalam memunculkan sikap. Sikap juga

didasari situasi emosi individu sebagai bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap dalam

bentuk ini (ego defence mechanism) bersifat sementara dan menghilang sejalan dengan

selesainya hal yang membuat munculnya sikap pertahanan diri. Namun ada pula sikap

yang lebih persisten dan bertahan lama.

b. Fungsi sikap

……

32. Hubungan antara sikap dan tingkah laku

33. Persuasi dan disonansi positif

34. Komponen-komponen antagonis kelompok dan yang mempengaruhinya

35. Perilaku belajar terkait prasangka

36. Fenomena konformitas secara global dan Indonesia

37. Definisi

38. Penelitian-penelitian klasik konformitas

39. Perkembangan konformitas secara sosial

40. Tokoh dan teori

41. Fenomena kelompok sosial

42. Definisi kelompok sosial

43. Ciri dasar dan fungsi kelompok

44. Kohesifitas kelompok

45. Peran individu dalam kelompok

46. Interaksi dalam kelompok


47. Deindividuasi

48. Konflik dan kerjasama

49. Perkembangan penelitian kelompok sosial dalam budaya Indonesia

50. Tokoh psikologi kelompok

51. Ketertarikan antarpribadi

52. Intimasi

53. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketertarikan antar pribadi

54. Cinta, pernikahan, dan perselingkuhan

55. Stereotip dalam gender

56. Gender dan diri

57. Perspektif teoritis

58. Perbandingan perilaku sosial antar gender

59. Perbandingan dan perubahan peran gender dalam kehidupan

60. Altruisme dan perilaku prososial

61. Perspektif teori perilaku menolong

62. Perilaku sehat

63. Stress dan penyakit

64. Coping stres

65. Gejala, penyakit dan perawatan

66. Sejarah dan pendekatannya

67. Mengidentifikasi saksi mata

68. Pembelaan kriminal

69. Pengambilan keputusan


70. Kontribusi psikologi sosial dalam hokum

71. Fenomena sosial dan budaya

72. Definisi budaya

73. Multikulturisme

74. Akulturasi

75. Diskriminasi

76. Omniculturalism

Anda mungkin juga menyukai