Anda di halaman 1dari 6

MENILIK FENOMENA TOXIC RELATIONSHIP: RELEVANSINYA TERHADAP

FASE PRANIKAH BAGI GENERASI MUDA DALAM MEMPERSIAPKAN


KEHIDUPAN PERNIKAHAN YANG SEJAHTERA

Nayla Magisterani Faatihah

Belakangan ini, toxic relationship menjadi suatu hal yang ramai diperbincangkan,
baik di sosial media maupun di realita kehidupan masyarakat. Jika diartikan kata demi kata,
maka toxic relationship mengandung makna “toxic” yang artinya racun dan “relationship”
yang artinya hubungan. Sehingga, dapat dipahami bahwa toxic relationship merupakan suatu
kondisi hubungan yang tidak sehat antara satu individu dengan individu lainnya (Saskia,
2023). Sesuai dengan arti toxic itu sendiri yaitu “racun”, maka hubungan yang melibatkan
individu didalamnya memuat unsur negatif yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan
mental dan fisik individu. Fenomena yang banyak terjadi di masyarakat adalah menjamurnya
toxic relationship dalam hubungan percintaan yang dialami oleh generasi muda. Dalam
proses untuk mengenal dan menjalin hubungan, sering terjadi perilaku-perilaku toxic yang
dilakukan oleh seseorang terhadap pasangannya (Christie et al., 2022). Adapun perilaku
dalam toxic relationship yang sering terjadi ialah kekerasan fisik, kekerasan mental,
kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi (Pattiradjawane & Wijono, 2019). Lebih lanjut,
perilaku toxic relationship pada umumnya ditandai oleh adanya sikap egois, cemburu yang
berlebihan, sikap mengekang dan intimidasi dari pasangan, sikap merendahkan pasangan,
serta berbagai sikap yang membuat perasaan tidak nyaman dalam hubungan (Majidah &
Musslifah, 2023).

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak
(Simfoni PPA) tahun 2022, menunjukkan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 11.266
kasus terlapor, dimana 1.151 kasus didalamnya merupakan kasus kekerasan dalam hubungan
percintaan yang umumnya dialami generasi muda. Melihat data diatas, dapat diketahui bahwa
permasalahan toxic relationship bukanlah suatu hal yang dapat dipandang sebelah mata,
melainkan berpotensi menjadi persoalan serius apabila tidak segera disadari sejak awal.
Pembiaran terhadap toxic relationship secara terus menerus memiliki berdampak terhadap
lahirnya berbagai bentuk kekerasan. Selain itu, terjebak terlalu lama dalam hubungan yang
tidak sehat akan berpengaruh terhadap persiapan pranikah bagi generasi muda. Seperti halnya
kehilangan kepercayaan dalam memilih pasangan, sulit untuk membuka hati pada orang dan
hubungan percintaan yang baru, serta menipisnya rasa percaya diri untuk membangun
kembali hubungan percintaan yang sehat.

Lantas, bagaimanakah toxic relationship dapat mempengaruhi fase pranikah bagi


generasi muda dalam mempersiapkan kehidupan pernikahannya? Dan bagaimanakah strategi
yang tepat untuk terhindar dari toxic relationship? Artikel ini akan membahas mengenai
relevansi toxic relationship terhadap persiapan pranikah bagi generasi muda serta upaya-
upaya yang dapat dilakukan agar tidak merasakan unsur toxic dalam hubungan percintaan.

Pengaruh Toxic Relationship Terhadap Kesiapan PraNikah Generasi Muda


Pranikah merupakan salah satu fase krusial bagi generasi muda dalam upaya
mempersiapkan kehidupan pernikahan yang sejahtera. Fase ini memberikan ruang bagi
masing-masing individu untuk membangun hubungan mereka, saling mengenal karakter dan
kepribadian lebih dalam, serlta menjadi wadah untuk mempersiapkan diri menuju jenjang
hubungan yang lebih serius. Fase pranikah mencakup proses pendekatan, pengenalan nilai-
nilai dan keyakinan yang dianut masing-masing, serta mencocokkan visi, misi, dan tujuan
untuk kehidupan di masa yang akan datang. Setelah melewati fase remaja dan beralih
memasuki usia 20 tahun ke atas, dapat dikatakan bahwa seorang individu sedang berada di
masa-masa pencarian pasangan hidup dan sudah bukan waktunya lagi untuk membuang-
buang waktu dalam hubungan yang tidak menunjukkan keseriusan. Menurut teori psikososial
yang dikemukakan Erik Erikson, individu dalam tahap dewasa awal sedang menghadapi
tahap krisis, yaitu intimacy versus isolation atau proses menemukan diri sendiri yang ditandai
adanya kebutuhan akan komitmen dengan orang lain. Kebutuhan tersebut berupa membangun
hubungan pacaran ataupun pernikahan (Anggraita & Witarso, 2022). Perlu diketahui bahwa
dalam tahap membangun hubungan tidaklah mudah, terlebih lagi jika individu mendapatkan
perlakuan toxic dari pasangannya. Bagaimana tidak? Pola hubungan yang toxic seringkali
mempengaruhi kesehatan mental seseorang, hingga dapat berujung pada kondisi stress dan
depresi. Pengalaman kurang menyenangkan yang dialami dalam toxic relationship dapat
membentuk pola perilaku yang tidak sehat, seperti halnya berkemungkinan bagi individu
untuk mengulangi pola toxic yang sama dalam hubungan berikutnya atau yang lebih parahnya
lagi dalam rumah tangganya kelak.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam fase pranikah, generasi muda tergolong rawan
untuk terjerumus dalam pengaruh negatif yang mungkin dimiliki oleh pasangannya
dikarenakan kondisi mental dan emosi yang belum stabil. Secara fisik dan psikisnya,
generasi muda sedang berada dalam tahap perubahan yang sangat menonjol (Suwarno, 2018).
Sehingga, akan sangat membahayakan jika dalam fase ini generasi muda tidak memiliki
pegangan dalam menata hubungan percintaannya untuk masa depan. Terlepas dari itu, ketika
berbicara mengenai toxic relationship, permasalahan yang sering dialami seorang individu
dalam hubungan yang toxic antara lain menjadi korban dari kekerasan fisik dan kekerasan
emosional dari pasangannya (Rodliyah, 2023). Dampak yang dirasakan bukanlah sekedar
dampak jangka pendek saja, melainkan dampak berkelanjutan dalam jangka waktu panjang.
Hubungan yang toxic dapat meninggalkan bekas emosional yang dalam, seperti rasa trauma
hebat untuk kembali membangun hubungan baru yang sehat. Kondisi ini menjadi suatu
perhatian khusus karena akan berpengaruh terhadap keharmonisan kehidupan pernikahan
yang hendak dijalankan kedepannya.

Strategi Menghindari Toxic Relationship dalam Hubungan Percintaan


Pada umumnya, ketika menjalin hubungan yang toxic dengan orang lain, seorang
individu cenderung sulit untuk melepaskan diri dari hubungan tersebut dengan dalih terlanjur
nyaman atau bingung harus berbuat apa hingga memilih untuk mempertahankannya. Padahal
kenyataannya, banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari pola hubungan yang tidak sehat.
Untuk menghindari sekaligus melepaskan diri dari toxic relationship, generasi muda dapat
mulai membiasakan diri untuk membangun hubungan yang sehat melalui komunikasi asertif
yang rutin, yaitu pola komunikasi secara lugas, jujur, namun tidak menyakiti perasaan
pasangan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Shelley Sommerfeldt—seorang psikolog
klinis―bahwasanya komunikasi adalah unsur penting untuk menumbuhkan kepercayaan dan
koneksi dalam hubungan. Sehingga, hal mendasar yang dapat dilakukan oleh seorang
individu ketika merasa bahwa dirinya terjebak dalam toxic relationship adalah dengan
mengomunikasikan kendala yang dirasakan secara terbuka kepada pasangan. Apabila tidak
ada perubahan kearah yang lebih baik setelah mengomunikasikannya, maka generasi muda
dapat meminta bantuan konseling dari para ahli untuk menemukan titik terang dan solusi
terbaik. Jika generasi muda belum terlanjur masuk dalam hubungan yang toxic, maka salah
satu cara untuk menghindarinya ialah dengan bersikap selektif dalam memilih pasangan. Hal
ini dapat dilakukan dengan menggali karakter dan kepribadian calon pasangan secara
objektif, serta dapat juga dengan melihat visi dan misi hidupnya di masa depan. Dengan cara
ini, sedikit kemungkinan bagi generasi muda untuk terjebak dalam toxic relationship.

Kesimpulan
Pada intinya, toxic relationship memiliki pengaruh yang cukup besar bagi generasi
muda dalam mempersiapkan kehidupan pernikahannya. Pada masa transisi dari usia remaja
menuju dewasa, generasi muda belum cukup mampu untuk mengelola kestabilan emosi saat
menjalani hubungan dengan pasangannya. Terlebih lagi ketika hubungan yang dijalaninya
ternyata memuat unsur-unsur toxic, tentu akan berpengaruh pada masa pranikah individu,
seperti timbulnya perasaan kurang percaya terhadap pasangannya, minimnya kepercayaan
diri untuk dapat membangun hubungan yang sehat, atau bahkan sulit membuka hati terhadap
orang baru. Maka dari itu, generasi muda dapat melakukan beberapa strategi agar dapat
terlepas dari hubungan yang toxic, salah satunya ialah dengan membangun komunikasi asertif
kepada pasangannya secara terbuka dan jujur. Namun, apabila komunikasi tidak menjadi
solusi, maka generasi muda dapat meminta bantuan konseling dari para ahli. Penting bagi
generasi muda untuk bersikap selektif dan objektif dalam memilih pasangan agar kedepannya
dapat terhindar dari perilaku-perilaku toxic dalam hubungan percintaannya.

Rekomendasi
Bagi generasi muda yang saat ini sedang menjalin hubungan dengan pasangannya,
disarankan untuk selalu membangun pola hubungan yang sehat dengan terus meningkatkan
komunikasi secara terbuka dan jujur untuk menghindari toxic relationship. Disamping itu,
mereka yang telah sepakat untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius
sebaiknya mulai mempersiapkan kondisi fisik, mental, dan finansial agar hubungan
kedepannya dapat terorganisir dengan baik. Kemudian, bagi individu yang pernah mengalami
masa-masa toxic dalam hubungan percintaannya, dianjurkan untuk banyak mengevaluasi
pengalamannya tersebut untuk bekal dalam menciptakan hubungan yang sehat kedepannya.

Teruntuk badan atau instansi terkait seperti Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), disarankan dapat lebih ‘merangkul’ generasi muda melalui
sosialisasi ataupun acara-acara inovatif dengan tema toxic relationship. Disamping itu, peran
dari BKKBN dalam mengawal terwujudnya generasi muda yang siap nikah dapat lebih
ditingkatkan lagi melalui program-program berbasis partisipatif yang sudah ada, seperti kelas
pranikah. Harapannya, program-program yang telah diinisiasi oleh BKKBN dapat terjangkau
dan dirasakan manfaatnya untuk semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, upaya ini akan
membantu memudahkan generasi muda dalam menyiapkan kehidupan pernikahannya,
khususunya dalam fase pranikah.
REFERENSI
Buku

Rodliyah, 2023. Perempuan Dalam Lingkaran Kekerasan (Sebuah Gambaran Tentang


Tindak Pidana KDRT dan Trafficking Serta Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Edisi
Revisi. Mataram: Pustaka Bangsa (Anggota IKAPI).

Jurnal
Anggraita, Amanda Diva; Witarso, L. S. (2022). Hubungan Regulasi Emosi dan Subjective
Well-Being pada Individu Dewasa. Jurnal Psikogenesis, 10(2),
Christie, C. E., Lubuk, F. R., Aldiputra, R., Jusuf, V. N., & Hestyanti, Y. R. (2022).
Meningkatkan Kesadaran Mengenai Toxic Relationship Pada Emerging Adult
Menggunakan Sosial Media Instagram Caroline. JOURNAL OF SUSTAINABLE, 4(1),
40–48.
Dafiq, N., Camela, M. M., Akur, M. F., & Jeniati, E. (n.d.). TOXIC RELATIONSHIP PADA
REMAJA : STUDI LITERATUR. 8(10), 27–35.
Majidah, M., & Musslifah, A. R. (2023). Strategi Mengatasi Toxic Relationship Pada
Remaja Yang Berpacaran Di SMKN 7 Surakarta Kelas 11. 3(2), 221–226.
Pattiradjawane, C., & Wijono, S. (2019). Uncovering Violence Occurring in Dating
Relationsip : an Early Study of Forgiveness Approach.
https://doi.org/10.24167/psidim.v18i1.1700
Saskia, N. N. I. F. P. S. (2023). PERILAKU TOXIC RELATIONSHIP TERHADAP
KESEHATAN REMAJA DI KOTA MAKASSAR KNadia. 4(3), 525–538.
Suwarno. (2018). Urgensi Pendidikan Karakter dalam Upaya Pencegahan dan
Pengendalian Perilaku Seksual Pranikah Remaja. 13(1), 23–44.

Website
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2023). Dare To Speak Up,
Hindari Toxic Relationship dan Kekerasan Dalam Hubungan. Jakarta, DKI: Biro
Hukum dan Humas KemenPPPA. Diakses dari
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4402/dare-to-speak-up-hindari-
toxic-relationship-dan-kekerasan-dalam-hubungan
Yudanti & Anata. (2021, 29 November). Sering Dilupakan, Inilah Pentingnya Komunikasi
dalam Hubungan. Kompas Lifestyle. Diakses dari
https://lifestyle.kompas.com/read/2021/11/29/084000520/sering-dilupakan-inilah-
pentingnya-komunikasi-dalam-hubungan?page=all

Anda mungkin juga menyukai