Anda di halaman 1dari 8

Oleh Aghnis Fauziah, S.Psi., M.Psi.

, Psikolog
Hubungan romantis umumnya dimulai pada masa remaja dan merupakan penanda
dari periode remaja. Meskipun tidak semua remaja telah berkencan di awal remaja
(umur 10-14 tahun), sebagian besar remaja sangat tertarik dengan isu-isu romantis.
Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis
menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh
lawan jenis (Hurlock, 1999). Remaja awal menghabiskan sejumlah besar waktunya
dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sehingga
memperkuat ketertarikan romantis mereka, lalu dapat dengan cepat mengarahkan
mereka pada hubungan romantis. Hubungan romantis merupakan inti dari
kehidupan sosial selama remaja tengah sampai akhir (umur 15-19 tahun). Banyak
remaja tengah hingga akhir menyatakan bahwa mereka menghabiskan lebih banyak
waktunya dengan pasangan romantisnya dibandingkan dengan teman-teman
maupun keluarganya (Sorensen, 2007).
Hubungan romantis yang sehat pada remaja dikarakteristikan dengan komunikasi
yang terbuka, tingginya tingkat kepercayaan, dan usia pasangan yang relatif dekat
(Sorensen, 2007). Hubungan romantis yang sehat pada masa remaja dapat secara
positif mempengaruhi pembentukan kepribadian, harga diri, dan perkembangan
keterampilan sosial, serta menyediakan dukungan emosional selama masa
perubahan menjadi dewasa karena membantu untuk memuaskan dua kebutuhan
utama masa remaja: identitas dan intimasi (Kamp, dkk, dalam Guidi, dkk., 2012).
Namun demikian, ketika remaja memiliki hubungan romantis yang tidak sehat,
maka mereka menghadapi berbagai risiko yang dapat berdampak jangka panjang
(Guidi, dkk., 2012). Hubungan romantis yang tidak sehat dapat berupa kekerasan
dalam pacaran dan aktivitas seksual yang berisiko. Remaja lebih sering mengalami
kekerasan dalam pacaran dibandingkan kelompok usia lain (Guidi, dkk., 2012).
di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 melakukan
riset terhadap perempuan yang mengalami tindak kekerasan pada usia 15 tahun ke
atas, menemukan data bahwa kekerasan seksual menjadi kasus paling banyak
ditemui, yaitu sebesar 24,2%, dan kekerasan fisik sebesar 18,1%. Adapun kekerasan
seksual paling banyak dialami perempuan yang belum menikah mencapai 34.4%,
lebih besar dibanding kekerasan fisik sebesar 19.6%. Adapun pelaku justru adalah
orang yang dekat dengan korban, seperti pacar, rekan kerja, atau tetangga. Data
dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) di
tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan, sebanyak 2.090
pelaku kekerasan adalah pacar atau teman.

Penyebab terjadinya kasus kekerasan pada masa pacaran ini, cukup bervariasi yaitu
akibat ketidak percayaan diri remaja sebanyak, karena ketidaktahuan dan
ketidakpercayaan terhadap potensi yang dimiliki, disebabkan disharmoni keluarga,
persoalan ekonomi, perbedaan pandangan antara anak dan orang tua dalam
memilih teman atau pacar.
Kasus kekerasan dalam pacaran, biasanya diawali dengan permintaan bukti kasih
sayang dari pihak laki-laki. Bukti kasih sayang tersebut biasanya diartikan dengan
bentuk hubungan seksual. Pembuktian kasih sayang ini berbanding lurus dengan
momen-momen tertentu, seperti hari valentine, lebaran, pergantian tahun hingga
saat kelulusan. Kebanyakan sang pria remaja ini, secara sepihak pergi meninggalkan
kekasihnya, ketika bukti kasih sayang itu sudah tercapai, yang kemudian membuat
remaja perempuan merasa berdosa, dan merasa tidak berarti lagi. Kemudian
remaja tersebut tidak percaya diri, minder, akhirnya cenderung menyimpang.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan masa pacaran sering
bermula pada pasangan yang lebih muda dan agresi yang terjadi di antara pasangan
tersebut dapat meningkatkan kemungkinan untuk mengalami kekerasan dalam
hubungan interpersonal untuk masa selanjutnya, termasuk kekerasan dalam rumah
tangga (Guidi, dkk., 2012).
Penelitian menyatakan bahwa dampak menjadi korban dari kekerasan dalam
pacaran dapat sangat berat. Akibat dari kekerasan interpersonal ini meliputi
masalah fisik dan psikologis, maupun kesulitan sosial dan akademis (Guidi, dkk.,
2012).
Remaja yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran berhubungan dengan
simtom kecemasan, PTSD, luka fisik, masalah kesehatan mental, penyalahgunaan
zat, dan masalah dengan harga diri dan citra tubuh (body image). Selain itu,
kekerasan dalam pacaran juga berhubungan dengan berbagai isu kesehatan
seksual, yang meliputi kehamilan, jumlah pasangan seksual yang tinggi, dan
penyakit menular seksual (Guidi, dkk., 2012).
Hal yang perlu menjadi sorotan adalah sejauh mana remaja mengembangkan sikap
dan keyakinan bahwa kekerasan adalah suatu hal yang normal dalam hubungan
interpersonal, akan meningkatkan kemungkinan pola-pola yang berulang dalam
hubungannya di masa depan. Sikap terhadap kekerasan dalam pacaran terkait
dengan kejadian sebenarnya dari pelaku maupun korban. Anak laki-laki yang secara
psikologis, fisik, atau seksual telah melakukan kekerasan dengan pacar mereka lebih
menerima kekerasan dalam pacaran daripada mereka yang tidak. Anak perempuan
yang berlaku kasar secara psikologis atau fisik lebih menerima kekerasan
dibandingkan anak perempuan yang tidak berlaku kasar. Penerimaan kekerasan
dalam pacaran bervariasi menurut jenis kelamin pelaku. Laki-Laki telah ditemukan
untuk menjadi lebih menerima kekerasan dalam pacaran yang dilakukan baik oleh
perempuan maupun laki-laki. Baik anak laki-laki maupun perempuan lebih
menerima perempuan daripada laki-laki yang melakukan kekerasan dalam pacaran.
Selain itu, pelaku laki-laki dipandang dapat menimbulkan kerugian fisik dan
emosional lebih besar daripada pelaku perempuan.
Tingginya prevalensi dan konsekuensi negatif dari kekerasan dalam pacaran ini
mengindikasikan perlunya tindakan preventif yang berguna untuk menghindari
berkembangnya hubungan romantis yang tidak sehat pada remaja maupun saat
dewasa. Diperlukan tindakan preventif terhadap kekerasan tersebut sebelum
dimulai. Terdapat hasil yang menjanjikan dari intervensi preventif pada remaja
mengenai isu kekerasan dalam pacaran, sehingga tindakan preventif kekerasan
dalam pacaran merupakan kontribusi penting bagi kesehatan masyarakat. Strategi
preventif oleh penyedia layanan kesehatan sangat penting dalam mengurangi
kekerasan pacaran dalam remaja (Guidi, dkk., 2012).
Studi tentang prevensi kekerasan dalam pacaran utamanya fokus pada prevensi
primer pada remaja. Tipe prevensi ini ditujukan pada murid SMP dan SMA, yaitu
ketika remaja kemungkinan baru terlibat dalam hubungan pacaran. Berdasarkan
beberapa penelitian, program preventif primer sebaiknya diawali sebelum remaja
masuk ke dalam hubungan romantis dan sebelum kebiasaan interpersonal yang
berbahaya terbentuk. Ketika remaja hanya memiliki pengalaman romantis yang
terdapat kekerasan di dalamnya, mereka akan berpikir bahwa kekerasan di dalam
hubungan merupakan suatu hal yang wajar dan remaja tersebut tidak merasa
bahwa dirinya memerlukan bantuan (Guidi, dkk., 2012).
Mengedukasi remaja mengenai kekerasan dalam pacaran tidak berarti menakut-
nakuti mereka mengenai pacaran, tetapi lebih pada memberikan mereka informasi
untuk membuat mereka tetap aman dan membuat mereka memiliki kesadaran
bahwa mereka berhak memiliki hubungan yang sehat (Guidi, dkk., 2012). Program
preventif juga mengajari remaja bagaimana cara berinteraksi dengan cara yang
positif dengan memberikan keterampilan untuk memecahkan konflik tanpa
menggunakan kekerasan dan mengarahkan mereka pada perilaku interpersonal
yang positif. Mengajari remaja keterampilan yang dibutuhkan penting untuk
mendapatkan dan menjaga hubungan yang sehat, dan untuk meningkatkan
kemungkinan hubungan yang lebih stabil dan positif pada masa dewasa.
Program preventif berfokus untuk mempromosikan kesejahteraan dan
meningkatkan resiliensi. Studi lain menyatakan bahwa penting untuk meningkatkan
pengetahuan mengenai kekerasan dalam pacaran, berfokus pada sikap seksis,
meningkatkan pengetahuan mengenai tanda-tanda dari potensi kekerasan, dan
menyediakan informasi mengenai layanan masyarakat untuk korban dan pelaku
dari perilaku kekerasan.
Menerima edukasi preventif mengenai kekerasan dalam pacaran dapat
memfasilitasi murid dalam membantu dirinya sendiri (sebagai korban atau pelaku),
dan orang lain disekitar mereka. Baik korban dan pelaku akan mendapatkan
keuntungan dari intervensi ini karena keduanya menunjukkan penurunan tingkat
menyalahkan diri, kemarahan, sakit hati, dan kecemasan (Guidi, dkk., 2012).
Semua studi melaporkan bahwa program preventif memiliki efek jangka pendek
yang positif (Guidi, dkk., 2012). Beberapa penelitian menemukan bahwa program
prevensi primer menghasilkan hasil yang signifikan dalam pengetahuan dan sikap
yang positif terhadap kekerasan dalam pacaran, dan partisipan melaporkan
peningkatan yang signifikan dalam keterampilan komunikasi dan resolusi konflik
(Guidi, dkk., 2012).
[10:37 PM, 3/23/2024] Saenal: KONTRA pacaran sebelum ke jenjang pernikahan
[10:37 PM, 3/23/2024] Saenal: Manfaat Pacaran untuk Kesehatan Fisik dan Mental
Ada beberapa manfaat yang bisa kamu peroleh dengan berpacaran, yaitu:

1. Mengurangi stres

Menghabiskan waktu dengan orang terkasih bisa membuat kamu merasa bahagia.
Tidak hanya melupakan masalah yang ada, perasaan tersebut juga bisa meredakan
stres yang dialami.
Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa melakukan sentuhan fisik, seperti
memeluk dan berpegangan tangan, juga mampu menurunkan kadar hormon yang
bisa menyebabkan stres.

2. Meningkatkan rasa percaya diri

Mengetahui bahwa ada seseorang yang mencintai dan mau menerima kamu apa
adanya dapat memicu produksi hormon dopamin yang bisa menghasilkan perasaan
bahagia. Hasilnya, kamu pun bisa lebih menghargai, memercayai, dan memandang
diri sendiri dengan lebih positif.

3. Membantu dalam proses mendewasakan diri

Belajar untuk saling menghormati dan menjalin komunikasi dengan pasangan bisa
membantu kamu bersikap lebih dewasa.
Tidak hanya itu, mau minta maaf dan mengakui serta belajar dari kesalahan saat
ada masalah dengan pasangan juga menunjukkan bahwa kamu sedang melalui
proses untuk menjadi lebih dewasa.

4. Memberi motivasi untuk hidup lebih sehat


Dalam hubungan pacaran, pasangan dapat saling memberi motivasi dan nasihat
untuk menerapkan pola hidup sehat, misalnya rutin berolahraga atau
menjalani diet sehat. Dengan begitu, tidak hanya kesehatan mental, kesehatan fisik
pun bisa selalu terjaga.

5. Mengatasi kesepian

Sering merasa kesepian bisa menyebabkan daya tahan tubuh melemah dan rentan
terkena penyakit. Bahkan, rasa sepi dan sedih yang berlarut-larut juga bisa
membuat seseorang mudah mengalami depresi.
Nah, memiliki seseorang yang bisa dijadikan tempat berbagi dan bercerita
dapat mengatasi rasa kesepian yang kamu alami.

6. Memelihara kesehatan dan fungsi jantung

Pacaran terkadang memang membuat jantung berdetak lebih cepat. Namun,


perasaan aman dan nyaman yang muncul saat berpacaran juga dapat mengatasi
rasa cemas dan menjaga tekanan darah tetap terkendali. Hal ini tentunya baik untuk
kesehatan jantung.
Selain itu, motivasi untuk hidup lebih sehat bersama pasangan juga dapat menjaga
kesehatan tubuh secara keseluruhan, termasuk jantung.

7. Meningkatkan daya tahan tubuh

Saat mengalami stres, daya tahan tubuh akan melemah sehingga mudah terkena
penyakit. Stres bisa disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari pekerjaan, masalah
keluarga, hingga rasa kesepian.
Beberapa riset menunjukkan bahwa orang yang memiliki pacar atau pasangan
hidup umumnya lebih jarang sakit. Dukungan positif dari pasangan akan
meningkatkan produksi hormon oksitosin yang dapat menurunkan kadar stres dan
rasa cemas, sehingga daya tahan tubuh pun menjadi lebih kuat.
Beragam manfaat pacaran untuk kesehatan di atas tidak hanya dapat diperoleh
orang yang sedang berpacaran. Menjalin hubungan positif dengan rasa percaya dan
kasih sayang dengan keluarga atau teman juga bisa memberikan manfaat yang sama
baiknya.
Bila kamu merasa tidak mendapatkan berbagai manfaat pacaran seperti yang telah
disebutkan di atas atau justru merasa bahwa hubungan yang dijalani membuat
kamu tertekan, stres, bahkan depresi, misalnya karena pacaran backstreet,
cobalah terapkan pola private relationship atau konsultasikan ke psikolog untuk
mendapatkan saran dan penanganan yang tepat.
[10:37 PM, 3/23/2024] Saenal: Pro pacaran sebelum ke jenjang pernikahan
[10:37 PM, 3/23/2024] Saenal: KESIMPULAN

Penting untuk diingat bahwa dampak positif pacaran tidak berlaku secara universal,
dan setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda. Pacaran juga dapat
menghadirkan sejumlah tantangan, seperti mengelola waktu dengan bijaksana dan
menjaga keseimbangan antara kehidupan asmara dan akademik. Oleh karena itu,
penting bagi mahasiswa untuk menjaga keseimbangan dan menghargai diri sendiri
serta pasangan mereka.
Pacaran dapat menjadi pengalaman yang berharga dan membantu mahasiswa
tumbuh sebagai individu. Namun, keputusan untuk pacaran haruslah didasarkan
pada kematangan emosional, kesiapan, dan komitmen yang kuat. Setiap individu
perlu mempertimbangkan baik dampak positif maupun negatif dari pacaran
sebelum memasuki hubungan romantis.
Kesimpulannya, pacaran dapat memberikan sejumlah dampak positif bagi
mahasiswa. Pacaran memungkinkan mahasiswa untuk tumbuh secara pribadi,
mengembangkan keterampilan sosial, belajar nilai-nilai yang berharga, dan
menemukan dukungan emosional. Namun, perlu diingat bahwa setiap hubungan
memiliki dinamika yang berbeda, dan penting bagi mahasiswa untuk menjaga
keseimbangan dan komitmen diri mereka sendiri.
[10:37 PM, 3/23/2024] Saenal: Pro pacaran

Anda mungkin juga menyukai