Anda di halaman 1dari 4

Pacaran di Masa Moderen

Artikel Oleh: Koeswdiana Jati Permana

Memiliki status hubungan bagi sepasang kekasih yang biasa disebut sebagai “pacar” atau
“pacaran” sudah menjadi budaya tersendiri di negara Indonesia. Banyak individu di kalangan
remaja dan dewasa awal mencari kekasih untuk mendapat status pacaran dan melepaskan status
“jomblo”, sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa seseorang yang memiliki kekasih dan
menjalin hubungan pacaran tersebut lebih keren dan laku daripada yang tidak memiliki kekasih,
tidak jarang status pacaran tersebut digunakan sebagai ajang panjat sosial. Atas dasar tersebut,
hubungan yang terjalin hanya karena adanya rasa ingin terlepas dari kesendirian dan sedikit rasa
cinta maupun kedekatan membuat kualitas hubungan tersebut menjadi kurang baik. Rasa bosan
yang dapat timbul sewaktu-waktu, pengendalian emosi dan yang tidak baik akan menyebabkan
timbulnya kekerasan dalam hubungan pacaran. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi
Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2018, dari 13.384 kasus kekerasan yang
tercatat, 9.609 kasus berada di ranah privat (71%). Dari jumlah tersebut, jumlah kekerasan dalam
pacaran mencapai 1.873 kasus, berada pada urutan ketiga setelah kekerasan terhadap istri dan
kekerasan terhadap anak perempuan.
Dilansir dari sumber yang sama, Kekerasan Fisik menjadi jenis kekerasan tertinggi yang
dilaporkan pada Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, disusul kekerasan Seksual,
kekerasan Psikis, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik seperti mencakar, meninju, menendang,
melempar suatu benda, menarik rambut, mendorong, dan menarik pakaian tidak hanya
menimbulkan luka fisik dan trauma psikis namun juga dapat berdampak kematian. Seperti kasus
yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus yang terjadi di Palembang, Sumatera Selatan dimana Fera
Oktarina (20) ditemukan tewas di dalam kamar penginapan di Musi Banyuasin, Jumat (10/5) lalu.
Salah satu oknum anggota TNI yang juga mantan kekasihnya diduga berperan dalam tewasnya
korban. Ibu dan teman-teman korban menyatakan bahwa selama korban masih menjalin hubungan
dengan pelaku korban kerap diperlakukan kasar seperti dipukul, hal ini yang membuat korban
enggan melanjutkan hubungan dengan pelaku, setelah putus pun pelaku masih memberikan
kekerasan verbal berupa ancaman kepada korban untuk mengajak balikan. Sampai saat tulisan ini
dibuat, pelaku masih belum dapat tertangkap oleh pihak polisi dan penyidik sehingga belum dapat
di pastikan apa motivasi dan penyebab kasus pembunuhan tersebut, namun dari kasus ini kita dapat
melihat dan sebagai contoh riil bahwa kasus kekerasan dalam pacaran terutama kekerasan fisik
mampu merenggut nyawa seseorang.
Lalu sebenarnya apakah pacaran adalah suatu tindakan yang tidak baik? Atau apakah wajar
kalangan remaja dan dewasa awal menjalani apa yang dinamakan pacaran? Sebenarnya jika melihat
dari segi usia, menurut Erik Erikson (dalam Santrock, 2012) dengan teori Psikososialnya pada tahap
remaja, seorang individu akan berada pada tahap untuk mencari identitasnya, mencari jati dirinya.
Sedangkan pada tahap dewasa awal, seorang individu berada ditahap intimacy yaitu kedekatan atau
keakraban dan membentuk suatu relasi, lebih spesifik lagi ini adalah tahap memulai ketertarikan
pada lawan jenis dan berani untuk membuat suatu relasi atau hubungan. Jadi menurut teori
Psikososial, wajar saja bagi remaja dan dewasa awal untuk memulai menjalin relasi romantis
dengan lawan jenis. Pacaran sendiri juga memiliki bagian positif yaitu dapat membuat individu
mengenali dan memahami pasangan lebih dalam lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk
mengikat tali pernikahan.
Namun apa sebenarnya yang membuat kekerasan dalam pacaran ini muncul? Sebelumnya
telah penulis singgung diatas mengenai penyebab kekerasan dalam pacaran seperti pengendalian
emosi yang buruk dan tidak adanya Consummate Love dalam menjalin hubungan. Untuk
membentuk suatu relasi romantis yang baik, dibutuhkan adanya Cinta. Cinta menurut Robert
Stenberg (dalam Synder & Lopez. 2007) adalah gabungan dari 3 komponen yang pertama adalah
Gairah, atau daya tarik fisik dan dorongan romantis; kedua terdapat Keintiman, atau perasaan
kedekatan dan keterhubungan, dan terakhir adalahKomitmen, yang melibatkan keputusan untuk
memulai dan mempertahankan hubungan. Bentuk cinta yang baik untuk membentuk suatu relasi
romantis adalah Cinta yang memiliki gairah (passion), keintiman (intimacy), dan komitmen dalam
satu waktu atau biasa disebut Consummate Love, merupakan puncak cinta dari sebuah hubungan
yang diidamkan oleh semua orang. Selain adanya Cinta yang sempurna, kelekatan atau attachment
juga mempengaruhi kekerasan dalam pacaran. Kelekatan sendiri menurut Synder & Lopez (2007)
merupakan suatu hal yang dibawa dari masa anak-anak dan remaja hingga dewasa dengan model
kerja internal diri sendiri dan orang lain, yang berarti gaya kelekatan yang diberikan oleh orang tua
kepada anak-anaknya akan mempengaruhi bagaimana anak-anaknya nanti bersikap ketika remaja
dan dewasa. Cindy Hazan dan Philip Shaver (dalam Synder & Lopez. 2007) seorang psikolog sosial
merumuskan pola kelekatan yang terjadi pada relasi romantis masa dewasa. Mereka menemukan
bahwa tiga kategori aman, menghindar, dan cemas, secara efektif menggambarkan sifat keterikatan
orang dewasa dengan lainnya yang signifikan. Seorang individu yang didik dengan gaya kelekatan
cemas oleh orang tuanya, saat dewasa dimungkinkan akan mengikuti gaya kelekatan yang sama
dengan orang tuaya, individu tersebut akan cemas dan mudah khawatir dengan pasangannya,
menjadi pribadi posesif dan mudah marah dengan pasangan.
Uraian diatas adalah beberapa alasan dan contoh kasus adanya kekerasan dalam pacaran di
Indonesia, Pacaran memang memiliki dampak positif dan negatifnya masing-masing, namun kita
juga tidak dapat langsung menghapus pacaran dalam kehidupan kita, apalagi pacaran sudah menjadi
budaya. Maka hal yang dapat kita lakukan adalah dengan cara mengoptimalkan dampak positif
pacaran dan membuat suasana pacaran yang positif. Salah satu caranya dalah membuat hubungan
pacara yang mindful.Perhatian (Mindfullness) adalah proses sadar yang membutuhkan usaha dari
waktu ke waktu. Kebutuhan akan kesadaran dalam hubungan yang saling berhubungan tercermin
dalam komponen pertama dari model, mengetahui dan dikenal. Menurut model, setiap pasangan
dalam hubungan harus ingin mengetahui harapan, impian, ketakutan, kerentanan, dan
ketidakpastian orang lain. Selain itu, masing-masing pasangan harus memantau keseimbangan
antara ekspresi dirinya sendiri dan ekspresi pasangannya, dan memberikan preferensi untuk belajar
tentang orang lain daripada berfokus pada informasi pribadinya sendiri. Orang-orang yang berhasil
mengetahui dan dikenal dalam hubungan mereka menunjukkan pemahaman tentang bagaimana
waktu membawa perubahan, dan tentang bagaimana perubahan memerlukan peluang baru dan
upaya untuk belajar tentang orang lain.
Menerima dan menghargai pasangan merupakan cara selanjutnya untuk membuat
hubungan relasi romantis lebih positif, membutuhkan hubungan empati dan social skill yang terlatih.
Ketika pasangan menjadi lebih akrab dalam pengetahuan mereka tentang satu sama lain dan berbagi
beberapa pengalaman baik dan buruk, penerimaan yang sadar akan kekuatan dan kelemahan pribadi
diperlukan untuk kelanjutan pengembangan hubungan. Ketika penerimaan ini dikaitkan dengan rasa
hormat, itu berfungsi sebagai penangkal bagi perilaku menghina yang dapat membubarkan suatu
hubungan. Dengan adanya hal-hal tersebut diharapkan tidak ditemukanya kekerasan dalam
menjalani suatu hubungan relasi romantis dan semoga dapat menjaga keutuhan suatu hubungan
Daftar Pustaka

CNN Indonesia. (2019). Urusan Asmara Berujung Pembunuhan Melibatkan Oknum TNI. Diakses
di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190512181914-12-394164/urusan-asmara-
berujung-pembunuhan-melibatkan-oknum-tni pada 12 Mei pukul 21:57

Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2018). Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional
(Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2018. Jakarta

Santrock, J. W. (2012). Life-Span Development (Edisi 13 Jilid 1). Jakarta: Erlangga.

Snyder C. R. & Lopez. Shane J. (2007). Positive Psychology The Scientific and Practical
Explorations of Human Strengths. United States of America : Sage Publications.

Anda mungkin juga menyukai