Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TECHNIQUES BASED ON BEHAVIORAL APPROACHES USING


PUNISHMENT

Oleh Kelompok 3
Metode Pengukuran Kepribadian A :

Dita Nuraini Putri (1810321015)


Muthmainnah Fauziah (1810322007)
Zahra Fiqri Riz (1810322021)
Aziztia Ratiwi Subarta (1810322035)

Dosen Pengampu:
Dwi Puspasari. . M.Psi.Psikolog,
Diny Amenike. . M.Psi.Psikolog,
Kuswardani Susari Putri. Dra. M.Si, Psikolog

UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami ucapkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Tidak lupa pula sholawat beserta salam selalu
ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita keluar dari
zaman kebodohan hingga kita dapat menikmati ilmu pengetahuan seperti
sekarang.
Makalah ini telah kami susun dengan merujuk berbagai buku dan sumber
relevan terpercaya lainnya, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak
yang berkontribusi. Dengan selesainya makalah ini, kami harap dapat menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai teknik konseling berdasarkan pendekatan
behavioral menggunakan hukuman (punishment).
Terlepas dari semua itu, karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih sangat banyak
kekurangan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Padang, 11 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3

2.1 Techniques Based on Behavioral Approaches Using Punishment....3

2.2 Extinction..............................................................................................4

2.2.1 Origins of The Extinction Technique...............................................4

2.2.2 How to Implement The Extincion Technique................................5

2.2.3 Variation of The Extinction Technique...........................................6

2.2.4 Usefulness and evaluation of The Extinction Technique..............6

2.3 Time Out...............................................................................................7

2.3.1 Origins of The Time Out Technique................................................7

2.3.2 How to Implement The Time Out Technique...................................7

2.3.3 Variations Of The Time Out Technique..........................................9

2.3.4 Usefulness And Evaluation of The Time Out Technique................9

2.4 Response Cost.....................................................................................10

2.4.1. Origins of the response cost technique..........................................10

2.4.2. How to implement the response cost technique.............................11

2.4.3. Usefulness and evaluation of the response cost technique...........12

2.5 Overcorrection....................................................................................13

2.5.1 Origins of the Overcorrection Technique....................................13

ii
2.5.2 Menerapkan Teknik Overcorrection.............................................14

2.5.3 Variasi dari Teknik Overcorrection.............................................15

2.5.4 Kegunaan dan Evaluasi Teknik Overcorrection.........................16

BAB III PENUTUP...........................................................................................18

3.1 Kesimpulan.........................................................................................18

3.2 Saran....................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendekatan behavioral berakar dari eksperimen psikologi dan
penelitian mengenai proses belajar pada manusia dan hewan. . Pada konsep
konseling behavior, tingkah laku manusia merupakan hasil belajar yang
dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisikondisi
belajar (Sanyata, 2012). Behavioral adalah suatu pandangan ilmiah tentang
tingkah laku manusia. Pada pendekatan behavioral dikenal reinforcement
dan punishment. Punishment merupakan segala sesuatu yang diterapkan
untuk mengurangi atau menekan tampilan perilaku yang tidak diinginkan.
Prosedur punishment sangat efektif dalam membantu klien untuk
mengurangi sesuatu, tetapi tidak untuk menghilangkan perilaku yang tidak
diinginkan. Punishment merupakan teknik yang kontroversial, dimana
dalam menggunakanya kita harus memastikan bahwa intensitas akibatnya
sesuai, konsekuensi langsung diberikan, dan prosedur hukuman dijalankan
dengan konsisten. Dikarenakan prosedur punishment sering kali bekerja
lebih cepat dibandingkan reinforcement, maka prosedur punishment
mungkin lebih berguna untuk perilaku yang mengancam jiwa seperti
suicide.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa saja teknik pendekatan behavioral menggunakan hukuman?
2. Apa itu teknik extinction?
3. Apa itu teknik time out?
4. Apa itu teknik response cost?
5. Apa itu teknik overcorrection?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk :

1
1. Mengetahui tentang teknik pendekatan behavioral menggunakan
hukuman?
2. Mengetahui tentang teknik extinction?
3. Mengetahui tentang teknik time out?
4. Mengetahui tentang teknik response cost?
5. Mengetahui tentang overcorrection?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Techniques Based on Behavioral Approaches Using Punishment


Punishment merupakan segala sesuatu yang diterapkan untuk
mengurangi atau menekan tampilan perilaku yang tidak diinginkan.
Prosedur punishment sangat efektif dalam membantu klien untuk
mengurangi sesuatu, tetapi tidak untuk menghilangkan perilau yang tidak
diinginkan. Pusnishmen lebih sering digunakan untuk mengurangi perilaku
yang tidak diinginkan dala lingkungan dimana punishment itu terjadi,
misalnya dengan memberikan hukuman kepada seorang remaja yang
merokok di dalam rumah. Mungkin punishment yang diberikan akan
mengurangi perilaku merokok di dalam rumah tapi tidak di luar rumah.
Kombinasi antara punishment dan reinforcement bagus untuk digunakan
dalam memadamkan perilaku yang tidak diinginkan secara total.
Punishment dapat diberikan dalam bentuk menambahkan stimulus yang
tidak menyenangkan, seperti memberikan tugas rumah yang ekstra atau
hukuman fisik. Bentuk lain punishment yaitu dengan mencabut penguat
yang biasanya menyenangkan dirinya, seperti melarang anak untuk bermain
keluar rumah, tidak mengizinkan menggunakan mobil, sepeda, bermain
game, atau membatasi hak istimewa lainnya. (Knoff, 2009).
Keberhasilan punishment dalam mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan bergantung pada banyak faktor. Sehingga banyak hal yang harus
dipertimbangkan sebelum memberikan bentuk hukuman, mulai dari jenis
hukuman yang akan digunakan, jadwal hukuman, apakah akan memberikan
peringatan sebelum memberi hukuman, dan apakah teknik lain seperti
reinforcement positif harus digunakan. Punishment merupakan teknik yang
kontroversial, dimana dalam menggunakanya kita harus memastikan bahwa
intensitas akibatnya sesuai, konsekuensi langsung diberikan, dan prosedur
hukuman dijalankan dengan konsisten. Penerapan punishment disatu sisi
sangat efektif dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan, tetapi
disisi lain beberapa orang berpendapat bahwa punishment harus digunakan

3
hanya dalam kasus ekstrim dan prosedur reinforcement positif harus
digunakan secara ekslusif jika memungkinkan. Dikarenakan prosedur
punishment sering kali bekerja lebih cepat dibandingkan reinforcement,
maka prosedur punishment mungkin lebih berguna untuk perilaku yang
mengancam jiwa seperti suicide.
Perlu diingat bahwa efek dari pemberian punishment mungkin hanya
bersifat sementara, hal ini yang membuat punishment disebut sebagai
penekan perilaku (suppressor of behavior). Ketika konsekunesi dari
hukuman dihilangkan, maka perilaku tadi akan sering muncul kembali.
Selain itu punishment terkadang mengarah pada pelarian, penghindaran,
agresi, ataupun dapat menjadi model pembelajaran sosial yang buruk, anak-
anak jadi belajar untuk menggunakan hukuman juga pada orang lain. Yang
berujung menghasilkan banyak kerugian daripada keuntungan. Terdapat
beberapa teknik hukuman yang dapat membantu klien mengurangi perilaku
yang tidak diinginkan, yaitu extinction, time out, response cost, dan
overcorrection (positive practice). Keempat teknik tersebut akan dijelaskan
lebih lanjut dibawah ini (Knoff, 2009).

2.2 Extinction
2.2.1 Origins of The Extinction Technique
Extinction merupakan punishment dengan classic behavioral
technique yang didasari dengan menghalangi klien dari reinforcement
positif /penguat yang membuatnya untuk menampilkan perilaku yang
tidak diinginkan. Contohnya dengan mengabaikan siswa dikelas yang
terus-menurus memanggil untuk mendapatkan perhatian gurunya,
maka guru harus mengabaikannya daripada mengakui tanggapan
siswa. Tanggapan yang didapatkan siswa dari gurunya merupkan
reinforcement dari perilakunya untuk terus memanggil. Setelah hal itu
ditarik, perilaku yang tidak diinginkan tadi jadi punah/ extinction.
Counterconditioning adalah strategi untuk mengganti perilaku yang
lebih diinginkan dengan yang tidak diinginkan. Penting untuk
diperhatikan bahwa extinction seringkali mengakibatkan peningkatan

4
sementara pada perilaku yang tidak diinginkan tanpa disadari.
Peningkatan perilaku negative ini disebut sebagai extinction burst.
Extincion biasanya digunakan dalam pelatihan orang tua dan
manajemen kelas. Teknik extinction seringkali lebih efektif jika
dikombinasikan dengan reinforcement positif dari perilaku alternative.
Penggabungan keduanya dapat menghasilkan hasil yang lebih
permanen dan cepat. Berbeda halnya dengan penggunaan extinction
sendiri, penurunan perilaku yang dihasilkan cenderung bertahap dari
pada segera (Knoff, 2009).

2.2.2 How to Implement The Extincion Technique


Konselor professional terlebih dahulu harus
mempertimbangkan sifat perilaku yang akan dihentikan, sebelum
memutuskan untuk menggunakan prosedur extinction. Jika
perilakunya sangat menggangu, dimana peningkatan perilakunya tidak
akan dapat ditoleransi dan jika perilaku tersebut diabaikan
kemungkinan besar dapat membuat orang lain untuk menirunya, maka
extinction bukanlah teknik yang tepat. Adapun langkah pertama untuk
merancang prosedur extinction adalah dengan mengenali semua
kemungkinan reinforcers dari perilaku sasaran yang akan diubah.
Reinforces umum yang biasa terjadi sebagai penguat dari perilaku
menggangu adalah perhatian orang dewasa, komentar orang dewasa,
perhatian teman sebaya, ataupun pelarian dari suatu aktivitas.
Kemudian lakukan analisis untuk mengetahui dan menetukan penguat
dari suatu perilaku. Analisis ini biasa disebut analisis kontigensi, yang
dilakukan dengan cara mempelajari peristiwa atau kondisi sebelum
perilaku yang tidak diinginkan muncul dan perilaku yang diharapkan
serta konsekuensi dari setiap perilaku. Setelah semua diidentifikasi,
barulah metode untuk menahan perilaku yang tidak diinginkan dapat
dirancang. Jika semua metode tersebut tidak dapat menahan
penguat/penyebab perilaku, maka extinction tidak akan berhasil.
Langkah terakhir untuk menggunakan prosedur extinction adalah

5
memilih perilaku alternative yang akan diperkuat/ di beri
reinforcement positif bersama dengan teknik extinction. Konselor
professional harus siap menghadapi peningkatan perilaku yaitu
extinction burst, dan harus siap menahan semua penguatan ketika
perilaku yang tidak diinginkan terjadi serta harus siap memberikan
reinforcement positif setiap kali perilaku alternative muncul. Selain itu
konselor professional juga dapat memantau/membuat grafik klien
untuk melihat keberhasilan extinction dan positif reinforcement
prosedur.

2.2.3 Variation of The Extinction Technique


Terdapat beberapa classic variation dari extinction, diantaranya
covert extinction, dimana setelah target perilaku dan konsekuensi yang
mempertahankannya teridentifikasi, klien diinstruksikan untuk
membayangkan sebuah adegan dimana penguat dari target perilaku
tidak terjadi. Klien disuruh membayangkan adegan ini berulang-ulang
sampai perilaku tersebut dihilangkan dari kenyataan. Teknik ini sangat
berguna ketika penguat target perilaku sulit dikendalikan di
lingkungan nyata
2.2.4 Usefulness and evaluation of The Extinction Technique
Extinction dianggap klasik karena sebagian besar hasil
penelitian mengenai extinction dilakukan hampir 50 tahun lalu.
Teknik extinction dapat digunakan dalam berbagai situasi, selama
perilaku yang tidak diinginkan/ perilaku target tidak terlalu
menganggu atau cenderung akan membuat orang lain menirunya.
Konselor professional sangat penting untuk memiliki kendali atas
semua kemungkinan penguat dari perilaku sasaran sebelum extinction.
Extinction yang dikombinasikan dengan positif reinforcement dari
perilaku alternative, berhasil menurunkan ketidakpatuhan dan agresi
anak. Penelitian yang dilakukan William (dalam Knoff, 2009)
menemukan bahwa extinction efetif dalam menghilangkan perilaku
tantrum pada anak disaat orang tua tidak lagi memperkuat amukan

6
anak dengan masuk kembali ke kamar anak, maka perilaku tantrum
dapat dihilangkan selama 10 kesempatan. Tantangan utama untuk
keberhasilan penerapan teknik extinction mungkin adalah motivasi
orang tua

2.3 Time Out


2.3.1 Origins of The Time Out Technique
Teknik time out ini banyak digunakan sebagai bentuk
behavioral treatment yang berdasarkan pada prinsip punishment
operant conditioning. Mereka yang mendukung terapi behavioral
mengatakan bahwa semua perilaku baik yang adaptif ataupun
maladaptive, dipelajari melalui proses operant dan modeling.
Negative punishment meliputi menghapus stimulus untuk mengurangi
kemungkinan munculnya perilaku. Karena efek positif dari time out,
teknik ini menjadi bagian penting dalam penanganan perilaku anak di
sekolah (Knoff, 2009).
Time out merupakan intervensi behavioral yang paling sering
digunakan untuk mengurangi masalah perilaku pada anak (Evere,
Hupp, & Olmi, 2010) dan menjadi peringkat ketiga dari enam cara
yang paling diterima orang tua dalam startegi management perilaku
anak (Borrego & Pemberton, 2007). Time out ini diharapkan dapat
membuat anak tidak lagi melanjutkan perilaku maladaptive
kedepannya karena anak ingin tetap pada positive reinforcers. Teknik
ini dirancang untuk mengedukasi anak mengenai apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh untuk dilakukan (Knooff,2009).

2.3.2 How to Implement The Time Out Technique


Sebelum mengimplementasikan time out, konselor
professional harus familiar dengan tiga tipe yaitu Seclusionary time
out, exclusionary, dan Nonsenseclusionary time out. Seclusionary
time out muncul ktika anak di tempatkan pada ruang yang berbeda
yang dianggap sebagai ruangan time out. Exclusionary time out

7
muncul ketika anak dipindahkan dari lingkungan dimana aktifitas
maladaptive terjadi. Nonsenseclusionary time out muncul ketika anak
berada di lingkungan tapi tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi
dalam aktifitas reinforcing.
Ketika mengimplementasikan time out, orang dewasa perlu
memastikan untuk memberi tahu anak dengan jelas dan singkat
mengapa ia ditempatkan pada time out. Time out hanya dapat
digunakan setelah pemberian arahan ulang dan peringatan pada anak
sebelumnya. Berdasarakan pada tipe perilaku maladaptive yang
muncul, orang dewasa perlu untuk memilih tipe time out mana yang
akan digunakan. Tidak perlu melakukan pengekangan fisik, sebab hal
ini memerlukan kemampuan khusus dan hanya digunakan jika anak
membahayakan dirinya sendiri. Waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan time out bervariasi, tapi biasanya sekitar 5 menit, bahkan
untuk anak yang masih kecil biasanya kurang dari 5 menit. Sangat
penting bagi orang dewasa untuk memonitor anak ketika sedang
dalam time out dan mengembalikan anak pada aktifitas setelah
dilakukan time out tersebut. Orang dewasa juga harus memperhatikan
progres perilaku anak setelah ia kembali pada aktifitas setelah
melakukan time out. Kita tidak perlu memaksa anak untuk meminta
maaf, akan tetapi ketika ia mengajukan diri untuk meminta maaf maka
kita perlu memfasilitasi itu. Kita bisa saja membuat anak meminta
maaf akan tetapi bisakah kita memastikan bahwa anak tersebut
memiliki rasa penyesalan akan perbuatannya?
Ketika kita memutuskan untuk menggunakan teknik time out,
maka ada baiknya untuk mengumpulkan data dasar untuk mendukung
penggunaan teknik. Setelah 2 minggu mnggunakan teknik, maka
orang dewasa perlu untuk melakukan peninjauan kembali apakah
teknik ini efektif atau tidak. Teknik inipun juga efektif untuk orang
dewasa dengan intelectual disability. Ketika anak sedang dalam masa
time out, maka ada beberapa arahan yang mesti diikuti anak menurut
Erford (1999,p.208), yaitu :

8
a) Kaki di lantai
b) Kaki kursi di lantai
c) Tangan di pangkuan
d) Duduk di kursi
e) Mata terbuka dan melihat ke dinding
f) Tidak bersuara
g) Duduk tegak dengan punggung pada kursi

2.3.3 Variations Of The Time Out Technique


Teknik ini harus dilakukan dengan ketat, agar anak
memandangnya sebagai hukuman. Variasi “sit and watch” biasanya
digunakan pada setting kelas. Jika murid ditempatkan pada “sit and
watch” , mereka diberi hourglass yang berisi pasir yang akan habis
selama 3 menit, kemudian diperintahkan untuk duduk dan
memperhatikan hourglass tersebut. Ketika pasirnya habis, anak dapat
kembali bergabung dalam aktifitas.

2.3.4 Usefulness And Evaluation of The Time Out Technique


Time out telah digunakan untuk mengurangi variasi perilaku
berupa tantrum, menghisap ibu jari, dan agresi. Pada sekolah, time out
telah sukses digunakan pada anak dengan berbagai masalah perilaku
di berbagai setting pendidikan. Beberapa faktor mempengaruhi efikasi
tekik ini. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kesuksesan
teknik ini. Beberapa penelitian mendukung efektifitas time out untuk
anak pada isu self-control. Salah satu peneliti menemukan bahwa
menggunakan time out untuk anak yang mengalamai guncangan
emosional berdampak positif terhadap perilaku dan kerja si anak
(Ruth,1994).
Time out juga ditemukan efektif untuk mengurangi tindakan
agresi kakak beradik (Olson & Roberrts, 1987). Karena dengan
melakukan time out, mengajarkan anak untuk meregulasi emosinya
dengan kesempatan untuk tenang dan belajar untuk mengatur situasi

9
yang sulit dan frustrating. Hal ini tidak hanya menguntungkan anak,
tetapi juga hubungan orang tua dengan anak (Kazdin, 2005). Salah
satu masalah paling umum terhadap teknik time out adalah kesalahan
penggunaan (Betz, 1994). Betz menyarankan time out digunkan pada
hal yang serius dan sebagai pilihan terakhir. Ruangan time out harus
dipastikan lebh tidak menarik daripada aktifitas yang dilakukan
sebelumnya (Bacon, 1990). Teknik juga biasanya tidak akan sukses
jika diterapkan pada anak yang mengalami low-functioning.

2.4 Response Cost


2.4.1. Origins of the response cost technique
Response cost adalah metode pengkondisian operan
berdasarkan prinsip-prinsip hukuman dan melibatkan penghilangan
stimulus positif untuk mengurangi perilaku tertentu (Henington &
Doggett, 2010). Response costs sering kali berbentuk sistem poin atau
token di mana individu akan kehilangan poin atau token jika
melakukan beberapa perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya, seorang
anak akan mendapatkan poin jika menunjukkan perilaku positif
tertentu dan akan kehilangan poin jika menunjukkan perilaku negatif.
Pada waktu yang telah ditentukan, anak dapat menukarkan poinnya
dengan hadiah (Curtis, Pisecco, Hamilton, & Moore, 2006). Response
cost dapat dikelola secara eksternal atau internal. Dalam program yang
dikelola secara eksternal, guru, orang tua, atau individu terlatih lainnya
bertanggung jawab untuk menghilangkan stimulus positif. Dalam
program yang dikelola sendiri, individu bertanggung jawab untuk
menghilangkan stimulus.
Response costs bisa sangat efektif dalam mengurangi perilaku
yang tidak diinginkan, terutama bila digunakan dalam kombinasi
dengan pujian, sistem poin (token), dan time out sebagai prosedur
cadangan. Response cost dapat digunakan di rumah, di kelas, atau di
taman bermain dan mudah diterapkan (Keeney, Fisher, Adelinis, &
Wilder, 2000). Borrego dan Pemberton (2007) menemukan bahwa

10
response cost adalah strategi manajemen perilaku yang paling populer
dan dapat diterima di antara orang tua yang disurvei dari daftar enam
teknik manajemen perilaku yang umum digunakan di masyarakat A.S.
Response cost dapat dipantau oleh satu orang dan membutuhkan
sedikit waktu atau uang ekstra.

2.4.2. How to implement the response cost technique


Response costs biasanya digunakan dengan siswa usia sekolah.
Sebelum menerapkan response cost, terdapat tiga langkah penting
harus diselesaikan, yaitu :
1) Identifikasi perilaku spesifik yang akan menjadi sasaran dan coba
fokus hanya pada satu atau dua perilaku pada satu waktu.
2) Putuskan apa hukuman atau biayanya untuk setiap perilaku yang
disebutkan sebelumnya. Jika memungkinkan, biaya harus
merupakan konsekuensi alami atau logis, meskipun token sering
digunakan untuk mewakili peluang atau pengingat. Terkadang
klien mungkin dapat membantu menentukan biaya.
3) Beri tahu klien tentang biaya sebelum memulai program. Daftar
pengingat atau kontrak perilaku dapat digunakan.

Program response cost dapat dibangun dengan berbagai cara.


Komponen penting adalah bahwa individu kehilangan stimulus
positif tertentu ketika melakukan perilaku yang ditargetkan untuk
dihilangkan. Untuk memulai, hitungan dasar dari perilaku target
harus diamati. Konselor profesional kemudian harus memutuskan
apakah individu tersebut akan memulai dengan sejumlah poin di awal
hari; token akan diperoleh melalui prosedur penguatan positif; atau
sistem akan mengandalkan beberapa bentuk lain dari penghilangan
rangsangan, seperti menit yang diambil dari waktu istirahat.
Selanjutnya, implementasikan program response cost dengan
menghilangkan stimulus, apapun itu, setiap kali individu melakukan
perilaku target. Terakhir, hadiah harus dibuat di akhir periode waktu,
hari, atau minggu jika program didasarkan pada sistem poin atau

11
token. Jika klien memiliki sisa token di akhir periode waktu, hadiah
diberikan; jika semua token telah dihapus, hadiah tidak diberikan.
Beberapa pedoman membantu membuat program response
cost lebih efektif (Walker, Colvin, & Ramsey, 1995). Sistem
response costs harus dikaitkan dengan sistem penguatan untuk
memperkuat perilaku yang diinginkan. Perilaku positif individu harus
sering dipuji. Selain itu, response costs harus digunakan segera
setelah perilaku target terjadi, setiap kali terjadi. Individu seharusnya
tidak dapat mengumpulkan poin negatif, dan rasio poin yang
diperoleh dengan yang hilang harus dikontrol.
Jumlah token yang tersisa harus dipantau. Setelah 3 hingga 5
hari berturut-turut klien menerima hadiah, kriteria dapat diturunkan.
Misalnya, jika 15 token per hari terdiri dari level awal, dan klien
memiliki lima token tersisa pada hari ke-1, tujuh pada hari ke-2, dan
kedelapan pada hari ke-3, konselor profesional harus memulai
keesokan harinya dengan memberikan klien hanya enam atau tujuh
token. Proses ini berulang dengan cara ini hingga hanya tersisa satu
token. Ini merupakan prosedur pemudaran yang dimodifikasi dan
berfungsi sebagai ukuran hasil untuk menentukan efektivitas prosedur
response costs. Setelah klien melewati 1 minggu tanpa kehilangan
satu-satunya token (yaitu, tidak ada tampilan perilaku target yang
tidak sesuai), sistem diakhiri.

2.4.3. Usefulness and evaluation of the response cost technique


Teknik response cost telah berhasil digunakan selama
beberapa dekade untuk mengelola perilaku individu, kelompok kecil,
dan kelas. Proctor dan Morgan (1991) mempelajari penggunaan
undian response cost pada perilaku mengganggu remaja. Siswa diberi
lima tiket di awal kelas, dan siswa kehilangan tiket untuk perilaku
mengganggu. Semua tiket yang tersisa di akhir kelas ditempatkan
dalam undian untuk mendapatkan hadiah. Prosedur ini efektif dalam
meningkatkan perilaku yang sesuai dan mengurangi perilaku yang

12
mengganggu. Salend dan Allen (1985) menemukan bahwa sistem
response cost yang dikelola secara eksternal dan dikelola sendiri sama
efektifnya dalam mengurangi perilaku kelas yang tidak tepat dari
siswa dengan ketidakmampuan belajar. Kedua program biaya
tanggapan sangat mengurangi jumlah perilaku keluar dari kursi dan
verbalisasi yang tidak tepat dari siswa.
Response cost juga telah digunakan pada anak-anak dengan
perilaku hiperaktif dan antisosial. Carlson, Mann, dan Alexander
(2000) menguji keefektifan penghargaan dan response cost pada
kinerja aritmatika anak dengan gangguan attention-deficit /
hyperactivity (ADHD). Meskipun mereka menemukan bahwa anak-
anak dengan ADHD menyelesaikan lebih sedikit masalah dengan
benar daripada anak-anak kontrol terlepas dari apakah mereka dalam
ganjaran, response costs, atau kondisi kontrol, mereka juga
mengamati bahwa response costs lebih efektif daripada ganjaran
dalam meningkatkan kinerja anak-anak dengan ADHD. Walker dkk.
(1995) membandingkan efektivitas pujian, penguatan tanda, dan
response cost dalam mengurangi agresi di antara anak laki-laki
antisosial sekolah dasar. Baik pujian saja maupun pujian yang
dikombinasikan dengan penguatan tanda tidak mampu mengendalikan
perilaku agresif-negatif atau meningkatkan interaksi sosial yang
positif di antara anak laki-laki ini. Namun, setelah perilaku agresif
negatif diimbangi dengan prosedur response cost, perilaku interaktif
sosial anak laki-laki tersebut mulai meningkat secara substansial.
Response cost telah digunakan dengan penyandang disabilitas
intelektual. Keeney dkk. (2000) mempelajari efek dari prosedur
response cost pada ledakan agresif wanita dewasa dengan disabilitas
intelektual; mereka membandingkan penguatan non-kontingen,
penghapusan perhatian, dan penghapusan musik dengan perilaku
dasar. Mereka menemukan bahwa penghapusan response cost musik
sangat efektif dalam mengurangi perilaku destruktif.

13
2.5 Overcorrection
2.5.1 Origins of the Overcorrection Technique
Overcorrection dikembangkan oleh Foxx dan Azrin pada awal
1970-an sebagai teknik untuk menghilangkan perilaku maladaptif
sekaligus mendidik kembali individu, sehingga banyak literatur klasik
tentang teknik dan hasil penelitian ini sudah cukup tua. Overcorrection
berlebihan melibatkan dua komponen: restitution dan positive
practice. Restitution mengharuskan individu untuk memulihkan situasi
yang terganggu ke kondisi yang sama atau lebih baik daripada yang
sebelumnya. Sedangkan, positive practice memerlukan praktik
berulang dari perilaku yang sesuai untuk situasi yang sama (Henington
& Doggett, 2010 dalam Erford, 2015). Misalnya, jika seorang anak
membanting pintu, orang tua dapat menyuruh anak untuk meminta
maaf dan kemudian berlatih membuka dan menutup pintu perlahan
sambil masuk dan keluar sepuluh kali, atau dalam jangka waktu
tertentu seperti 5 menit. Positive practice yang berulang-ulang seperti
itu sering kali mengarah pada pembelajaran, di mana orang tersebut
ingat untuk tidak pernah membanting pintu lagi.
Overcorrection adalah salah satu bentuk hukuman, tetapi tidak
mengikuti teori tunggal, namun juga menggabungkan aspek dari
banyak teknik yang berbeda, termasuk feedback, time out, compliance
training, extinction, dan punishment (Henington & Doggett, 2010
dalam dalam Erford, 2015). Tidak seperti bentuk hukuman yang lain,
overcorrection tidak sewenang-wenang namun mengajarkan individu
untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka dan mengenali
dampak tindakan mereka terhadap orang lain. Restitution dirancang
untuk mengajarkan konsekuensi dari perilaku yang salah, dan positive
practice mengajarkan perilaku yang sesuai.

2.5.2 Menerapkan Teknik Overcorrection


Sebelum menggunakan overcorrection, metode positive
reinforcement harus dicoba dalam upaya membentuk perilaku

14
individu. Jika penguatan positif tidak berhasil, overcorrection dapat
diterapkan. Ada empat langkah untuk menggunakan overcorrection,
yaitu:
1. Konselor profesional harus mengidentifikasi perilaku sasaran serta
perilaku alternatif yang akan diajarkan melalui positive practice.
2. Ketika perilaku sasaran dilakukan, konselor profesional harus segera
memberi tahu klien bahwa perilaku tersebut tidak pantas dan
memerintahkan klien untuk berhenti.
3. Kemudian konselor profesional harus membimbing klien secara
lisan melalui prosedur overcorrection, menginstruksikan klien untuk
menyelesaikan restitution dan kemudian menjalani positive practice
untuk waktu atau jumlah pengulangan yang ditentukan.
4. Akhirnya individu diizinkan untuk kembali ke aktivitas seperti
biasa.
Dalam studi klasik mereka, Foxx dan Azrin (1972, dalam
dalam Erford, 2015) membuat beberapa rekomendasi untuk
penggunaan overcorrection yang efektif. Restitution harus terkait
langsung dengan perilaku buruk. Selain itu, restitution harus dilakukan
segera setelah perilaku buruk tersebut untuk mencapai dua hasil.
Pertama, perilaku buruk pada akhirnya akan hilang karena klien tidak
memiliki waktu untuk menikmati efek perilaku buruk tersebut. Dan
kedua, tindakan kenakalan di masa depan harus dicegah karena
konsekuensi negatif langsung lebih efektif daripada konsekuensi tidak
langsung. Juga, restitution harus diperpanjang durasinya. Terakhir,
individu tersebut harus terlibat aktif dan tidak boleh berhenti selama
proses restitution

2.5.3 Variasi dari Teknik Overcorrection


Meskipun sebagian besar prosedur koreksi berlebih melibatkan
restitution dan positive practice, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kedua prosedur ini efektif bila digunakan sendiri, dan tidak
perlu menggunakan keduanya (Matson, Horne, Ollendick, &

15
Ollendick, 1979, dalam dalam Erford, 2015). Dalam sebuah studi
tentang anak usia sekolah, Matson et al. menemukan bahwa restitusi
mengurangi perilaku sasaran sebesar 89%, dan praktik positif
mengurangi perilaku ini sebesar 84%, menunjukkan bahwa kedua
prosedur tersebut sama efektifnya dalam menangani perilaku buruk di
kelas pada masa kanak-kanak. Memang, beberapa situasi mungkin
melibatkan permintaan maaf sederhana, meskipun orang tidak pernah
bisa benar-benar yakin bahwa permintaan maaf adalah pemulihan yang
sepenuh hati yang mengarah pada perubahan perilaku yang positif.
Dalam kasus seperti itu, praktik positif yang berulang menjadi
intervensi aktif

2.5.4 Kegunaan dan Evaluasi Teknik Overcorrection


Overcorrection telah ada selama beberapa dekade dan literatur
hasil terkait. Overcorrection dimulai sebagai prosedur yang digunakan
untuk membantu penyandang disabilitas intelektual mengurangi
perusakan properti, serangan fisik, dan perilaku stimulasi diri, serta
untuk mengajarkan toileting dan perilaku makan yang benar (Axelrod,
Brantner, & Meddock, 1978 dalam Erford, 2015), dan banyak lagi
penelitian yang membuktikan keberhasilan prosedur overcorrection
dalam hal ini. Misalnya, Foxx dan Azrin (1972, dalam dalam Erford,
2015) menemukan bahwa pelatihan restitusi efektif dalam
menghilangkan perilaku mengganggu-agresif, seperti melempar benda,
menyerang orang lain, dan berteriak. Hasilnya langsung terlihat dan
bertahan selama beberapa bulan. Azrin dan Wesolowski (1974)
menemukan bahwa overcorrection mengurangi pencurian di kalangan
penyandang disabilitas intelektual sebesar 90% hanya dalam tiga hari.
Namun, overcorrection sejak itu telah digunakan pada berbagai
populasi mulai dari orang yang tidak cacat sampai yang sangat cacat,
termasuk orang dengan skizofrenia (Axelrod et al., 1978, dalam
Erford, 2015). Overcorrection telah digunakan untuk mengatasi
kebiasaan gugup dan perilaku di luar kursi. Ini juga telah digunakan

16
oleh guru sebagai teknik manajemen kelas (Smith & Misra, 1992
dalam dalam Erford, 2015). Overcorrection adalah prosedur yang
dapat dengan mudah digunakan oleh mereka yang tidak memiliki
pelatihan konseling formal.
Overcorrection memiliki beberapa kelemahan. Hal ini
membutuhkan banyak waktu baik dari pihak konselor profesional
maupun klien (Clements & Dewey, 1979; Smith & Misra, 1992 dalam
Erford, 2015). Hasil overcorrection cenderung tidak menggeneralisasi
perilaku lain yang ditampilkan oleh individu atau individu lain yang
mengamati prosedur (Luiselli, 1980 dalam Erford, 2015). Hasilnya
cenderung spesifik untuk perilaku, tempat, dan orang yang mengalami
treatment. Oleh karena itu, beberapa generalisasi dapat didorong
dengan memvariasikan pengaturan di mana pengobatan terjadi dan
orang yang memberikan pengobatan. Borrego dan Pemberton (2007
dalam Erford, 2015) menunjukkan bahwa motivasi orang tua untuk
menerapkan overcorrection mungkin hanya karena menempati
peringkat keempat dari enam strategi manajemen perilaku umum
dalam hal penerimaan orang tua.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prosedur punishment sangat efektif dalam membantu klien untuk
mengurangi sesuatu. Penerapan punishment disatu sisi sangat efektif dalam
mengurangi perilaku yang tidak diinginkan, tetapi disisi lain punishment
harus digunakan hanya dalam kasus. Efek dari pemberian punishment
mungkin hanya bersifat sementara, ketika konsekunesi dari hukuman
dihilangkan, maka perilaku tadi akan sering muncul kembali. Terdapat
beberapa teknik hukuman yang dapat membantu klien mengurangi perilaku
yang tidak diinginkan, yaitu extinction, time out, response cost, dan
overcorrection (positive practice).

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah, penting bagi penulis untuk benar-benar
memahami materi yang akan diuraikan. Oleh karena itu, saran kami untuk
kedepannya penulis sebaiknya memahami materi dengan baik, agar dapat
disampaikan dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. Tata cara
penulisan makalah yang baik dan benar juga harus diteliti dan dipahami
betul demi kesempurnaan tulisan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Erford, B. T. (2015). 40 Techniques Every Counselor Should Know (2nd ed.). US:
Pearson Education.

19

Anda mungkin juga menyukai