Anda di halaman 1dari 18

Persepsi Generasi Milenial Terhadap Toxic Relationship dari Pandangan

Transactional Analysis
Ferdy, Theresia Agnes, Vidrich Dendi, Anandita Christanti, Benediktus Yohanes Bala

Bimbingan dan Konseling


Fakultas Pendidikan dan Bahasa
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

Email : Ferdy.201903040005@univ.atmajaya.ac.id, theresi.201903040027@univ.atmajaya.ac.id


vidrich.201903540013@univ.atmajaya.ac.id, anandit.201903540006@univ.atmajaya.ac.id,
benedik.201903040020@univ.atmajaya.ac.id

Abstrak
Latar belakang: Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang menjadi pemicu individu
menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Setiap pasangan mendambakan hubungan yang
membahagiakan, penuh kasih, memiliki komunikasi yang baik, dan berbagai hal-hal positif
lainnya, namun realitanya masih banyak orang yang terjebak dalam Toxic Relationship baik
disadari maupun tidak disadari. Toxic Relationship ini memberikan banyak pengaruh bagi
pasangan tersebut baik pada fisik maupun psikologis atau kesehatan mental individu yang
cenderung kearah negatif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
persepsi generasi milenial terhadap Toxic Relationship dengan menggunakan pandangan salah
satu teori pendekatan konseling Transactional Analysis. Metode: Penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif dengan responden 55 orang sampel (28 laki-laki, 27 perempuan) dengan
rentang usia 18-26 tahun. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar dari responden
memahami dan sudah tidak asing lagi dengan kata Toxic Relationship. Penelitian menunjukkan
faktor lingkungan dapat mempengaruhi orang menjadi toxic, selain itu alasan terlanjur cinta
membuat mereka tetap bertahan dalam hubungan toxic. Selanjutnya sebagian besar sampel
menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dapat membuat orang terjebak dalam toxic
relationship. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan masih banyak pasangan yang
terjebak dalam hubungan yang toxic lebih memilih untuk mengakhiri hubungannya dari pada
memperbaikinya. Dampak yang timbul dari toxic relationship ini adalah terganggunya
kesehatan mental seseorang seperti mengalami anxiety, stress, depresi, dan mengganggu
kesehatan fisik. Dengan demikian dari penelitian ini didapatkan fakta bahwa masih banyak
individu yang belum bisa mengatasi masalah dalam hubungan dan lebih memilih untuk
mengakhiri hubungannya.

Kata kunci : toxic relationship, kesehatan mental, fisik, transactional analysis


Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, saling
membantu, dan selalu hidup dengan berkelompok. Sebagai makhluk sosial yang hidup
berkelompok tidak terlepas dari interaksi dan komunikasi satu sama lain. Dengan adanya sebuah
komunikasi dapat mempermudah berinteraksi dengan sesama manusia sehingga maksud dan
tujuannya yang ingin disampaikan bisa terwujud (Inah, 2013). Tentunya sebagai makhluk sosial
kita ingin memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain. Inilah
yang memicu kita untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain yang dimulai dari
lingkungan terdekat kita yaitu keluarga lalu kepada lingkungan sosial yang lebih luas seperti
teman sebaya, rekan kerja, dan pasangan.

Menurut Soekanto (dalam Amana, L.I; Kusnarto, K; Mugiarso, 2019) Seseorang dapat
melakukan interaksi sosial jika adanya individu lain sebagai partner interaksi, sehingga satu
sama lain dapat memberikan responnya masing-masing. Interaksi juga terjadi pada saat dua
orang atau lebih saling berhadapan, berbicara, bekerja sama, berjabat tangan, bahkan terjadi pada
saat ada persaingan antara individu atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan
adanya pertemuan/berpapasan bukan berarti menimbulkan pergaulan hidup dalam suatu
kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu bisa saja terjadi jika individu dengan individu
atau kelompok dengan kelompok manusia melakukan kerja sama dalam kelompok, dan saling
menyapa/berbicara untuk mencapai tujuan bersama sebagai kelompok, atau justru melakukan
persaingan, pertikaian, dan lain sebagainya yang memancing terjadinya interaksi. Maka dari itu
interaksi juga dikatakan sebagai dasar proses sosial yang menuju pada hubungan sosial yang
dinamis.

Selain kebutuhan akan berelasi atau bersosialisasi dengan orang lain manusia juga
memiliki kebutuhan akan cinta. Menurut Maslow (dalam Alwisol, 2011:205) kebutuhan dasar
ke-3 ialah kebutuhan dimiliki dan cinta (belong and love). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
orang mulai membangun hubungan yang dekat dengan lawan jenisnya atau biasa disebut
hubungan pacaran. Mereka yang berpacaran tentu mendambakan suatu kebahagiaan di
dalamnya. Namun realitanya, pada zaman sekarang tidak sedikit dari mereka yang menjalani
hubungan pacaran ini malah menjadi hubungan yang tidak sehat bahkan berpengaruh pada
psikologis mereka yang menjalani hubungan tersebut. Hubungan yang seperti itu biasa disebut
“toxic relationship”.

Bila dilihat dari pengertian katanya “toxic relationship” adalah hubungan yang beracun.
Racun dalam sebuah hubungan sering tidak disadari oleh mereka yang terlibat dalam hubungan
asmara tersebut, padahal toxic relationship ini dapat memberikan dampak dan racun bagi fisik
dan mental seseorang. Toxic relationship yang marak terjadi pada hubungan pacaran didominasi
atau ditandai dengan adanya keegoisan, kecemburuan yang berlebihan, sulit menjadi diri sendiri,
dikendalikan oleh pasangan, terisolasi dari dunia luar dan masih banyak perilaku dan sikap
negatif yang terjadi pada hubungan pacaran yang toxic. Dari situ dapat melihat bahwa toxic
relationship ini merupakan hubungan yang tidak menyenangkan bagi diri sendiri atau orang lain
dan akan menjadi beban bagi orang tersebut seiring berjalannya waktu. Jika racun dalam
hubungan ini tidak disadari pada masa pacaran akan memberikan kemungkinan berlanjut sampai
jenjang pernikahan. Memungkinkan terjadinya KDRT.

Berdasarkan data dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap
Perempuan pada tahun 2019, terdapat 13,568 kasus kekerasan yang tercatat berdasarkan jumlah
tersebut sekitar 2,073 kasus diantaranya ialah kekerasan dalam hubungan berpacaran. Dari data
tersebut kita dapat lihat bahwa adanya Toxic Relationship di dalam sebuah hubungan dapat
menyebabkan konflik batin yang akan mengarahkan pada kecemasan atau bahkan bisa sampai
menyebabkan seseorang depresi, sehingga dapat menyebabkan konflik intrapsikis. Hubungan
yang tidak sehat ini biasanya hanya menguntungkan satu pihak saja, sedangkan pihak lain akan
lebih sering dirugikan. (Julianto, V. Rara A. C., Shita Sukmawati & Eka, 2020)

Menurut (Putri, B.N; Putri, 2020) dalam suatu hubungan ada tiga pola yang berkait
dengan munculnya keretakan dalam suatu hubungan atau yang disebut juga toxic relationship,
yakni (1) pola secure attachment, (2) pola cemas ambivalen, dan (3) pola cemas menghindar.
Dalam suatu hubungan tentunya anak ada sebuah interaksi komunikasi antara dua belah pihak,
menginginkan kekasihnya selalu hadir dan ada di sisinya, selalu aktif, perhatian/responsif dan
selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya saat seorang kekasih membutuhkannya dalam
menghadapi masalah, tekanan atau ancaman, semua itu bentuk dari pola secure attachment.
Merasa pasangannya tidak selalu ada pada saat seorang kekasih membutuhkannya merupakan
bentuk dari pola cemas ambivalen. Sedangkan interaksi antara adanya dua belah pihak yang
seorang pasangan tidak memiliki kepercayaan diri, dan karena katika mencari kasih sayang tidak
direspon atau bahkan beri penolakan.

Pendekatan teori Analisis transaksional (AT) dimulai pertama kali sekali oleh Eric Berne.
(Fikri, Miftahul, Prayitno & Yeni Karneli, 2020). Pada hakikatnya transactional analysis
merupakan rangkaian struktur/bentuk ego konseli dalam menjalin interaksi agar mampu memberi
nilai lebih pada dirinya dihadapan orang lain, serta meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap
diri individu atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan yang realistis,
berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan dengan orang lain
(Syahputra, Yuda, Neviyarni, Netrawati, Yeni Karneli & Hariyani, 2019; E. M. Berne, 1975).
Pendekatan TA terdiri dari komponen-komponen berikut: ego states, transactions, strokes,
scripts, life scenario, life positions and time structures ( Syahputra, Yuda, Neviyarni, Netrawati,
Yeni Karneli & Hariyani, 2019; Akkoyun, 2001; E. M. . Berne, 1975; Shirai, 2006; Solomon,
2003). Menurut Berne, dalam TA ada tiga keadaan ego states yaitu parent ego states, child ego
states, dan adult ego states (Niarti, Rosita, Yuline, Indri Astuti,2018; Komala sari, dkk, 2011:90)
Ego states ini memberikan pengaruh kepada perilaku individu. Individu yang memiliki parent
ego states cenderung memiliki sosok orangtua pada umumnya melindungi dan mengatur individu
lainnya. Individu yang memiliki child ego states cenderung memiliki sosok yang kekanak-
kanakan dan memiliki perilaku seperti anak kecil yaitu menurut. Adult ego states memiliki
kepribadian yang mandiri, penyabar, rasional, tetap pada pendirian, dan bertanggung jawab
(Niarti, Rosita, Yuline, Indri Astuti, 2018 ; Corey, 2013:160) Adult ego states ini merupakan ego
states yang paling baik untuk berinteraksi dengan orang lain.

Metode Penelitian
Penelitian ini Menggunakan pendekatan Kuantitatif dengan metode survey untuk
mengetahui persepsi generasi milenial terhadap toxic relationship. Dengan jumlah responden
sebanyak 55 orang dengan rentang usia 18-20 tahun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah berupa google form. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar
mengetahui tentang apa itu toxic relationship walaupun ada beberapa orang yang belum
mengetahuinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena hubungan yang
toxic yang ternyata ada dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang belum disadari oleh
sebagian orang. Khususnya bagi mereka yang masih remaja dan yang sedang berada dalam
hubungan yang toxic itu. Menurut Suriasumantri (2005), Arti penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang dilakukan dengan kajian pemikiran yang sifatnya ilmiah. Penelitian ini kami
lakukan dengan metode logico hypothetico verifikatif, dengan menggunakan langkah-langkah
yang sesuai.

Responden

Diagram di atas menjelaskan bahwa dari 55 sampel, jenis kelamin responden terbanyak
adalah jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 28 (51%) responden, sedangkan jenis kelamin
perempuan hanya sebanyak 27 (49%).
Diagram di atas menjelaskan bahwa usia responden terbanyak berada pada usia 19 tahun
dengan persentase sebanyak 54.5%, sedangkan responden tersedikit pada usia 22 (1.8%), usia 24
(1.8%), dan 26 (1,8%).

Hasil Penelitian

Tabel 1

no Apakah kalian tahu tentang toxic Frekuensi Presentase


relationship?

1 Iya 53 96,4%

2 Tidak 2 3,6%
Dari tabel 1, dapat diketahui bahwa dari 55 responden, 53 responden mengetahui tentang
toxic relationship dengan persentase sebesar 96,4%. Hanya 2 responden yang tidak mengetahui
tentang toxic relationship dengan persentase sebesar 3,6 %.

Tabel 2
No Apakah anda rasa hubungan anda Frekuensi Presentase
sedang dalam keadaan yang tidak
baik/toxic?

1 Iya 12 21,8%

2 Tidak 43 78,2%

Dari tabel 2, maka dapat diketahui bahwa dari ke-55 responden yang mengisi google
form terdapat 12 responden dengan persentase 21,8% yang merasa bahwa hubungan yang sedang
mereka jalani saat ini sedang dalam keadaan yang toxic. Kemudian sebanyak 43 responden
dengan persentase 78,2% merasa bahwa hubungan yang mereka jalani saat ini bukanlah
hubungan yang toxic. Dari data yang diperoleh tersebut maka dapat dikatakan bahwa yang lebih
dominan ialah responden yang yang sedang dalam hubungan yang baik dan tidak toxic.

Tabel 3

Menurut anda apakah lingkungan


no Frekuensi Presentase
anda mempengaruhi anda untuk
menjadi toxic person?

1 Iya 15 27,3%

2 Tidak 40 72,7%

Dari tabel 3 merupakan pernyataan tentang lingkungan memberikan pengaruh kepada


seseorang menjadi toxic person. Dari 55 responden yang menjawab, didapatkan jawaban
terbanyak yaitu tidak dari 40 responden dengan persentase sebesar 72,7%.

Tabel 4

no Apakah alasan "terlalu/terlanjur Frekuensi Presentase


cinta" membuat anda tetap
bertahan dalam hubungan yang
toxic?
1 Iya 38 69,1%

2 Tidak 17 30,9%

Dari tabel 4, dengan pertanyaan “apakah alasan ‘terlalu/terlanjur cinta’ membuat anda
tetap bertahan dalam hubungan yang toxic?” maka didapat hasil bahwa sebanyak 38 responden
dengan persentase 69,1% menyatakan bahwa “terlalu/terlanjur cinta” merupakan alasan mereka
tetap bertahan dalam hubungan yang toxic. Selanjutnya ada 17 responden dengan persentase
30,9% menyatakan bahwa “terlalu/terlanjur cinta” tidak atau bukanlah alasan untuk tetap
bertahan dalam hubungan yang toxic.

Tabel 5

No Menurut anda seberapa besar Frekuensi Presentase


pengaruh hubungan toxic
relationship bagi kesehatan
mental ?

1 1 (tidak pengaruh) 3 5,5%

2 2 (kurang pengaruh) 0 0%

3 3 (cukup pengaruh ) 4 7,3%

4 4 (pengaruh) 18 32,7%

5 5 (sangat pengaruh) 30 54,5%

Dari tabel 5, merupakan pernyataan tentang pengaruh hubungan toxic relationship bagi
kesehatan mental. Dari 55 responden, 30 responden menjawab bahwa hubungan toxic
relationship sangat memberikan pengaruh bagi kesehatan mental sebesar 54,4 % yang
merupakan jawaban terbanyak.

Tabel 6
No Menurut anda seberapa besar Frekuensi Presentase
pengaruh pengalaman masa lalu
yang membuat seseorang terjebak
dalam toxic relationship?
1 Tidak 2 3,6%

2 Sedikit 6 10,9%

3 Cukup 31 56,4%

4 Sangat 16 29,1%

Dari tabel 6, dapat diketahui bahwa sebanyak 31 sampel (56,4%) menyatakan bahwa
pengaruh pengalaman masa lalu “cukup” yang membuat seseorang terjebak dalam toxic
relationship. Kemudian sebanyak 16 sampel (29,1%) menyatakan “sangat” berpengaruh, 6
sampel (10,9%) menyatakan pengaruh pengalaman masa lalu “sedikit” membuat seseorang
terjebak dalam toxic relationship, selanjutnya ada 2 sampel (3,6%) menyatakan bahwa
pengalaman masa lalu tidak membuat seseorang terjebak dalam toxic relationship.

Tabel 7

no Sebutkan 3 ciri seseorang berada Frekuensi Presentase


dalam hubungan yang toxic?

1 Tidak menjadi diri sendiri 23 15,24%

2 Kekerasaan verbal dan non verbal 20 13,24%

3 Salah satu pasangan merasa tertekan 20 13,24%

4 Komunikasi antar pasangan tidak baik 15 9,94%

5 Posesif 12 7,94%

6 Menganggap pasangan lebih rendah 11 7,28%

7 Egois 9 5.96%

8 Bucin 9 5.96%
9 Cemburuan 8 5,30%

10 Hubungan yang tidak saling 7 4,63%


mendukung

11 Tidak memiliki jiwa sosial yang baik 7 4,63%

12 Emosian 4 2.65%

13 Menghasut ke hal yang tidak baik 3 2%

14 Menutup masalah dengan solusi 2 1.32%


sementara

15 Matre 1 0.67%

Berdasarkan tabel 7 diatas, merupakan ciri-ciri dari toxic relationship dari 55 responden.
Mereka masing-masing memberikan tiga jawaban terkait ciri-ciri toxic relationship. Jawaban
tiga terbanyak yang diberikan oleh responden terkait ciri-ciri toxic relationship yang pertama
yaitu hubungan yang toxic tidak membuat mereka menjadi dirinya sendiri sebanyak 23
responden (15,34%). Selanjutnya jawaban kedua terbanyak yang diberikan responden ciri-ciri
hubungan yang toxic adalah hubungan yang didalamnya terdapat kekerasaan fisik maupun
nonverbal, jawaban ini diberikan oleh 20 responden (13,4%). Lalu yang terakhir 20 responden
menjawab bahwa ciri-ciri hubungan yang toxic yaitu hubungan yang membuat salah satu
pasangan merasa tertekan dengan persentase 13,4%.

Tabel 8

no Dari ketiga ciri tersebut, bagaimana Frekuensi Presentase


cara mengatasinya?

1 Mengakhiri hubungan 15 27%

2 Komunikasi 12 22%

3 Belajar menjadi lebih baik 9 16%

4 Menjadi diri sendiri 7 13%


5 Lebih percaya pada pasangan 4 7%

6 Jawaban tidak relevan 4 7%

7 Biar sadar sendiri 3 6%

8 Konseling 1 2%

Dari tabel 8 diatas diketahui bahwa jawaban terbanyak adalah responden lebih memilih
mengakhiri hubungan mereka sebanyak 15 (27%) responden, kemudian ada yang berusaha
mengkomunikasikan hal tersebut sebanyak 12 (22%) responden, belajar menjadi individu yang
lebih baik sebanyak 9 (16%) responden, ada yang memilih menjadi diri sendiri sebanyak 7
(13%) responden, ingin lebih percaya pada pasangan sebanyak 4 (7%), membiarkan
pasangannya sadar dengan sendirinya sebanyak 3 (6%), memilih mencari referensi dari proses
konseling 1 (2%), dan jawaban yang tidak relevan dengan pertanyaan sebanyak 4 (7%).

Tabel 9

no Dampak apa saja yang timbul dari Frekuensi Presentase


hubungan yang toxic?

1 Anxiety, Trust issue, Insecurity, 29 52,7%


Stress, Depresi, Insecure, Trauma,
dan Mengganggu kesehatan fisik.

2 Kesehatan mental terganggu, Over 14 25,4%


Thinking, dan Mengganggu Daily
Lives.

3 Jauh dari keluarga dan teman serta 5 9,09%


tidak bisa bebas, karena terikat
pada pasangan.

4 bisa menjadi sifat atau karakter 4 7,27%


sehingga merugikan orang lain
5 Berkurangnya rasa cinta dalam 2 3,63%
suatu hubungan yang
mengakibatkan pertengkaran
antara pasangan dan lebih memilih
mengakhiri hubungannya.

6 Kerugian dari segi moral dan 1 1,81%


material yaitu harga diri dan harta

Dari tabel 9 didapatkan jawaban terbanyak ketika seseorang berada dalam hubungan
yang toxic dampak yang ditimbulkan itu berupa Anxiety, Trust issue, Insecurity, Stress, Depresi,
Insecure, Trauma, dan Mengganggu kesehatan fisik dengan persentase jawaban sebesar 52,7%.

Tabel 10

No Menurut anda, bagaimana cara Frekuensi Presentase


keluar dari hubungan yang toxic ?

1 Mengakhiri hubungan 25 45%

2 Berkomunikasi langsung dengan 13 26%


pasangan

3 Introspeksi atau memperbaiki diri 6 11%

4 Mendekatkan diri dengan Tuhan 4 7%

5 Meminta saran dari pihak lain 3 5%


(konselor, keluarga dan teman)

6 Menyibukkan diri atau mengabaikan 2 3%


hubungan yang toxic

7 Tidak relevan 2 3%

Berdasarkan tabel 10 di atas, dari ke-55 responden didapat hasil bahwa mereka memiliki
cara yang bervariasi untuk keluar dari hubungan yang toxic. Sebanyak 45% responden (n=25)
memilih untuk mengakhiri hubungan sebagai solusi atau cara untuk keluar dari hubungan yang
toxic tersebut. Sebanyak 26% responden (n=13) mencoba untuk mengkomunikasikan dahulu
permasalahannya dan perasaannya kepada pasangannya terkait apa yang ia rasakan untuk
bersama menjari cara keluar dari toxic relationship yang mereka jalani. Lalu sebanyak 11%
responden (n=6) memilih cara keluar dari hubungan yang toxic itu dengan memulai dari dirinya
sendiri untuk mengintrospeksi diri dan membenahi diri, jadi ke-6 responden ini lebih memilih
untuk berkaca pada dirinya sendiri dulu apakah ia yang menjadi penyebab dari hubungan yang
toxic itu. Berikutnya ada 7% responden (n=4) memandang dari perspektif spiritualitasnya,
mereka meyakini bahwa ketika mereka dihadapkan dengan suatu masalah seperti terjebak dalam
hubungan yang toxic maka cara mereka ialah menyerahkan permasalahannya itu pada yang
Kuasa. Kemudian ada 5% responden (n=3) memilih cara untuk keluar dari hubungan yang toxic
itu dengan cara meminta saran dari pihak lain seperti keluarga, teman, dan para profesional
seperti konselor untuk mendapat saran atas permasalahan yang mereka alami. Lalu ada 3%
(n=2) berpendapat bahwa cara mereka untuk keluar dari hubungan yang toxic itu dengan cara
menyibukkan diri atau mengabaikan hubungannya yang toxic, mereka berpendapat bahwa
menyibukkan diri yang dimaksud ialah melakukan hal yang mereka sukai seperti berbelanja,
memasak, atau olahraga. Dengan pernyataan tersebut maka dapat diartikan bahwa mereka tidak
mau terlalu memikirkan masalah hubungannya sehingga ia cenderung mengabaikan
hubungannya yang toxic dengan menyibukkan diri dengan hal yang mereka sukai. Terakhir ada
3% (n=2) memberikan jawaban yang tidak relevan, tidak relevan yang kami maksud disini
adalah responden memberi jawaban atau pernyataan yang tidak sesuai atau tidak nyambung
dengan pertanyaan yang ada seperti memberi tanda (-) pada kolom jawaban. Hal tersebut yang
membuat kami mengkategorikan bahwa pernyataan yang diberikan itu tidak relevan.

PEMBAHASAN

Toxic relationship atau yang disebut hubungan beracun sering terjadi pada mereka yang
sedang menjalani hubungan pacaran atau percintaan. Hubungan ini tidak sehat untuk diri sendiri
dan orang lain. (Julianto, V. Rara A. C., Shita Sukmawati & Eka, 2020) Hal ini terbukti dari tes
yang diberikan yakni melalui g-form sebagian besar dan hampir semuanya memiliki pengalaman
yang tidak menyenangkan dalam hubungan mereka. Banyak juga yang selama ini tidak
menyadari itu dan bahkan mempertanyakan hubungan mereka yang sangat tidak menyenangkan
itu dan dari tes yang diberikan juga webinar tentang toxic relationship mereka atau anak remaja
menjadi lebih tahu dan menyadari apakah mereka berada dalam hubungan yang tidak nyaman
atau tidak menyenangkan tersebut.

Sebanyak 53 responden mengetahui tentang Toxic relationship. Toxic relationship sudah


bukan menjadi suatu hal yang asing lagi karena sudah banyak di media sosial maupun media
yang membahas tentang isu ini. Bahkan dari 55 responden, 12 diantaranya merasa bahwa
hubungan yang selama ini dia jalani merupakan hubungan yang tidak sehat atau toxic. Walaupun
toxic relationship ini bisa terjadi oleh siapa saja, namun berdasarkan hasil penelitian yang kami
lakukan kepada 55 responden kasus toxic relationship ini justru umumnya dialami oleh kalangan
remaja dengan rentang usia 18-20 tahun. Bila kita melihat remaja adalah masa peralihan dari usia
anak-anak menuju usia yang dewasa. Pada realitanya usia remaja ini dapat membahayakan diri
mereka sendiri, karena di usia itu remaja belum mampu untuk mengontrol perasaannya dengan
baik. Hal itu dapat berpengaruh pada perilakunya, mereka akan cenderung melakukan sikap-
sikap negatif karena tidak mampu mengontrol stress yang mereka rasakan. Bila kita lihat
dampaknya itu bisa seperti mereka akan menjadi lebih agresif pada lingkungan sekitarnya.

Bila dilihat dari bentuknya toxic relationship ini sebenarnya memiliki 2 bentuk yaitu
bentuk verbal dan bentuk fisik. Bentuk kekerasan verbal itu terjadi ketika seseorang membentak
orang lain atau pasangannya. Kekerasaan verbal ini terjadi tidak hanya pada saat seseorang
berteriak atau berbicara dengan nada yang tinggi tetapi dapat dilakukan dengan nada halus
sekalipun. Kekerasaan verbal ini terjadi ketika seseorang ingin menghancurkan karakter orang
lain. Bentuk kekerasan fisik itu seperti kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan
dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan fisik lain atau
kerusakan tubuh. Timbulnya kekerasan baik itu dalam bentuk verbal maupun fisik dalam
berpacaran pada remaja pada dasarnya merupakan salah satu bentuk ketidakmampuan remaja
dalam melakukan kontrol diri. Seperti yang diketahui, emosi dan mental yang dimiliki oleh
remaja masih cenderung labil. Hal tersebut memungkinkan mereka melakukan sesuatu hal tanpa
berpikir panjang seperti melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun verbal. Hal seperti ini
membuat permasalahan yang dialami remaja dalam pacaran terkesan menjadi rumit dan semakin
tidak ada jalan keluar. Keadaan seperti ini kemudian menjadikan aktivitas pacaran pada remaja
sangat rentan menimbulkan kekerasan (Evendi, 2018).

Ada banyak ciri-ciri dari toxic relationship yang ada dan sering terjadi bahkan dialami
oleh anak-anak remaja saat ini diantaranya adalah: tidak pernah merasa cukup, susah menjadi
diri sendiri, direndahkan terus, tidak didukung oleh pasangan, lingkungan pertemanan yang
semakin menyempit, cemburu yang berlebihan, dan komunikasi antar pasangan sangat tidak
baik. Semua hal itu jika tidak disadari dan dikendalikan atau dikontrol maka akan berujung pada
hal-hal yang kurang baik seperti kekerasan, sakit hati, stres, tertekan dan bahkan hubungan akan
berakhir atau terjadi perpisahan.

Kekerasan dalam pacaran dikenal sebagai perilaku agresi dan penuh kontrol
terhadap pasangan. Kekerasan itu ada begitu banyak jenisnya seperti psikologis, fisik, seksual
dan cabang-cabangnya. Terdapat rangkaian dampak negatif bagi korban yang mengalami
kekerasan dalam pacaran, baik jangka pendek maupun jangka panjang (American
Psychological Association, 2002). Jika melihat dampaknya tentunya tidak hanya satu artinya ada
banyak dampak yang dapat terjadi diantaranya adalah cedera atau luka-luka secara fisik,
kemudian menuju pada kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, self esteem yang
rendah dan gangguan lainnya yang berhubungan dengan kesehatan mental. (Grace et al., 2018).

Perilaku agresif demikian sangat tidak menyenangkan apalagi bagi remaja-remaja yang
dalam proses untuk menjadi. Setiap manusia tentu mencari kebahagiaan dan kenyamanan
termasuk anak-anak remaja yang sedang berpacaran tetapi apakah mereka merasa bahagia dalam
hubungan mereka? Anak-anak remaja yang sedang menjalin hubungan dan jika dilandaskan pada
hubungan yang toxic maka kebahagiaan dan kenyamanan tidak akan ada di dalamnya. Banyak
dari anak-anak remaja yang mengatakan bahwa mereka pernah mengalami dan bahkan saat ini
mereka berada dalam hubungan yang demikian. Ada yang memilih untuk mengakhiri hubungan
mereka tetapi banyak juga yang masih memilih untuk bertahan dalam suasana dan situasi
hubungan yang tidak nyaman dan merugikan tersebut karena mereka mengatakan bahwa
dasarnya adalah mereka mencintai pasangan mereka. Artinya mereka sadar akan
ketidaknyamanan itu tetapi karena cinta dan tidak mau kehilangan orang yang disayangi
sehingga mereka tetap bertahan.

Secara disadari maupun tidaknya sebenarnya Toxic Relationship ini sangat memberikan
pengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Semakin lama berada dalam suatu hubungan
yang toxic maka akan semakin besar kemungkinan seseorang akan mengalami stress, depresi,
dan gangguan kecemasan. Cinta memberikan berbagai dampak dari positif hingga negatif.
Ketika kebutuhan antar pasangan terpenuhi, maka cenderung memberikan dampak yang positif
bahkan membantu pasangan untuk mengatasi permasalahan adaptifnya. Dalam keadaan lain,
ketika kebutuhan akan cinta antar pasangan tidak terpenuhi, maka cenderung akan menimbulkan
banyak permasalahan yang memberikan banyak dampak bagi fisik maupun dari psikologis.
(Surijah, Edwin Adrianta, Ni Kadek Prema Dewi Sabhariyanti &Supriyadi, 2019 : Reis & Aron,
2008; Stack & Scourfield, 2015).

Ada 3 tahapan terjadinya Toxic Relationship. Pertama diawali dengan hal-hal yang
dianggap sepele namun bila terus dibiarkan hal itu dapat menjadi permulaan toxic relationship.
Kedua mengakui, jadi ketika sudah menyadari bahwa hubungan yang dijalani itu termasuk dalam
ciri-ciri toxic relationship segeralah mengakui atau menyadari bahwa hubungan yang dijalani
memanglah toxic. Apabila sudah menyadari namun tidak berani mengakui pada diri sendiri dan
pasangan bahwa hubungan yang dijalani itu toxic maka akan sangat berpotensi untuk berdampak
pada kesehatan mental diri sendiri dan pasangan. Ketiga mengakhiri, bila sudah berani untuk
mengakui hubungan yang dijalani itu toxic maka seorang individu harus berani mengakhiri.
Mengakhiri yang dimaksud disini adalah berani mengambil keputusan yang dianggap paling baik
untuk kedepannya. Namun setiap individu tentu memiliki pilihan masing-masing mau
memperbaiki diri dan hubungannya yang toxic atau justru mengakhiri hubungannya. Toxic
Relationship ini menimbulkan konflik dalam hubungan berpacaran. Achmanto, 2005 (dalam
Nisa & Sedjo, 2010) menyatakan adanya langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam
menyelesaikan konflik dan dapat diterapkan oleh oleh pasangan dalam hubungan pacaran yaitu,
(1) menemukan konflik yang ada dengan jelas, (2) mempertimbangkan solusi-solusi yang
kemungkinan dapat menjadi alternatif jalan keluar, (3) mencoba menerapkan solusi yang telah
dipertimbangkan dan mengevaluasi hasil percobaan, (4) menentukan keputusan untuk memilih
salah satu solusi atau justru menolak solusi itu.

Landasan Teori

Fenomena Toxic Relationship dapat dilihat dari pandangan teori Transactional Analysis
dari Eric Berne. Filosofi manusia menurut Eric Berne sebagai seorang individu manusia
memiliki 3 ego state diantaranya (Niarti, Rosita, Yuline, Indri Astuti,2018; Komala sari, dkk,
2011:90) : (1) parent ego, jadi disini perilaku, pikiran, pandangan, dan perasaan biasa ditiru dari
orang tua atau figur orang tua. (2) adult ego, perilaku, pikiran, dan perasaan adalah tanggapan
atau respon langsung , here and now. Jadi artinya disini seorang individu bisa lebih berpikir
yang logis dan praktis karena keadaan ego mereka yang sudah dewasa. (3) child ego, ini
merupakan ego yang kekanak-kanakan hal itu dikarenakan perilaku, pikiran, dan perasaannya
diulang seperti pada masa kecilnya. Ketiga ego tersebut yang penting untuk ditonjolkan seorang
individu ialah adult ego karena disini seseorang dapat memaknai situasi yang dihadapi. Biasanya
individu yang dominan adult ego akan menyikapi masalahnya dengan bijak, bila child ego yang
dominan maka ketika dihadapkan dengan masalah ia akan marah-marah, lalu apabila parent
egonya yang dominan ia akan cenderung arogan dalam menghadapi suatu masalah hari itu bisa
terjadi karena orang paret ego lebih berpatok pada benar atau salahnya suatu situasi atau
tindakan.

Manusia yang sehat adalah manusia yang dapat memilih ego state yang tepat ketika
berinteraksi dengan orang lain. Pada fenomena Toxic Relationship maka mereka menjadi
individu yang toxic karena ketidakmampuannya memilih ego state yang tepat karena sebenarnya
yang memegang kendali terhadap ego state itu adalah diri kita sendiri. Inilah yang memicu orang
menjadi Toxic person dan ketika menjalani suatu hubungan pacaran maka tidak menutup
kemungkinan hubungannya akan menjadi toxic juga. Dari penelitian yang dilakukan lingkungan
pergaulan dapat mempengaruhi seseorang menjadi toxic.

Teori ini melihat bahwa individu yang tergolong patologi atau tidak sehat, dan tidak
bahagia terhadap dirinya sendiri dan orang lain itu dapat dianalisis atau dilihat dari Life
Scriptnya. Seseorang tidak bisa serta-merta mengecap atau menjudge individu lain bahwa ia
tumbuh dengan parent egonya atau bahkan terlalu dominan childish, hal itu tentu dikarenakan
pada dasarnya ego itu bisa bergantung pada life-script yang dialami seorang individu semasa
kecilnya hingga tumbuh dewasa. Dengan demikian maka ketika ingin memahami orang lain
maka haruslah mengetahui background orang tersebut seperti apa. Oleh karena itu untuk
menganalisis perilaku atau ego yang muncul dari diri seseorang maka kita perlu
menganalisisnya dengan melihat dan memahami life-script begitupun dalam fenomena Toxic
Relationship.

Cara mengatasi Toxic Relationship bila dilihat dari teori Eric Berne maka bisa
menggunakan strategi Self awareness. Terlebih dahulu seorang individu perlu memiliki
kesadaran bahwa setiap individu memiliki 3 ego state ( parent, adult, child). Sebagai individu
yang sehat maka ia harus memiliki kesadaran akan ego statenya tersebut dan paham kapan
egonya tersebut dapat dikeluarkan dengan menyesuaikan pada situasi dan kondisi yang mereka
alami. Bila dilihat fenomena Toxic Relationship bisa terjadi karena individu itu tidak dapat
memiliki ego state yang tepat ketika ia berinteraksi dengan orang lain atau pasangannya,
sehingga ini dapat memicunya untuk melakukan bentuk-bentuk toxic relationship seperti verbal
maupun fisik. Dengan adanya menerapkan strategi Self-Awareness maka individu akan mempu
memilih ego statenya yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain, khususnya dalam
penelitian ini adalah dalam hubungan berpacaran. Mereka yang mampu menempatkan ego
statenya secara tepat akan mampu terhindar dari hubungan yang toxic.

Kesimpulan
Toxic relationship merupakan suatu hubungan pacaran yang tidak sehat. Toxic
relationship ini memiliki ciri-ciri adanya kekerasaan dalam hubungan, individu tidak menjadi diri
sendiri, banyak tuntutan yang diberikan, posesif, dan lain sebagainya. Hubungan tersebut
memberikan dampak negatif bagi individu. Dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif
dan dampak tersebut sangat memberikan pengaruh bagi kesehatan mental seseorang. Toxic
relationship ini jika dikaitkan dengan teori transaksional analisis, individu memiliki ego states
yang ada didalam dirinya dan ego states tersebut memberikan pengaruh pada perilakunya. Ego
states terdiri dari parent ego states, child ego states, dan adult ego states. Toxic relationship ini
dapat muncul dikarenakan Individu tersebut tidak bisa memposisikan ego states yang dimilikinya
atau memiliki satu ego states yang mendominasi entah adult ego states ataupun child ego states.
Cara mengatasi Toxic Relationship bila dilihat dari teori Eric Berne maka bisa menggunakan
strategi Self awareness.

Saran

1. Faktor lingkungan bisa mempengaruhi seseorang menjadi toxic person, dan dari situlah
bisa berdampak pada hubungan yang toxic. Jadi bagi pembaca disarankan untuk dapat
peka dengan lingkungan pergaulannya karena jika tidak maka lingkungan itulah yang
akan membuat seseorang menjadi toxic.
2. Pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan akan membuat seseorang menjadi toxic
dalam hubungannya. Dengan demikian berdamailah dengan masa lalu guna menjalin
hubungan yang lebih baik tanpa melihat luka-luka di masa lalu.
3. Kenali secara dini ciri-ciri toxic relationship. Semakin cepat mengenali cirinya, maka
semakin cepat pula keluar dari hubungan yang toxic tersebut.
4. Ketika sudah terlanjur terjebak dalam hubungan yang toxic maka komunikasikanlah
dengan pasangan, dan segera mencari jalan keluar dari hal tersebut.
5. Mampu menyadari ego state dalam diri dan tau kapan ego tersebut harus dikeluarkan saat
menghadapi situasi tertentu.

Daftar Pustaka
Adriana, W., & Ratnasari, Y. (2012). Kecemburuan pada laki-laki dan perempuan dalam
menghadapi perselingkuhan pasangan melalui media internet. Jurnal Psikologi Pitutur,
1(1), 77–89. https://jurnal.umk.ac.id/index.php/PSI/article/view/38

Alfiani, R. V. (2020). Upaya resiliensi pada remaja dalam mengatasi toxic relationship
yang terjadi dalam hubungan pacaran. http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf

Amana, L.I; Kusnarto, K; Mugiarso, H. (2019). Layanan konseling kelompok untuk


mengurangi perilaku interaksi sosial disosiatif siswa. Indonesian Journal of Guidance
and Counseling: Theory and Application, 8(1), 26–32.
https://doi.org/10.15294/ijgc.v8i1.21712

Evendi, I. (2018). “Kekerasan Dalam Pacaran (Studi pada Siswa SMAN 4 Bombana)”.
Jurnal Neo Societal. Vol. 3, No. 2. (389-399).

Fikri, Miftahul, Prayitno & Yeni Karneli, 2020. Transactional Analysis Counseling untuk
Meningkatkan Social Care Siswa. Jurnal Pendidikan dan Konseling. 10(1). 16-22.

Grace, S., Pratiwi, P. C., & Indrawati, G. (2018). Hubungan antara rasa percaya dalam
hubungan romantis dan kekerasan dalam pacaran pada perempuan dewasa muda di
jakarta. Jurnal Psikologi Ulayat, 5(2), 169–186. https://doi.org/10.24854/jpu02018-
183

Inah, N. E. (2013). Peranan komunikasi dalam pendidikan. Jurnal Al-Ta’dib, 6(1), 176–188.

Julianto, V; Cahayani, R.A; Sukmawati, S; Aji, E. S. R. (2020). Hubungan antara harapan


dan harga diri terhadap kebahagiaan pada orang yang mengalami toxic relationship
dengan kesehatan psikologis. Jurnal Psikologi Integratif, 8(1), 103–115.
https://doi.org/10.14421/jpsi.v8i1.2016

Niarti, R., Yuline, Y., & Astuti, I. STUDI TENTANG STATUS EGO DALAM ANALISIS
TRANSAKSIONAL DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 24 PONTIANAK. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 7(9).

Nisa, S., & Sedjo, P. (2011). Konflik pacaran jarak jauh pada individu dewasa muda. Jurnal
Psikologi, 3(2)

Putri, B.N; Putri, K. Y. S. (2020). Representasi toxic relationship dalam video klip Kard
“You in me.” Jurnal Semiotika, 14(1), 48–54.

Surijah, E. A., Ni Kadek Prema Dewi Sabhariyanti &Supriyadi. (2019). Apakah Ekspresi
Cinta Memprediksi Perasaan Dicintai? Kajian Bahasa Cinta Pasif dan Aktif.
PSYMPATHIC : Jurnal Ilmiah Psikologi. 6(1). 1-14

Syahputra, Yuda, Neviyarni, Netrawati, Yeni Karneli& Hariyani.(2019). Analisis


Transaksional dalam Setting Kelompok. Jurnal Bimbingan dan Konseling Ar-Rahman.
5(2), 123-130

Anda mungkin juga menyukai