1. Paradoxical Intention
Teknik paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan
mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap
kondisi diri sendiri (biologis dan psikologis) dan lingkungan. Disamping itu juga rasa
humor, khususnya humor terhadap diri sendiri. Dalam penerapannya teknik ini
membantu klien untuk menyadari pola keluhannya, mengambil jarak atas keluhannya
itu serta menanggapinya secara humoristis. Dalam kasus-kasus fobia, teknik ini
berusaha mengubah sikap penderita yang semula takut menjadi akrab dengan objek
yang justru ditakutinya, sedangkan pada obsesi dan kompulsi yang biasanya
dikendalikan ketat dorongan-dorongannya agar tak tercetus justru diminta untuk
secara sengaja mengharapkan bahkan memacu agar dorongan itu benar-benar muncul.
Usaha ini mustahil dilakukan tanpa sikap humoristis klien atas dirinya. Pemanfaatan
rasa humor ini diharapkan dapat membantu klien untuk tidak lagi memandang
gangguan-gangguannya sebagai sesuatu yang berat mencekam, tetapi berubah
menjadi lucu. Dasar pemikiran paradoxical intention ialah :
a. Kesanggupan manusia untuk bebas bersikap atau mengambil jarak terhadap diri
sendiri, termasuk didalamnya sikap terhadap tingkah laku dan masalah-masalah
yang dihadapinya.
b. Kesengajaan yang memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan
individu kepada sesuatu yang ingin dihindarinya, dan kesengajaan yang memaksa
untuk mencapai sesuatu semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin
dicapainya.
Langkah-langkah dalam melakukan paradoxical intention adalah :
1) Memastikan bahwa tidak ada gangguan medis yang mendasari terjadinya
gangguan tersebut
2) Melihat dari sudut pandang klien
d. Pertanyaan dimulai dengan kondisi pada saat ini atau pada masa lalu, dan harus
berorientasi pada masa depan.
e. Pertanyaan terapis bertujuan untuk : pengetahuan, pengambilan keputusan,
personal significance, responsibilitas, self transcendence, mengklarifikasi need
dan nilai pada klien.