Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah Penelitian Kualitatif

Dosen Pengampu : Kurniati Zainuddin, S. Psi., M.A

Andi Nasrawaty Hamid, S. Psi., M. Psi.

Fenomena Unhealthy Relationship Pada Remaja Perempuan

Disusun Oleh:

Hairunnisa Putri Ramadhani Darwis

(1971042038)

Kelas C

Fakultas Psikologi

Universitas Negeri Makassar

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009) masa remaja dimulai
pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada awal dua puluhan tahun.
Pada masa ini individu akan mencoba untuk menjalin suatu relasi, relasi
tersebut dikembangkan dengan cara meresmikan hubungan menjadi
pacaran. Pacaran diartikan sebagai kegiatan yang diawali dari berkenalan
dan berteman. Pacaran dilakukan oleh dua orang yang memiliki tujuan
untuk saling mengenal satu sama lain dengan cara melakukan aktivitas
bersama (dalam DeGenova & Rice, 2005). Menurut Rice (2001) terdapat
beberapa maksud individu menjalin hubungan pacaran antara lain: pacaran
sebagai rekreasi, pacaran sebagai sarana untuk bersahabat tanpa adanya
ikatan pernikahan, pacaran sebagai sarana eksperimen dan kepuasan
seksual, dan pacaran sebagai tahapan untuk mencari pendamping hidup.
Hal ini dibuktikan dari hasil survei kesehatan reproduksi remaja, remaja
Indonesia pertama kali pacaran pada usia 15-17 tahun. sekitar 33,3%
remaja perempuan dan 34,5% remaja laki-laki yang berusia 15-19 tahun
mulai berpacaran pada saat mereka belum berusia 15 tahun.
Hubungan pacaran tidak selalu menampakkan hal-hal positif saja,
terkadang juga terdapat suatu masalah bahkan sebuah hubungan, dalam hal
ini relasi pacaran bisa menjadi ajaib karena bisa menghubungkan dan
memberi makna, namun juga bisa menjadi berbahaya karena bisa
menjatuhkan pasangan kapanpun. Mulai dari permasalahan yang terkecil
hingga permasalahan yang besar, sehingga dapat berlanjut pada terjadinya
sebuah konflik dalam suatu hubungan pacaran yaitu terjadinya unhealthy
relationship. Unhealthy relationship atau yang akrab dikenal dengan
sebutan toxic relationship bisa juga dikatakan sebagai sebuah hubungan
yang tidak saling menghubungkan, dikarenakan adanya dominasi dari
salah satu pihak sehingga pihak lain merasa tertekan dan tidak nyaman
(Vedasari, 2020).
Pada jenis hubungan toxic relationship komunikasi yang terjadi
cenderung satu arah, adanya posesif yang berlebihan bahkan secara detail
ingin tahu apa yang dilakukan pasangannya, lebih jauh pada hubungan
yang toxic, salah satu pihak tidak diberi kesempatan untuk berkembang
menjadi lebih baik. Bagaimanapun, ketika pasangan terindikasi hubungan
yang beracun, kita akan melihat adanya perilaku-perilaku beracun yang
menjadi tanda bahwa hubungan tersebut tidak sehat, seperti adanya
ketidaknyamanan di salah satu pasangan, egoisme, juga dominasi dari
salah satu pasangan.
Pusat Pengendalian Penyakit (2000) melaporkan bahwa kejadian
rata-rata kekerasan dalam pacaran pada lingkup pelajar (sekolah dan
perguruan tinggi) masing-masing adalah 22% dan 32%. Meutia Hatta,
Menteri Pemberdayaan Perempuan Indonesia, mengungkap fakta bahwa
satu dari lima remaja mengalami kekerasan seksual. Fakta ini didapat
setelah melakukan survei terhadap 300 remaja (Girsang & Ningsih, 2015).
Begitupun pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti-
Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2016 mengindikasikan terjadinya
peningkatan kasus kekerasan dalam pacaran dalam beberapa tahun
terakhir, yang meningkat dari 21% di tahun 2015 menjadi 24% di tahun
2016.
Perempuan menjadi sebagian besar korban tindak kekerasan dalam
pacaran. Hal ini menunjukan bahwa perempuan dalam relasi pacaran
memiliki power dan bargaining position yang lemah. Ditandai dengan
perempuan mengalami kesulitan menegosiasikan kepentingannya kepada
pasangan dan lebih memilih melakukan tindakan permisif dengan
mentoleransi tindak kekerasan yang dialami. Perempuan menjadi korban
kekerasan dalam hubungan pacaran dipengaruhi oleh beberapa penyebab,
diantaranya ada faktor sosiologis, psikologis, dan non-psikologis.
Kekerasan dalam hubungan pacaran menunjukkan bahwa sampai saat ini
terdapat ketimpangan atau ketidakseimbangan di dalam relasi laki-laki dan
perempuan, dan hal inilah yang menjadi sumber masalahnya (Sari, 2018).
Namun, sangat disayangkan kebanyakan perempuan yang menjadi korban
kekerasan justru memaafkan dan menerima kembali pasangannya yang
telah melakukan kekerasan padanya.
Berbagai studi juga memperkuat data CATAHU Komnas
Perempuan, bahwa korban kekerasan dalam pacaran sebagian besar yaitu
perempuan. Kekerasan Dalam Pacaran juga menunjukan ketimpangan
relasi antara laki-laki dan perempuan yang juga menjadi akar
permasalahan (Kaura & Lohman, 2007). Sayangnya, perempuan korban
meskipun mengalami kekerasan dan bahkan hak-haknya terbelenggu
(terampas) cenderung menerima dan memberi kesempatan (maaf) kembali
terhadap pasangan yang melakukan tindak kekerasan (Kaura & lohamn,
2007). Sejalan dengan pendapat Horwitz & Skiff (Duley, 2012) yang
menyatakan bahwa 40 % sampai 70% perempuan korban kekerasan dalam
pacaran mempertahankan kembali hubungannya dalam jangka waktu
tertentu dan tidak jarang hingga melanjutkan ke pernikahan. Padahal
sebagai manusia yang rasional, perempuan memiliki pilihan untuk
memutus relasi pacarannya.
Fenomena unhealthy relationship saat ini sering dibahas oleh
beberapa psikolog di Indonesia, selain itu sudah banyak juga lembaga-
lembaga peduli kesehatan mental di Indonesia yang juga aktif
mengkampanyekan mengenai bahaya dari toxic relationship. Selain itu,
beberapa lembaga peduli kesehatan mental di Indonesia juga turut aktif
menyebarkan pengetahuan mengenai unhealthy relationship dengan cara
membuat webinar ataupun konten-konten yang berisi informasi tentang
unhealthy/toxic relationship.
Kekerasan dalam pacaran bisa terjadi karena kurangnya
pengetahuan diantara pasangan. Pengetahuan yang baik diantara pasangan
akan meminimalisir terjadinya kekerasan dalam hubungan pacaran. Kedua
belah pihak akan mampu menahan emosi, sehingga dapat bertindak dan
berperilaku baik yang tidak merugikan orang lain dan tentunya diri sendiri.
Jika terjadi kekerasan diantara salah satu pasangan, kecerdasan emosional
akan berguna untuk menunjukkan sikap yang perlu dilakukan seperti
bertindak tegas dan melaporkan kepada pihak yang berwenang, dengan
begitu kekerasan dalam pacaran akan dapat diatasi dan dihentikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu bagaimana makna fenomena Unhealthy Relationship
yang terjadi pada remaja perempuan.

C. Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah, penelitian fenomenologi ini
bertujuan untuk mengeksplorasi terjadinya Unhealthy Relationship pada
remaja perempuan. Dengan menggunakan perspektif feminis, fokus
penelitian ini adalah pada remaja perempuan yang mengalami Unhealthy
Relationship. Perspektif ini mempermudah usaha dalam menyingkap
pengalaman-pengalaman tersebut yang tertutup selama ini. Perspektif ini
juga membantu mengartikulasikan dan menyuarakan memori para rema
perempuan yang mengalami Unhealthy Relationship. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi refleksi fenomenologis atas data
yang ada berdasarkan investigasi langsung kepada remaja perempuan
tersebut.

D. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Penulis berharap hasil dari penelitian ini mampu memberi kesempatan
pada pembaca untuk mengeksplorasi bagaimana fenomena Unhealthy
Relationship yang terjadi pada remaja perempuan.
b. Manfaat Praktis
 Bagi Peneliti
Bagi penulis diharapkan mampu menjadikan penelitian ini sebagai
sarana untuk mengeksplorasi fenomena Unhealthy Relationship
lebih lanjut.
 Bagi Masyarakat
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu memberikan
kontribusi lebih lanjut sebagai pengembangan teori pada penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Papalia, D. E., Old s, S. W., & Feldman, R. D,. (2009). Human Development
Perkembangan Manusia,. Jakarta: Salemba Humanika.

DeGenova, M.K. & Rice, F.P,. (2005),. Intimate relationships, marriages, and
families, seven edition,. New York: McGraw-Hill.

Rice, F.P,. (2001),. The Adolescent: Development, Relationship, and Culture,.


Boston: Allyn and Boston.

Duley, L.A,. (2012),. “A Qualitative Phenomenological Study of the Lived


Experiences of Women Remaining in Abusive Relationships”,. Doctoral
Dissertation.

Skripsi,. Girsang, B. M., & Ningsih, N,. (2015),. Dukungan Sosial : Informasi
Melalui Media Modul Terhadap Pengenalan Dating Violence Pada Remaja
Di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sriwijaya Inderalaya.
Universitas Sriwijaya. Fakultas Kedokteran.

Skripsi,. Wulandari. R,. (2021),. Fenomena Toxic Relationship Dalam Pacaran


Pada Mahasiswa Universitas Sriwijaya,. Universitas Sriwijaya. Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Sari, I. P. (2018). Kekerasan dalam Hubungan Pacaran di Kalangan Mahasiswa:


Studi Refleksi Pengalaman Perempuan,. Jurnal Dimensia, Vol.7 : No.1,.
Hal. 64–85.

Kaura, S. & Lohman, B,. (2007),. “Dating Violence Victimization, Relationship


Satisfaction, Mental Health Problems, and Acceptability of Violence: A
Comparison of Men and Women”,. Journal of Family Violence,. Vol.22 :
No.1,. Hal. 367–381.
Sari. I. P,. (2018),. Kekerasan Dalam Hubungan Pacaran Di Kalangan
Mahasiswa : Studi Refleksi Pengalaman Perempuan,. Jurnal Dimensia,.
Vol.7 : No.1,. Hal. 64–85.

Sholikhah. R & Masykur. A. M,. (2020),. “ATAS NAMA CINTA, KU RELA


TERLUKA” (Studi Fenomenologi pada Perempuan Korban Kekerasan
Dalam Pacaran),. Jurnal Empati,. Vol.8 : No.4,. Hal. 52–62.

Vedasari, I. A,. (2020),. Mengenal Toxic Relationship dalam Relasi Pacaran,.


Ultimagz.com,. (Diakses 12 September 2021).

Komnas Perempuan,. (2016). Kekerasan terhadap Perempuan Meluas: Mendesak


Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah
Domestik, Komunitas dan Negara,. Komnasperempuan.go.id,. (Diakses 12
September 2021).

Anda mungkin juga menyukai