Oleh Kelompok 3
Metode Pengukuran Kepribadian A :
Dosen Pengampu:
Dwi Puspasari. . M.Psi.Psikolog,
Diny Amenike. . M.Psi.Psikolog,
Kuswardani Susari Putri. Dra. M.Si, Psikolog
UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2021
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami ucapkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Tidak lupa pula sholawat beserta salam selalu
ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita keluar dari
zaman kebodohan hingga kita dapat menikmati ilmu pengetahuan seperti
sekarang.
Makalah ini telah kami susun dengan merujuk berbagai buku dan sumber
relevan terpercaya lainnya, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak
yang berkontribusi. Dengan selesainya makalah ini, kami harap dapat menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai teknik konseling berdasarkan pendekatan
behavioral menggunakan hukuman (punishment).
Terlepas dari semua itu, karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih sangat banyak
kekurangan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
2.2 Extinction..............................................................................................4
2.5 Overcorrection....................................................................................13
ii
2.5.2 Menerapkan Teknik Overcorrection.............................................14
3.1 Kesimpulan.........................................................................................18
3.2 Saran....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1. Mengetahui tentang teknik pendekatan behavioral menggunakan
hukuman?
2. Mengetahui tentang teknik extinction?
3. Mengetahui tentang teknik time out?
4. Mengetahui tentang teknik response cost?
5. Mengetahui tentang overcorrection?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
hanya dalam kasus ekstrim dan prosedur reinforcement positif harus
digunakan secara ekslusif jika memungkinkan. Dikarenakan prosedur
punishment sering kali bekerja lebih cepat dibandingkan reinforcement,
maka prosedur punishment mungkin lebih berguna untuk perilaku yang
mengancam jiwa seperti suicide.
Perlu diingat bahwa efek dari pemberian punishment mungkin hanya
bersifat sementara, hal ini yang membuat punishment disebut sebagai
penekan perilaku (suppressor of behavior). Ketika konsekunesi dari
hukuman dihilangkan, maka perilaku tadi akan sering muncul kembali.
Selain itu punishment terkadang mengarah pada pelarian, penghindaran,
agresi, ataupun dapat menjadi model pembelajaran sosial yang buruk, anak-
anak jadi belajar untuk menggunakan hukuman juga pada orang lain. Yang
berujung menghasilkan banyak kerugian daripada keuntungan. Terdapat
beberapa teknik hukuman yang dapat membantu klien mengurangi perilaku
yang tidak diinginkan, yaitu extinction, time out, response cost, dan
overcorrection (positive practice). Keempat teknik tersebut akan dijelaskan
lebih lanjut dibawah ini (Knoff, 2009).
2.2 Extinction
2.2.1 Origins of The Extinction Technique
Extinction merupakan punishment dengan classic behavioral
technique yang didasari dengan menghalangi klien dari reinforcement
positif /penguat yang membuatnya untuk menampilkan perilaku yang
tidak diinginkan. Contohnya dengan mengabaikan siswa dikelas yang
terus-menurus memanggil untuk mendapatkan perhatian gurunya,
maka guru harus mengabaikannya daripada mengakui tanggapan
siswa. Tanggapan yang didapatkan siswa dari gurunya merupkan
reinforcement dari perilakunya untuk terus memanggil. Setelah hal itu
ditarik, perilaku yang tidak diinginkan tadi jadi punah/ extinction.
Counterconditioning adalah strategi untuk mengganti perilaku yang
lebih diinginkan dengan yang tidak diinginkan. Penting untuk
diperhatikan bahwa extinction seringkali mengakibatkan peningkatan
4
sementara pada perilaku yang tidak diinginkan tanpa disadari.
Peningkatan perilaku negative ini disebut sebagai extinction burst.
Extincion biasanya digunakan dalam pelatihan orang tua dan
manajemen kelas. Teknik extinction seringkali lebih efektif jika
dikombinasikan dengan reinforcement positif dari perilaku alternative.
Penggabungan keduanya dapat menghasilkan hasil yang lebih
permanen dan cepat. Berbeda halnya dengan penggunaan extinction
sendiri, penurunan perilaku yang dihasilkan cenderung bertahap dari
pada segera (Knoff, 2009).
5
memilih perilaku alternative yang akan diperkuat/ di beri
reinforcement positif bersama dengan teknik extinction. Konselor
professional harus siap menghadapi peningkatan perilaku yaitu
extinction burst, dan harus siap menahan semua penguatan ketika
perilaku yang tidak diinginkan terjadi serta harus siap memberikan
reinforcement positif setiap kali perilaku alternative muncul. Selain itu
konselor professional juga dapat memantau/membuat grafik klien
untuk melihat keberhasilan extinction dan positif reinforcement
prosedur.
6
anak dengan masuk kembali ke kamar anak, maka perilaku tantrum
dapat dihilangkan selama 10 kesempatan. Tantangan utama untuk
keberhasilan penerapan teknik extinction mungkin adalah motivasi
orang tua
7
muncul ketika anak dipindahkan dari lingkungan dimana aktifitas
maladaptive terjadi. Nonsenseclusionary time out muncul ketika anak
berada di lingkungan tapi tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi
dalam aktifitas reinforcing.
Ketika mengimplementasikan time out, orang dewasa perlu
memastikan untuk memberi tahu anak dengan jelas dan singkat
mengapa ia ditempatkan pada time out. Time out hanya dapat
digunakan setelah pemberian arahan ulang dan peringatan pada anak
sebelumnya. Berdasarakan pada tipe perilaku maladaptive yang
muncul, orang dewasa perlu untuk memilih tipe time out mana yang
akan digunakan. Tidak perlu melakukan pengekangan fisik, sebab hal
ini memerlukan kemampuan khusus dan hanya digunakan jika anak
membahayakan dirinya sendiri. Waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan time out bervariasi, tapi biasanya sekitar 5 menit, bahkan
untuk anak yang masih kecil biasanya kurang dari 5 menit. Sangat
penting bagi orang dewasa untuk memonitor anak ketika sedang
dalam time out dan mengembalikan anak pada aktifitas setelah
dilakukan time out tersebut. Orang dewasa juga harus memperhatikan
progres perilaku anak setelah ia kembali pada aktifitas setelah
melakukan time out. Kita tidak perlu memaksa anak untuk meminta
maaf, akan tetapi ketika ia mengajukan diri untuk meminta maaf maka
kita perlu memfasilitasi itu. Kita bisa saja membuat anak meminta
maaf akan tetapi bisakah kita memastikan bahwa anak tersebut
memiliki rasa penyesalan akan perbuatannya?
Ketika kita memutuskan untuk menggunakan teknik time out,
maka ada baiknya untuk mengumpulkan data dasar untuk mendukung
penggunaan teknik. Setelah 2 minggu mnggunakan teknik, maka
orang dewasa perlu untuk melakukan peninjauan kembali apakah
teknik ini efektif atau tidak. Teknik inipun juga efektif untuk orang
dewasa dengan intelectual disability. Ketika anak sedang dalam masa
time out, maka ada beberapa arahan yang mesti diikuti anak menurut
Erford (1999,p.208), yaitu :
8
a) Kaki di lantai
b) Kaki kursi di lantai
c) Tangan di pangkuan
d) Duduk di kursi
e) Mata terbuka dan melihat ke dinding
f) Tidak bersuara
g) Duduk tegak dengan punggung pada kursi
9
yang sulit dan frustrating. Hal ini tidak hanya menguntungkan anak,
tetapi juga hubungan orang tua dengan anak (Kazdin, 2005). Salah
satu masalah paling umum terhadap teknik time out adalah kesalahan
penggunaan (Betz, 1994). Betz menyarankan time out digunkan pada
hal yang serius dan sebagai pilihan terakhir. Ruangan time out harus
dipastikan lebh tidak menarik daripada aktifitas yang dilakukan
sebelumnya (Bacon, 1990). Teknik juga biasanya tidak akan sukses
jika diterapkan pada anak yang mengalami low-functioning.
10
response cost adalah strategi manajemen perilaku yang paling populer
dan dapat diterima di antara orang tua yang disurvei dari daftar enam
teknik manajemen perilaku yang umum digunakan di masyarakat A.S.
Response cost dapat dipantau oleh satu orang dan membutuhkan
sedikit waktu atau uang ekstra.
11
token. Jika klien memiliki sisa token di akhir periode waktu, hadiah
diberikan; jika semua token telah dihapus, hadiah tidak diberikan.
Beberapa pedoman membantu membuat program response
cost lebih efektif (Walker, Colvin, & Ramsey, 1995). Sistem
response costs harus dikaitkan dengan sistem penguatan untuk
memperkuat perilaku yang diinginkan. Perilaku positif individu harus
sering dipuji. Selain itu, response costs harus digunakan segera
setelah perilaku target terjadi, setiap kali terjadi. Individu seharusnya
tidak dapat mengumpulkan poin negatif, dan rasio poin yang
diperoleh dengan yang hilang harus dikontrol.
Jumlah token yang tersisa harus dipantau. Setelah 3 hingga 5
hari berturut-turut klien menerima hadiah, kriteria dapat diturunkan.
Misalnya, jika 15 token per hari terdiri dari level awal, dan klien
memiliki lima token tersisa pada hari ke-1, tujuh pada hari ke-2, dan
kedelapan pada hari ke-3, konselor profesional harus memulai
keesokan harinya dengan memberikan klien hanya enam atau tujuh
token. Proses ini berulang dengan cara ini hingga hanya tersisa satu
token. Ini merupakan prosedur pemudaran yang dimodifikasi dan
berfungsi sebagai ukuran hasil untuk menentukan efektivitas prosedur
response costs. Setelah klien melewati 1 minggu tanpa kehilangan
satu-satunya token (yaitu, tidak ada tampilan perilaku target yang
tidak sesuai), sistem diakhiri.
12
mengganggu. Salend dan Allen (1985) menemukan bahwa sistem
response cost yang dikelola secara eksternal dan dikelola sendiri sama
efektifnya dalam mengurangi perilaku kelas yang tidak tepat dari
siswa dengan ketidakmampuan belajar. Kedua program biaya
tanggapan sangat mengurangi jumlah perilaku keluar dari kursi dan
verbalisasi yang tidak tepat dari siswa.
Response cost juga telah digunakan pada anak-anak dengan
perilaku hiperaktif dan antisosial. Carlson, Mann, dan Alexander
(2000) menguji keefektifan penghargaan dan response cost pada
kinerja aritmatika anak dengan gangguan attention-deficit /
hyperactivity (ADHD). Meskipun mereka menemukan bahwa anak-
anak dengan ADHD menyelesaikan lebih sedikit masalah dengan
benar daripada anak-anak kontrol terlepas dari apakah mereka dalam
ganjaran, response costs, atau kondisi kontrol, mereka juga
mengamati bahwa response costs lebih efektif daripada ganjaran
dalam meningkatkan kinerja anak-anak dengan ADHD. Walker dkk.
(1995) membandingkan efektivitas pujian, penguatan tanda, dan
response cost dalam mengurangi agresi di antara anak laki-laki
antisosial sekolah dasar. Baik pujian saja maupun pujian yang
dikombinasikan dengan penguatan tanda tidak mampu mengendalikan
perilaku agresif-negatif atau meningkatkan interaksi sosial yang
positif di antara anak laki-laki ini. Namun, setelah perilaku agresif
negatif diimbangi dengan prosedur response cost, perilaku interaktif
sosial anak laki-laki tersebut mulai meningkat secara substansial.
Response cost telah digunakan dengan penyandang disabilitas
intelektual. Keeney dkk. (2000) mempelajari efek dari prosedur
response cost pada ledakan agresif wanita dewasa dengan disabilitas
intelektual; mereka membandingkan penguatan non-kontingen,
penghapusan perhatian, dan penghapusan musik dengan perilaku
dasar. Mereka menemukan bahwa penghapusan response cost musik
sangat efektif dalam mengurangi perilaku destruktif.
13
2.5 Overcorrection
2.5.1 Origins of the Overcorrection Technique
Overcorrection dikembangkan oleh Foxx dan Azrin pada awal
1970-an sebagai teknik untuk menghilangkan perilaku maladaptif
sekaligus mendidik kembali individu, sehingga banyak literatur klasik
tentang teknik dan hasil penelitian ini sudah cukup tua. Overcorrection
berlebihan melibatkan dua komponen: restitution dan positive
practice. Restitution mengharuskan individu untuk memulihkan situasi
yang terganggu ke kondisi yang sama atau lebih baik daripada yang
sebelumnya. Sedangkan, positive practice memerlukan praktik
berulang dari perilaku yang sesuai untuk situasi yang sama (Henington
& Doggett, 2010 dalam Erford, 2015). Misalnya, jika seorang anak
membanting pintu, orang tua dapat menyuruh anak untuk meminta
maaf dan kemudian berlatih membuka dan menutup pintu perlahan
sambil masuk dan keluar sepuluh kali, atau dalam jangka waktu
tertentu seperti 5 menit. Positive practice yang berulang-ulang seperti
itu sering kali mengarah pada pembelajaran, di mana orang tersebut
ingat untuk tidak pernah membanting pintu lagi.
Overcorrection adalah salah satu bentuk hukuman, tetapi tidak
mengikuti teori tunggal, namun juga menggabungkan aspek dari
banyak teknik yang berbeda, termasuk feedback, time out, compliance
training, extinction, dan punishment (Henington & Doggett, 2010
dalam dalam Erford, 2015). Tidak seperti bentuk hukuman yang lain,
overcorrection tidak sewenang-wenang namun mengajarkan individu
untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka dan mengenali
dampak tindakan mereka terhadap orang lain. Restitution dirancang
untuk mengajarkan konsekuensi dari perilaku yang salah, dan positive
practice mengajarkan perilaku yang sesuai.
14
individu. Jika penguatan positif tidak berhasil, overcorrection dapat
diterapkan. Ada empat langkah untuk menggunakan overcorrection,
yaitu:
1. Konselor profesional harus mengidentifikasi perilaku sasaran serta
perilaku alternatif yang akan diajarkan melalui positive practice.
2. Ketika perilaku sasaran dilakukan, konselor profesional harus segera
memberi tahu klien bahwa perilaku tersebut tidak pantas dan
memerintahkan klien untuk berhenti.
3. Kemudian konselor profesional harus membimbing klien secara
lisan melalui prosedur overcorrection, menginstruksikan klien untuk
menyelesaikan restitution dan kemudian menjalani positive practice
untuk waktu atau jumlah pengulangan yang ditentukan.
4. Akhirnya individu diizinkan untuk kembali ke aktivitas seperti
biasa.
Dalam studi klasik mereka, Foxx dan Azrin (1972, dalam
dalam Erford, 2015) membuat beberapa rekomendasi untuk
penggunaan overcorrection yang efektif. Restitution harus terkait
langsung dengan perilaku buruk. Selain itu, restitution harus dilakukan
segera setelah perilaku buruk tersebut untuk mencapai dua hasil.
Pertama, perilaku buruk pada akhirnya akan hilang karena klien tidak
memiliki waktu untuk menikmati efek perilaku buruk tersebut. Dan
kedua, tindakan kenakalan di masa depan harus dicegah karena
konsekuensi negatif langsung lebih efektif daripada konsekuensi tidak
langsung. Juga, restitution harus diperpanjang durasinya. Terakhir,
individu tersebut harus terlibat aktif dan tidak boleh berhenti selama
proses restitution
15
Ollendick, 1979, dalam dalam Erford, 2015). Dalam sebuah studi
tentang anak usia sekolah, Matson et al. menemukan bahwa restitusi
mengurangi perilaku sasaran sebesar 89%, dan praktik positif
mengurangi perilaku ini sebesar 84%, menunjukkan bahwa kedua
prosedur tersebut sama efektifnya dalam menangani perilaku buruk di
kelas pada masa kanak-kanak. Memang, beberapa situasi mungkin
melibatkan permintaan maaf sederhana, meskipun orang tidak pernah
bisa benar-benar yakin bahwa permintaan maaf adalah pemulihan yang
sepenuh hati yang mengarah pada perubahan perilaku yang positif.
Dalam kasus seperti itu, praktik positif yang berulang menjadi
intervensi aktif
16
oleh guru sebagai teknik manajemen kelas (Smith & Misra, 1992
dalam dalam Erford, 2015). Overcorrection adalah prosedur yang
dapat dengan mudah digunakan oleh mereka yang tidak memiliki
pelatihan konseling formal.
Overcorrection memiliki beberapa kelemahan. Hal ini
membutuhkan banyak waktu baik dari pihak konselor profesional
maupun klien (Clements & Dewey, 1979; Smith & Misra, 1992 dalam
Erford, 2015). Hasil overcorrection cenderung tidak menggeneralisasi
perilaku lain yang ditampilkan oleh individu atau individu lain yang
mengamati prosedur (Luiselli, 1980 dalam Erford, 2015). Hasilnya
cenderung spesifik untuk perilaku, tempat, dan orang yang mengalami
treatment. Oleh karena itu, beberapa generalisasi dapat didorong
dengan memvariasikan pengaturan di mana pengobatan terjadi dan
orang yang memberikan pengobatan. Borrego dan Pemberton (2007
dalam Erford, 2015) menunjukkan bahwa motivasi orang tua untuk
menerapkan overcorrection mungkin hanya karena menempati
peringkat keempat dari enam strategi manajemen perilaku umum
dalam hal penerimaan orang tua.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prosedur punishment sangat efektif dalam membantu klien untuk
mengurangi sesuatu. Penerapan punishment disatu sisi sangat efektif dalam
mengurangi perilaku yang tidak diinginkan, tetapi disisi lain punishment
harus digunakan hanya dalam kasus. Efek dari pemberian punishment
mungkin hanya bersifat sementara, ketika konsekunesi dari hukuman
dihilangkan, maka perilaku tadi akan sering muncul kembali. Terdapat
beberapa teknik hukuman yang dapat membantu klien mengurangi perilaku
yang tidak diinginkan, yaitu extinction, time out, response cost, dan
overcorrection (positive practice).
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah, penting bagi penulis untuk benar-benar
memahami materi yang akan diuraikan. Oleh karena itu, saran kami untuk
kedepannya penulis sebaiknya memahami materi dengan baik, agar dapat
disampaikan dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. Tata cara
penulisan makalah yang baik dan benar juga harus diteliti dan dipahami
betul demi kesempurnaan tulisan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Erford, B. T. (2015). 40 Techniques Every Counselor Should Know (2nd ed.). US:
Pearson Education.
19